PELUANG HAMBATAN DAN TANTANGAN PROGRAM U

PELUANG, HAMBATAN, DAN TANTANGAN PROGRAM USO PADA
PERKEMBANGAN INDUSTRI TIK DI INDONESIA
Dadiek Pranindito
Program Pascasarjana IT Telkom
Bandung, Indonesia
dadiekpranindito@gmail.com
Tulisan ini memuat usulan strategi pembangunan
industri teknologi informasi dan komunikasi (TIK) dalam
negeri khususnya dalam bidang USO (universal service
obligation) melalui keterlibatan dan peran serta pemerintah,
operator sebagai prime mover, industri dalam negeri beserta
industri-industri lokal pendukungnya, serta mitra strategis.
Strategi ini sekaligus untuk mengatasi permasalahan
hilangnya devisa negara akibat pembanguan TIK.
Kata kunci : USO, Industri Dalam Negeri, Strategi
Pengembangan

I.

PENDAHULUAN


Era “Globalisasi” dan "Informasi" yang ditandai
dengan semakin meningkatnya jalur interkoneksi dan
interdependensi dunia, berperan memfasilitasi pertumbuhan
perdagangan, investasi dan keuangan yang lebih cepat dari
pendapatan nasional berbagai negara. Ekonomi nasional suatu
negara akan semakin terintegrasi menjadi ekonomi global.
Globalisasi memfasilitasi bergeraknya “4i” (informasi,
investasi, infrastruktur dan individu) untuk melintasi batasbatas negara. Akselerasi proses globalisasi yang dramatis
difasilitasi oleh revolusi di bidang teknologi khususnya TIK,
yang mentransformasikan masyarakat dunia memasuki era
yang kita kenal dengan “era informasi”. Dalam era informasi,
informasi telah berkembang menjadi komoditas yang penting
dan strategis, serta semakin luas memasuki berbagai sisi dalam
kehidupan masyarakat. Pengelolaan informasipun semakin
canggih dan berkembang menjadi bisnis yang semakin
menguntungkan, sehingga menampakkan wajah yang
industrial-komersial. Proses produksi, pengolahan, dan
penyebarluasan informasi semakin dipermudah dan dipercepat
karena dukungan teknologi yang semakin canggih.
Upaya keras dari pemerintah untuk membangun

sarana dan fasilitas teknologi informasi dan telekomunikasi di
Indonesia bertujuan untuk memfasilitasi kegiatan interakasi
ekonomi-sosial masyarakat dan sektor produksi. Oleh sebab
itu pemerintah berupaya keras untuk memperluas jangkauan
layanan telekomunikasi sampai ke seluruh lapisan masyarakat.
Instrumen yang digunakan selama ini adalah melalui badan
usaha operator telekomunikasi yang melakukan usaha/bisnis
layanan telekomunikasi melalui layanan fixed line, seluler,
atau satelit. Secara teknis cara ini telah berhasil membuat
fasilitas telekomunikasi menjangkau seluruh wilayah geografis
Indonesia (dari Sabang sampai Merauke). Namun

keterjangkauan teknis-geografis ini tidak membuat sistem
telekomunikasi terjangkau bagi masyarakat, yang merupakan
sasaran utama. Solusi saat ini masih terlalu mahal bagi
sebagian besar calon pelanggan. Akibatnya dari 250 juta
penduduk Indonesia, pelanggan telekomunikasi diperkirakan
baru mencapai 8 juta orang (3%) untuk fixed line, 30 juta
(13%) untuk seluler, serta puluhan ribu (0.04%) untuk satelit.
Sekitar 43.000 desa dari 67.000 desa belum terjangkau akses

telepon. Oleh sebab itu, pemerintah, melalui Ditjen Postel,
mencanangkan program kewajiban pelayanan umum, atau
yang lebih dikenal dengan nama program universal service
obligation (USO). Program ini dimaksudkan untuk
membangun fasilitas dan layanan telekomunikasi bagi segmen
masyarakat yang belum sanggup menjangkau layanan yang
diselenggarakan badan usaha operator. Meskipun USO adalah
initiative pemerintah dalam fungsinya sebagai agen
pembangunan dan regulator jaringan, USO tetap merupakan
bagian terintegrasi dari system telekomunikasi nasional, dan
memberikan layanan yang transparan, serta berkualitas sama
dan setara dengan pelanggan non-USO. Selain itu, program
USO juga menjadi kepentingan operator dan dibiayai oleh
kontribusi operator.

