DI MANA POSISI PEMDA docx

Diterbitkan di Harian Flores Pos, Rabu, 7 September 2016

DI MANA POSISI PEMDA?

John Sinartha Wolo
Dosen Universitas Surabaya,
Universitas Ciputra dan
Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya

Mengikuti perkembangan kabupaten-kabupaten di NTT, memberi kesan Pemda kita
sama sekali tidak bergairah meningkatkan pembangunan di daerahnya. Obsesi menangguk
untung di balik jabatan, jauh lebih dahsyat dibanding itikad baik menjadi penyalur
kepentingan rakyat. Obsesi yang bukan hanya salah, melainkan juga sangat berbahaya.
Awasan Thucydides, bahwa yang kuat akan melakukan apapun yang bisa mereka lakukan,
sementara yang lemah akan menanggung apapun yang mesti mereka derita, nyaris
menjelma sempurna di Flobamorata. Yang kuat pelesir ria, berpose dengan latar menara
Eiffel di Perancis, sementara yang lemah tikam kepala cari duit sebagai TKI hingga
tersandera pasukan Abu Sayyaf di laut Filipina. Yang kuat berlaku merakyat menjelang
Pilkada dan Pileg, lalu seketika berubah jadi predator berbahaya pasca menang.
Tulisan ini tidak berpretensi menafikan adanya jajaran eksekutif, legislatif dan
yudikatif di daerah yang baik, tetapi kita juga harus mengakui bahwa di NTT kita sulit

menemukan pimpinan daerah yang benar-benar bekerja untuk rakyat kecil. Terakhir, status
facebook seorang Imam SVD turut mengerutkan kening kita untuk sekali lagi menyuguhkan
rasa pesimis terhadap pejabat daerah kita.

Diterbitkan di Harian Flores Pos, Rabu, 7 September 2016

Gusti, Otto. “Inilah wajah jalan Borong - Mamba (Manggarai Timur-NTT), 72 TAHUN pasca
Indonesia merdeka. Bukti kasat mata bahwa negara tak pernah hadir di wilayah ini.
Sejumlah rekan menganjurkan agar dalam Pemilu legislatif thn 2019 para anggota DPRD
dari Dapil ini tak boleh dipilih lagi. Bayangkan, dalam musim hujan yg lalu, dua peti jenasah
bersama isinya pernah terpelanting keluar dari kendaraan di tanjakan ini. Masih adakah
negara? Sebagai wajib pajak kita perlu menggugat petan negara”. 6 Juli 2016, 14:17.
Bersama status yang sempat menggegerkan jagat maya NTT tersebut, dilampirkan
sebuah foto kondisi jalan raya yang begitu mengenaskan. Jika Anda sedikit punya waktu
melakukan stalking terhadap status setelahnya, akan ditemukan pula foto kondisi jalan raya
Borong – Wukir. Terhadap kedua foto tersebut, jika penglihatan dan empati kita tidak
terganggu, hal yang sama akan kita dapat: jalannya belum terdapat sentuhan aspal dan itu
keterlaluan! Ketika Jawa sedang panas-panasnya dengan proyek terowongan kereta bawah
tanah, tol di sana-sini, begitu pula dengan Sumatera, Kalimantan, Bali, Sulawesi, Maluku dan
Papua yang lagi gencar-gencarnya dengan pembangunan jalur transportasi, NTT malah

dihebohkan dengan dua peti jenasah beserta isinya yang keluar dari kendaraan akibat jalur
transportasi tak layak pakai. Hanya ada di daerah kita, orang mati pun masih dibuat
sengsara.
Kondisi jalan yang buruk di Borong – Mamba dan Borong – Wukir Manggarai Timur,
sebenarnya menjadi representasi dari banyak pedalaman di NTT soal akses buruk jalan
raya. Hal ini mempertegas maskot pedalaman NTT sebagai daerah dengan kondisi jalan
paling buruk, sekalipun kemerdekaan RI tengah menuju intan. Yang disoroti di sini baru
akses jalan raya, belum kita menelisik lebih jauh sarana primer lainnya seperti listrik, air,
sarana pendidikan, dan sarana kesehatan. Mengapa kemudian jalan raya yang disorot?
Kondisi jalan menentukan maju tidaknya peradaban suatu daerah. Jalan yang baik
membuka isolasi, dan dengan demikian, membuka masuknya pembangunan, baik
pendidikan, kesehatan, listrik, air, dan sebagainya.
Mimpi perbaikan kualitas pelayanan umum pasca pisah dengan Manggarai, ternyata
tak kunjung terealisasi. Yang baru untuk Manggarai Timur adalah Kantor Bupati, Kantor
DPRD, Kantor Jaksa, Polisi, Kantor Camat plus personil dan seragam baru. Kasus ini
sekaligus mengafirmasi kecemasan terhadap problem pembentukan Daerah Otonomi Baru
yakni kepentingan politik elite lebih menonjol daripada kepentingan kesejahteraan

