BAB III TINJAUAN UMUM TERHADAP HUKUM PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA A. Prinsip Perbankan Secara Syariah Tercantum Dalam Pancasila dan UUD 1945 - Pelaksanaan Bagi Hasil Perbankan Syariah Dalam Perspektif Hukum Perbankan Indonesia (Studi Pada Bank Sumut Sya

BAB III TINJAUAN UMUM TERHADAP HUKUM PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA A. Prinsip Perbankan Secara Syariah Tercantum Dalam Pancasila dan UUD 1945 Corak perbankan suatu negara sangat banyak dipengaruhi kondisi

  lingkungan, baik dari segi sosial budaya maupun segi alam dan sejarah perkembangannya. Demikian pula corak perbankan Indonesia mempunyai kekhasan yang membedakannya dengan perbankan di negara lain. Kekhasan ini banyak dipengaruhi oleh ideologi Pancasila, dan tujuan negara yang tercantum dalam UUD 1945 dan kemudian dijabarkan lagi dalam Garis-garis Besar Haluan Negara.

  Kekhasan yang terlihat jelas dalam kehidupan perbankan Indonesia

  

  diantaranya: 1.

  Perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian. Fungsi utamanya adalah sebagai penghimpun dan pengatur dana masyarakat, dan bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional ke arah peningkatan kesejahteraan rakyat banyak;

  2. Perbankan Indonesia sebagai sarana untuk memelihara kesinambungan pelaksanaan pembangunan nasional, juga guna mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, pelaksanaan perbankan Indonesia harus banyak memperhatikan keserasian, keselarasan, dan kesinambungan unsur-unsur Trilogi Pembangunan; 3. Perbankan Indonesia dalam menjalankan fungsi dan tanggung jawabnya kepada masyarakat tetap harus senantiasa bergerak cepat guna menghadapi tantangan-tantangan yang semakin luas dalam perkembangan 41 perekonomian nasional maupun internasional.

  Muhammad Syafi’i Antonio., Bank Syari’ah Wacana Ulama dan Cendekiawan, Bank Indonesia dan Tazkia Institute , Jakarta, 1999, hal. 14. Membicarakan masalah perbankan tidak mungkin terlepas dari pembicaraan tentang uang. Dalam Islam, uang dipandang semata-mata sebagai alat tukar, bukan suatu komoditi. Oleh karena itu, uang dalam konsepsi Islam tidak dapat mengahsilkan suatu apapun. Dengan demikian bunga atau riba pada

   uang yang dipinjam atau dipinjamkan adalah dilarang.

  Prinsip perbankan secara syariah Islam bersumber pada prinsip Islam tentang uang. Karena uang tidak dibenarkan menghasilkan pertambahan (riba), maka bank Islam (bank syariah) dalam kegiatannya tidak bertumpu pada bunga. Penghasilan bank didapat melalui investasi atas dasar bagi hasil dan pembiayaan perdagangan.

  Kedudukan bank dalam hubungan dengan para nasabahnya adalah sebagai mitra kerja investor dengan pengusaha, sedangkan dalam bank konvensinal hubungan bank dengan nasabahnya sebagai kreditur (pihak yang berpiutang)

   dengan debitur (pihak yang berutang).

  Oleh sebab itu, secara terperinci, prinsip syariah mengandung hal-hal

  

  berikut ini: 1.

  Dihadapi bersama antara bank dengan nasabah dengan prinsip keadilan dan kejujuran;

  2. Tindak mengenai kemungkinan terjadinya selisih negatif (negative spread) karena sistem yang digunakan;

3. Tindak bebas nilai; 4.

  Uang sebagai alat tukar bukan komoditi; 5. Bunga dalam berbagai bentuk dilarang; dan 6. Menggunakan prinsip bagi hasil dan keuntungan atas transaksi riil. 42 M. Abdul Mannan., Teori dan Praktek Ekonomi Islam, (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1972), hal. 162. 43 44 Ibid, hal. 164.

  Eko Hilman., Investamia, “Investor”, Edisi 156, tanggal 4-16 Oktober 2006, hal. 37. Berdasarkan prinsip di atas, maka terlihat prinsip perbankan yang dikelola syariah sangat berbeda dengan perbankan yang pengelolaannya secara konvensional.

B. Mudharabah dan Musharakah Dalam Wacana Fiqh Islam 1. Mudharabah Dalam Wacana Fiqh

  Mudharabah merupakan kontrak yang melibatkan antara dua kelompok,

  yaitu pemilik modal (investor) mempercayakan modalnya kepada pengelola (mudharib) untuk digunakan dalam aktivitas perdagangan. Mudharib dalam hal ini memberikan kontribusi pekerjaan, waktu dan mengelolah usahanya sesuai dengan ketentuan yang dicapai delam kontrak, salah satunya adalah untuk mencapai keuntungan (profit) yang dibagi antara pihak investor dan mudharib berdasarkan proporsi yang telah disetujui bersama. Namun apabila terjadi

   kerugian yang menanggung adalah pihak investor saja.

  Al-Qur’an tidak secara langsung menunjuk istilah mudharabah, melainkan melalui akar kata d-r-b yang diungkapkan sebayak lima puluh delapan kali. Dari beberapa kata inilah yang kamudian mengilhami konsep mudharabah, meskipun tidak dapat disangkal bahwa mudharabah merupakan sebuah perjanan jauh yang bertujuan bisnis. Nabi Muhammad dan para sahabat juga pernah menjalankan

   usaha kerjasama berdasarkan bisnis ini.

  45 Murasa Sarkaniputra., “Ruang Lingkup Ekonomi Syari’ah Tinjauan Teori dan Praktik

di Indonesia”, Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Reformulasi Sistem Ekonomi

Syari’ah dan Legislasi Nasional, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, di emarang, 6-8 Juni 2006, hal. 2. 46 Abdullah Saeed., Bank Islam dan Bunga, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hal. 91.

