GAMBARAN FUNGSI KOGNITIF PADA PASIEN STR

BAB I
PENDAHULUAN
A.

Latar Belakang
Dewasa ini stroke menjadi salah satu gangguan kesehatan yang sangat

ditakuti oleh masyarakat baik internasional maupun lokal. Stroke adalah suatu
penyakit yang menyebabkan pembuluh darah dalam menyediakan darah kepada otak
terganggu, namun sebagian orang belum memahaminya dengan pasti. Meskipun kita
sering mengetahui bahwa serangan stroke sebagai suatu kelumpuhan separuh badan
yang terjadi mendadak, tetapi keadaan tersebut sebenarnya lebih dari itu. Stroke
dapat menyebabkan hilangnya fungsi tubuh yang diatur oleh bagian otak yang
terputus aliran darahnya oleh stroke. Biasanya terjadi pada lanjut usia tapi tidak
menutup kemungkinan juga dapat terjadi pada usia yang produktif. Stroke
dikategorikan menjadi 2 yaitu Stroke Hemoragik (SH) dan Stroke Non Hemoragik
(SNH). Stroke Hemoragik merupakan perdarahan serebri dan mungkin perdarahan
subaraknoid. Disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah otak pada daerah tertentu.
Sedangkan Stroke Non Hemoragic dapat berupa iskemia atau emboli dan thrombosis
serebri, biasanya terjadi saat setelah lama beristirahat, baru bangun tidur, atau di pagi
hari (Muttaqin, 2008).

Stroke

memerlukan

penanganan

yang

serius,

karena

stroke

dapat

mengakibatkan penderitanya kehilangan fungsi tubuh seperti kemampuan untuk
berkomunikasi dan berfikir. Oleh sebab itu penyakit ini dapat menimbulkan masalah
bagi penderita maupun orang – orang terdekatnya. Stroke dapat menyerang siapa saja
dan kapan saja, tanpa memandang usia (Depkes 2013).


1

Di Amerika Serikat pada tahun 2002 stroke menjadi penyebab kematian
ketiga terbanyak yaitu sekitar 162.672 orang. Jumlah tersebut setara dengan 1 di
antara 15 kematian di Amerika Serikat. Mengacu pada laporan American Heart
Assocation, sekitar 700.000 orang di Amerika Serikat terserang stroke setiap
tahunnya. Dari jumlah ini, 500.000 di antaranya menderita serangan stroke yang
berulang. Saat ini ada 4 juta orang di Amerika Serikat yang hidup dalam keterbatasan
fisik akibat stroke, dan 15-30% di antaranya menderita cacat menetap (Centers for
Disease Control and Prevention, 2009).
Di Indonesia, 8 dari 1000 orang terkena stroke. Stroke merupakan penyebab
utama kematian pada semua umur, dengan proporsi 15,4%. Setiap 7 orang yang
meninggal di Indonesia, 1 diantaranya karena stroke (Depkes, 2013). Menurut WHO
(2011), Indonesia telah menempati peringkat ke-97 dunia untuk jumlah penderita
stroke terbanyak dengan jumlah angka kematian mencapai 138.268 orang atau 9,70%
dari total kematian yang terjadi pada tahun 2011. Menurut data tahun 1990-an,
diperkirakan ada 500.000 orang penderita stroke di Indonesia, sekitar 125.000 di
antaranya meninggal atau cacat seumur hidup. Tetapi jumlah sebenarnya sulit
diketahui karena banyak yang tidak dibawa ke dokter karena ketiadaan biaya atau

jarak rumah sakit yang jauh dari tempat tinggal. Kasus stroke di Indonesia
menunjukkan kecenderungan terus meningkat dari tahun ke tahun. Setelah tahun
2000 kasus stroke yang terdeteksi terus melonjak. Pada tahun 2004, beberapa
penelitian di sejumlah rumah sakit menemukan pasien rawat inap yang disebabkan
stroke berjumlah 23.636 orang. Sedangkan yang rawat jalan atau yang tidak dibawa
ke rumah sakit tidak diketahui jumlahnya (Kompas, 2008)
Di Bali jumlah penderita Stroke Hemoragik dan Stroke Non Hemoragik yang
masuk ke RSUP Sanglah Denpasar tidak bisa dikatakan sedikit. Dari data catatan
2

medik RSUP Sanglah Denpasar didapatkan jumlah penderita stroke 2 tahun terakhir
memang mengalami penurunan, namun jumlah kasusnya masih tergolong banyak.
Pada tahun 2011 jumlah penderita stroke yang menjalani perawatan adalah 848 orang
dimana bila dirata-ratakan terdapat 71 kasus per bulan. Sedangkan pada tahun 2012
menjadi 715 orang dimana bila dirata-ratakan terdapat 60 kasus per bulan.
Stroke telah terbukti menjadi penyebab utama kecacatan kronik di semua
lapisan masyarakat. Stroke tanpa disadari akan menunjukkan perubahan-perubahan
pada diri penderita, diantaranya adalah kehilangan motorik, kehilangan komunikasi,
gangguan persepsi, disfungsi kandung kemih, bahkan kerusakan


kognitif akibat

kerusakan otak. Namun demikian, gangguan-gangguan yang muncul juga tidak lepas
dari dimana lokasi terjadinya lesi atau penyumbatan pada pembuluh darah otak
terjadi, ukuran area yang perfusinya tidak adekuat, serta jumlah aliran darah
kolateralnya (Dewi, 2004).
Pada kasus stroke dengan kehilangan fungsi motorik sering kali kita jumpai
paralisis dan hilang atau turunnya refleks tendon. Kehilangan fungsi komunikasi juga
merupakan gangguan yang banyak muncul dan menjadi salah satu indikator klinis
seseorang mengalami stroke selain lumpuh setengah badan, dimana pada kasus
dengan kehilangan fungsi ini biasanya mengalami kesulitan dalam berbicara atau
sering disebut dengan pelo. Selain gangguan tersebut, pada kasus stroke kita kadang
akan dapat melihat gangguan persepsi dan disfungsi kandung kemih. Gangguan
persepsi pada kasus stroke dapat berupa disfungsi persepsi visual, gangguan dalam
hubungan visual-spasial dan kehilangan sensori. Banyak juga pasien dengan stroke
yang mengalami disfungsi kandung kemih, sehingga pasien tidak dapat mengontrol
keinginan untuk buang air kecil (Suzanne C. Smeltzer B. G., 2001).
3

Sedangkan pada perubahan kognitifnya ditunjukkan dengan ketidakmampuan

untuk membuat keputusan, kerusakan memori dan penilaian, disorientasi, salah
persepsi, penurunan rentang perhatian, dan kesulitan berfikir logis. Gangguan
kognitif ini tentu saja dipengaruhi oleh lokasi dari kerusakan otak. Misalnya saja
stroke sumbatan pada otak kiri dapat menyebabkan adanya gangguan kognitif
berbahasa (Suzanne C. Smeltzer B. G., 2001).
Gangguan fungsi kognitif juga menjadi salah satu parameter kualitas hidup
masyarakat Indonesia. Apabila tidak ditangani dengan baik, gangguan pada fungsi
kognitif dapat mengakibatkan gangguan psikososial, sehingga dapat dikatakan
kualitas hidup penderitanya akan menurun. Salah satu contoh yang paling sederhana
adalah akan terjadinya kepikunan setelah mengalami stroke, yang tentu saja sangat
mengganggu aktifitas sehari-hari (Kemenkes, 2010).
Penelitian terhadap gangguan mental bukanlah semata-mata merupakan
kepentingan akademis saja. Pasien dengan angka abnormal dalam pemeriksaan status
mental dalam hal ini adalah fungsi kognitif berkesempatan lebih besar mengalami
kebingungan saat perawatan di rumah sakit, setelah keluar dari perawatan, dan pada
masa pascabedah. Pasien perawatan di rumah sakit dengan gangguan mental
merupakan yang kurang stabil, dan mengalami peningkatan morbiditas serta
mortilitas, risiko kehilangan kemandirian, komplikasi-komplikasi pascabedah, dan
kesulitan-kesulitan dalam berperilaku (Joseph J. Gallo, 1998)
Salah satu upaya yang dilakukan untuk mengatasi masalah disabilitas akibat

