Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Penggunaan Metode Bermain Peran dengan Media Kantin Sekolah untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa pada Mata Pelajaran IPS Kelas 3 SDN 02 Genengadal Purwodadi

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1 Kajian Teori

2.1.1 Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS)

  Dalam menjalani kehidupannya, manusia tidak akan dapat dipisahkan dari kegiatan belajar. Belajar yang baik adalah belajar secara sungguh dan secara keseluruhan. Kegiatan belajar yang disertakan dalam proses pembelajaran akan lebih baik jika mendapatkan pengarahan secara sistematis. Pembelajaran adalah bantuan yang diberikan pendidik agar terjadi proses perolehan ilmu dan pengetahuan, penguasaan, kemahiran, dan tabiat, serta pembentukan sikap dan keyakinan pada peserta didik (Susanto, 2013: 19). Kemudian Sugandi (2006: 9) mendefinisikan pembelajaran sebagai cara guru memberikan kesempatan kepada si belajar untuk berfikir agar memahami apa yang dipelajari. Pembelajaran adalah suatu kegiatan yang dilakukan oleh guru sedemikian rupa, sehingga tingkah laku siswa berubah ke arah yang lebih baik (Darsono, dkk, 2000: 24). Dari beberapa pendapat menurut para ahli mengenai pembelajaran di atas, jelas bahwa dalam pembelajaran ada si belajar yang kita sebut dengan siswa dan si pengajar yang kita sebut dengan guru. Menurut penulis, keduanya mempunyai peran yang sangat berbeda namun mempunyai tujuan yang sama, yaitu untuk memperoleh ilmu dan pengetahuan. Karena tidak selamanya siswa selalu belajar dari guru, tetapi guru juga belajar dari siswa. Sebagai contoh, ada guru yang mempelajari cara pandang siswa, cara berpikir siswa dan sikap siswa yang berbeda-beda dalam satu kelas, yang tanpa disadari akan menambah pengetahuan guru juga. Dengan demikian, penulis menyimpulkan bahwa pembelajaran adalah cara guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk memperoleh ilmu dan pengetahuan, penguasaan, kemahiran, dan tabiat, serta pembentukan sikap dan keyakinan pada siswa, sehingga tingkah laku siswa berubah ke arah yang lebih baik. Ilmu pengetahuan sosial atau yang sering disingkat IPS merupakan salah satu cabang ilmu yang dipelajari sejak kita mengenal dunia dan tidak akan pernah dengan keseharian kita sehingga baik secara formal maupun informal kita akan tetap mempelajarinya. Seperti yang dikemukakan oleh Susanto (2013:141) dengan mempelajari IPS siswa mendapatkan bekal pengetahuan yang berharga dalam memahami dirinya sendiri dan orang lain dalam lingkungan masyarakat yang berbeda tempat maupun waktu, baik secara individu maupun secara kelompok untuk menemukan kepentingannya yang akhirnya dapat terbentuk suatu masyarakat yang baik dan harmonis. Dengan mempelajari IPS, siswa akan lebih mengetahui tentang dirinya dan dunia dimana mereka hidup. Maka dapat dikatakan, peranan IPS sangatlah penting untuk mendidik siswa mengembangkan diri mereka secara pengetahuan

  

(kognitif) , sikap (afektif) dan keterampilan (psikomotor) agar dapat mengambil

  peran aktif dalam kehidupan sebagai anggota masyarakat dan warga negara yang baik di masa depan.

  Men urut Sa’dun dan Hadi (2010:78) mata pelajaran IPS bertujuan agar siswa memiliki kemampuan sebagai berikut: 1.

  Mengenal konsep-konsep yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dan lingkungannya.

  2. Memiliki kemampuan dasar untuk berpikir logis dan kritis, rasa ingin tahu, inkuiri, memecahkan masalah, dan keterampilan dalam kehidupan sosial.

3. Memilki komitmen dan kesadaran terhadap nilai-nilai sosial dan kemanusiaan.

  4. Memilki kemampuan untuk dapat berkomunikasi, bekerjasama dan berkompetisi dalam masyarakat yang majemuk, di tingkat lokal, nasional dan global. Dari tujuan IPS di atas dapat kita pahami bahwa IPS adalah ilmu yang mengajarkan kita menjalani kehidupan sosial. Bisa kita lihat mengenal masyarakat dan lingkungan. Apabila manusia dapat bersosialisasi dengan masyarakat, maka dengan sendirinya manusia akan mengenal dan memahami konsep-konsep yang berkaitan dengan kehidupan sekitar, yakni masyarakat dan lingkungan. Oleh karena itu, mempelajari IPS sangat penting dikarenakan dalam menjalani kehidupan bermasyarakat, siswa diajarkan memiliki komitmen, kesadaran, berkomunikasi, bekerjasama dan berkompetisi dalam berbagai jenjang.

  2.1.2 Hakikat Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS)

  Ilmu pengetahuan sosial, yang sering disingkat dengan IPS adalah ilmu pengetahuan yang mengkaji berbagai disiplin ilmu sosial dan humaniora serta kegiatan dasar manusia yang dikemas secara ilmiah dalam rangka memberi wawasan dan pemahaman yang mendalam kepada peserta didik, khususnya di tingkat dasar dan menengah. Susanto (2013: 137) mengemukakan bahwa luasnya kajian IPS ini mencakup berbagai kehidupan sosial, ekonomi, psikologi, budaya, sejarah maupun politik, semuanya dipelajari dalam ilmu sosial. Ilmu Pengetahuan Sosial merupakan salah satu mata pelajaran pokok pada jenjang pendidikan dasar. Keberadaan siswa dengan status dan kondisi sosial yang berbeda-beda tentunya akan menghadapi masalah yang berbeda pula dalam perjalanan hidupnya. Oleh karena itu, pembelajaran IPS sangatlah penting karena materi-materi yang didapatkan siswa di sekolah dapat dikembangkan menjadi sesuatu yang lebih bermakna ketika siswa berada di lingkungan masyarakat, baik di masa sekarang ataupun di masa yang akan datang. Adapun ruang lingkup pembelajaran IPS di SD Menurut Gunawan (2011: 39) meliputi aspek-aspek sebagai berikut: a.

