GAYA KOMUNIKASI DALAM KEPEMIMPINAN SRI S

GAYA KOMUNIKASI DALAM KEPEMIMPINAN
SRI SULTAN HAMENGKU BUWONO X SEBAGAI
GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

JURNAL
Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana
Ilmu Komunikasi pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik dengan
Minat Utama Public Relations
Oleh :
WINDY AYU MASRURROH
NIM. 0911220128

JURUSAN ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2013

1

2


Gaya Komunikasi dalam Kepemimpinan Sri Sultan Hamengku Buwono X
sebagai Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta
Windy Ayu Masrurroh
0911220128
Ilmu Komunikasi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Brawijaya
2013

Sri Sultan Hamengku Buwono X is a King of Kraton Ngayogyakarta
Hadiningrat which is also being trusted to be governor of Daerah Istimewa
Yogyakarta for 2012 – 2017 period. As a king and governor in the same time, it
gives effect on his leadership style, so he must be able to come between his figure
as a King either as a Governor of DIY. This research’s purpose is to analyses
leadership communication style of Sri Sultan Hamengku Buwono X as governor of
Daerah Istimewa Yogyakarta. Method being used is qualitative descriptive with
observation, structured interview and depth interview completed also by
documentation.
Results showing that Sri Sultan Hamengku Buwono X adhere democratic

style in his leadership. Sri Sultan Hamengku Buwono X also adhering Jawa
leadership philosophy, Ing Ngarso Sung Tuludho, Ing Madyo Mangun Karso, Tut
Wuri Handayani. Sri Sultan Hamengku Buwono X has a supportive communication
style, in which he has a low dominance and high sociability in his leadership as
governor DIY. In interaction, Sri Sultan Hamengku Buwono X adhere Jawa
philosophy Dupak Bujang, Esem Bupati, Sasmita Narendra . Sri Sultan is a leader
who always put dialogue with staff DIY and his people as number one priority, but
the problem come from his people who still reticent with Sri Sultan Hamengku
Buwono X’s strong charisma and his position as a King of Yogyakarta.
Key Words : Communication Style, Leadership, Governor.

PENDAHULUAN
Komunikasi merupakan salah satu faktor yang penting dalam menjalankan
proses administrasi dan interaksi antar elemen pada suatu organisasi atau lembaga,
baik internal maupun eksternal (Vionardi, 2011, h.2). Tanpa adanya jalinan
komunikasi yang baik dan benar, besar kemungkinan semua proses di dalam
organisasi/lembaga tersebut tidak akan dapat berjalan dengan maksimal dan sesuai

3


dengan yang telah direncanakan. Kemampuan komunikasi yang baik akan sangat
membantu semua proses yang ada dalam suatu organisasi atau lembaga.
Selain itu, jika dikaitkan dengan kepemimpinan, maka komunikasi yang
baik sangatlah penting dimiliki oleh suatu pemimpin karena berkaitan dengan
tugasnya untuk mempengaruhi, membimbing, mengarahkan, mendorong anggota
untuk melakukan aktivitas tertentu guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan
serta mencapai efektifitas dalam kepemimpinan, perencanaan, pengendalian,
koordinasi, latihan, manejemen konflik serta proses-proses organisasi lainnya
(Vionardi, 2011, h.1).
Kepemimpinan dan komunikasi merupakan aspek yang tidak dapat
dipisahkan dari Organisasi. Kepemimpinan (leadership) merupakan unsur yang
sangat penting dalam membawa suatu bangsa kepada tataran peradaban tertentu
(Suratno, 2006, h.7). Banyaknya kerajaan yang ada di Indonesia tentu saja tidak
terlepas dari pengaruh kebudayaan Jawa yang telah melekat pada diri
masyarakatnya. Sebagai falsafah yang bersifat mayoritas, falsafah hidup orang
Jawa terus berkembang dan dijunjung tinggi oleh masyarakatnya sehingga sistem
politik dan birokrasi yang berlaku lebih banyak menganut budaya Jawa. Hal inilah
yang kemudian dapat memberikan warna yang kuat terhadap suatu kebijakan
tertentu (Cedderoth, 2001, h.49).
Misalnya saja dalam kepemimpinan Jawa, orang cenderung menonjolkan

figur kepemimpinan daripada sistem kepemimpinan. Misalnya saja pada suatu
lembaga, setiap pergantian pimpinan maka akan selalu diikuti dengan pergantian
kebijakan sesuai ”selera” sang pemimpin. Gambaran ini juga tampak dalam gelar
raja Jawa yang menggenggam semua aspek pemerintahan dari sosial dan
pemerintahan dengan ungkapan berbudi bawa leksana, bau dendha nyakrawati,
amirul mukminin, kalifatullah\ sayidin panatagama (pemurah laksana angin, yang

menghukum dan menyempurnakan, pimpinan orang mukmin, wakil Allah di bumi,
pimpinan yang mengatur agama), (Damardjati, 1993, h.44).
Dalam berkomunikasi, orang Jawa mengutamakan sopan-santun (unggahungguh). Kesantunan ini tentu saja berbeda dengan perasaan tidak enak atau takut-

takut (ewuh-pakewuh), karena kesantunan ini lebih mengedepankan kepada

4

kerendahan hati (adhap-asor ) dan kelembutan (lembah-manah). Misalnya saja
pada saat menyampaikan pendapat, orang Barat akan berkata I think (saya pikir),
sedangkan orang Jawa akan berkata “saya rasa”, karena lebih mengedepankan
aspek kebesaran hati dan kehalusan budi atau dalam bahasa sekarang disebut
kecerdasan emosional (Damardjati, 1993, h.40).