gangguan kognitif dan perilaku adalah dengan program stimulasi atau rehabilitasi
kognitif. Stimulasi atau rehabilitasi kognitif adalah suatu rangkaian proses terapi,
latihan atau kegiatan saat seorang pasien yang terganggu secara kognitif akibat
4

cedera otak, dalam hal ini adalah stroke. Hal itu dapat dilakukan atas kerjasama
keluarga dengan tenaga kesehatan profesional untuk meringankan gangguan kognitif
yang dialami serta meningkatkan kemampuan hidup sehari-hari (Kemenkes, 2010).
Menurut hasil dari studi pendahuluan yang dilakukan di IRNA D RSUP
Sanglah Denpasar, dari 10 pasien stroke yang diamati, terdapat 90% dari total jumlah
pasien yang diamati mengalami penurunan daya ingat bahkan beberapa diantaranya
mengalami penurunan dalam orientasi dan perhatiannya. Maka dari itu penulis
merasa perlu untuk mengetahui bagaimana gambaran fungsi kognitif pada pasien
stroke pada pasien yang dirawat di IRNA D RSUP Sanglah Denpasar Tahun 2013.

B.

Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:

“Bagaimanakah gambaran fungsi kognitif pasien stroke di IRNA D RSUP Sanglah
Denpasar tahun 2013?”

C.

Tujuan Penelitian

Dalam penelitian ini tujuan penelitian dapat dibagi menjadi 2 bagian yaitu :
1) Tujuan Umum
Untuk mengetahui gambaran fungsi kognitif pasien stroke di IRNA D RSUP Sanglah
Denpasar tahun 2013.
2) Tujuan Khusus
a. Mengidentifikasi gambaran fungsi kognitif pasien stroke di IRNA D RSUP
Sanglah Denpasar tahun 2013.

5

b. Mengidentifikasi gambaran fungsi kognitif pasien stroke berdasarkan tingkat
umur di IRNA D RSUP Sanglah Denpasar tahun 2013.
c. Mengientifikasi gambaran fungsi kognitif pasien stroke berdasarkan tingkat

pendidikan di IRNA D RSUP Sanglah Denpasar tahun 2013.
d. Mengidentifikasi gambaran fungsi kognitif pasien stroke berdasarkan waktu
serangan di IRNA D RSUP Sanglah Denpasar tahun 2013
D.

Manfaat Penelitian

1.

Praktis
Bagi tenaga kesehatan dapat digunakan untuk mengantisipasi penurunan

fungsi kognitif dengan menyediakan jadwal dan catatan kegiatan sehari – hari bagi
pasien.
2.

Teoritis

a.


Bagi Keperawatan

Dapat mengembangkan dan memperkaya ilmu pengetahuan dalam bidang
keperawatan.
b.

Bagi Peneliti Lain

Sebagai dasar atau informasi awal bagi peneliti berikutnya.

6

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Stroke
1.

Pengertian
Stroke adalah gangguan fungsi saraf yang disebabkan oleh gangguan aliran


darah ke otak yang dapat timbul secara mendadak atau secara cepat dengan gejala
atau tanda yang sesuai dengan daerah yang terganggu (Rosjidi, 2007).
Stroke adalah gangguan neurologik mendadak yang terjadi akibat
pembatasan atau terhentinya suplai darah ke otak (Price, 2005).
Stroke adalah suatu gangguan yang timbul karena terjadi gangguan
peredaran darah di otak yang menyebabkan terjadinya kematian jaringan otak
sehingga mengakibatkan seseorang menderita kelumpuhan atau kematian .

2.

Klasifikasi Stroke
Menurut Corwin (2009), stroke dapat diklasifikasikan menjadi 2 yaitu stroke

hemoragik dan stroke non hemoragik.
a.

Stroke Hemoragik
Stroke hemoragik terjadi apabila pembuluh darah di otak pecah sehingga

menyebabkan iskemia (penurunan aliran) dan hipoksia di sebelah hilir. Penyebab

stroke hemoragik adalah hipertensi, pecahnya aneurisma, atau malformasi
arteriovenosa (hubungan yang abnormal). Hemoragi dalam otak secara signifikan

7

meningkatkan tekanan intrakranial, yang memperburuk cedera otak yang
dihasilkannya.
b.

Stroke Non Hemoragik
Menurut Price (2006) definisi dari stroke non hemoragik adalah gangguan

serebral yang dapat timbul sekunder dari proses patologis pada pembuluh darah
misalnya trombus, embolus, atau penyakit vaskuler dasar seperti arterosklerosis atau
arteritis yang mengganggu aliran darah serebral sehingga suplai nutrisi dan oksigen
ke otak menurun yang menyebabkan terjadinya infark.
Corwin (2009) menyebutkan penyumbatan arteri yang menyebabkan stroke
iskemik dapat terjadi akibat trombus (bekuan darah di arteri serebri) atau embolus
(bekuan darah yang berjalan ke otak dari tempat lain di tubuh). Ada dua penyebab
stroke non hemoragik.
1) Stroke Trombotik
Stroke trombotik terjadi akibat oklusi aliran darah, biasanya karena aterosklerosis
berat. TIA adalah gangguan fungsi otak singkat yang reversibel akibat hipoksia
serebral. TIA mungkin terjadi ketika pembuluh darah arterosklerotik mengalami
spasme, atau saat kebutuhan oksigen otak meningkat dan kebutuhan ini tidak dapat
dipenuhi karena arterosklerosis yang berat. Berdasarkan definisi, TIA berlangsung
kurang dari 24 jam. Stroke trombotik biasanya berkembang dalam 24 jam. Selama
periode perkembangan stroke, individu dikatakan mengalami stroke in evolution.
Pada akhir periode tersebut, individu dikatakan mengalami stroke lengkap
(completed stroke)

8

2) Stroke Embolik
Stroke embolik berkembang setelah oklusi arteri oleh embolus yang terbentuk di luar
otak. Sumber umum embolus yang menyebabkan stroke adalah jantung setelah infark
miokardium atau fibrilasi atrium, dan embolus yang merusak arteri karotis komunis
atau aorta.

3.

Etiologi Stroke
Menurut Brunner and Suddarth dalam (Suzanne C. Smeltzer B. G., 2001)

etiologi stroke ada empat yaitu:
a.

Trombosis yaitu bekuan darah di dalam pembuluh darah otak atau leher.

b.

Embolisme serebral yaitu bekuan darah atau material lain yang dibawa ke otak
dari bagian tubuh yang lain.

c.

Iskemia yaitu penurunan aliran darah ke area otak.

d.

Hemoragi serebral yaitu pecahnya pembuluh darah serebral dengan perdarahan
ke dalam jaringan otak atau ruang sekitar otak.

4.

Faktor Risiko Stroke
Menurut Rosjidi (2007) faktor risiko stroke dapat dibagi menjadi :

a.

Hipertensi
Hipertensi merupakan faktor risiko mayor/utama/potensial. Hipertensi dapat

mengakibatkan pecahnya maupun menyempitnya pembuluh darah otak. Pecahnya
pembuluh darah otak akan menimbulkan perdarahan, dan ini sangat fatal karena akan
9

terjadi interupsi aliran darah ke bagian distal disamping itu darah ekstravasal akan
tertimbun sehingga akan menimbulkan tekanan intra kranial yang meningkat
sedangkan menyempitnya pembuluh darah otak akan menimbulkan terganggunya
aliran darah ke otak dan sel-sel otak akan mengalami kematian
b.