  Manusia, tempat dan lingkungan.

  b.

  Waktu, keberlanjutan dan perubahan.

  c.

  Sistem sosial dan budaya.

  d.

  Perilaku ekonomi dan kesejahteraan. Peranan pengajaran IPS di jenjang sekolah dasar sangat penting dan unik karena harus mendidik dan mempersiapkan para peserta didik agar dapat hidup di dunianya dan memahami dunianya dimana diperlukan kualitas personal dan kualitas sosial yang merupakan hal penting. Selain itu, IPS juga membina mental para siswa terhadap hak dirinya sendiri dan kewajiban kepada masyarakat, budaya, serta lingkungan itu sendiri.

  2.1.3 Model Pembelajaran Bermain Peran

  Model pembelajaran adalah suatu cara yang digunakan guru melaksanakan proses pembelajaran agar siswa dapat mencapai suatu kompetensi dasar dan model pembelajaran yang dipilih dalam rangka meningkatkan hasil belajar siswa adalah model pembelajaran bermain peran. Menurut Wahab (2009: 109) bermain peran adalah berakting sesuai dengan peran yang telah ditentukan terlebih dahulu untuk tujuan-tujuan tertentu. Kemudian Uno (2011: 26) menjelaskan bahwa model bermain peran sebagai suatu model pembelajaran bertujuan untuk membantu siswa menemukan makna diri (jati diri) di dunia sosial dan memecahkan dilema dengan bantuan kelompok. Aunurrahman (2011: 155) menuturkan mengenai model bermain peran bahwa: model bermain peran dirancang khususnya untuk membantu siswa mempelajari nilai- nilai sosial dan moral dan pencerminannya dalam perilaku, membantu para siswa mengumpulkan dan mengorganisasikan isu-isu moral dan sosial, mengembangkan empati terhadap orang lain, dan berupaya memperbaiki keterampilan sosial. Dari berbagai pendapat di atas yang masing-masing mengungkapkan pengertian mengenai bermain peran, pada dasarnya model bermain peran dapat digunakan dalam mempraktekkan suatu kejadian yang pernah dialami seseorang sehingga hikmahnya dapat diambil oleh siswa lain. Siswa diberikan kesempatan untuk terlibat secara aktif baik dalam bertindak, berlaku, maupun berbahasa seperti orang yang diperankannya sehingga siswa akan lebih memahami dan mengingat konsep, siswa akan memperoleh pengetahuan tentang orang dan motivasi yang menandai perilakunya, dan siswa dapat mempelajari nilai- nilai sosial yang ada di masyarakat lewat peran yang dilakukannya. Model bermain peran menuntut guru untuk mencari kekurangan peran yang diperagakan siswa, yang lebih ditekankan pada keterlibatan emosional dan pengamatan indera ke dalam suatu situasi masalah yang secara nyata dihadapi.

2.1.4 Langkah-Langkah Model Pembelajaran Bermain Peran

  Agar implementasi model pembelajaran bermain peran dapat berjalan secara berurutan dan sistematis, Djumingin (2011: 174) menyatakan bahwa sintak dari model pembelajaran ini adalah: Fase I : guru menyiapkan skenario pembelajaran

  Fase 3 : pembentukan kelompok siswa Fase 4 : penyampaian kompetensi Fase 5 : guru menunjuk siswa untuk melakonkan skenario yang telah dipelajari.

  Fase 6 : kelompok siswa membahas peran yang dilakukan oleh pelakon Fase 7 : presentasi hasil diskusi kelompok. Fase 8 : bimbingan penyimpulan Fase 9 : refleksi. Menurut penulis, sintak model pembelajaran merupakan suatu algoritma yang disusun dalam langkah-langkah yang sistematis guna tercapainya efektivitas suatu pembelajaran. Dari pemaparan sintak model pembelajaran bermain peran di atas, terdapat 9 fase yang harus dilalui agar pembelajaran dapat berlangsung secara efektif. Agar lebih sistematis, Djumingin juga menjelaskan langkah- langkah penerapan model bermain peran adalah sebagai berikut: berikut langkah- langkah sistematisnya: 1.

  Guru menyiapkan skenario yang akan ditampilkan; 2. Guru menunjuk beberapa siswa untuk mempelajari skenario yang sudah dipersiapkan dalam beberapa hari sebelum kegiatan belajar-mengajar;

  3. Guru membentuk kelompok siswa yang anggotanya lima orang; 4.

  Guru memberikan penjelasan tentang kompetensi yang ingin dicapai; 5. Guru memanggil para siswa yang sudah ditunjuk untuk melakonkan skenario yang sudah dipersiapkan;

  6. Setiap siswa berada di kelompoknya sambil mengamati skenario yang sedang diperagakan;

  7. Setelah selesai ditampilkan, setiap siswa diberikan lembar kerja untuk membahas penampilan kelompok masing-masing;

  8. Setiap kelompok menyampaikan hasil kesimpulannya; 9.

  Guru memberikan kesimpulan secara umum; 10.

  Evaluasi; 11. Penutup.

  Pembelajaran merupakan suatu proses hubungan yang terjadi antara guru, siswa dan sumber belajar. Pembelajaran yang baik dan efektif adalah pembelajaran yang dilakukan berdasarkan prosedur yang sesuai. Agar pembelajaran berlangsung secara interaktif, menyenangkan, dan memotivasi siswa untuk berperan aktif. Guru perlu menyiapkan sebuah RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran) yang disusun untuk setiap KD dan dilaksanakan dalam satu kali pertemuan atau lebih. Guru merancang RPP untuk setiap pertemuan yang disesuaikan dengan jadwal yang tersedia (Permendiknas No. 41 Tahun 2007).

