Anak Putus Sekolah Ditinjau dari Pandang
Anak Putus Sekolah Ditinjau dari Pandangan
Alain Touraine
Disusun Oleh:
Alika Nurul Haqqi
Dewi Tri Utami
Ikhsan
Novia Putri K.
Tri Utami Oktaviani
FAKULTAS FILSAFAT
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2012
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Mencerdaskan kehidupan bangsa adalah salah satu tujuan Negara
Indonesia yang tercantum dalam Pembukaan Undang-undang Dasar Negara
Republik Indonesia 1945 alinea ke empat. Tujuan negara berlaku untuk semua
rakyat Indonesia. Indonesia sebagai negara merdeka memiliki kebebasan untuk
menentukan arah hidupnya sesuai dengan dasar negara Pancasila, yang
menghendaki terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kebijakan
menjadi salah satu langkah konkret pemerintah untuk mencapai tujuan negara.
Misalnya, kebijakan program wajib belajar sembilan tahun dan program Bantuan
Opersional Sekolah (BOS) yang berlaku untuk seluruh rakyat Indonesia.
Akan tetapi, program wajib belajar sembilan tahun dan Bantuan
Operasional Sekolah memberikan hasil yang kurang maksimal. Kurangnya
pengawasan saat kebijakan dijalankan, kurangnya informasi bagi masyarakat,
rumitnya birokrasi, serta ketidakpedulian dari pihak-pihak terkait –dinas
pendidikan, sekolah, dan orang tua- menjadi penyebab kurang maksimalnya
program pemerintah. Kondisi tersebut dimanfaatkan oleh golongan tertentu untuk
mendominasi
dalam
bidang
pendidikan.
Golongan
yang
mendominasi
memberikan tekanan yang tidak disadari oleh masyarakat, sehingga masyarakat
tidak lagi bebas. Misalnya, masyarakat harus membayar mahal untuk membeli
buku pelajaran, uang pembangunan, serta sumbangan lain demi kelancaran
pembelajaran. Mahalnya biaya sekolah membuat anak usia sekolah yang berasal
dari keluarga tidak mampu terpaksa berhenti. Permasalahan anak putus sekolah
tidak kunjung terselesaikan. Semakin banyak anak yang tidak dapat mengakses
pendidikan karena faktor ekonomi. Institusi pendidikan tidak lagi berjalan sesuai
tujuan awal, mencerdaskan kehidupan bangsa.
Alain Touraine seorang tokoh strukturalis menawarkan pemikiran yang
berbeda dengan pemikiran kaum strukturalis pada umumnya. Kaum strukturalis
percaya bahwa ada sebuah cerita besar yang mengikat dalam masyarakat.
Misalnya, Claude Levi-Strauss yang berpendapat bahwa masyarakat memiliki
aturan main. Dalam buku “Les Structures Elementaires de la Parente” Levi1
Strauss menganalisa kekerabatan dalam masyarakat sebagaimana bahasa.
Kekerabatan dan bahasa memiliki tiga persamaan, antaralain: keduanya memiliki
sistem tertentu yang terdiri dari relasi-relasi dan oposisi, keduanya merupakan
sistem komunikasi, dan keduanya dikuasai oleh unsur yang tidak disadari. Selain
Levi-Strauss, tokoh Jacques Lacan juga mengemukakan adanya ikatan dalam
masyarakat yang mengakibatkan manusia tidak menjadi makhluk otonom.
Akan tetapi, Touraine berpendapat bahwa pada dasarnya manusia adalah
bebas, tetapi muncul kelompok dominan yang mengekang masyarakat. Touraine
mengecam adanya kelompok yang mendominasi, karena akan memunculkan
konflik sosial. Touraine melihat pemberontakan Mei 1968 di Prancis sebagai
protes mahasiswa dengan transformasi tujuan yang berlangsung di lingkungan
internal universitas. Pemberontakan tersebut terjadi karena kaum teknokrat
mengambil alih universitas. Mahasiswa mengingikan adanya kebebasan berpikir
tanpa kendali sistem politik dan struktur kekuasaan. Touraine berada di pihak
mahasiswa dan menginginkan adanya institusi ulang pendidikan demi mencapai
tujuannya.