Diabetes Mellitus
Diabetes Mellitus akan berakibat menebalkan pembuluh darah otak yang

berukuran besar. Penebalan ini akan berakibat terjadinya penyempitan lumen
pembuluh darah sehingga akan mengganggu aliran darah serebral dengan akibat
terjadinya iskemia dan infark.
c.

Penyakit Jantung
Penyakit jantung pada umumnya akan melepas gumpalan darah atau sel-sel

jaringan yang telah mati ke dalam aliran darah menuju ke otak. Emboli ini akan
menyumbat aliran pembuluh darah atau ditempat-tempat terjadinya trombosis. Salah
satu faktor risiko yang paling penting adalah Fibrilasi Atrium. Fibrilasi Atrium yang
tidak diobati akan mengakibatkan risikro stroke lebih tinggi.
d.

Gangguan Aliran Darah Sepintas (Transient Iskemic Attack/TIA)
Berbagai faktor risiko stroke yang ada pada seseorang, dapat mengakibatkan

gangguan aliran darah otak sepintas, yang akan menimbulkan gejala-gejala
sementara (kurang dari 24 jam). Gejala yang sering muncul seperti: Hemiparesis,
disartria, kelumpuhan otot-otot mulut, kebutaan mendadak, hemiparestesi, afasia.
Makin sering seseorang mengalami serangan sepintas ini maka akan semakin besar
pula kemungkinan terkena serangan stroke

10

Sepersepuluh pasca setangan TIA jika tidak mendapatkan pengobatan yang
tepat akan mengalami stroke dalam tiga bulan dan sepertiga akan mengalami stroke
dalam lima tahun pasca serangan TIA yang pertama. Terus akan meningkat
kemungkinan serangan stroke seiring bertumbuhnya usia dan akan lebih tinggi lagi
bagi mereka yang sering mengalami TIA.
e.

Hiperkolesterolemi
Meningkatnya kadar kolesterol dalam darah, terutama LDL (Low Density

Lipoprotein), merupakan faktor risiko penting terjadinya aterosklerosis. Peningkatan
kadar lemak darah merupakan masalah pada masyarakat modern. Peningkatan kadar
lemak darah merupakan cerminan dari tingginya asupan lemak dalam makanan.
Tiga Hipotesis menjelaskan proses terjadinya arterosklerosis pada pembuluh
darah dan memperlihatkan bagaimana peran lemak yang sangat besar pada proses
tersebut.
1) Hipotesis reaksi terhadap cidera, terjadinya injury pada lapian endotelium
pembuluh darah arteri secara berulang akan menimbulkan lesi secara perlahanlahan yang berkembang mengakibatkan kenaikan sel otot polos, jaringan
pengikat dan lipid secara bertahap. Lesi-lesi ini akan terus berkembang dan
akibatnya lumen pembuluh darah menjadi menyempit karena intima menebal.
2) Hipotesis monoklonial, menjelaskan bahwa terjadinya kegagalan dalam menahan
ateroma sejalan dengan bertambahnya usia seseorang karena sel-sel yang
mengontrol ini hilang atau mati dan tidak diganti secara cukup.
3) Hipotesis lipid, menjelaskan peran serum lipid terutama serum kolesterol sebagai
penyebab ateroma.
11

f.

Infeksi
Tuberkulosis, malaria, lues, lepstospirosis dan infeksi cacing merupakan

faktor risiko terjadinya serangan stroke.
g.

Obesitas
Kelebihan berat badan atau obesitas akan meningkatkan risiko stroke 15%

karena meningkatnya penyakit hipertensi, penyakit jantung, DM tipe dua dan
arterosklerosis. Indeks Massa Tubuh (IMT) digunakan untuk menetapkan ukuran
berat badan seseorang, apakah individu mengalami overweight atau kelebihan berat
badan. IMT dihitung dengan cara membagi berat badan individu dalam kilogram
dengan tinggi badan dalam meter kuadrat.
h.

Merokok
Merokok meningkatkan risiko stroke empat kali lipat, hal ini berlaku untuk

semua jenis rokok, sigaret, pipa atau cerutu (Feign, 2004). Merokok dapat
meningkatkan konsentrasi fibrinogen, peningkatan ini akan mempermudah terjadinya
penebalan dinding pembuluh darah juga peningatan viskositas darah. Disamping
rokok merupakan faktor risiko utama terjadinya penyakit jantung koroner.
Rokok dapat merangsang proses arterosklerosis karena efek langsung
karbon monoksida pada dinding arteri, kemudian nikotin dapat menyebabkan
mobilisasi katokolamin juga menyebabkan kerusakan endotel arteri. Rokok juga
dapat memicu penurunan HDL, meningkatnya fibrinogen dan memacu agregasi
trombosit, dan yang lebih berbahaya daya angkut oksigen ke jaringan perifer menjadi
berkurang.
12

i.

Kelainan Pembuluh Darah Otak
Pada umumnya kelainan pembuluh darah otak bersifat bawaan atau karena

infeksi dan ruda paksa. Pembuluh darah yang abnormal tadi dapat pecah, robek atau
mengganggu aliran darah spontan sehingga akan menimbulkan perdarahan otak atau
infark.
j.

Lanjut usia
Proses degenerasi akan selalu mengiringi proses menua, termasuk pembuluh

darah otak.
k.

Penyakit paru-paru menahun terutama asma bronkial.
Yang menjadi faktor risiko stroke yang berhubungan dengan paru-paru

terutama adalah asma bronkial.
l.

Penyakit darah tertentu
Polisetamia dapat menghambat aliran darah ke otak, leukimia dapat

mengakibatkan perdarahan otak.
m. Asam urat yang berlebihan
Asam urat yang berlebih akan menimbulkan masalah pada persendian dan
ginjal. Tidak sedikit penderita stroke yang kadar asam uratnya sangat tinggi.

5.

Patofisiologi Stroke
Setiap kondisi yang menyebabkan perubahan perfusi darah pada otak akan

menyebabkan

keadaan

hipoksia.

Hipoksia
13

yang

berlangsung

lama

dapat

menyebabkan iskemik otak. Iskemik yang terjadi dalam waktu yang singkat kurang
dari 10-15 menit dapat menyebabkan defisit sementara dan bukan defisit permanen.
Sedangkan iskemik yang terjadi dalam waktu lama dapat menyebabkan sel mati
permanen dan mengakibatkan infark pada otak.
Setiap defisit fokal permanen akan bergantung pada daerah otak mana yang
terkena. Pembuluh darah yang paling sering mengalami iskemik adalah arteri
serebral tengah dan arteri karotis interna. Defisit fokal permanen dapat tidak
diketahui jika klien pertama kali mengalami iskemik otak total yang dapat teratasi.
Jika aliran darah ke tiap bagian otak terhambat karena trombus atau emboli,
maka mulai terjadi kekurangan suplai oksigen ke jaringan otak. Kekurangan oksigen
dalam satu menit dapat menunjukkan gejala yang dapat pulih seperti kehilangan
kesadaran. Sedangkan kekurangan oksigen dalam waktu yang lebih lama
menyebabkan nekrosis mikroskopik neuron-neuron. Area yang mengalami nekrosis
disebut infark.
Gangguan peredaran darah otak akan menimbulkan gangguan pada
metabolisme sel-sel neuron, dimana sel-sel neuron tidak mampu menyimpan
glikogen sehingga kebutuhan metabolisme tergantung dari glukosa dan oksigen yang
terdapat pada arteri-arteri yang menuju otak.
Peredaran intrakranial termasuk peredaran ke dalam ruang subarakhnoid
atau ke dalam jaringan otak sendiri. Hipertensi mengakibatkan timbulnya penebalan
dan degeneratif pembuluh darah yang dapat menyebabkan rupturnya arteri serebral
sehingga peredaran menyebar dengan cepat dan menimbulkan perubahan setempat
serta iritasi pada pembuluh darah otak.