  Sesuai dengan peraturan Permendiknas No. 41 Tahun 2007 bahwa pelaksanaan pembelajaran meliputi 3 tahapan yaitu pendahuluan, inti dan penutup.

  1. Pendahuluan Pendahuluan merupakan kegiatan awal dalam suatu pertemuan pembelajaran yang ditujukan untuk membangkitkan motivasi dan memfokuskan perhatian peserta didik untuk berpartisipasi aktif dalam proses pembelajaran.

  2. Inti Kegiatan inti merupakan proses pembelajaran untuk mencapai KD.

  Kegiatan ini dilakukan secara sistematis dan sistemik melalui proses eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi.

  3. Penutup Penutup merupakan kegiatan yang dilakukan untuk mengakhiri aktivitas pembelajaran yang dapat dilakukan dalam bentuk rangkuman atau kesimpulan, penilaian dan refleksi, umpan balik, dan tindak lanjut.

  Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar di kelas ada suatu pedoman yang harus dilakukan oleh guru, yaitu yang pertama kegiatan pendahuluan yang dilakukan guru untuk mempersiapkan siswanya dan memotivasi siswa agar dapat mengikuti pelajaran dengan baik. Kedua adalah kegiatan inti, dalam kegiatan inti guru melakukan kegiatan eksplorasi, elaborasi dan konfirmasi yang dilaksanakan secara interaktif. Ketiga adalah kegiatan penutup, biasanya dalam kegiatan penutup ini guru dan siswa menyimpulkan pembelajaran yang telah dilakukan serta memberikan umpan balik dan tindak lanjut untuk siswa. Model pembelajaran bermain peran dalam pelaksanaan pembelajaran mata

pelajaran IPS sesuai standar proses: A. Pendahuluan

  1) Membuka pelajaran dengan memberi salam. 2) Berdoa bersama sebelum memulai pelajaran dipimpin oleh ketua kelas. 3) Memeriksa kehadiran siswa. 4) Mengkondisikan peserta didik kedalam situasi belajar. 5) Melakukan apersepsi.

6) Memotivasi siswa dengan menyampaikan tujuan pembelajaran.

B. Kegiatan Inti Eksplorasi:

  7) Siswa dibagi menjadi kelompok secara heterogen. 8)

  Siswa menyimak pemaparan mengenai penerapan metode pembelajaran

  role playing (bermain peran) dalam proses pembelajaran yang akan dilaksanakan.

  Elaborasi:

  9) Siswa memperhatikan guru menjelaskan materi tentang jual beli. 10) Siswa memperhatikan guru menampilkan video tentang materi jual beli. 11)

  Siswa mempelajari teks percakapan tentang jual beli yang nantinya harus diperagakan oleh siswa. 12)

  Siswa berlatih melakukan jual beli dengan teks percakapan yang sudah dibagikan oleh guru 13)

  Siswa maju kedepan kelas mempraktikkan kegiatan jual beli dengan teks percakapan bersama dengan kelompoknya.

  Konfirmasi:

  14) Memberikan penguatan terhadap pengetahuan siswa. 15)

  Bertanya mengenai hal-hal yang belum dipahami oleh siswa mengenai materi pelajaran yang telah dijelaskan. 16)

  Mengonfirmasi jawaban siswa, dan meluruskan jawabannya apabila terdapat kesalahan konsep

C. Penutup

  17) Siswa dibimbing oleh guru dalam merumuskan kesimpulan dari materi yang telah dibelajarkan..

  18) Siswa diberikan kesempatan bertanya mengenai materi yang belum dipahami.

  19) Mengakhiri pelajaran dengan mengajak semua siswa berdo’a dan ditutup dengan salam.

2.1.5 Keunggulan dan Kelemahan Model Pembelajaran Bermain Peran

  Setelah mengetahui tentang langkah-langkah model pembelajaran bermain peran, perlu diketahui pula kelebihan dan kelemahan model pembelajaran tersebut. Menurut Sholihah (2014: 3) kelebihan model pembelajaran bermain peran adalah seperti berikut:

  1. Dapat berkesan dengan kuat dan tahan lama dalam ingatan siswa. Di samping merupakan pengalaman yang menyenangkan yang sangat sulit untuk dilupakan.

  2. Sangat menarik bagi siswa, sehingga memungkinkan kelas menjadi dinamis dan penuh antusias,

  3. Membangkitkan gairah dan semangat optimisme dalam diri siswa serta menumbuhkan rasa kebersamaan dan kesetiakawanan sosial yang tinggi, 4. Dapat menghayati peristiwa yang berlangsung dengan mudah, dan dapat memetik butir-butir hikmah yang terkandung di dalamnya dengan penghayatan siswa sendiri, 5. Dimungkinkan dapat meningkatkan kemampuan profesional siswa, dan dapat menumbuhkan/membuka kesempatan bagi lapangan kerja.

  Model ini dapat memudahkan siswa dalam hal mengingat. Dengan “melekatnya” kesan yang kuat dan tahan lama dalam “ingatan” siswa, maka siswa akan dengan mudah “memanggil” apa yang pernah disampaikan oleh guru. Hal tersebut dapat terjadi karena pengalaman yang didapat siswa pada saat mengalami pembelajaran dengan model ini sangat menyenangkan dan sulit untuk dilupakan.

  Kemudian, dalam prosesnya, model ini dapat “menumbuhkan” ketertarikan siswa terhadap materi pelajaran. Sebab, suasana kelas yang dinamis dan penuh antusiasme dari siswa akan “membangkitkan” gairah dan semangat para siswa, sehingga siswa dapat bersaing secara sehat tanpa harus melupakan nilai kesetiakawanan.

