DEGRADASI SOSIAL DALAM INDUSTRI PARIWISA

DEGRADASI SOSIAL DALAM INDUSTRI PARIWISATA DAN TATA
RUANG PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

KIKI RIZKI FITRIYANI
12/330990/GE/07321

1.

PENDAHULUAN
Permukaan bumi merupakan bentangan kompleks yang di dalamnya

terdapat banyak sumberdaya yang khas. Sumberdaya di bumi mampu memenuhi
seluruh kebutuhan makhluk hidup yang keberlanjutannya bergantung pada
kualitas sumberdaya manusia. Pada awalnya, makhluk hidup dan lingkungan
memiliki simbiosis mutualisme. Namun seiring berkembangnya pengetahuan dan
teknologi, simbiosis parasitisme manusia mulai terlihat. Eksploitasi terhadap alam
dan lingkungan banyak dilakukan untuk memenuhi kebutuhan manusia yang kian
melambung.
Geografi sebagai ilmu bumi yang mempelajari fenomena geosfer
dibutuhkan untuk mengetahui dampak yang ditimbulkan dari eksploitasi
sumberdaya alam yang berlebihan. Geografi mampu memperbaikinya melalui tiga

pendekatan. Yaitu, pendekatan kelingkungan, pendekatan kompleks wilayah, dan
pendekatan keruangan. (Daldjoeni, 1982:33)
Pendekatan kelingkungan adalah upaya untuk mengkaji fenomena geosfer
khususnya terhadap interaksi antara makhluk hidup dan lingkungannya. Aktivitas

1

manusia terhadap lingkungannya mengalami tahan-tahapan. Yaitu manusia
tergantung terhadap alam (fisis determinisme). Manusia belum memiliki
kebudayaan yang cukup sehingga pemenuhan kebutuhan hidup manusia dipenuhi
dari apa yang ada di alam. Pada saat alam tidak menyediakan kebutuhannya maka
manusia akan pindah atau mungkin punah. Yang kedua adalah Manusia dan alam
saling mempengaruhi. Manusia memanfaatkan alam yang berlebihan dan tidak
memperhatikan daya dukung serta daya tampungnya, sehingga lingkungan alam
yang rusak berakibat buruk bagi manusia, dan yang terakhir Manusia menguasai
alam. Dengan berkembangnya ilmu, kemampuan, dan budaya, manusia dapat
memanfaatkan alam sebesar-besarnya. (Daldjoeni, 1982:35)
Pendekatan kompleks wilayah ini mengkaji bahwa fenomena geografi
yang terjadi di setiap wilayah memiliki perbedaan. Perbedaan ini membentuk
karakteristik wilayah yang mengakibatkan adanya interaksi suatu wilayah dengan

wilayah lain untuk saling memenuhi kebutuhannya. (Daldjoeni, 1982:37)
Pendekatan keruangan adalah upaya dalam mengkaji persamaan dan
perbedaan fenomena geosfer dalam ruang. Di dalam pendekatan keruangan ini
yang perlu diperhatikan adalah distribusi penggunaan dan penyediaan ruang yang
dimanfaatkan. (Daldjoeni, 1982:40)
Pendekatan keruangan juga merupakan ciri khas yang membedakan ilmu
geografi dengan bidang keilmuan lainnya. Pendekatan ini dapat ditinjau dari tiga
aspek. Yaitu, aspek yang menghubungkan suatu kejadian dengan dengan tema
utama dalam permasalahan. Analisis ini membahas mengenai suatu aspek yang
dikaitkan dengan pengaruh dan bagaimana dampak yang ditimbulkan. Aspek
selanjutnya adalah dengan pendekatan aktivitas manusia yang mendeskripsikan

2

aktivitas manusia dalam lingkup ruang. Kehidupan manusia di dalam kondisi
tempatnya maka akan beradaptasi dan menyesuaikan dengan kondisi ruang yang
ada.