14

Peredaran biasanya berhenti karena pembentukan trombus oleh fibrin
trombosit dan oleh tekanan jaringan. Setelah 3 minggu, darah mulai direabsorbsi.
Ruptur ulangan merupakan risiko serius yang terjadi sekitar 7-10 hari setelah
perdarahan pertama.
Ruptur ulangan mengakibatkan terhentinya aliran darah bagian tertentu,
menimbulkan iskemik fokal, dan infark jaringan otak. Hal tersebut dapat
menimbulkan gegar otak dan kehilangan kesadaran, peningkatan tekanan cairan
serebrospinal (CCS), dan menyebabkan gesekan otak (otak terbelah sepanjang
serabut). Perdarahan mengisi ventrikel atau hematoma yang merusak jaringan otak.
Perubahan

sirkulasi

CCS,

obstruksi

vena,

adanya

edema

dapat

meningkatkan tekanan intrakranial yang membahayakan jiwa dengan cepat.
Peningkatan tekanan intrakranial yang tidak diobati mengakibatkan herniasi unkus
atau serebellum. Di samping itu, terjadi bradikardia, hipertensi sistemik, dan
gangguan pernafasan.
Darah merupakan bagian yang merusak dan bila terjadi hemodialisa, darah
dapat mengiritasi pembuluh darah, meningen, dan otak. Darah dan vasoaktif yang
dilepas mendorong spasme arteri yang berakibat menurunnya perfusi serebral.
Spasme serebri atau vasospasme biasa terjadi pada hari ke-4 sampai ke-10 setelah
terjadinya perdarahan dan menyebabkan konstriksi arteri otak. Vasospasme
merupakan komplikasi yang mengakibatkan terjadinya penurunan fokal neurologis,
iskemik otak, dan infark (Batticaca, 2008)

6.

Akibat Stroke

15

Stroke dapat mengakibatkan berbagai defisit neurologis bagi penderitanya,
bergantung pada lokasi lesi, ukuran area yang perfusinya tidak adekuat, dan jumlah
aliran darah kolateral. Beberapa gangguan yang ditimbulkan oleh stroke antara lain
(Suzanne C. Smeltzer B. G., 2001) :
a. Kehilangan Motorik
Stroke adalah penyakit motor neuron atas dan mengakibatkan kehilangan
kontrol volunter terhadap gerakan motorik. Karena neuron motor atas melintas,
gangguan kontrol motor volunter pada salah satu sisi tubuh dapat menunjukkan
kerusakan pada neuron motor atas pada sisi berlawanan dari otak. Disfungsi motor
paling umum adalah hemiplegia karena lesi pada sisi otak yang berlawanan.
Hemiparesis, atau kelemahan salah satu sisi tubuh, adalah tanda yang lain.
b. Kehilangan Komunikasi
Fungsi otak lain yang dipengaruhi oleh stroke adalah bahasa dan
komunikasi. Stroke adalah penyebab afasia paling umum. Disfungsi bahasa adalah
penyebab afasia paling umum. Disfungsi bahasa dimanifestasikan oleh tiga hal yaitu
disartia (kesulitan bicara), disfasia atau afasia (bicara detektif atau kehilangan
bicara), dan apraksia (ketidakmampuan untuk melakukan tindakan yang telah
dipelajari sebelumnya).

c. Gangguan Persepsi
Persepsi adalah ketidakmampuan untuk menginterpretasikan sensasi. Stroke
dapat mengakibatkan disfungsi persepsi visual, gangguan dalam hubungan visualspasial dan kehilangan sensori.
16

Gangguan persepsi visual seperti homonimus yaitu kehilangan setengah
lapang pandang, dapat permanen atau sementara. Pada kasus ini klien hanya mampu
melihat setengah ruangan, sering mengabaikan sisi yang tidak terlihat.
Gangguan hubungan visual-spasial, gangguan mendapatkan hubungan
antara dua hal atau objek dalam area spasial. Sering terlihat pada klien yang
mengalami hemiplegia kiri. Klien mungkin tidak dapat memakai pakaian tanpa
bantuan karena ketidakmampuan mencocokan pakaian ke bagian tubuhnya.
Kehilangan

sensori,

ketidakmampuan

untuk

merasakan,

seperti

ketidakmampuan untuk merasakan sentuhan ringan , atau mungkin sentuhan berat,
kehilangan propriosepsi (ketidakmampuan untuk merasakan posisi dan gerakan
bagian tubuh), serta kesulitan dalam menginterpretasikan stimuli visual, taktil, dan
auditorius.
d. Disfungsi Kandung Kemih
Inkontinensia

dapat

terjadi

karena

konfusi,

ketidakmampuan

mengkomunikasikan kebutuhan, dan ketidakmampuan untuk menggunakan urinal
karena kerusakan kontrol motorik dan postural. Kandung kemih menjadi atonik
dengan kerusakan sensasi dalam merespon pengisian kandung kemih.

e. Kerusakan Fungsi Kognitif dan efek psikologik
Bila kerusakan telah terjadi pada lobus frontal, mempelajari kapasitas,
memori, atau fungsi intelektual kortikal yang lebih tinggi mungkin rusak. Disfungsi
ini dapat ditunjukkan dalam lapang perhatian terbatas, kesulitan dalam pemahaman,
lupa, dan kurang motivasi, yang menyebabkan pasien ini menghadapi masalah
17

frustasi dalam program rehabilitasi mereka. Depresi umum terjadi dan mungkin
diperberat oleh respons alamiah pasien terhadap penyakit katastrofik ini. Masalah
psikologik lain juga umum terjadi dan dimanifestasikan oleh labilitas emosional,
bermusuhan, frustasi, dendam, dan kurang kerja sama.

B. Fungsi Kognitif
1.

Pengertian
Menurut Stuart and Sundeen (1987), kognitif adalah kemampuan berfikir

dan memberikan rasional, termasuk proses mengingat, menilai, orientasi, persepsi
dan memperhatikan.

2.

Rentang Respon Kognitif
Respon kognitif maladaptif mencangkup ketidakmampuan untuk membuat

keputusan, kerusakan memori dan penilaian, disorientasi, salah persepsi, penurunan
rentang perhatian, dan kesulitan berfikir logis. Respon tersebut dapat terjadi secara
episodik atau terjadi terus menerus. Suatu kondisi dapat reversibel atau ditandai
dengan penurunan fungsi secara progresif, bergantung pada stresor. Rentang respon
kognitif dapat digambarkan sebagai berikut:

Rentang Respon Kognitif

Respon adaptif

Respon maladaptif

18

Tegas

Ketidaktegasan periodik

Memori utuh

Mudah lupa

Orientasi lengkap

Kebingungan sementara
yang ringan

Persepsi akurat
Perhatian terfokus
Pikiran koheren dan logis

Kadang salah persepsi
Distraksibilitas
Kadang berfikir tidak jelas

Ketidakmampuan untuk
membuat keputusan
Kerusakan memori dan
penilaian
Disorientasi
Salah persepsi serius
Ketidakmampuan untuk
memfokuskan perhatian
Kesulitan untuk berfikir
logis

Gambar 1
Rentang respon fungsi kognitif (Stuart and Sundeen 1995)

3.

Faktor Predisposisi
Menurut Stuart (2006), respon kognitif pada umumnya merupakan akibat

dari gangguan biologis pada fungsi sistem saraf pusat. Faktor yang mempengaruhi
individu mengalami gangguan kognitif termasuk:
a.

