BOOK Suzy N Meningkatkan perilaku skeptis full text

  Sikap Skeptis Auditor

  Baru-baru ini dunia dikejutkan dengan adanya skandal akuntansi yang menimpa sebuah perusahaan berskala internasional yaitu Toshiba Ltd. Pada awal April 2015, perusahaan elektronik terkemuka ini diketahui telah menggelembungkan laba usaha sebesar ¥151,8 miliar (setara 15,85 triliun rupiah) sejak tahun 2008. Auditor independen dari Toshiba yaitu Ernst & Young (EY) ShinNihon tidak menemukan kecurangan tersebut. Hal ini bermula dari Perdana Menteri Jepang, Abe yang ingin mendorong transparansi lebih besar di Jepang untuk menarik investor asing, maka komisaris (Chairman) Toshiba menyewa panel independen yang terdiri dari para akuntan dan pengacara untuk menyelidiki masalah transparansi di perusahaannya dan ditemukan penggelembungan laba yang dilakukan oleh CEO Toshiba (Hisao Tanaka), wakil CEO Toshiba (Norio Sasaki), dan penasihat Toshiba (Atsutoshi Nishida) yang sudah mengundurkan diri setelah peristiwa ini terungkap. Diduga hal ini terjadi karena target yang terlalu tinggi, dan tekanan atas pencapaian target tersebutlah yang menyebabkan skandal ini terjadi (https://akuntansiterapan. com/). Akibatnya saham Toshiba turun sekitar 25% sejak awal April serta nilai pasar perusahaan ini hilang sekitar ¥ 1,67 triliun (setara 174 triliun rupiah). EY ShinNihon, kantor akuntan publik yang mengaudit Toshiba, merupakan kantor akuntan publik terbesar di Jepang, dengan jumlah auditor sekitar 3.500 orang, dan klien lebih dari 4.000 perusahaan (http://www.reuters.com/). Certified Public Accountants and Auditing Oversight Board (CPAAOB) Japan, yang merupakan badan pengawas dari

MENINGKATKAN PERILAKU SKEPTIS AUDITOR

  akuntan publik dan kantor akuntan publik di Jepang, menyebutkan bahwa auditor gagal menerapkan skeptisisme professional dalam mengaudit Toshiba ( http://www.reuters.com/ ). Dari web EY ShinNihon ( http://www.shinnihon.or.jp/en/

  

index.html ) dari Financial Services Agency (FSA) disebutkan

  bahwa kantor akuntan publik tersebut mendapatkan sanksi berupa denda administrasi sebesar 2,1 miliar yen, dan pembekuan operasi bisnis selama 3 bulan (1 Januari 2016 sampai dengan 31 Maret 2016).

  Skandal akuntansi Toshiba bukan satu-satunya, beberapa tahun sebelumnya berbagai skandal akuntansi yang terjadi adalah kasus Enron, WorldCom, Tyco International, Satyam dan sebagainya. Hal ini menunjukkan bahwa auditor telah gagal dalam mendeteksi kecurangan dimana kegagalan tersebut menyebabkan banyak pihak seperti investor, pekerja, kreditur, dan pemilik saham mengalami kerugian yang besar akibat dari skandal tersebut (Robinson, Robertson, & Curtis, 2012). Penelitian dari Beasley, Carcello, Hermanson, and Neal (2013) menyebutkan bahwa rendahnya tingkat skeptisisme profesional auditor menjadi salah satu penyebab kegagalan auditor dalam mendeteksi kecurangan. Oleh karena itu seorang auditor yang melaksanakan penugasan audit di lapangan tidak boleh hanya sekedar mengikuti prosedur audit yang tertera dalam program audit, tetapi juga harus disertai dengan sikap skeptisisme profesionalnya. Seorang auditor dalam melaksanakan penugasan audit di lapangan biasanya mengikuti prosedur audit yang tertera dalam program audit. Tetapi apabila auditor hanya terpaku pada program audit saja tanpa disertai dengan sikap skeptisisme profesionalnya maka auditor hanya akan menemukan salah saji yang disebabkan oleh kekeliruan saja

  Dr. Suzy Noviyanti, SE, MBA, Akt. dan sulit untuk menemukan salah saji yang disebabkan oleh kecurangan, karena kecurangan biasanya akan disembunyikan oleh pelakunya. Dalam Standar Profesional Akuntan Publik SA 200, disebutkan bahwa sikap skeptis auditor atau yang disebut dengan skeptisisme profesional merupakan sikap yang harus dimiliki oleh auditor yang mencakup suatu pikiran yang selalu mempertanyakan dan selalu waspada terhadap kondisi yang merupakan indikasi terjadinya salah saji baik yang disebabkan karena kecurangan maupun kesalahan. Skeptisisme profesional juga meliputi penilaian yang kritis terhadap bukti audit (IAPI, 2016). Auditor yang skeptis, tidak mudah percaya pada penjelasan dari klien. Mereka akan berusaha untuk memperoleh alasan yang masuk akal terhadap keterangan atau bukti audit yang diberikan oleh klien. Sebagai contoh, apabila auditor mendeteksi kondisi atau lingkungan yang mengindikasikan adanya salah saji yang material. Skeptisisme profesional mensyaratkan bahwa jika indikasi tersebut muncul, auditor harus mempertimbangkan kembali rencana audit untuk mendapatkan bukti audit kompeten yang memadai sehingga laporan keuangan bebas dari salah saji material. Auditor yang bersikap skeptis, memiliki kecenderungan untuk tidak menerima asersi manajemen tanpa bukti pendukung, oleh karena itu mereka selalu meminta manajemen untuk membuktikan asersinya. Terjadinya error (kekeliruan) dan fraud (kecurangan) dalam laporan keuangan menjadi aspek dasar dari skeptisisme profesional yaitu adanya benturan kepentingan antara auditor dan manajemen perusahaan. Benturan kepentingan ini muncul karena manajemen menginginkan untuk menyajikan laporan perusahaan sebaik mungkin, sedangkan auditor harus