  Selain itu, model ini dapat juga menumbuhkan bakat yang terpendam dalam diri siswa. Sebagai contoh, siswa dengan kemampuan adegan atau berakting lebih dari pada teman-temannya akan terasah kemampuannya melalui model ini. Jika siswa mampu berlatih untuk menghayati suatu peran sejak dini, maka bukan tidak mungkin dewasa nanti kesempatan lapangan kerja sebagai artis akan terbuka.

  Selain kelebihan yang sudah di uraikan diatas, model pembelajaran model pembelajaran bermain peran juga memiliki kelemahan. Menurut Usman (2002: 51) kelemahan model ini adalah sebagai berikut: 1.

  Banyak menyita waktu atau jam pelajaran 2. Memerlukan persiapan yang teliti dan matang 3. Kadang-kadang siswa keberatan untuk melakukan peran yang diberikan karena alasan psikologis, seperti malu, atau peran yang diberikan kurang cocok dengan minatnya.

  4. bila dramatisasi gagal, siswa tidak dapat mengambil kesimpulan

  Kelemahan implementasi model pembelajaran ini terletak pada hal-hal yang bersifat teknis. Pelaksanaannya membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Selain itu, dibutuhkan persiapan yang teliti dan matang. Sebab, apabila dalam tahap persiapan tidak teliti dan matang, bisa jadi dalam kegiatan pembelajaran dramatisasi akan gagal dan akan berdampak kepada pemahaman siswa karena siswa tidak bisa menyimpulkan secara menyeluruh. Bagi anak yang mempunyai rasa percaya diri kurang akan enggan memerankan suatu tokoh karena merasa tidak merasa percaya diri dengan kemampuan yang dimilikinya. Peran guru sangat penting dalam menumbuhkan rasa percaya diri siswa. Dengan demikian penulis dapat menyimpulkan bahwa model ini mengharuskan keterampilan guru secara khusus.

2.1.6 Media Kantin Sekolah

  Kata “media” berasal dari bahasa latin dan merupakan bentuk jamak dari kata

  “medium”, yang secara harfiah berarti “perantara atau pengantar”. Menurut (Djamarah dan Zain, 2014: 121) media adalah alat bantu apa saja yang dapat dijadikan sebagai penyalur pesan guna mencapai tujuan pengajaran. Kemudian, Sukiman (2012: 29) menjelaskan pengertian media pembelajaran adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan dari pengirim ke penerima sehingga merangsang pikiran, perasaan, perhatian dan minat serta kemauan siswa sedemikian rupa sehingga proses pembelajaran terjadi dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran secara efektif. Menurut Suteki dan Karwanto (2014: 2) kantin merupakan pelayanan khusus yang menyediakan makanan dan minuman untuk para siswa dan staf sekolah lainnya, di suatu tempat yang biasanya merupakan bagian dari bangunan sekolah Dengan dihadirkannya media sebagai alat bantu pembelajaran akan sangat membantu siswa dalam memahami materi yang disampaikan dan guru juga akan lebih mudah dalam menyampaikan materi yang diajarkan karena penyajian materi menjadi lebih konkret dan jelas. Selain itu, adanya media pada saat proses pembelajaran berlangsung akan memberikan atmosfer baru bagi para siswa karena siswa tidak akan bosan pada saat mengikuti proses pembelajaran, sehingga tingkat perhatian dan minat siswa juga akan meningkat. Mengenai pengertian media dari beberapa tokoh di atas, penulis menyimpulkan bahwa media kantin sekolah yaitu alat bantu yang digunakan untuk menyampaikan materi pembelajaran yang berupa bangunan sekolah dan di dalamnya menyediakan makanan dan minuman untuk para siswa dan staf sekolah lainnya. Kantin sekolah sangat cocok digunakan sebagai media pembelajaran dalam penelitian ini. Hal tersebut dikarenakan materi pelajaran yang digunakan sebagai bahan kajian dalam penelitian ini adalah materi pelajaran IPS tentang jual beli. Dengan mengadakan kegiatan belajar mengajar di kantin sekolah, siswa akan benar-benar mengalami dan mengerti apa yang dimaksud dengan jual beli, bagaimana proses berjalannya jual beli serta bagaimana cara transaksi jual beli yang benar dan tepat. Perpaduan antara model pembelajaran bermain peran dengan media kantin sekolah akan melekatkan kesan yang kuat dan tahan lama dalam ingatan siswa. Dengan meminta siswa berperan sebagai penjual atau pembeli akan memberikan atmosfer tersendiri dalam kegiatan belajar mengajar sehingga siswa akan lebih aktif, antusias, dan bersemangat dalam mengikuti kegiatan belajar mengajar.

2.1.7 Hasil Belajar

  Hasil belajar merupakan penguasaan atas materi yang diberikan oleh guru selama proses pembelajaran berlangsung (Sudjana, 2008: 28). Slameto (2010: 2) menyatakan bahwa belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, belajar adalah perubahan yang terjadi pada individu setelah mengalami pembelajaran (Sudjana, 2005: 3). Dari definisi di atas menyiratkan maksud bahwa hasil belajar siswa diperoleh setelah siswa mengalami interaksi di dalam proses pembelajaran. Kemudian, hasil belajar yang baik adalah perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, baik itu perubahan yang berhubungan dengan pengetahuan, sikap dan keterampilan. Kesimpulannya, hasil belajar adalah penguasaan atas materi dan perubahan tingkah laku pada individu setelah mengalami proses pembelajaran. Penilaian hasil belajar sangat erat hubungannya dengan tujuan proses pembelajaran yang akan dicapai. Pada umumnya, tujuan pembelajaran mengikuti pengklasifikasian hasil belajar yang dilakukan oleh Bloom, yaitu ranah cognitive,

  

affective, dan psychomotor. Selanjutnya, Bloom dalam (Majid, 2014: 44-45)

  mengelompokkan kemampuan manusia ke dalam dua ranah (domain) utama, yaitu ranah kognitif dan ranah non kognitif. Ranah non kognitif dibedakan menjadi dua kelompok, yakni ranah afektif dan ranah psikomotor. Setiap ranah diklasifikasikan secara berjenjang dari yang sederhana sampai pada yang kompleks.