Gangguan suplai oksigen, glukosa, dan zat gizi dasar yang penting lainnya ke
otak. Hal tersebut dapat terjadi karena perubahan vaskular arteriosklerotik,
serangan iskemik sementara, hemoragi serebral, dan infark otak kecil multipel.

b.

Degenerasi yang berhubungan dengan penuaan.

c.

Penyakit Alzheimer.
19

d.

Virus imunodefisiensi manusia (HIV).

e.

Penyakit hati kronik.

f.

Penyakit ginjal kronik.

g.

Defisiensi vitamin (terutama tiamin).

h.

Malnutrisi.

i.

Abnormalitas genetik.
Gangguan jiwa mayor, seperti skizofrenia, gangguan bipolar, gangguan

ansietas, dan depresi, juga dapat mempengaruhi fungsi kognitif.

4.

Faktor Presipitasi
Setiap serangan mayor pada otak cenderung mengakibatkan gangguan

fungsi kognitif. Berikut ini merupakan faktor presipitasi (Stuart, 2006):
a.

Hipoksia.

b.

Gangguan metabolik, termasuk hipotiroidisme, hipertiroidisme, hipoglikemia,
hipopituitarisme, dan penyakit adrenal.

c.

Toksisitas dan infeksi.

d.

Respon yang berlawanan terhadap pengobatan.

e.

Perubahan struktur otak, seperti tumor atau trauma.

f.

Kekurangan atau kelebihan sensori.

20

5.

Gambaran Klinis Aspek Kognitif

Menurut Kemenkes (2010), aspek kognitif meliputi:
a.

Orientasi merupakan kemampuan untuk mengaitkan keadaan sekitar dengan
pengalaman lampau. Orientasi terhadap waktu dan tempat dapat dianggap
sebagai ukuran memori jangka pendek, yaitu kemampuan pasien memantau
perubahan sekitar yang kontinue. Bila orientasi pasien terganggu, hal ini dapat
merupakan pentunjuk bahwa memori jangka pendeknya mungkin terganggu.

b.

Registrasi menggunakan perhatian untuk menduplikasi informasi, dan bagian
dari kemampuan mengingat dengan mengulang kembali apa yang telah
disebutkan.

c.

Atensi merupakan kemampuan untuk memfokuskan (memusatkan) perhatian
pada masalah yang dihadapi. Konsentrasi merupakan hal yang penting dalam
belajar. Hal ini memberikan kemampuan untuk memproses hal penting yang
dipilih dan mengabaikan yang lainnya. Visuospasial merupakan fungsi kognitif
yang kompleks mengenai kemampuan tata ruang, termasuk menggambar 2
maupun 3 dimensi. Pada gangguan visuospasial penderita mudah tersesat di
lingkungannya.

d.

Memori menghubungkan masa lalu dengan masa kini. Memori membuat kita
mampu menginterpretasi dan bereaksi terhadap persepsi yang baru dengan
mengacu kepada pengalaman lampau. Evaluasi yang akurat dan tepat dari fungsi
memori merupakan salah satu bidang yang paling penting dalam evaluasi fungsi
kognitif. Mereka mungkin lupa tanggal, lupa rincian pekerjaan atau gagal
mengingat janji di luar kegiatan rutin.
21

e.

Bahasa merupakan fungsi kognitif dasar bagi komunikasi pada manusia. Bila
terdapat gangguan pada bahasa, penilaian faktor kognitif yang lain agak sulit
untuk diperiksa. Kemampuan berkomunikasi dengan menggunakan bahasa
merupakan hal yang sangat penting. Bila terdapat gangguan, hal ini akan
mengakibatkan hambatan yang berarti bagi seseorang.

6.

Penurunan Fungsi Fognitif Pada Pasien Stroke
Secara umum apabila terjadi gangguan pada otak, maka seseorang akan

mengalami gejala yang berbeda, sesuai dengan yang terganggu yaitu (Stuart and
Sundeen, 1995):
a.

Gangguan pada lobus frontalis, akan ditemukan gejala-gejala kemampuan
memecahkan masalah berkurang, hilang rasa sosial dan moral, impilsif, regresi.

b.

Gangguan pada lobus temporalis akan ditemukan gejala amnesia dan demensia.

c.

Gangguan pada lobus parietalis dan oksipitalis akan ditemukan gejala yang
hampir sama, tapi secara umum akan terjadi disorientasi.

d.

Gangguan pada sistim limbik akan menimbulkan gejala yang bervariasi seperti
gangguan daya ingat, memori, dan disorientasi.

7.

Prinsip Dasar Stimulasi/Rehabilitasi Kognitif
Menurut Kemenkes (2010), prinsip dasar stimulasi/rehabilitasi kognitif

adalah menilai gangguan yang berkaitan dengan fungsi dan struktur otak tertentu
dengan cara menganalisis proses kognitif. Adapun prinsip dasar stimulasi/rehabilitasi
kognitif adalah sebaggai berikut:
22

a.

Stimulasi/rehabilitasi kognitif berkaitan erat dengan proses belajar dengan
penekanan pada penguatan fungsi-fungsi yang hilang, kemampuan diri, dan
kontrol diri.

b.

Stimulasi/rehabilitasi kognitif dilaksanakan dengan melakukan diagnostik medis
dan diagnostik neuropsikologis, untuk melihat gangguan yang terjadi dan
penyebabnya meliputi perspektif fisik, kognitif, emosi, dan sosial.

c.

Sesi stimulasi/rehabilitasi kognitif selalu terstruktur dan terencana dengan
membangun aktivitas dengan referensi dari kedua pengukuran (pengukuran
gangguan kognitif dan gangguan aktivitas sosial/sehari-hari) dengan data yang
ada dan merespon kebutuhan evaluasi objektif untuk menilai efektivitas terapi.

d.

Rehabilitasi kognitif bersifat fleksibel dan memberikan pemahaman penderita
untuk lebih memahami kondisi saat ini sehingga dapat beradaptasi dengan
memunculkan

kemampuan-kemampuan

baru

yang

adaptif

serta

memodifikasi/merubah pemikiran, perasaan dan emosi negatif.
e.

Pendekatan stimulai/rehabilitasi sosial dilakukan dengan dukungan dari terapis,
klien, dan anggota keluarga yang menyembuhkan. Pendekatan dilakukan dengan
melalui partisipasi aktif dan berorientai pada tujuan yang terfokus untuk
mengatasi problem pasien agar dapat membangun kepercayaan diri.

8.

Hubungan Fungsi Kognitif Dengan Usia Pada Pasien Stroke
Stroke telah terbukti menjadi penyebab utama kecacatan kronik di semua

lapisan masyarakat. Penderita yang selamat dari stroke dapat mengalami kecacatan
fungsi kognitif akibat kerusakan otak. Pada dasarnya semua kelainan yang mengenai
otak dapat menimbulkan gangguan fungsi kognitif.
23