MENINGKATKAN PERILAKU SKEPTIS AUDITOR

  memberikan keyakinan bahwa informasi mengenai kondisi keuangan perusahaan disajikan secara wajar. Meskipun ada perbedaan kepentingan antara auditor dan manajemen klien, auditor tetap harus menjaga hubungan yang profesional dengan manajemen klien dengan tidak bersikap memusuhinya atau melawannya. Hal ini bukan berarti auditor mau menerima begitu saja penjelasan dari manajemen klien, auditor tetap harus menyusun prosedur audit untuk menemukan kekeliruan atau kecurangan yang mempunyai dampak material terhadap laporan keuangan. Auditor tetap harus tanggap dengan kemungkinan terjadinya kecurangan walaupun kecurangan belum tentu terjadi setiap kali penugasan audit dilakukan. Meskipun sulit, meminta auditor untuk bersikap skeptis bukanlah hal yang tidak mungkin. Skeptisisme merupakan manifestasi dari obyektivitas. Skeptisisme tidak berarti bersikap sinis, terlalu banyak mengkritik, atau melakukan penghinaan. Auditor yang memiliki skeptisisme profesional yang memadai akan berhubungan dengan pertanyaan-pertanyaan berikut: (1) Apa yang perlu saya ketahui?, (2) Bagaimana caranya saya bisa mendapat informasi tersebut dengan baik?, dan (3) Apakah informasi yang saya peroleh masuk akal?. Skeptisisme profesional auditor akan mengarahkannya untuk menanyakan setiap isyarat yang menunjukkan kemungkinan terjadinya fraud (Louwe Dalam standar audit mengenai Kerangka untuk Perikatan Asurans (IAPI, 2016) dijelaskan bahwa skeptisisme profesional adalah sikap praktisi yang membuat penilaian kritis dengan pikiran yang selalu mempertanyakan tentang validitas bukti audit yang diperoleh, dan waspada terhadap bukti yang kontradiktif atau keandalan dokumen atau representasi yang diberikan oleh pihak yang bertanggung jawab.

  Dr. Suzy Noviyanti, SE, MBA, Akt.

  Sedangkan dalam standar audit SA 200 (IAPI, 2016) disebutkan bahwa skeptisisme profesional diperlukan dalam penilaian atas bukti audit, mencakup pertimbangan mengenai kecukupan dan ketepatan bukti audit. Terkait dengan kecurangan, standar audit SA 240 (IAPI, 2016) menyebutkan bahwa auditor harus mempertahankan sikap skeptisisme profesional sepanjang audit dengan mengajukan pertanyaan secara berkelanjutan. Sikap skeptisisme profesional adalah penting ketika mempertim- bangkan risiko salah saji material akibat kecurangan (Arens et al., 2005) Auditor harus mengumpulkan bukti audit yang dibutuhkannya, meneliti semua implikasi dari bukti audit, dan kemudian menggunakannya sebagai pendukung dalam membuat kesim- pulan. Meskipun audit dilakukan dalam jangka waktu yang terbatas, hal ini tidak boleh dijadikan alasan oleh auditor untuk tidak menjalankan skeptisisme profesionalnya. Auditor tidak seharusnya menerima penjelasan manajemen klien yang kelihatannya meyakinkan dan menghentikan investigasi terlalu cepat tanpa melihat pada fakta yang ada. Menerima penjelasan dari manajemen klien merupakan tahap awal dalam proses audit. Auditor harus menguji penjelasan ini dengan mencari bukti audit kompeten yang cukup.

  Skeptisisme profesional harus dipandang sebagai suatu sikap dan bukan sebagai dugaan awal untuk menerima penjelasan yang tidak benar. Auditor harus berhati-hati dalam menjalankan profesinya. Jika penugasan sudah dijalankan dengan benar dan prosedur yang didesain untuk mencari kekeliruan dan kecurangan tidak menemukan apapun, maka tim penugasan harus dapat menerima fakta yang ada bahwa tidak ada bukti yang menunjukkan adanya konflik.

MENINGKATKAN PERILAKU SKEPTIS AUDITOR

  Penggunaan kemahiran profesional menghendaki sikap auditor yang menanyakan semua asersi yang material yang dibuat oleh manajemen, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Sikap ini harus seimbang dengan pandangan mengenai integritas manajemen. Auditor tidak boleh mengasumsikan begitu saja bahwa setiap manajemen adalah tidak jujur, tetapi auditor juga tidak boleh mengasumsikan bahwa manajemen sepenuhnya jujur. Sikap auditor dalam mengumpulkan bukti audit harus ditujukan untuk mencapai kesimpulan yang dapat dipertanggungjawabkan (reasonable and supportable).

  Dalam kaitannya dengan kemungkinan terjadinya kecurangan dalam laporan keuangan, sikap skeptisisme profesional auditor juga diperlukan dalam mempertimbangkan risiko adanya salah saji yang material yang disebabkan karena kecurangan. Auditor harus mempertahankan sikap skeptisisme profesional selama melakukan audit, dengan menyadari bahwa kemungkinan terjadinya salah saji material karena kecurangan bisa saja terjadi meskipun sebelumnya auditor sudah mempunyai pengalaman dengan kejujuran perusahaan dan integritas manajemen dan pihak-pihak yang terkait. Auditor menerapkan sikap skeptisisme profesional pada saat mengajukan pertanyaan dan menjalankan prosedur audit, dengan tidak cepat puas dengan bukti audit yang kurang persuasive yang hanya didasarkan pada kepercayaan bahwa manajemen dan pihak terkait bersikap jujur dan mempunyai integritas Dalam penelitiannya, Hurtt (2010) menjelaskan bahwa skeptisisme profesional terdiri dari enam karakteristik. Tiga karakteristik yang pertama terkait dengan pengujian bukti audit dan meliputi: 1) a questioning mind (pikiran yang selalu mempertanyakan); 2) the suspension of judgment (penundaan Dr. Suzy Noviyanti, SE, MBA, Akt. keputusan); 3) a search for knowledge (pencarian pengetahuan). Hurtt (2010) mendefinisikan skeptis sebagai sikap yang tidak menerima informasi dan situasi begitu saja, tetapi mengajukan pertanyaan untuk memperoleh bukti mengenai subyek yang dipertanyakan. Hurtt (2010) menyatakan bahwa skeptis akan menunda pendapat dan keputusan untuk menambah penyelidikan, pertimbangan, dan pencarian informasi. Orang yang memiliki sikap skeptis biasanya ingin tahu dan menikmati proses pembelajaran.

  Karakteristik keempat dari model skeptisisme Hurtt berkaitan dengan pemahaman mengenai ketersediaan bukti: 4)

  

interpersonal understanding (pemahaman antar pribadi).

