ANALISIS DALAM PENGEMBANGAN KEEKONOMIAN pdf

ANALISIS DALAM PENGEMBANGAN KEEKONOMIAN
COALBED METHANE DI INDONESIA
Oleh :
Petra Vitara Wimar *
Dr. Ir. Ratnayu Sitaresmi, MT **
Ir. M.G. Sri Wahyuni, MT ***

Sari
Kebutuhan energi di Indonesia setiap tahun nya selalu mengalami peningkatan, namun jumlah produksi energi
di Indonesia tidak mampu mengimbangi hal tersebut. Selama ini, salah satu penyumbang terbesar kebutuhan energi di
Indonesia berasal dari migas konvensional, namun cadangan nya yang sudah menipis membuat alternatif lain seperti
Coalbed Methane menjadi sangat diperlukan. Sayangnya, banyak kontraktor yang belum melirik industri ini karena
sentimen investasi CBM yang negatif. Untuk Itulah, peneliti melakukan studi analisis mengenai metode untuk
mempercepat pengembangan CBM di Indonesia. Strategi yang agresif perlu dilakukan karena besarnya kekuatan dan
peluang di bidang CBM yang harus dimanfaatkan. Sistem bagi hasil di Indonesia perlu diubah menggunakan Gross
PSC with Sliding Scale, hal tersebut dapat memberikan keekonomian yang menarik kepada kontraktor. Kontraktor
bisa mendapatkan IRR yang cukup tinggi seperti 12.4% pada skala kecil, 12.6% pada skala sedang, dan 12.22% pada
skala besar. Hal tersebut terjadi karena mengasumsikan penurunan harga yang diakibatkan modifikasi PTK-007
tentang pengadaan barang dan jasa, perbaikan KKS, dan membedakan standard migas konvensional dengan nonkonvensional serta mudahnya menjual gas yang diakibatkan modifikasi PTK-029. Selain itu mengikutsertakan
kontraktor dalam proyek downstream, mempermudah perizinan menjadi “1 pintu 1 izin”, dan statement formal dari
pemerintah untuk membuat harga dari gas CBM yang memerlukan harga khusus untuk membuat kontraktor tertarik

sehingga nantinya dapat memberikan keuntungan yang lebih besar kepada Indonesia.
Kata Kunci :Coalbed Methane, Production Sharing Contract, Energy.
Abstract
Annually energy needs in Indonesia always increased, but the amount of energy production in Indonesia not
able to keep it. During this time, one of the largest contributors of energy needs in Indonesia comes from conventional
oil and gas, but its reserves already depleted makes another alternative like Coalbed Methane becomes indispensable.
Unfortunately, many Contractors haven’t glanced at this industry because of CBM investment sentiment that’s
negative. Growth oriented strategies are necessary due to the amount of strengths and opportunities on CBM sector
that should be utilized. Production sharing contract in Indonesia needs to be changed into Gross PSC with Sliding
Scale, it's can provide attractive economy to contractors. Contractors can get fairly high IRR like 12.4 % on a small
scale, 12.6 % on a medium scale, and 12:22 % on a large scale. It happens because of assuming decrease in prices by
modification of PTK- 007 on the procurement of goods and services, repair KKS, and distinguish conventional oil and
gas standards with oil and gas non - conventional plus simplify gas production sales with modification of PTK- 029.
Besides that by involving contractors in downstream projects, simplify licensing become "one door one permit" and
formal statement from government to make prices of CBM gas that must have special price to make contractors
interested so later can provide greater benefits to Indonesia.
Kata Kunci :Coalbed Methane, Production Sharing Contract, Energy.
*)
Mahasiswa Jurusan Teknik Perminyakan – Universitas Trisakti
**) Dosen Pembimbing I Jurusan Teknik Perminyakan – Universitas Trisakti

***) Dosen Pembimbing II Jurusan Teknik Perminyakan – Universitas Trisakti

1

1.

Tcf), Berau (8.4 Tcf), Ombilin (0.5 Tcf), Pasir/AsamAsam (3.0 Tcf) dan Jatibarang (0.8 Tcf) memiliki
kategori moderate. Sedangkan basin Sulawesi (2.0
Tcf) dan Bengkulu (3.6 Tcf) memiliki kategori low
prospective.6 Pada tahun 2014 ada 54 Wilayah Kerja
(WK) aktif, yaitu 22 WK di sumatra sebanyak 43,601
Tcf dan 32 WK di Kalimantan sebanyak 94,761 Tcf,
sehingga totalnya 138,362 Tcf (SKK Migas).12
Potensi nya cukup besar. Bahkan, apabila angka
sumber dayanya ternyata lebih kecil dari perkiraan
awal, CBM masih berpotensi untuk mengurangi defisit
di Indonesia.6 Dari tahun 2009 lalu sampai tahun
2013 telah dilakukan pembuatan 80 sumur, namun dari
ke 80 sumur tersebut hanya 12 sumur yang menjadi
sumur pilot. Dari 80 sumur tersebut diperlukan biaya

sekitar US$ 600 – 700 million, setara dengan rata –
rata US$ 8 – 9 Million/well. Sedangkan standar nya
hanya sekitar US$ 1-2 Million/well. Hal tersebut
membuktikan bahwa jumlah investasi yang signifikan
tidak dapat mewujudkan potensi CBM.
Pada tahun 1990 – 2008 banyak investor mulai
tertarik pada pengembangan CBM. Hal tersebut
dikarenakan jumlah cadangannya yang mencapai
sekitar 453 Tcf (ARI, 2003). Sehingga, pada tahun
2008 pertama kalinya CBM mulai di kembangkan di
Indonesia dan di tandatangani kontrak. Kontrak yang
ditandatangani
tersebut
menggunakan
sistem
Production Sharing Contract (PSC).
Kegiatan eksplorasi CBM mulai banyak
dikembangkan dan memuncak pada tahun 2011,
sebanyak 42 kontrak baru telah dibentuk. Perusahaan
yang terikat kontrak mulai dapat menentukan

