KEBIJAKAN PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN D (1)

KEBIJAKAN PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN DAERAH
KEBIJAKAN PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN DAERAH Perencanaan pembangunan
daerah secara khusus diatur dalam UU No. 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional, yang mengatur tahapan perencanaan mulai dari Rencana
Pemerintah Jangka Panjang, Rencana Pemerintah Jangka Menengah (RPJM daerah),
Renstra Satuan Kerja Pemerintah Daerah (Renstra SKPD), Rencana Kerja Pemerintah
Daerah (RKPD) dan Rencana Kerja Satuan Kerja Pemerintah Daerah (Renja SKPD).
Meskipun demikian, Undang-undang 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah,
mengatur kembali system perencanaan pembangunan daerah yang telah diatur dalam
UU 25/2004 sebelumnya, sekaligus mengatur pula proses penganggaran. Walaupun UU
32/2004 tidak mengatur sedetail UU SPPN khususnya perencanaan dan proses
penganggaran dalam UU 17 dan 33, namun pengaturan kembali ini menimbulkan
kerancuan terhadap penafsirannya. Sementara UU No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan
Negara dan UU No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah
mengatur perencanaan pembangunan daerah, namun hanya terbatas pada perencanaan
tahunan yang meliputi Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) dan Rencana Kerja
Satuan Kerja Pemerintah Daerah (Renja SKPD), disamping mengatur penyusunan APBD.
Perencanaan Pembangunan Daerah Menurut UU 25 2004 Banyak pihak yang mensinyalir
UU 25 2004, lahir lebih mempertahankan eksistensi Bappenas. Kekhawatiran yang
muncul adalah Bappenas dilikuidasi oleh lahirnya UU No. 17 2003 yang salah satunya
memperkuat peran Depkeu. Jika ini yang terjadi, maka kebijakan yang dilahirkan tidaklah

berdasarkan kebutuhan yang ada, melainkan sekedar pertarungan kepentingan antara
lembaga negara di “Taman Suropati Vs Lapangan Banteng”. Terlepas dari hal ini, perlu
melihat bagaimana system perencanaan menurut UU 25 2004 dan melihat
permasalahan-permasalahan yang mungkin muncul dalam implementasinya
Perencanaan jangka panjang atau RPJP Daerah dengan periode 20 tahunan memuat visi,
misi dan arah pembangunan daerah. Berangkat dari pengalaman orde baru,
perencanaan jangka panjang 25 tahunan telah gagal mencapai targetnya. Tahapan
pembangunan yang ditargetkan dengan teori pertumbuhan Rostow, tidak pernah
terwujud tahapan tinggal landas di negara kita. RPJP daerah sebagai pedoman dalam
penyusunan RPJM daerah, secara tidak langsung membatasi kampanye visi, misi dan
program calon-calon kepala daerah yang turun dalam Pilkada langsung, mengingat RPJM
daerah ini merupakan penjabaran dari visi, misi dan program Kepala Daerah terpilih.
Artinya, para calon Kepala Daerah dalam berkampanye menyampaikan visi-misi dan
programnya tidak boleh terlepas dari RPJP daerah. Bayangkan jika, ada 5 calon kepala
daerah, maka akan terjadi perebutan isu yang ada dalam RPJP daerah. Disamping itu
perencanaan jangka panjang juga memiliki landasan hukum yang lemah. Baik RPJP
nasional maupun daerah yang ditetapkan dengan undang-undang atau Perda, dapat saja
berubah atau diganti, seiring dengan pergantian pemerintahan nasional maupun daerah,
apabila RPJP yang disusun oleh pemerintahan sebelumnya dianggap tidak sesuai dengan
ideologi ataupun visi mereka. Akibatnya, RPJP daerah bisa saja terus dirubah pada saat

pergantian pemerintahan sehingga tidak berbeda dengan RPJM daerah yang selalu
dirumuskan 5 tahunan. Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) daerah dengan
periode 5 tahunan sebagai penjabaran visi, misi dan program kepala daerah terpilih,
penyusunannya dengan berpedoman pada RPJP daerah dengan memperhatikan RPJM
Nasional. Hal ini memungkinkan membuka peluang ketidak-sinkronan bahkan
pertentangan antara RPJM Daerah dengan RPJM Nasional yang merupakan penjabaran
visi, misi dan arah pembangunan Presiden terpilih. Misal,Presiden terpilih dari Partai A
dengan ideologi X, sementara di daerah tertentu Kepala Daerah terpilih dari Partai B

dengan ideologi Y, akibatnya RPJM nasional dapat bertentangan dengan RPJM daerah
tersebut. Disamping itu, perbedaan pelantikan antara Presiden dengan Kepala daerah
dapat pula menyebabkan ketidaksinkronan antara RPJM Nasional dengan Daerah.
Artinya, RPJM Nasional yang berasal dari Presiden yang akan berakhir masa baktinya
dalam waktu 3 bulan, dijadikan acuan oleh kepala daerah yang baru dilantik dalam
penyusunan RPJM daerahnya. Atau, dalam melakukan kampanye penyampaian visi, misi
dan program kepala daerah juga perlu memperhatikan RPJM Nasional yang berasal dari
Presiden dengan partai politik lain. Kaitannya, dengan UU 32 tahun 2004, terjadi
perbedaan dasar hukum dalam penetapan RPJM daerah, dimana dalam undang-undang
ini ditetapkan melalui Perda. Sementara, pada UU SPPN ditetapkan dengan Peraturan
Kepala Daerah (lihat lampiran persandingan undang-undang). Sisi positifnya, baik RPJP