  Hurtt (2010) berpendapat bahwa seorang yang skeptis akan berusaha memahami orang lain untukmenemukan informasi yang tidak akurat, bias atau menyesatkan. Dua karakteristik yang terakhir dari model skeptisisme Hurtt terkait dengan inisiatif seseorang untuk melakukan tindakan berdasarkan pada bukti yang diperolehnya: 5) self confidence (percaya diri) dan 6) self determination (mengambil keputusan sendiri). Seorang yang skeptis harus memiliki rasa percaya diri dan harga diri. Karakteristik ini membuat seorang yang skeptis dapat memecahkan setiap kontradiksi dan mengambil keputusan yang tepat. Seorang yang skeptis dapat menilai wawasan dalam dirinya, berubah ke asumsi yang lain, dan meminta informasi yang memadai untuk memecahkan setiap kontradiksi dan pemikiran orang lain yang keliru.

  Apabila seseorang memiliki enam karakteristik skeptis seperti tersebut di atas, maka akan mengarahkannya pada empat perilaku audit yang spesifik: 1) increased information

  

search (meningkatkan pencarian informasi); 2) increased

contradiction detection (meningkatkan pendeteksian apabila

MENINGKATKAN PERILAKU SKEPTIS AUDITOR

  ditemukan bukti yang bersifat kontradiksi); 3) increased

  

alternative generation (meningkatkan alternatif hasil); 4)

expanded scrutiny of source reliability (memperluas

  penyelidikan dengan mencari informasi dari sumber yang reliabel).

  Sikap Skeptis Auditor dan Kecurangan

Fraud (kecurangan) merupakan salah satu tindakan melawan

  hukum dan mempunyai arti yang sangat luas. International

  

Standard on Auditing (ISA) No. 240 menyebutkan bahwa

  kecurangan mengacu pada tindakan penipuan yang dilakukan secara sengaja oleh seseorang atau beberapa individu diantara manajemen, pihak yang berkuasa, karyawan, atau pihak ketiga, untuk mendapatkan keuntungan yang tidak adil atau tidak legal (IFAC, 2004). Standar ini juga menyebutkan bahwa kecurangan yang menjadi perhatian auditor dalam audit laporan keuangan adalah kecurangan yang menyebabkan salah saji material dalam laporan keuangan. Kecurangan yang dilakukan oleh manajemen dan pihak yang berkuasa disebut dengan management fraud (kecurangan manajemen) dan kecurangan yang dilakukan oleh karyawan disebut employee fraud (kecurangan karyawan).

  Sedangkan tanggung jawab auditor dalam mendeteksi kecurangan dinyatakan dalam standar profesional akuntan publik yaitu PSA 02, SA seksi 110 (IAI, 2001); SAS No. 1, AU 110 (AICPA, 2002); ISA 240 (IFAC, 2004). Standar profesional tersebut menyatakan bahwa dalam perencanaan dan pelaksanaan audit, auditor bertanggungjawab untuk memperoleh keyakinan memadai bahwa laporan keuangan bebas dari salah saji material, baik yang disebabkan karena error (kekeliruan) atau fraud (kecurangan).

  Dr. Suzy Noviyanti, SE, MBA, Akt.

  mempunyai risiko kecurangan yang tinggi. Bertambahnya kecurigaan auditor akan berpengaruh terhadap proses audit melalui sikap skeptisisme profesionalnya, sehingga pada akhirnya akan meningkatkan proses elaborasi terhadap bukti audit. PSA 70, AU 316 menyebutkan bahwa auditor harus menaksir secara khusus terhadap risiko salah saji material karena kecurangan dalam laporan keuangan, kemudian harus mempertimbangkan taksiran risiko ini dalam mendesain prosedur audit yang akan dilaksanakan. Dalam penaksiran risiko kecurangan ini, auditor harus mempertimbangkan faktor risiko kecurangan yang terkait dengan: (1) salah saji yang timbul dari kecurangan dalam laporan keuangan, dan (2) salah saji yang timbul dari perlakuan yang tidak semestinya terhadap aktiva (IAI, 2001). Berikut ini akan dibahas lebih lanjut mengenai faktor risiko kecurangan. SAS No. 99 menjelaskan bahwa salah saji material karena kecurangan biasanya sulit dideteksi, karena kecurangan biasanya dilakukan secara tersembunyi. Oleh karena itu, auditor harus mengidentifikasikan fraud risk factors (faktor risiko kecurangan) yaitu peristiwa atau kondisi yang mengindikasikan adanya motivasi/tekanan untuk melakukan kecurangan, kesempatan untuk berbuat curang, atau sikap/ rasionalisasi untuk membenarkan tindakan kecurangan. Dalam prosedur penaksiran risiko kecurangan, auditor mengidentifikasikan faktor risiko berdasarkan tipe salah sajinya, yaitu salah saji karena kecurangan dalam laporan keuangan atau salah saji karena perlakuan tidak semestinya terhadap aktiva.

MENINGKATKAN PERILAKU SKEPTIS AUDITOR

  Selain hal tersebut, SAS No. 99 juga menjelaskan bahwa tanggapan auditor terhadap penaksiran risiko kecurangan dipengaruhi oleh sifat dan signifikansi dari identifikasi risiko dan bagaimana pengendalian yang dilakukan entitas terhadap risiko yang teridentifikasikan tersebut.

  

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Sikap Skeptis

Auditor

  Ada berbagai faktor yang mempengaruhi skeptisisme profesional auditor. Penelitian terdahulu menggambarkan berbagai model dari skeptisisme profesional. Shaub dan Lawrence (1996) mengadopsi model trust and suspicion (kepercayaan dan kecurigaan) dari Kee dan Knox (1970) yang dimodifikasi dan diterapkan pada akuntan publik. Dalam model trust and suspicion dari Kee dan Knox’s (1970), kepercayaan dan kecurigaan, merupakan fungsi dari persepsi individual dari motif dan/ atau kompetensi orang lain. Persepsi ini berbeda tergantung dari faktor disposisional individual, pengalaman sebelumnya atau faktor situasional. Model Kee dan Knox (1970) tersebut dimodifikasikan dalam penelitian Shaub dan Lawrence (1996) yang menyatakan bahwa skeptisisme profesional adalah fungsi dari (1) faktor disposisional etis, (2) pengalaman di bidang akuntansi, dan (3) faktor situasional. Penelitian ini dilakukan terhadap 156 auditor dari salah satu kantor akuntan publik the Big 6. Hasil penelitian menunjukkan bahwa auditor yang mengendors situasi etis menjadi kurang skeptis dan kurang perhatian terhadap etika profesional. Auditor yang bersertifikat akuntan publik kurang skeptis dibandingkan dengan auditor yang tidak bersertifikat. Semakin lama masa kerja auditor, semakin tinggi skeptisismenya.