Aspek terakhir adalah pendekatan wilayah, yaitu bahwa persebaran


fenomena geografi tidak merata, sehingga setiap wilayah memiliki karakteristik
dan kelebihan dibandingkan dengan wilayah lain. (Daldjoeni, 1982:43)
Pendekatan - pendekatan dalam geografi inilah yang dijadikan dasar dalam
menyusun tata ruang dengan keterkaitan masyarakat di dalamnya. Objek kajian
yang menjadi topik utamanya adalah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Sebab provinsi ini mengalami perubahan yang sangat signifikan apabila dilihat
dari penduduk dan pertumbuhan kota yang sangat pesat.
Yogyakarta dengan keistimewaannya mampu membuatnya menjadi
provinsi dengan tingkat pariwisata dan budaya terbaik di Indonesia. Batas
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki bentuk menyerupai rumah
adatnya yaitu joglo. Berbagai macam keistimewaan Yogyakarta membuatnya tak
akan habis untuk dituangkan dalam kata-kata. Salah satu keistimewaan
Yogyakarta dapat dilihat dari ragam objek wisata mulai dari kuliner, tempat
bersejarah, pertunjukan tradisional, hingga wisata alam.
Kategori yang terakhir inilah yang saat ini mengalami pertumbuhan sangat
signifikan. Hal ini dikarenakan banyaknya potensi alam di Yogyakarta yang baru
saja muncul dan menjadi tambahan daftar keistimewaan Yogyakarta. Tujuh dari
sembilan bentuk-lahan berada di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Bentuklahan tersebut adalah bentuk-lahan denudasional dan struktural yaitu pada
perbukitan Menoreh, bentuk-lahan vulkanik pada gunung-api Merapi, bentuklahan marin pada pesisir selatan Yogyakarta, bentuk-lahan aeolin pada gumuk
3


pasir barchan daerah selatan Yogyakarta, bentuk-lahan karst pada bagian timur
Yogyakarta. (Pannekoek, 1989:31)
Ketujuh bentang-lahan tersebut membentuk potensi wisata yang menarik
bagi Yogyakarta. Banyaknya potensi wisata yang berada di Yogyakarta tidak
dipungkiri lagi akan menyebabkan daya dukung dan daya tampung lingkungan di
provinsi ini mengalami ketimpangan. Padatnya bangunan akibat ketimpangan
tersebut tentunya menghasilkan kerugian baik secara fisik maupun sosial. Untuk
itu diperlukan adanya pendekatan baru melalui ilmu geografi.
Makalah ini bertujuan untuk mengetahui dampak dari adanya industri
pariwisata terhadap tata ruang dan degradasi sosial yang ada pada masyarakat
Yogyakarta. Aplikasi keilmuan geografi dapat menganalisis dampak industri
pariwisata

melalui

pendekatan-pendekatan

geografi


yang

menghasilkan

komponen dasar sebuah ruang berbasis lingkungan dan keberlanjutan. Dampak
tersebut juga dapat dihubungkan dengan bonus demografi yang kian marak.
Dalam hal ini generasi muda atau usia produktif yang menjadi peran utama
degradasi sosial masyarakat setempat. (Rachman, 2014:15)
Masalah yang akan dibahas adalah masalah tata ruang dan fenomena
degradasi sosial Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dengan sumber
penghasilan per kapita utama wilayah ini yaitu aspek pariwisata. Analisis
dilakukan dengan membandingkan aspek pariwisata Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta dengan dampak yang diterima oleh masyarakat sekitar menggunakan
profil wilayah Yogyakarta dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah
(RPJPD) wilayah Kota Yogyakarta untuk tahun 2002—2025.

4

2.