maupun RPJM dalam penyusunannya melalui Musyawarah Perencanaan Pembangunan
(Musrenbang) perlu mengikutsertakan masyarakat. Namun, justru terjadi kontradiksi
dalam penyusunan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD), karena tidak disebutkan
perlunya keterlibatan masyarakat dalam penyusunannya. Padahal, RKPD sebagai
rencana tahunan merupakan perencanaan berdasarkan kebutuhan masyarakat yang
paling up-to-date dan langsung dirasakan masyarakat. Sedangkan, mendorong
partisipasi masyarakat dalam penyusunan RKPD yang dimaksud dalam undang-undang
ini, hanya dalam hal pendanaan pembangunan. Selain itu, RKPD sebagai penjabaran
RPJM daerah memiliki derajat hokum lemah, karena hanya ditetapkan dengan Peraturan
Kepala Daerah, padahal RKPD ini dijadikan pedoman dalam penyusunan APBD yang
ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Artinya, jika terjadi ketidaksinkronan antara RKPD
dan APBD, maka yang dijadikan acuan dan memiliki landasan aturan lebih kuat adalah
APBD. Sepintas perencanaan yang diatur dalam UU 25 2004 terintegrasi dengan
penganggaran, karena dijadikan pedoman RKPD dalam penyusunan RAPBD. Namun, dari
segi institusi yang berperan sangat memungkinkan terjadinya overlapping peran antara
Bappeda yang mengusung RKPD dengan Pejabat Pengelola Keuangan Daerah yang
mengusung arah kebijakan APBD yang juga tercantum dalam RKPD. Kemungkinan, yang
terjadi apabila kedua institusi ini tidak melakukan koordinasi maka DPRD akan menerima
dua RKPD dari institusi yang berbeda. 1. Perencanaan Pembangunan Berdasatkan
Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 dan Undang -undang Nomor 32 Tahun 2004

Perencanaan adalah suatu proses untuk menentukan tindakan masa depan yang tepat,
melalui urutan pilihan, dengan memperhitungkan sumber daya yang tersedia.
Perencanaan pembangunan sangat diperlukan suatu negara salam mencapai tujuan
bernegara. Salah satu alasan penting perlunya sistem perencanaan pembangunan
nasional adalah untuk menjamin agar pembangunan berjalan efektif, efisien, dan
bersasaran. Tujuan sistem perencanaan pembangunan nasional antara lain adalah: (1)
mendukung koordinasi antarperlaku pembangunan, (2) menjamin terciptanya integrasi,
sinkronisasi, dan sinergi baik antardaerah, antarruang, antarwaktu, antarfungsi
pemerintah maupun antara pusat dan daerah, (3) menjamin keterkaitan dan konsistensi
antara perencanaan, penganggaran, pelaksanaan dan pengawasan, (4) mengoptimalkan
partisipasi masyarakat, dan (5) menjamin tercapainya penggunaan sumber daya secara
efisien, efektif, berkeadilan dan berkelanjutan. Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004
tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional mengatur rahapan perencanaan
pembangunan jangka panjang (20 tahun), jangka menengah (5 tahun) maupun jangka
pendek (1tahun), baik yang dilaksanakan oleh pemerintah pusat (termasuk
kementerian/lembaga =KL) maupun pemerintah daerah (termasuk satuan kerja
perangkat daerah = SKPD). Pada tingkat daerah, perencanaan pembangunan yang
dihasilkan berupa dokumen-dokumen: Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP
Daerah) untuk jangka panjang, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJM
Daerah) dan Rencana Strategis Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renstra-SKPD) untuk


jangka menengah, dan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) serta Rencana Kerja
Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renja SKPD) untuk jangka pendek. Beberapa kritikan
muncul dengan keluarnya Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004, yaitu bahwa lahirnya
peraturan perundangan ini lebih pada upaya mempertahankan eksistensi Bappenas.
Seiring munculnya Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang keuangan negara ada
kekhawatiran lembaga perencanan Bappenas akan dihapus dengan semakin
memperkuat posisi eksistensi Departemen Keuangan. Regulasi kadang memang lahir
tidak berdasarkan kebutuhan yang ada, melainkan lebih karena berbagai pertarungan
kepentingan antardepartemen atau kepentingan politis lainnya. Keterkaitan antar
dokumen perencanaan berdasarkan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 ini dapat
digambarkan dalam skema sebagai berikut: Perencanaan Penganggaran Jangka Panjang
Jangka Menengah Jangka Pendek Berdasarkan skema ini dapat dijelaskan bahwa: a.
Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Daerah dengan periode waktu 20 tahun
memuat visi, misi, dan arah pembangunan daerah. Sehingga kedudukan RPJP Daerah ini
menggantikan kedudukan Pola Dasar Pembangunan (POLDAS) Daerah yang selama ini
menjadi dokumen induk pemerintah daerah atau ”GBHN-nya” daerah. RPJP Daerah
menurut undang-undang ini ditetapkan dengan Peraturan Daerah (Perda) sehingga tidak
menjamin bahwa dalam 20 tahun tersebut dokumen RPJP Daerah tidak berubah seiring
dengan pergantian pimpinan daerah. Jika setiap 5 tahun sekali diubah maka nasib

dokumen RPJP Daerah itu mungkin tidak berbeda dengan RPJP Daerah yang setiap 5
tahun sekali disusun. b. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Menengah (RPJM) Daerah
merupakan penjabaran visi, misi dan arah pembangunan daerah yang ada dalam RPJP
Daerah. RPJM Daerah memuat arah kebijakan keuangan daerah, strategi pembangunan
daerah, kebijakan umum, dan program satuan Kerja Perangkat Daerah, dan program
kewilayahan disertai dengan rencana-rencana kerja dalam rangka regulasi dan