  Dr. Suzy Noviyanti, SE, MBA, Akt. Model skeptisisme profesional lainnya dikembangkan oleh Kopp et al. (2003), dimana model ini memasukkan konstruk skeptisisme profesional dalam konteks audit laporan keuangan yang dikembangkan oleh Hurt, Eining, dan Plumlee (2003). Model ini menyatakan bahwa dampak dari kepercayaan (trust) dalam hubungan auditor-klien akan mempengaruhi skeptisisme profesional auditor. Kopp et al. (2003) memproposisikan hubungan negatif antara dua konstruk tersebut. Semakin tinggi trust, audit dapat dilakukan dengan semakin efisien dan efektif dengan mendasarkan pada penjelasan manajemen klien untuk mengumpulkan bukti audit guna memverifikasi asersi dalam laporan keuangan yang diaudit. Tetapi pada tingkat tertentu, trust yang semakin tinggi akan menyebabkan auditor mengabaikan bukti audit yang seharusnya merupakan indikator adanya salah saji material dalam laporan keuangan.

  Auditor yang kurang skeptis akan menghasilkan kualitas audit yang rendah. Tetapi apabila auditor terlalu skeptis, maka pekerjaan audit menjadi tidak terselesaikan, karena dalam mengumpulkan bukti audit auditor harus mendasarkan pekerjaannya pada penjelasan manajemen klien. Tingkat skeptisisme profesional pada tingkat tertentu akan memiliki dampak yang ideal terhadap kualitas audit. Model Kopp et al. (2003) menyatakan bahwa trust merupakan fungsi dari 3 faktor yaitu: (1) auditor’s predisposition to trust (predisposisi auditor terhadap kepercayaan), (2) characteristics

  

of the client (karakteristik klien), dan (3) characteristics of

the auditor-client relationship (karakter hubungan antara

  auditor-klien). Predisposisi auditor terhadap kepercayaan dipengaruhi oleh pengalaman auditor mengenai realisme audit. Terkait dengan karakteristik klien, Whitener et al.

MENINGKATKAN PERILAKU SKEPTIS AUDITOR

  (1998) dalam Kopp et al. (2003) menyatakan bahwa persepsi mengenai kredibilitas seseorang dapat meningkat karena orang tersebut mempunyai kemampuan untuk menunjukkan hal-hal berikut: (1) behavioral consistency (perilaku yang konsisten), contohnya reliability dan predictability, (2)

  

behavioral integrity (integritas perilaku), contohnya adanya

  konsistensi antara kata-kata dan perbuatan, (3) communication (komunikasi), contohnya memberikan informasi yang akurat, memberikan penjelasan untuk pengambilan keputusan, keterbukaan, dan (4) menunjukkan keseriusan (concern). Jadi staf dan manajemen klien yang memiliki kemampuan untuk menunjukkan perilaku seperti tersebut di atas dapat meningkatkan kepercayaan auditor.

  Kopp et al. (2003) juga menyatakan bahwa karakteristik klien selain hal di atas yang dapat meningkatkan kepercayaan auditor adalah kalau klien audit sebelumnya adalah kolega auditor atau pernah bekerja di kantor akuntan publik auditor. Penelitian Beasley et al. (2000) dalam Kopp et al. (2003) menemukan bahwa sejumlah kecurangan dalam laporan keuangan disebabkan karena keterlibatan eksekutif senior yang sebelumnya bekerja di kantor akuntan publik. Beasley menyarankan bahwa pelatihan dan akuntabilitas dapat menjaga skeptisisme profesional auditor ketika berinteraksi dengan manajemen klien yang sebelumnya merupakan kolega auditor.

  Faktor ketiga yang mempengaruhi trust terkait dengan karakteristik hubungan antara auditor-klien (Kopp et al., 2003), yang dibedakan menjadi 3 hal: (1) past cooperatif

  

behavior (perilaku kooperatif dalam penugasan sebelumnya),

  (2) advice provided in the past (auditor bertindak sebagai penasehat dalam penugasan sebelumnya), dan (3) tenure of

  Dr. Suzy Noviyanti, SE, MBA, Akt.

  

auditor-client relationship (lamanya hubungan auditor –

  klien). Penelitian dalam disertasi ini lebih menekankan pada variabel skeptisisme profesional, oleh karena itu variabel- variabel yang menjadi anteseden dari trust tidak dimasukkan dalam model penelitian.

  Berdasarkan model Kopp et al. (2003), selain trust faktor- faktor yang mempengaruhi skeptisisme profesional adalah: (1) standar profesional seperti peraturan yang diharuskan oleh organisasi profesi dan standar auditing yang berterima umum, dan (2) budaya kantor akuntan publik yang dapat meningkatkan skeptisisme profesional berdampak positif terhadap skeptisisme profesional. Dalam model Kopp tingkatan dari trust akan berdampak pada skeptisisme profesional auditor dalam mengumpulkan dan melakukan proses kognitif terhadap bukti audit. Lewicki dan Bunker (1995, 1996) dalam Kopp et al. (2003) menyatakan bahwa ada tiga tingkat dari trust yaitu: calculus-based trust,

  knowledge-based trust, dan identification-based trust.

  Chung et al. (2004) meneliti mengenai perbedaan suasana hati

  

(mood) yaitu positif, netral, dan negatif terhadap skeptisisme

  profesional berdasarkan teori dalam ilmu psikologi seperti

  

mood-congruent retrieval of information explanation,

feelings-as-information model, dan mood management

model. Penelitian dilakukan dengan desain eksperimen

  dimana subyek ditempatkan pada satu diantara tiga kondisi suasana hati (positif, netral, dan negatif). Subyek dalam penelitian ini adalah 102 auditor senior (47 pria dan 55 wanita) yang sedang mengikut program pelatihan nasional di Australia. Dari eksperimen yang dilakukan, nampak bahwa partisipan dengan suasana hati negatif menunjukkan

MENINGKATKAN PERILAKU SKEPTIS AUDITOR

  skeptisisme profesional yang paling tinggi dengan menentukan nilai inventory lebih konservatif dibandingkan dengan partisipan dengan suasana hati netral. Sedangkan partisipan dengan suasana hati positif menentukan nilai inventory kurang konservatif. Penelitian lain mengenai skeptisisme profesional auditor dilakukan oleh Payne dan Ramsay (2005) yang menguji bagaimana pengaruh fraud risk assessment (penaksiran risiko kecurangan) pada tahap perencanaan audit dan pengalaman audit terhadap tingkat skeptisisme profesional auditor selama penugasan lapangan. Partisipan dalam penelitian ini adalah 184 staff dan senior auditor dari 3 kantor akuntan publik Big