keberadaan dan kualitas dari batubara. Namun pada
tahun 2012 sampai sekarang beberapa perusahaan
mengalami kendala. Beberapa sumur ditemukan
dengan kondisi permeabilitas dan kemampuan
produksi yang kecil dengan biaya eksplorasi yang
tinggi.
Hal
tersebut
menyebabkan
beberapa
perusahaan keluar dan membuat banyak investor
berfikir ulang. Sentimen investasi dunia CBM di
Indonesia menjadi negatif. Maka dari itu perlu adanya
sejumlah
insentif
dari
pemerintah
untuk
mengembangkan industri CBM. Selain itu kita harus
memikirkan cara untuk menciptakan lingkungan yang

fiskal untuk memungkinkan pemain yang sebagian
besar perusahaan perusahaan kecil untuk dapat
bertahan hidup dengan menyediakan cash flow positif
dan juga cara membuat rezim operasi yang cukup
fleksibel untuk mempromosikan eksplorasi dari segi
lahan
/
ijin
kehutanan,
regulasi
ataupun
POD/cadangan.
Sentimen investasi yang negatif telah
mempengaruhi banyak perusahaan besar untuk

PENDAHULUAN

Pertumbuhan ekonomi di suatu negara
berbanding lurus dengan kebutuhan energi Negara
tersebut. Itulah yang terjadi di Indonesia. Pertumbuhan

Produk Domestik Bruto Indonesia yang kuat
berbanding lurus dengan peningkatan permintaan
domestic di Indonesia. Namun, dengan kondisi
Indonesia saat ini tentu akan menimbulkan masalah
baru yang baik untuk dimiliki. Pasalnya, permintaan
energi dari berbagai sektor mengalami kenaikan dari
tahun 2000 sampai saat ini, bahkan diperkirakan akan
terus naik (IEA, Wood Mackenzie Markets Service,
2003).
Indonesia telah menjadi net importir minyak
sejak tahun 2004 dan diperkirakan akan menjadi net
importir gas pada tahun 2022 ( APEC Energy Demand
and Supply Outlook 5th Edition, 2013). Hal tersebut
dikarenakan produksi kita selama ini sebagian besar
berasal dari konvensional. Oleh karena itu dibutuhkan
energi alternatif lain yaitu Shale Oil, Shale gas, New
and renewable energy (NRE), dan Coalbed Methane
(CBM). Tujuan nya untuk memenuhi kebutuhan energi
yang diperlukan sehingga dapat meminimalisir
kegiatan import dan mengurangi defisit Negara.

Akhir akhir ini, pemerintah sudah mulai fokus
untuk mengembangkan NRE. Tujuannya untuk
mendukung pertumbuhan ekonomi di Indonesia.
Sebab, pertumbuhan ekonomi di Indonesia yang
meningkat secara signifikan membuat kebutuhan
energi juga meningkat. Pertahunnya Average annual
Growth Rate (AAGR) mencapai sekitar angka 6%
(National Energy Council’s low case scenario of
energy demand, 2014). Meskipun pemerintah berusaha
keras dalam meningkatkan NRE tetap saja kebutuhan
konsumsi gas akan tetap tumbuh diatas 130%.
Sehingga, energi alternatif seperti CBM, shale gas dan
shale oil masih sangat diperlukan untuk memenuhi
kebutuhan gas dimasa depan.
CBM merupakan salah satu energi alternatif
yang memiliki prospek yang menjanjikan. CBM sangat
dibutuhkan untuk membantu kebutuhan permintaan
energi dimasa depan. Cadangannya yang sekitar 453
Tcf, cukup besar untuk dapat dimanfaatkan sebagai
pemenuh permintaan energi di Indonesia (Dirjen

ESDM dan ARI, 2003). Cadangan tersebut tersebar
kedalam sebelas basin yang dapat dikelompokkan
menjadi 3 prospective yaitu high, moderate dan low
dengan konsentrasi potensi terbesar terletak pada dua
pulau yaitu Kalimantan dan Sumatera.
Ke sebelas basin lokasi CBM itu adalah Sumatera
Selatan (183 Tcf), Barito (101.6 Tcf), Kutai (80.4 Tcf)
dan Sumatera Tengah (52.5 Tcf) yang memiliki
kategori high prospective. Basin Tarakan Utara (17.5
2

meninggalkan
industri
CBM.
Hal
tersebut
mempengaruhi produksi minyak dan gas di Indonesia,
sehingga Negara harus melakukan kegiatan impor
minyak dan gas. Contohnya adalah Exxon (Barito), BP
(Barito), Total (Kutai), Santos (Sumatra), dan Dart