Sri Sultan Hamengku Buwono X adalah salah satu Gubernur yang ada di
Indonesia yang memiliki reputasi yang cukup baik. Sejak tahun 1998 hingga saat
ini, ia merupakan Raja sekaligus Gubernur di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Kepemimpinannya yang sangat baik ini tentu saja tidak lepas dari latar belakangnya
yang juga sebagai Raja Kraton Ngayogyakarta. Kepemimpinan yang ia dapatkan
secara turun-temurun tidak membuatnya mengabaikan nilai-nilai luhur dalam
dirinya yang jarang sekali dimiliki oleh pemimpin lain saat ini.
Keberhasilan Sri Sultan Hamengku Buwono X dalam memimpin sebagai
Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta tentu saja juga dipengaruhi oleh gaya
komunikasinya. Setiap orang memiliki gaya komunikasi yang unik. Setiap individu
memiliki gaya komunikasi mereka sendiri sehingga menghasilkan sesuatu yang
unik (Reece & Brandt, 1993, h.122). Sebagai seorang pemimpin di Daerah
Istimewa Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono X memiliki gaya komunikasi
yang unik pula. Hal ini dapat dilihat dari latar belakang profesinya yang juga
sebagai Raja dari Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Selain dipengaruhi latar
belakang profesi, gaya komunikasi juga dipengaruhi oleh dominasi, sosiabilitas
pemimpin serta situasi dan kondisi setempat, baik budaya dan kebiasaan yang ada,
maupun perkembangan politik yang terjadi di wilayahnya masing-masing. Dengan
demikian, mereka menggunakan kombinasi perilaku komunikatif yang berbeda
ketika menanggapi keadaan sekelilingnya.

Dari penjelasan tersebut, peneliti tertarik untuk melihat apakah konsep
kepemimpinan tradisonal, khususnya dalam berkomunikasi masih diterapkan di
jaman modern saat ini, dimana tuntutan masyarakat akan sosok pemimpin yang
semakin kompleks. Kemudian apakah latar belakang ataupun profesi dari seorang
pemimpin akan mempengaruhi gaya komunikasi dalam kepemimpinanya. Untuk
itu peneliti melakukan penelitian dan mengangkat judul “Gaya Komunikasi dalam

5

Kepemimpinan Sri Sultan Hamengku Buwono X sebagai Gubernur Daerah
Istimewa Yogyakarta”.

RUMUSAN MASALAH
Terkait dengan latar belakang di atas, maka rumusan masalah pada penelitian ini
yaitu “Bagaimanakah gaya komunikasi dalam kepemimpinan Sri Sultan Hamengku
Buwono X sebagai Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta?

METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif deskriftif karena peneliti ingin
menggali data mengenai gaya komunikasi dalam kepemipinan yang dilakukan Sri

Sultan Hamengku Buwono X sebagai Gubernur DIY. Penggunaan metode kualitatif
deskrtiptif dianggap relevan untuk memperoleh informasi secara lengkap dan
mendalam mengenai bagaimana gaya komunikasi dalam kepemimpinan Sri Sultan
Hamengku Buwono X saat menjabat sebagai Gubernur DIY.
Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini yaitu purposive sampling.
Purposive sampling yaitu teknik pengambilan sampel sumber data dengan

pertimbangan tertentu berdasarkan tujuan penelitian (Kriyantono, 2007:154).
Subjek dalam penelitian ini berjumlah 14 orang yaitu Sri Sultan Hamengku
Buwono X sebagai Gubernur DIY, perwakilan pejabat eselon I, II, III, IV,
perwakilan staf Pemda DIY, wartawan, dan masyarakat umum. Sedangkan teknik
pengumpulan data diperoleh melalui wawancara terstruktur, wawancara mandalam
observasi, dan dokumentasi. Persetujuan informan diperoleh setelah informan
mendapatkan penjelasan mengenai proposal penelitian. Karena penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui etika dan profesionalisme wartawan, maka peneliti
akan melindungi nama baik informan dengan cara menyembunyikan identitas
informan dalam penelitian ini.
Peneliti menggunakan teknik analisis data Miles and Huberman. Miles and
Huberman mengemukakan bahwa aktivitas data dalam analisis kualitatif dilakukan


secara interaktif dan berlangsung secara terus menerus sampai tuntas, sehingga

6

datanya sudah jenuh (Sugiyono, 2011:246). Sedangkan untuk menguji kebenaran
informasi yang diberikan oleh narasumber, peneliti menggunakan analisis
trianggulasi sumber dan metode. Di sini, peneliti membandingkan pernyataan
informan melalui data hasil wawancara, catatan observasi di lapangan, serta
dokumen lain yang sekiranya dapat mendukung penelitian ini. Selain itu peneliti
juga membandingkan pernyataan dari sumber yang satu dengan sumber lainnya.
Perbandingan ini bertujuan untuk menemukan konsistensi data sehingga data yang
diperoleh dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya.

HASIL PENELITIAN
Modal Kepemimpinan Sri Sultan Hamengku Buwono sebagai Gubernur
Daerah Istimewa Yogyakarta
Untuk menjadi seorang pemimpin diperlukan modal agar proses
kepemimpinannya dapat berjalan dengan baik. Modal utama menjadi pemimpin
terdiri atas modal intrinsik dan modal eksintrik. Kedua modal ini jika dimiliki oleh
seorang pemimpin, maka akan membuat seseorang dapat diterima keberadaannya

oleh masyarakat. Modal intrinsik terdiri atas (Teguh, 2003, h.22): ability, capability
dan personality, sedangkan modal eksintrik terdiri atas acceptability yaitu sikap
penerimaan lingkungan terhadap pemimpin
Sri Sultan Hamengku Buwono X memiliki kedua modal tersebut. Dari
aspek ability, yaitu latar belakang atau background yang dimiliki olehnya yang
tidak lain merupakan seorang Raja di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang
memiliki pengetahuan, keahlian, dan keterampilan baik yang didapat secara formal
melalui pendidikannya di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, maupun
informal yang beliau dapatkan melalui pendidikan di dalam Keraton serta
pengalaman pribadinya selama mengikuti ayahandanya, Sri Sultan Hamengku
Buwono IX dalam menjalankan tugas-tugas pemerintahan. Kemampuan tersebut
sangat bermanfaat dalam kepemimpinannya sebagai Gubernur Daerah Istimewa
Yogyakarta.
Selain ability, faktor capability dalam unsur intrinsik juga dimiliki olehnya.
Capability yaitu kondisi psikologis seorang pemimpin yang mencerminkan

