UNSUR UNSUR BUDAYA BATAK ANGKOLA DI DALA

UNSUR-UNSUR BUDAYA BATAK ANGKOLA DI DALAM NOVEL
“AZAB DAN SENGSARA” KARYA MERARI SIREGAR
Oleh : Hatijah (1451140003)
Bahasa dan Sastra Indonesia
Fakultas Bahasa dan Sastra
Universitas Negeri Makassar
2016
Abstrak
Tujuan Analisis unsur-unsur kebudayaan ini adalah untuk mengetahui beberapa
unsur kebudayaan terutama kebudayaan Batak Angkola yang terdapat di dalam isi
novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar. Penelitian ini berbentuk deskripsi
analisis isi novel berdasarkan unsur budaya yang terdapat di dalam isi cerita.
Objek penelitian ini adalah unsur budaya novel secara universal.
Sumber data diperoleh dari isi novel Azab dan Sengsara karya Merari
Seregar. Diterbitkan oleh PT. Balai Pustaka (Persero), dengan tebal 186 halaman,
terdiri 13 bagian. Teknik analisis menggunakan model analisis mengalir (1)
redupsi data, penyajian data, dan simpulan.
Hasil analisis disimpulkan bahwa di dalam novel Azab dan Sengsara
terdapat unsur-unsur kebudayaan dalam cerita seperti sistem organisasi sosial,
sistem mata pencaharian hidup, sistem peralatan hidup dan teknologi, religi,
sistem pengetahuan, dan bahasa.

Kata kunci: analisis, kebudayaan, novel Azab dan Sengsaran karya Merari
Siregar.

1. Pendahuluan
Karya sastra mengalir dari kenyataan-kenyataan hidup yang terdapat di
dalam masyarakat. Akan tetapi karya sastra bukan hanya mengungkapkan
kenyataan-kenyataan objektif itu saja, melainkan juga mencuatkan pandangan,
tafsiran, sikap, dan nilai-nilai kehidupan berdasarkan daya kreasi dan imajinasi
pengarangnya, serta kebenarannya dapat dipertanggungjawabkan. (Sugianto Mas,
2012: 9)
Karya sastra Merari Siregar (1896-1940) Azab dan Sengsara ini
merupakan roman pertama Indonesia yang diterbitkan Balai Pustaka pada tahun
1920, yang berisi tentang adat dan kawin paksa. Plot yang disusun oleh pengarang
melibatkan interaksi kehidupan anak laki-laki dan perempuan dari dua keluarga,
yaitu Baginda Diatas dan Sutan Baringin, kedua-duanya bangsawan kaya,
berlangsung di daerah Sipirok, padang dan Medan, sumatera Utara, dengan
berbagai konflik dan komplikasi tak putus-putusnya.
Beda status social, dominasi peramal, tipu muslihat, kecemburuan,
paksaan, siksa, penceraian dan diakhiri dengan ajal Mariamin, tokoh perempuan
muda bernasib malang.

Maka dari itu, penulisan analisis ini dimaksudkan untuk menganalisis
unsur-unsur kebudayaan yang ada pada novel agar sebuah novel tak hanya dibaca,
namun dapat difahami isi dan nilai-nilai budaya yang terkandung didalamnya,
supaya berguna bagi kehidupan, dan Novel yang menjadi bahan analisa saya
adalah novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar.
2. Kerangka Teori
2.1 Nilai-nilai Sosial dan Kebudayaan
Penerapan nilai-nilai social budaya dan kemajuan harus memiliki
konsistensi sejak tingkat individu atau keluarga, komunitas kecil hingga
kolektivitas bangsa. Jika penerapan nilai atau sejumlah nilai tidak konsisten
mengikuti tingkatan pelaku sosial, maka akan terjadi sejumlah distorsi terhadap
kemajuan bangsa. Bisa terjadi pada tingkat individu atau keluarga nilai kerja keras
berhasil

diterapkan,

namun

penerapan


nilai

empati

atau

rasa

malu

dikesampingkan. Secara individu atau keluarga seseorang bisa maju, namun
keberadaan seorang individu atau keluarga tersebut pada akhirnya justru
membahayakan keberadaan komunitas kecilnya atau bahkan bangsanya. Ini
sebagai salah satu atau bagian dari penerapan nilai ”kebinatangan ekonomi” yang
a-sosial (Tri, http://pse.litbang.pertanian.go.id).
Nilai-nilai sosial merupakan prinsip yang berlaku di suatu masyarakat
tentang apa yang baik, benar dan berharga yang seharusnya dimiliki atau dicapai
oleh masyarakat. Nilai-nilai itu berfungsi untuk membimbing seseorang dalam
melakukan sesuatu tindakan sehari-hari.
Geertz menganggap bahwa kebudayaan adalah jaringan-jaringan yang

dibangun oleh manusia untuk mencari makna. Jaring-jaring tersebut ditentukan
noleh manusia karena dalam hidupnya manusia penuh ekspresi dan isyarat-isyarat
yang harus ditafsirkan maknanya (Nuraeni dan Alfan, hal: 16).
Menurut Koentjaraningrat, kebudayaan wujudnya ada tiga. Pertama,
sebagai suatu kompleks ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan
sebagainya. Kedua, sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari
manusia dalam masyarakat. Ketiga, sebagai benda-benda hasil karya manusia
(Juanda, hal: 10).
Jadi, berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa nilai social di
dalam masyarakat tidak dapat dilepaskan dari budaya-budaya yang ada. Karena
dengan budaya manusia dapat menafsirkan akan makna kehidupan yang
sesungguhnya.
2.2 Unsur-unsur Kebudayaan
Dalam kajian tentang kebudayaan, semestinya dilihat unsure-unsur yang
masing berdiri sendiri, tetapi satu sama lainnya berkaitan dalam usaha untuk
pemenuhan kebutuhan manusia. Adapun unsure-unsur kebudayaan tersebut
adalah: (1) bahasa dan komunikasi; (2) ilmu pengetahuan; (3) teknologi; (4)
ekonomi; (5) organisasi social; (6) agama; (7) kesenian. (Nuraeni dan Alfan: 19).
Adapun ke tujuh unsur kebudayaan tersebut dapat kita temukan pada semua suku
dan bangsa di dunia.