1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut: a)
deskripsi anak putus sekolah di Yogyakarta; b) deskripsi pandangan Alain
Touraine; c) analisis anak putus sekolah di Yogyakarta ditinjau dari pandangan
Alain Touraine.
2
BAB II
Anak Putus Sekolah di Yogyakarta Dikaji dari Pandangan Alain Touraine
2.1 Anak Putus Sekolah di Yogyakarta
Undang-undang telah mengatur tentang Pendidikan dalam Pasal 31 ayat
(1) yang berbunyi “Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. ****)”,
ayat (2) yang berbunyi “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar
dan pemerintah wajib membiayainya, ****)”, dan ayat (4) yang berbunyi “Negara
memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari
anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan
belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
****)” (-, 2004: 23). Akan tetapi, angka anak putus sekolah di Indonesia masih
tinggi dan menjadi permasalahan yang mengkhawatirkan. Generasi muda yang
seharusnya dapat sekolah untuk menambah ilmu dan wawasan harus berhadapan
dengan berbagai masalah. Akhirnya, banyak anak usia sekolah (6 tahun sampai 9
tahun) terpaksa berhenti atau tidak menamatkan pendidikan pada jenjang tertentu.
Anak putus sekolah dipengaruhi dari beberapa faktor, antaralain:
a. latar belakang pendidikan orang tua
b. lemahnya ekonomi keluarga
c. kurangnya minat anak untuk bersekolah
d. kondisi lingkungan tempat tinggal anak
e. pandangan masyarakat terhadap pendidikan
Yogyakarta yang mendapat sebutan sebagai kota pelajar tidak lepas dari
permasalahan anak putus sekolah. Kondisi anak putus sekolah di Yogyakarta
dapat dilihat dalam tabel berikut:
Tk Sekolah
2008
2009
2010
2011
SD
192
532
224
202
SMP
272
327
255
241
SMA
84
139
191
229
SMK
301
418
755
477
3
Sumber: Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga DIY
2.2 Strukturalisme Alain Touraine
Strukturalisme merupakan aliran yang bereaksi terhadap subjektivisme
eksistensialisme. Aliran strukturalisme dibangun oleh Claude Levi-Strauss. Kaum
strukturalis mencoba menyelidiki pola-pola dasar yang tetap (pattern) dalam
realitas. Pada umumnya, strukturalisme meyakini adanya cerita besar yang
mengikat manusia. Berbeda dengan pandangan umum kaum strukturalis, Alain
Touraine percaya bahwa manusia memiliki kebebasan dalam menjalankan
hidupnya.
Alain Touraine seorang tokoh sosiolog asal Perancis yang lahir pada tahun
1925.
Ayahnya seorang dokter dari tradisi panjang para praktisi kedokteran.
Meskipun ia diarahkan untuk mendalami karier akademik, namun Touraine
memutuskan untuk melepaskan diri dari tradisi keluarganya dan bekerja dalam
sebuah tambang batu. Dengan pengalaman bekerja ini memupuk minatnya dalam
sosiologi. Pada tahun 1950, Touraine bergabung dengan ahli sosiologi, George
Friedmann di Centre national de la Recherce Scientifique (Lembaga Penelitian
Nasional Prancis).
Touraine tumbuh dalam masa perang dan masuk ke dalam barisan
Resistance sebelum masuk ke École Normale Supérieure, di mana dia
meraih agrégation (ujian negara untuk menjadi pengajar)... Sejak tahun
1968, dia telah menjadi profesor gerakan sosial, seorang sosiolog revolusi
(Kurzweil, 2004: 165-167).
