KREDIT MACET DALAM HUKUM PERBANKAN

KREDIT MACET DALAM HUKUM PERBANKAN
Kredit yang diberikan oleh bank mengandung resiko sehingga bank dituntut kemampuan dan
efektivitasnya dalam mengelola resiko kredit dan meminimalkan potensi kerugian sehingga bank
wajib memperhatikan asas perkreditan yang sehat:
1. Bank tidak diperkenankan memberikan kredit tanpa surat perjanjian tertulis.
2. Bank tidak diperkenankan memberi kredit pada usaha yang dari awal telah diperhitungkan
kurang sehat dan akan membawa kerugian.
3. Bank tidak diperkenankan memberikan kredit untuk pembelian saham dan modal kerja dalam
rangka kegiatan jual beli saham.
4. Memberikan kredit melampaui batas maksimum pemberian kredit (legal ending limit).
Bank dalam menyalurkan dana untuk kredit harus didasarkan pada adanya suatu jaminan. Yang
dimaksud jaminan dalam pemberian kredit adalah keyakinan bank atas kesanggupan debitur
untuk melunasi kredit sesuai dengan yang diperjanjikan.
KREDIT BERMASALAH adalah kondisi dimana debitur mengingkari janjinya membayar
bunga dan atau kredit induk yang telah jatuh tempo, sehingga terjadi keterlambatan pembayaran
atau sama sekali tidak ada pembayaran.
FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KREDIT BERMASALAH
I. FAKTOR INTERN BANK


Rendahnya kemampuan bank dalam melakukan analisis permohonan kredit. Misal; kredit

diberikan tanpa pendapat atau saran dari komite kredit, taksasi nilai jaminan lenih tinggi
dari nilai riil, kredit diberikan kepada perusahaan yang belum berpengalaman, daftar
keuangan dan dokumen pendukung yang diserahkan kepada bank adalah hasil rekayasa,
serta bank tidak memperhatikan laporan pihak ketiga yang kurang mendukung



permohonan debitur.
Lemahnya sistem informasi, pengawasan,dan administrasi kredit. Dapat dilihat dari
penarikan dana kredit sebelum dokumen kredit selesai, surat teguran atas tunggakan
kepada debitur tidak disertai dengan tindakan riil, bank jarang mengadakan analisis cash-

flow, status kredit, bank tidak mengawasi penggunaan kredit, komunikasi antara bank
dengan debitur kurang lancar, tidak ada rencana dan jadwal yang tegas mengenai
pembayaran kembali, bank tidak meminta dan menerima neraca rugi/laba, bank gagal
menerapkan sistem dan prosedur tertulis mereka, bank mengabaikan cerukan debitur,


serta bank tidak berhasil meninjau kondisi fasilitas produksi debitur.
Campur tangan berlebihan. Kredit diberikan atas usul dari pihak petugas bank yang

bersahabat dengan debitur, pimpinan puncak bank terlalu dominan dalam proses



pengambilan keputusan kredit.
Lemahnya pengikatan jaminan yang kurang sempurna. Kurang sempurna dalam hal ini
maksudnya seperti penambahan kredit tanpa jaminan yang cukup, tidak dapat merealisir
jaminan kredit, serta bank tidak berhasil menguasai jaminan secepatnya ketika terdapat
tanda kredit yang diberikan berkembang ke arah kredit bermasalah.

PENGGOLONGAN KREDIT BERMASALAH (Berdasarkan Pasal 10 Peraturan Bank
Indonesia No. 7/2/PBI/2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum)
1. LANCAR
2. DALAM PERHATIAN KHUSUS
3. KURANG LANCAR








Terdapat tunggakan angsuran pokok dan/atau bunga yang telah melampaui 90 hari
Sering terjadi cerukan
Frekuensi mutasi rekening relative rendah
Terjadi pelanggaran kontrak yang telah diperjanjikan selama 90 hari
Terdapat indikasi masalah keuangan yang dihadapi debitur
Dokumentasi pinjaman yang lemah

4. DIRAGUKAN






Terdapat tunggakan angsuran pokok dan/atau bunga yang telah melampaui 180 hari
Terjadi cerukan yang bersifat permanen
Terjadi wanprestasi lebih dari 180 hari
Terjadi kapitalisasi bunga

Dokumentasi hukum yang lemah baik untuk perjanjian kredit maupun pengikatan
jaminan

5. MACET




Terdapat tunggakan angsuran pokok dan/atau bunga lebih dari 270 hari
Kerugian operasional ditutup dengan pinjaman baru
Dari segi hukum, maupun segi pasar, jaminan tidak dapat dicairkan pada nilai wajar.