  Menurut Ibn Taiminyah, landasan legal yang membicarakan tentang

  

mudharabah berdasarkan bebeapa laporan dari sahabat Nabi Muhammad, akan

  tetapi hadits tersebut sanadnya tidak otentik sampai kepada Nabi. Sedangkan ibn Hazm mengatakan, “Bahwa tiap-tiap bagian piqh berdasarkan pada al-Qur’an dan sunnah kecuali mudharabah, dimana kita tidak menemukan dasar apapun

   tentangya.

  Sarakshi yang merupakan ulama mazhab Hanafi mengatakan, mudharabah diperbolehkan karena orang-orang membutuhkan kontrak ini. Adapun Ibn Rushd yang merupakan ulama mazhab memiliki, menghormatinya sebagai sebuah kesepakatan pribadi. Mudharabah tidak merujuk langsung pada al-Qur’an dan Sunnah, tetapi berdasarkan kebiasaan (tradisi) yang dipraktekkan oleh kaum mislimin, dan bentuk kerjasama perdagangan modal ini tampak langsung terus di sepanjang awal Islam sebagai instrumen utama yang mendukung para kafilah

   untuk mengembangkan jaringan perdagangannya secara luas.

  Mudharabah umumnya digunakan sebagai pendukung dalam memperluas

  jaringan perdagangan. Karena dengan menerangkan prinsip mudharabah, dapat dilakukan transaksi jual beli dalam ruang lingkup yang luas (perdagangan antar daerah) maupun antara pedagang di daerah tertentu. Para pengikut mazhab Maliki dan Syafi’i menegaskan bahwa mudharabah aslinya merupakan pendukung utama dalam memperluas jaringan perdagangan. Mereka menolak mudharabah yang

  47 48 Ibid., hal. 92.

  Ibid., diambil alih pengelolaannya, misalnya, aktifitas perusahaan yang pengelolaannya

   diserahkan kapada bagian agen.

  Dengan susunan organisasi demikian, pihak agen mempunyai tugas menangani segala mecam yang berhubungan dengan kontrak ini. Agen bertanggung jawab mengelolah usaha ini, menyangkut semua kerugian dan keuntungan yang diperoleh untuk diberikan kepada investor dan mudharib yang juga berhak terhadap pembagian keuntungan yang adil sesuai sengan pekerjaannya. Meskipun demikian para pengikut mazhab Hanafi memandang mudharabah sebagai bentuk koordinasi sebagai perdagangan, mereka membolehkan untuk mencampur modal investasi, berdasarkan ini para investor dapat mempercayakan sejumlah uangnya kepada agen untuk di kelolah dalam sistem investasi mudharabah dengan melalui perhitungan dalam bentuk pinjaman (loan), simpanan (deposit), dan ibda. Tujuan dari kordinasi demikian dimungkinkan untuk memperluas variasi dalam menentukan keuntungan dan resiko kerugian.

2. Musharakah Dalam Wacana Fiqh

  Musharakah atau kerjasama adalah bentuk kedua dari prinsi penerapan prinsip bagi hasil (PLS) yang dipraktekkan dalam sistem perbankan Islam.

  

Musharakah berasal dari akar kata sh-r-k yang digunakan dalam Al-Qur’an

  sebanyak 170 (seratus tujuh puluh) kali, meski tidak satu pun dari bentuk tersebut yang secara jelas menunjukkaan pengertian kerjasama dalam dunia bisnis. Meski demikian terdapat beberapa versi dalam Al-Qur’an dan juga beberapa keterangan 49 Ibid., hal. 93. dari Nabi Muhammad serta para sahabat dan ulama yang menyatakan keabsahan musharakah untuk dilaksanakan dalam dunia bisnis.

  Jadi, dalam fiqh, konsep musharakah digunakan dalam pengertian yang lebih luas daripada yang digunakan dalam konsep perbankan Islam.

C. Mudharabah Dalam Sistem Perbankan Islam

  Konsep mudharabah umumnya telah dioperasionalkan dalam sistem perbankan Islam di Timur Tengah dewasa ini. Kontrak semacam ini dalam bank Islam kebanyakan digunakan bertujuan untuk perdagangan jangka pendek dan jenis usaha tertentu. Kontrak tersebut memberikan wewenang terhadap segala macam yang menyangkut pembelian dan penjualan barang yang indikasinya untuk merealisasikan tujuan utama dari perdagangan yang berdasarkan pada kontrak.

  Dalam hal ini, posisi mudharib bertindak sebagai nasabah bank Islam untuk meminta pembiayaan usaha berdasarkan kontrak mudharabah. Mudharib menerima dukungan dana dari bank yang dengan dana tersebut, mudharib dapat mulai menjalankan usaha dengan membelanjakan dalam bentuk barang untuk

   dijual kepada pembeli, dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan.

  Sebelum pembiayaan tersebut disetujui, mudharib memberikan penjelasan terlebih dahulu kepada bank mengenai seluk-beluk usaha yang berkaitan dengan barang, sumber pembelanjaan, maupun seluruh biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh barang tersebut. Mudharib mengajukan sejumlah persyaratan

  

finansial yang memuat beberapa hal menyangkut ketentuan harga penjualan, arus

50 Ahmad Abdel Fattah El-Ashker., The Islamic Business Enterprise (Kent: Croom Helm, 1987), hal. 76.

  pembayaran, dan tingkat keuntungan yang akan diperoleh. Persyaratan tersebut akan dipelajari oleh pihak bank sebelum memutuskan menyetujui pembiayaan usaha tersebut. Bank umumnya akan menyetujui membiayai usaha tersebut jika

   tingkat keuntungan yang diharapkan cukup menjanjikan.

  1. Modal Mudharabah

  Bank Islam dalam melakukan kontrak mudharabah menetukan sejumlah modal yang dipinjamkan ke dalam usaha yang akan dijalankan. Umumnya dana yang diberikan dalam pembiayaan kontrak mudharabah tidak diberikan kontan, hal ini memungkinkan pihak bank senantiasa mengawasi dan mengelolah usaha tersebut. Karena dalam kontrak ini pembelanjaan barang dagangan telah ditemukan dan pihak bank secara langsung akan dapat menyusun pembiayaan kepada penjual (mudharib).