Touraine berpendapat bahwa kelas –sebagai contoh dari sekumpulan
kondisi yang sudah tertentu- harus mengakui bahwa tindakan dan bukan kondisi,
tentulah yang menunjukkan hubungan dominasi dan keadaan terkuasai, dan dari
sini “kelas” sebagai suatu kategori penjelas harus memberi kesempatan bagi
“gerakan sosial”. Meskipun demikian, penitikberatan pada perubahan ini tidak
boleh membawa sosiolog pada pandangan bahwa masalah struktural sudah tidak
ada lagi. Secara garis besar, teori aksi sosial dari Touraine ini adalah sebuah kritik
terhadap teori sistem sosial. Oleh sebab itu, unsur pokok dari gerakan sosial
adalah aksi: aksi melawan sistem sosial.
No radical measures are called for, only a reinforcement of the inner life of
the college or university- a reduction in the ambitions of a system that is
4
overcommitted and whose spirit of innovation finds expression nowhere
better than in the private, elitist colleges and universities. Since the attacks
against the university derive from its too numerous bonds with the
economic, sosial, and military leaders, these bonds should be cut when
they are not specifically linked to the needs of academic research and
teaching (Touraine, 1974: 263).
Dalam bukunya tersebut, Touraine mengatakan adanya tekanan pada mahasiswa.
Tekanan tersebut berasal dari masuknya pengaruh para pemimpin ekonomi, sosial,
dan politik ke dalam lingkungan universitas. Mahasiswa menganggap para
pemimpin ekonomi, sosial, dan politik tidak berkepentingan dalam proses
pendidikan. Masuknya para pemimpin dalam universitas dianggap membatasi
pemikiran kritis mahasiswa. Pendidikan tidak lagi berjalan sesuai dengan
tujuannya. Pendidikan dikontrol oleh kelompok yang mendominasi, sehingga
Touraine ingin mengadakan institusi ulang dalam dunia pendidikan.
2.3 Analisis Kasus Anak Putus Sekolah Dengan Pandangan Alain Touraine
Dominasi teknologi baru dalam berbagai aspek yang dikendalikan oleh
teknisi, teknokrat, teknolog, dan investor saintifik turut memberikan struktur baru
dalam bidang pendidikan. Pendidikan tidak lagi concern pada penambahan ilmu
pada siswa, tetapi lebih terfokus pada persoalan di sekitar pendidikan, misalnya
permasalahan tingginya biaya pendidikan, anak putus sekolah, kelayakan fasilitas
sekolah, serta sulitnya mendapat pendidikan yang layak. Peraturan perundangundangan yang berlaku tidak berjalan dengan baik, sehingga terjadi banyak
penyimpangan dalam praktiknya.
Tingginya angka anak putus sekolah di Indonesia mengisyaratkan
gagalnya penerapan Undang-undang Dasar 1945 pasal 31 ayat (1), (2), (4).
Program wajib belajar sembilan tahun yang telah dicanangkan sebagai program
pemerintah hanya dapat terlaksana di beberapa kalangan saja. Rakyat dengan
keadaan ekonomi bawah (miskin) merasakan sulitnya mendapatkan biaya untuk
menyekolahkan anak hingga jenjang SMP.
Berdasarkan alasan tersebut, pemerintah menetapkan untuk memberi
keringanan berupa pembebasan uang sekolah dari jenjang SD hingga SMP.
5
Program Biaya Operasional Sekolah diharapkan dapat membantu rakyat untuk
memeroleh pendidikan yang layak secara merata, tidak ada perbedaan antara si
kaya dan si miskin dalam mengakses fasilitas pendidikan. Akan tetapi, dalam
prosesnya banyak terjadi penyimpangan penggunaan dana BOS. Selain itu,
orangtua siswa masih dibebani dengan biaya buku, seragam, serta iuran lain-lain
dengan jumlah yang cukup besar.
Dalam realita, program wajib belajar sembilan tahun dan Biaya
Operasional Sekolah belum menyelesaikan masalah pendidikan sebagai dampak
kemiskinan. Rencana perubahan wajib belajar sembilan tahun menjadi wajib
belajar dua belas tahun di tahun 2013 harus dikaji ulang. Pemerintah hanya
melihat dari sisi permukaan pelaksanaan program wajib belajar sembilan tahun.