1. Ranah kognitif

  Ranah yang menekankan pada pengembangan kemampuan dan keterampilan intelektual. Ranah ini terdiri dari: a.

  Pengetahuan (knowledge), dalam jenjang ini seseorang dituntut dapat mengenal atau mengetahui adanya konsep.

  b.

  Pemahaman (comprehension), kemampuan ini menuntut siswa memahami atau mengerti atau mengerti apa yang diajarkan, mengetahui apa yang sedang dikomunikasikan dan dapat memanfaatkan isinya tanpa harus menghubungkannya dengan hal-hal lain.

  c.

  Penerapan (aplication), adalah jenjang kognitif yang menuntut kesanggupan menggunakan ide-ide umum, tata cara ataupun metode-metode, prinsip-prinsip, serta teori-teori dalam situasi baru dan konkret.

  d.

  Analasis (analysis), adalah tingkat kemampuan yang menuntut seseorang untuk dapat menguraikan suatu situasi atau keadaan tertentu ke dalam unsur-unsur atau komponen-komponen pembentuknya.

  e.

  Sintesis (synthesis), jenjang ini menuntut seseorang untuk dapat menghasilkan sesuatu yang baru dengan cara menggabungkan berbagai faktor. f.

  Evaluasi (evaluation), adalah jenjang yang menuntut seseorang untuk menilai suatu situasi, keadaan, pernyataan, atau konsep berdasarkan suatu kriteria tertentu. Dari pengklasifikasian hasil belajar menurut Bloom di atas, dapat dilihat bahwa aspek kognitf lebih mengacu kepada tingkat intelektual seseorang. Ranah kognitif terdiri dari 6 jenjang proses berpikir, dimluai dari proses berpikir terendah hingga paling tinggi. Ke 6 jenjang tersebut yakni pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesis dan evaluasi. Jenjang berpikir paling rendah dalam ranah kognitif yakni pengetahuan, sedangkan jenjang tertinggi dari ranah kognitif yaitu evaluasi.

  2. Ranah Afektif Ranah yang berkaitan dengan pengembangan perasaan, sikap, nilai dan emosi. Ranah ini terdiri dari: a.

  Menerima (receiving), mengacu pada kepekaan siswa terhadap eksistensi fenomena atau rangsangan tertentu.

  b.

  Menjawab (responding), siswa tidak hanya peka pada suatu fenomena, tetapi juga bereaksi terhadap salah satu cara.

  Penekanannya pada kemauan siswa untuk menjawab secara sukarela, membaca tanpa ditugaskan.

  c.

  Menilai (valuing), diharapkan siswa dapat menilai suatu objek, fenomena atau tingkah laku tertentu dengan cukup konsisten.

  d.

  Organisasi (organzation), tingkat ini berhubungan dengan menyatukan nilai-nilai yang berbeda, menyelesaikan atau memecahkan masalah, membentuk suatu sistem nilai. Berdasarkan paparan mengenai aspek ranah afektif, penulis berpendapat bahwa ranah ini lebih berkaitan dengan kebribadian atau perilaku sesorang. Hal itu dapat dilihat dari beberapa jenjang berpikir dari ranah ini yang sangat berhubungan dengan perilaku seseorang. Pada ranah ini, jenjang berpikir paling tinggi adalah organisasi dan jenjang terendah yakni menerima.

  3. Ranah Psikomotorik Ranah yang berkaitan dengan kegiatan-kegiatan atau keterampilan motorik. Kata-kata operasional untuk aspek psikomotor harus menunjuk pada aktualisasi kata-kata yang dapat diamati, yang meliputi: a.

  Muscular or motor skill; mempertontonkan gerak, menunjukkan hasil, melompat, menggerakkan dan menampilkan.

  b.

  Manipulations of materials or objects; mereparasi, menyusun, membersihkan, menggeser, memindahkan, dan membentuk. c. coordination; mengamati, menerapkan, Neuromuscular menghubungkan, menggandeng, memadukan, memasang, memotong, menarik, dan menggunakan.

  Ranah yang dijadikan dasar penilaian dalam penelitian ini adalah ranah kognitif, afektif dan psikomotorik. Untuk memperoleh hasil belajar kognitif dapat dilakukan dengan memberikan siswa soal evaluasi. Kemudian untuk memperoleh hasil belajar afektif, dapat didapat melalui lembar pengamatan sikap siswa selama kegiatan belajar mengajar dengan model bermain peran berlangsung. Kemudian yang terakhir, hasil belajar psikomotorik dapat diperoleh melalui lembar pengamatan. Adapun hasil belajar psikomotorik yang dilihat adalah pada aspek keterampilan siswa saat memerankan suatu tokoh.

2.1.8 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Hasil Belajar

  Hasil belajar yang diperoleh siswa dapat dipengaruhi beberapa faktor, menurut Slameto (2010: 54) pencapaian hasil belajar yang optimal dipengaruhi oleh banyak faktor yang akan diuraikan sebagai berikut: a.

  Faktor Intern Faktor intern adalah faktor yang mempengaruhi hasil belajar siswa yang berasal dari dalam diri siswa. Faktor intern meliputi tiga faktor yaitu faktor jasmaniah, faktor psikologis, dan faktor kelelahan.

  b.

  Faktor Ekstern Faktor ekstern adalah faktor yang mempengaruhi hasil belajar siswa yang berasal dari luar diri siswa, yaitu faktor keluarga, faktor sekolah, dan faktor masyarakat.