(Sumatra dan Kutai). Perusahaan tersebut merupakan
perusahaan multinasional besar, yang memperburuk
sentiment investasi dan membentuk persepsi umum
saat ini mengenai industri CBM di Indonesia menjadi
negatif.
Maklum saja industri CBM di Indonesia masih
memasuki tahap awal dan masih memiliki jalan
panjang untuk mencapai komersialisasi penuh.
Berbeda dengan Negara Negara lain yang telah lama
berkecimpung di industri ini. Contoh nya adalah
China, Australia dan United States. Di China, untuk
mengkomersialisasikan nya membutuhkan waktu
eksplorasi selama 19 tahun. Di Australia, untuk
mengkomersialisasikan nya membutuhkan waktu
eksplorasi sekitar 40 tahun. Dan di United States,
untuk mengkomersialisasikan nya membutuhkan
waktu eksplorasi sekitar 30 tahun. Sedangkan di
Indonesia eksplorasi CBM baru dimulai pada tahun
2008, sekitar 7 tahun. Selain itu tentu bukan hanya
waktu tetapi intervensi pemerintah tentu mempunyai

peranan penting untuk mencapai komersialisasi. Di
China, Australia dan United States Industri CBM
mendapatkan intervensi pemerintah berupa insentif
fiskal. Kedua hal tersebut lah yang ikut mendukung
dalam proses komersialisasi.
Berdasarkan pengalaman dari Negara tersebut,
Indonesia masih membutuhkan waktu lama beserta
intervensi dari pemerintah berupa insentif fiscal untuk
mencapai komersialisasi penuh. Indonesia memiliki
potensi intensif dengan cara membuat PSC regime
yang meliputi 100% contractor share untuk pre-POD,
Mengurangi atau meniadakan FTP, Meniadakan pajak
di awal proyek, kredit pajak investasi, Cost
recoverable investment credit, Ketetapan pemerintah
bahwa PLN akan menggunakan CBM sebagai
generator pembangkit listrik, Preferential Power Tariff,
Perpanjang durasi kontrak sekitar 30 tahun lebih, dan
menyamakan harga LNG dari CBM. Hal tersebut
merupakan contoh dari insentif fiscal yang berpotensi
untuk pemerintah ambil demi mengembangkan

industry CBM di Indonesia.

2.

faktor faktor yang terkait dengan permasalahan
didalam pengembangan CBM untuk merencanakan
strategi pengembangan CBM ke depan. Baik faktor
yang berasal dari internal maupun eksternal.
Selanjutnya, membuat rancangan scenario yang lebih
baik dalam melakukan pengembangan CBM di
Indonesia.
Yang kedua, analisis kelayakan teknoekonomi dari pengembangan CBM di Indonesia,
dengan menggunakan metode arus kas pada skema
PSC. Karena biaya eksplorasi yang tinggi, berbagai
insentif PSC dianalisis, diharapkan dapat memberikan
pengembangan lapangan yang lebih layak.
2.1 Analisis SWOT
Analisis
SWOT
adalah
suatu
cara
menganalisis faktor-faktor internal dan eksternal
menjadi
langkah-langkah
strategi
dalam
pengoptimalan usaha yang lebih menguntungkan.
Dalam analisis faktor-faktor internal dan eksternal
akan ditentukan aspek-aspek yang menjadi kekuatan
(Strengths), kelemahan (Weakness), kesempatan
(Opportunities), dan yang menjadi ancaman
(Treathment) sebuah organisasi. Dengan begitu akan
dapat ditentukan berbagai kemungkinan alternatif
strategi yang dapat dijalankan (Freddy Rangkuti,
2005:19).
Dalam Pengelolaan dan pengembangan suatu
aktifitas memerlukan suatu perencanaan strategis,
yaitu suatu pola atau struktur sasaran yang saling
mendukung dan melengkapi menuju ke arah tujuan
yang menyeluruh. Sebagai persiapan perencanaan,
agar dapat memilih dan menetapkan strategi dan
sasaran sehingga tersusun program-program dan
proyek-proyek yang efektif dan efisien maka
diperlukan suatu analisis yang tajam dari para pegiat
organisasi. Salah satu analisis yang cukup populer di
kalangan pelaku organisasi adalah Analisis SWOT.
Maksud dari analisis SWOT ini ialah untuk
meneliti dan menentukan dalam hal yang kuat
(sehingga dapat dioptimalkan ), lemah(sehingga dapat
segera dibenahi), kesempatan-kesempatan di luar
(untuk dimanfaatkan), ancaman-ancaman dari luar
(untuk diantisipasi). Langkah penelitian ini akan
menerangkan bagaimana analisis dilakukan, mulai dari
data mentah yang ada sampai pada hasil penelitian
yang dicapai. Dalam penelitian ini, langkah-langkah
analisis data dilakukan sebagai berikut:

METODOLOGI

Penelitian ini memiliki dua bagian utama.
Yang pertama adalah analisis permasalahan
pengembangan
CBM
di
Indonesia
dengan
menggunakan metode analisis SWOT (Strength,
Weakness, Opportunities dan Threats). Menganalisa

1. Melakukan pengklasifikasian data, faktor apa
saja yang menjadi kekuatan dan kelemahan
sebagai faktor internal, peluang dan ancaman

3

1. Prediksi kondisi masa yang akan datang.
2. Perkembangan teknologi.
3. Sinergi antara proyek-proyek yang didanai.

sebagai faktor eksternal. Pengklasifikasian ini
akan menghasilkan tabel informasi SWOT.
2. Melakukan
analisis
SWOT,
yaitu
membandingkan antara faktor eksternal
Peluang (Opportunities) dan Ancaman
(Threats) dengan faktor internal organisasi
Kekuatan
(Strengths)
dan
Kelemahan
(Weakness).

Karena penerapan kegiatan teknik pada
umumnya memerlukan investasi yang relatif besar dan
berdampak jangka panjang terhadap aktivitas
pengikutnya, penerapan aktivitas tersebut menuntut
adanya
keputusan-keputusan
strategis
yang
memerlukan
pertimbangan-pertimbangan
teknik
maupun ekonomis yang baik dan rasional. Oleh karena
itu, Ilmu Tekno Ekonomi sering juga dianggap sebagai
sarana pendukung keputusan (Decision Making
Support) (Sukirno, 2004).

3. Dari hasil analisis kemudian diinterpretasikan
dan dikembangkan menjadi keputusan
pemilihan strategi yang memungkinkan untuk
dilaksanakan. Strategi yang dipilih biasanya
hasil yang paling memungkinkan (paling
positif) dengan resiko dan ancaman yang
paling kecil.