3. Pembahasan
Dari hasil analisis novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar penulis dapat
menguraikan unsur kebudayaan yang terdapat di dalam novel tersebut. Adapun
hasil analisis ialah sebagai berikut :
3.1

Sistem organisasi sosial
Sistem kemasyarakatan yang dimaksud adalah

segala sesuatu yang

menyangkut tentang hubungan sosial kemasyarakatan seperti perkawinan, strata
social, dan kekeluargaan. Pada novel Azab dan Sengsara karya Marari Siregar
dapat dijumpai sistem kekerabatan yang di anut adalah

sistem kekerabatan

patrilineal, ini yang menjadi tulang punggung masyarakat Batak, yang terdiri atas
turunan-turunan, marga, dan kelompok-kelompok suku, semuanya saling

dihubungkan menurut garis laki-laki. Laki-laki itulah yang membentuk kelompok
kekerabatan, sedangkan perempuan menciptakan hubungan besan (affinal
relationship), karena ia harus kawin dengan laki-laki dari kelompok patrilineal
yang lain. Hal ini dapat dilihat pada kutipan:
“sebagamana diceritakan di atas Sutan Baringin itu beripar dengan Ayah
Aminu`din yang tinggalnya tiada berapa jauh dari Sipirok. Jalannya mereka
itu bertali, yakni ibu Aminu`din adik kandung Sutan Baringin. Jadi
Aminu`din memanggil Sutan Baringin tulang (artinya mamak) dan kepada
ibu Mariamin nantulang (artinya ina tulang=istri mamak). Menurut adat
orang dinegeri itu (batak) seharusnya bagi Aminu`din menyebut Mariamin
adik (anggi bahasa Batak) dan perkawinan antara anak dayang serupa ini
amat disukai orang tua kedua belah pihak. “Tali perkauman bertambah
kuat,” kata orang di kampung-kampung. Barangkali perkawinan yang
serupa itu, tiada biasa ditempat lain. “lain padang lain belalang, lain tanah
lain lembaganya,” kata pribahasa.”(Siregar: 27)
Dari kutipan di atas bahwa dalam system kekerabatan orang batak bahwa
seorang anak dari keluarganya dari kakak atau saudara ibunya dengan sebutan
tulang (mamak) dan istri dari pamannya dipanggil nantulang (istri mamak).
Sedangkan anak-anak dari mereka bisa memanggil adik atau pun kakak (anggi
dan angkang) sebagaimana yang dialami oleh Aminu`din dan Mariamin. Dalam

masyarakat Batak Angkola, Aminu`din memanggil Mariamin Boru Tulang (anak

perempuan dari audara laki-laki pihak ibu). Sedangkan Mariamin memanggil
Aminu`ddin Anak Namboru (anak laki-laki dari saudara perempuan ayah). Jika
terjadi perkawinan antara anak laki-laki dan perempuan saudara laki-laki dan
perempuan dimasyarakat Batak sangat disukai` oleh kedua belah pihak sebab
dianggap bahwa dapat memperkuat tali kekeluargaan. Dalam masyarakat Batak
Angkola yang menganut system, seorang Ayah memiliki otoritas yang besar
dalam menentukan calon pendamping bagi anaknya.
“benar perbuatan kami ini tiada sebagai permintaan Ananda, tetapi
janganlah anakku lupakan, kesenangan dan keselamatan anak itulah yang
dipikirkan oleh kami orang tuamu. Oleh sebab itu haruslah anak itu menurut
kehendak orangtuanya kalau ia hendak selamat di dunia. Itu pun harapan
bapak dan ibumu serta sekaliann kaum-kaum kita anakku akan menurut
permintaan kami, yakni ananda terimalah menantu Ayahanda yang kubawa
ini!” (Siregar: 151-152)
Dalam adat masyarakat orang Batak juga bebaslah orang muda laki-laki
datang

martandang


(mengungjungi)

perempuan-perempuan

muda

untuk

berkenalan. Adat ini memudahkan bagi laki-laki untuk mencari anak dari yang
setujuinya untuk dijadikan sebagai istri. Ini dapat dilihat pada kutipan di dalam
novel:
“…pada waktu mudaku, aku pernah menanggung rindu kepada orang yang
acapkali datang bertandang ke rumahku.” (Siregar: 74).
Masyarakat Batak juga dalam menentukan jodohnya tidak boleh mengambil
orang yang semarga dengan dia. Seumpama laki-laki marga siregar tidak boleh
menikahi perempuan marga siregar, meskipun mereka itu sudah jauh antaranya;
artinya hanya nenek-nenek moyang mereka yang hidup beratus tahun dahulu,
yang bersaudara. Mereka tersebut tidak boleh melangsungkan perkawinan karena
dilarang keras oleh adat mereka. Akan tetapi bagi marga Siregar boleh mengambil

perempuan dari marga harahap, meski pun hubungan keluarga diantara mereka
masih dekat. Missal sepupu sekali, atau senenek dengan dia. Artinya nenek si lakilaki dari pihak ibu, nenek perempuan dari pihak bapak.