7

kemantapan dan kesanggupan untuk memikul segala konsekuensi jabatan dan
kepemimpinan. Dalam hal ini, Sultan pernah mengatakan dalam Pisowanan Agung

bahwa ia akan menjabat sebagai Gubernur selama rakyat menginginkannya dan ia
sanggup mengemban tugas yang diberikan oleh rakyat ini semata-mata untuk
kesejahteraan rakyatnya.
Sedangkan personality yang ia miliki yaitu pancaran karakter Sri Sultan
Hamengku Buwono X yang cukup kuat untuk seorang pemimpin. Ia memiliki sifat
welas asih, mau berdialog serta tidak hanya menyuruh, tetapi berusaha menjadi
teladan yang baik bagi staf-stafnya di Pemda DIY. Sikapnya yang ramah terhadap
semua orang dan tidak memandang bahwa ia merupakan seorang raja yang harus
disegani telah membuat keunikan tersendiri yang khas dalam dirinya.
Kedudukannya sebagai seorang Gubernur membuatnya ingin diperlakukan seperti
orang kebanyakan dan bukan Wong Agung yang diagung-agungkan masyarakat
saat berada di Keraton sebagai Raja Ngayogyakarta Hadiningrat. Personality
tersebut terbentuk dari sifat-sifat genetis yang banyak mencontoh ayahandanya Sri
Sultan Hamengku Buwono IX. Ia juga merupakan seorang pemimpin yang
memiliki karakter baik sehingga banyak menjadi teladan yang cenderung disegani
dan dihormati, baik oleh staf-staf di Pemda DIY maupun oleh masyarakat.
Selain modal intrinsik, ia juga memiliki modal eksintrik. Unsur ekstrinsik
ketika menjadi pemimpin yaitu acceptability yang merupakan sikap penerimaan
lingkungan terhadap pemimpin. Penerimaan ini merupakan energi yang luar biasa
dalam rangka pemimpin melakukan inovasi dan inisiasi. Dalam hal ini, ketika

terjadi pergulatan tentang keistimewaan Yogyakarta, masyarakat Yogyakarta
menyatakan keberatannya jika Gubernur harus dipilih melalui pemilihan umum,
rakyat lebih memilih penetapan, sehingga hal ini merupakan salah satu bentuk
bahwa penerimaan masyarakat akan sosok Sultan Hamengku Buwono X sebagai
Gubernur mereka. Hal ini bisa terjadi dikarenakan sejarah Keraton Ngayogyakarta
Hadiningrat yang banyak berperan serta dalam proses kemerdekaan Indonesia serta
karakteristik Sultan mereka yang memang dianggap layak menjadi seorang
pemimpin di daerah mereka.

8

Gaya Kepemimpinan Sri Sultan Hamengku Buwono sebagai Gubernur
Daerah Istimewa Yogyakarta
Modal kepemimpinan yang dimiliki oleh seseorang, secara tidak langsung
akan mempengaruhi gaya kepemimpinannya. Raph White dan Ronald Lippitt
dalam Winardi (2000) menyatakan bahwa gaya kepemimpinan adalah suatu gaya
yang digunakan oleh seorang pemimpin untuk mempengaruhi bawahan. Sri Sultan
Hamengku Buwono X menjalankan kepemimpinan secara demokratis karena ia
menentukan keputusan-keputusan dan kebijakan-kebijakan melalui proses
musyawarah dengan staf-stafnya di Pemda DIY. Namun jika ia harus segera
memutuskan suatu hal yang mendesak, maka ia akan memutuskannya sendiri
dengan berbagai pertimbangan.
Selain itu, sisi demokratisnya yang lain yaitu ia merupakan orang yang
memiliki kepercayaan tinggi terhadap bawahannya, selalu ingin melakukan dialog
terhadap bawahannya serta masyarakat, memiliki disiplin yang tinggi, dan selalu
ingin melakukan komunikasi dua arah karena mengganggap bawahan adalah
komponen pelaksana yang penting sehingga beban kerja menjadi tanggung jawab
yang harus dipikul bersama. Namun ada salah satu yang cukup menarik, yaitu
keramahan dan kebaikannya sehingga jarang menegur ketika ada bawahan yang
salah, atau menegurnya terlalu halus, sehingga terkadang para bawahan tersebut
tidak sadar jika melakukan kesalahan. Hal ini mungkin dilakukannya karenakan ia
tidak ingin menyakiti hati para bawahannya sehingga dikemudian hari muncul rasa
minder dari para bawahannya dalam melakukan kegiatan-kegiatan pemerintahan.
Selain itu, Sri Sultan Hamengku Buwono X menganut konsep
kepemimpinan Jawa yang cukup terkenal, yaitu Ing Ngarso Sung Tuludho, Ing
Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayan i, dimana konsep tersebut dirumuskan

oleh Ki Hajar Dewantara. Konsep ini menjelaskan bahwa seorang pemimpin
melakukan tugas kepemimpinan sesuai dengan posisi dimana ia berada (Moeljono,
2005, h.24). Hal ini menjelaskan bahwa seorang pemimpin ketika berada di depan
harus memberikan teladan, ketika ia berada di tengah harus memberikan inspirasi
dan ketika di belakang ia harus mampu memberikan motivasi. Sri Sultan Hamengku
Buwono X mampu menjalankan perannya sebagai Gubernur sesuai dengan konsep

9

Ing Ngarso Sung Tuludho, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayan i. Hal

ini dikarenakan ketika ia berada didepan, ia mampu memberikan contoh kepada
rekan-rekannya, bahkan ia menjadi teladan bagi para staf di Pemda DIY karena
kepemimpinannya yang baik, pemikirannya yang jauh kedepan serta semangatnya
dalam mewujudkan tujuan bersama yang telah ditetapkan. Ketika di tengah, ia
mampu memberikan inspirasi dengan beragam inovasi serta memberikan
kebebasan kepada para stafnya untuk berfikir dan berinovasi. Dan ketika di
belakang, ia mampu memberikan motivasi kepada staf-stanya untuk dapat bekerja
dengan baik dan maksimal.
Gaya kepemimpinan Sri Sultan Hamengku Buwono X yang demokratis,
tentu saja akan mempengaruhi cara ia berinteraksi sebagai Gubernur Daerah
Istimewa Yogyakarta. Interaksi sosial merupakan kunci utama dari semua
kehidupan sosial karena tanpa interaksi, maka tidak akan ada kehidupan bersama.
Interaksi sosial merupakan merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis
antara orang perorang maupun dengan kelompok.