II.

INDENTIFIKASI MASALAH

A. Peluang USO

Memperhatikan berbagai praktek di beberapa negara yang
telah menjalankan program USO telekomunikasi, baik negara
maju seperti USA, Canada, Australia, Norwegia, dan Itali
ataupun di beberapa negara berkembang seperti Buthan,
Costarica, Cuba, Pakistan dan Zambia, maka pendanaan USO
ini dapat dibagi atas 5 cara (Intven & Tetrault, 2001).Kelima
cara itu meliputi:
(1) Market-Based Reform
(2) Mandatory Service Obligation
(3) Subsidi Silang
(4) Access Deficit Charges (ADC) dan
(5) Universality Fund
Market-Based Reform
Pendekatan Market-Based Reform sudah mulai digunakan
sejak dua dekade lalu di berbagai negara maju melalui
privatisasi, proses kompetisi dan cost-based pricing.
Pendekatan ini yang dilengkapi dengan reformasi sektor
telekomunikasi terbukti telah berhasil meningkatkan mutu

pelayanan jasa telekomunikasi di negara

meningkatkan penetrasi secara signifikan

maju

serta

Mandatory Service Obligation dan Subsidi Silang
Pendekatan kedua dan ketiga, yaitu Mandatory Service
Obligation dan pendekatan Subsidi Silang secara tradisional
lebih banyak digunakan, baik di negara maju ataupun Negara
berkembang. Penerima lisensi penyelenggaraan jasa-jasa
telekomunikasi dimintakan kontribusinya untuk membiayai
program USO. Kedua mekanisme ini digunakan untuk
mensubsidi daerah yang belum memiliki fasilitas atau daerah
yang karena kondisinya mengakibatkan biaya instalasi sangat
tinggi. Biasanya pembiayaan berasal dari pelanggan di daerah
kota ataupun dari pendapatan jasa-jasa lain. Kelebihan
pendapatan di daerah “gemuk” kemudian digunakan untuk
memenuhi kebutuhan biaya operasi yang tinggi ataupun
margin yang tipis di daerah lain. Namun saat ini praktek

subsidi silang antar jenis pelayanan, seperti tarif SLJJ
mensubsidi lokal dan sejenisnya, dianggap sudah tidak praktis
lagi dan anti kompetisi. Dengan semakin menurunnya
pendapatan operator dari sambungan internasional dan SLJJ,
maka semakin sedikit pula dana subsidi yang dapat digunakan.
Banyak kritik telah diajukan para ahli terhadap kedua
pendekatan tersebut sehingga banyak negara meninggalkan
cara-cara ini dalam membangun fasilitas USO telekomunikasi.
Access Deficit Charges (ADC)
Pendekatan keempat, Access Deficit Charges, telah digunakan
di beberapa negara. Cara ini hampir mirip dengan subsidi
silang, tetapi telah dimodifikasi sehingga memenuhi tuntutan
pasar. Biasanya para operator lain membayar subsidi untuk
membiayai total defisit yang dialami operator incumbent
dalam penyediaan jasa lokal yang biasanya dibawah tingkat
harga normal. Namun cara yang pernah dilaksanakan di
Australia dan Canada ini juga dirasakan tidak efisien dan anti
kompetisi. Hal tersebut telah memakasa Australia dan Canada
untuk melakukan modifikasi, sementara Inggris sama sekali
telah menghentikan pendekatan ini.