“hanya margalah yang berlainan, sebenarnya mereka itu masih sedarah;
akan tetapi sebab pengaruh adat itu, perkawianan yang kedua ini dilazimkan
dan perkawinan yang pertama dilarang keras.”( Siregar:140).
Selanjutnya pada ikatan pernikahan masyarakat Batak sibisa mungkin
menghindari adanya penceraian karena ini dianggap sebagai hal yang dapat
merusak identitasnya. Hal ini dapat dilihat pada kutipan cerita:
“Dari pribahasa itu tahulah kita, bahwa perkawinan disana amat kukuhnya.
Perkara talak satu, dua, tiga, amatlah jarang kejadian. Kehinaan besar
dipandang orang kalau seorang laki-laki menceraikan binihnya. Perempuan
yang meminta talak itupun tiada berharga di mata orang; kawin kedua
kalinya amat susah bagi dia, karena orang berkata dalam
hatinya:”perempuan itu tidak baik, ia tidak setia kepada suaminya. Sudah
tentu orang tiada mau mengambil dia akan istri. Sepanjang adatpun amatlah
berat hukuman orang yang menceraikan kawan hidupnya itu.”(Siregar:76).
Dari kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa pada masa itu masyarakat
Batak juga dikenal akan kuatnya tali pernikahan, sehingga sangat jarang orang
yang ditemukan bercerai di dalam rumah tangganya. Selain menurut mereka

merupakan hal yang tidak baik juga karena itu dapat menanggung rasa malu besar
bagi pihak dan keluarga.
Kemudian pada gelar atau marga, Orang Batak masing-masing mempunyai
suku

(marga). Seorang anak yang baru lahir sudah memperoleh marga dari

bapaknya.
“marganya Siregar, dan bapaknya kepala kampung. Kupikir baik akan jadi
menantu kita. Baiklah aku pergi kesana. Sepanjang dugaanku anak itu
mungkin kita peroleh; tentang boli kita takkan mundur, jawab suaminya.”
( Siregar:139).
Menurut kebiasaan orang Batak pada novel Azab dan sengsara karya Merari
Siriger tersebut bahwa kebiasaan orang Batak yang mendiami Tapian na Uli,
adalah dua nama yang dipakai laki-laki. Satu nama diberikan pada waktu masih
muda, artinya sebelum ia menikah. Sesudah menikah orang itu pun mempunyai
nama yang ke dua. Inilah yang disebutkan gelar. Demikianlah juga si bapak
(Sutan Baringin) dalam novel ini, waktu masih muda ia dipaggil si Tohir, dan
Sutan Baringin sesudah beristri.


“Tentu mahal harganya kain ini. Rupanya tiadalah si Tongam melupakan
kita. Setiap tahun kita selalu menerima kirimannya…”(Siregar: 94)
Dari kutipan si Rongam merupakan nama kecil Baginda Mulia. Arti perkataan
itu:mulia (Bahasa Batak). Biasanya nama pertama itu acap kali bersamaan artinya
dengan gelar.
Sedangkan marga di dalam suku Batak ada bermacam-macam, misalnya di
Luhak Sepirok, Siregar dan Harahaplah yang paling banyak. Akan tetapi ada pula
beberapa di antaranya marga lain, seperti: pane, Pohan, Sibuan dan lain-lain.
Namun yang melatar belakangi adanya marga tersebut belum diketahui pasti. Bisa
jadi dahulunya marga Siregar, marga harahap, pohan dan lain-lain dulunya
bersaudara. Tidak ada yang tahu kepastiannya. Hal ini dapat dilihat pada kutipan:
“Tentang emas kawin di tanah Batak adalah suatu adat yang memberatka.
Emas kawin itu biasa disebut orang sere atau boli; adapun sere itu dibayar
oleh laki-laki kepada orang tua anak gadi, banyaknya dari 200 sampai 400
rupiah. Ini diambil jumlah pertengahan, karena ada juga yang kurang,
umpamanya 120 rupiah, ada pula yang lebih sampai 600 rupiah. Sere itu
boleh dibayar semua dengan uang semata, atau separu dengan kerbau atau
lembu.” (siregar, hal:141).
Selanjutnya mengenai hubungan social di dalam isi novel Azab dan
Sengsara ini juga dijelaskan bahwa: menurut adat orang Batak , orang yang
meminta ampun akan kesalahannya, harus membawa nasi ke rumah orang tempat
ia meminta ampun, supaya langkahnya berat (mendapatkan maaf dan tetap dapat
menjalin hubungan yang baik). Nasi itu biasa dibungkus dengan daun pisang, dan
dinamanya nasi bungkus.
“yaitu setelah sampai di Sipirok, ia dan istrinya harus membawa nasi
bungkus ke rumah ibu Mariamin meminta maaf, sebab Aminu`ddin telah
berjanji dengan Mariamnin akan kawin. Akan penutup perbuatan yang salah
itu, haruslah mereka memberikan seekor lembu dan kerbau kepada ibu
Mariamin.” (Siregar:155)
Terlihat dari kutipan di atas untuk tetap menjalin hubungan yang baik
terhadap orang lain yang telah dikecewakan, mereka harus meminta maaf dengan

memberikan nasi bungkus atau hal-hal yang menyenangkan kepada orang yang
ditempati memohon maaf tersebut agar tetap terjalin hubungan yang harmonis.
3.2

Sistem Mata Pencaharian Hidup
Berdasarkan analisis novel “Azab dan Sengsara”

karya Merari Siregar

bahwa sistem pencaharian hidup atau beberapa profesi yang dilakukan oleh
beberapa tokoh memiliki kekhasan tersendiri berdasarkan suku dan budayanya,
seperti pada umumnya yang juga kadang dijumpai pada masyarakat lainnya. Hal
ini dapat kita lihat pada beberapa aspek di antaranya sebagai berikut:
a. Pertanian dan peternakan
Salah satu sistem mata pencaharian hidup masyarakat yang tinggal di
perkampungan adalah bertani dan beternak. Sebagaimana yang yang dijelaskan di
dalam novel ini yang merupakan orang-orang yang tinggal di daerah Sipirok yang
dominan masyarakatnya bertani maupun beternak. Dapat dilihat pada kutipan:
“kiri-kanan jalan besar itu terbentang sawah yang luas, lebih baik dikatakan
jalan itu terbentang di tengah-tengah sawah yang luas. Padi yang sedang
hendak berbuah itu hijau daunnya sehingga lapangan yang luas itu seolaholah ditutup dengan beledu hijau yang lebar…”(Siregar:18).
“Ayah Aminu`din bolehlah dikatakan seorang kepala kampung yang
terkenal di Antero Luhak Sipirok. Harta bendanya amatlah banyaknya, dan
kerbau lembunya pun cukup di Padang Lawas, apalagi sawahnya
berlungguk-lungguk, sehingga harga padi yang dijualnya setiap tahun
berates-ratus
rupiah, mana
lagi
hasil
kebun kopi belum
terhitung….”(Siregar:18)
Dari kutipan di atas dapat kita cermati bahwa rata-rata penduduk di Batak itu
berprofesi sebagai petani dan peternak. Sebagaimana yang dilakukan oleh
keluarga tokoh utama, Aminu`ddin dan juga Mariamin.
Selanjutnya di dalam isi novel Azab dan Sengsara juga digambarkan bahwa
masyarakat yang tinggal di daerah Sipirok. Selain bertani mereka juga beternak.
Sebagaimana yang terdapat pada kutipan:
“bulan di muka ia datang, tiada lama lagi tepat sesudah padi di sawah di
sabit. Jadi pada waktu memangkur sawah ini, sudah tentu aku memintah
sawah bagiaannya. Kerbau yang di Padang Lawas itu sudah tentu akan
diselesaikan pula. Uangku, yaitu bagiannya yang kuhabiskan, haruslah pula
kubayar, karena tiada dapat disembunyikan lagi.” (Siregar: ‘90).

