KENTENTUAN WAKALAH DALAM LEMBAGA KEUANGA

KENTENTUAN WAKALAH DALAM LEMBAGA KEUANGAN
SYARIAH
Makalah Ini Disusun Guna Memenuhi Tugas Kelompok
Mata Kuliah Fiqh Kontemporer Perbankan
Dosen pengampu: Imam Mustofa, M.S.I

Disusun oleh :
Nama

: Engga Mardiana Syafa’ah

NPM

: 141262010
Kelas C

PROGRAM STUDI S1 PERBANKAN SYARIAH
JURUSAN SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
METRO
2016/2017


KETENTUAN WAKALAH
DALAM LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH
Pendahuluan
Dihalalkan bagi seseorang untuk mengangkat orang lain sebagai
wakilnya. Dalam akad tersebut orang yang menjadi wakil dapat melakukan
tindakan-tindakan yang diinginkan oleh pemberi kuasa. Terkadang si pemberi
kuasa mendapat suatu halangan untuk melakukan suatu kegiatan sendiri
sehingga dalam keadaan tersebut diperbolehkan untuk mengangkat orang lain
sebagai wakilnya, dengan maksud agar kegiatannya tersebut berjalan lancar
dengan bantuan dari wakil yang ia tunjuk.
Hal tersebut diatas ternyata juga sudah dilakukan Rasulullah SAW
ketika mengangkat wakil-wakilnya dalam berbagai bidang termasuk dalam
perdagangan, pernikahan, perang, dan sebagainya.
Perwakilan juga sudah menjadi hal yang lumrah dalam dunia modern,
bahkan dalam pengangkatannya pun juga sudah modern yakni dengan cara
tertulis tidak hanya secara lisan dalam kontrak yang sederhana. Tugas atau
kekuasaan yang diberikan kepada wakil tersebut disebutkan secara rinci
dalam pengangkatannya atau mungkin di sesuaikan dengan situasi
permasalahannya.

Dalam perbankan syariah, proses pengangkatan wakil tersebut termasuk
ke dalam prinsip “WAKALAH”. Wakalah atau wikalah merupakan isim
masdar yang secara etimologis bermakna taukil, yaitu menyerahkan,
mewakilkan, dan menjaga. Adapun makna secara terminologis yaitu
mewakilkan yang dilakukan orang yang punya hak tasharruf kepada orang
yang juga memiliki tasharruf tentang sesuatu yang boleh di wakilkan.1
Wakalah adalah penyerahan dari seseorang kepada orang lain untuk

1

Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah, (Jakarta: Kencana, 2012), h. 300

mengerjakan sesuatu dimana perwakilan tersebut berlaku selama yang
mewakilkan masih hidup.2
Hal kaitannya dengan wakalah menurut Kompilasi Hukum Ekonomi
Syariah (KHES) Pasal 20 ayat 19 mendefinisikan wakalah sebagai
“Pemberian kuasa kepada pihak lain untuk mengerjakan sesuatu”. Kuasa
dalam konteks ini adalah kuasa untuk menjalankan kewajiban dan juga kuasa
untuk menerima hak. Kuasa untuk menjalankan kewajiban misalnya
seseorang mewakilkan kepada orang lain untuk membayar utang. Sementara

kuasa untuk menerima hak seperti mewakilkan untuk menerima pembayaran
utang.3
Akad wakalah pada hakikatnya adalah akad yang digunakan oleh
seseorang apabila dia membutuhkan oarang lain atau mengerjakan sesuatu
yang tidak dapat dilakukannya sendiri dan meminta orang lain untuk
melaksanakannya.4
Dalam wakalah sebenarnya pemilik urusan (muwakkil) itu dapat secara
sah untuk mengerjakan pekerjaannya sendiri. Namun, karena suatu hal urusan
itu ia serahkan kepada orang lain yang dipandang mampu untuk
menggantikannya. Oleh karena itu, jika seorang (muwakkil) ialah orang yang
tidak ahli untuk mengerjakan urusannya itu seperti orang gila atau anak kecil
maka tidak sah untuk mewakilkan kepada orang lain. 5 Contoh wakalah,
seseorang mewakilkan kepada orang lain untuk bertindak sebagai wali nikah
dalam pernikahan anak perempuannya. Contoh lain adalah seorang terdakwa
mewakilkan urusannya kepada pengacara.