Universality Fund
Pendekatan terakhir, Universality Fund atau juga dikenal
dengan Universal Service Fund biasanya mengumpulkan
pendapatan dari berbagai sumber seperti pendapatan
pemerintah, biaya interkoneksi, biaya penggunaan frekuensi
dan biaya-biaya lain yang dikenakan kepada para operator.
Dana yang terkumpul dengan berbagai cara digunakan untuk
mencapai misi dan tujuan universitalitas jasa sektor
telekomunikasi. Dana ini pada umumnya dipakai untuk
membiayai area yang memerlukan biaya pembangunan tinggi
atau wilayah dimana rakyatnya berpenghasilan sangat terbatas.
Di Indonesia pembangunan USO berasal dari APBN dan
juga berasal dari Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP)
yang dihasilkan oleh sektor telekomunikasi sendiri. Tahun
2006 sampai dengan tahun 2009 adalah 0,75% dari annual
gross revenue (PP 28/2005) dan Tahun 2009 sampai dengan
saat ini 1,25% dari annual gross revenue (PP 7/2009)

B. Hambatan USO
Dalam pelaksanaannya, program USO mengalami berbagai

hambatan yaitu diantaranya dapat dikelompokkan menjadi
sebagai berikut :
Dari sisi Pemerintah sebagai regulator :
Kurangnya pembangunan infrastruktur umum, seperti Jalan,
Listrik, dan lainnya sehingga menjadi kendala dalam
pelaksanaan program USO. Perangkat telekomunikasi
merupakan perangkat yang cukup “berat” dalam artian
bobotnya, sedangkan yang menjadi target dalam program
USO adalah daerah daerah yang umumnya masih terisolir
dalam akses jalan, listrik dan infrastruktur lainnya. Kurangnya
pengawasan pemerintah selaku regulator dalam mengawasi
pelaksanaan program USO, hal ini cenderung mengakibatkan
pelaksana proyek USO yang memenangkan tender proyek
cenderung tidak bertanggung jawab secara penuh. Kurangnya
sosialisasi kepada masyarakat di daerah yang terkena program
USO, sehingga masyarakat tersebut kurang begitu mengetahui
manfaat dan cara memanfaatkan dari layanan telekomunikasi
dan internet yang dijanjikan oleh program USO.
Dari sisi operator :
Kurangnya keterbukaan operator dalam pelaksanaan program

USO, dalam hal ini operator sepertinya masih enggan secara
terbuka untuk memberikan akses telekomunikasi dan internet
secara terjangkau untuk masyarakat yang berada pada daerah
terisolir.
Dari sisi masyarakat :
Kurangnya minat masyarakat untuk memanfaatkan
infrastruktur yang telah dibangun oleh program USO, hal ini
dikarenakan anggapan masyarakat bahwa internet sebagai
sesuatu yang kurang bermanfaat bahkan pada beberapa daerah
dianggap “berbahaya”, karena pada kenyataannya internet
hanya digunakan sebagai sarana game online bagi anak-anak,
hal ini tidak lepas dari sangant minimnya sosialisasi dari
pemerintah tentang internet sehat, dan tidak ada sosialisasi
dari pemerintah mengenai manfaat internet secara langsung
yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat, seperti manfaat
internet untuk mengetahui kondisi iklim dalam pertanian.
Menurut penulis pemerintah hanya memberikan sosialisasi
secara umum, belum mampu langsung menyentuh aspek yang
diperlukan oleh masyarakat pedesaaan.
C. Tantangan USO

Trend Perkembangan layanan mobile/seluler
Dalam perspektif teknologi, program USO terjadi dalam era
unik dimana industri telekomunikasi sedang mengalami
perubahan fundamental (disruptif) dari meninggalkan
teknologi PSTN, berada pada era teknologi seluler, dan
menuju era NGN. Skala dari perubahan ini sangat mendasar,
setara dengan munculnya teknologi mobil penumpang massal
yang mendisrupsi industri transportasi kereta api di awal tahun
1900an. Visi teknologi NGN adalah teknologi berbasis
protokol internet IP dengan kemampuan menjalankan

multilayanan [2]. Jaringan inti PSTN mulai diupgrade dengan
jaringan IP di atas fiber optics. Jaringan akses juga mulai
diupgrade ke broadband berbasis IP. Terminal telepon
diugrade dengan terminal berkemampuan multimedia. Sentral
diganti dengan router yang disebut softswitch. Proses signaling
dilakukan oleh software agent, mirip dengan travel agent pada
industri transportasi. Saluran telekomunikasi tidak lagi
berbicara tentang telepon, tetapil multilayanan. Teknologi
selulerpun mulai mengadopsi NGN pada generasi keempatnya