II. FAKTOR KETIDAKLAYAKAN DEBITUR
1. Debitur Perorangan



Sumber: penghasilan
Gangguan: kesehatan, kematian, perceraian.


2. Debitur Korporasi


Salah urus/mismanagement, kurangnya pengetahuan dan pengalaman, dan adanya
penipuan.

III. FAKTOR EKSTERN




Menurunnya kegiatan ekonomi
Tingginya suku bunga kredit
Pemanfaatan iklim persaingan dunia perbankan yang tidak sehat oleh debitur yang tidak



bertanggungjawab.
Musibah yang menimpa perusahaan debitur.


Sumber-sumber penyebab terjadinya kegagalan pengembalian kredit oleh nasabah atau penyebab
terjadinya kredit bermasalah pada bank dapat dikemukakan sebagai berikut:
1. Self Dealing
Self dealing terjadi karena adanya interest tertentu dari pejabat pemberi kredit terhadap
permohonan yang diajukan nasabah, berupa pemberian kredit yang tidak layak atas dasar yang
kurang sehat terhadap nasabahnya dengan harapan mendapatkan kompensasi berupa pemberian
imbalan dari nasabah.
2. Anxiety for Income

Pendapatan yang diperoleh melalui kegiatan perkreditan merupakan sumber pendapatan utama
sebagian besar bank sehingga ambisi ataupun nafsu yang berlebihan untuk memperoleh laba
bank melalui penerimaan bunga kredit sering menimbulkan pertimbangan yang tidak sehat
dalam pemberian kredit.
3. Compromise of Credit Principles
Pelanggaran prinsip-prinsip kredit oleh pimpinan bank yang menyetujui pemberian kredit yang
mengandung risiko yang potensial menjadi kredit yang bermasalah.
4. Incomplete Credit Information
Terbatasnya informasi seperti data keuangan dan laporan usaha, disamping informasi lainnya
seperti penggunaan kredit, perencanaan, ataupun keterangan mengenai sumber pelunasan
kembali kredit.

5. Failure to Obtain or Enforce Liquidation Agreements
Sikap ragu-ragu dalam menentukan tindakan terhadap suatu kewajiban yang telah diperjanjikan,
meskipun nasabah mampu dan wajib membayarnya, juga merupakan penyebab timbulnya kreditkredit yang tidak sehat dan mengakibatkan kredit bermasalah bagi bank.
6. Complacency
Sikap memudahkan suatu masalah dalam proses kredit akan mengakibatkan terjadinya kegagalan
atas pelunasan kembali kredit yang diberikan
7. Lack of Supervising
Karena kurangnya pengawasan yang efektif dan berkesinambungan setelah pemberian kredit,
kondisi kredit berkembang menjadi kerugian karena nasabah tidak memenuhi kewajibannya
dengan baik.
8. Technical Incompetence
Tidak adanya kemampuan teknis dalam menganalisis permohonan kredit dari aspek keuangan
meupun aspek lainnya akan berakibat kegagalan dalam operasi perkreditan suatu bank. Para

pejabat kredit harus senantiasan meningkatkan pengetahuan dan kemampuan yang berkaitan
dengan tugasnya dan jangan memberikan kredit kepada usaha atau sektor yang tidak dikenal
dengan baik.
9. Poor Selection of Risks




Risiko tersebut dapat dijelaskan dibawah ini:
Pejabat kredit mampu mendeteksi kemampuan nasabah dalam membiayai usahanya,




selain yang diperoleh dari bank.
Pejabat kredit harus mampu menghitung berapa kebutuhan nasabah yang sesungguhnya.
Pejabat kredit harus mampu menghitung nilai taksasi jaminan yang mengcover kredit



yang diberikan
Pejabat kredit harus mampu memperhitungkan kemungkinan risiko yang dihadapi dengan



pemberian kredit dan mengetahui sumber pelunasan.
Pejabat kredit harus mampu mendeteksi risiko pemberian kredit yang mungkin secara




kemampuan cukup baik, tetapi dari sisi moral kurang menguntungkan bagi bank.
Pejabat kredit harus mampu mendeteksi kualitas jaminan yang akan menimbulkan
masalah di kemudian hari.