2

Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), h. 233


3

Imam Mustofa, Fiqh Muamalah Kontemporer, (Jakarta: Rajawali Pers, 2016), h. 206

4

Indah Nuhyatia, “Penerapan Aplikasi Akad Wakalah Pada Produk Jasa Bank Syariah”,
Economic: Jurnal Ekonomi dan Hukum Islam, Vol. 3, No.2(2013), h. 96
5

Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 187

BAB II
PEMBAHASAN
A. Ketentuan Wakalah
Dewan Syariah Nasional (DSN) menetapkan aturan tentang
wakalah sebagaimana tercantum dalam fatwa Dewan Syariah Nasional nomor
10/DSN-MUI/IV/2000 tertanggal 13 April 2000 sebagai berikut:6
Pertama: Ketentuan tentang wakalah:
1. Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk

menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad).
2. Wakalah dengan imbalan bersifat mengikat dan tidak boleh dibatalkan
secara sepihak.
Kedua: Rukun dan Syarat wakalah:
1. Syarat-syarat muwakkil (yang mewakilkan)
a. Pemilik sah yang dapat bertindak terhadap sesuatu yang diwakilkan.
b. Orang mukallaf atau anak mumayyiz dalam batas-batas tertentu, yakni
dalam hal-hal yang bermanfaat bginya seperti mewakilkan untuk
menerima hibah, menerima sedekah, dan sebagainya.
2. Syarat-syarat wakil (yang mewakili)
a. Cakap hukum,
b. Dapat mengerjakan tugas yang diwakilkan kepadanya,
c. Wakil adalah orang yang diberi amanat.

6

www.dsnmui.or.id diunduh pada 1 Maret 2017

3. Hal-hal yang diwakilkan
a. Diketahui dengan jelas oleh orang yang mewakili,

b. Tidak bertentangan dengan syariat Islam,
c. Dapat diwakilkan menurut syari’ah Islam.
Ketiga:
Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika
terjadi perselisihan antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan
melaui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui
musyawarah.
B. Ketentuan Wakalah Dalam Lembaga Keuangan Syariah
Wakalah dalam praktik di LKS biasanya terkait dengan akad lain yang
dilakukan oleh nasabah. Misalnya dalam akad pembiayaan murabahah, pihak
LKS mewakilkan kepada nasabah untuk mencari barang yang akan dibeli
dengan pembiayaan tersebut. Begitu juga dalam akad salam, istishna, ijarah
dan akad lainnya yang menuntut adanya perwakilan pihak LKS oleh
nasabah.7
Contoh penggunaan akad wakalah dalam LKS, antara lain L/C (letter of
credit) transfer, kliring, RTGS, inkaso, dan pembayaran gaji.8
1. Letter of Credit (L/C)
Letter of Credit (L/C) adalah suatu pembiayaan yang diberikan dalam
rangka memfasilitasi transaksi impor atau ekspor nasabah. 9 L/C syariah dalam


pelaksanaannya dapat menggunakan akad-akad: Wakalah bil Ujrah, Qard,
7

Imam Mustofa, Fiqh Muamalah., h. 214

8

Ascarya, Akad & Produk Bank Syariah, (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2008), h.

105
9

Adiwarman Karim, Bank Islam: Analisis Fiqh dan Keuangan, (Jakarta: Raja Grafindo,
2009), h. 252

Murabahah, Salam/Istishna’, Mudharabah, Musyarakah, dan Hawalah,
ijarah.
Ketentuan wakalah dalam LKS juga disebutkan di dalam Fatwa
Dewan Syariah Nasional Nomor: 34/DSN-MUI/IX/2002. Letter of Credit
Import Syariah dan Letter of Credit Eksport Syariah

a. Letter of Credit Import Syariah
Akad untuk transaksi Letter of Credit Import Syariah ini
menggunakan akad Wakalah bil Ujrah. Hal ini sesuai dengan Fatwa
Dewan Syariah Nasional Nomor 34/DSN-MUI/IX/2002. 10 Akad Wakalah
Bil Ujrah memiliki definisi dimana nasabah memberikan kuasa kepada
bank dengan imbalan pemberian ujrah atau fee.
Akad Wakalah bil Ujrah memiliki beberapa ketentuan:
Importir yang memiliki dana cukup di bank sebesar harga
pembelian barang impor maka importir dan bank dapat melakukan akad
wakalah bil ujrah untuk pengurusan dokumen-dokumen transaksi impor,
dan besarnya ujrah harus disepakati diawal dan dinyatakan dalam bentuk
nominal, bukan dalam bentuk prosentase. Hal ini menunjukkan kejelasan
upah atau keuntungan yang diperoleh bank melalui akad wakalah.
Apabila importir tidak memiliki dana cukup pada bank untuk
pembayaran harga barang yang diimpor maka model akad yang dapat
digunakan adalah bank dapat memberikan dana talangan kepada importir
untuk pelunasan pembayaran barang impor (akad wakalah bil ujrah dan
qardh), dan bank dapat bertindak sebagai shahibul mal yang
menyerahkan modal kepada importir sebesar harga barang yang diimpor
(akad wakalah bil ujrah dan mudharabah). Kemudian jika importir tidak

mempunyai dana yang cukup pada bank untuk pembayaran harga barang
impor dan pembayaran belum dilakukan maka hutang kepada eksportir
10