  Dana yang dipinjamkan oleh pihak bank yang dijadikan sebagai modal usaha tidak boleh diselewengkan mudharib dan tidak boleh digunakan untuk tujuan lain. Meskipun bank Islam mengluarkan pernyataan bahwa dana yang dipinjamkan melalui kontrak mudharabah tidak boleh digunakan untuk tujuan lain dari yang telah ditentukan dalam kontrak, namun tampaknya dalam praktek tidaklah banyak berarti.

  2. Manajemen Mudharabah

  Tugas mudharib dalam menjalankan pembiayaan kontrak mudharabah meliputi mengelolah dan mengatur pembelanjaan, penyimpanan, pemasaran, maupun penjualan barang dagangan. Mudharib menjamin dalam mengelolah 51 Ibid., hal. 77. barang tersebut sesuai denagan ketentuan yang telah disepakati dalam pembiayaan

  

mudharabah . Mudharib bertangggung jawab untuk menanggung segala kerugian

  yang disebabakan oleh kesalahannya sendiri yang menyimpang dari prosedur ketentuan kontrak. Pihak bank tidak menanggu kerugian yang disebabkan oleh kesalahan dari pihak mudharib tersebut. Mudharib harus menjaga barang tersebut dengen segala resikonya dan juga harus menyimpannya secara tepat. Singkatnaya, mudharib harus tunduk terhadap segala persyaratan yang telah ditentukan dalam kontrak yang berkaitan dengan pengelolaan usaha. Pelaksanaan tersebut umumnya diawasi oleh pihak bank.

3. Masa Berlakunya Kontrak Mudharabah

  Kontrak mudharabah umumnya digunakan untuk tujuan perdagangan jangka pendek yang dapat dengan mudah menentukan masa berlakunya dan ketentuan tersebut umumnya berlaku pada bank-bank Islam. Dengan mengetahui batas berakhirnya kontrak, tingkat keuntungan yang akan diperoleh dari pindajamn bank akan dapat dihitung dan diketahui hasilnya, di samping itu juga penting bagi pihak bank untuk mengakhiri pembiayaan mudharabah dan modal bank akan dikembalikan sesuai dengan batas waktu yang ditentukan dalam kontrak.

  Apabila terjadi perpanjangan masa berlakunya kontrak yang berjalan di luar kesepakatan di awal kontrak, maka segala resiko yang terjadi dalam kontrak menjadi tanggung jawab pihak bank, oleh karenanya pihak bank tidak diperbolehkan merubah tingkat rasio keuntungan yang disepakati sesuai dengan kontrak. Sebab tingkat rasio keuntungan berlaku tetap (constan) di seluruh masa kontrak mudharabah, sedangkan perpanjangan terhadap masa berlakunya berarti

   akan mengikis pengembalia modal yang dipinjamkan.

4. Jaminan Mudharabah

  Bank Islam mengambil inisiatif meminta jaminan untuk keyakinan bahwa modal yang dipinjamkan kepada nasabah (mudharib) diharapkan kembali kepada semula sesuai dengan ketentuan awal ketika berlangsungnya kontrak. Meskipun dalam hukum Islam dijelaskan bahwa investor tidak diperkenankan meminta

  

  jaminan (garansi) dari mudharib. Namun dalam bank Islam tetap meminta berbagai macama bentuk jaminan.

  Dalam perspektif perbankan Islam ini, jaminan (garansi) tersebut ditekankan kepada nasabah, adalah untuk menghindari hal mana jika terbuki suatu waktu mudharib atau nasabah tidak mempergunakan atau memanfaatkan dana atau tidak menjaga barang dagangan sebagaimana mestinya berdasarkan ketentuan persyaratan dari nvestor, dimana mudharib mengalami kerugian, maka jaminan yang diberikan tadi dijadikan sebagai ganti atas kerugian yang dialaminya. Dalam kasus tersebut mudharib bertanggung jawab atas kerugian yang terjadi oleh karenanya, jaminan jaminan yang disyaratkan dalam kontrak menjadi kompensasi pihak dari bank. Jika jaminan tersebut tidak cukup, maka

  

mudharib harus memberikan tambahan jaminan dalam jangka waktu yang

ditentukan.

  52 53 Abdullah Saeed., Op. cit, hal. 102.

  Ibnu Qudama., Al-Mughini, (Riyad: Maktabat Al-Riyad Al-Haditha, 1981), hal. 68.

5. Prinsip Bagi Hasil (Profit and Loss Sharing) Mudharabah

  Bank Islam dalam melaksanakan kontrak mudharabah membuat kesepakatan dengan nasabah (mudharib) mengenai tingkat perbandingan keuntungan (profit ratio) yang ditentukan dalam kontrak. Perbaningan keuntungan tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya, kesepakatan dari nasabah, prediksi keuntungan yang akan diperoleh, respon pasar, kemampuan memasarkan barang, dan juga masa berlakunya kontrak.

  Jika kontrak mudharabah ternyata tidak menghasilkan keuntungan, maka

  

mudharib selaku pengelola usaha tersebut tidak mendapatkan gaji dari

  pekerjaannya. Apabila terjadi kerugian, bank menanggung kerugian tersebut sepanjang tidak terbukti bahwa mudharib tidak menyelewengkan dana

  

mudharabah berdasarkan atas persyaratan kontrak yang telah disepakati dengan

investor . Namun jika terbukti akibat kecerobohan dari pihak mudharib, maka

mudharib yang berhak menanggung kerugian itu.

  Jelas kelihatan bahwa bahwa bank dapat turut menanggung setiap terjadinya kerugian, meskipun demikian tidak harus diterima begitu saja. Melalui segala macam pertimbangan, bank Islam hampir menghilangkan karakter ketidaktentuan hasil usaha yang melalui kontrak mudharabah. Pertimbangan resiko dalam bidang usaha ini sebagaimana yang diambil oleh bank Islam dapat diperkirakan dan diperhitungkan sebelumnya. Berdasarkan alasan, terkesan bhwa kontrak mudharabah yang dipraktekkan dalam bank Islam memiliki sedikit perbedaan dengan operasional bisnis beresiko rendah atau bisnis yang tidak berisiko.