DAMPAK EKSPLORASI WISATA DAN MASALAH TATA RUANG
WILAYAH
Beberapa lokasi pariwisata di Yogyakarta yang banyak menarik perhatian

turis adalah malioboro, Keraton Yogyakarta, dan berbagai wisata alam seperti
Gunung Merapi serta berbagai pantai di wilayah Kabupaten Bantul dan
Kabupaten Gunungkidul. Meskipun lokasinya bukan berada di Kota Yogyakarta,
akan tetapi jarak tempuh yang diperlukan untuk mencapai lokasi wisata alam
tersebut dari Kota Yogyakarta tidak lama dengan akses yang juga sudah relatif
memadai. (Pemerintah Kota Yogyakarta, 2007:3)
Banyaknya lokasi pariwisata yang ada di sekitaran Kota Yogyakarta ini
berdampak pada menjamurnya pembangunan hotel di Yogyakarta. Hotel atau
penginapan merupakan salah satu prasarana yang mendukung perkembangan
pariwisata sebagai tempat singgah bagi para turis asing maupun turis domestik.
Menurut Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Kota
Yogyakarta untuk tahun 2005—2025, peningkatan kualitas dan kuantitas hotel
terjadi cukup signifikan. Pada tahun 1996 jumlah hotel dan penginapan di Kota
Yogyakarta tercatat sebanyak 294 hotel yang terdiri atas 16 hotel berbintang dan
278 hotel non bintang. Pada tahun 2000, jumlah hotel dan penginapan di Kota
Yogyakarta meningkat menjadi sebanyak 321, yang terdiri atas 19 hotel bintang

dan 302 hotel non bintang. Pada tahun 2005 jumlah hotel dan penginapan menjadi
sebanyak 329 hotel, terdiri dari 23 hotel bintang dan 306 hotel non bintang.
Sementara itu, tingkat hunian kamar hotel tahul 2005 secara keseluruhan
mencapai 43,13% yang mana mengalami peningkatan sebesar 6,68% jika
dibandingkan dengan tahun 2004. (Pemerintah Kota Yogyakarta, 2007:4—7)

5

Begitu besarnya pembangunan hotel yang ada di Kota Yogyakarta ini
menjadi sumbangan Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) yang cukup
besar bagi Kota Yogyakarta. Pada tahun 2000 saja, sektor perdagangan, hotel, dan
rumah makan menyumbang 24,96% PDRB Kota Yogyakarta. Pemasukan ini
tergolong pemasukan yang cukup besar mengingat Yogyakarta merupakan kota
yang kecil dari segi luas wilayah. (Pemerintah Kota Yogyakarta, 2007:4)
Meskipun terlihat menguntungkan, akan tetapi terdapat beberapa dampak
buruk yang terkait dengan permasalahan atau degradasi sosial yang terjadi di Kota
Yogyakarta

akibat


berkembangnya
Yogyakarta

pariwisata

yang

berkembang

pembangunan

hotel

dan

dalam

RPJPD

pesat


penginapan.

Kota Yogyakarta

untuk

seiring
Pemerintah

tahun

dengan
Kota

2005—2025

menyebutkan bahwa mulai tejadi degradasi sosial bagi penduduk Kota Yogyakarta
utamanya akibat dari berkembangnya pesatnya sektor industri pariwisata dan
hotel, antara lain degradasi nilai-nilai moral, sosial dan budaya yang terus terjadi

di masyarakat. (Pemerintah Kota Yogyakarta, 2007:4)
Pertumbuhan penduduk yang tinggi, banyaknya pendatang dari luar kota,
disertai semakin berkembangnya kegiatan perekonomian di Kota Yogyakarta
dapat meningkatkan kebutuhan ruang kota. Keterbatasan ruang dalam kota dan
meningkatnya kebutuhan ruang untuk tempat tinggal serta fungsi-fungsi lainnya
cenderung mengakibatkan terjadinya pemanfaatan ruang di daerah pinggiran kota
dan berubahnya sifat dari kedesaan menjadi kekotaan. Perubahan sifat ini tentunya
diikuti pula oleh perubahan sosial dari masyarakat sekitarnya. Perkembangan
pemanfaatan ruang secara maksimal untuk kegiatan pelayanan ditunjukkan