2.2.1 Current PSC
PSC yang digunakan di Indonesia pada saat
ini adalah Production Sharing Contract (PSC) generasi
IV. Momentum di mulainya PSC generasi IV ini yaitu
pada saat di berlakukanya undang-undang nomer 22
tahun 2001 tentang minyak gas bumi). Berikut ini
adalah bagan alur mengenai Current PSC:18

2.2 Analisis Kelayakan Tekno – Ekonomi
Analisis Tekno ekonomi memuat tentang
bagaimana membuat sebuah keputusan (decision
making) dimana dibatasi oleh ragam permasalahan
yang berhubungan dengan seorang engineer sehingga
menghasilkan pilihan yang terbaik dari berbagai
alternatif pilihan. Keputusan yang diambil berdasarkan
suatu proses analisa, teknik dan perhitungan ekonomi.
Engineering (rekayasa) biasa dikatakan profesi/disiplin
dimana pengetahuan tentang matematika dan ilmu
pengetahuan alam yang diperoleh dengan studi,
pengalaman, dan praktik digunakan dengan bijaksana
dalam mengembangkan cara-cara untuk penggunaan
secara ekonomis bahan-bahan dan sumber alam untuk
kepentingan manusia. Dari definisi ini aspek-aspek
ekonomi dari engineering dititik beratkan pada aspekaspek fisik. Jelas, bahwa pada dasarnya ekonomi
merupakan bagian dari engineering yang dilaksanakan
dengan baik (Giatman, 2006).
Alternatif-alternatif timbul karena adanya
keterbatasan dari sumber daya (manusia, material,
uang, mesin, kesempatan, dll). Dengan berbagai
alternatif yang ada tersebut maka diperlukan sebuah
perhitungan untuk mendapatkan pilihan yang terbaik
secara ekonomi, baik ketika membandingkan berbagai
alternatif rancangan, membuat keputusan investasi
modal, mengevaluasi kesempatan finansial dan lain
sebagainya. Analisa tekno ekonomi melibatkan
pembuatan keputusan terhadap berbagai penggunaan
sumber daya yang terbatas. Konsekuensi terhadap hasil
keputusan biasanya berdampak jauh ke masa yang
akan datang, yang konsekuensinya itu tidak bisa
diketahui secara pasti, merupakan pengambilan
keputusan dibawah ketidakpastian. Sehingga penting
mengetahui :

Struktur dan prinsip bagi hasil dalam
undang-undang ini berbeda dengan undang-undang
yang lama. Pada undang-undang lama, yang menjadi
para pihak adalah pertamina dan kontraktor sedangkan
dalam undang-undang nomer 22 tahun 2001 minyak
dan Gas Bumi, yang menjadi para pihaknya adalah
Badan Pelaksana dengan Badan Usaha dan atau Badan
Usaha Tetap.8
Badan Pelaksana ini terpisah dengan Pertamina. Badan
Pelaksana ini terbentuk pada Agustus tahun 2002
dengan nama Badan Pelaksana Hulu Minyak dan Gas
Bumi (BP Migas), dikepalai oleh Rachmat Soedibjo
(republika, 31 desember 2002). Di dalam undang4

undang nomer 22 tahun 2001 tidak diatur secara
khusus tentang komposisi pembagian hasil antara
Badan Pelaksana dengan Badan Usaha dan atau Badan
Usaha Tetap. Pembagian ini diatur lebih lanjut dalam
peraturan yang lebih rendah serta dituangkan dalam
PSC. Apabila kita mengacu pada pasal 66 ayat (2)
hukum nomer 22 tahun 2001, maka jelas pada pasal ini
disebutkan bahwa segala peraturan pelaksaanaan dari
undang-undang nomer 44 Prp tahun 1960 tentang
pertambangan minyak dan gas bumi dan undangundang nomer 8 tahun 1971 tentang pertamina tetap
berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum di
ganti dengan peraturan yang baru berdasarkan undangundang ini.

Sedangkan jika produksi per tahun nya
dibawah 1 BCF maka share untuk pemerintah sebesar
1%, jika produksi per tahun nya berkisar 1 – 10 BCF
maka share untuk pemerintah sebesar 5%, jika
produksi per tahun nya berkisar 10 – 20 BCF maka
share untuk pemerintah sebesar 10%, jika produksi per
tahun nya berkisar 20 – 50 BCF maka share untuk
pemerintah sebesar 15%, jika produksi per tahun nya
berkisar 50 – 100 BCF maka share untuk pemerintah
sebesar 20% dan jika produksi per tahun nya berkisar
100 – 200 BCF maka share untuk pemerintah sebesar
25%. Pada gambar dibawah ini menjelaskan sistem
kontrak Current PSC with Sliding Scale.11

Di dalam pasal 16 peraturan pemerintah
nomer 35 tahun 1994 tentang syarat-syarat dan
pedoman kerja sama kontrak bagi hasil minyak dengan
bumi ditentukan bahwa yang menetapkan pembagian
hasil adalah menteri pertambangan dan energi, PSC ini
memiliki ketentuan pembagian hasil (after Tax)
sebagai berikut:8
a. Minyak

: 85% untuk badan pelaksana
15% untuk Badan Usaha

b. Gas

: 70% untuk badan pelaksana
30% untuk Badan Usaha

2.2.3 Gross PSC

PSC yang diberlakukan untuk CBM pada
saat ini prinsipnya sama dengan yang dipakai pada
minyak dan gas konvensional namun dengan porsi
bagian yang berbeda, 55% untuk badan pelaksana dan
45% untuk Badan Usaha dan / atau badan Usaha
Tetap.4 Dalam undang-undang tersebut juga diatur
tentang penyerahan pembagian hak badan usaha atau
bentuk usaha tetap untuk memenuhi kebutuhan dalam
negeri paling banyak 25%.14