Interaksi Sosial Sri Sultan Hamengku Buwono sebagai Gubernur Daerah
Istimewa Yogyakarta
Sri Sultan Hamengku Buwono X merupakan sosok pemimpin yang dapat
membangun interaksi sosial dengan cukup baik. Walaupun selama ini banyak yang
beranggapan bahwa seorang raja pasti akan bersikap feodal, namun Sri Sultan
Hamengku Buwono X sudah dapat memisahkan kedudukannya sebagai Gubernur,
maupun sebagai Raja. Interaksi sosial yang ia lakukan telah menyesuaikan dengan
kehidupan masa kini yang lebih modern, namun tetap memperhatikan etika-etika
Jawa yang tetap dipegang teguh olehnya.
Syarat terjadinya interaksi sosial yaitu adanya komunikasi dan kontak
sosial. Komunikasi sendiri digunakan untuk memupuk komunikasi dengan orang
lain. Komunikasi yang efektif terjadi jika komunikan dengan komunikator memiliki
banyak kesamaan, misalnya saja pada kesamaan budaya. Sri Sultan Hamengku
Buwono X sering menggunakan etika Jawa dalam berinteraksi dengan stafnya
maupun dengan masyarakat. Ia mengadopsi etika Jawa karena kebanyakan

10

masyarakat Yogyakarta adalah orang Jawa dan ia merupakan salah satu Raja Jawa
yang masih menjunjung kuat etika Jawa. Namun ia tidak pernah memaksakan para
stafnya untuk berbahasa Jawa sepertinya, karena ia sadar betul bahwa Yogyakarta
merupakan provinsi yang heterogen yang memiliki banyak pendatang sehingga ia
menginginkan agar setiap pendatang masih mempertahankan culture daerah asal
masing-masing.
Komunikasi terbagi menjadi dua, yaitu komunikasi verbal dan nonverbal.
Komunikasi verbal identik dengan penggunaan bahasa atau simbol dalam
kehidupan sehari-hari. Pesan verbal adalah semua jenis simbol yang menggunakan
satu kata atau lebih dalam kegiatan komunikasi, sedangkan bahasa dapat
didefinisikan sebagai seperangkat simbol, dengan aturan untuk mengkombinasikan
simbol-simbol tersebut, yang digunakan dan dipahami suatu komunitas (Mulyana,
2006, h.237). Bentuk komunikasi verbal yang sering dilakukan Sri Sultan
Hamengku Buwono X, yaitu pada saat berpidato dan melakukan audiensi dengan
wartawan.
Pidato merupakan salah satu bentuk komunikasi verbal. Dalam berpidato
Sri Sultan Hamengku Buwono X memang telah memiliki naskah pidato yang telah
dibuat untuk disampaikan, namun terkadang ia tidak membaca kesemuanya dan
lebih banyak melakukan improvisasi. Metode penyampaian pidato seperti ini biasa
disebut dengan metode penyampaian ekstemporer, dimana hanya mengingat-ingat
gagasan pokoknya saja tanpa ada keterikatan yang kaku dalam pemilihan kata-kata.
Metode penyampaian pidato seperti ini dilakukan olehnya saat acara-acara yang
diadakan tidak terlalu formal, sehingga ia bisa berimprovisasi seperti meyelipkan
unsur kebudayaan dan menyelipkan lelucon-lelucon untuk mencairkan suasana.
Selain metode tersebut, ia juga menggunakan metode lain yaitu metode
penyampaian naskah, dimana pembicara membacakan pidato kepada khalayak.
Metode ini aman digunakan dalam situasi yang menuntut ketepatan waktu dan katakata yang dipakai. Metode ini juga sering digunakan oleh Sri Sultan Hamengku
Buwono X, khususnya dalam acara-acara formal yang memiliki susunan acara yang
baku dengan tamu-tamu penting.

11

Dalam berpidato, ia juga sering menggunakan bahasa-bahasa Jawa kromo
alus seperti injih (iya), pareng (pulang), pripun (bagaimana), nderek (ikut), dan

masih banyak lainnya. Namun bahasa jawa yang dipakai cenderung bahasa Jawa
umum yang masih banyak dimengerti oleh pendengar, karena memang ia
menyadari bahwa masyarakat Yogyakarta bersifat heterogen sehingga ia tidak ingin
selalu menggunakan bahasa Jawa. Dalam berpidato, ia juga selalu menyisipkan halhal mengenai kebudayaan, agar masyarakat tidak lupa akan kebudayaan dan
wawasan kebangsaannya.
Selain pidato, bentuk komunikasi verbal yang sering dilakukan oleh Sri
Sultan Hamengku Buwono X adalah saat audiensi dengan wartawan. Sri Sultan
Hamengku Buwono X merupakan sosok yang ramah terhadap para wartawan. Hal
itu ditunjukkan oleh dimanapun ia berada ketika ingin diwawancarai oleh
wartawan, ia akan selalu bersedia menjawab. Saat ia melakukan audiensi dengan
wartawan, dalam berbicara lebih rileks, tidak menunjukkan sosok pemimpin yang
harus dihormati. Dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan dari wartawan, ia juga
tidak selalu menggunakan bahasa baku. Kadang ia juga menggunakan bahasa Jawa.
Hal ini mungkin dikarenakan latar belakangnya sebagai orang Jawa. Dalam
menjawab pertanyaan-pertanyaan wartawan, ia juga sering bercanda, menyelipkan
humor-humor tertentu sehingga mencairkan suasana audiensi.
Selain komunikasi verbal, Sri Sultan Hamengku Buwono X juga melakukan
komunikasi nonverbal. Komunikasi nonverbal identik dengan penggunaan
lambang-lambang yang pemaknaanya dibentuk secara bersama maupun lambanglambang yang berhubungan dengan panca indera (body movement, facial
communication, eye communication, touch communication). Salah satu bentuk

komunikasi norvebal adalah gesture. Gesture bersifat alamiah, lebih murni, dan
orang bisa mengetahui apa yang disampaikan jika komunikasi verbal diikuti oleh
bahasa nonverbal melalui bahasa tubuh. Beberapa contoh gesture Sri Sultan
Hamengku Buwono X saat memimpin sebagai gubernur Daerah Istimewa
Yogyakarta, yaitu ekspresi wajah, gerakan mata, gerakan anggota badan, isyarat
tangan, dan sentuhan.