Dewan Syariah Nasional, Fatwa tentang Letter of Credit (L/C) Impor Syariah, No.34/
DSN-MUI/IX/2002, Majelis Ulama Indonesia

dialihkan oleh importir menjadi hutang kepada bank dengan meminta
bank membayar kepada eksportir senilai barang yang diimpor (akad
wakalah bil ujrah dan hawalah).11
b. Letter of Credit Eksport Syariah

Akad untuk transaksi Letter of Credit Eksport Syariah ini
menggunakan akad Wakalah. Hal ini sesuai dengan Fatwa Dewan Syariah
Nasional Nomor: 35/DSN-MUI/IX/2002.12
Ketentuan Letter of Credit Eksport Syariah:
1) Letter of Credit (L/C) Ekspor Syariah adalah surat pernyataan akan
membayar kepada Eksportir yang diterbitkan oleh Bank untuk
memfasilitasi perdagangan ekspor dengan pemenuhan persyaratan tertentu
sesuai dengan prinsip syariah.

2) L/C Ekspor Syariah dalam pelaksanaannya menggunakan akad-akad:
Wakalah bil Ujrah, Qardh, Mudharabah, Musyarakah dan Al-Bai'.
Pelaksanaan akad Wakalah bil Ujrah dilakukan dengan ketentuan:13
bank melakukan pengurusan dokumen-dokumen ekspor; bank melakukan
penagihan kepada bank penerbit L/C selanjutnya dibayarkan kepada
eksportir setelah dikurangi ujrah; serta besarnya ujrah harus disepakati
diawal dan dinyatakan dalam bentuk nominal bukan dalam prosentase.
Akad Wakalah bil Ujrah dan Qardh dilakukan dengan ketentuan: bank
melakukan

pengurusan

dokumen-dokumen

ekspor;

bank

melakukan


penagihan kepada bank penerbit L/C; bank memberikan dana talangan kepada
nasabah eksportir sebesar harga barang ekspor; besarnya ujrah harus
11

www.bi.go.id diakses pada 2 Maret 2017

12

Dewan Syariah Nasional, Fatwa tentang Letter of Credit (L/C) Eksport Syariah,
No.35 /DSN-MUI/IX/2002, Majelis Ulama Indonesia
13

------, Kodifikasi Produk Perbankan Syariah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2016), h. 73

disepakati di awal dan dinyatakan dalam bentuk nominal bukan dalam bentuk
prosentase; pembayaran ujrah dapat diambil dari dana talangan sesuai
kesepakatan dalam akad; dan antara akad wakalah bin ujrah dan akad qardh
tidak dibolehkan adanya keterkaitan (ta’alluq).
Akad wakalah bin ujrah dan mudharabah dengan ketentuan: bank
memberikan kepada eksportir seluruh dana yang dibutuhkan dalam proses
produksi barang ekspor yang dipesan oleh importir; bank melakukan
pengurusan dokumen-dokumen ekspor; bank melakukan penagihan kepada
bank penerbit L/C; pembayaran oleh bank penerbit L/C dapat dilakukan pada
saat dokumen diterima (at sight) atau pada saat jatuh tempo (usance);
pembayaran dari bank penerbit dapat digunakan untuk pembayaran ujrah,
pengembalian dana mudharabah, dan pembayaran bagi hasil; serta besarnya
ujrah harus disepakati di awal dan dinyatakan dalam bentuk nominal bukan
dalam bentuk prosentase.
Akad musyarakah dapat dilakukan dengan ketentuan: bank memberikan
kepada eksportir sebagian dana yang dibutuhkan dalam proses produksi
barang ekspor yang dipesan oleh importir; bank melakukan pengurusan
dokumen-dokumen ekspor; bank melakukan penagihan kepada bank penerbit
L/C; pembayaran oleh bank penerbit L/C dapat dilakukan pada saat dokumen
diterima atau pada saat jatuh tempo; pembayaran dari bank penerbit L/C
dapat digunakan untuk pengembalian dana musyarakah dan pembayaran bagi
hasil.
Adapun pelaksanaan akad al-bai’ dan wakalah dilakukan dengan
ketentuan: bank membeli barang dari eksportir; bank menjual barang kepada
importir yang diwakili eksportir; bank membayar kepada eksportir setelah
pengiriman barang kepada importir; dan pembayaran oleh bank L/C dapat
dilakukan pada saat dokumen diterima atau pada saat jatuh tempo.
2. Asuransi dan Reasuransi Syariah