  

5 . Desain eksperimen faktorial antar subyek 3 x 2, dengan

  variabel independen penaksiran risiko kecurangan (tinggi, rendah, dan tanpa petunjuk tingkat risiko kecurangan) dan pengalaman (pengalaman, dan tidak pengalaman). Sedangkan variabel dependen adalah skeptisisme profesional. Skeptisisme profesional, diukur dengan skala dari 1 sampai 10 (not at all

  

truthful – completely truthful ), menggambarkan tanggapan

  partisipan terhadap pertanyaan “berdasarkan informasi dalam penelitian kasus yang diberikan pada anda, apakah penjelasan kontroler yang diberikan pada anda dapat dipercaya?” Hasil penelitian Payne dan Ramsay (2005) menunjukkan bahwa baik staff (tidak berpengalaman) maupun senior auditor (berpengalaman) pada kelompok risiko kecurangan rendah mempunyai sikap skeptisisme profesional yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan auditor pada kelompok kontrol (tidak diberi penaksiran risiko kecurangan). Staff auditor pada kelompok kontrol memiliki skeptisisme profesional yang lebih rendah dibanding auditor pada kelompok risiko kecurangan tinggi. Tetapi tidak ada Dr. Suzy Noviyanti, SE, MBA, Akt. perbedaan signifikan antara skeptisisme profesional senior auditor pada kelompok kontrol dengan kelompok risiko kecurangan tinggi. Secara keseluruhan staff auditor justru lebih skeptis dibandingkan senior auditor.

  Fullerton et al. (2005) meneliti mengenai pengaruh skeptisisme profesional internal auditor terhadap kemampuan mendeteksi kecurangan. Penelitian dilakukan dengan desain eksperimen terhadap 57 internal auditor di Florida. Eksperimen dilakukan 2 kali, sebelum dan setelah pelatihan mengenai kecurangan. Hasil penelitian dari eksperimen pertama menunjukkan bahwa auditor dengan skeptisisme profesional yang lebih tinggi akan lebih memperhatikan terhadap “red flag” dan kemudian mencari informasi lebih banyak dibandingkan dengan auditor yang skeptisisme profesionalnya lebih rendah. Hasil penelitian dari eksperimen kedua menunjukkan bahwa pelatihan mengenai fraud

  

awareness (kepedulian terhadap kecurangan) akan

mempengaruhi sikap skeptisisme profesional internal auditor.

  Hal ini terlihat dari meningkatnya keinginan auditor (yang sebelum pelatihan tergolong kurang skeptis) untuk mencari informasi lebih banyak mengenai kecurangan. Selain hal tersebut, hasil studi juga menunjukkan bahwa rata-rata skeptisisme profesional pada internal auditor wanita, dengan usia kurang dari 40 tahun, memiliki sertifikasi profesional, dan mempunyai pengalaman dengan kecurangan selama karirnya, menunjukkan skeptisisme profesional yang lebih tinggi. Suraida (2005), melakukan penelitian dengan metode survey terhadap akuntan publik di Indonesia. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa etika, kompetensi, pengalaman audit, dan risiko audit mempengaruhi skeptisisme profesional

MENINGKATKAN PERILAKU SKEPTIS AUDITOR

  auditor baik secara parsial maupun secara simultan. Selain itu etika, kompetensi, pengalaman audit, risiko audit dan skeptisisme profesional berpengaruh positif terhadap ketepatan pemberian opini audit.

  Joe and Vandervelde (2006) meneliti mengenai apakah auditor yang semula memberikan jasa non-audit dan kemudian memberikan jasa audit akan menunjukkan efektivitas audit yang lebih tinggi. Penelitian dilakukan terhadap 84 auditor in charge dari kantor akuntan publik Big 4. Hasil dari studi ini menyatakan bahwa auditor yang melakukan tugas non audit dan tugas audit sekaligus, akan menetapkan risiko kecurangan yang lebih tinggi dibandingkan dengan auditor yang melakukan tugas audit saja. Auditor yang berasal dari kantor akuntan publik yang melakukan tugas non audit dan audit sekaligus terhadap satu klien (auditor yang melakukan tugas non audit berbeda dengan auditor yang melakukan tugas audit, tapi keduanya berasal dari kantor akuntan publik yang sama), cenderung mengidentifikasikan risiko kecurangan yang lebih rendah dibandingkan dengan auditor yang berasal dari kantor akuntan publik yang hanya melakukan tugas audit saja.

  Kesimpulannya adalah apabila seorang auditor melakukan tugas non audit dan tugas audit sekaligus untuk satu klien maka akan terjadi transfer knowledge dari tugas non audit ke tugas audit. Hal ini menyebabkan auditor menjadi lebih efektif dalam melakukan penugasan audit. Transfer

  

knowledge tidak terjadi jika auditor yang mengerjakan tugas

  non audit berbeda dengan auditor yang mengerjakan tugas audit meskipun mereka berasal dari satu kantor akuntan publik. Meskipun demikian, faktor risiko kecurangan yang Dr. Suzy Noviyanti, SE, MBA, Akt. diidentifikasikan auditor menjadi lebih sedikit jika kantor akuntan publiknya juga sekaligus memberikan jasa non audit dibandingkan jika yang memberikan jasa non audit adalah kantor akuntan publik lain. Temuan ini menyatakan bahwa auditor akan menunjukkan skeptisisme profesional yang lebih rendah jika kantor akuntan publiknya memberikan jasa non audit dan jasa audit sekaligus untuk satu klien. Carpenter dan Reimers (2007) menginvestigasi mengenai pengaruh tone of the top dan skeptisisme individual auditor terhadap penaksiran risiko kecurangan dan prosedur audit. Yang dimaksud tone at the top adalah penekanan partner/ manager dalam mengarahkan auditor bawahannya. Partner/ manager dengan high tone at the top lebih menekankan pada efektivitas audit, sedangkan partner/manager dengan low tone

  

at the top lebih menekankan pada efisiensi audit. Subyek

  dalam penelitian ini 160 senior auditor dan manager dari kantor akuntan publik Big 4. Hasil penelitian menyatakan bahwa partner/manager dengan

  

high tone at the top menetapkan penaksiran risiko kecurangan

  auditor lebih tinggi dibandingkan dengan low tone at the

  

top , terutama jika ada indikasi kecurangan. Selain itu

  ditemukan juga bahwa skeptisisme individual auditor mempengaruhi pemilihan prosedur audit yang memadai, tetapi tone at the top tidak mempengaruhi. Tone at the top mempengaruhi skeptisisme individual auditor. Jadi kesimpulannya, partner auditor harus menjaga tone at the

  

top yang memadai agar dapat mencapai skeptisisme

  profesional yang bermanfaat bagi pengambilan keputusan auditor.