  Membicarakan kontrak mudharabah sebagaimana yang dipraktekkan oleh bank Islam mengindikasikan bahwa kontrak tersebut digunakan untuk tujuan jenis perdagangan jangka waktu pendek (short term commercial) di mana hasil yang akan diperoleh dapat diprediksi kepastiannya. Di sini sebenarnya tidak terdapat keseimbangan perpindahan modal kepada mudharib untuk menjalankan bisnis secara bebas. Pihak bank memintak keterangan seara detail mengenai seluk-beluk yang berkaitan dengan penjualan barang. Setiap terjadi kekeliruan dari persyaratan kontrak akan membuat mudharib bertanggung jawab untuk menanggu kerugian yang dialaminya. Pihak bank menentukan masa berlakunya kontrak, juga memintak jaminan untuk memastikan pengembalian modal sesuai dengan waktu yang telah ditentukan, walaupun pihak bank tidak mengungkapkannya secara ekspisit.

  Jadi, dalam melaksanakan sistem bagi hasil, pihak bank bertanggung jawab menanggung seluruh kerugian, tetapi tidak demikian dalam prakteknya, karena seringkali pihak bank tidak mudah percaya atas kerugian yang dialami pihak mudharib. Dari sini dapat disimpulkan bahwa kontrak mudharabah yang dipraktekkan oleh bank Islam secara siknifikan berbeda dari kontrak mudharabah sebagaimana uumnya yang digambarkan dalam hukum Islam, atau yang digambarkan oleh para teoritikus perbankan Islam yang didambakan sebagai bentuk pembiayaan modal usaha atau sebagai pengembagan pembiayaan industri.

D. Musharakah Dalam SistemPerbankan Islam

  International Islamic Bank for Invertsment and Development (IIBID)

  menjelaskan bahwa musharakah merupakan salah satu cara pembiayaan yang terbaik yang memiliki bank-bank Islam. Prinsip ini dijalankan berdasarkan partisipasi antara pihak bank dengan pencari biaya (partner potensial) untuk diberikan dalam bentuk proyek usaha, dan partisipasi ini dijalankan berdasarkan sistem bagi hasil, baik dalam keuntungan (profit) maupun dalam kerugian (loss). Syarat-syarat yang berkenaan dengan kontrak musharakah didasarkan kesepakatan yang dibicarakan natara kedua belah pihak (bank dan partner). Umumnya, pihak bank menyerahkan modal usaha dan menyerahkan manajemen usaha tersebut kepada partner. Musharakah yang dipahami dalam bank Islam merupakan sebuah mekanisme kerja (akumulasi antara pekerja dan modal) yang memberikan manfaat kepada masyarakat luas dalam produksi barang maupun pelanyanan terhadap kebutuhan masyarakat. Kontrak musharakah dapat digunakan berbagai macam lapangan uasaha yang indikasinya bermuara untuk menghasilkan keuntungan

   (profit).

  Walaupun demikian beberapa konseptor perbankan Islam tanpaknya mengunakan pengertian musharakah sebagai partisipasi dalam investasi terhadap suatu usaha tertentu, yang dalam bank-bank Islam digunakan dalam pengertian yang lebih luas. Berdasarkan ini, musharakah dapat digunkan untuk tujuan investasi dalam jangka waktu pendek atau juga untuk partisipasi dalam waktu panjang. Adapun bentuk pembiayaan musharakah yang digunakan bank Islam 54 Abdullah Saeed., Op. cit, hal. 112. meliputi; musharakah untuk perdagangan (commercial musharakah), keikutsertaan untuk sementara (decreasing partisipation), keikutsertaan untuk selamanya (permanent partisipation).

1. Modal Musharakah

  Bank Islam umumnya memberikan bagian modal dari usaha musharakah dan nasabah (partner) memberikan lain-lainnya. Ketentuan perbandingan bagi (profit and loss sharing) dari hasil usaha tidak ditetapkan secara khusus. Tingkat perbandingan bagian bank dengan nasabah ditentukan menurut kesepakatan dan melalui pertimbangan besarnya pembiayaan modal yang diberikan oleh partner dalam usaha musharakah. Padahal pihak bank lebih mempu untuk membiayai usaha dengan persentasi modal yang lebih tinggi, tidak sama halnya dengan partner yang lebih sedikit dalam membiayai modal usaha. Meskipun bengitu, penentuan persentase berdasarkan pada keadaan (besarnya modal yang disertakan) yang sebenarnya.

  Kontrak musharakah berdasarkan pada syarat dan ketentuan yang jelas. Diantaranya adalah menyangkut bagian modal bank beserta hasil usaha yang diharapkan dalam kontrak diberikan oleh partner kepada bank sesuai dengan masa yang ditentukan. Atau sejumlah persyaratan tersebut dalam mengelolah usaha musharakah.

  Pihak partner menyediakan barang-barang musharakah di bawah pengawasan bersama (bank dan partner) dan tidak ada barang yang boleh dijual sampai harga jual dicantumkan dalam ketentuan musharakah. Pihak partner mengelolah kontrak musharakah dan menjual barang-barang berdasarkan pertimbangan yang terbaik. Barang-barang yang dijual berdasarkan persetujuan harga dari bank dan partner yang ditentukan bagian kontrak. Partner tidakdapat menjual barang-barang padda tingkat harga yang lebih rendah dari pada persetujuan yang telah ditetapkan dalam kontrak, kecuali kalau disertai persetujuan dari bank. Jika partner menjual barang usaha musharakah lebih rendah tanpa disertai perseujuan dari bank, maka dia harus mengganti kepada bank dengan selisihnya. Partner harus menjaga dan menyiapkan catatan-catatan akuntan dari usaha musharakah dengan disertai bukti yang relevan dan sah yang dapat diterima 2.