Berdasarkan kutipan di atas bahwa di dalam isi novel Azab dan Sengsara ini
masyarakat yang tinggal di daerah Sipirok yang merupakan sistem mata
pencaharian hidup masyarakata adalah bertani dan beternak.
b. Merantau ke Sumatra Barat (Medan) /Deli
Merantau adalah salah satu sistem pencaharian hidup yang dilakukan di
negeri orang. Sebab kadang kala dianggap bahwa mencari pekerjaan di negeri
orang lebih mudah

dari negeri sendiri sebab mungkin disana lapangan

pekerjaannya masih terbuka luas untuk profesi yang ditekuni. Sebagaimana yang
digambarkan dalam kutipan:
“waktu bapak Baginda Mulia masih muda, ia pergi merantau ke Deli,
karena pada zaman itu adalah kebilangan ke mana-mana, pekerjaan amat
mudah di Sumatra Timur itu. Orang yang pandai menulis tiada susah
beroleh gaji yang besar, dan pencarian pun amat mudah. Dengan jalan
berdagang, berjualan dan lain-lain banyaklah orang menjadi kaya, karena
pada waktu itu negeri Deli baru, kebun banyak dibuka dan pencarian amat
banyak, sedang anak negeri asli belum banyak yang bersekolah. Berates
orang muda dan tua yang merantau tiap-tiap tahun ke Sumatra Timur, bukan
dari Tapanuli saja, dari Minangkabau pun banyak juga.” (Siregar: 91)
Dari kutipan di atas digambarkan bahwa pada masa itu orang-orang dari
Sumatra utara (Sipirok) juga banyak yang pergi merantau ke Sumatra Timur
untuk mencari pekerjaan. Karena mereka beranggapan bahwa di Sumatra Timur
lapangan pekerjaan masih baru terbuka sehingga orang mudah mendapatkan
pekerjaan.
3.3 Sistem Peralatan Hidup dan teknologi
Dari analisis novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar ditemukan
beberapa unsur budaya yang merupakan sstem perlengkapan hidup dan teknologi
yang digunakan oleh tokoh-tokohnya. Pada masyarakat Batak telah mengenal dan
mempergunakan alat-alat sederhana yang dipergunakan untuk bercocok tanam
dalam kehidupannya. Seperti cangkul, bajak (tenggala dalam bahasa Karo), sabit
dan lain-lain. Hal ini dapat kita lihat pada kutipan cerita:

“Kakanda tiada tahu maksud Adinda? Melihat-lihat sawah mereka itu,
artinya menolong mereka itu mengerjakan sawah, karena kalau sawah
mereka tiada di Cangkul dan ditanami, apalah yang akan dimakan mereka
itu bertiga beranak? Sekarang orang sudah hamper menanam padi, akan
tetapi sawah mereka belum habis dicangkul.” (Siregar:23-24).
Selanjutnya mengenai peralatan hidup ini juga di jelaskan pada kutipan:
“bulan di muka ia datang, tiada lama lagi tepat sesudah padi di sawah di
sabit. Jadi pada waktu memangkur sawah ini, sudah tentu aku memintah
sawah bagiaannya.” ((Siregar, hal:90)
Dari beberapa kutipan di atas sebagaimana yang tergambar di dalam
masyarakat batak telah mengenal dan mempergunakan alat-alat sederhana yang
dipergunakan untuk bercocok tanam dalam kehidupannya. Seperti cangkul, bajak
(tenggala dalam bahasa Karo), sabit dan lain-lain.
Di dalam isi novel azab dan Sengsara ini juga dijelaskan bahwa di Sipirok
juga dikenal adanya Pasangrahan, yakni gudang besar, dulunya digunakan sebagai
tempat tinggal orang Belanda, karena disana tidak ada hotel seperti pada kota
besar. Dapat dilihat pada kutipan:
“Pada hari yang ditentukan dibukalah perkara Sutan Baringin dan Baginda
Mulia itu. Amatlah banyaknya orang yang datang hendak menyaksikan, dan
para pokrol bamboo pun datang dari segenap pihak. Adalah hal itu sebagai
kebiasaan penduduk orang Sipirok. Mungkindi negeri-negeri lain juga
begitu halnya. Bila tiada pekerjaan yang perlu, umpamanya habis menyabit
padi, datanglah mereka itu berkumpul-kumpul sekeliling pesanggrahan
Sipirok.” (Siregar, hal: 104).
Kutipan di atas menunjutkan bhawa pasangrahan ini merupakan
perlengkapan yang di negeri Sipirok tersebut

dipergunakan sebagai tempat

pesidangan, karena pada masa itu kantor pengadilan belum ada.
3.4

Sistem kepercayaan
Berdasarkan hasil dari analisis novel “Azab dan Sengsara” karya Merari

Siregar, di dalam rangakaian cerita terdapat beberapa sistem kepercayaan yang
dimilikinya. Misalnya pada agama, adat, dan kepercayaan terhadap seorang
dukun. Hal ini dapat kita lihat pada kutipan:

“suara orang adzan kedengaran pula dari menara mesjid besar, karena sudah
waktunya akan sembahyang isya. Kedua orang itu terkejut dan barulah
mereka ingat akan dirinya.” (Siregar: 6)
“Allah melindungi makhluknya,” suhut suara yang lain dalam hatinya.”
(Siregar: 9)
Dari kutipan tersebut menandakan bahwa agama yang dianut adalah agama
islam. Hal ini dikarenakan ada kata adzan, mesjid dan cara penyebutan Tuhan
(Allah) yang menjadi identitas agama islam.
Selanjutnya pada adat, di dalam novel ini ini memiliki kepercecayaan yang
tepegang oleh masyarakat. Terutama pada hal-hal yang tidak boleh dilanggar oleh
adat mereka. Sebagaimana yang tergambar pada kutipan:
“akan meluaskan sedikit dan akan mengetahui sedikit adat lembaga di tanah
Batak, baiklah diterangkan arti kalimat itu. Kalimat itu sebenarnya
pribahasa orang Batak, dan adalah kira-kira begini salinannya dalam bahasa
Indonesia. Dari pribahasa itu tahulah kita, bahwa perkawinan disana amat
kukuhnya. Perkara talak satu, dua, tiga, amatlah jarang kejadian. Kehinaan
besar dipandang orang kalau seorang laki-laki menceraikan binihnya.
Perempuan yang meminta talak itupun tiada berharga di mata orang; kawin
kedua kalinya amat susah bagi dia, karena orang berkata dalam
hatinya:”perempuan itu tidak baik, ia tidak setia kepada suaminya. Sudah
tentu orang tiada mau mengambil dia akan istri. Sepanjang adatpun amatlah
berat hukuman orang yang menceraikan kawan hidupnya itu.”(Siregar: 76)
Pada kutipan dijelaskan bahwa disana mereka sebisa mungkin menghindari
adanya penceraian di dalam rumah tangganya. Dikarenakan hal itu merupakan aib
bagi mereka dan keluarganya. Mereka percaya bahwa orang yang bercerai itu
tidaklah baik sifatnya sehingga untuk menikah kedua kalinya sangat sulit.
Sedangkan pada larangan pernikahan atau pernikahan yang tidak
diperbolehkan

dalam isi novel Azab dan Sengsara ini dijelaskan bahwa

masyarakat Batak memiliki kepercayaan di dalam adatnya bahwa orang yang
hendak menikah, tidak boleh mengambil orang yang semarga dengan dia. Karena
dianggap aturan-aturan adat yang telah dilakukan dalam masyarakat itu. Dapat
dilihat pada kutipan:
“maka barang saiapa yang hendak kawin, tiadalah boleh mengambil orang
yang semarga dengan dia. Umpamanya laki-laki marga siregar tiada boleh
mengambil perempuan marga Siregar, meskipun mereka itu sudah jauh
antaranya; artinya hanya nenek moyang mereka yang hidup mereka itu,

yang hidup berates tahun dahulu, yang bersaudara. Mereka itu tiada boleh
ambil-mengambil dalam perkawinan, karena dilarang keras oleh
adat.”(Siregar:139).
Selanjutnya kepercayaan terhadap dukun (Datu) dalam penentuan segala hal
termasuk jodoh merupakan suatu jalan bagi masyarakat disana apabila telah
mengalami suatu keragu-raguan dalam mengambil keputusan. Hal ini tergambar
dalam kutipan:
“kalau engkau mengerasi juga, baiklah. Akan tetapi baiklah kita berhati-hati,
karena mengambil jodoh anak itu tiada boleh dipermudah-mudahkan. Kamu
mengatakan Mariamnin juga yang baikn menantu kita; kalau demikian kita
pergi mendapatkan Datu Naserdung, akan bertanyakan untung dan rezeki
Aminu`ddin, bila beristrikan Mariamin. Datu itulah yang masyhur sekarang
fasal hal faal. Pekerjaan ini janganlah dilengahkan lagi. Kalu pertemuan
mereka itu tiada baik menurut faal, baiklah kita carikan yang
lain.”(Siregar:136)
Pada kutipan dijelaskan bahwa disana orang percaya akan masa (waktu).
Kalau hendak menjemput anak dara (gadis), lebih dahulu diperiksa hari dan
jamnya yang baik. Demikian juga kalau hendak membuat perjalanan, mendirikan
rumah, dan lain-lain. Dalam hal ini datulah yang menentukan. Akan tetapi
suaminya tiada bersetuju dengan maksud isrinya itu; untuk menolaknya ia tidak
dapat, karena ibu dan anak bersama-sama melawan dia. Setelah seminggu
lamanya, pada suatu malam ia berakata kepada istrinya.
3.5 Sistem pengetahuan
Di dalam novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar ada berapa sistem
pengetahuan yang dijumpai, seperti menganyam tikar dan beberapa pribahasa. Hal
ini dapat dilihat dari kutipan cerita:
“sedang anak itu makan, maka ibunya meneruskan pekerjaannya,
menganyam tikar. Meskipun ia dapat membeli tikar di pasar dengan uang
dua rupiah, tiadalah suka ia mengeluarkan uangnya, kalau tidak perlu. Benar
uang yang dua rupiah itu tiada seberapa, bila dibandingkan dengan
kekayaan mereka itu. Tetapi ia seorang perempuan dan ibu sejati. Bukanlah
orang yang meskin saja yang harus berhemat, orang yang berada pun patut
demikian.” (Siregar: 86).