12

Selain komunikasi, syarat terjadinya interaksi sosial yaitu kontak sosial.
Kontak sosial terbagi menjadi tiga, yaitu individu dengan individu, individu dengan
kelompok, dan kelompok dengan kelompok. Dalam hal ini, Sri Sultan Hamengku
Buwono X melakukan 2 (dua) kontak sosial yaitu ia dengan staf Pemda DIY dan ia
dengan masyarakat. Kontak sosial yang terjadi antara ia dengan staf Pemda DIY
tidak berjalan dengan baik, karena komunikasi yang terjadi terkadang tidak berjalan
dua arah. Masih segan atau takutnya beberapa staf Pemda DIY terhadap beliau yang
terkadang dianggap seorang raja yang patut dihormati. Padahal ia termasuk orang
yang terbuka dan dalam berkomunikasi tidak pernah memandang status dan
golongan. Tetapi hal ini mungkin terjadi mengingat kharisma ia yang masih cukup
tinggi sehingga begitu disegani atau bahkan ditakuti. Hal ini terjadi karena
kedudukan ganda yang ia miliki, yakni sebagai raja dan sebagai gubernur yang
keduanya seakan tidak bisa dipisahkan di masyarakat.
Selain dengan staf Pemda DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X juga
melakukan kontak sosial dengan masyarakat, karena memang kedudukannya
sebagai gubernur adalah semata-mata untuk kesejahteraan rakyatnya, sehingga ia
harus melihat keadaan rakyat. Sultan juga sering mengadakan dialog-dialog dengan
masyarakat. Ia tidak pernah mengeksklusifkan diri saat terjun ke masyarakat. Ia
turun langsung tanpa didampingi oleh pengawalan yang ketat dan melakukan
dialog-dialog dengan masyarakat. Bahkan Sri Sultan Hamengku Buwono X tidak
segan untuk bercengkrama dengan masyarakat, seperti menggendong anak kecil
yang ada, menanyakan kabar masyarakatnya, dan lain sebagainya.

Gaya Komunikasi Sri Sultan Hamengku Buwono sebagai Gubernur Daerah
Istimewa Yogyakarta
Dalam menjalankan tujuan serta program-program Pemda DIY, Sultan
dituntut untuk selalu melakukan komunikasi, baik kepada stafnya maupun kepada
masyarakat. Sebagai seorang pemimpin, Sri Sultan Hamengku Buwono X mampu
menjadikan dirinya benar-benar seorang pemimpin, bukan pimpinan. Selain itu, ia
juga mampu memisahkan kedudukannya sebagai Raja, maupun sebagai Gubernur,
walaupun pada dasarnya hal itu sulit sekali untuk dibedakan di masyarakat.

13

Dari komunikasi kepemimpinan yang dilakukannya, dapat disimpulkan
bahwa Sri Sultan Hamengku Buwono X, memiliki sifat santun dan ramah. Selain
itu ia juga merupakan sosok pemimpin yang selalu menginginkan adanya dialog,
baik dengan para staf maupun dengan masyarakat. Dengan adanya dialog
diharapkan setiap permasalahan yang ada dapat terselesaikan dan komunikasi yang
terjadi dapat berjalan dua arah dengan adanya feedback. Selain itu, ia juga
merupakan sosok pemimpin yang tegas dalam mengambil keputusan serta
merupakan pemimpin yang selalu memberikan motivasi kepada para staf maupun
masyarakat untuk kemajuan bersama. Sri Sultan Hamengku Buwono X juga
merupakan sosok pemimpin yang tidak ingin dieksklusifkan walaupun ia juga
seorang Raja Ngayogyakarta Hadiningrat. Ia merupakan sosok pemimpin yang
selalu ingin diperlakukan sama dengan yang lainnya karena ia semata-mata
menjabat untuk melayani masyarakat dan

PEMBAHASAN
Berbicara tentang pemimpin dan kepemimpinan masa depan, erat kaitannya
dengan kualitas sumber daya manusia yang dimiliki oleh bangsa ini. Bangsa ini
tentu saja masih membutuhkan pemimpin yang kuat di berbagai sektor kehidupan
masyarakat, pemimpin yang berwawasan kebangsaaan dalam menghadapi
permasalahan bangsa yang demikian kompleks. Pemimpin dan kepemimpinan yang
integratif harus memiliki pola pikir, pola sikap dan pola tindak sebagai negarawan
dan memiliki modal atau kelebihan tertentu sebagai seorang pemimpin.
Komunikasi merupakan hal yang penting dilakukan agar birokrasi
pemerintahan dapat berjalan dengan lancar. Di dalam suatu organisasi, komunikasi
menjadi sarana untuk mengarahkan dan mengendalikan setiap kegiatan,
komunikasi juga menjadi sarana untuk memahami tujuan organisasi dan
mempengaruhi dan meyakinkan orang-orang agar melaksanakan tujuan dari
organisasi yang telah ditetapkan. Melalui komunikasi yang efektif setiap orang di
dalam organisasi akan akan memiliki pemahaman dan pandangan yang sama dalam
memahami visi dan misi organisasi.

14

Komunikasi dalam sebuah kepemimpinan merupakan suatu unsur yang
sangat penting dalam mencapai keberhasilan tujuan yang akan diraih oleh suatu
organisasi. Oleh karena itu seorang pemimpin hendaklah piawai dalam
berkomunikasi baik itu verbal maupun non verbal. Komunikasi yang baik akan
mampu meningkatkan motivasi di lingkungan kerja, sehingga informasi yang
disampaikan dapat diterima dengan baik dan hal ini akan mampu meningkatkan
kinerja serta kontrol kerja juga akan terlaksana dengan baik.
Sebagai seorang pemimpin di Pemda DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono
X dituntut untuk mampu menerapkan proses komunikasi yang efektif. Sri Sultan
Hamengku Buwono X merupakan sosok pemimpin yang sering melakukan dialogdialog, baik dengan staf Pemda DIY maupun dengan masyarakat. Ia merupakan
orang yang terbuka dengan siapapun dan tidak pernah membedakan strata sosial
orang lain. Walaupun ia juga berkedudukan sebagai seorang raja, namun ia tidak
pernah bersikap feodal seperti raja kebanyakan, karena ia bisa membedakan mana
kedudukannya sebagai raja, maupun kedudukannya sebagai gubernur. Namun pada
dasarnya, ia merupakan sosok yang santun dan ramah sehingga stereotype bahwa
raja itu feodal tidak tampak pada dirinya. Komunikasi kepemimpinan yang
dilakukan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X kepada para staf dan masyarakat
sudah sangat baik. Ia selalu terbuka dan mempersilahkan kepada para staf maupun
masyarakat untuk bertanya, memberikan saran, maupun kritikan.
Namun ada satu konsep komunikasi yang cukup menarik bagi peneliti, yaitu
konsep kemunikasi Jawa yang dipakai raja-raja Jawa dalam memimpin, yaitu dupak
bujang, esem bupati, sasmita narindra. Dalam kapasitasnya sebagai gubernur, ia