(4G). Wireless digunakan untuk akses pada jaringan inti IP.
Diperkirakan layanan seluler dan fixed akan berintegrasi
dengan mulus pada 4G, yaitu jaringan heterogen. Integrasi
yang sangat penting pada NGN juga adalah integrasi teknologi
LAN / WLAN (IEEE 802.11) dan turunan nya (WiMax IEEE
802.16 2004). Pentingnya integrasi ini terutama dari nilai
ekonomis perangkat. Berbeda dengan peralatan PSTN dan
seluler yang dikenal sebagai peralatan profesional
(professional products), peralatan LAN/WLAN adalah
peralatan konsumen (consumer products). Dengan demikian
produksi peralatan ini jauh lebih masal, dan mendorong harga
investasi menjadi jauh lebih murah. Biaya investasi per sst
dapat ditekan menjadi tinggal 25% dari biaya PSTN. Dengan
demikian, teknologi yang optimal untuk mendukung sistem
telekomunikasi masa depan adalah teknologi NGN-4G.
Teknologi ini memudahkan integrasi teknis dari berbagai
ragam teknologi peralatan. Selain itu NGN memungkinkan
multilayanan yang membangun sumber revenue baru.
Teknologi NGN sanggup memberikan layanan yang
membangung ekonomi digital, sehingga sustainabilitasnya
lebih terjamin. Sebagai teknologi baru, teknologi NGN ini
tidak mudah obsolet.

Gambar 2.1
Sumber : Cisco Visual Networking Index: Forecast and
Methodology, 2011–2016

Digital Divide Tinggi
Negara Republik Indonesia merupakan negara kepulauan yang
memiliki ribuan pulau dengan situasi geografis dan populasi
penduduk yang heterogen baik dari segi sosial ekonomi,
politik, budaya maupun agama, sehingga menyebabkan
terjadinya kesenjangan dalam berbagai bidang kehidupan,
salah satunya adalah kesenjangan digital (digital divide). Hal
tersebut dapat terlihat dari kondisi sebagai berikut:

1.
2.

Kesenjangan antara mereka yang dapat mengakses dunia
digital dan teknologi informasi dengan mereka yang
terbatas aksesnya atau tidak memiliki akses sama sekali.
Kesenjangan atau kesenjangan antara mereka yang
mendapat keuntungan dari teknologi dan mereka yang
tidak mendapatkannya.