10. Overlending
Overlending adalah pemberian kredit yang besarnya melampaui batas kemampuan pelunasan
kredit oleh nasabah.
11. Competition
Competition merupakan risiko persaingan yang kurang sehat antar bank yang memperebutkan
nasabah yang berakibat pemberian kredit yang tidak sehat.
DAMPAK KREDIT BERMASALAH
1. Terhadap kelancaran operasi bank pemberi kredit dalam pandangan bank sentral:


Aktiva produktif bank yang diragukan kolektibilitasnya (kewajiban PPAP=penyisihan





penghapusan aktiva produktif)
Menurunnya profitabilitas ( ROA= Return On Asset)
Mengurangi jumlah modal bank yang berakibat pada menurunnya persentase car dan
bank harus memasukkan modal.

2. Terhadap industri perbankan


Turunnya likuiditas, solvabilitas, dan kepercayaan masyarakat

Bank systemic risk
3. Terhadap kehidupan ekonomi dan moneter negara


Peranan bank sebagai lembaga intermediasi tidak dapat berfungsi sehingga akan
memperkecil kesempatan peluang bisnis, proyek baru, lapangan kerja baru, dsb.

Secara operasional penanganan penyelamatan kredit bermasalah dapat ditempuh melalui

beberapa cara diantaranya:
a. Penjadwalan Kembali ( rescheduling )
Perubahan syarat kredit yang menyangkut jadwal pembayaran dan atau jangka waktu termasuk
masa tenggang, baik meliputi perubahan besarnya angsuran maupun tidak.
b. Persyaratan Kembali ( reconditioning )
Perubahan sebagian atau seluruh syarat-syarat kredit yang tidak terbatas pada perubahan jadwal
pembayaran, jangka waktu dan atau persyaratan lainnya sepanjang tidak menyangkut perubahan
maksimum saldo kredit dan konversi seluruh atau sebagian dari pinjaman menjadi penyertaan
bank.
c. Penataan Kembali ( restructuring )
Perubahan syarat-syarat kredit berupa penambahan dana bank dan atau konversi seluruh atau
sebagian tunggakan bunga menjadi pokok kredit baru dan atau konversi seluruh atau sebagian
dari kredit menjadi penyertaan dalam perusahaan.
Penanganannya lebih banyak ditekankan melalui beberapa upaya yang lebih bersifat pemakaian
kelembagaan hukum, diantaranya:
a. Melalui Panitia Urusan Piutang Negara dan Badan Urusan Piutang Negara

Mekanisme penanganan piutang negara oleh PUPN yaitu apabila utang negara tersebut telah
diserahkan pengurusan kepadanya oleh pemerintah atau bank milik negara tersebut kemudian
setelah dirundingkan oleh panitia dengan penanggung utang dan diperoleh kata sepakat tentang
jumlah utang yang harus dibayar termasuk bunga uang, denda serta biaya yang bersangkutan
dengan piutang ini oleh ketua panitia dan penanggung utang/penjamin utang dibuat surat
pernyataan bersama yang memuat jumlah dan kewajiban penanggung utang untuk melunasinya.
Pelaksanaannya dilakukan oleh ketua panitia.
b. Melalui badan peradilan
Dalam hal debitur tidak memenuhi kewajibannya, setiap kreditur dapat mengajukan gugatan
untuk memperoleh keputusan pengadilan. Peradilan yang dapat menangani kredit bermasalah
yaitu peradilan umum melalui gugatan perdata dan peradilan niaga melalui gugatan
kepailitan.Apabila sudah ditetapkan keputusan pengadilan yang kemudian mempunyai kekuatan
hukum untuk dilaksanakan atas dasar perintah dan dengan pimpinan ketua pengadilan negeri
yang memeriksa gugatannya pada tingkat pertama, menurut ketentuan-ketentuan HIR pasal 195
dan selanjutnya. Atas perintah ketua pengadilan ketua pengadilan tersebut dilakukanlah
penyitaan harta kekayaan debitur, untuk kemudian dilelang dengan perantara kantor lelang. Dari
hasil pelelangan itu kreditur memperoleh pelunasan piutangnya.
c. Melalui arbitrase atau Badan Alternatif Penyelesaian Sengketa
Dilakukan melalui lembaga arbitrase, yaitu suatu badan yang dipilih oleh para pihak yang
bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu. Para pihak dapat memilih
arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai pengetahuan, pengalaman, serta latar belakang
yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, jujur dan adil, para pihak dapat menentukan
pilihan hukum untuk menyelesaikan masalahnya, serta proses dan tempat penyelenggaraan
arbitrase, serta putusan arbitrase.
d. Melalui Badan Penyehatan Perbankan Nasional
Dilakukan melalui tindakan pemantauan kredit, peninjauan ulang, pengubahan, pembatalan,
pengakhiran dan atau penyempurnaan dokumen kredit dan jaminan, restrukturisasi kredit,