MENINGKATKAN PERILAKU SKEPTIS AUDITOR

  Bellovary dan Johnstone (2007) melakukan penelitian dengan wawancara lapangan semi-structured terhadap 22 auditor pada semua level (partner, direktur, manajer, senior, dan staff). Responden berasal dari 7 kantor akuntan publik dan observasi dilakukan terhadap kegiatan brainstorming selama periode Agustus sampai dengan Oktober 2006. Hasil penelitian menunjukkan gambaran bagaimana kantor akuntan publik berusaha meningkatkan skeptisisme profesional auditornya dengan melakukan proses brainstorming. Rose (2007) mengembangkan penelitian sebelumnya dengan menguji pengaruh dispositional trust, skeptisisme, dan pengalaman auditor dengan kecurangan terhadap perhatian auditor pada praktek pelaporan keuangan yang agresif dan pertimbangan auditor pada salah saji yang potensial. Hasilnya membuktikan bahwa (1) auditor yang lebih skeptis mempunyai perhatiannya yang lebih besar terhadap praktek pelaporan keuangan yang agresif, (2) auditor yang mempunyai tingkat kepercayaan yang rendah terhadap klien cenderung memberikan perhatian yang lebih besar terhadap pelaporan keuangan yang agresif, (3) auditor yang mempunyai perhatian yang lebih besar terhadap pelaporan keuangan yang agresif cenderung untuk percaya bahwa terjadi salah saji yang disengaja, (4) auditor yang lebih berpengalaman terhadap kecurangan, lebih percaya terhadap terjadinya salah saji yang disengaja ketika terdapat bukti adanya pelaporan keuangan yang agresif. Koch et al. (2008) melakukan eksperimen terhadap 72 auditor dari semua level mulai dari asisten, manager, senior manager, dan partner dari 2 kantor akuntan publik Big 4 di Jerman. Studi ini ingin menguji apakah hubungan pertanggungjawaban antara auditor dengan dewan direksi yang lebih independen

  Dr. Suzy Noviyanti, SE, MBA, Akt. dapat memperbaiki independensi auditor. Hasil studi menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan independensi antara auditor yang bertanggungjawab kepada management

  

board dengan yang bertanggungjawab kepada supervisory

board (pihak yang lebih independen terhadap laporan

  keuangan yang diaudit dibandingkan dengan management board ). Hal tersebut terjadi karena auditor mempunyai skeptisisme profesional yang memadai yang ditunjukkan pada saat auditor melakukan belief task (tugas auditor untuk menentukan seberapa besar tingkat kepercayaan auditor terhadap laporan keuangan yang diauditnya, misalnya menilai konsistensi bukti audit, menilai kesesuaian metode akuntansi dalam laporan keuangan dengan GAAP). Auditor yang memandang penting untuk mempertahankan klien dari segi financial, cenderung untuk membuat opini audit yang bias. Sedangkan auditor yang memandang penting untuk mempertahankan klien dari segi psikologi, cenderung untuk mengikuti kebijakan manajemen. Hasil penelitian Koch et al. (2008) tersebut menyimpulkan bahwa tekanan keuangan dan tekanan sosial dari klien dapat mengancam independensi auditor. Hal-hal berikut ini dapat mengatasi masalah tersebut: 1) adanya oversight board dapat melindungi auditor dari tekanan keuangan, 2) pengalaman auditor dapat mengurangi tekanan sosial auditor, dan 3) sikap skeptisisme profesional auditor dapat menetralkan tekanan manajemen secara umum.

  Meningkatkan Sikap Skeptis Auditor

  Auditor yang tidak menerapkan skeptisisme dalam penugasan audit, akan sulit untuk menemukan salah saji yang disebabkan

MENINGKATKAN PERILAKU SKEPTIS AUDITOR

  oleh kecurangan. Hal ini disebabkan karena biasanya pelaku kecurangan akan menutupi perbuatannya dengan segala cara (Knapp & Knapp, 2001). Berikut adalah beberapa cara meningkatkan sikap skeptis auditor berdasarkan penelitian terdahulu.

1. Penaksiran Risiko Kecurangan yang Tepat

  Salah satu cara untuk meningkatkan sikap skeptis auditor pada saat melakukan audit di lapangan adalah dengan memberikan penaksiran risiko kecurangan yang tepat. Penaksiran risiko kecurangan (fraud risk assessment) biasanya dibuat oleh auditor in-charge (auditor yang berkuasa, seperti misalnya manager audit atau partner) pada tahap perencanaan audit. Penaksiran kemudian dikomunikasikan dengan tim pelaksana audit. Tim pelaksana audit yang melakukan pengujian audit dalam penugasan lapangan biasanya adalah yunior auditor, semi senior auditor, atau senior auditor yang melakukan audit dengan berpatokan pada penaksiran risiko kecurangan yang telah ditentukan oleh atasannya. Penaksiran risiko kecurangan merupakan aktivitas dalam perencanaan audit yang cukup penting karena penaksiran ini akan menentukan sifat, waktu dan luas pengujian audit. Apabila pada saat review pendahuluan terhadap perusahaan, auditor in- charge menemukan adanya faktor risiko kecurangan yang tinggi yang merupakan indikasi adanya kecurangan dalam laporan keuangan yang diaudit maka auditor in-charge akan menaksir risiko kecurangan pada tingkat yang tinggi. Tingkat penaksiran risiko kecurangan yang tinggi akan diterima sebagai petunjuk bagi auditor yang melakukan penugasan di lapangan dan akan meningkatkan

  Dr. Suzy Noviyanti, SE, MBA, Akt.

  risiko kecurangan yang rendah dengan kelompok kontrol yang tidak diberi penaksiran risiko kecurangan. Tetapi subyek yang diberi penaksiran risiko kecurangan yang tinggi cenderung melakukan elaborasi lebih mendalam dibandingkan dengan subyek pada kelompok yang tidak diberikan informasi mengenai risiko kecurangan. Hal tersebut menunjukkan bahwa meskipun penaksiran risiko kecurangan yang tinggi akan meningkatkan skeptisisme profesional auditor, tetapi penaksiran risiko kecurangan yang rendah tidak akan mempengaruhi skeptisisme profesional auditor.