Pada dasarnya sistem kontrak Gross PSC
hampir mirip dengan kontrak Current PSC yang telah
dijelaskan di atas. Gambar dibawah ini menjelaskan
sistem kontrak Current PSC with Sliding Scale.11

2.2.2 Current PSC with Sliding Scale
Current PSC with Sliding Scale sama
dengan PSC yang digunakan di Indonesia pada saat ini
namun perbedaan nya berada pada FTP (First Trench
Petroleum) dan split (bagi hasil) yang disesuaikan
dengan kenaikan jumlah produksi.11
Jika produksi per tahun nya dibawah 5 BCF,
FTP untuk pemerintah sebesar 5%, jika produksi per
tahun nya berkisar 5 – 50 BCF, FTP untuk pemerintah
sebesar 7.5% dan jika produksi per tahun nya diatas 50
BCF, FTP untuk pemerintah sebesar 10%. Dibawah ini
adalah bagan yang berisi alur mengenai sistem bagi
hasil pada Current PSC with Sliding Scale. 11

Bedanya dengan PSC yang sekarang adalah
dengan menghilangkan penerapan Cost Recovery pada
kontrak PSC. Dengan kata lain disini kontraktor
bertanggung jawab penuh atas biaya yang dikeluarkan
5

3 tahun dengan laju penurunan sebesar 12% pertahun
nya. Berdasarkan data tersebut, lapangan CBM dapat
dikembangkan sampai dengan 2500 sumur. Apabila
dikembangkan semaksimal mungkin dengan harga gas
sebesar 14 US$/MMBTU dapat menghasilkan Gross
Revenue sampai 19 Triliun dollar AS. Ini jumlah yang
sangat signifikan bagi Negara Indonesia. Kebutuhan
supply energi dimasa mendatang bisa terpenuhi,
bahkan hal ini dapat mengurangi defisit Negara dan
menjadi pemasukan utama.
Begitu menariknya namun tidak segera dikembangkan.
Dengan jumlah Produksi kumulatif sekitar 1,401,765
BCF maka dibutuhkan calon pembeli dalam jumlah
yang besar. Hal tersebut membutuhkan waktu yang
lama untuk mencari pembeli sampai mendapatkan
sebuah kesepakatan bersama. Ditambah dengan
Permen ESDM No.36 Tahun 2008 yang membuat
sedikitnya ada 65 perizinan yang harus dilalui
membuat waktu terbuang percuma. Bukan hanya itu
Permen ESDM No. 5 Tahun 2012 tentang Tata Cara
Penetapan dan Penawaran Wilayah Kerja Minyak dan
Gas Bumi Nonkonvensional, memprioritaskan pelaku
industri
migas
konvensional
dibandingkan
nonkonvensional untuk area terbuka membuat
perkembangan Industri CBM di Indonesia menjadi
tambah sulit.

untuk proyek. Gambar dibawah ini adalah bagan yang
berisi alur mengenai sistem bagi hasil pada Gross
PSC.11
2.2.4 Gross PSC with Sliding Scale
Gross PSC with Sliding Scale, yaitu dengan
menghilangkan penerapan Cost Recovery pada kontrak
Sliding Scale PSC. Sliding Scale pada dasarnya
merupakan modifikasi dari tipe PSC. Jenis Sliding
Scale ini sudah banyak digunakan di negara-negara
lain seperti Oman. Sedangkan di Indonesia,
memodifikasi PSC dengan Sliding Scale baru sekedar
wacana dan kajian. Bagan dibawah menjelaskan sistem
kontrak Gross PSC with Sliding Scale.

Masalah lainnya adalah kebutuhan pengadaan barang
dan jasa pada lapangan tersebut yang membutuhkan
biaya yang sangat besar, yaitu Capex tangible sekitar 3
Triliun dollar AS, Capex Intangible sekitar 5 Triliun
dollar AS dan OPEX sebesar 5Triliun dollar AS
sehingga total pengeluaran sekitar 13 Triliun dolar AS.
Dengan sistem bagi hasil migas konvensional dan
harga gas saat ini sangat kurang cocok untuk
diterapkan pada industri CBM, karena dari perhitungan
keekonomian lapangan CBM di Indonesia, apabila
menggunakan sistem PSC existing dengan harga gas
saat ini yakni sekitar 8-12 US$/MMBTU dan
diproduksikan selama 30 tahun (sesuai dengan periode
kontrak di Indonesia) kontraktor tidak akan
mendapatkan POT (Pay Out Time).
Proyek dikatakan sudah mulai profit atau ekonomis
apabila nilai IRR sudah diatas dari nilai Discount
Factor (10%) dan ditambah dengan Risk Factor (2% 5%). Maka minimal IRR yang menarik bagi kontraktor
adalah 12%. Pada bagian sebelumnya peneliti telah
membandingkan IRR, GT (Government Take), dan CT
(Contractor Take) dengan 4 sistem bagi hasil PSC
yang pernah direkomendasikan di Indonesia, yaitu
Current PSC, Current PSC with Sliding Scale, Gross
PSC, dan Gross PSC with Sliding Scale. Analisis
terhadap 4 hal tersebut dilakukan untuk menentukan