   Jaminan Musharakah

  Meskipun seluruh mazhab hukum tidak membolehkan meminta jaminan dari pihak patner sebagai kepercayaan, bank-bank Islam tetap mengharuskan

  

partner mereka untuk memberikan jaminan melindungi kepentingan bank dalam

kontrak musharakah.

  Pihak pertama (bank) mempunyai hak untuk meminta kepada pihak kedua apabila jaminan yang diberikan kepada pihak pertma atidak cukup. Ini dapat dilakukan seminggu setelah peringatan kepada pihak kedua tanpa keberatan atau penundaan.

  Berbagai bentuk jaminan yang diminta oleh bank-bank Islam dari partner

  

  mereka, jenis-jenisnya sebagai berikut: 1.

  Berupa cek yang diserahkan partenr kepada bank. Jumlah cek nilainya sama dengan investasi bank dalam kontrak musharakah. Bank tidak menggunakan cek tersebut kecuali kalau partner melakukan pelanggaran 55 dari persyaratan dalam kontrak; Ibid., hal. 119.

  2. Rekening dan tanda pembayaran dari penjualan barang-barang

  musharakah kepada pihak ketiga yang dilakukan berdasarkan pembayaran

  yang ditangguhkan, catatan tersebut harus disetorkan kepada bank; 3. Bank memiliki hak untuk meminta catatan saldo keuangan, dokumen atau surat-surat perdagangan milik partenr untuk disimpan oleh bank, jika

  partenr tidak dapat membayar bagian bank dari hasil usaha musharakah,

  bank dapat mengambilnya dari surat perdagangan yang disimpan di bank; 4. Bank menganggap dirinya sebagai pemilik barang-barang musaharakah mulai dari pembelian hingga penjualan barang-barang tersebut; dan

  5. Dalam kasus apabila barang-barang musharakah dijual kepada pihak ketiga dengan berdasarkan pada pembayaran yang ditangguhkan, pihak bank mempunyai hak untuk memintan partenr sebagai jaminan dan memberikan jaminan secara mutlak (kafala mutlaka) kepada partenr atas hutang yang diberikan kepada pihak ketiga. Kalau diteliti lebih lanjut, saat ini tampaknya bank-bank Islam menghindar dari berbagai problem yang akan menyebabkan kerugian. Hal ini cukup mengherankan, jika dalam merealisasikan kerjasama, sebagaimana dijelaskan dalam fiqh, bank mempunyai kebenaran moral untuk melepas semua tanggung jawab tersebut kepada partner.

3. Masa Berlakunya Kontrak Musharakah

  Kontrak musharakah dalam perdagangan kebanyakan dilakukan untuk jangka waktu pendek dan untuk tujuan khusus. Jika masa berlakunya kontrak ternyata kurang, maka dapat diperpanjang masa kontrak tersebut melalui persetujuan dari kedua belah pihak. Kontrak musharakah dapat diakhiri melalui persetujuan kedua belah pihak dengan catatan, bahwa pihak partner membayar kepada pihak bank semua tanggung jawab yang timbul dari pemberhentian kontrak.

  Bank dapat memintak mengakhiri kontrak musharakah jika bank memandang apabila kontrak tersebut tetap dilangsungkan akan sia-sia tanpa hasil atau pihak partner ketahuan melanggar ketentuan yang tertera dalam kontrak. Bank dapat melakukan ini dengan jalan tanpa melalui peringatan terlebih dahulu atau bersumber dari seperangkat aturan hukum yang mengatur pemberhentian

   kontrak tersebut.

  Jadi, bank Islam perlu merealisasikan pentingnya pertimbangan menghargai waktu dan mendesak dalam melaksanakan musharakah, dimana

  partner diwajibkan untuk membayar bagian keuntungan bank beserta modal usaha

  berdasarkan pada data yang ditentukan dalam kontrak. Apabila terjadi keterlambatan pembayaran, maka bagian keuntungan partner yang diperbolehkan sebagai ongkos pengelolaan usaha kemungkinan dapat dipotong atau dikurangi. Namun jika partner membayar jumlah tanggungannya sebelum masanya, maka bagian keuntungan yang memiliki partner sebagai ongkos dari pengelolaan usaha musharakah kemungkinan dapat ditambah.

4. Prinsip Bagi Hasil (Profit and Loss Sharing) Musharakah

  Bank-bank umumnya tidak sama dalam menjalankan bagi hasil (profit and

  

loss sharing ) dari proyek usaha mereka yang berdasarkan pada pembiayaan

  kontrak musharakah. Prinsip bagi hasil secara luas dilaksanakan tergantung pada peranan partner dalam mengelolah proyek usaha musharakah, konstribusi modal diberikan dari kedua belah pihak yaitu partner dan bank. Apabila dari pembiayaan

  

musharakah untuk tujuan perdagangan misalnya menawarkan pembagian

  keuntungan musharakah sebagai berikut: (a) menentukan tingkat persentase partner berdasarkan usaha-usahanya dalam pembelian, penjualan, penyimpanan, dan seluruh tangguhan yang berkaitan dengan musharakah, (b) menentukan 56 Ibid., hal.121. tingkat persentase bagi bank berdasarkan pengawasan dan manajemenya terdapat proyek musharakah, (c) menurut tingkat persentase keuntungan yang akan diterima kedua belah pihak berdasarkan ratio perbandingan konstribusi modal

   yang disertakan dalam kontrak musharakah.

  Jordan Islamic Bank (JIB) dalam membagi tingkat persentse keuntungan tidak mempertimbangkan bagian persentase dari segi manajemen. Hanya menuntukan dari keuntungan bersih yang akan dibagikan antara bank dan partner berdasarkan persetujuan bersama yang dilakukan dalam kontrak musharakah.

  Bank Mesir menentukan bagian tingkat persentase keuntungan berdasarkan pertimbangan sebagai berikut: (a) tingkat persentase yang diterima bank berdasarkan pada pelanyanan perbankannya, (b) tingkat persentase ynag diterima partner ditentukan berdasarkan berdasarkan barang-barang dan manajemennya.