Terminologi fungsi kognitif biasa digunakan untuk menjelaskan berbagai
kemampuan mental dan intelektual termasuk memori, perhatian, penalaran, dan
kondisi kesadaran secara umum. Pada stroke tahap awal hampir 50% kerusakan
menyebabkan perubahan tingkat kesadaran. Ada yang tidak sadar untuk jangka
waktu panjang (koma); kebingungan, diorientasi atau tampak aphatheic dan
lethargeic untuk beberapa jam atau hari (Djohan, 2006).
Menurut Kemenkes (2010), faktor-faktor yang berpengaruh pada fungsi
kognitif penderita stroke adalah faktor usia dan tingkat pendidikannya. Usia lanjut
merupakan salah satu faktor risiko utama akan timbulnya berbagai penyakit yang
berhubungan denggan proses penuaan. Sebagai contoh adalah demensia merupakan
penyakit yang sering ditemukan pada usia lanjut. Pada awal penyakit demensia dapat
ditemukan gejala mudah lupa yang menyebabkan penderita tidak mampu menyebut
kata yang benar, berlanjut dengan kesulitan mengenal benda dan akhirnya tidak
mampu menggunakan barang-barang sekalipun yang termudah. Gejala gangguan
kognitif ini dapat diikitu gangguan perilaku seperti waham (curiga, sampai menuduh
ada yang mencuri barang), halusinasi pendengaran atau penglihatan, agitasi (gelisah,
mengacau), depresi, gangguan tidur, nafsu makan dan berkelana. Gejalanya antara
lain, disorientasi, gangguan bahasa (afasia), penderita mudah bingung, penurunan
fungsi memori lebih berat sehingga penderita tidak dapat melakukan kegiatan sampai
selesai, tidak mengenal anggota keluarganya dan tidak dapat mengingat tindakan
yang sudah dilakukan sehingga dapat mengulanginya lagi. Selain itu penderita dapat
mengalami gangguan visuospasial, menyebabkan penderita mudah tersesat di
lingkungannya.
Issue menganai penurunan kognitif selama tahun-tahun masa dewasa
merupakan suatu hal yang propokatif (Santrock, 2004). David Wechsler (2000) yang
24

mengembangkan skala inteligensi menyimpulkan bahwa masa dewasa dicirikan
dengan penurunan kognitif karena adanya proses penuaan yang dialami setiap orang
pada hal ini stroke. Dari banyak penelitian diterima secara luas bahwa kecepatan
memproses informasi, mengingat dan memecahkan masalah, mengalami penurunan
pada masa dewasa akhir. Penelitian lain membuktikan bahwa penderita stroke pada
dewasa lanjut kurang mampu mengeluarkan kembali informasi yang telah disimpan
dalam ingatannya. Ini berarti fungsi kognitif pada pasien stroke sangat erat
hubungannya dengan faktor usia. Semakin bertambahnya usia, fungsi kognitif pada
pasien stroke semakin menurun.

9.

Hubungan Fungsi Kognitif Dengan Tingkat Pendidikan Pada Pasien Stroke
Selain umur, tingkat pendidikan juga diketahui sebagai salah satu faktor yang

mempengaruhi dalah hasil pemeriksaan fungsi kognitif. Pendidikan merupakan
komponen penting yang berpengaruh terhadap fungsi kognitif individu berusia lanjut.
Fasilitas pendidikan semakin tahun memang semakin meningkat, sehingga generasi
sekarang memiliki kesempatan untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik dari
generasi sebelumnya. Hal ini tentu sangat berdampak pada uji tes MMSE (Mini
Mental State Examination) untuk penderita stroke yang berusia lanjut. Kemampuan
intelektual seseorang berkorelasi positif dengan hasil skor pada test fungsi kognitif
yaitu tes MMSE.
10. Hubungan Fungsi Kognitif Dengan Waktu Terjadinya Stroke
Gangguan fungsi kognitif juga dipengaruhi dari lama stroke itu terjadi yaitu
pada fase akut dan sub akut.
a.

Gangguan fungsi kognitif pada stroke akut
25

Kerusakan pada lokasi otak tertentu menyebabkan gangguan kognisi yang
sesuai. Stroke pada hemisfer dominan menyebabkan gangguan berbahasa (afasia)
dan apraksia. Pada hemisfer non dominan gangguan kognitif dapat berupa neglect
(pengabaian) pada salah satu sisi obyek atau ruang. Gangguan kognisi tidak hanya
terjadi pada kerusakan di kortikal, namun dapat juga pada subkorteks karena
mengenai sirkuit-sirkuit yang ikut mengatur fungsi kognitif antar bagian-bagian di
otak. Gangguan kognisi juga dapat sekunder akibat gangguan sensorik, visual dan
motorik.
b.

Gangguan fungsi kognitif pada stroke subakut
Kebanyakan gangguan kognitif pasca stroke membaik setelah periode subakut

(sampai 3 bulan setelah stroke) atau lebih awal. Pada fase subakut, proporsi
gangguan kognitif berkisar antara 50-90%, tergantung populasi dan metode
penelitian yang dipakai. Pada fase ini menentukan perkembangan fungsi kognitif
adaah perbaikan sirkulasi serebral karena rekanalisasi spontan, neuroplastisitas, dan
adanya ppenyulit yang menyertai. Kebanyakan daerah penumbra mengalami
reperfusi dalam waktu 3 bulan stroke. Setelah 3 bulan ukuran kerusakan dan defisit
kognitif cenderung stabil. Rehabilitasi juga ikut menentukan perbaikan kognitif pada
fase ini.

26

BAB III
KERANGKA KONSEP
A. Kerangka Konsep Penelitian
Kerangka konsep adalah konsep yang dipakai sebagai landasan berpikir
dalam kegiatan ilmu (Nursalam, 2003). Adapun kerangka konsep untuk penelitian ini
adalah sebagai berikut:
Faktor-faktor risiko:
1. Hipertensi
2. Diabetes Mellitus
3. Penyakit Jantung
4. Gangguan Aliran Darah
Sepintas
5. Hiperkolesterolemi
6. Infeksi
7. Obesitas

Etiologi:
1. Trombosis
2. Embolisme serebral
3. Iskemia.
4. Hemoragi serebral

Stroke

8.
9.
10.
11.
12.
13.

SH

Merokok
Kelainan
Pembuluh Darah Otak
Lanjut usia
Penyakit paru-paru
menahun
terutama
asma bronkial.
Penyakit darah
tertentu
Asam urat yang
berlebihan

SNH

1.
2.
3.
4.

Kehilangan motorik
Kehilangan komunikasi
Gangguan persepsi
Disfungsi kandung kemih

5.

Kerusakan kognitif

1.
2.
3.
4.
5.

Orientasi
Registrasi
Perhatian dan
Kalkulasi
Mengingat
Bahasa

Gambar 2
Kerangka Konsep Gambaran Harga Diri Pada Pasien Stroke
Keterangan:
: Variabel diteliti
: Variabel tidak diteliti

B.

Variabel Penelitian dan Definisi Operasional
27

1. Variabel penelitian
Raffi dalam (Nursalam, 2003) menyatakan, variabel adalah suatu ciri yang
dimiliki oleh anggota suatu kelompok (orang, benda, situasi) yang berbeda dengan
yang dimiliki oleh kelompok tersebut.
Dalam penelitian ini akan diteliti satu variabel yaitu fungsi kognitif pada
pasien stroke.

2. Definisi operasional
Variabel yang telah didefinisikan perlu didefinisikan secara operasional,
sebab setiap istilah (variabel) dapat diartikan secara berbeda-beda oleh orang yang
berlainan (Nursalam, 2003). Definisi Operasional adalah seperangkat instruksi yang
lengkap untuk menetapkan apa yang akan diukur dan bagaimana cara pengukurannya
yang dibuat menurut pemikiran peneliti.