Menyerupai dengan Gross PSC namun
perbedaan nya berada pada FTP (First Trench
Petroleum) yang disesuaikan dengan kenaikan jumlah
produksi kumulatif. Jika produksi kumulatif nya
dibawah 200 BCF, share untuk pemerintah sebesar
1%, jika kumulatif produksi berkisar 200 – 500 BCF,
share untuk pemerintah sebesar 5%, jika kumulatif
produksi diatas 500 – 1.000 BCF, share untuk
pemerintah sebesar 19% dan jika kumulatif produksi
diatas 1.000 – 1.500 BCF, share untuk pemerintah
sebesar 35%.2
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sebuah lapangan CBM di Indonesia memiliki
data perkiraan Sebuah lapangan CBM di Indonesia
memiliki data perkiraan cadangan sebesar 1500 BCF.
Perkiraan cadangan per sumur nya sekitar 0.6 BCF.
Setiap sumur memiliki laju produksi puncak nya
sebesar 200 MSCF/D yang dapat dicapai dalam waktu
6

sistem PSC yang paling ekonomis atau paling cocok
untuk pengembangan lapangan CBM di Indonesia.
Peneliti
melakukan
penelitian
dengan
membuat 3 skenario pengembangan lapangan yang
didasarkan dari banyaknya jumlah sumur yang
dikembangkan. Lalu peneliti masukkan kedalam 4
sistem bagi hasil yang telah peneliti paparkan pada
bagian sebelumnya. Tujuan nya adalah untuk mencari,
membuktikan dan membandingkan PSC mana yang
cocok dalam mengembangkan Industri CBM di
Indonesia.
Pada sistem bagi hasil Current PSC dan
Current PSC with Sliding Scale memiliki IRR yang
rendah yang menyebabkan beberapa kontraktor kurang
tertarik untuk mengembangkan CBM. Namun berbeda
dengan Gross PSC dan Gross PSC with Sliding Scale,
kedua sistem bagi hasil tersebut memiliki IRR yang
cukup tinggi. Sehingga dapat dikatakan menarik bagi
kontraktor untuk mengembangkan nya. Pada sistem
bagi hasil Gross PSC dan Gross PSC with Sliding
Scale diatas dibuat asumsi penurunan biaya sebanyak
20%. Asumsi ini dilakukan sebagai pemisalan dari
penghapusan atau modifikasi dari PTK-007 dalam hal
pengadaan barang dan jasa di industri CBM. KKKS
CBM akan dapat secara bebas mengakses pasar global
untuk mendapatkan harga yang terbaik, tidak hanya
untuk teknologi tetapi juga tenaga ahlinya. Sehingga di
Indonesia akan tumbuh dan terdapat banyak industri
servis lokal yang kompeten khusus CBM agar dapat
dipilih secara kompetitif dan industri CBM berjalan
secara
berkesinambungan.
Karena
apabila
menggunakan Gross PSC atau Gross PSC with Sliding
Scale segala biaya akan menjadi tanggung jawab
kontraktor. Sehingga hal ini sejalan dengan kontraktor
yang akan lebih memperhatikan barang atau jasa yang
akan dibeli. Dan juga beberapa kendala lainnya adalah
penerapan standard dari industri minyak dan gas
konvensional pada industri CBM, yang akan
menyebabkan ketidak-efisienan biaya perlu dikaji
ulang.
Pengembangan dengan menggunakan sistem
bagi hasil Gross PSC dan Gross PSC with Sliding
Scale memang memiliki IRR yang menarik. Namun
untuk pengembangan dengan jumlah besar dan waktu
yang lama, Gross PSC with Sliding Scale lebih tepat
untuk digunakan. Berdasarkan data di atas
pengembangan dengan menggunakan sistem bagi hasil
Gross PSC berskala kecil (848 sumur) memiliki
Government Take yang lebih besar yakni 1,492,420
dibandingkan dengan sistem bagi hasil Gross PSC with
Sliding Scale yakni 1,222,140 sedangkan apabila terus
dikembangkan sampai skala sedang (1,648 sumur)
ataupun besar (2,448 sumur), Gross PSC with Sliding
Scale malah memberikan keuntungan yang lebih besar

untuk Negara yakni 3,043,754 (Skenario 2) dan
5,593,880 (Skenario 3) dibandingkan dengan Gross
PSC yakni 2,988,599 (Skenario 2) dan 4,693,965
(Skenario 3). Hal ini sejalan dengan pasal 33 UUD
1945 ayat 2 “Cabang-cabang produksi yang penting
bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang
banyak dikuasai oleh Negara” dan ayat 3 “Bumi dan
air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat”.
Selain memberikan keuntungan yang sangat
signifikan untuk Negara, dengan menggunakan Gross
PSC with Sliding Scale dapat memberikan daya Tarik
CBM kepada para kontraktor karena pengembangan
lapangan CBM (Skenario 1, 2 dan 3) mendapatkan
IRR yang dapat dibilang cukup ekonomis yakni
12.41% (Skenario 1), 12.64% (Skenario 2) dan 12.22%
(Skenario 3). Namun apabila menggunakan Gross PSC
with Sliding Scale maka UU 22 No. 2001 harus
modifikasi untuk merubah waktu eksplorasi dari 6+4
tahun menjadi 10+5 tahun untuk industri CBM dan
beberapa penyesuaiaan KKS dengan mengganti klausa
yang mengandung “pemutusan otomatis kontrak”
dengan ketentuan yang memberikan Migas/SKK
Migas ruang untuk mempertimbangkan perpanjangan
kontrak dan penyelesaian program kerja berdasarkan
prestasi dan hasil eksplorasi. Karena Gross PSC with
Sliding Scale akan semakin memberikan keuntungan
yang lebih besar untuk Negara pada akhir masa
periode kontrak. Sehingga apabila kontrak tersebut
selesai terlebih dahulu maka Negara akan
mendapatkan kerugian.
Selain itu Pada bagian sebelumnya telah
dilakukan analisis sensitivitas pada Gross PSC with
Sliding Scale. Sistem bagi hasil tersebut sangat
dipengaruhi oleh harga dan produksi. Harga awal
sebelum di analisis adalah 14 US$. Apabila harga
mengalami penurunan 30% maka IRR akan menurun
sampai -11.70% sedangkan apabila harga mengalami
kenaikan 30% maka IRR akan menjadi 12.63%.
Industri CBM ini masih baru sehingga masih
membutuhkan modal yang besar untuk itu penting
sekali bagi pemerintah agar dapat memberikan harga
khusus untuk gas CBM.
Selain harga, produksi memegang peranan
penting untuk pengembangan CBM. Pada analisis
sensitivitas sebelumnya diasumsikan produksi dapat
dijual semaksimal mungkin. Apabila produksi
mengalami penurunan 30% maka IRR akan menurun
sampai -3.00% sedangkan apabila produksi mengalami
kenaikan 30% maka IRR akan menjadi 12.11%.
Dengan melihat kedua hal tersebut maka
penting sekali untuk memodifikasi PTK-029 mengenai
alokasi gas untuk mendapatkan kepastian pasar dan
7