Menganyam tikar merupakan suatu kerajinan yang biasanya dilakukan oleh
para perempuan-perempuan. Tikar ini biasanya dibuat dari daun pandang. Tikar
yang halus biasanya harganya jauh lebih mahal karena tikar ini sangat diperlukan
oleh masyarakat kampung di Batak. Biasnya digunakan untuk jamu (tamu)
sebagai tempat duduk.
Selanjutnya di dalam isi novel ini juga terdapat beberapa pribahasa yang
biasa digunakan oleh masyarakat untuk menarsirkan seuatu atau padanannya. Ada
pun beberapa pribahasa yang dipakai, antara lain:
-“Lain padang lain belalang, lain tanah lain lembaganya,” kata pribahasa.
(Siregar: 27).
Pada kutipan pribahasa terbut dimaksudkan ke dalam hubungan
kekeluargaan jika masih merupakan keluarga sangat dekat, tidak semua suku
membolehkan adanya pernikahan tersebut. Karena dianggap masih sedarah.
-“hanya berkaum di mulut,”( Siregar: 30)
Dalam kutipan pribahasa tersebut dimaksudkan

bahwa

terkadang

masyarakat yang hidup di pesisir atau negeri yang ramai tali persaudaraan sudah
tidak diindahkan lagi. Hanya namanya saja berkeluarga tetapi kurang keakraban di
antara mereka.
- “setinggi-tinggi batu melambung, surutnya ke tanah juga.” (Sirigar,
hal :92)
Hal ini ibaratkan melempar batu. Setinggi apa pun kita melemparkan batu
tersebut jatuhnya pasti di tanah juga. Dalam novel ini diceritakan bahwa bahwa
Baginda Mulia yang pergi merantau karena ingin memperbaiki nasib hidupnya
sebab ayahnya yang kurang beruntung kemudian ia kembali menapaki jejak
ayahnya dan beruntung, meskipun demikian ia tetap ingin kembali ke negerinya.
- “Dua cabang yang sepokok, kalau rapat bergesel juga; telur ayam yang
seraga itu bergesel juga, meskipun tiada berkaki tangan.” (Siregar, hal:93)

Dalam novel ini dijelaskan bahwa di muka bumi ini sering kali terjadi.
Bahwa terkadang hubungan keluarga dan saudara yang tinggal berjauhan itu lebih
keras cinta dan kasih sayangnya, dibandingkan orang yang tinggal bersama-sama
kerap kali menimbulkan perselisihan.
- “kalau payungku telah berkembang, tak pedulilah aku, bagaimana
sekalipun lebatnya hujan itu.” (Siregar: 95)
Hal ini dimaksudkan bahwa seseorang siap menghadapi masalah apapun
yang datang padanya. Seberat apapun itu masalah dia akan hadapi juga.
- “sarung yang bengkok dimakan pisau.” (Siregar: 104)
Pribahasa tersebut bahwa sekuat-kuat kita menyembunyikan kebusukan itu akan
ketahuan juga. Siapa yang benar dan siapa yang salah akan terlihat.
-

“yang menang menjadi bara, yang kala menjadi abu.”(Siregar: 105).
Siapa pun yang mengambil jalan perkara dalam menyelesaikan sebuah

pertikaian maka keduanya akan menanggung sebuah penyesalan. Sebab dalam
perkara itu hanya akan menimbulkan perseteruan semakin dalam antara kedua
bela pihak.
3.6 Sistem Bahasa
Berdasarkan hasil analisis novel Azab dan Sengsara, juga dengan membaca
reverensi lain. Orang Batak menggunakan beberapa bahasa, yaitu Karo dipakai
oleh orang Karo, Pakpak dipakai Pakpak, Simalungun dipakai Simalungun, Toba
dipakai orang Toba, Angkola dan Mandailing. Hal ini dapat kita lihat pada
kutipan:
“Kira-kira pada pertengahan Tapanuli (sebenarnya Tapian na Uli artinya
“Tepian yang elok”. Tepian yang indah itu didapati orang dulunya dekat
Sibolga; itulah sebabnya negeri atau keresidenan itu disebutkan Tapanuli;
nama itu asalnya tatkala dari pemerintahan kompeni). Disitulah letaknya
dataran tinggi atau luhak Sipirok, yakni pada Bukit Barisan yang membujur
sepanjang pulau Sumatra. Bentuk dataran tinggi itu kira-kia empat persegi.
Disebelah timur diwatasi dolok (gunung) Sipipisan, disebelah barat
Sibualbuali, gunung yang selalu memuntahkan asap karena berapi.

Simagomago berdiri agak disebela selatan, yang menjadi watas dengan
tanah Angkola. Simole.mole menceraikan dataran tinggi itu pada sebelah
utara dengan dataran tinggi Pangaribuan (Toba).” (Siregar: 3)
Pada kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa bahasa yang digunakan adalah
bahasa Toba. Karena dalam cerita dikatakan bahwa suku Batak yang menjadi
pokok dari isi cerita adalah Batak Angkola. Jadi sudah tentu bahasa yang
digunakannya pun bahasa Toba seperti yang digunakan oleh orang Toba dan
Mandailing.

KESIMPULAN
Ada beberapa unsur-unsur kebudayaan yang didapatkan pada novel Azab
dan Sengsara karya Merari Siregar seperti Sistem organisasi social, sistem mata
pencaharian, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem kepercayaan, system
religi, dan bahasa. Namun tetapi di dalam isi cerita tidak dijumpai adanya system
kesenian. Mungkin karena pengarang tidak menuliskan sebab di dalam isi novel
lebih mengarah kepada komplik yang berkepanjangan, sehingga benar bahwa
judul yang diambil adalah Azab dan Sengsara.
Adapun unsur-unsur kebudayaan dalam novel Azab dan Sengsara karya
Merari Siregar tersebut, antara lain: Sistem kemasyarakatan atau organisasi sosial
ini terdapat pada hubungan dalam kekeluargaan, perkawinan, dan interaksi social.
Pada mata pencaharian yang didapatkan di dalam isi novel adalah bertani,
beternak, dan merantau. Pada system peralatan dan perlengkapan hidup dijumpai
beberapa perlengkapan bertani dan alat-alat dalam rumah tangga, seperti, cangkul,
sabit, kursi, tikar dan lain-lain. Sedangkan pada system pengetahuan, mereka
mengenal cara membuat tikar dan beberapa pribahasa yang digunakannya. Pada
system kepercayaan, yaitu mereka menganut agama islam, terdapat beberapa
larangan yang tidak boleh dilanggar oleh adat serta kepercayaan kepada dukun.
Sedangkan pada system bahasa, yaitu Batak Angkola mengunakan bahasa Toba.
DAFTAR PUSTAKA