Dewan Syariah Nasional (DSN) menetapkan aturan tentang akad
wakalah bil ujrah pada asuransi dan reasuransi syariah sebagaimana tercantum
dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional no. 52/DSN-MUI/III/ sebagai berikut: 14
Pertama: Ketentuan Umum:
Dalam Fatwa ini, yang dimaksud dengan:
1. Asuransi adalah asuransi jiwa, asuransi kerugian dan reasuransi syariah;

2. Peserta adalah peserta asuransi (pemegang polis) atau perusahaan asuransi
dalam reasuransi syari'ah.
Kedua: Ketentuan Hukum
1. Wakalah bil Ujrah boleh dilakukan antara perusahaan asuransi dengan
peserta.
2. Wakalah bil Ujrah adalah pemberian kuasa dari peserta kepada
perusahaan asuransi untuk mengelola dana peserta dengan imbalan
pemberian ujrah (fee).
3. Wakalah bil Ujrah dapat diterapkan pada produk asuransi yang
mengandung unsur tabungan (saving) maupun unsur tabarru' (nonsaving).
Ketiga: Ketentuan Akad
1. Akad yang digunakan adalah akad Wakalah bil Ujrah.
2. Objek Wakalah bil Ujrah meliputi antara lain:
a. kegiatan administrasi
b. pengelolaan dana
c. pembayaran klaim
14

Dewan Syariah Nasional, Fatwa tentang Akad Wakalah Bil Ujrah Pada Asuransi Dan
Reasuransi Syariah, No. 52 /DSN-MUI/III/2006, Majelis Ulama Indonesia

d. underwriting
e. pengelolaan portofolio risiko
f. pemasaran
g. investasi
3. Dalam akad Wakalah bil Ujrah, harus disebutkan sekurang-kurangnya:
a. hak dan kewajiban peserta dan perusahaan asuransi;
b. besaran, cara dan waktu pemotongan ujrah fee atas premi;
c. syarat-syarat lain yang disepakati, sesuai dengan jenis asuransi yang
diakadkan
Keempat: Kedudukan dan Ketentuan Para Pihak dalam Akad Wakalah bil
Ujrah
1. Dalam akad ini, perusahaan bertindak sebagai wakil (yang mendapat
kuasa) untuk mengelola dana.
2. Peserta (pemegang polis) sebagai individu, dalam produk saving dan
tabarru', bertindak sebagai muwakkil (pemberi kuasa) untuk mengelola
dana.
3. Peserta sebagai suatu badan/kelompok, dalam akun tabarru' bertindak
sebagai muwakkil (pemberi kuasa) untuk mengelola dana.
4. Wakil tidak boleh mewakilkan kepada pihak lain atas kuasa yang
diterimanya, kecuali atas izin muwakkil (pemberi kuasa).
5. Akad Wakalah adalah bersifat amanah (yad amanah) dan bukan
tanggungan (yad dhaman) sehingga wakil tidak menanggung risiko
terhadap kerugian investasi dengan mengurangi fee yang telah
diterimanya, kecuali karena kecerobohan atau wanprestasi.

6. Perusahaan asuransi sebagai wakil tidak berhak memperoleh bagian dari
hasil investasi, karena akad yang digunakan adalah akad Wakalah.
Kelima: Investasi
1. Perusahaan asuransi selaku pemegang amanah wajib menginvestasikan
dana yang terkumpul dan investasi wajib dilakukan sesuai dengan syariah.
2. Dalam pengelolaan dana investasi, baik tabarru' maupun saving, dapat
digunakan akad Wakalah bil Ujrah dengan mengikuti ketentuan seperti di
atas, akad Mudharabah dengan mengikuti ketentuan fatwa Mudharabah
Keenam: Ketentuan Penutup
1. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi
perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui
Badan Arbitrase Syari'ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui
musyawarah.
2. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di

kemudian

hari

ternyata

terdapat

disempurnakan sebagaimana mestinya.

kekeliruan,

akan

diubah

dan