6

dengan adanya peningkatan pelayanan baik jumlah, macam, radius, maupun
densitas.
Degradasi sosial masyarakat Yogyakarta berasal dari lokasi tempat tinggal
yang dekat dengan objek penyebar budaya global. Dalam hal ini berupa lokasi
pariwisata dan universitas yang kian banyak ada di wilayah Yogyakarta. Lokasi
tersebut memicu masyarakat untuk mengembangkan usaha yang berkaitan dengan
kebutuhan para pendatang. Akibatnya, permintaan pasar yang cenderung modern
dan banyaknya turis asing, membuat masyarakat menjadi lupa akan budaya yang

mereka anut selama ini yang berubah untuk menyesuaikan permintaan pendatang.
Hal ini tentunya sangat buruk bagi remaja yang berada di sekitar lokasi tersebut.
Tentunya mereka akan lebih memilih mana yang mereka anggap lebih modern
tanpa memperhatikan dampak yang ditimbulkan. Budaya global ini akan begitu
cepat meluas ditangan remaja dikarenakan pemahaman akan teknologi yang
menyebabkan degradasi moral apabila tidak digunakan secara bijak.
Degradasi moral yang berada di lingkungan masyarakat Kota Yogyakarta
dicirikan dengan semakin memudarnya budaya Jawa yang memiliki nilai
adiluhung terutama di kalangan generasi muda. Hal ini tampak dari semakin
rendahnya penguasaan dan berkurangnya penggunaan Bahasa Jawa oleh generasi
muda terutama untuk komunikasi formal serta menurunnya tata krama dalam
kehidupan bermasyarakat. Bahasa Jawa hanya digunakan sebagai mulok wajib
pada tiap jenjang sekolah. Bahasa Jawa dianggap tidak modern dan para siswa
cenderung menggunakan Bahasa Indonesia yang tidak baku untuk bercakap-cakap
dan mengutarakan pendapat.

7

Masuknya budaya asing akibat dari globalisasi dan perkembangan
teknologi informasi, terutama budaya asing yang tidak sejalan dengan nilai
budaya daerah dan nilai religius. Derasnya arus informasi dan hiburan berkarakter
budaya asing selain menimbulkan dampak positif bagi masyarakat, akan tetapi
dapat berpotensi menimbulkan dampak negatif berupa memudarnya nilai-nilai
religius dan norma-norma sosial serta mendorong berkembangnya penyakit
masyarakat. (Raharjana, 2013:105)
Apresiasi masyarakat yang kurang dan cenderung menurun terhadap
produk-produk budaya tradisional tertentu, seperti wayang kulit dan ketoprak,
yang disebabkan oleh kecenderungan masyarakat memilih budaya modern yang
lebih populer dan serba materialistik. Perkembangan seni yang mengacu pada
tradisi baru lebih mengedepankan unsur modern dibandingkan unsur klasik dan
tradisional.
Meningkatnya kecenderungan sikap acuh atau apatis dari sebagian
kelompok masyarakat dalam menciptakan tata kehidupan bermasyarakat yang
bersih, sehat, tertib dan aman menunjukkan partisipasi masyarakat dalam
menciptakan Kota Yogyakarta yang “Berhati Nyaman” masih belum optimal. Di
samping itu, ikatan sosial di masyarakat semakin merenggang, masyarakat
semakin bersikap permisif terhadap pelanggaran nilai budaya, moral dan agama.
(Baskoro dan Sunaryo, 2010:137)
Penurunan moral, meningkatnya kriminalitas, semakin tidak diamalkannya
norma norma religius, perubahan budaya yang cenderung negatif, berkembangnya
budaya kekerasan, termasuk kekerasan dalam rumah tangga dan semakin
tingginya persaingan yang cenderung menjadi tidak sehat. Salah satu yang perlu
8