Tabel 2
Definisi Operasional Fungsi Kognitif Pasien Stroke

Variabel

Definisi
Operasional

Parameter

1

2

3

Fungsi
kognitif
pasien
stroke

Fungsi kognitif
adalah skor
yang terkait
dengan fungsi
otak yang
meliputi
penilaian
orientasi,
registrasi,

Orientasi,
Registrasi,
Perhatian dan
Kalkulasi,
Mengingat,
Bahasa

Cara
Mendapatkan
data
4
Wawancara
dan Observasi

Alat Ukur

Skala
Pengukuran

5

6

MMSE
(Mini
Mental
State
Examinati
on)

Skala
Ordinal
24 -30:
fungsi
kognitif
normal
17-23 :
Mungkin

28

perhatian dan
kalkulasi,
mengingat,
serta bahasa.

terdapat
gangguan
fungsi
kognitif
(probable
gangguan
kognitif )
0-16 :
Fungsi
kognitif
terganggu
(definite
gangguan
kognitif)

29

BAB IV
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Rancangan penelitian (riset desaign) adalah sesuatu yang vital dalam
penelitian, yang memungkinkan memaksimalkan suatu kontrol beberapa yang
mempengaruhi validiti suatu hasil (Nursalam, 2003). Rancangan penelitian yang
digunakan adalah rancangan penelitian deskriptif, yaitu suatu metode penelitian yang
dilakukan dengan tujuan utama untuk membuat gambaran tentang suatu keadaan
secara objektif. Penelitian ini tidak melakukan intervensi, hanya memberikan
gambaran tentang fungsi kognitif pasien stroke. Pendekatan yang digunakan adalah
pendekatan one shot di mana dalam pengumpulan dilakukan secara bersamaan dalam
waktu sekali saja oleh peneliti (Arikunto, 2010).

B. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di IRNA D RSUP Sanglah Denpasar. Tempat ini
dipilih karena memenuhi kriteria sampel penelitian. Penelitian akan dilakukan pada
bulan Maret sampai dengan April tahun 2013.

C. Populasi dan Sampel Penelitian
1. Populasi penelitian
Populasi adalah keseluruhan dari suatu variabel yang menyangkut masalah
yang diteliti. Variabel tersebut bisa berupa orang, kejadian, perilaku atau sesuatu lain
yang akan dilakukan penelitian (Nursalam, 2003).
30

Dalam penelitian ini, populasi yang diambil adalah seluruh pasien stroke
yang dirawat di IRNA D RSUP Sanglah Denpasar dengan jumlah perkiraan 60 orang.
2. Sampel penelitian
Sampel adalah bagian dari populasi yang dipilih dengan ”sampling” tertentu untuk
bisa memenuhi atau mewakili populasi (Nursalam, 2003). Pada penelitian ini peneliti
menentukan jumlah sample dengan rumus :
n=

N
1 + N (d)2

Keterangan:
n
= Jumlah sampel
N
= Jumlah populasi
d
= Tingkat signifikansi (d=0,05)
Dengan jumlah populasi (N) 60 orang, maka :
n=

60

1 + 60 (0,05)2
60
52,173
n=
=
1,15

Dari rumus tersebut didapatkan jumlah sampel adalah 53 orang (hasil pembulatan
dari 52,73) yang terdiri dari seluruh pasien stroke yang dirawat di IRNA D RSUP
Sanglah Denpasar yang memenuhi kriteria inklusi.
3. Kriteria sampel
a. Kriteria inklusi adalah karakteristik umum subyek penelitian dan terjangkau yang
akan diteliti, yaitu :
1) Pasien stroke yang dirawat di IRNA D RSUP Sanglah Denpasar.
2) Pasien dalam keadaan sadar
3) Pasien yang bersedia menjadi responden
4) Pasien bisa berkomunikasi secara verbal
b. Kriteria eksklusi adalah menghilangkan atau mengeluarkan subyek yang
memenuhi kriteria inklusi dari studi karena berbagai sebab, yaitu :
31

1) Pasien yang tidak kooperatif
2) Pasien yang selama proses penelitian mengundurkan diri
4. Teknik sampling
Sampling adalah proses dalam menyeleksi porsi dari populasi untuk mewakili
populasi. Teknik sampling adalah suatu cara-cara yang ditempuh dalam pengambilan
sampel, agar memperoleh sampel yang benar-benar sesuai dengan keseluruhan
subjek penelitian (Nursalam ,2003).
Penelitian ini menggunakan non probability sampling yaitu consecutive
sampling, dimana setiap pasien yang memenuhi kriteria penelitian dimasukan
menjadi responden sampai kurun waktu tertentu, sehingga jumlah responden yangg
diperoleh terpenuhi (Nursalam, 2003).

D. Jenis dan Cara Pengumpulan Data
1. Jenis data
Jenis data yang dikumpulkan adalah data primer, yaitu data yang diperoleh
langsung dari responden dengan menggunakan instrumen MMSE (Mini Mental State
Examination).

2. Cara pengumpulan data
Data dikumpulkan langsung dengan cara wawancara dan observasi. Langkahlangkah pengumpulan data dengan pendekatan formal kepada Direktur RSUP
Sanglah Denpasar, Selanjutnya meminta izin kepada kepala ruangan rawat inap di
lingkungan IRNA D.

32

Setelah diberikan izin oleh kepala ruangan kemudian dilakukan pemilihan
sampel yang memenuhi kriteria inklusi, sampel yang bersedia menjadi responden
kemudian dilakukan pendekatan informasi dengan membina hubungan saling
percaya dengan memperkenalkan diri, kemudian menjelaskan maksud dan tujuan
penelitian. Yang terahir adalah memberikan lembar persetujuan dan jika subyek
bersedia untuk diteliti maka harus menandatangani lembar persetujuan.
3. Instrumen pengumpulan data
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah MMSE (Mini Mental State
Examination) oleh Folstein dalam (Lumbantobing, 2001).
a. Tes ini dilakukan selama 10 menit
b. Orang-orang dengan perbedaan kebudayaan, inteligensi rendah dan pendidikan
rendah akan mempengaruhi skor
c. MMSE mengukur diantaranya, orientasi, registrasi, perhatian dan kalkulasi,
mengingat, serta kemampuan berbahasa.
d. MMSE telah diuji validitas dan reabilitas di berbagai populasi. Skor 24-30
merupakan fungsi kognitif normal, 17-23 indikkasi mungkin terdapat gangguan
kognitif (probable gangguan kognitif), 0-16 indikasi mengalami gangguan
kognitif (definite gangguan kognitif).
e. Tehnik yang dipakai dalam instrumen ini yaitu wawancara dan observasi
Instrumen pengumpulan data MMSE (Mini Mental State Examination) terdiri dari:
a.

Orientasi

33

1) Pasien diminta menyebutkan hari, tanggal, bulan, tahun, dan musim sekarang
dengan skor masing-masing jawaban jika benar 1 dan salah 0, jumlah skor 5.
2) Pasien diminta menyebutkan negara, provinsi, kota, RS, dan bagian RS dengan
skor masing-masing jawaban jika benar 1 dan salah 0, jumlah skor 5.
b. Registrasi
Pemeriksa menyebutkan 3 nama benda dengan antara 1 detik waktu menyebutkan
nama benda tersebut diantaranya garputala, reflek hummer, tongue spatel. Setelah
selesai menyuruh penderita menyebutkan, memberi skor 1 untuk tiap benda yang
benar dan 0 untuk jawaban benda yang salah, jumlah skor 3.
c.

Perhatian dan Kalkulasi

Pasien diberi hitungan kurangg 7, 100-7 pendapatannya dikurangi lagi dengan 7,
demikian seterusnya sampai 5 jawaban. Jadi 100-7=93-7=86-7=79-7=72-7=65. Atau
pasien disuruh mengeja kata “WAHYU” secara terbalik (UYHAW). Skor 1 untuk
setiap jawaban yang benar, dan 0 untuk yang salah, jumlah skor 5.
d. Mengingat Kembali
Menanyakan kembali nama benda yang telah disebutkan pada pertanyaan nomor 3.
Beri skor 1 bagi jawaban yang benar, salah dengan skor 0. Jumlah skor 3.

e.