Infrastruktur Akses Informasi Lemah
Disparitas ketersediaan infrastruktur antara perkotaan dan
perdesaan, serta antara wilayah barat dan timur Indonesia
masih besar. Hingga akhir tahun 2008 masih terdapat lebih
dari 31 ribu desa belum memiliki fasilitas telekomunikasi dan
internet, lebih dari 80% infrastruktur pos dan telematika
terkonsentrasi di Jawa, Bali, dan Sumatera, serta distribusi
Internet Service Provider (ISP) terkonsentrasi di Jawa (64%
dari 306 ISP) dan 18% di Sumatera. Infrastruktur yang masih
lemah, ditandai dengan teledensitas yang masih rendah.
dimana teledensitas di Indonesia masih berkitar 5-6%
dibandingkan dengan Malaysia yang berada dikisaran 20%
dan Singapura sekitar 50%.
Secara wilayah geografis Indonesia berbentuk kepulauan dan
memiliki dataran tinggi maupun dataran rendah yang cukup
banyak dan sulit dijangkau sehingga menyebabkan terjadi
banyaknya daerah blank spot atas komunikasi dan
informatika. Apabila kondisi daerah blank spot dibiarkan/tidak
ditangani secara prosedural maka akan memperbesar
kesenjangan akses informasi antara daerah yang sulit
dijangkau dengan daerah yang tersentuh pembangunan
infrastruktur bidang komunikasi dan informatika. Untuk
memperkecil jumlah daerah blank spot, perlu dilakukan
upaya-upaya membangun kerjasama antar lembaga
komunikasi dan informatika, dan lembaga media baik cetak
maupun elektronik. Hal ini ditujukan untuk memperluas
jaringan informasi di daerah blank spot termasuk
pembangunan infrastruktur pos dan telekomunikasi serta
penyiaran. Penghapusan daerah blank spot juga dilakukan
melalui pembangunan fasilitas telekomunikasi perdesaan
secara bertahap yang dimulai dengan desa berdering, desa
pinter dan desa informasi.
Keterbatasan kemampuan pembiayaan pemerintah di bidang
infrastruktur sangat dirasakan, sehingga diperlukan sumber
pembiayaan lain di luar pemerintah untuk mendanai
pembangunan infrastruktur bidang komunikasi dan
informatika. Namun demikian saat ini masih terdapat
hambatan dalam penyelenggaraan yang menyebabkan belum
optimalnya upaya mobilisasi sumber pembiayaan di luar
pemerintah (swasta), terutama untuk penyediaan infrastruktur
dan layanan di daerah non komersial, sehingga membuat
pembagian resiko investasi antar pemerintah dan swasta tidak
terjadi.
Pembangunan TIK Lemah dan Layanan Informasi Kurang
Pembangunan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK)
secara nasional masih lemah yang antara lain ditandai dengan
masih kurangnya infrastruktur, rendahnya penggunaan TIK
dan tingkat melek masyarakat. Menurut International
Telecommunication Union (ITU) pembangunan TIK

Identify applicable sponsor/s here. If no sponsors, delete this text box. (sponsors)

berindikasi tidak hanya kesiapan infrastruktur (akses terhadap
informasi) tetapi juga penggunaan TIK dan beberapa besar
tingkat melek TIK sumber daya manusianya. Dibandingkan
dengan 154 negara-negara lain di dunia, data dari ITU pada
tahun 2007 menempatkan Indonesia pada ranking 108. Dalam
definisi World Bank, penggunaan teknologi informasi oleh
kantor-kantor pemerintah untuk memberikan layanan yang
lebih baik kepada masyarakat umum, bisnis dan untuk
memfasilitasi kerjasama antara institusi pemerintah disebut
dengan e-government. E-Government memiliki posisi penting
karena dengannya diharapkan dapat memberdayakan
komunitas yang ada lewat akses publik ke sumber informasi
yang tersedia. E-Government di Indonesia saat ini belum
merata, sumber informasi dari pemerintah belum terintegrasi
dan bahkan di skala yang lebih kecil masih banyak yang
belum mengenal istilah dan apa serta bagaimana eGovernment.
PROGRAM KPU / USO

Gambar 2.2
Sumber : BP3TI kominfo

III.
USULAN PENGEMBANGAN DAN
PENGGUNAAN DANA USO YANG IDEAL
D. Dasar Hukum
 UU 36/1999
Pasal 16 :
1. Setiap penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau
penyelenggara jasa telekomunikasi wajib memberikan
kontribusi dalam pelayanan universal.
2. Kontribusi pelayanan universal sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) berbentuk penyediaan sarana dan
prasarana telekomunikasi dan atau kompensasi lain.
3. Ketentuan kontribusi pelayanan universal sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 16 Ayat (1)
Kewajiban pelayanan universal (universal service
obligation) merupakan kewajiban penyediaan jaringan
telekomunikasi
oleh
penyelenggara
jaringan
telekomunikasi agar kebutuhan masyarakat terutama di