penagihan piutang, penyertaan modal pada debitur, memeberikan jaminan atau penanggungan,
pemberian atau penambahan fasilitas pembiayaan dan atau penghapusbukuan piutang.

KASUS KREDIT MACET ANTARA BANK UOB BUANA DENGAN CV DELIMA JAYA
Perusahaan industri karoseri kendaraan bermotor itu dimohonkan pailit oleh PT Bank UOB
Indonesia Tbk lantaran berutang sebesar Rp42,349 miliar. Majelis hakim Pengadilan Niaga
Jakarta Pusat telah menggelar persidangan perkara No. 46/Pailit/2009/PN.NIAGA.JKT.PST itu
Rabu (26/8/2009).
UOB Indonesia juga menyasar Wiyanta selaku termohon II pailit. Wiyanta merupakan pengurus
sekaligus perjamin pribadi utang CV Delima Jaya. Hal itu tertuang dalam akta jaminan pribadi
No. 44. Akta jaminan menentukan Wiyanta membayar utang CV Delima Jaya seketika dan
sekaligus kepada UOB Indonesia tanpa syarat.
Hubungan hukum UOB Indonesia dan CV Delima Jaya dimulai ketika penandatanganan akta
perjanjian kredit dan pemberian jaminan No. 41 pada 31 Oktober 2007. Akta itu kemudian
diamandemen pada 19 September 2008 dan dibuat di bawah tangan. Untuk menjamin pelunasan
utang, para termohon memberikan jaminan berupa empat sertifikat hak tanggungan, dua
sertifikat jaminan fidusia dan jaminan pribadi atas nama Wiyanta. Dalam gugatan tak disebut
berapa jumlah kredit yang diberikan.
Dalam perjalanannya, kredit CV Delima Jaya mulai macet pada 6 Januari 2009. UOB Indonesia
lalu memberitahukan seluruh fasilitas kredit CV Delima Jaya berakhir pada 30 Juni 2009. CV
Delima Jaya wajib melunasi utangnya 15 hari setelah 30 Juni 2009. Pengakhiran kredit sepihak
itu ditentukan dalam perjanjian kredit, dimana UOB Indonesia berhak membatalkan tanpa syarat
fasilitas kredit CV Delima Jaya bila pembayaran kredit tak lancar.
Hingga lewat jatuh tempo pada 15 Juli 2009, CV Delima Jaya tak jua melunasi utangnya. Pada
22 Juli 2009, UOB Indonesia kembali mengirimkan surat permintaan pelunasan utang sebesar
Rp41,871 miliar. Paling lambat harus dibayar pada 30 Juli 2009. Namun hingga permohonan
pailit diajukan, CV Delima Jaya masih menunggak utang pada UOB Indonesia. Hingga 3
Agustus 2009, utang CV Delima Jaya diperhitungkan sebesar Rp42,349 miliar.
Selain itu, CV Delima Jaya berutang pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Bogor dan PT Bank
Mandiri (Persero) Tbk. Dengan begitu, syarat kepailitan berdasarkan Pasal 2 ayat (1) UU
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) No. 37 Tahun 2004 telah

terbukti. Yakni, adanya utang yang jatuh tempo dan dapat ditagih, serta terdapat dua kreditur atau
lebih.
UOB Indonesia juga meminta majelis hakim agar menunjuk dan mengangkat Royandi Haikal
sebagai kurator atau pengurus apabila ada permohonan PKPU.