Bahasa

34

1) Menunjukkan buku dan pulpen. Menyuruh pasien menyebutkan nama benda
yang ditunjuk. Beri skor 1 untuk jawaban yang benar dan skor 0 untuk jawaban
yang salah. Jumlah skor 2.
2) Menyuruh pasien mengulang kalimat berikut “Tanpa kalau, dan atau tetapi”.
Beri skor 1 untuk pernyataan kalimat yang benar dan skor 0 untuk kalimat yang
salah. Jumlah skor 1.
3) Menyuruh pasien melakukan suruhan tiga tingkat yaitu:
“Ambil kertas dengan tangan kananmu”
“Lipat dua kertas”
“Dan letakkan kertas itu dilantai”
Beri skor 1 untuk setiap tindakan pasien yang benar dan skor 0 untuk setiap
tindakan yang salah. Jumlah skor 3.
4) Pemeriksa menulis kalimat suruhan dan meminta pasien melakukannya
“Angkatlah tangan kiri anda”
5) Meminta pasien menulis satu kalimat pilihan sendiri (Kalimat harus
mengandung subyek dan obyek serta mempunyai makna, sallah eja tidak
diperhitungkan bila memberi skor). Skor 1 untuk tulisan yang sesuai, dan skor 0
bila tidak sesuai.

6) Meminta pasien mengkopi, gambar di bawah ini
35

Beri skor 1 bila semua sisi digambar dan potongan antara segi lima tersebut
membentuk segi empat, skor 0 bila tidak sesuai. Jumlah skor 1.

E. Pengolahan Data dan Analisa Data
1. Teknik pengolahan data
Pengolahan data merupakan suatu upaya untuk memprediksi data dan
menyiapkan data sedemikian rupa agar dapat dianalisis lebih lanjut dan mendapatkan
data yang siap untuk disajikan. Data yang terkumpul diolah melalui cara :
a. Editing
Editing adalah memeriksa daftar pertanyaan yang telah diserahkan oleh para
pengumpul data (Setiadi, 2004). Adapun prosesnya adalah mengecek kembali data
yang telah terkumpul untuk memvalidasi data, bila ada instrumen MMSE belum
lengkap diisi oleh peneliti, instrumen akan dikembalikan kepada responden untuk
dilakukan perbaikan-perbaikan, memperjelas agar mudah dipahami.
b. Koding
Koding adalah mengklasifikasikan jawaban- jawaban dari para responden ke
dalam kategori. Biasanya klasifikasi dilakukan dengan cara memberikan tanda / kode
berbentuk angka pada masing-masing jawaban. Setelah instrumen terkumpul, diberi
kode pada setiap responden, berdasarkan kode yang telah disiapkan peneliti.

c. Entry

36

Jawaban- jawaban yang sudah diberi skor akan diolah secara manual
kemudian dimasukkan dalam tabel dengan cara menghitung frekuensi data.
d. Cleaning
Instrumen yang sudah terkumpul diberi kode selanjutnya dientry untuk
diperiksa kembali. Bila ditemukan kesalahan maka dicocokkan dengan melihat
variabel apakah data sudah benar atau belum.

2. Teknik Analisa Data
Data yang dikumpulkan diolah dan disajikan secara deskriptif sesuai dengan
tujuan yang diinginkan, dengan menggunakan tabel distribusi atau grafik yang
dikonfirmasikan dengan bentuk prosentase dan narasi kemudian memaparkan
fenomena-fenomena yang mencolok yang ditemukan pada kelompok-kelompok
karakteristik objek yang dideskripsikan.

37

LAMPIRAN I
MINI-MENTAL STATE EXAM (MMSE)
(modifikasi FOLSTEIN)

Nama Pasien:………………..( Lk / Pr )
Umur:………………Pendidikan……...........……Pekerjaan:........…………
Pemeriksa:………………
Tgl………………

Item

Tes

Nilai
maks.

Nilai

ORIENTASI
1

Sekarang (tahun), (musim), (bulan), (tanggal), (hari)
apa?

5

-

2

Kita berada dimana? (negara), (propinsi), (kota),
(rumah sakit), (lantai/kamar)

5

-

3

-

5

-

REGISTRASI
3

Sebutkan 3 buah nama benda ( garputala, reflek
hummer, tongue spatel), tiap benda 1 detik, pasien
disuruh mengulangi ketiga nama benda tadi. Nilai 1
untuk tiap nama benda yang benar. Ulangi sampai
pasien dapat menyebutkan dengan benar dan catat
jumlah pengulangan
ATENSI DAN KALKULASI

4
Kurangi 100 dengan 7. Nilai 1 untuk tiap jawaban
yang benar. Hentikan setelah 5 jawaban. Atau disuruh
mengeja terbalik kata “ WAHYU” (nilai diberi pada
huruf yang benar sebelum kesalahan; misalnya
uyahw=2 nilai)
MENGINGAT KEMBALI (RECALL)

5

Pasien disuruh menyebut kembali 3 nama benda di
atas

3

BAHASA
6

Pasien diminta menyebutkan nama benda yang
ditunjukkan ( buku,pulpen)

2

7

Pasien diminta mengulang rangkaian kata :” tanpa
kalau dan atau tetapi ”

1

-

38

8

Pasien diminta melakukan perintah: “ Ambil kertas
ini dengan tangan kanan, lipatlah menjadi dua dan
letakkan di lantai”.

3
-

9

Pasien diminta membaca dan melakukan perintah
“Angkatlah tangan kiri anda”

1

10

Pasien diminta menulis sebuah kalimat (spontan)

1

11

Pasien diminta meniru gambar di bawah ini

1

-

Sskor
Total

30

Pedoman Skor kognitif global (secara umum):
Nilai: 24 -30: normal
Nilai: 17-23 : probable gangguan kognitif
Nilai: 0-16:definite gangguan kognitif
Catatan: dalam membuat penilaian fungsi kognitif harus diperhatikan tingkat
pendidikan dan usia responden

Dikutip dari: Kolegium Psikiatri Indonesia. Program pendidikan dokter spesialis
psikiatri. Modul psikiatri geriatri. Jakarta (Indonesia): Kolegium Psikiatri Indonesia;
2008.

39

Dokumen yang terkait

PENGARUH PEMBERIAN SEDUHAN BIJI PEPAYA (Carica Papaya L) TERHADAP PENURUNAN BERAT BADAN PADA TIKUS PUTIH JANTAN (Rattus norvegicus strain wistar) YANG DIBERI DIET TINGGI LEMAK

23 199 21

KEPEKAAN ESCHERICHIA COLI UROPATOGENIK TERHADAP ANTIBIOTIK PADA PASIEN INFEKSI SALURAN KEMIH DI RSU Dr. SAIFUL ANWAR MALANG (PERIODE JANUARI-DESEMBER 2008)

2 106 1

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

MANAJEMEN PEMROGRAMAN PADA STASIUN RADIO SWASTA (Studi Deskriptif Program Acara Garus di Radio VIS FM Banyuwangi)

29 282 2

ANALISIS PROSPEKTIF SEBAGAI ALAT PERENCANAAN LABA PADA PT MUSTIKA RATU Tbk

273 1263 22

PENERIMAAN ATLET SILAT TENTANG ADEGAN PENCAK SILAT INDONESIA PADA FILM THE RAID REDEMPTION (STUDI RESEPSI PADA IKATAN PENCAK SILAT INDONESIA MALANG)

43 322 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PEMAKNAAN BERITA PERKEMBANGAN KOMODITI BERJANGKA PADA PROGRAM ACARA KABAR PASAR DI TV ONE (Analisis Resepsi Pada Karyawan PT Victory International Futures Malang)

18 209 45

STRATEGI KOMUNIKASI POLITIK PARTAI POLITIK PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH TAHUN 2012 DI KOTA BATU (Studi Kasus Tim Pemenangan Pemilu Eddy Rumpoko-Punjul Santoso)

119 459 25

PENGARUH BIG FIVE PERSONALITY TERHADAP SIKAP TENTANG KORUPSI PADA MAHASISWA

11 131 124