sering memakai konsep Jawa ini dalam berkomunikasi, khususnya dengan para staf
Pemda DIY. Seorang pemimpin harus peka terhadap kritik sesuai perinsip dupak
bujang, esem bupati, dan sasmita narindra (Purwadi, 2007). Kelas bujang (buruh,

bawahan, pelayan) harus ditegur keras karena tingkat kecerdasannya rendah.
Namun, semakin tinggi jabatan seharusnya semakin peka. Seorang bupati cukup
diberi senyuman (esem) dan harus langsung mengerti makna kritik dibalik
senyuman itu (smile meaningfully). Raja harus lebih peka. Ia harus bisa memahami
hal-hal yang sifatnya simbolik karena halus budi bahasanya (tanggap ing sasmita ).

15

Sri Sultan Hamengku Buwono X terkadang menggunakan bahasa-bahasa
nonverbal yang terkadang tidak dimengerti oleh para staf Pemda DIY. Sultan
terkadang menggunakan isyarat-isyarat tertentu seperti ketika tidak senang ia hanya
cukup menjelaskan dengan matanya, atau ketika tidak setuju maka ia sering
menggunakan ekpresi wajahnya tanpa mengeluarkan kalimat-kalimat tertentu.
Untuk menjelaskan sesuatu terhadap orang yang lebih tinggi kedudukannya, ia
tidak berbicara dengan panjang lebar, ia lebih banyak menggunakan isyarat-isyarat
tertentu. Komunikasi seperti ini terkadang membingungkan bagi seseorang yang
tidak mengenalnya, karena terkadang tugas-tugas atau pendapat-pendapat tentang
kinerja pemerintahan maupun permasalahan sosial yang dikatakannya terkadang
tidak dimengerti oleh beberapa staf Pemda DIY.
Selain itu komunikasi yang dilakukan Sri Sultan Hamengku Buwono X saat
menegur para stafnya juga jarang sekali memakai bahasa verbal, ia lebih memakai
isyarat-isyarat mata atau kata-kata halus. Hal ini mungkin dikarenakan
kedudukannya yang juga seorang raja sehingga halus budi bahasanya. Namun
peneliti melihat hal ini justru bisa menjadi hambatan bagi komunikasinya karena
beberapa staf tidak mengerti apa yang dimaksudkannya.
Komunikasi merupakan aspek penting dalam kepemimpinan. Setiap
pemimpin memiliki gaya komunikasi mereka sendiri sehingga menghasilkan
sesuatu yang khas atau unik. Gaya komunikasi dalam kepemimpinan merupakan
gaya seseorang pemimpin dalam menerapkan komunikasi. Sebagai seorang
pemimpin, tentu Sri Sultan Hamengku Buwono X memiliki gaya komunikasi
tersendiri. Gaya komunikasi ini sangat penting untuk untuk mengarahkan dan
mengendalikan setiap kegiatan pemerintahan, serta untuk memahami tujuan,
mempengaruhi dan meyakinkan orang-orang agar melaksanakan tujuan dari
pemerintahan yang telah ditetapkan. Gaya komunikasi ini tentu saja bisa
dipengaruhi oleh modal kepemimpinan, gaya kepemimpinan serta bagaimana
interaksi yang dilakukan pemimpin.
Menurut Reece & Brandt (1993, h.125), gaya komunikasi dibagi menjadi
dua variabel, yaitu dominasi dan sosiabilitas. Dominasi merupakan kecenderungan
untuk menentukan sikap dan mengambil tanggung jawab, sedangkan sosiabilitas

16

yaitu kecenderungan untuk mencari dan menikmati hubungan sosial. Dari kedua
variabel ini, nantinya akan dibagi menjadi dua katagori, yaitu tinggi dan rendah.
Gaya kepemimpinan yang dimiliki oleh Sri Sultan Hamengku Buwono pasti akan
mempengaruhi dominasi dan sosiabilitas dirinya.
Sebagai seorang pemimpin, Sri Sultan Hamengku Buwono X memiliki
dominasi yang rendah. Walaupun kedudukannya sebagai seorang raja yang
seharusnya mempunyai dominasi yang tinggi, namun ia tidak pernah memasukan
hal tersebut dalam melaksanakan tugasnya sebagai seorang gubernur. Ia selalu
bersikap kooperatif kepada siapa saja, baik kepada staf, wartawan, maupun
masyarakat. Ia juga tidak pernah bersikap otoriter dalam menjalankan tugasnya
sebagai gubernur. Selain itu, ia juga merupakan orang yang tegas dalam
menyampaikan keputusan. ia juga selalu bersikap ramah dan sabar kepada
siapapun. Sultan juga merupakan orang yang berhati-hati dalam setiap pengambilan
keputusan karena keputusan tersebut nantinya akan berpengaruh kepada
masyarakat. Selain itu, dalam pembawaan diri, ia termasuk orang yang tenang,
rileks dan tidak sombong.
Selain dominasi, sosiabilitas merupakan variabel lain dalam menentukan
gaya komunikasi. Sri Sultan Hamengku Buwono memiliki sosiabilitas yang tinggi
yaitu dilihat dari sifatnya yang lembut, ramah, terbuka dan perhatian dengan siapa
saja. Hal tersebut tentu saja membuatnya banyak disukai oleh masyarakat, tidak
hanya di Yogyakarta saja, tetapi nasional bahkan dunia internasional.
Dilihat dari dominasi dan sosiabilitas, Sri Sultan Hamengku Buwono
memiliki gaya komunikasi supportive. Pada supportive style, seorang cenderung
memiliki dominasi yang rendah dan sosiabilitas yang tingi. Orang yang memiliki
gaya ini cenderung koorperatif, sabar, dan penuh perhatian.Sri Sultan Hamengku
Buwono X merupakan sosok yang selalu berusaha mendengarkan dengan penuh
perhatian. Ia juga menghindari penggunaan kekuasaan untuk kepentingan dirinya
sendiri. Ia merupakan orang yang ramah dan santun terhadap siapa saja. Dalam
pengambilan keputusan, ia akan membuat dan menyatakan keputusannya dengan
bijaksana, namun dalam proses pengambilan keputusan, perannya sangat rendah

17

karena ia selalu meminta saran dari orang lain yang ahli dalam bidang-bidang
tertentu.