daerah terpencil dan atau belum berkembang untuk
mendapatkan akses telepon dapat dipenuhi. Dalam
penetapan kewajiban pelayanan universal, pemerintah
memperhatikan prinsip ketersediaan pelayanan jasa
telekomunikasi yang menjangkau daerah berpenduduk
dengan mutu yang baik dan tarif yang Iayak. Kewajiban
pelayanan universal terutama untuk wilayah yang secara
geografis terpencil dan yang secara ekonomi belum
berkembang serta membutuhkan biaya pembangunan
tinggi termasuk di daerah perintisan, pedalaman, pinggiran,
terpencil dan atau daerah yang secara ekonomi kurang
menguntungkan.
Kewajiban
membangun
fasilitas
telekomunikasi untuk pelayanan universal dibebankan
kepada penyelenggara jaringan telekomunikasi tetap yang
telah mendapatkan izin dari pemerintah berupa jasa
Sambungan Langsung Jarak Jauh (SLJJ) dan atau jasa
sambungan lokal. Penyelenggara jaringan telekomunikasi
Iainnya di Iuar kedua jenis jasa di atas diwajibkan
memberikan kontribusi.
Pasal 16 Ayat (2)
Kompensasi lain sebagaimana dimaksud dalam kewajiban
pelayanan universal adalah kontribusi biaya untuk
pembangunan yang dibebankan melalui biaya interkoneksi.
 PP52/2000
Pasal 26
Penyelenggara jaringan telekomunikasi dan penyelenggara
jasa telekomunikasi dikenakan kontribusi kewajiban
pelayanan universal. Kontribusi kewajiban pelayanan
universal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berupa :
a) penyediaan jaringan dan atau jasa telekomunikasi.
b) kontribusi dalam bentuk komponen biaya interkoneksi
c) kontribusi lainnya.
Pasal 27
Untuk pelaksanaan kewajiban pelayanan universal Menteri
menetapkan:
a) wilayah tertentu sebagai wilayah pelayanan.
b) jumlah kapasitas jaringan di setiap wilayah pelayanan
universal.
c) jenis jasa telekomunikasi yang harus disediakan oleh
penyelenggara jasa telekomunikasi di setiap wilayah
pelayanan universal.
d) penyelenggara jaringan telekomunikasi yang ditunjuk
untuk menyediakan.
e) jaringan telekomunikasi di wilayah pelayanan
universal.
Pasal 28
1) Kewajiban membangun dan menyelenggarakan
jaringan di wilayah pelayanan universal dibebankan
kepada penyelenggara jaringan tetap lokal.
2) Kontribusi kewajiban pelayanan universal dibebankan
kepada penyelenggara jaringan lainnya yang
menyalurkan trafik ke penyelenggara jaringan tetap
lokal.
3) Kontribusi kewajiban pelayanan universal sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) dilaksanakan dalam bentuk

pembayaran komponen biaya interkoneksi yang
diterima oleh penyelenggara jaringan tetap lokal.
4) Kontribusi kewajiban pelayanan universal lainnya
dibebankan kepada penyelenggara jaringan selain
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) dan
kepada penyelenggara jasa lainnya.


PP no.7/2009, ttg PNBP pasal 3 Mengatur besaran PNBP
(1.25% utk USO)