  Persentase saldo usaha akan dialokasikan kepada bank dan partner.

  Pelanggaran pihak partner terhadap ketentuan kontrak, maka kerugian tersebut dapat dibagi antara kedua belah pihak menurut tingkat persentse modal yang disertakan pada kontrak. Sebaliknya apabila kerugian tersebut akibat dari kelalaian, kesalahan manajemen, atau pelanggaran pihak partner terhadap ketentuan kontrak, maka partner harus bertanggung jawab atas semua kerugian tersebut.

  Pembicaraan di atas menunjukkan bahwa musharakah yang digunakan dalam bank Islam bentuknya bervariasi, bank Islam tampaknya cenderung dominan menggunakan bentuk musharakah dalam perdagangan untuk jangka 57 Ibid., hal. 122. waktu pendek, meskipu bentuk lainnya tetap dipergunakan. Dalam pembiayaan

  

musharakah , kontribusi modalnya berasal dari bank dan partner. Pihak bank

  mengawasi bagaimana usaha musharakah dijalankan, hingga bank memastikan menerima pengembalian investasi awal yang diberikan beserta keuntungan yang diperoleh. Bank juga memintak berbagai macam garansi yang dijadikan untuk melindungi kepentinganya dalam usaha tersebut, dan dengan garansi ini kelihatanya bank berusaha melempar segala resiko usaha musharakah kepada partner . Bank juga menentukan batas waktu bagi berlakunya kontrak musharakh.

  Di sini tidak ada keseragaman di antara bank-bank Islam dan menjalankan metode bagi hasil (profit and loss sharing). Walaupun metode bermacam-macam, namun esensinya sama.

E. Prinsip-Prinsip Bank Islam Dalam Perspektif Syariah

  Visi perbankan Islam umumnya adalah menjadi wadah terpercaya bagi masyarakat yang ingin melakukan investasi dengan sistem bagi hasil secara adil sesuai dengan prinsip syariah.

  Dengan visi misi tersebut, maka setiap lembaga keuangan yang

  

  berdasarkan syariah akan menerapkan prinsip-prinsip syariah berikut ini: 1.

  Menjauhkan diri kemungkinan adanya unsur riba. Dapat dilakukan seperti: a.

  Penggunaan sistem yang menetapkan di muka suatu hasil usaha, seperti penetapan bunga simpanan atau bunga pinjaman yang dilakukan pada bank konvensional. Dasarnya karena dalam hukum Islam, ”Hanya Allah SWT sajalah yang mengetahui apa yang akan terjadi esok”; b. Menghindari penggunaan sistem persentase biaya terhadap utang atau 58 imbalan terhadap simpanan yang mengandung unsur melipatgandakan

  Wirdyaningsih, dkk., Bank dan Asuransi Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media bekerjasama Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hal. 15. secara otomatis utang atau simpanan tersebut hanya karena berjalannya waktu, karena Allah SWT melarang memakan riba berlipat ganda; c.

  Menghindari penggunaan sistem perdagangan atau penyewaan barang

  ribawi dengan imbalan barang ribawi lainnya Ibarang yang sama dan

  sejenis, seperti uang rupiah dengan uang rupiah yang masih berlaku) dengan memperoleh kelebihan baik kuantitas maupun kualitas. Karena dasar hukumnya dalam syariah Islam adalah, ”Memperdagangkan atau menyewakan barang ribawidengan imbalan barang yang sama dan sejenis dalam jumlah atau kualitas yang lebih adalah hukumnya riba”; dan d. Menghindari penggunaan sistem yang menetapkan di muka tambahan atas utang yang bukan atas prakarsa yang mempunyai utang secara sukarela, seperti penetapan bunga pada bank konvensional. Karena hal ini telah ditetapkan dalam Al-Hadits Shahih yang intinya adalah, ”Membayar utang dengan lebih baik (yaitu diberi tambahan) seperti yang dicontohkan dalam

  Al-Hadits , harus atas dasar sukarela dan prakarsanya harus datang dari

  yang punya utang pada saat jatuh tempo yang telah ditentukan sebelumnya.

2. Menerapkan prinsip bagi hasil dan jual beli. Mengacu kepada petunjuk dalam

  

Al-Qur’an , QS. Al-Baqarah (2): 275 dan Surat An-Nisa’ (4): 29 yang intinya

  bahwa, “Allah SWT telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba serta suruhan untuk menempuh jalan perniagaan dengan suka sama suka, maka setiap transaksi kelembagaan ekonomi Islam harus selalu dilandasi atas dasar sistem bagi hasil dan perdagangan atau yang transaksinya didasari oleh adanya pertukaran antara uang dengan barang atau jasa. Akibatnya, pada kegiatan muamalah berlaku prinsip, “Adanya barang atau jasa dulu baru ada uang”, sehingg ada mendorong prduksi barang atau jasa, mendorong kelancaran arus barang atau jasa, dapat menghindari adanya penyalahgunaan kredit, spekulasi, dan inflasi.

  Dalam operasinya, pada sisi pengerahan dana masyarakat, lembaga ekonomi Islam menyediakan sarana investasi bagi penyimpan dana dengan sistem bagi hasil, dan pada sisi penyaluran dana masyarakat disediakan fasilitas pembiayaan investasi dengan sistem bagi hasil serta pembiayaan perdagangan.

  Investasi bagi penyimpan dana berarti nasabah yang menyimpan dananya pada bank (tabungan mudharabah atau simpanan mudharabah) dianggap sebagai penyediaan dana (rabbul mal) akan memperoleh hak bagi hasil dari usaha bank sebagai pengelola dana (mudharib) yang bersifat hasilnya tidak tetap dan tidak pasti sesuai dengan besar kecilnya hasil usaha bank. Bagi hasil yang diterima penyimpan dana biasanya dihitung sesuai dengan lamanya dana tersebut mengendap dan dikelola oleh bank, bisa satu tahun, satu bulan, satu minggu, bahkan bisa satu hari.