alokasi penjualan gas, harga CBM serta akses terhadap
infrastruktur gas. Kebijakan pemerintah agar CBM
dapat mendapatkan akses pasar dengan harga terbaik
yang berlaku di pasar sangat diperlukan. Ketentuan
alokasi gas di dalam PTK-029 (SKK Migas) juga perlu
ditinjau agar tidak menyulitkan pengembangan CBM.
Fleksibilitas pasar diperlukan didalam komersialisasi
CBM sehingga PTK-029 yang mengatur prioritas
pasar dan mengharuskan proses tender akan
menyulitkan pemasaran CBM.
Selain itu, akses terhadap infrastruktur gas dan
fasilitas yang sudah ada di lokasi pengembangan
CBM, misalnya pipa gas konvensional serta
fasilitasnya akan sangat membantu keekonomian
pengembangan CBM di Indonesia. Dipermudahnya
kontraktor upstream CBM untuk terlibat di dalam mata
rantai pasokan CBM dapat meningkatkan keinginan
kontraktor untuk menjalankan bisnis CBM dengan
keekonomian yang marginal karena dimungkinkannya
pengelolaan resiko secara terintegrasi. Pemerintah
menunjuk calon pembeli gas misalnya PLN atau
lainnya dengan harga gas minimum yang ditentukan
oleh Pemerintah (dimana harga gas tersebut adalah
harga gas yang sesuai keekonomian usaha CBM
tersebut yang sebelumnya sudah disepakati antara
Pemerintah dan KKS). Untuk itu Pemerintah dapat
mensosialisasikan kepada para calon pembeli gas
bahwa gas CBM ini secara ekonomis memang
membutuhkan harga beli yang lebih tinggi untuk
mencapai keekonomiannya..

semakin besarnya jumlah cadangan yang di
produksi. Sehingga modifikasi didalam KKS
mengenai lamanya waktu kontrak atau
perpanjangan kontrak sangat diperlukan agar
Pemerintah tetap memiliki keuntungan yang lebih
besar.
4. Analisis Sensitivitas menunjukkan bahwa
sosialisasi harga gas untuk CBM dan juga
modifikasi PTK 007 mengenai alokasi gas sangat
penting terhadap sistem bagi hasil Gross PSC with
Sliding Scale. Pada skenario 3, apabila harga
mengalami penurunan 30% maka IRR akan
menurun sampai -11.70% sedangkan apabila
harga mengalami kenaikan 30% maka IRR akan
menjadi 12.63%. Dan apabila produksi menurun
30% maka IRR akan menurun sampai -3.00%
sedangkan apabila produksi mengalami kenaikan
30% maka IRR akan menjadi 12.11%.
5. Dengan modifikasi PTK 029 mengenai
pengadaan barang dan jasa serta penghapusan
dalam penerapan standard migas konvensional
dalam menjalankan proyek CBM diharapkan
dapat mempermudah kontraktor dalam pengadaan
barang dan jasa. Sehingga, biaya investasi yang
dikeluarkan oleh kontraktor dapat diminimalisir.
6. Berdasarkan hasil analisis SWOT, CBM di
Indonesia mendukung strategi yang agresif
(Kuadran 1) seperti Integrasi ke depan, Integrasi
ke Belakang, Integrasi Horizontal, Penetrasi
Pasar, Pengembangan Produk, Pengembangan
Pasar, Diversifikasi Terkait dan Difersifikasi
Tidak Terkait.
7. Rumusan alternatif strategi yang cocok untuk
mengembangkan CBM di Indonesia adalah
sebagai berikut:
a) Kerjasama dengan sektor pertambangan
b) Memperbanyak kompetitor sektor CBM
c) Melaksanakan pembuatan multi well pilot
d) Statement formal pemerintah mengenai harga
gas CBM
e) Membutuhkan insentif untuk stimulasi
reservoir
f) Pemerintah menunjuk calon pembeli gas CBM
g) Menyetarakan prioritas konvensional dan non
konvensional
h) Partisipasi
kontraktor
dalam
proyek
downstream
i) Kerjasama lintas sektor
j) Tidak ada pembatasan alokasi gas CBM

KESIMPULAN

Dari Kesimpulan yang didapat dari hasil analisis
dalam pengembangan Coalbed Methane di
Indonesia adalah sebagai berikut:
1. Berdasarkan analisis keekonomian, Gross PSC
with Sliding Scale merupakan sistem bagi hasil
yang lebih tepat untuk digunakan dalam
pengembangan CBM di Indonesia karena IRR
yang didapat paling tinggi dibandingkan dengan
sistem bagi hasil yang lain. Untuk skala kecil
12.4%, untuk skala sedang 12.6% dan untuk skala
besar 12.22%
2. Berdasarkan kesimpulan nomor 1 diatas, dapat
disimpulkan pay out time yang dihasilkan oleh
Gross PSC with Sliding Scale adalah yang terkecil
yakni 16 tahun pada skala kecil dan 17 tahun pada
skala sedang dan besar.
3. Gross PSC with Sliding Scale juga
memberikan keuntungan yang lebih besar ke
Pemerintah daripada ke Kontraktor seiring dengan
8