  Dengan demikian, faktor yang mempengaruhi hasil belajar dapat dibedakan menjadi dua yakni faktor internal dan eksternal. Faktor internal adalah faktor yang berasal dari dalam diri siswa, faktor ini meliputi: faktor jasmaniah, psikologis dan kelelahan. Sementara itu, faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari luar diri siswa, faktor eksternal meliputi: faktor keluarga, sekolah serta masyarakat. Beberapa yang meliputi faktor internal dan eksternal akan diuraikan sebagai berikut: a)

  Faktor Internal, meliputi: 1)

  Jasmaniah, meliputi kesehatan dan cacat tubuh. Artinya, sehat dalam keadaan baik dengan segenap bagian-bagian dari badan. Siswa yang dengan kondisi yang dialaminya. Selain itu, siswa akan mengantuk apabila mengikuti pelajaran karena biasanya siswa meminum obat yang memberikan efek samping mengantuk. Disamping itu, siswa yang mempunyai keterbatasan berupa cacat yang ada pada tubuhnya juga akan sulit memahami materi pelajaran. Misalnya, siswa yang mengalami gangguan pendengaran akan sulit untuk mendengar setiap penjelasan dari materi yang dijelaskan oleh guru. 2)

  Psikologis, meliputi: kecerdasan, minat, bakat dan motivasi. Artinya, siswa dengan tingkat kecerdasan yang lebih tinggi akan lebih cepat memahami materi pelajaran yang disampaikan oleh guru dari pada siswa yang mempunyai tingkat kecerdasan yang kurang. Selain itu, siswa yang menaruh minat yang tinggi pada suatu materi pelajaran akan merasa termotivasi untuk lebih rajin dalam belajar, sehingga pemahaman mengenai materi pelajaran yang diperoleh lebih meningkat dan akan meningkatkan hasil belajar yang diperoleh siswa tersebut. 3)

  Kelelahan, siswa yang belajar dengan terus menerus akan mengakibatkan otak mengalami kelelahan.

  b) Faktor Eksternal, meliputi;

  1) Keluarga, selain dididik di lingkungan sekolah siswa juga mendapat pendidikan dalam keluarga. Dalam hal ini peran orang tua sangat vital dalam mendidik anak, apabila anak dididik secara tidak benar kemungkinan yang terjadi adalah anak tersebut menjadi nakal. Selain itu, perhatian orang tua juga sangat dibutuhkan oleh anak, misalnya orang tua tidak pernah memberikan semangat kepada anak untuk belajar, hal tersebut akan menyebabkan anak menjadi malas belajar, mengerjakan PR dan berangkat sekolah

  2) Sekolah, siswa yang tidak pintar dalam memilih pergaulan dengan teman sekolah juga berpengaruh terhadap hasil belajarnya. Selain itu, kualitas pengajaran yang diterapkan sekolah akan berpengaruh terhadap hasil belajar siswa. Semakin berkualitasnya pengajaran yang digunakan sekolah,

3) Masyarakat, lingkungan sekitar juga berpengaruh terhadap siswa.

  Lingkungan masyarakat yang di dalamnya terdapat pemabuk, orang yang suka berjudi, dan tidak terpelajar akan memberikan pengaruh buruk terhadap siswa yang ada dalam lingkungan masyarakat tersebut. sebaliknya, lingkungan masyarakat yang terdiri dari orang-orang yang terpelajar, beriman, dan berperilaku baik akan memberikan pengaruh positif bagi siswa yang ada dalam lingkungan tersebut.

2.2 Kajian Penelitian yang Relevan Penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini adalah sebagai berikut.

  Wilujeng Kanti (2015) dengan judul Penerapan Metode Pembelajaran Bermain Peran Pada Mata Pelajaran IPS Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Kelas IIIB SDN Semboro 01 Kecamatan Semboro Kabupaten Jember. Penelitian terdahulu ini merupakan penelitian tindakan kelas (PTK) yang bertujuan untuk meningkatkan hasil belajar siswa kelas IIIB melalui penerapan metode bermain peran pada mata pelajaran IPS pokok bahasan jual beli di SDN Semboro 01.

  Subyek penelitian terdahulu ini yakni siswa kelas IIIB SDN Semboro

  01Kecamatan Semboro sebanyak 23 siswa yang terdiri dari 15 siswa laki-laki dan 8 siswa perempuan. Permasalahan yang ada pada siswa kelas IIIB SDN Semboro 01Kecamatan Semboro adalah hasil belajar IPS masih tergolong rendah. Solusi yang telah dilakukan untuk meningkatkan hasil belajar peserta didik pada pelajaran IPS siswa kelas IIIB SDN Semboro 01Kecamatan Semboro yaitu melalui implementasi pembelajaran dengan model bermain peran (role playing). Hasil penelitian terdahulu ini menunjukkan dan membuktikan bahwa implementasi model pembelajaran bermain peran dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan hasil belajar siswa pada siklus I dari jumlah 23 siswa terdapat 15 siswa yang mendapat skor ≥ 65, dan dikatakan tuntas secara klasikal mencapai 65,22 %. Pada siklus II terjadi peningkatan dari 23 siswa terdapat 21 siswa yang mendapat skor ≥ 65 dan dikatakan tuntas secara klasikal sebesar 91,30%. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pembelajaran IPS pelajaran IPS siswa kelas IIIB SDN Semboro 01 Kecamatan Semboro Kabupaten Jember. Iskandar Rossi (2015) dengan penelitian yang berjudul Peningkatan Hasil Belajar Siswa Melalui Teknik Bermain Peran Pada Mata Pelajaran IPS Pokok Bahasan Proklamasi Kemerdekaan. Subjek dalam penelitian ini adalah satu kelas yaitu kelas V MIN Maparah dengan jumlah peserta didik sebanyak 25 orang. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian terdahulu ini sama dengan penelitian terdahulu yang pernah dilakukan oleh Wilujeng Kanti (2015) yakni penelitian tindakan kelas (PTK). Perbedaan dalam penelitian terdahulu ini adalah penelitian ini dilaksanakan dalam 3 siklus. Permasalahan yang ada yaitu nilai siswa kelas V MIN Maparah pada pembelajaran IPS tidak mencapai standar Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM). Solusi yang digunakan untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah dengan menerapkan model pembelajaran bermain peran atau role play pada pembelajaran