E. Pembentukan BP3TI
Berdasarkan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika
Nomor 18 Tahun 2010, BP3TI memiliki tugas melaksanakan
penyediaan dan pengelolaan, pembiayaan Information and
Communication Technology (ICT) atau Teknologi Informasi
dan Komunikasi (TIK), serta aksesibilitas dan layanan
telekomunikasi dan informatika. Sedangkan pengelolaan
keuangan BP3TI, sejak tahun 2009 menggunakan mekanisme
Badan Layanan Umum (BLU) secara penuh, sebagaimana
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 350/KMK.05/2009.
BP3TI mengumpulkan dana USO melalui pungutan PNBP
kepada operator penyelenggara komunikasi sebesar 0,75%
dari pendapatan kotor setiap tahunnya. Pada Tahun 2007,
persentase tarif PNBP tersebut meningkat menjadi 1,25% dari
pendapatan kotor, sebagaimana diatur dalam Peraturan
Menteri
Komunikasi
dan
Informatika
Nomor
5/PER/M.KOMINFO/2/2007. Ketentuan tentang jenis dan
besaran tarif PNBP untuk program USO tersebut, juga
dipertegas dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 7 Tahun
2009. Pada Tahun 2010, BP3TI membukukan pendapatan dari
jasa layanan USO sebesar Rp1,36 Triliun atau meningkat 23%
dibandingkan pendapatan Tahun 2009 sebesar Rp1,1 Triliun.
Telkomsel merupakan operator yang menyumbangkan
pendapatan terbesar yaitu Rp539 milyar pada Tahun 2010 dan
Rp452 pada Tahun 2009. Beberapa operator lain penyumbang
pendapatan dari jasa layanan USO adalah Telkom, Indosat dan
Exelcomindo Pratama.
Berikut adalah kebijakan program KPU/USO :
1. Dana USO di-earmark hanya untuk USO dan saldo
akhir tahun menjadi saldo awal tahun berikutnya.
2. Berbasis pembiayaan terendah atas kontrak layanan
(service based contract)
3. Asset milik/dikelola operator
4. Pengadaan untuk 4 (empat) tahun (multi-years)
5. Pengoperasian dan pemeliharaan merupakan bagian
integral dari kontrak
6. Resiko pengelolaan pada operator
7. Memungkinkan sustainabilitas akses dan layanan
telekomunikasi.
8. Pembentukan Satker Operasional BLU

Gambar 3.1
Sumber : BP3TI Kominfo

F.

Optimalisasi Penggunaan Dana KPU/USO

ICT Fund merupakan optimalisasi pemanfaatan Dana USO
yang berasal dari kontribusi penyelenggara telekomunikasi
(1,25% dari gross revenue), dikumpulkan oleh BLU-BP3TI,
diadministrasikan melalui APBN setiap tahun dan bersifat
earmark. Salah satu peruntukan ICT Fund adalah memberikan
dukungan pemerintah dalam bentuk fiskal finansial untuk
meningkatkan kelayakan proyek Palapa Ring sebagai proyek
KPS. Kasus ICT Fund bersifat spesifik/unik yang tidak sama
dengan Dukungan Pemerintah proyek KPS lainnya karena:
 dana ICT Fund sudah tersedia (bukan on-top), sangat
berbeda dengan Dukungan Pemerintah yang diberikan
untuk proyek infrastruktur di sector lain yang bersifat ontop.
 dana ICT Fund 100% berasal dari penyelenggara
telekomunikasi yang dikumpulkan dan diadministrasikan
dalam APBN. Dengan demikian ICT Fund sama sekali
tidak memberatkan APBN. Skema pembiayaan ini justru
merupakan terobosan (bersifat self-financing) dan sangat
diperlukan terutama saat APBN menuju balance budget
dimana ruang gerak pembangunan menjadi lebih terbatas.
Isu yang perlu diselesaikan adalah mekanisme penyaluran ICT
Fund sebagai Dukungan Pemerintah: apakah mengikuti
mekanisme KPS/VGF (viability gap fund) atau BLU.
Usulan implementasi program USO yaitu dengan pemisahaan
program USO menjadi 2 (dua) aktifitas Program berikut :
1. Program Development
Pengembangan Infrastruktur USO, sbg bagian
pembangunan infrastruktur pemerintah.
2. Program Pengeporasian (O&M)
Pengoperasian Infrastruktur USO, dilaksanakan oleh
Licensed Operator sesuai SLA yang ditetapkan
pemerintah.
Pelaksanaan development dan penoperasian tersebut akan
melalui mekanisme tender, dan operator yang ditunjuk
melaksanakan kewajiban dan bertindak atas nama pemerintah
sesuai peraturan pemerintah yang ditetapkan mengenai USO.
Penerapan sistem open access kepada seluruh operator
terhadap jaringan TIK yang dibangun untuk melayani
pelanggan, dengan harga pasar yang wajar dan disetujui oleh