  Jadi dalam hal ini, persentase yang digunakan untuk menentukan nisbah atau porsi bagi hasil tidak termasuk pengertian dalam angka 1.b di atas, karena persentase ini dikenakan terhadap sesuatu yang tidak pasti besarnya, yaitu hasil usaha yang dari waktu ke waktu selalu berubah.

  Pembiayaan investasi ialah pembiayaan baik sepenuhnya (Al-

  

Mudharabah ) atau sebagaian (Al-Musharakah) terhadap suatu usaha yang tidak

  berbentuk saham. Dana yang ditempatkan, yang sepenuhnya maupun yang sebahagian itu tetap menjadi milik bank sehingga pada waktu berakhirnya kontrak, bank berhak memperoleh bagi hasil dari usaha itu sesuai dengan kesepakatan.

  Jadi dalam hal ini, karena pembiayaan investasi yang dilakukan bank tidak berupa saham dan dalam jangka waktu terbatas, maka kegiatan ini tidak termasuk kategori penyertaan modal pada suatu perusahaan lain yang dilarang undang- undang di Indonesia dilakukan oleh bank.

  Dari semua bentuk pembiayaan itu, yang paling disukai sebenarnya adalah pembiayaan mudharabah. Konon dari tarikh (sejarah) Nabi Muhammad SAW.

  Dicontohkan adanya sistem Al-Mudharabah sebagaimana sistem penitipan modal yang dikelola Nabi Muhammad sewaktu beliau dipercaya bahwa sebahagian barang dagangan Siti Khadijah dari Mekkah ke Negeri Syam. Barang dagangan itu boleh dikatakan sebagai modal usaha, karena oleh Nabi Muhammad dijual dan hasilnya dibelikan barang dagangan lainnya untuk dijual lagi di pasar Busyra di Negeri Syam. Nabi Muhammad melakukan perjalanan untuk mencari sebahagian karunia Allaw SWT setelah beberapa lama, Nabi Muhammad kembali ke Mekkah membawa hasil usahanya dan melaporkan kepada Siti Khadijah harta yang telah dikembangkan itu tentunya dihitung dan dibandingkan dengan harta semula. Harta semula dikembalikan kepada yang empunya, sedangkan selisihnya natara yang empunya harta (rabbul mal) dengan yang mengelola (mudharib) sesuai dengan

   kesepakatan semula.

  Riwayat kehidupan Nabi Muhammad, sebelum beliau berangkat ke Negeri Syam, Siti Khadijah menjanjikan bagian keuntungan kepadanya 2 (dua) kali lebih banyak dari yang biasa diberikan kepada orang Qurays lainnya.

59 Ibid., hal. 17.

BAB IV PELAKSANAAN BAGI HASIL PERBANKAN SYARIAH BERDASARKAN HUKUM PERBANKAN PADA BANK SUMUT SYARIAH CABANG LUBUK PAKAM A. Perkembangan Bank Sumut Syariah Hingga Terbentuknya Bank Syariah Cabang Lubuk Pakam 1. Asal Mula Pembentukan Bank Syariah di Indonesia Berkembangnya bank-bank syariah di negara-negara Islam telah

  membawa pengaruh kepada dunia perbankan Indonesia. Pada awal tahun 1980-an, diskusi mengenai bank syariah sebagai pilar ekonomi Islam mulai dilakukan. Para tokoh yang terlibat dalam kajian tersebut adalah Dawam Rahardjo, Saefuddin, Amien Azis dan lain-lain. Beberapa uji coba pada skala yang relatif terbatas telah diwujudkan, seperti Baitut Tamwil-Salman, Bandung yang tumbuh secara mengesankan. Di Jakarta juga dibentuk lembaga serupa dalam bentuk koperasi

   yakni Koperasi Ridho Gusti.

  Selanjutnya Majelis Ulama Indonesia (MUI), pada tanggal 18-20 Agustus 1990 menyelenggrakan Lokakarya Bunga Bank dan Perbankan di Bogor. Hasil lokakarya tersebut dibahas lebih mendalam pada Musyawarah Nasional IV MUI yang berlangsung di Hotel Sahid Jakarta pada 22-25 Agustus 1990. Berdasarkan amanat Munas IV MUI dibentuk kelompok kerja untuk mendirikan bank Islam di Indonesia.

  Kelompok kerja yang disebut Tim Perbankan MUI berfungsi melakukan pendekatan dan konsolidasi dengan semua pihak terkait. Mereka juga 60 Muhammad Syafi’i Antonio, Op. cit, hal. 277. menyelenggarakan pelatihan calon staf melalui Management Development

  

Program (MDP) di LPPI yang dibuka pada tanggal 29 Maret 1991 oleh Menteri

  Muda Keuangan Nasruddin Sumintapura, dan meyakinkan beberapa pengusaha

   muslim untuk menjadi pemegang saham pendiri.

  Dengan demikian, memperhatikan kemajuan sistem bagi hasil berdasarkan syariah ini, maka Bank Sumut Syariah ikut berperan dalam meningkatkan perekonomian masyarakat melalui pembentukan cabang-cabang syariah di Propinsi Sumatera Utara khususnya di Lubuk Pakam.

2. Bank Muamalat Indonesia Sebagai Pelopor Bank Sumut Syariah Cabang Lubuk Pakam

  Sebagai hasil kerja Tim Perbankan MUI, berdirilah Bank Muamalat Indonesia pada tanggal 1 November 1991. Untuk membantu kelancaran tim MUI ini, terutama untuk masalah-masalah legal, maka dibentuklah Tim Hukum ICMI yang diketuai oleh Drs. Karnean Purwaatmadja, MPA.

  Pada awal pendirian Bank Muamalat Indonesia, konsep bank syariah masih belum mendapat perhatian yang layak dalam tatanan industri perbankan nasional. Landasan hukum operasi bank yang menggunakan prinsip syariah ini hanya dikategorikan sebagai bank dengan sistem bagi hasil. Tak ada rincian landasan hukum syariah serta jenis-jenis usaha yang diperbolehkan. Hal ini tercermin dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 92 yang hanya membahas sistem bagi hasil secara sepintas lalu dan merupakan sisipan belaka.