  IPS siswa kelas V MIN Maparah. Hasil penelitian Iskandar menunjukkan peningkatan hasil belajar pada siswa kelas V MIN Maparah. Pada siklus I nilai rata rata siswa hanya mencapai 61.2 dengan nilai tertinggi 70 dan nilai terendah 50. Namun pada siklus II hasil belajar siswa mulai menunjukkan adanya peningkata. Pada siklus II nilai rata rata hasil belajar siswa 68 dengan nilai tertinggi 80 dan nilai terendah 60. Pada siklus III peningkatan hasil belajar siswa semakin mantap dengan nilai rata rata siswa mencapai angka 79.2 dengan nilai tertinggi 90 dan nilai terendah 70. Dengan demikian, peneliti menyimpulkan bahwa implementasi model pembelajaran bermain peran dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Nafida Nurul (2011) meneliti tentang Penerapan Model Pembelajaran Bermain Peran Untuk Meningkatkan Kualitas Pembelajaran IPS Pada Kelas VA SD Tambakaji 01. Subjek penelitian ini adalah siswa kelas VA SD Tambakaji 01 berjumlah 37 yang terdiri 26 siswa laki-laki dan 11 siswa perempuan. Penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas (PTK) menggunakan model pembelajaran bermain peran.

  Permasalahan yang terdapat dalam penelitian terdahulu ini adalah dalam mengajar guru menggunakan model pembelajaran yang kurang bervariasi serta kurang maksimal dalam menggunakan media, sehingga mengakibatkan siswa pasif dan kurang bersemangat mengikuti pembelajaran dan berdampak pada hasil belajar dibawah kriteria ketuntasan minimal (KKM). Untuk mengatasi permasalahan tersebut, Nafida mengimplementasikan model pembelajaran bermain peran. Hasil penelitian terdahulu ini juga menunjukkan dan membuktikan bahwa model pembelajaran bermain peran dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Hal tersebut dibuktikan dengan meningkatnya hasil belajar siswa kelas VA SD Tambakaji 01 pada setiap siklusnya. Perlu penulis jelaskan bahwa penelitian Nafida Nurul (2011) ini dilaksanakan dalam 3 siklus seperti penelitian yang dilakukan Iskandar Rossi (2015). Hasil belajar siswa menunjukkan persentase ketuntasan klasikal belajar siswa terjadi peningkatan dari siklus I sebesar 62,16%, siklus II sebesar 71,43%, dan pada siklus III meningkat menjadi 91,18%. Sholihah Fitriyah Ummi (2014) mengkaji tentang Penerapan Metode Bermain Peran Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Pada Materi PKn Sekolah Dasar. Subjek penelitian tindakan kelas (PTK) ini adalah siswa kelas V SDN Cangkring II Krembung Sidoarjo yang berjumlah 28 siswa dengan komposisi 16 siswa perempuan dan 12 siswa laki-laki. Latar belakang penelitian terdahulu ini adalah kurang aktifnya siswa dalam mengikuti pelajaran yang diberikan oleh guru, karena guru hanya menggunakan metode yang sama dalam setiap kegiatan belajar mengajar, tidak menggunakan media pembelajaran dan selalu menggunakan cara mengajar yang monoton sehingga membuat siswa jenuh, hilangnya komunikasi antar siswa dengan guru, siswa dengan siswa dan semua kegiatan terpusat pada guru. Hal tersebut membuat rendahnya hasil belajar siswa dan masih jauh dari Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) sebesar 65 khususnya pada mata pelajaran PKn materi pokok Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Solusi yang telah ditemukan untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah dengan cara menerapkan model

  Hasil penelitian terdahulu ini juga menunjukkan dan membuktikan bahwa implementasi model pembelajaran bermain peran dalam kegiatan belajar mengajar dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Pada hasil belajar siswa juga mengalami peningkatan dengan persentase pada siklus I sebesar 60,50%, pada siklus II sebesar 78,50% dan pada siklus III sebesar 96,42%. Dari beberapa penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini, penulis dapat menemukan beberapa perbedaan dan persamaan. Perbedaan yang paling mendasar adalah pada lokasi SD yang dijadikan sebagai bahan kajian dalam penelitian. Perbedaan yang lain diantaranya pada materi pelajaran. Jika pada penelitian Iskandar Rossi (2015) mengimplementasikan model pembelajaran bermain pada pokok bahasan proklamasi kemerdekaan, maka dalam penelitian penulis ini model pembelajaran bermain peran akan diimplementasikan pada pokok bahasan jual beli. Selain itu, perbedaan yang ada yakni pada materi pelajaran. Penelitian Sholihah Ftiriyah Ummi (2014) mengkaji tentang implementasi model bermain peran pada mata pelajaran PKn, sedangkan pada penelitian yang dilakukan penulis pada mata pelajaran IPS. Selanjutnya, dari beberapa penelitian di atas, hanya penelitian Nafida Nurul (2011) dan Sholihah Fitriyah Utami (2014) yang menjaring hasil belajar dari kognitif, afektif dan psikomotorik. Oleh karena itu, untuk memperkuat dan mendukung penelitian tentang implementasi model pembelajaran bermain peran untuk meningkatkan hasil belajar kognitif, afektif dan psikomotorik, peneliti akan melakukan penelitian yang sejenis dengan mengukur hasil belajar dari ranah kognitif, afektif dan psikomotorik. Berdasarkan fakta-fakta penelitian terdahulu yang relevan di atas, penulis dapat menemukan celah berupa tidak dimanfaatkannya media sebagai alat bantu belajar dalam rangka meningkatkan hasil belajar. Hal tersebut belum sesuai dengan apa yang tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Indonesia No. 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses. Dalam peraturan tersebut, tertuang bahwa dalam kegiatan eksplorasi guru harus menggunakan media pembelajaran dan sumber belajar lain. Untuk itu, peneliti memanfaatkan media menurut peneliti dengan dihadirkannya media sebagai alat bantu pembelajaran akan sangat membantu siswa dalam memahami materi yang disampaikan dan guru juga akan lebih mudah dalam menyampaikan materi yang diajarkan karena penyajian materi menjadi lebih konkret dan jelas. Artinya, pada saat siswa memainkan suatu peran akan diajak langsung ke lokasi kantin sekolah. Sebab, jika siswa langsung dihadapkan pada suasana rill dalam kantin maka kesan yang dilekatkan dalam ingatan siswa akan lebih kuat dan tahan lama. Selain itu, kelebihan dari penelitian ini adalah peneliti berusaha melakukan “harmonisasi” antara model pembelajaran bermain peran dengan media kantin sekolah. Sebab, materi pelajaran yang dijadikan bahan kajian dalam penelitian ini adalah jual beli sehingga sangat cocok untuk diimplementasikan dalam kegiatan belajar dan mengajarnya. Penelitian terdahulu yang telah penulis uraikan di atas walaupun berbeda dalam hal subyek penelitian maupun hasil tetapi masih berhubungan dengan penelitian ini, sehingga penelitian terdahulu di atas dapat mendukung penelitian ini.