6. Komite IPA Unconventional, “Industri GMB Indonesia

k) Buat kerangka ketentuan KKS khusus CBM
l) Penghapusan standar Migas konvensional
m) Menerapkan kebijakan “Satu Pintu, Satu Ijin”
n) Gunakan kontrak alternatif Gross PSC with
Sliding Scale

Status, Potensi dan Proposal”, PPPTMGB LEMIGAS,
Jakarta, 2014.
7. Kristadi, Heribertus Joko dan Destri Wahyu Dati.”Gas
Metana Batubara Energi Baru Untuk Rakyat”. Pusat

DAFTAR SIMBOL

Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas

Capex

= Capital Expenditure

Bumi LEMIGAS. Jakarta. 2012.

CT

= Contractor Take

8. Kumalasari, Silvia, “Kontrak Bagi Hasil (Production

DF

= Discount Factor

DMO

= Domestic Market Obligation

ETS

= Equity to be Split

Sebagai

FTP

= First Tranche Petroleum

Universitas Negeri Semarang, Semarang, 2013.

GT

= Government Take

9. Lubiantara, Benny. “Dinamika Industri Migas Catatan S

I

= Tahun dimana perhitungan dilakukan

IRR

= Internal Rate of Return

analis OPEC”. PETROMINDO. Jakarta. 2012.

NPV

= Net Present Value

10. Lubiantara, Benny. “Ekonomi Migas Tinjauan Aspek

Opex

= Operational Expenditure

Komersial Kontrak Migas”. PETROMINDO. Jakarta. 2012.

PIR

= Profit Investment Ratio

11. Nu Energy Gas LTD, “Annual General Meeting”, AGM

POT

= Pay Out Time

PSC

= Production Sharing Contract

T

= Lama waktu depresiasi

Sharing Contract Dalam Pengelolaan Migas di Indonesia
Salah

Satu

Presentations,

Jenis

2015,

Perjanjian

Innominaat”,

Website

(Online)

http://www.skkmigas.go.id/mengenal-kontrak-hulu-migasindonesia diakses pada 30 Januari 2015.

DAFTAR PUSTAKA

12. Nuriman,
“Analisis

1. Ajichrw, “Metode Analisis SWOT”, Web Blog (Online),
2009,

Depan

https://ajichrw.wordpress.com/2009/07/15/metodeESDM,

“Policy

Paper

di

dan

Hutama,

CBM

Indonesia”,
Tanpa

Denys

sebagai

Energi

Candra,
Masa

Universitas Dipenogoro,
Tahun,

(Online)

https://www.academia.edu/9974964/Paper_Potensi_CBM_d

Percepatan

i_Indonesia diakses pada 30 Januari 2016.

Pengembangan Industri Gas Metana Batubara (GMB) di

13. Rangkuti,

Indonesia”, PPPTMGB LEMIGAS, Jakarta, 2015.

Freddy,

“ANALISIS

SWOT:

Teknik

Membedah Kasus Bisnis”, PT Gramedia Pustaka Utama,

3. Boedoyo, M. Sidik, “Review Kebijakan Energi untuk

Jakarta, 1997.

Mendukung Pemanfaatan Energi Terbarukan”, Conference:

14. Republik Indonesia, “Undang-undang Nomor 22 Tahun

Seminar dan Peluncuran Buku Outlook Energi Indonesia

2001 tanggal 23 November 2001 tentang Minyak dan Gas

2013, Jakarta, 2013.

Bumi”, Lembaran Negara RI Tahun 2001 Nomor 136,

4. CBM Asia Development Corp, “CBM Asia Reports

Sekretariat Negara, Jakarta, 2001.

Final Gas Content Analysis for The CBM-KW-01
Exploration Well at The Kutai Wes Coalbed Methane PSC,
Indonesia”,

Potensi

Semarang,

analisis-swot/ diakses pada 29 Januari 2016.
2. Balitbang

Fauzu

15. Saputra, Aulia Nugraha. ”Kajian Kontrak Migas Non

http://www.CBMasia.ca/Press-Releases/104,

Cost Recovery”. Program Studi Teknik Perminyakan

diakses 26 Januari, 2016.

Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan Institut

5. Fiqri, Ahmad, “Analisis Keekonomian PSC No Cost

Teknologi Bandung. Bandung. 2008.

Recovery dan Pengaruh Penggunaan Sliding Scale Share

16. SKK

Before Tax pada Pengembangan Lapangan CBM “Z””,

Indonesia”,

Universitas Trisakti, Jakarta, 2015.

Migas,

“Mengenal

Kontrak

Hulu

http://www.skkmigas.go.id/mengenal-kontrak-

hulu-migas-indonesia diakses pada 29 Januari 2016.
9

Migas

17. Sudono, ”Analisa Kebijakan Kontrak dan Harga Gas

18. Umaruddin,

Metana Batubara (Coalbed Methane/CBM) Di Indonesia”,

Modifikasi PSC dan Gross PSC dalam Pengusahaan Gas

Program Studi Teknik Perminyakan Fakultas Teknik

Methana Batubara di Indonesia”, ITB, Bandung, 2010.

Pertambangan

dan

Perminyakan

Institut

Teknologi

Bandung, Bandung, 2008.

10

Jalal,

“Perbandingan

Model

Kontrak