mendapatkan perhatian serius adalah penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika,
dan Zat Adiktif (NAPZA). (Parikesit dan Wiwied, 2005:28)
Banyaknya pendatang dari luar Yogyakarta, yang kita tahu bahwa
Yogyakarta merupakan salah satu pusat pendidikan yang cukup besar di Indonesia
sehingga menciptakan suasana baru dengan pergaulan yang tidak terkontrol atau
pergaulan bebas karena tidak adanya pengawasan dari para orangtua sehingga
banyak di antara mereka yang hamil di luar nikah dan hal itu jelas meningkatkan
jumlah pertumbuhan penduduk di Yogyakarta.
Penyalahgunaan akan adanya hotel dan penginapan di Yogyakarta juga
merupakan salah satu ciri degradasi sosial. Beberapa contoh kasus yang banyak
terjadi yaitu hotel dijadikan sebagai tempat prostitusi seperti untuk pesta narkoba,
melakukan tindakan asusila, dan lain-lain. Hal tersebut yang kini menjadi
perhatian dari pemerintah Kota Yogyakarta terkait dengan mulai bermunculannya
fenomena degradasi sosial yang diakibatkan oleh berkembangnya sektor
pariwisata yang diikuti oleh maraknya pembangunan hotel dan penginapan.
(Baskoro dan Sunaryo, 2010:138)
Kegiatan pariwisata dalam hal ini membuat dampak negatif yang berakibat
pada degradasi sosial pada setiap masyarakatnya. Arus global yang semakin lama
semakin menunjukkan tidak adanya batas antar tiap negara di dunia menyebabkan
budaya tradisional menjadi tidak tampak lagi. Budaya itu seakan nampak kuno
dan hampir mirip seperti zaman batu yang ceritanya hanya dapat dilihat dalam
diorama museum. (Gunawan, 1998:7)
Dampak positif yang didapatkan dari adanya pariwisata selain pendapatan
domestik regional bruto (PDRB) Yogyakarta menjadi tinggi. Namun, dari sudut
9

pandang budaya, Yogyakarta menjadi semakin kebal akan dampak negatif
globalisasi. Hal ini disebabkan karena intensitas pertunjukan budaya menjadi
sering dilakukan yang dimaksudkan untuk meregenerasi pelaku budaya serta
ragam percampuran budaya tradisional dan budaya modern yang sangat variatif.
Pariwisata Yogyakarta memerlukan peraturan-peraturan baru yang
menyangkut pelestarian budaya dan tata ruang wilayah Yogyakarta. Mengingat
Indonesia

akan

mengalami

bonus

demografi

pada

tahun

2020—2035

mengindikasikan banyaknya generasi penerus bangsa yang berbondong-bondong
meningkatkan skill masing-masing dibidang budaya agar dapat bersaing dengan
masyarakat dunia. Tentunya hal ini menjadi pintu kesempatan pengelolaan
pariwisata dan budaya untuk lebih meningkatkan kapasitas daya jual dan daya
tampilan yang menarik untuk membuat bangsa lain kagum akan kebudayaan yang
dimiliki.
Yogyakarta sebagai daerah istimewa yang memiliki gubernur yang turun
temurun menyebabkan kekentalan akan adat istiadat sulit untuk dihapuskan. Oleh
karena itu, degradasi sosial yang ada di Yogyakarta dapat diminimalisir oleh
banyaknya aktivitas budaya yang sering diadakan di Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta. Sehingga, Yogyakarta patut untuk dicontohkan sebagai ujung tombak
kebudayaan modern bagi Indonesia. Dampak negatif serta dampak positif yang
timbul oleh adanya pengaruh asing yang masuk ke Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta menjadi pembelajaran yang sangat baik di kalangan masyarakat
Yogyakarta untuk merubahnya menjadi budaya kontemporer tradisi baru yang
patut untuk diperhitungkan. Sehingga banyak generasi muda yang ingin menjadi
pelaku budaya dan ingin mengambil andil dalam kancah global.

10

3.