Pemerintah telah melakukan berbagai cara untuk menekan angka anak
putus sekolah melalui kebijakan yang sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945.
Misalnya mengadakan kebijakan wajib belajar sembilan tahun untuk mengadakan
pemerataan pendidikan yang didukung dengan program BOS. Akan tetapi,
masalah pendidikan di Indonesia belum juga terselesaikan. Dua penyebab utama
kegagalan program pemerintah adalah kurangnya peninjauan lapangan serta tidak
adanya kesadaran pribadi dari semua pihak untuk bersinergi menciptakan keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Menurut kelompok kami, pemerintah sebagai “manajer sistem” harus
segera menyelesaikan permasalahan secara komperehensif, tidak hanya memberi
solusi di permukaannya saja. Selanjutnya, pemerintah mengkaji dan meluruskan
kembali tujuan awal institusi pendidikan sebagai institusi untuk menambah ilmu
serta wawasan peserta didik. Selain itu, perlu ada kesadaran pada tiap individu
untuk memandang pendidikan sebagai hal penting yang harus diperoleh setiap
warga negara Indonesia. Pemerintah dan masyarakat harus saling bersinergi untuk
meluruskan kembali dan membentuk pandangan positif tentang pendidikan,
sehingga tujuan negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dapat terwujud.
6
BAB III
Kesimpulan
7
Daftar Pustaka
Kurzweil, Edith. 2004. The Age of Structuralism: Lévi-Strauss to Foucalt,
terjemahanNurhaidin, Jaringan Kuasa Strukturalisme. Kreasi Wacana:
Yogyakarta.
Touraine, Alain. 1974. The Academic System in American Society. McGraw- Hill:
New York.
-.2004. UUD ’45 dan Amandemennya. Fokus Media: Bandung.
Laman Internet
http://yogyakarta.bps.go.id/ebook/Statistik%20Daerah%20Istimewa%20Yogyakar
ta%202012/HTML/index.html#/28/zoomed, diakses tanggal 28 Desember 2012
pukul 10:57.
8
Alain Touraine
Disusun Oleh:
Alika Nurul Haqqi
Dewi Tri Utami
Ikhsan
Novia Putri K.
Tri Utami Oktaviani
FAKULTAS FILSAFAT
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2012
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Mencerdaskan kehidupan bangsa adalah salah satu tujuan Negara
Indonesia yang tercantum dalam Pembukaan Undang-undang Dasar Negara
Republik Indonesia 1945 alinea ke empat. Tujuan negara berlaku untuk semua
rakyat Indonesia. Indonesia sebagai negara merdeka memiliki kebebasan untuk
menentukan arah hidupnya sesuai dengan dasar negara Pancasila, yang
menghendaki terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kebijakan
menjadi salah satu langkah konkret pemerintah untuk mencapai tujuan negara.
Misalnya, kebijakan program wajib belajar sembilan tahun dan program Bantuan
Opersional Sekolah (BOS) yang berlaku untuk seluruh rakyat Indonesia.
Akan tetapi, program wajib belajar sembilan tahun dan Bantuan
Operasional Sekolah memberikan hasil yang kurang maksimal. Kurangnya
pengawasan saat kebijakan dijalankan, kurangnya informasi bagi masyarakat,
rumitnya birokrasi, serta ketidakpedulian dari pihak-pihak terkait –dinas
pendidikan, sekolah, dan orang tua- menjadi penyebab kurang maksimalnya
program pemerintah. Kondisi tersebut dimanfaatkan oleh golongan tertentu untuk
mendominasi
dalam
bidang
pendidikan.
Golongan
yang
mendominasi
memberikan tekanan yang tidak disadari oleh masyarakat, sehingga masyarakat
tidak lagi bebas. Misalnya, masyarakat harus membayar mahal untuk membeli
buku pelajaran, uang pembangunan, serta sumbangan lain demi kelancaran
pembelajaran. Mahalnya biaya sekolah membuat anak usia sekolah yang berasal
dari keluarga tidak mampu terpaksa berhenti. Permasalahan anak putus sekolah
tidak kunjung terselesaikan. Semakin banyak anak yang tidak dapat mengakses
pendidikan karena faktor ekonomi. Institusi pendidikan tidak lagi berjalan sesuai
tujuan awal, mencerdaskan kehidupan bangsa.