ANALISIS
Untuk menyelesaikan kredit bermasalah itu dapat ditempuh dua cara yaitu penyelamatan kredit
dan penyelesaian kredit. Yang dimaksud dengan penyelamatan kredit adalah suatu langkah
penyelesaian kredit bermasalah melalui perundingan kembali antara bank sebagai kreditor dan
nasabah peminjam sebagai debitor, sedangkan penyelesaian kredit lainnya adalah langkah
penyelesaian kredit bermasalah melalui lembaga hukum. Yang dimaksud dengan lembaga hukum
dalam hal ini adalah Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) dan Direktorat Jendral Piutang dan
Lelang Negara (DJPLN), melalui Badan Peradilan, dan melalui Arbitrase atau Badan Alternatif
Penyelesaian sengketa. Mengenai penyelamatan kredit bermasalah dapat dilakukan dengan
berpedoman kepada Surat Edaran Bank Indonesia No. 26/4/BPPP tanggal 29 Mei 1993 yang
pada prinsipnya mengatur penyelamatan kredit bermasalah sebelum diselesaikan melalui
lembaga

hukum

adalah

melalui

alternatif

penanganan

secara

penjadwalan

kembali

(rescheduling), persyaratan kembali (reconditioning), dan penataan kembali (restructuring).
Dalam surat edaran tersebut yang dimaksud dengan penyelamatan kredit bermasalah melalui
rescheduling, reconditioning, dan restructuring adalah sebagai berikut:
Melalui rescheduling (penjadwalan kembali), yaitu suatu upaya hukum untuk melakukan
perubahan terhadap beberapa syarat perjanjian kredit yang berkenaan dengan jadwal pembayaran
kembali/ jangka waktu kredit termasuk tenggang (grace priod), termasuk perubahan jumlah
angsuran. Bila perlu dengan penambahan kredit.
Melalui reconditioning (persyaratan kembali), yaitu melakukan perubahan atas sebagian atau
seluruh persyaratan perjanjian, yang tidak terbatas hanya kepada perubahan jadwal angsuran,
atau jangka waktu kredit saja. Tetapi perubahan kredit tersebut tanpa memberikan tambahan
kredit atau tanpa melakukan konversi atas seluruh atau sebagian dari kredit menjadi equity
perusahaan.
Melalui restructuring (penataan kembali), yaitu upaya berupa melakukan perubahan syarat-syarat
perjanjian kredit berupa pemberian tambaha kredit, atau melakukan konversi atas seluruh atau
sebagian kredit menjadi perusahaan, yang dilakukan dengan atau tanpa rescheduling atau
reconditioning.