High Sociability

Supportive

Low
Dominance

High
Dominance

Low Sociability
Bagan 1 : Model Gaya Komunikasi Sri Sultan Hamengku Buwono X sebagai
Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta
Sumber: Analisis peneliti

Sri Sultan Hamengku Buwono X selalu mendorong terciptanya iklim
komunikasi yang terbuka, agar bawahan tidak segan dan mempercayai pemimpin
untuk menerima pesan apa saja yang disampaikannya. Iklim komunikasi yang
terbuka adalah iklim komunikasi yang memungkinkan semua anggota memiliki,
memahami dan menerima semua informasi yang terdapat diseluruh bagian
perusahaan. Namun terkadang beberapa staf di Pemda DIY tidak memahami
bahasa-bahasa yang diperlihatkan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X, sehingga
iklim organisasinya kurang berjalan dengan baik.
Iklim komunikasi organisasi yang terbuka dan bersifat dua-arah kepada
seluruh anggota organisasi tanpa batasan, tidak hanya meningkatkan kinerja
organisasi

tetapi

menyediakan

landasan

dasar

bagi

pemimpin

untuk

mengkomunikasikan visi, nilai-nilai dan informasi penting lainnya. Sri Sultan

18

Hamengku Buwono X sudah mampu menguasai keterampilan berkomunikasi,
menciptakan iklim komunikasi organisasi yang terbuka, mendengarkan bawahan
secara efektif dan senantiasa terbuka terhadap umpan balik dari bawahan.
Sultan juga memiliki empat sikap yang dapat membuat umpan balik dapat
diterima dengan efektif, yaitu kepekaan, dukungan, keterbukaan pikiran, dan
kespesifikan. Ia memiliki kepekaan, sehingga ia terkadang dapat mengerti apa yang
ada dibenak para stafnya ketika sedang rapat dan sebagainya. Selain itu, ia juga
memiliki kepekaan terhadap masalah-masalah masyarakat, hal ini sangat wajar
mengingat ia menganut konsep kepemimpinan “Takhta untuk Rakyat”, sehingga ia
harus lebih peka terhadap permasalahan yang terjadi dan keinginan para rakyatnya.
Selain itu, ia juga selalu mendukung apa yang dilakukan oleh para staf dan
masyarakat, tetapi ketika ada yang salah, ia akan memberikan nasihat serta solusi
untuk permasalahan. Selain itu, ia juga memiliki keterbukaan pikiran, sehingga
selalu menerima masukan-masukan dari berbagai kalangan. Sultan juga termasuk
orang yang memiliki pemikiran satu langkah lebih maju kedepan, sehingga ia telah
mampu menganalisis beberapa hal yang belum dan akan terjadi.
Selain itu, ia juga selalu memberikan motivasi kepada para staf dan
masyarakat. Ia selalu mendorong mereka untuk selangkah lebih maju dengan
memberikan nasihat-nasihat serta pemikiran-pemikirannya tentang permasalahan
sosial serta tentang kinerja Pemda DIY. Ia juga merupakan orang yang tegas dalam
proses pengambilan keputusan. Walaupun setiap keputusan yang ia tetapkan
terlebih dahulu telah didiskusikan dengan staf-staf ahli pemrintahan serta
masyarakat. Keputusan-keputusan yang telah ditetapkan olehnya lebih banyak
mengacu pada kepentingan publik dan bukan kepentingan individu ataupun
golongan tertentu.
Sebagai seorang pemimpin, Sri Sultan Hamengku Buwono X tidak saja
dituntut untuk mampu berbicara secara jelas, tetapi yang lebih penting lagi adalah
beliau dituntut untuk mampu mendengarkan bawahannya. Dengan mendengarkan
secara efektif maka beliau bisa memahami bawahannya secara lebih mendalam,
sehingga dalam pengambilan keputusan yang diambil pemimpin bisa tepat sasaran
dan efektif Hal ini telah mampu dilaksanakan beliau dengan baik, akan tetapi hal

19

yang menghalangi adalah lingkungannya karena kedudukan beliau sebagai raja
yang seakan tidak bisa dipisahkan, sehingga para staf atau masyarakat terkadang
masih takut atau sungkan untuk berkomunikasi dengan beliau.
Dalam menjalankan kedudukannya sebagai gubernur masih terdapat
kerancuan antara peranan Sri Sultan Hamengku Buwono X sebagai raja, maupun
sebagai gubernur DIY di masyarakat maupun para stafnya. Hal ini dikarenakan
kedua peran tersebut seakan melekat dan tidak bisa dipisahkan, walaupun ia sudah
mampu untuk membedakan perananannya dengan sangat baik. Para staf dan
masyarakat masih beranggapan bahwa Sultan merupakan raja yang menjabat
sebagai gubernur sehingga setiap kali ia ke masyarakat akan selalu dianggap
sebagai raja. Hal inilah yang kemudian dapat membuat komunikasi dalam
memimpin tidak bisa berjalan dengan efektif.

KESIMPULAN
Berdasarkan penjabaran pada bab sebelumnya, maka dapat ditarik beberapa
kesimpulan, antara lain:
1. Sri Sultan Hamengku Buwono X memiliki modal kepemimpinan sebagai
berikut:
a. Faktor ability, yaitu latar belakang Sri Sultan Hamegku Buwono X
yang merupakan seorang Raja Ngayogyakarta Hadiningrat sehingga
keahlian dan kemampuan yang dimiliki didapat semenjak kecil ketika
ia menjadi putra mahkota, selain itu Sultan juga aktif diberbagai
organisasi seperti Anggota Majelis Wali Amanat Universitas Gadjah
Mada,

Yogyakarta,

Pendiri

Yayasan

Universitas

WIDYA

MATARAM, Yogyakarta, Ketua Umum Pengurus Pusat KAGAMA
(2009 – 2014), Ketua KONI DIY (1990 – 1998), dan Ketua Umum
KADINDA DIY (1983 – 1998) sehingga membuat keahlian dan
keterampilan beliau semakin terasah.
b. Faktor capability, yaitu kesanggupan Sri Sultan Hamengku Buwono X
menjadi Gubernur DIY melalui penetapan yang dipilih atas kehendak
rakyat selama 4 (empat) periode yaitu pada tahun 2003 – 2017.