  Penelitian Rose and Rose (2003) tersebut di atas, sesuai dengan yang dipersyaratkan oleh standar. SAS No. 99 menyatakan bahwa penaksiran auditor terhadap risiko salah saji yang material terkait dengan kecurangan harus dilakukan selama audit berlangsung. Kondisi yang dapat diidentifikasikan selama penugasan lapangan dapat merubah atau mendukung pertimbangan dalam penaksiran risiko (AICPA, 2002, AU 316.68). Selain itu standar juga menyatakan bahwa menjelang penyelesaian pekerjaan lapangan, auditor harus mengevaluasi apakah akumulasi hasil dari prosedur audit dan observasi lainnya mempengaruhi penaksiran risiko kecurangan yang ditetapkan pada tahap awal audit. Evaluasi ini diperlukan untuk memberi- kan masukan mengenai apakah diperlukan prosedur audit tambahan atau prosedur audit yang lainnya (AICPA, 2002, AU 316.74). Implikasinya adalah bahwa proses penaksiran risiko kecurangan dilakukan terus menerus selama penugasan lapangan dan tahap akhir audit. Kecurangan seringkali dideteksi selama penugasan lapangan (Loebbecke et al., 1989), oleh karena itu penaksiran risiko kecurangan yang rendah pada tahap perencanaan seharusnya tidak mempengaruhi auditor selama penugasan lapangan melalui skeptisisme profesionalnya.

MENINGKATKAN PERILAKU SKEPTIS AUDITOR

  Hal tersebut di atas menyatakan bahwa sikap profesional auditor tidak boleh dipengaruhi oleh penaksiran risiko kecurangan awal yang rendah dalam tahap perencanaan. Untuk menjaga tingkat skeptisisme profesional yang memadai sepanjang waktu, diharapkan auditor akan menyesuaikan penaksiran risiko kecurangan yang rendah apabila ditemukan bukti baru. Dengan kata lain, evaluasi bukti dapat mempengaruhi penaksiran risiko kecurangan awal, tetapi penaksiran risiko kecurangan awal tidak akan mempengaruhi evaluasi bukti. Ide tersebut di atas digambarkan dalam SAS No. 99 yang mengingatkan auditor akan pentingnya menjaga skeptisisme dan dikatakan “.......... melakukan penugasan dengan mengakui bahwa kemungkinan terjadinya salah saji material yang terkait dengan kecurangan dapat terjadi tanpa memperhatikan kepercayaan auditor mengenai kejujuran manajemen dan integritasnya.” (AICPA, 2002, AU 316.13). Kegagalan untuk menyesuaikan penaksiran risiko kecurangan ketika ada bukti yang mengindikasikan hal tersebut akan mengakibatkan kegagalan audit. Beberapa penelitian di bidang psikologi mengatakan bahwa informasi yang negatif cenderung memiliki dampak yang lebih besar dalam aktivitas kognitif dan diterima lebih baik dalam memori seseorang (Ajzen, 2001). Hal ini menunjukkan bahwa penaksiran risiko kecurangan yang tinggi yang merupakan informasi negatif, akan lebih mudah diingat oleh auditor sehingga diharapkan auditor dapat mempertahankan skeptisisme profesional yang tinggi dan tidak menurunkan skeptisismenya selama penugasan. Standar maupun penelitian sebelumnya juga menunjukkan bahwa penaksiran risiko kecurangan yang tinggi akan dijadikan patokan auditor dalam Dr. Suzy Noviyanti, SE, MBA, Akt. melakukan penugasan audit sehingga skeptisisme profesional auditor akan meningkat. Penaksiran risiko kecurangan yang tinggi menyebabkan auditor lebih menaruh perhatian pada bukti audit dan menumbuhkan perasaan curiganya sehingga auditor akan bersikap lebih skeptis. Sebaliknya apabila penaksiran risiko kecurangan pada tahap perencanaan audit rendah diharapkan auditor tidak terpengaruh dan tetap bersikap skeptis, jadi auditor diharapkan dapat menyesuaikan penaksiran risiko kecurangan awal yang rendah tersebut.

2. Pemilihan Personal yang Tepat

  Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa karakteristik personal mempengaruhi sikap skeptis mereka. Setiap individu adalah unik, mereka berbeda satu dengan lainnya, dan hal tersebut menyebabkan sikap dan perilaku mereka menjadi berbeda. Hellriegel (2001) mengatakan bahwa hal-hal yang menyebabkan perbedaan antara individu satu dengan lainnya dapat dikelompokkan dalam 2 kategori: primary categories yaitu karakteristik genetik yang mempengaruhi kesan dan sosialisasi orang dan

  

secondary categories yaitu karakteristik yang diperoleh dan

dimodifikasi seseorang melalui kehidupannya.

Primary categories terdiri dari: age (umur), race (ras), ethnicity

  (etnik), gender (jenis kelamin), physical abilities and qualities (kemampuan dan kualitas fisik), dan sexual orientation (orientasi seksual). Sedangkan secondary categories terdiri dari: education (pendidikan), work experience (pengalaman kerja), income (penghasilan), marital status (status perkawinan),

  

religious beliefs (keyakinan agama), geographic location

  (lokasi geografi), parental status (status orang tua), dan

  

personal style (kecenderungan seseorang yang unik dalam

berpikir, berperasaan, atau bertindak).

MENINGKATKAN PERILAKU SKEPTIS AUDITOR

  Beberapa bukti menunjukkan bahwa faktor genetik dapat mempengaruhi sikap seseorang (Hellriegel, 2001). Berikut ini akan dijelaskan pengaruh faktor karakteristik personal yaitu pengalaman kerja, dan gender auditor terhadap skeptisisme profesional auditor dalam mendeteksi kecurangan.