PENUTUP
Perkembangan pariwisata di Yogyakarta dalam pembangunan regional

memberi gambaran yang lebih kompleks daripada hubungan yang menganggap
pariwisata sebagai variabel tergantung daripada variabel bebas. Bagi Yogyakarta
yang termasuk dalam kota metropolitan dengan penduduk di atas sejuta orang
telah menjadi tujuan utama pariwisata penduduk domestik dan luar negeri memicu
proses yang kurang terkendali dan tidak seimbang dengan pertumbuhan ekonomi
dan daya dukung lingkungan, dapat merupakan salah satu faktor yang dapat
mengancam pembangunan kota-kota tersebut.
Berkembangnya insfrastruktur di Yogyakarta yang mendukung sektor
pariwisata seperti hotel, perdagangan, restoran, pengangkutan, komunikasi, dan
jasa membuat Yogyakarta semakin mengalami kemajuan di bidang perekonomian.
Tetapi karena perkembangannya yang semakin pesat sehingga menimbulkan
degradasi sosial antara lain ikatan sosial di masyarakat semakin merenggang,
masyarakat semakin bersikap permisif terhadap pelanggaran nilai budaya, moral
dan agama, penurunan moral, meningkatnya kriminalitas, semakin tidak
diamalkannya norma norma religius, perubahan budaya yang cenderung negatif,
berkembangnya budaya kekerasan, termasuk kekerasan dalam rumah tangga dan
semakin tingginya persaingan yang cenderung menjadi tidak sehat. Untuk itu
kemajuan infrastruktur dan industri pariwisata yang pesat di Yogyakarta juga
perlu diperhatikan agar tidak terjadi penyimpangan yang akan menimbulkan
masalah.

11

Perkembangan moral sejak dini dan penanaman nilai budaya yang kepada
generasi muda akan menambah cinta akan budaya masing-masing dan cenderung
akan merawat dan melestarikan budaya sebagai modal dalam mengeksplorasi
pariwisata Yogyakarta. Pariwisata ini juga akan berhubungan langsung dengan
tata ruang yang akan memudahkan akses menuju tempat wisata serta fasilitas
penginapan dan kebutuhan primer yang disediakan.
Yogyakarta adalah provinsi yang istimewa. Di dalamnya kaya akan budaya
peningalan yang hingga kini masih terjaga dan terawat kelestariannya.
Perkembangan pariwisata yang ada di provinsi ini sebaiknya diikuti oleh tata
ruang yang baik dan budaya tradisional yang kental pada tiap-tiap sektor
pariwisata yang dikembangkan.

DAFTAR PUSTAKA

Baskoro, Henky dan Seno Sunaryo. 2010. Catatan Perjalanan Keistimewaan
Yogyakarta: Merunut Sejarah, Mencermati Perubahan, Menggagas Masa
Depan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

12

Daldjoeni, M. 1982. Pengantar Geografi. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Yogyakarta. 2006. Profil Kabupaten/Kota
Provinsi DI Yogyakarta. Yogyakarta: Pemerintah Kota Yogyakarta.
Gunawan, M.P. 1998. Tata Ruang Pariwisata Indonesia: Penetaan Ruang
dan Pembangunan Wilayah Yogyakarta. Jurnal Nasional
Pariwisata. Vol.VII: 1—14. Jakarta.
Pannekoek, A. J. 1989. Garis Besar Geomorfologi Pulau Jawa. Terjemahan oleh
Budio Basri. Jakarta: Fakultas MIPA Universitas Indonesia.
Parikesit, Danang dan Wiwied Trisnadi. 2005. Kebijakan Kepariwisataan
Indonesia Dalam Pembangunan Jangka Panjang. Jakarta: Media Bangsa.
Pemerintah Kota Yogyakarta. 2007. Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Daerah Kota Yogyakarta (RJPD) Tahun 2005—2025. Yogyakarta:
Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 1 Tahun 2007.
Rachman, A. F. 2014. Geografi Pariwisata Jawa Bali. Jakarta: Media Bangsa.
Raharjana, Dwi Ahimsaputra dan Heddy Suyito. 2013. Dampak Sosial Budaya
Pembangunan Pariwisata. Pusat Penelitian dan Pengembangan Pariwisata
Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta: PUSPAR-UGM.
Suryadana, Wiryawan. 2001. Geografi Pariwisata. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

13