20

c. Faktor personality, yaitu kharisma Sultan yang sangat tinggi sehingga
membuatnya masih disegani baik sebagai raja maupun sebagai
gubernur DIY, Iajuga termasuk orang yang ramah, humble, welas asih,
serta tidak memandang golongan dan pangkat.
d. Faktor acceptability, yaitu penerimaan masyarakat terhadap sosok Sri
Sultan Hamengku Buwono X sebagai gubernur DIY yang cukup tinggi
dilihat saat pemerintah pusat menginginkan jabatan gubernur DIY
dipilih melalui pemilihan umum, tetapi masyarakat DIY menolak
dengan menggelar berbagai aksi.
2. Sri Sultan Hamengku Buwono X sebagai gubernur DIY gaya

kepemimpinan Demokratis dan menerapkan konsep kepemimpinan Jawa
Ing Ngarso Sung Tuludho, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri
Handayani.

3. Interaksi sosial yang dilakukan Sri Sultan Hamengku Buwono X sebagai
Kepala DIY, yang meliputi:
a. Kontak sosial sebagai gubernur DIY, yang meliputi:


Sri Sultan Hamengku Buwono X dengan staf Pemda masih kurang
berjalan efektif dikarenakan para staf terkadang merasa segan atau



takut saat berkomunikasi dengannya.
Sri Sultan Hamengku Buwono X dengan para staf Pemda DIY dan
masyarakat sudah cukup efektif dikarenakan ia sering melakukan
dialog-dialog dengan masyarakat, akan tetapi tidak semua
komunikasinya berjalan dua arah.

b. Komunikasi Sri Sultan Hamengku Buwono X sebagai gubernur DIY,
yang meliputi:


Komunikasi verbal yakni dalam segi bahasa yang sering Sri Sultan
Hamengku Buwono X gunakan adalah bahasa Jawa, hal ini dapat
dilihat saat berpidato dan saat melakukan audiensi dengan
wartawan.

21



Komunikasi nonverbal, yakni dalam segi Gesture atau bahasa
tubuh, yang meliputi: ekspresi wajah, gerakan mata, gerakan
anggota badan, isyarat tangan, dan sentuhan.

4. Gaya Komunikasi dalam kepemimpinan Sri Sultan Hamengku Buwono X,
yaitu supportive style, dimana ia memiliki dominasi yang rendah dan
sosiabilitas yang tinggi. Selain itu, Sultan juga sering menggunakan konsep
Komunikasi Jawa, yaitu Dupak Bujang, Esam Bupati, Sasmita Narendra .

SARAN
Berdasarkan hasil penelitian yang telah peneliti lakukan, maka peneliti
menyarankan:
1. Para staf Pemda DIY dan masyarakat diharapkan lebih berani lagi dalam
melakukan komunikasi dengan Sri Sultan Hamengku Buwono X, sehingga
akan terjadi feedback dan iklim organisasinya akan berjalan lebih baik lagi.
2. Sri Sultan Hamengku Buwono X harus lebih tegas dalam komunikasi
kepemimpinannya, karena menurut hasil penelitian sifat ramah dan welas
asih yang dimiliki Sri Sultan Hamengku Buwono X terkadang membuat
para staf menjadi kurang mengerti ketika mereka melakukan kesalahan
karena jarang ditegur oleh beliau.
3. Penelitian selanjutnya diharapkan dapat lebih mengangkat teori-teori
tradisioanal yang merupakan komunikasi kepemimpinan, karena menurut
peneliti untuk mencirikan gaya komunikasi kepemimpinan seseorang tidak
harus selalu berdasarkan paradigma atau teori-teori dari luar.
4. Penelitian selanjutnya diharapkan dapat mengembangkan penelitian ini
dengan subjek yang berbeda, misalnya pejabat daerah dan negara lain,
organisasi atau perusahaan, dan dengan metode dan teori yang lebih
beragam.
KETERBATASAN PENELITIAN
Penelitian ini hanya mendeskripsikan tentang gaya komunikasi Sri Sultan
Hamengku Buwono X sebagai Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta, dimana Sri

22

Sultan Hamengku Buwono X merupakan key informan penelitian. Untuk mengkaji
dan mengetahui gaya komunikasi yang dijalankannya diperlukan penelitian dan
observasi lanjutan yang lebih dalam. Namun karena kesibukannya yang sangat
padat, sehingga peneliti hanya melakukan wawancara terstruktur dengan Sri Sultan
Hamengku Buwono X, sehingga informasi yang dihasilkan tidak mendalam. Selain
itu, Sultan juga merupakan pribadi yang low profile sehingga tidak ingin menilai
dirinya sendiri. Hal ini membuat jawaban-jawaban yang diberikan oleh Sultan
maupun keluarganya tidak terlalu mendalam.

23

DAFTAR PUSTAKA
Cederroth, S. (2001). Kepemimpinan jawa: perintah halus, pemerintahan otoriter .
Yogyakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Damardjati, (1993). Nawangsari. Yogyakarta: Manggala
Danim, S. (2004). Motivasi, kepemimpinan, dan efektivitas kelompok. Jakarta: PT.
Rineka Cipta
Kriyantono, R. (2009). Teknik praktis riset komunikasi. Jakarta: Kencana Prenada
Media Group.
Mulyana, D. (2007). Ilmu komunikasi : suatu pengantar . Bandung : PT. Remaja
Rosdakarya.
Reece, B. & Brandt, R. (1993). Effective human relations in organizations (5th ed).
Boston: Houghton Mifflin Company
Sugiyono. (2004). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D . Bandung:
CV. Alfabeta.

Suratno, P. (2006). Sang pemimpin. Yogyakarta: Adiwacana
Teguh, A. (2008). Kepemimpinan professional, pendekatan leadership games.
Yogyakarta: Gaya Media
Winardi. (2000). Kepemimpinan dalam manajemen. Jakarta : Rineka Cipta
Jurnal
Vionardi. (2011). Leadership. Sage Just Another Publication, 1-4
Purwadi. (2010). Metode analisis kepemimpinan jawa untuk mengembangkan
program kuliah etika jawa. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta.