PERAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PEMELIHARA

PERAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PEMELIHARAAN
KERUKUNAN UMAT BERAGAMA
(STUDI PADA PEMERINTAH KOTA JAYAPURA)

SKRIPSI
Disusun untuk Memenuhi Tugas Ujian Akhir Semester Ganjil Mata Kuliah
Metode Penulisan Ilmiah Tahun Akademik 2017/2018
Dosen Pengampu: Asti Amelia Novita, S.AP., M.AP., Ph.D.

Oleh:
Maya Auliya Agustin
15503010111101

KELAS A
PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI PUBLIK
FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017

KATA PENGANTAR


Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayahnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
proposal penelitian yang berjudul “Peran Pemerintah Daerah dalam Memelihara
Kerukunan Umat Beragama (Studi Kasus Di Kota Jayapura)”.
Skripsi ini merupakan tugas ujian akhir semester gasal mata kuliah Metode
Penulisan Ilmiah tahun akademik 2017/2018. Penulis menyadari bahwa
penyusunan proposal penelitian ini tidak akan terwujud tanpa adanya bantuan dan
dorongan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis
menyampaikan ucapan terima kasih kepada yang terhormat:
1. Ibu Asti Amelia Novita, S.AP., M.AP., Ph.D. selaku dosen pengampu
mata kuliah Metode Penulisan Ilmiah
2. Orang tua yang selalu mendukung dan mendoakan, serta
3. Teman-teman seperjuangan kelas mata kuliah Metode Penulisan Ilmiah
Demi kesempurnaan proposal penelitian ini, saran dan kritik yang sifatnya
membangun sangat penulis harapkan. Semoga karya ini bermanfaat dan dapat
memberikan

sumbangan


yang

berarti

bagi

pihak

yang

membutuhkan.

Malang, 14 Desember 2017

Penulis

DAFTAR ISI

Halaman


1

KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI...........................................................................................................ii
DAFTAR TABEL

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah...........................................................................5
1.3 Tujuan Penelitian.............................................................................5
1.4 Manfaat Penelitian...........................................................................5
1.5 Sistematika Penulisan......................................................................6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Peran Pemerintah Daerah................................................................7
2.2 Kerukunan Antar Umat Beragama..................................................8


BAB III

METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian..............................................................................17
3.2 Fokus Penelitian............................................................................17
3.3 Lokasi dan Situs Penelitian...........................................................17
3.4 Jenis dan Sumber Data..................................................................18
3.5 Teknik Pengumpulan Data............................................................18
3.6 Instrumen Penelitian......................................................................19
3.7 Metode Analisis.............................................................................19

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................21

2

3

BAB I
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang
Kerukunan umat beragama merupakan dambaan setiap umat, manusia.
Sebagian besar umat beragama di dunia, ingin hidup rukun, damai dan
tenteram dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat dan bemegara serta
dalam menjalankan ibadahnya. Kementerian Agama Republik Indonesia
(2013) menyatakan bahwa kerukunan umat beragama yaitu hubungan sesama
umat beragama yang dilandasi dengan toleransi, saling pengertian, saling
menghormati, saling menghargai dalam kesetaraan pengamalan ajaran
agamanya dan kerja sama dalam kehidupan masyarakat dan bernegara.
Di Indonesia sendiri, kerukunan antar umat beragama telah dijamin
dalam UUD 1945. Tersurat dalam pasal 29 ayat (2) UUD 1945 menyatakan
bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan
kepercayaan

itu.

Pernyataan


tersebut

mengandung

arti

bahwa

keanekaragaman pemeluk agama yang ada di Indonesia diberi kebebasan
untuk melaksanakan ajaran agama sesuai dengan keyakinannya masingmasing. Namun demikian kebebasan tersebut harus dilakukan dengan tidak
mengganggu dan merugikan umat beragama lain, karena terganggunya
hubungan antar pemeluk berbagai agama akan membawa akibat yang dapat
menggoyahkan persatuan dan kesatuan bangsa.
Umat beragama dan pemerintah harus melakukan upaya bersama dalam
memelihara kerukunan umat beragama, di bidang pelayanan, pengaturan dan
pemberdayaan. Sebagai contoh yaitu dalam mendirikan rumah ibadah harus
memperhatikan pertimbangan Ormas keagamaan yang berbadan hukum dan
telah terdaftar di pemerintah daerah. Sejak bergulirnya era reformasi dan
penerapan desentralisasi, tanggung jawab pemeliharaan kerukunan antar umat
beragama lebih terbagi, yakni tanggung jawab umat beragama sendiri,

pemerintah daerah, dan pemerintah (pusat). Peran dari tiga pihak ini searah
1

dengan semangat peningkatan partisipasi masyarakat dan upaya desentralisasi
di era otonomi daerah ini. Ketiga pihak berperan dan berjalan beriringan
sesuai kapasitasnya masing-masing. Misalnya, dalam upaya pemeliharaan
kerukunan umat beragama, pemerintah menerbitkan Peraturan Bersama
Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006
tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah
dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum
Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat (selanjutnya cukup
disebut PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006, atau PBM saja).
Namun dalam kehidupan masyarakat, keanakaragaman agama dari setiap
ajaran-ajaran yang diperintahkan memiliki perbedaan yang sangat terlihat,
karena agama yang di yakini oleh tiap-tiap orang di Indonesia, yaitu; Islam,
Kristen Hindu, Budha dan Konghucu, dan lain-lain. Dalam setiap agamaagama tersebut juga terdapat keanekaragaman aliran, karena berbedanya
ajaran-ajaran, larangan-larangan, dan perintah-perintah dari berbagai macam
agama itu, membuat pengikut pengikut dari agama-agama yang ada saling
berdebat untuk membuktikan mana yang benar dan mana yang nyata terbukti
dalam kehidupan. Hal ini menimbulkan kesalahpahaman antar umat

beragama serta membuat kelompok-kelompok minoritas merasa tidak aman
untuk menjalankan ajaran mereka dan aktivitas dari kelompok minoritas itu
karena tidak leluasa dan apalagi apabila mendapatkan ancaman dari
kelompok-kelompok mayoritas. Karena kelompok-kelompok mayoritas
menganggap mereka adalah yang benar dan kelompok-kelompok minoritas
adalah salah.
Tindak kekerasan dan diskriminasi antar umat beragama di Indonesia ini
membuat negara dianggap tidak aman untuk melaksanakan rutinitas-rutinitas,
dan ritual-ritual keagamaan. Mengacu pada survey yang dilakukan Haidlor
Ali Ahmad (2016) yang menemukan bahwa konflik antar umat beragama di
Indonesia sangat mencemaskan karena telah mencapai presentase 73%, dan
konflik antar umat beragama ini terus terjadi sampai saat ini. Menurut Haidlor
Ali Ahmad konflik antar umat beragama ini terjadi melibatkan aspek-aspek
lainnya, seperti persoalan politik, kebijakan pemerintah, kesukuan, ekonomi,

2

pendidikan, dan penguatan identitas daerah setelah berlakunya otonomi
daerah.
Lebih lanjut berdasar data PaPeDA Institute (2014) tindak kekerasan

antar umat beragama di Indonesia didominasi di Provinsi Papua, dengan
jumlah terbesar di kota Jayapura tercatat 783 insiden yang berupa konflik
kekerasan sesama warga dan terkait kerukunan antar umat beragama. Sebagai
perbandingan, data pihak Polresta Jayapura sampai akhir 2014 mencatat 956
insiden kekerasan maupun konflik secara umum yang terjadi di Kota
Jayapura, yang di dominasi oleh wujud diskriminasi antar umat beragama. Di
sini angka kepolisian menunjukkan jauh lebih banyak dari data PePeda
Institute.
Menelisik lebih jauh jumlah insiden kekerasan di Kota Jayapura, periode
ini sebagian besar didominasi konflik kekerasan antar umat beragama yang
mengakibatkan 22 korban tewas, 441 korban cedera dan 13 bangunan rusak;
50 korban perkosaan dan 32 bangunan rusak (PaPeda Institute, 2014).
Berdasar data BPS Provinsi Papua tercatat di Kota Jayapura pada tahun 2016
penganut agama Kristen/Protestan mendominasi dengan angka 85.535 jiwa,
selanjutnya Islam sebanyak 32.069 jiwa, Katholik sebanyak 28.363 jiwa,
Hindu sebanyak 463 jiwa, dan terakhir Budha 210 jiwa. Tentu saja dari
presentase penganut agama tersebut dapat menimbulkan gesekan-gesekan
ditengah masyarakat yang menimbulkan konflik, ditambah tradisi penduduk
papua asli khususnya Kota Jayapura yang patrialisme dan acuh terhadap
pendatang khususnya yang beragama lain.

Realita dan fakta tersebut menunjukkan ketidakharmonisan dalam
lingkungan masyarakat papua. Namun sampai saat ini pemerintah daerah
Kota Jayapura belum memiliki sebuah kebijakan tentang kerukunan antar
umat beragama. Tentu saja peran pemerintah kota Jayapura dalam membuat
regulasi dipertanyakan, walaupun dalam praktiknya pemerintah kota Jayapura
telah melakukan upaya untuk menjaga dan memelihara kerukunan antar umat
beragama. Misalnya dengan melakukan perundingan bersama Forum
Kerukunan Umat Beragama (FKUB) di Papua sepakat untuk menjaga
persatuan dan kesatuan antar umat beragama, dan kirab kerukunan pemuda
peduli kerukunan papua (sumber: jayapurakota.go.id).

3

Regulasi dalam bentuk sebuah kebijakan yang tertuang pada peraturan
daerah tidak dipilih pemerintah Kota Jayapura untuk menyelesaikan konflik
kekerasan dan diskriminasi antar umat beragama. Hal ini banyak
menimbulkan perdebatan dikalangan pemuka di Kota Jayapura, dengan
asumsi adanya konflik menguntungkan bagi pemerintah kota perihal
memperoleh bantuan dana maupun yang lain untuk membantu korban
konflik. Pernyataan tersebut selaras dengan pendapat Howelt dan Ramesh

(dalam Safroni, 2012) yang menyatakan bahwa setiap individu aktor-aktor
politik (pembuat kebijakan) dituntun oleh kepentingan diri sendiri (selfinterest) dalam memilih aksi-aksi yang diputuskannya untuk kepentingan
terbaik mereka.
Kerukunan umat beragama sangat diperlukan, agar bisa menjalani
kehidupan beragama dan bermasyarakat dengan damai, sejahtera, dan
jauh dari kecurigaan kepada kelompok-kelompok lain. Dengan begitu,
agenda-agenda kemanusiaan yang seharusnya dilakukan dengan kerja sama
antaragama, seperti memberantas kemiskinan, memerangi kebodohan,
mencegah korupsi, membentuk pemerintahan yang bersih, serta memajukan
bangsa, dapat segera dilakukan dengan sebaik-baiknya.
Agenda-agenda tersebut jelas tidak dapat dilaksanakan dengan optimal,
jika masalah kerukunan umat beragama belum terselesaikan. Fakta
menjelaskan meskipun setiap agama mengajarkan tentang kedamaian dan
keselarasan hidup, realitas menunjukkan pluralisme agama bisa memicu
pemeluknya saling berbenturan dan bahkan terjadi konflik. Konflik jenis ini
dapat mempunyai dampak yang amat mendalam dan cenderung meluas.
Bahkan implikasinya bisa sangat besar sehingga berisiko sosial, politik
maupun ekonomi yang besar.
Berdasar data lapangan yang menunjukkan masih tingginya tingkat
konflik dalam bentuk kekerasan dan diskriminasi di Kota Jayapura yang
dilatarbelakangi oleh agama diantara kota/kabupaten lain di Indonesia, serta
peran pemerintah Kota Jayapura yang belum membuat sebuah regulasi
kerukunan antar umat beragama melainkan dengan melakukan praktik lain
dilingkungan masyarakat. Peneliti tertarik untuk membahas topik ini dengan

4

memilih judul “Peran Pemerintah Daerah dalam Memelihara Kerukunan
Umat Beragama (Studi Kasus Di Kota Jayapura)”.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasar latar belakang diatas, rumusan masalah pada penelitian ini
yaitu, bagaimana peran pemerintah daerah dalam pemeliharaan kerukunan
umat beragama di Kota Jayapura?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasar rumusan masalah diatas, adapun tujuan dalam penelitian ini
untuk mengetahui dan menjelaskan peran pemerintah daerah dalam
pemeliharaan kerukunan umat beragama di Kota Jayapura
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Teoritis
Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan sumbangan terhadap
ilmu
pengetahuan Khususnya Ilmu Hukum Administrasi Negara serta dapat
memberikan masukan bagi peneliti yang akan melakukan penelitian
lebih lanjut mengenai peran pemerintah daerah dalam pemeliharaan
kerukunan umat beragama khususnya bagi pemerintah Kota Jayapura.
1.4.2 Manfaat Praktis
a. Bagi Pemerintah
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pertimbangan dan
rekomendasi kepada Pemerintah Kota Jayapura dalam rangka
pemeliharaan kerukunan umat beragama.
b. Bagi Masyarakat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan pedoman bagi
masyarakat untuk mendukung pemerintah Kota Jayapura untuk
melaksanakan pemeliharaan kerukunan umat beragama.
1.5 Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut :
BAB I

PENDAHULUAN

5

Pada bab ini memuat uraian tentang latar belakang masalah,
rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan
BAB II

sistematika penulisan.
TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini, penulis mengemukakan secara garis besar teoritis
yang menjadi dasar bagi penulis dalam memberikan alternatif

BAB III

solusi atas segala permasalahan yang ada.
METODE PENELITIAN
Pada bab ini berisi tentang metode penelitian yang peneliti gunakan
dalam penelitian meliputi jenis penelitian, fokus penelitian, lokasi
dan situs penelitian, teknik pengumpulan data, instrument

BAB IV

penelitian, dan metode analisis data.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dalam bab ini berisi tentang hasil penelitian yang dilakukan serta
hasil analisis interpretasi data yang dikorelasikan dengan teori yang

BAB V

telah digunakan.
PENUTUP
Dalam bab ini terdiri dari dua sub bab, yaitu kesimpulan dan saran
untuk menyajikan kesimpulan secara keseluruhan penelitian dan
memberikan saran terhadap pihak-pihak yang bersangkutan untuk
menentukan langkah selanjutnya.

6

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Peran Pemerintah Daerah
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia peran berarti seperangkat
tingkah laku yang diharapkan dapat dimiliki oleh orang yang berkedudukan
dalam masyarakat, dan dalam kata jadinya (peranan) berarti tindakan yang
dilakukan oleh seseorang dalam suatu peristiwa (Amba, 1998). Selanjutnya
Amba menyatakan bahwa peranan adalah suatu konsep yang dipakai
sosiologi untuk mengetahui pola tingkah laku yang teratur dan relatif bebas
dari orang-orang tertentu yang kebetulan menduduki berbagai posisi dan
menunjukkan tingkah laku yang sesuai dengan tuntutan peranan yang
dilakukannya (Amba, 1998).
Peran (role) adalah aspek dinamis dari kedudukan atau status
seseorang dan terjadi apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya
sesuai dengan kedudukannya (Soekanto, 2004). Hal demikian menunjukkan
bahwa peran dikatakan telah dilaksanakan apabila seseorang dengan
kedudukan atau status tertentu telah melaksanakan kewajibankewajibannya.
Lebih lanjut Soekanto (2004) menjabarkan peran dibagi dalam tiga cakupan,
yaitu:
1. Peranan meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau
tempat seseorang dalam masyarakat, peranan dalam arti merupakan
rangkaian-rangkaian peraturan yang membimbing seseorang dalam
2.

kehidupan kemasyarakatan;
Peranan adalah suatu konsep tentang apa yang dilakukan oleh individu

3.

dalam masyarakat sebagai organisasi;
Peranan juga dapat dikatakan sebagai perilaku individu yang penting
bagi struktur sosial masyarakat.
Berdasarkan tiga cakupan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa peran

dalam hal ini mencakup tiga aspek. Aspek tersebut yaitu penilaian dari
perilaku seseorang yang berada di masyarakat terkait dengan posisi dan
kedudukannya, konsep-konsep yang dilakukan oleh seseorang dalam
masyarakat sesuai dengan kedudukannya, serta aspek ketiga yaitu perilaku
seseorang yang penting bagi struktur sosial masyarakat.
Mengacu pada uraian tersebut, apabila dikaitkan dengan tindakan
pemerintah maka dapat dikatakan bahwa peran adalah tindakan-tindakan
7

yang dilakukan pemerintah terkait kedudukannya dalam pemerintahan. Peran
pemerintah daerah terbagi atas peran yang lemah dan peran yang kuat.
Menurut Leach, Stewart dan Walsh dalam (Muluk, 2013), peran pemerintah
daerah yang lemah ditandai dengan beberapa hal sebagai berikut:
1. Rentang tanggungjawab, fungsi atau kewenangan yang sempit;
2. Cara penyelenggaraan pemerintahan yang bersifat reaktif; dan
3. Derajat otonomi yang rendah terhadap fungsi-fungsi yang diemban dan
tingginya derajat kontrol eksternal.
Menurut UUD 1945 Pasal 18 ayat (5) yang dimaksud Pemerintah Daerah
adalah daerah otonom yang dapat menjalankan urusan pemerintahan dengan
seluas-luasnya

serta

mendapat

hak

untuk

mengatur

kewenangan

pemerintahan kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang
ditentukan sebagai urusan pemerintahan pusat. Selanjutnya dalam UndangUndang No. 23 Tahun 2014 tentang pemerintahan daerah pasal 1 ayat 2
menyebutkan bahwa Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan
pemerintahan oleh pemerintahan daerah dan DPRD menurut asas otonomi
dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi yang seluas-luasnya dalam
sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
Peranan Pemerintah Daerah dalam menyusun dan mendukung suatu
kebijakan bersifat partisipatif adalah sangat penting. Hal ini karena
Pemerintah Daerah adalah instansi pemerintah yang paling mengenal
potensi daerah dan juga mengenal kebutuhan rakyat setempat (Soekanto,
2004). Terkait dengan peran pemerintah dalam pemeliharaan kerukunan
antar umat beragama merupakan peran pembuat regulasi dan/atau cara lain
agar tetap menjaga kerukunan antar umat beragama. Pemerintah daerah
kabupaten/kota dalam hal ini diberikan hak otonomi daerah yaitu hak,
wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai
dengan peraturan perundang-undangan. (Ketentuan umum UU No. 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah). Peran pemerintah daerah
dijelaskan oleh Gede Diva (dalam Muluk:2013) diwujudkan sebagai
regulator, dinamisator, dan fasilitator sebagai berikut:

8

1. Pemerintah sebagai regulator. Pemerintah sebagai regulator adalah
menyiapkan

arah

untuk

menyeimbangkan

penyelenggaraan

pemerintahan melalui penerbitan peraturan-peraturan. Sebagai regulator,
pemerintah
memberikan acuan dasar kepada masyarakat sebagai instrumen
untuk mengatur segala kegiatan pelaksanaan kegiatan dalam hubungan
pemerintah dengan masyarakat;
2. Pemerintah sebagai dinamisator. Peran pemerintah sebagai dinamisator
adalah menggerakkan partisipasi masyarakat jika terjadi kendalakendala dalam proses pemerintahan untuk mendorong dan memelihara
dinamika
pembangunan

daerah.

Pemerintah

berperan

melalui

pemberian

bimbingan dan pengarahan secara intensif dan efektif kepada
masyarakat. Biasanya pemberian bimbingan diwujudkan melalui
tim penyuluh maupun badan tertentu untuk memberikan pelatihan;
3. Pemerintah sebagai fasilitator. Pemerintah sebagai fasilitator yaitu
menciptakan kondisi yang kondusif bagi daerah. Sebagai fasilitator,
pemerintah bergerak di bidang pendampingan melalui pelatihan,
pendidikan

dan

peningkatan,

pendidikan

keterampilan kepada masyarakat..
Peran pemerintah sangatlah berpengaruh

dan

peningkatan

dalam

mewujudkan

kondisi kehidupan masyarakat yang aman, tertib dan tentram yang
merupakan kewajiban pemerintah, baik pemerintahan pusat maupun
pemerintah daerah.
2.2 Kerukunan Antar Umat Beragama
Syaukani (2008) menjelaskan bahwa kata kerukunan berasal dari kata
dasar rukun, berasal dari bahasa Arab ruknun (rukun) jamaknya arkan berarti
asas atau dasar, misalnya: rukun islam, asas Islam atau dasar agama Islam.
Dalam kamus besar bahasa Indonesia arti rukun adalah sebagai berikut:
Rukun (nomina): (1) sesuatu yang harus dipenuhi untuk sahnya pekerjaan,
seperti: tidak sah sembahyang yang tidak cukup syarat dan rukunnya; (2)
asas, berarti: dasar, sendi: semuanya terlaksana dengan baik, tidak

9

menyimpang dari rukunnya; rukun Islam: tiang utama dalam agama Islam;
rukun iman: dasar kepercayaan dalam agama Islam.
Dalam bahasa Inggris disepadankan dengan harmonious atau concord.
Dengan demikian, kerukunan berarti kondisi social yang ditandai oleh adanya
keselarasan, kecocokan, atau ketidak berselisihan (harmony, concordance).
Dalam literatur ilmu sosial, kerukunan diartikan dengan istilah intergrasi
(lawan disintegrasi) yang berarti the creation and maintenance of diversified
patterns of interactions among outonomous units. Kerukunan merupakan
kondisi dan proses tercipta dan terpeliharannya pola-pola interraksi yang
beragam diantara unit-unit (unsur / sub sistem) yang otonom. Kerukunan
mencerminkan hubungan timbal balik yang ditandai oleh sikap saling
menerima, saling mempercayai, saling menghormati dan menghargai, serta
sikap saling memaknai kebersamaan (Lubis, 2005).
Dalam pengertian sehari-hari kata rukun dan kerukununan adalah damai
dan perdamaian. Dengan pengertian ini jelas, bahwa kata kerukunan hanya
dipergunakan dan berlaku dalam dunia pergaulan. Bila kata kerukunan ini
dipergunakan dalam konteks yang lebih luas, seperti antar golongan atau
antar bangsa, pengertian rukun atau damai ditafsirkan menurut tujuan,
kepentingan dan kebutuhan masingmasing, sehingga dapat disebut kerukunan
sementara, kerukunan politis dan kerukunan hakiki.
Selanjutnya dalam konteks kerukunan antar umat beragama merupakan
salah satu pilar utama dalam memelihara persatuan bangsa dan kedaulatan
negara Republik Indonesia. Kerukunan sering diartikan sebagai kondisi hidup
dan kehidupan yang mencerminkan suasana damai, tertib, tentram, sejahtera,
hormat menghormati, harga menghargai, tenggang rasa, gotong royong sesuai
dengan ajaran agama dan kepribadian pancasila.
Dalam pasal 1 angka (1) peraturan bersama Menteri Agama dan Menteri
Dalam No. 9 dan 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan tugas Kepala
Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama,
pemberdayaan forum kerukunan umat beragama, dan pendirian rumah ibadat
dinyatakan bahwa:
“Kerukunan umat beragama adalah keadaan hubungan sesama umat
beragama yang dilandasi toleransi, saling pengertian, saling menghormati,
menghargai kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya dan kerjasama
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di dalam Negara

10

Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UndangUndang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.
Mencermati

pengertian

kerukunan

umat

beragama,

tampaknya

peraturan bersama di atas mengingatkan kepada bangsa Indonesia bahwa
kondisi ideal kerukunan umat beragama, bukan hanya tercapainya suasana
batin yang penuh toleransi antar umat beragama, tetapi yang lebih penting
adalah bagaimana mereka bisa saling bekerjasama (Syaukani, 2008).
Berdasar beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa kerukunan
antar umat beragama adalah suatu kondisi sosial dimana semua golongan
agama bisa hidup berdampingan bersama- sama tanpa mengurangi hak dasar
masing masing untuk melaksanakan kewajiban agamanya.
Pada kenyataannya peran pemerintah daerah khususnya Kota Jayapura
dapat dipertanyakan karena payung hukum bagi daerah sendiri tidak bisa
menghukum warganya sendiri yang melakukan tindakan melawan hukum.
Banyak tudingan yang diarahkan kepada aparatur daerah, karena aparatur
daerah pun tidak dapat melakukan tindakan penyelamatan dilokasi dan
pengambilan keputusan dari pemegang kekuasaan yang tidak relevan dengan
tindakan yang dilakukan. Harus ada kontrol dari pemerintah daerah dan
terkoordinir dengan pemerintah pusat secara nasional untuk menjaga
keamanan dan rasa nasionalitas untuk mempetahankan Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Salah satu pemecah belah negara yaitu terpecah belahnya
rasa kerukunan antar umat beragama di daerah dan membuat kehancuran bagi
Indonesia.
Membangun kehidupan umat beragama yang harmonis bukan merupakan
agenda yang ringan. Agenda ini harus dijalankan dengan hati-hati menginngat
agama sangat melibatkan aspek emosi umat, sehingga sebagian mereka lebih
cenderung pada “klaim kebenaran” dari pada “mencari kebenaran”. Meskipun
sejumlah pedoman telah digulirkan, pada umumnya masih sering terjadi
gesekan-gesekan ditingkat lapangan, terutama berkaitan dengan penyiaran
agama, pembangunan rumah ibadah, perkawinan berbeda agama, bantuan
luar negeri, perayaan hari-hari besar keagamaan, kegiatan aliran sempalan,
penodaan agama, dan sebagainya.
Keragaman ini, selain merupakan perbedaan, juga dapat mewujudkan
kompetisi, juga di dalamnya terdapat budaya-budaya lokal yang menjadi
11

perekat dalam hidup bermasyarakat, layak dan sejahtera lahir dan batin,
demikian yang diajarkan dalam agama masing-masing. Keberagaman dalam
berkeyakinan, menghargai dan menghormati orang yang berbeda agama
sudah semestinya menjadi pemahaman orang-orang beragama. Dengan tujuan
terciptanya keharmonisan, ketenteraman dalam realitas sosial yang penuh
dengan keberagaman untuk mewujudkan negara yang merdeka secara
totalitas. Seorang beragama mempunyai faham yang berbeda dengan orang
yang bergama lain, penganut agama tersebut harus tetap pada pendiriannya
masing-masing. Seseorang sebaiknya memahami agamanya dengan baik dan
menghormati keberadaan agama lain.
Prinsip di atas harus dipegang teguh oleh semua umat beragama
terutama yang beragama Islam, dan harus difahami dengan sebaik-baiknya,
karena dengan pemahaman yang baik dan benar terhadap ajaran agama dapat
menciptakan saling menghargai dan saling menghormati. Seiring dengan
dinamika kehidupan yang terus berkembang, dan semakin kompleksnya
persoalan kerukunan maka fokus sekarang lebih diarahkan pada perwujudan
rasa kemanusian dengan pengembangan wawasan multikultural serta dengan
pendekatan terhadap masyarakat, komunikatif dan terbuka, tidak saling
curiga, memberi tempat terhadap keragaman keyakinan, tradisi, adat maupun
budaya.
Lubis (2005) menjelaskan sedikitnya ada lima kualitas kerukunan umat
beragama yang perlu dikembangkan, yaitu: nilai religiusitas, keharmonisan,
kedinamisan, kreativitas, dan produktivitas.
Pertama, kualitas kerukunan hidup

umat

beragama

harus

merepresentasikan sikap religius umatnya. Kerukunan yang terbangun
hendaknya merupakan bentuk dan suasana hubungan yang tulus yang
didasarkan pada motif-motif suci dalam rangka pengabdian kepada Tuhan.
Oleh karena itu, kerukunan benar-benar dilandaskan pada nilai kesucian,
kebenaran,

dan

kebaikan

dalam

rangka

mencapai

keselamatan

dankesejahteraan umat.
Kedua, kualitas kerukunan hidup umat beragama harus mencerminkan
pola interaksi antara sesama umat beragama yang harmonis, yakni hubungan
yang serasi, “senada dan seirama,” tenggang rasa, saling menghormati, saling

12

mengasihi dan menyayangi, saling peduli yang didasarkan pada nilai
persahabatan, kekeluargaan, persaudaraan, dan rasa sepenanggungan.
Ketiga, kualitas kerukunan hidup umat beragama harus diarahkan pada
pengembangan nilai-nilai dinamik yang direpresentasikan dengan suasana
yang interaktif, bergerak, bersemangat, dan bergairah dalam mengembangkan
nilai kepedulian, keaktifan, dan kebajikan bersama.
Keempat, kualitas kerukunan hidup umat beragama harus dioreintasikan
pada penngembangan suasana kreatif. Suasana yang dikembangkan, dalam
konteks kreativitas interaktif, diantaranya suasana yang mengembangkan
gagasan, upaya, dan kreativitas bersama dalam berbagai sector kehidupan
untuk kemajuan bersama yang bermakna.
Kelima, kuallitas kerukunan hidup umat bergama harus diarahkan
pula pada pengembangan nilai produktivitas umat. Untuk itu, kerukunan di
tekankan pada pembentukan suasana hubungan yang mengembangkan nilainilai social praktis dalam upaya mengentaskan kemiskinan, kebodohan, dan
ketertinggalan, seperti mengembangkan amal kebajikan, bakti social, badan
usaha, dan berbagai kerjasama sosial ekonomi yang mensejahterakan umat.

BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah studi literatur. Metode studi
kepustakaan adalah serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan metode
pengumpulan data pustaka, membaca dan mencatat, serta mengelolah bahan
penelitian (Zed, 2008:3).
Studi kepustakaan merupakan kegiatan yang diwajibkan dalam
penelitian, khususnya penelitian akademik yang tujuan utamanya adalah
mengembangkan aspek teoritis maupun aspek manfaat praktis. Studi
kepustakaan dilakukan oleh setiap peneliti dengan tujuan utama yaitu mencari
dasar pijakan/fondasi utnuk memperoleh dan membangun landasan teori,
kerangka berpikir, dan menentukan dugaan sementara atau disebut juga
13

dengan hipotesis penelitian. Sehingga para peneliti dapat menggelompokkan,
mengalokasikan mengorganisasikan, dan menggunakan variasi pustaka dalam
bidangnya.
Studi literatur adalah mencari referensi teori yang relevan serta fakta
dengan kasus peran pemerintah daerah dalam memelihara kerukunan antar
umat beragama di Kota Jayapura.
3.2 Fokus Penelitian
Fokus penelitian ini bertujuan untuk membatasi cakupan masalah dan
daerah yang akan diteliti. Karena menurut Sugiyono (2014) fokus adalah
batasan masalah dalam penelitian kualitatif, yang berisi pokok masalah yang
masih bersifat umum. Untuk mempermudah penulis dalam menganalisis hasil
penelitian, maka Penelitian ini difokuskan pada peran pemerintah daerah
dalam pemeliharaan kerukunan antar umat beragama di Kota Jayapura sesuai
pendapat Gede Diva, yaitu:
1) Fungsi Regulator;
2) Fungsi Dinamisator; dan
3) Fungsi Fasilitator
3.3 Lokasi dan Situs Penelitian
Berdasarkan pada judul penelitian, maka penelitian dilaksanakan di Kota
Jayapura, dengan pertimbangan bahwa Jayapura memiliki tingkat konflik
antar umat beragama dominan diantara kota/kabupaten lain di Indoensia.
Adapun situs penelitian sebagai tempat dimana peneliti menggambarkan
pusat penelitian dari obyek yang diteliti kurang lebih berpusat di Pemerintah
kota Jayapura yang penulis anggap institusi tersebut merupakan pihak
berwenang dalam hal penelitian ini.
3.4 Jenis dan Sumber Data
Jenis data penelitian ini merupakan data sekunder. Data ini diperoleh
secara tidak langsung dan merupakan data pendukung bagi penelitian yang
dilakukan. Data sekunder diperoleh dari sumber seperti dokumen, foto, arsip,
buku, jurnal dan laporan resmi, serta literatur lainnya yang relevan dengan
penelitian ini.
3.5 Teknik Pengumpulan Data

14

Untuk memperoleh data yang relevan dan lengkap, penelitian ini
menggunakan beberapa teknik untuk mengumpulkan data. Adapun teknikteknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1.

Studi Kepustakaan
Studi kepustakaan merupakan langkah yang penting sekali dalam metode
ilmiah untuk mencari sumber data sekunder yang akan mendukung
penelitian dan untuk mengetahui sampai ke mana ilmu yang berhubungan
dengan penelitian telah berkembang.
Cara yang dilakukan dengan mencari data-data pendukung (data
sekunder) pada berbagai literatur baik berupa buku-buku, dokumendokumen, makalah-makalah hasil penelitian serta bahan-bahan referensi
lainnya yang berkaitan dengan penelitian.

2.

Penelusuran data online
Penelusuran data online yaitu data yang diperoleh melalui internet atau
media jaringan sosial lainnya secara online, sehingga mempermudah
peneliti mengakses dan memperoleh data maupun informasi ataupun
teori-teori yang berhubungan dengan penelitian.

3.6 Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian digunakan untuk membantu pengumpulan data.
Instrumen penelitian dalam penelitian ini yaitu peneliti sendiri yang
melakukan pencarian dan pengumpulan data sekunder, melalui studi
kepustakaan dan penelusuran data online.

3.7 Metode Analisis
Di dalam penelitian ini, untuk menganalisis data yang telah dikumpulkan
dan diseleksi digunakan teknik analisis data menurut Miles dan Hubermen
dalam Suyanto (2008), diterapkan melalui 3 alur sebagai berikut:
a. Reduksi Data Reduksi data adalah proses pemilihan, pemusatan
pemerhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data

15

kasar yang diperoleh dari catatan lapangan. Cara mereduksinya dengan
meringkas, mengkode, menelusur tema, membuat gugus-gugus, dan
menulis memo sehingga kesimpulan akhir dapat dilakukan.
b. Penyajian Data Penyajian data dirancang guna menggabungkan informasi
yang tersusun dalam bentuk yang padu dan mudah diraih, misalnya
dituangkan dalam berbagai jenis matriks, grafik, jaringan, dan bagan.
Kesemuanya itu dirancang guna merakit informasi secara teratur supaya
mudah dilihat dan dimengerti dalam bentuk yang kompak.
c. Penarikan Kesimpulan dan Verifikasi Penarikan kesimpulan adalah
kegiatan mencari arti, mencatat keteraturan, pola-pola, penjelasan,
konfigurasi-konfigurasi yang mungkin alur sebab akibat, dan proposisi.
Kesimpulan juga diverifikasi, yaitu pemikiran kembali yang melintas
dalam pikiran penganalis selama penyimpulan, tinjauan ulang pada
catatan lapangan atau meminta respon atau komentar kepada responden
yang telah dijaring datanya untuk membaca kesimpulan yang telah
disimpulkan peneliti, kekokohannya, dan kecocokannya.

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Umum
4.1.1 Kota Jayapura
Gambaran umum mengenai Kota Jayapura dijelaskan melalui
aspek geografi dan demografi. Aspek geografi

mengambarkan

mengenai lokasi dan wilayah. Sedangkan gambaran kondisi demografi,
antara lain mencakup komposisi dan populasi masyarakat secara
keseluruhan dan masyarakat tertentu pada Kota Jayapura.
a. Karateristik lokasi dan wilayah
1. Luas dan batas wilayah administrasi
Kota Jayapura mempunyai luas 940 Km2 (0.23 % dari luas
daratan Provinsi Papua), terletak di tepian Teluk Humbolt atau
Yos Sudarso pada ketinggian 0 - 40 persen,
keasaman
tanah pH < 5 atau pH > 7, ketinggian tempat >1500 m dpl, curah
hujan >5000 mm/tahun, daerah ini tergenang terus. Daerah
Kendala adalah daerah yang sulit dikembangkan karena batasan
fisik alami namun mengembangkannya diperlukan biaya besar
dan teknologi yang maju, dengan kriteria: Kemiringan
lereng 15 – 40 persen, keasaman tanah pH 5,1 - 7, daerah ini
tergenang secara periodik. Sementara itu, daerah potensi adalah
daerah yang dapat dikembangkan tanpa ada hambatan kondisi
fisik

alami,

dengan

kriteria:

Kemiringan

lereng