Juanda. 2015. Bahan Ajar Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Makassar: Universitas
Negeri Makassar.
Juanda. 2016. Sejarah Kebudayaan Indonesia. Makassar: Fakultas Bahasa dan
Sastra: UniversitasNegeri Makassar.
Nuraeni, Heny Gustini dan Alfan, Muhammad. 2012. Studi Budaya di Indonesia.
Bandung: CV Pustaka Setia.
Siregar, Merari. 1920. Azab dan Sengsara. Jakarta: PT Balai Pustaka (Persero)
Sugianto Mas, Aan. 2012. Langkah Awal Menuju Apresiasi Sastra. Kuningan.
Universitas Kuningan.
Pranadji, Tri. “Perspektif Pengembangan Nilai-nilai Sosial Budaya Bangsa”.
http://pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/ART02-4a.pdf, diakses 23
Desember 2016 pukul 13:04 Wita.

LAMPIRAN
Judul : Azab dan Sengsara
Karya : Merari Siregar
Mariamin adalah seorang gadis yang hidup dalam kemiskinan, ayahnya
telah meninggal dunia sejak masih kanak-kanak dan di besarkan oleh ibunya
bersama adiknya akan tetapi Aminu’ddin tak pernah mempermasalahkan
kemiskinan keluarga Mariamin, ia tetap menyayangi kekasihnya itu, bahkan ia
berniat menikahi Mariamin. Aminu’ddin menemui Mariamin dirumahnya untuk
berpamitan, ia akan bekerja di Medan demi mewujudkan cita-citanya untuk
menikahi kekasihnya itu. Meskipun Mariamin kecewa dengan keputusan
Aminu’ddin, dengan berat hati, ia harus mengikhlaskan kekasihnyanya pergi
untuk kebahagiaan mereka kelak, maka setelah Aminu’ddin bekerja di Medan, ia
mengutarakan niatnya untuk menikahi Mariamin kepada ibunda Mariamin, ayah
dan ibunya juga. Ibunda Mariamin tidak keberatan dengan niat Aminu’ddin,
apalagi ia merasa berhutang nyawa kepada kemenakannya itu, saat Mariamin
terjatuh ke sungai waktu Mariamin kecil, Aminu’ddin menyelamatkannya. Ibunda
Aminu’ddin

pun

menyetujui

niat

anaknya

menikahi

Mariamin.

Biar

bagaimanapun Mariamin masih keponakannya, dan pernikahan itu dapat
membantu kehidupan anak dari kakaknya tersebut.
Namun, Baginda Diatas, ayah Aminu’ddin memiliki pendapat berbeda
dengan istrinya, Pernikahan Aminu’ddin dengan Mariamin akan merendahkan
derajat serta martabat keluarganya, karena keluarga Mariamin hidup dalam
kemelaratan. Menurutnya, putranya lebih pantas menikahi keluarga kaya dan
terhormat. Namun ia tidak menyampaikan pendapatnya tersebut kepada istrinya.
Agar tidak menykiti hati istrinya, Baginda Diatas mengajak istrinya menemui
seorang dukun untuk mengetahui nasib anaknya jika menikah dengan Mariamin.
Pada masa itu, masyarakat masih menggantungkan nasibnya pada seorang dukun,
segala sesuatu ditanyakan kepada dukun, dan mereka mempercayainya. Tradisi
itulah yang dimanfaatkan Baginda Diatas untuk mengelabui istrinya.
Setelah kedatangan mereka ke dukun itu, Ibunda Aminu’ddin akhirnya
mempercayai juga perkataan dukun itu, meskipun ia kesal karena maksudnya
tidak sampai, karena ia sebenarnya menyetujui jika Aminu’ddin menikahi
Mariamin, kemudia ia menyetujui rencana suaminya untuk menjodohkan
Aminu’ddin dengan gadis lain yang sederajat dengan keluarganya. Bisa dikatakan,
kepercayaan kepada dukun itu menjadi salah satu sebab penderitaan yang harus
dialami Aminu’ddin, terutama Mariamin. Jika mengacu pada adat yang berlaku,
ayah Aminu’ddin tidak boleh menggagalkan hubungan anaknya dengan
Mariamin, bahkan harus menikahkan keduanya, agar tali persaudaraan mereka
semakin kuat. Namun karena persoalan material, Baginda Diatas tidak
menghiraukan adat tersebut, ia malah memilih menikahkan Aminu’ddin dengan
gadis kaya bermarga Siregar.
Aminu’ddin dan Mariamin berkawan sejak masih kecil, pertemanan yang
dibina sejak kecil itu, menumbuhkan perasaan cinta dalam diri Aminu’ddin dan
Mariamin, Mariamin merasa berhutang nyawa setelah ia ditolong oleh
Aminu’ddin ketika ia hampir hanyut di sungai. Dari situlah mereka mulai saling
menyayangi dan mencintai, padahal mereka masih berkerabat, karena Ibu
Aminu’ddin bersaudara dengan Ayah Mariamin. Kehidupan mereka amat
berbeda. Ayah Aminu’ddin, Baginda Diatas, seorang kepala kampung yang kaya