2.3 Kerangka Berpikir

  Hasil observasi awal yang telah peneliti lakukan terhadap pembelajaran IPS siswa kelas 3 SDN Genengadal Purwodadi, menunjukkan beberapa fakta dimana guru masih menggunakan metode yang sifatnya masih konvensional untuk menyampaikan materi pelajaran sehingga siswa kurang memperhatikan ketika guru menerangkan, Tidak ada siswa yang bertanya mengenai materi pelajaran, bosan dan mengantuk serta kurang aktif dan antusias dalam mengikuti pelajaran. Kemudian hal tersebut menyebabkan hasil belajar siswa rendah dan banyak nilai siswa yang belum memenuhi KKM. Penulis menggunakan model pembelajaran bermain peran dengan media kantin sekolah karena kelebihan dari model ini adalah dapat menjadikan siswa berperan aktif dalam kegiatan pembelajaran. Selain itu, kesan yang dilekatkan pada siswa melalui model pembelajaran bermain peran dengan media kantin sekolah lebih kuat dan tahan lama dalam ingatan siswa. Dengan demikian, dalam

  “mengingat” sehingga siswa dapat memahami materi yang diajarkan oleh guru secara menyeluruh. Apabila siswa dapat memahami materi pelajaran secara menyeluruh, maka hasil belajar yang diperoleh siswa juga akan meningkat dan memenuhi KKM.

2.4 Hipotesis Tindakan

  Berdasarkan kajian teori dan kerangka berpikir di atas, maka hipotesis penelitian tindakan kelas dirumuskan sebagai di bawah ini:

  1. Diduga hasil belajar IPS siswa kelas 3 SDN Genengadal Purwodadi akan meningkat jika model pembelajaran bermain peran dengan media kantin sekolah diterapkan.

  2. Diduga langkah-langkah yang ada dalam model pembelajaran bermain peran dengan media kantin sekolah mampu memberikan kesan yang kuat dan tahan lama dalam ingatan siswa kelas 3 SDN Genengadal Purwodadi, kemudian hal tersebut dapat membantu siswa mengingat terhadap apa yang dipelajari sehingga hasil belajar yang diperoleh siswa lebih meningkat.

Dokumen yang terkait

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Kajian Teori - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Upaya Peningkatan Hasil Belajar IPA Melalui Pendekatan Inkuiri Berbantu Papan Inkuiri Siswa Kelas IV SD Kristen Ngampin Kecamatan Ambarawa Tahun Pelaja

0 1 19

3.1 Setting dan Karakteristik Subyek Penelitian - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Upaya Peningkatan Hasil Belajar IPA Melalui Pendekatan Inkuiri Berbantu Papan Inkuiri Siswa Kelas IV SD Kristen Ngampin Kecamatan Ambarawa Tahu

0 0 26

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Upaya Peningkatan Hasil Belajar IPA Melalui Pendekatan Inkuiri Berbantu Papan Inkuiri Siswa Kelas IV SD Kristen Ngampin Kecamatan Ambarawa Tahun Pelajaran 2017/2018

0 0 66

UPAYA PENINGKATAN HASIL BELAJAR IPA MELALUI PENDEKATAN INKUIRI BERBANTU PAPAN INKUIRI SISWA KELAS IV SD KRISTEN NGAMPIN KECAMATAN AMBARAWA TAHUN PELAJARAN 20172018 TUGAS AKHIR - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Upaya Peningkat

0 0 16

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Upaya Peningkatan Hasil Belajar IPA Melalui Pendekatan Inkuiri Berbantu Papan Inkuiri Siswa Kelas IV SD Kristen Ngampin Kecamatan Ambarawa Tahun Pelajaran 2017/2018

0 0 97

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peningkatan Hasil Belajar IPA dengan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Group Investigation (GI) Siswa Kelas V SDN Barukan 02 Kecamatan Tengaran

0 0 9

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peningkatan Hasil Belajar IPA dengan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Group Investigation (GI) Siswa Kelas V SDN Barukan 02 Kecamatan Tengaran

0 0 18

4.1.1. Pelaksanaan Penelitian 4.1.1.1. Pra siklus - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peningkatan Hasil Belajar IPA dengan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Group Investigation (GI) Siswa Kelas V SDN Barukan 02 Kecamatan Tenga

0 0 16

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peningkatan Hasil Belajar IPA dengan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Group Investigation (GI) Siswa Kelas V SDN Barukan 02 Kecamatan Tengaran

0 0 14

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Penggunaan Metode Bermain Peran dengan Media Kantin Sekolah untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa pada Mata Pelajaran IPS Kelas 3 SDN 02 Genengadal Pur

0 0 6