  

Pengaruh Pengalaman terhadap Skeptisisme Profesional

  Salah satu faktor penting yang membentuk sikap adalah pengalaman seseorang terhadap suatu obyek tertentu (Siegel dan Marconi, 1989). Kebanyakan auditor tidak berpengalaman dengan kecurangan dalam karier mereka (Montgomery et al., 2002; Pany dan Whittington, 2001). Mereka cenderung untuk merevisi kepercayaan mereka ke bawah terhadap kemungkinan terjadinya kecurangan karena mereka terbiasa melakukan audit tanpa kecurangan, dan menjadi kurang skeptis. Penelitian Shaub dan Lawrence (1999); dan penelitian Payne dan Ramsey (2005) juga mendukung pernyataan tersebut. Hasil penelitan mereka menunjukkan bahwa auditor yunior menunjukkan skeptisisme yang lebih besar baik dalam pemikiran maupun perilaku dibandingkan auditor senior. Jadi meskipun auditor sudah berpengalaman dalam audit tetapi apabila dia tidak pernah atau jarang sekali menemukan kecurangan maka lama kelamaan sikap skeptisismenya akan menurun. Oleh karena itu auditor dengan pengalaman yang lebih banyak justru menunjukkan skeptisisme profesional yang lebih rendah dibandingkan auditor dengan pengalaman yang kurang. Sebaliknya penelitian terdahulu dari Knapp dan Knapp (2001) yang menguji mengenai pengaruh pengalaman terhadap efektivitas auditor dalam menaksir risiko kecurangan dalam laporan keuangan dengan menggunakan prosedur Dr. Suzy Noviyanti, SE, MBA, Akt. analitis, membuktikan bahwa manager audit lebih efektif dibandingkan dengan auditor senior. Pada penelitian tersebut manager audit menaksir risiko kecurangan pada level yang lebih tinggi untuk laporan keuangan yang mengandung kecurangan dan menaksir risiko kecurangan pada level yang lebih rendah untuk laporan keuangan yang tidak mengandung kecurangan. Hal ini diduga disebabkan karena manager audit lebih skeptis dibanding dengan auditor senior. Hasil penelitian Moyes dan Hasan (1996) menyatakan bahwa pengalaman auditing dari auditor merupakan variabel yang signifikan dalam mendeteksi kecurangan untuk setiap siklus transaksi yang diteliti. Auditor yang lebih berpengalaman lebih cenderung dapat mendeteksi kecurangan dibandingkan dengan auditor yang kurang berpengalaman. Jadi pengalaman diekspektasikan berpengaruh positif terhadap skeptisisme profesional, auditor yang lebih berpengalaman lebih skeptis dibandingkan dengan auditor yang kurang berpengalaman. Hackenbrack (1993) menemukan bahwa terdapat perbedaan persepsi mengenai pentingnya indikator risiko kecurangan (red-flags) antara auditor yang mempunyai pengalaman dengan klien perusahaan besar dengan auditor yang mempunyai pengalaman dengan klien perusahaan kecil. Auditor yang mempunyai pengalaman dengan klien perusahaan besar biasanya auditor dari kantor akuntan publik yang besar, sedangkan auditor yang mempunyai pengalaman dengan klien perusahaan kecil adalah auditor dari kantor akuntan publik menengah atau kecil. Graham and Bedard (2003) meneliti mengenai pengaruh pengalaman audit terhadap identifikasi risiko kecurangan, penaksiran risiko kecurangan dan perencanaan audit. Penelitian ini menemukan bahwa manager/partner menaksir

MENINGKATKAN PERILAKU SKEPTIS AUDITOR

  risiko kecurangan yang lebih rendah dibandingkan dengan auditor senior, tetapi tidak ada perbedaan perencanaan audit antara manager/partner dengan auditor senior. Dalam mengidentifikasikan risiko kecurangan, auditor senior mengidentifikasikan faktor risiko yang lebih sedikit dibandingkan dengan manager/partner. Hasil ini menyatakan bahwa pengalaman auditor berasosiasi dengan identifikasi risiko kecurangan dan penaksiran risiko kecurangan, tetapi tidak berasosiasi dengan perencanaan pengujian audit untuk mendeteksi kecurangan. Jadi pengalaman auditor tidak mempengaruhi skeptisisme auditor dalam membuat perencanaan pengujian audit untuk mengevaluasi bukti audit meskipun auditor yang lebih berpengalaman menaksir risiko kecurangan yang lebih rendah.

  Penelitian-penelitian tersebut di atas menunjukkan hasil yang tidak konsisten, tetapi hipotesis dalam penelitian ini mendasarkan pada teori pembentukan sikap. Azwar (1988) menyebutkan bahwa diantara berbagai faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap adalah pengalaman pribadi. Seorang auditor akan bersikap lebih skeptis apabila dia mempunyai pengalaman yang lebih banyak.

  Pengaruh Gender terhadap Skeptisisme Profesional

Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengembangan Supervisi Pengawas Melalui Teknik Workshop untuk Meningkatkan Kompetensi Supervisi Kepala Sekolah

0 0 73

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Penggunaan Metode Bermain Peran dengan Media Kantin Sekolah untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa pada Mata Pelajaran IPS Kelas 3 SDN 02 Genengadal Pur

0 0 6

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Penggunaan Metode Bermain Peran dengan Media Kantin Sekolah untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa pada Mata Pelajaran IPS Kelas 3 SDN 02 Genengadal Purwodadi

0 0 20

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Penggunaan Metode Bermain Peran dengan Media Kantin Sekolah untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa pada Mata Pelajaran IPS Kelas 3 SDN 02 Genengadal Purwodadi

0 0 24

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Penggunaan Metode Bermain Peran dengan Media Kantin Sekolah untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa pada Mata Pelajaran IPS Kelas 3 SDN 02 Genengadal Purwodadi

0 0 12

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Penggunaan Metode Bermain Peran dengan Media Kantin Sekolah untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa pada Mata Pelajaran IPS Kelas 3 SDN 02 Genengadal Purwodadi

0 0 69

BAB II KAJIAN PUSTAKA - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Penerapan Model Project Based Learning (PBL) untuk Meningkatkan Hasil Belajar IPA pada Siswa Kelas IV SD Negeri Dukuh 01 Salatiga Tahun Ajaran 2017/2018

0 0 14

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Penerapan Model Project Based Learning (PBL) untuk Meningkatkan Hasil Belajar IPA pada Siswa Kelas IV SD Negeri Dukuh 01 Salatiga Tahun Ajaran 2

0 0 9

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Penerapan Model Project Based Learning (PBL) untuk Meningkatkan Hasil Belajar IPA pada Siswa Kelas IV SD Negeri Dukuh 01 Salatiga Tahun Ajaran 2017/2018

0 0 21

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Penerapan Model Project Based Learning (PBL) untuk Meningkatkan Hasil Belajar IPA pada Siswa Kelas IV SD Negeri Dukuh 01 Salatiga Tahun Ajaran 2017/2018

0 0 62