Alain Touraine seorang tokoh strukturalis menawarkan pemikiran yang
berbeda dengan pemikiran kaum strukturalis pada umumnya. Kaum strukturalis
percaya bahwa ada sebuah cerita besar yang mengikat dalam masyarakat.
Misalnya, Claude Levi-Strauss yang berpendapat bahwa masyarakat memiliki
aturan main. Dalam buku “Les Structures Elementaires de la Parente” Levi1
Strauss menganalisa kekerabatan dalam masyarakat sebagaimana bahasa.
Kekerabatan dan bahasa memiliki tiga persamaan, antaralain: keduanya memiliki
sistem tertentu yang terdiri dari relasi-relasi dan oposisi, keduanya merupakan
sistem komunikasi, dan keduanya dikuasai oleh unsur yang tidak disadari. Selain
Levi-Strauss, tokoh Jacques Lacan juga mengemukakan adanya ikatan dalam
masyarakat yang mengakibatkan manusia tidak menjadi makhluk otonom.
Akan tetapi, Touraine berpendapat bahwa pada dasarnya manusia adalah
bebas, tetapi muncul kelompok dominan yang mengekang masyarakat. Touraine
mengecam adanya kelompok yang mendominasi, karena akan memunculkan
konflik sosial. Touraine melihat pemberontakan Mei 1968 di Prancis sebagai
protes mahasiswa dengan transformasi tujuan yang berlangsung di lingkungan
internal universitas. Pemberontakan tersebut terjadi karena kaum teknokrat
mengambil alih universitas. Mahasiswa mengingikan adanya kebebasan berpikir
tanpa kendali sistem politik dan struktur kekuasaan. Touraine berada di pihak
mahasiswa dan menginginkan adanya institusi ulang pendidikan demi mencapai
tujuannya.
1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut: a)
deskripsi anak putus sekolah di Yogyakarta; b) deskripsi pandangan Alain
Touraine; c) analisis anak putus sekolah di Yogyakarta ditinjau dari pandangan
Alain Touraine.
2
BAB II
Anak Putus Sekolah di Yogyakarta Dikaji dari Pandangan Alain Touraine
2.1 Anak Putus Sekolah di Yogyakarta
Undang-undang telah mengatur tentang Pendidikan dalam Pasal 31 ayat
(1) yang berbunyi “Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. ****)”,
ayat (2) yang berbunyi “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar
dan pemerintah wajib membiayainya, ****)”, dan ayat (4) yang berbunyi “Negara
memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari
anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan
belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
****)” (-, 2004: 23). Akan tetapi, angka anak putus sekolah di Indonesia masih
tinggi dan menjadi permasalahan yang mengkhawatirkan. Generasi muda yang
seharusnya dapat sekolah untuk menambah ilmu dan wawasan harus berhadapan
dengan berbagai masalah. Akhirnya, banyak anak usia sekolah (6 tahun sampai 9
tahun) terpaksa berhenti atau tidak menamatkan pendidikan pada jenjang tertentu.