Diterbitkan di Harian Flores Pos, Rabu, 7 September 2016


masyarakat. Ruang tata kelola yang dipersempit supaya efektif dan efisien ternyata tidak
selalu linier dengan meningkatnya perbaikan terhadap layanan publik. Terhadap tragedi di
Manggarai Timur ini, saya kemukakan beberapa hipotesis.
Pasca diterbitkannya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah, kreativitas dan inovasi penyelenggaran pemerintahan daerah akan terlihat. Dengan
UU tersebut, tidak sulit bagi kita untuk menvonis, mana pemda yang benar-benar inovatif
dan mana yang masih bermental ‘corong’. UU Pemerintahan Daerah memberikan
kewenangan yang luas bagi Pemda untuk mengelola daerahnya. Nyaris seluruh elemen
penting penggerak pembangunan daerah dikelola Pemda, terkecuail politik luar negeri,
pertahanan, keamanan, yustisi dan moneter yang menjadi wilayah Pemerintah (Pasal 10
ayat 3 UU Pemda). Argumennya, hanya Pemda yang mengenal dengan sangat detail situasi
daerahnya dalam pelbagai dimensi kehidupan. Karena itu, Pemda berinovasi untuk
memproyeksikan dan menangkap kekuatan daerah, lengkap dengan segala persoalan,
kemudian memetakannya dalam bentuk kebijakan yang tepat sasar. UU Pemda pun
setidaknya menjawab tantangan bahwa jarak yang jauh dengan penyebaran yang kompleks
antara pusat dan daerah tidak menjadi tantangan dalam pemerataan pembangunan bangsa.
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah mematikan
langkah Pemda ‘corong’, yang selama ini begitu nyaman dengan kebiasaan berdiam diri dan
bergantung pada pusat. Mematikan, karena rakyat akan dengan mudah memberi penilaian
objektif tentang kinerja buruk Pemda-nya. Melalui UU ini, tidak sulit bagi rakyat untuk

mengendus mana Pemda progresif-inovatif, dan mana Pemda yang cenderung stagnan
dalam penyelenggaraan pembangunan daerah. Maka, tidaklah heran, meski sudah 70-an
tahun Indonesia merdeka plus dua tahun sudah UU Pemda dikeluarkan, medan jalan di
pedalaman tetap tragis. Adalah naif bagi kita untuk mengatakan bahwa Pemda kita benarbenar kerja, kerja dan kerja – sebagaimana slogan Presiden Joko Widodo – ketika sarana
kebutuhan primer di daerah belum terjawab tuntas. Ketika daerah lain sedang berwacana
tentang kepada negara mana yang pangsa pasarnya menjajikan sebagai objek ekspor hasil
alam, rakyat kita masih bingung, dengan cara apa mereka hendak mendistribusikan hasil
alamnya.

Diterbitkan di Harian Flores Pos, Rabu, 7 September 2016

Luasnya cakupan hak daerah dalam kerangka otonomi daerah (Pasal 21 UU Pemda)
seperti mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya; memilih pimpinan
daerah; mengelola aparatur daerah; mengelola kekayaan daerah; memungut pajak daerah
dan retribusi daerah; mendapatkan bagi hasil dari pengelolaan sumber daya alam dan
sumber daya lainnya yang berada di daerah; dan mendapatkan hak lainnya yang diatur
dalam Peraturan perundang-undangan mendapatkan sumber-sumber pendapatan lain
yang sah tidak diimbangi dengan kewajiban Pemda meningkatkan pelayanan dasar dan
penyediaan fasilitas umum yang layak. Maka, ketika hak yang besar telah diberikan kepada
Pemda, sementara kebutuhan dasar rakyat belum terpenuhi, rakyat wajib menggugat: di

mana posisi Pemda kita? Terlalu mahal bagi kita untuk sekadar menggaji Pemda dengan
biaya tinggi dari hasil wajib pajak, untuk kemudian mereka (baca: Pemda) hanya berdiam
diri tanpa inovasi.