dan terhormat. Masyarakat Sipirok sangat segan dan menghormatinya. Sementara
Mariamin, hidup dalam kemelaratan bersama ibunya, karena ayahnya, Sutan
Baringin telah meninggal dunia.
Dahulu, sesungguhnya keluarga Mariamin kaya. Namun, semasa hidupnya,
Sutan Baringin terkenal boros dan serakah, ia suka berperkara dengan orang lain
mengenai harta. Sikapnya yang demkian sebenarnya adalah akibat dari pola asuh
di keluarganya. Saat kecil, orang tua Sutan Baringin begitu memanjakannya,
semua yang diinginkannya selalu dipenuhi, akibat kesalahan pola asuh itulah,
Sutan Baringin menjadi tidak baik budinya, ia keras kepala, tidak menghormati
orang lain, selain pemarah, bengis dan angkuh, ia loba, tamak, dengki dan khianat,
sikapnya itu sangat mendarah daging didirinya. Setelah Sutan Baringin
meninggal, Mariamin beserta ibu dan adiknya harus menanggung azab dan
sengsara akibat perbuatan Sutan Baringin.
Tanpa sepengetahuan Aminu’ddin, Baginda Diatas meminang seorang gadis
yang berasal dari bangsawan kaya. Melalui surat, Aminu’ddin diberitahu bahwa
calon istrinya akan segera dibaw ke Medan, tentu saja Aminu’ddin gembira
mendengar berita tersebut, sudah lama ia membayangkan akan menikah dengan
Mariamin. Namun ketika Aminu’ddin menjemput di stasiun, ternyata bukan
Mariamin yang datang bersama ayahnya, tapi seorang gadis lain bermarga
Siregar.
Meski kecewa karena yang dibawa ayahnya itu buka Mariamin, Aminu’ddin
tidak dapat menolak keinginan ayahnya. Ia mematuhi keinginan ayahnya bukan
karena tidak setia pada Mariamin, jika ia menolak menikahi gadis itu, keluarganya
akan mendapat malu. Belum pernah terjadi dalam adat mereka, seorang gadis
yang

telah

dijemput

dikembalikan

lagi

kepada

keluarganya.

Dengan

keterpaksaan , Aminu’ddin menikah dengan gadis pilihan ayahnya. Setelah
menikah, Aminu’ddin meminta kedua orang tuanya membawakan nasi bungkus
kepada ibu Mariamin sebagai permohonan maaf. Saat itulah Ayah Aminu’ddin
melihat prilaku Mariamin yang serba baik, dan wajah rupawannya yang jarang
ditemukan pada gadis-gadis lain. Mereka pun menyesal, namun harus bagaimana
lagi, nasi sudah menjadi bubur.

Tak lama setelah pernikahan Aminu’ddin, Mariamin menikah dengan
Kasibuan, lelaki pilihan ibunya, karena ibu Mariamin tidak ingin anaknya itu
terhanyut dalam cerita masa lalunya, lagipula tidak baik jika anak gadis yang
sudah cukup berumur untuk menikah tidak lekas menikah, Mariamin tidak dapat
menolak permintaan ibunya untuk menikah dengan lelaki yang bekerja sebagai
Kerani di Medan itu meskipun ia merasa bahwa pernikahannya ini akan membawa
petaka untuknya, dan memang benar tanpa Mariamin ketahui bahwa Kasibuan
telah memiliki istri di Medan, dan ia menceraikan istrinya itu untuk menikahi
Mariamin, perbuatan Kasibuan itu menjelaskan sifatnya yang tidak baik,
sebenarnya ibu Mariamin dan Mariamin sendiri pun belum terlalu mengenal
Kasibuan. Pernikahan paksa yang dialami Mariamin dengan Kasibuan pun
bersumber pada persoalan materi, ibu Mariamin berharap bahwa pernikahan itu
akan mengurangi penderitaan anaknya.
Setelah menikah, Kasibun membawa Mariamin ke Medan, ternyata
pernikahan mereka tidak seperti yang diharapkan ibu Mariamin, Kasibuan
menderita penyakit kelamin yang dapat menular. Oleh sebab itu, Mariamin selalu
menolak ketika suaminya itu mengajaknya berhubungan suami istri. Mariamin
sebenarnya tidak ingin membangkang pada suaminya itu, namun ia sebisa
mungkin menjaga dirinya agar tidak tertular penyakit yang diderita suaminya itu,
ia meminta Kasibuan menyembuhkan penyakitnya terlebih dahulu, barulah ia bisa
menurut permintaan suaminya itu.
Setelah mengetahui Mariamin telah menikah dan tinggal di Medan,
Aminu’ddin datang mengunjunginya, dan kebetulan Kasibuan tidak ada
dirumahnya. Namun kedatangan Aminu’ddin sampai ke telinga Kasibuan, ia
berfikir kalau Mariamin berbuat macam-macam dibelakangnya, karena Mariamin
tidak pernah menuruti permintaannya untuk berhubungan suami istri. Mariamin
pun berusaha menjelaskan bahwa kedatangan Aminu’ddin tak lan hanya untuk
mengunjunginya sebagai orang yang sama-sama tinggal di Sipirok, lagipula
mereka bersaudara. Namun Kasibuan tidak mempercayai penjelasan Mariamin
itu, kerena ia terlanjur dibakar cemburu, akhirnya ia tak segan untuk berbuat kasar

pada Mariamin. Setiap terjadi pertengkaran anatra mereka, Kasibuan selalu
menganiaya dan menyiksa Mariamin.
Karena tak kuat menerima siksaan suaminya, Mariamin berusaha keluar dari
rumah saat Kasibuan tak ada dirumah, ia pergi melaporkan tindakan suaminya itu
ke polisi. Perkara pun diperiksa, Kasibuan pun dipanggil ke kantor polisi untuk
pemeriksaan perkara tersebut, selama perkara belum putus, Mariamin pun disuruh
tinggal dirumah penghulu, karena tak ada satupun kenalannya di Medan,
hubungannya dengan Aminu’ddi pun sudah tak dekat lagi, karena Aminu’ddin
sudah menjadi suami orang.
Setelah perkara selesai, Kasibuan hanya harus membayar denda dua puluh
lima rupiah, dan perkawinan mereka diputuskan. Setelah bercerai dengan
Kasibuan, Mariamin kembali ke Sipirok membawa rasa malu, dan ia tak tahu
kemana ibu dan adiknya pergi, ia seorang diri kembali kerumah gubung
kemelaratannya. Perasaan malu tersebut membuatnya tertekan dan akhirnya ia
meninggalkan

dunia

membawa

semua

penderitaannya,

ia

mengakhiri

kesengsaraannya dibumi ini dengan beristirahat selama-lamanya dikuburannya
itu.