Anak putus sekolah dipengaruhi dari beberapa faktor, antaralain:
a. latar belakang pendidikan orang tua
b. lemahnya ekonomi keluarga
c. kurangnya minat anak untuk bersekolah
d. kondisi lingkungan tempat tinggal anak
e. pandangan masyarakat terhadap pendidikan
Yogyakarta yang mendapat sebutan sebagai kota pelajar tidak lepas dari
permasalahan anak putus sekolah. Kondisi anak putus sekolah di Yogyakarta
dapat dilihat dalam tabel berikut:
Tk Sekolah
2008
2009
2010
2011
SD
192
532
224
202
SMP
272
327
255
241
SMA
84
139
191
229
SMK
301
418
755
477
3
Sumber: Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga DIY
2.2 Strukturalisme Alain Touraine
Strukturalisme merupakan aliran yang bereaksi terhadap subjektivisme
eksistensialisme. Aliran strukturalisme dibangun oleh Claude Levi-Strauss. Kaum
strukturalis mencoba menyelidiki pola-pola dasar yang tetap (pattern) dalam
realitas. Pada umumnya, strukturalisme meyakini adanya cerita besar yang
mengikat manusia. Berbeda dengan pandangan umum kaum strukturalis, Alain
Touraine percaya bahwa manusia memiliki kebebasan dalam menjalankan
hidupnya.
Alain Touraine seorang tokoh sosiolog asal Perancis yang lahir pada tahun
1925.
Ayahnya seorang dokter dari tradisi panjang para praktisi kedokteran.
Meskipun ia diarahkan untuk mendalami karier akademik, namun Touraine
memutuskan untuk melepaskan diri dari tradisi keluarganya dan bekerja dalam
sebuah tambang batu. Dengan pengalaman bekerja ini memupuk minatnya dalam
sosiologi. Pada tahun 1950, Touraine bergabung dengan ahli sosiologi, George
Friedmann di Centre national de la Recherce Scientifique (Lembaga Penelitian
Nasional Prancis).
Touraine tumbuh dalam masa perang dan masuk ke dalam barisan
Resistance sebelum masuk ke École Normale Supérieure, di mana dia
meraih agrégation (ujian negara untuk menjadi pengajar)... Sejak tahun
1968, dia telah menjadi profesor gerakan sosial, seorang sosiolog revolusi
(Kurzweil, 2004: 165-167).
Touraine berpendapat bahwa kelas –sebagai contoh dari sekumpulan
kondisi yang sudah tertentu- harus mengakui bahwa tindakan dan bukan kondisi,
tentulah yang menunjukkan hubungan dominasi dan keadaan terkuasai, dan dari
sini “kelas” sebagai suatu kategori penjelas harus memberi kesempatan bagi
“gerakan sosial”. Meskipun demikian, penitikberatan pada perubahan ini tidak
boleh membawa sosiolog pada pandangan bahwa masalah struktural sudah tidak
ada lagi. Secara garis besar, teori aksi sosial dari Touraine ini adalah sebuah kritik
terhadap teori sistem sosial. Oleh sebab itu, unsur pokok dari gerakan sosial
adalah aksi: aksi melawan sistem sosial.
No radical measures are called for, only a reinforcement of the inner life of
the college or university- a reduction in the ambitions of a system that is
4
overcommitted and whose spirit of innovation finds expression nowhere
better than in the private, elitist colleges and universities. Since the attacks
against the university derive from its too numerous bonds with the
economic, sosial, and military leaders, these bonds should be cut when
they are not specifically linked to the needs of academic research and
teaching (Touraine, 1974: 263).
Dalam bukunya tersebut, Touraine mengatakan adanya tekanan pada mahasiswa.
Tekanan tersebut berasal dari masuknya pengaruh para pemimpin ekonomi, sosial,
dan politik ke dalam lingkungan universitas. Mahasiswa menganggap para
pemimpin ekonomi, sosial, dan politik tidak berkepentingan dalam proses
pendidikan. Masuknya para pemimpin dalam universitas dianggap membatasi
pemikiran kritis mahasiswa. Pendidikan tidak lagi berjalan sesuai dengan
tujuannya. Pendidikan dikontrol oleh kelompok yang mendominasi, sehingga
Touraine ingin mengadakan institusi ulang dalam dunia pendidikan.