Sedangkan mengenai penyelesaian kredit bermasalah dapat dikatakan merupakan langkah
terakhir yang dapat dilakukan setelah langkah-langkah penyelamatan sebagaimana diatur dalam
Surat Edaran Bank Indonesia No. 26/4/BPPP yang berupa restrukturisasi tidak efektif lagi.
Dikatakan sebagai langkah terakhir karena penyelesaian kredit bermasalah melalui lembaga
hukum memang memerlukan waktu yang relatif lama, dan bila melalui badan peradilan maka
kepastian hukumnya baru ada setelah putusan pengadilan itu memperoleh kekuatan hukum tetap.
Mengingat penyelesaian melalui badan peradilan itu membutuhkan waktu yang relatif lama,
maka penyelesaian kredit bermasalah itu dapat pula melalui lembaga-lembaga lain yang
kompeten dalam membantu menyelesaikan kredit bermasalah. Kehadiran lembaga-lembaga lain
itu dimaksudkan dapat mewakili kepentingan kreditor dan debitor dalam menangani kredit
macet.
Sarana hukum yang dapat dipergunakan untuk mempercepat penyelesaiaan masalah kredit macet
perbankan yaitu menurut pasal 1178 ayat (2) KUH Perdata Kreditur pemegang Hipotik pertama
(sekarang dikenal dengan Pemegang Hak Tanggungan sesuai dengan Undang-Undang No.4
Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan) dapat diberi kuasa untuk menjual barang agunan dimuka
umum untuk melunasi hutang pokok atau bunga yang tidak dibayar oleh debitur sebagaimana
mestinya. Dengan demikian pelaksanaannya tidak memerlukan fiat/persetujuan Ketuan
Pengadilan Negeri atau proses penyitaan serta tidak memerlukan adanya grosse akte. Namun
pelaksanaan pasal dimaksud harus dilakukan dengan memperhatikan pasal 1211 KUH Perdata
yaitu melalui Kantor Lelang Negara sekarang Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang
(KPKNL).
Perlu diketahui bersama bahwa Undang-Undang Perbankan tidak cukup akomodatif untuk
mengatur masalah kredit macet. Hal ini terbukti dari: a) UU Perbankan No.7 Tahun 1992 jo. UU
No.10 Tahun 1998 tidak cukup banyak pasal yang mengatur tentang kredit macet; b) UU
Perbankan No.7 Tahun 1992 jo. UU No.10 Tahun 1998 tidak mengatur jalan keluar dan langkah
yang ditempuh perbankan menghadapi kredit macet; c) UU Perbankan No.7 Tahun 1992 jo. UU
No.10 Tahun 1998 tidak menunjuk lembaga mana yang menangani kredit macet, dan sejauh
mana keterlibatannya, dan 4) UU Perbankan No.7 Tahun 1992 jo. UU No.10 Tahun 1998 tidak
memberikan tempat yang cukup baik kepada komisaris bank sebagai badan pengawas.

Prinsip kehati-hatian adalah suatu prinsip yang menegaskan bahwa bank dalam menjalankan
kegiatan usaha baik dalam penghimpunan terutama dalam penyaluran dana kepada masyarakat
harus sangat berhati-hati. Tujuan dilakukannya prinsip kehati-hatian ini agar bank selalu dalam
keadaan sehat menjalankan usahanya dengan baik dan mematuhi ketentuan-ketentuan dan
norma-norma hukum yang berlaku di dunia perbankan. Prinsip kehati-hatian tertera dalam Pasal
2 dan Pasal 29 ayat (2) UU No 10 tahun 1998. Biasanya untuk pemberian kredit dalam jumlah
yang besar dengan jangka waktu menengah atau panjang, seperti kredit investasi, kredit modal
kerja, kredit sindikasi biasanya dibuat dalam bentuk akta notaris atau akta otentik.

KESIMPULAN
Penanganan kredit bermasalah sebelum diselesaikan secara yudisial dilakukan melalui
penjadwalan (rescheduling), persyaratan (reconditioning), dan penataan kembali (restru cturing).
Penanganan dapat melalui salah satu cara ataupun gabungan dari ketiga cara tersebut. Setelah
ditempuh dengan cara tersebut dan tetap tidak ada kemajuan penanganan, selanjutnya
diselesaikan secara yudisial melalui jalur pengadilan, pengadilan Niaga, melalui PUPN, dan
melalui Lembaga Paksa Badan
Sarana hukum yang dapat dipergunakan untuk mempercepat penyelesaiaan masalah kredit macet
perbankan melalui pelaksanaan pasal 1178 ayat (2) KUH Perdata Kreditur Pemegang Hak
Tanggungan Pertama dapat diberi kuasa untuk menjual barang agunan dimuka umum untuk
melunasi hutang pokok atau bunga yang tidak dibayar oleh debitur sebagaimana mestinya, dan
dengan cara pemegang grosse akte dapat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan
Negeri setempat selain itu perlu dibentuk undang undang khusus tentang penanggulangan kredit
macet baik dari segi hukum substantif, pengawasan preventif ataupun segi prosedural atau segi
represif lainnya.
Dalam kasus diatas pemberian kredit yang dilakukan Bank UOB Buana kepada CV Delima Jaya
dapat dikatakan dalam jumlah yang sangat besar akan tetapi dibuat dalam perjanjian bawah
tangan yang menurut pendapat saya hal tersebut bertentangan atau melanggar prinsip kehatihatian dalam pemberian kredit.