pemerintah. Penerapan tatakelola perusahaan (corporate
governance) yang dilakukan pemerintah sebagai mekanisme
kontrol pelaksanaan USO.
implementasi program USO diharapkan dapat melibatkan dua
belah pihak yakni Balai Penyedia, Pengelola, Pendanaan
Telekomunikasi Indonesia (BP3TI) Kementerian Kominfo
sebagai pengelola dana USO dan operator telekomunikasi.
Implementasi program USO dimulai dari membangun
infrastuktur, mengembangkannya, mengawasi proyek, hingga
ready for use. Dalam hal ini untuk implementasi program
USO terbagi menjadi dua aktifitas program, yakni BP3TI yang
membangun
infrastruktur
USO
dan
pengoperasian
infrastruktur dilakukan oleh operator yang menjadi pemenang
melalui proses tender. Berikut beberapa aspek penunjang jika
pelaksanaan program USO dilakukan dengan pemisahan
aktifitas, dimana aktifitas development oleh BP3TI / operator
telekomunikasi dan aktifitas pengoperasian (O&M) oleh
operator telekomunikasi.
 Regulator
Memiliki Lisensi Operasi JARTAP dan Internet
 Bisnis
Penyelengggara bisnis layanan ICT sebagai Core
Business, Memiliki Infrastruktur Jaringan dengan minimal
requirement utk diintegrasikan, Memiliki Resource skala
Nasional utk O&M (SDM, Kantor Cabang, System IT)
 Teknologi
Memiliki IT Tool (integrated OBCE) untuk O&M

IV.

KESIMPULAN DAN SARAN

G. Kesimpulan
1) Pembentukan BP3TI karena kebutuhan akan Satker
Operasional (mengelola dana + memanfaatan dana)
sebagai solusi untuk penyediaan sarana dan prasarana
telekomunikasi di daerah non komersial guna
mewujudkan telekomunikasi/ICT yang Aman, Adil dan
Merata (amanat UU No. 36/99).
2) BP3TI bersama operator seluler akan melaksanakan
fungsinya dalam upaya penyediaan dan pemerataan
infrastruktur telekomunikasi di Indonesia yaitu dengan
mekanisme BP3TI sebagai program development dan
operator selular sebagai program pengoperasian USO.
3) Keberhasilan USO ditentukan oleh konsep dan
konsistensi penerapannya, sesuai dengan koridor tugas
yang akan dilakukan oleh BP3TI maupun operator seluler.
H. Saran
1) Pengelolaan dan Pemanfaatan Dana Kontribusi di BP3TI
harus memenuhi asas dan tata kelola :
 Transparan : melalui proses tender
 Akuntabel
: audit internal + eksternal
 Efektif
: elektif dengan mempertimbangkan
skala prioritas
2) Jangka Pendek
Mengoptimalkan dana USO dengan pembangunan endto-end secara tuntas dalam suatu daerah USO
3) Jangka Panjang
 Operator selular menjadi penyelenggara USO
 Operator diizinkan untuk membangun sendiri didaerah
USO dan diperhitungkan sebagai kontribusi USO
 Peruntukan USO diperluas secara vertikal, horizonal
maupun jenis layanan non voice
DAFTAR PUSAKA
1.
2.

Gambar 3.2
Sumber : PT Telkom Tbk

3.
4.
5.
6.
7.

Armein Z. R. Langi, "Prospek komunikasi
masyarakat pedesaan Indonesia yang berkelanjutan",
Makalah dalam eII2006
Armein Z. R. Langi, "Komunikasi Lapis Tiga:
strategi baru untuk telekomunikasi Indonesia",
Makalah dalam eII2006.
http://ismailfaruqi.jepang.info/menjadikan-teknologiinformasi-dan-komunikasi- sebagai-industri-strategispenunjang-pertahanan/id/
https://www.aptel.depkominfo.go.id/download/ca_1.p
df
https://www.aptel.depkominfo.go.id/index.php?
option=com_content&task=view&id=49
https://www.aptel.depkominfo.go.id/index.php?
option=com_content&task=view&id=54
http://duniatik.blogspot.com/2008/02/pengertianteknologi-informasi-dan.html