2.3 Analisis Kasus Anak Putus Sekolah Dengan Pandangan Alain Touraine
Dominasi teknologi baru dalam berbagai aspek yang dikendalikan oleh
teknisi, teknokrat, teknolog, dan investor saintifik turut memberikan struktur baru
dalam bidang pendidikan. Pendidikan tidak lagi concern pada penambahan ilmu
pada siswa, tetapi lebih terfokus pada persoalan di sekitar pendidikan, misalnya
permasalahan tingginya biaya pendidikan, anak putus sekolah, kelayakan fasilitas
sekolah, serta sulitnya mendapat pendidikan yang layak. Peraturan perundangundangan yang berlaku tidak berjalan dengan baik, sehingga terjadi banyak
penyimpangan dalam praktiknya.
Tingginya angka anak putus sekolah di Indonesia mengisyaratkan
gagalnya penerapan Undang-undang Dasar 1945 pasal 31 ayat (1), (2), (4).
Program wajib belajar sembilan tahun yang telah dicanangkan sebagai program
pemerintah hanya dapat terlaksana di beberapa kalangan saja. Rakyat dengan
keadaan ekonomi bawah (miskin) merasakan sulitnya mendapatkan biaya untuk
menyekolahkan anak hingga jenjang SMP.
Berdasarkan alasan tersebut, pemerintah menetapkan untuk memberi
keringanan berupa pembebasan uang sekolah dari jenjang SD hingga SMP.
5
Program Biaya Operasional Sekolah diharapkan dapat membantu rakyat untuk
memeroleh pendidikan yang layak secara merata, tidak ada perbedaan antara si
kaya dan si miskin dalam mengakses fasilitas pendidikan. Akan tetapi, dalam
prosesnya banyak terjadi penyimpangan penggunaan dana BOS. Selain itu,
orangtua siswa masih dibebani dengan biaya buku, seragam, serta iuran lain-lain
dengan jumlah yang cukup besar.
Dalam realita, program wajib belajar sembilan tahun dan Biaya
Operasional Sekolah belum menyelesaikan masalah pendidikan sebagai dampak
kemiskinan. Rencana perubahan wajib belajar sembilan tahun menjadi wajib
belajar dua belas tahun di tahun 2013 harus dikaji ulang. Pemerintah hanya
melihat dari sisi permukaan pelaksanaan program wajib belajar sembilan tahun.
Pemerintah telah melakukan berbagai cara untuk menekan angka anak
putus sekolah melalui kebijakan yang sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945.
Misalnya mengadakan kebijakan wajib belajar sembilan tahun untuk mengadakan
pemerataan pendidikan yang didukung dengan program BOS. Akan tetapi,
masalah pendidikan di Indonesia belum juga terselesaikan. Dua penyebab utama
kegagalan program pemerintah adalah kurangnya peninjauan lapangan serta tidak
adanya kesadaran pribadi dari semua pihak untuk bersinergi menciptakan keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Menurut kelompok kami, pemerintah sebagai “manajer sistem” harus
segera menyelesaikan permasalahan secara komperehensif, tidak hanya memberi
solusi di permukaannya saja. Selanjutnya, pemerintah mengkaji dan meluruskan
kembali tujuan awal institusi pendidikan sebagai institusi untuk menambah ilmu
serta wawasan peserta didik. Selain itu, perlu ada kesadaran pada tiap individu
untuk memandang pendidikan sebagai hal penting yang harus diperoleh setiap
warga negara Indonesia. Pemerintah dan masyarakat harus saling bersinergi untuk
meluruskan kembali dan membentuk pandangan positif tentang pendidikan,
sehingga tujuan negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dapat terwujud.
6
BAB III
Kesimpulan
7
Daftar Pustaka
Kurzweil, Edith. 2004. The Age of Structuralism: Lévi-Strauss to Foucalt,
terjemahanNurhaidin, Jaringan Kuasa Strukturalisme. Kreasi Wacana:
Yogyakarta.
Touraine, Alain. 1974. The Academic System in American Society. McGraw- Hill:
New York.
-.2004. UUD ’45 dan Amandemennya. Fokus Media: Bandung.
Laman Internet
http://yogyakarta.bps.go.id/ebook/Statistik%20Daerah%20Istimewa%20Yogyakar
ta%202012/HTML/index.html#/28/zoomed, diakses tanggal 28 Desember 2012
pukul 10:57.
8