  Berkat kuatnya sokongan umat untuk mendirikan bank ini, baik dari pemerintah, ulama, maupun masyarakat umum, serta katangkasan Tim Perbankan 61 Muhammad Syafi’i Antonio, Loc. cit, hal. 277. MUI dalam bekerja, hanya dalam waktu satu tahun setelah tercetusnya ide, maka tanggal 1 November 1991 dilaksanakanlah penandatanganan Akte Pendirian Bank Muamalat Indonesia (BMI) di Sahid Jaya Hotel dengan Akte Notaris Yudo Paripurno, SH. Izin Menteri Kehakiman Nomor C 2.2413. HT. 01.01. Pada saat itu terkumpul dana sebanyak Rp. 84 Milyar dan dua hari berselang, tanggal 3 November 1991 Tim MUI mengadakan silaturrahmi dengan Presiden Soeharto dan masyarakat Jawa Barat di Istana Bogor sehingga total modal telah menjadi

62 Rp. 116 Milyar.

  Setelah mendapatkan izin, Surat Menteri Keuangan RI Nomor 1223/MK.013/1991 tanggal 5 November 1991, Izin Usaha Keputusan Menkeu RI Nomor 430/KMK:013/1992 tanggal 24 April 1992, pada tanggal 1 Mei 1992 BMI memulai operasinya dengan memberikan layanan perbankan Islam kepada para nasabah.

  Adapun tjuan umum berdirinya BMI, sesuai dengan prinsip-prinsip syariah Islam dan sesuai dengan situasi dan kondisi di Indonesia, adalah: 1.

  Meningkatkan kualitas kehidupan sosial ekonomi masyarakat terbanyak bangsa Indonesia, sehingga semakin berkurang kesenjangan sosial ekonomi, dan dengan demikian akan melestarikan pembangunan nasional, antara lain melalui: a.

  Meningkatkan kualitas dan kuantitas kegiatan usaha b. Meningkatkan kesempatan kerja c. 62 Meningkatkan penghasilan masyarakat banyak Karnaen Perwataatmadja., dan Muhammad Syafi’I Antonio, Loc, cit, hal. 84.

2. Strategi pengembangan: a.

  Bekerja sama dengan Bank-Bank Pengkreditan Rakyat (BPR) yang telah ada dengan cara: a)

  Mengintrodusir dan membina pengembangan produk-produk dan sistem perbankan berdasarkan syariah Islam; b)

  Mengintrodusir sistem pegembangan usaha berdasarkan kebersamaan dalam permodalan dan resiko; dan c)

  Merintis dan mengembangkan kerjasama dengan Lembaga Swadaya Masyarakat dalam mendukung peningkatan kemampuan manajerial dan teknologi, peningkatan nilai dan pengembangan usaha pengusaha kecil dan menengah.

  b.

  Mendorong pengembangan Bank-Bank Pengkreditan Rakyat (BPR) baru di daerah-daerah potensional, pengembangan usaha kecil dan menengah dengan cara:

  a) Penyediaan modal perangsang prakarsa;

  b) Penyediaan staf BPR dan pelatihan;

  c) Penyediaan manual kerja dan pembinaan teknis;

  d) Pembinaan lanjutan; dan

  e) Merintis dan mengembangkan kerjasama dengan LSM dalam mendukung peningkatan kemampuan manajerial dan teknologi, peningkatan nilai tambah dan pengembangan usaha pengusaha kecil dan menengah. c.

  Bekerja sama dengan Badan Amil Zakat, Infaq, dan Shadaqoh (Bazis) mengintensifkan pengelolaan dana zakat, infaq, dan shadaqoh untuk proyek-proyek pengembangan usaha kecil dan menengah.

  d.

  Merangsang tumbuh dan berkembang lebih baik lembaga-lembaga penyediaan bantuan teknik manajemen untuk pengusaha kecil dan menengah.

  e.

  Merangsang tumbuh dan berkembang lebih baik lembaga-lembaga penyediaan teknologi peningkatan produktifitas.

  f.

  Merangsang tumbuh dan berkembang lebih baik lembaga-lembaga penyediaan bantuan pembinaan keterampilan akuntansi.

  g.

  Mengembangkan peranan kelembagaan dan melancarkan jaringan penyediaan bahan baku.

  h.

  Mengembangkan peranan kelembagaan penyediaan teknologi pasca panen. i.

  Mengembangkan peranan kelembagaan penyediaan hasil produksi.

  Dalam menjalankan usaha komersialnya BMI mempunyai 3 prinsip operasional yang terdiri dari: sistem bagi hasil, sistem jual beli (margin keuntungan), dan sistem jasa (fee).

  Sistem bagi hasil adalah suatu sistem yang meliputi tata cara pembagian hasil usaha antar penyedia dana dengan pengelola dana. Pembagian hasil usaha ini dapat terjadi antara bank dengan penyimpan dana, maupun antara bank dengan nasabah penerima dana. Bentuk usaha yang berdasarkan prinsip ini adalah mudharabah dan musyarakah.

  Sistem jual beli dengan margin keuntungan merupakan suatu sistem yang menerapkan tatacara jual beli, dimana bank mengangkat nasabah sebagai agen bank, dan nasabah sebagai agen bank melakukan pembelian barang atas nama bank, kemudian bank akan bertindak sebagai penjual akan menjual barang tersebut kepada nasabah dengan harga sejumlah harga beli ditambah keuntungan bagi bank (margin/mark-up).

  Sistem fee atau jasa meliputi seluruh layanan non-pembiayaan yang berdasarkan prinsip ini, antara lain Bank Garansi, Kliring, Inkaso, Jasa Transfer.

  Adapun produk-produk yang disediakan BMI untuk pengerahan dana dari masyarakat berupa: a.

  Giro Wadi’ah yaitu dana nasabah yang dititipkan di bank. Setiap saat nasabah berhak mengambilnya dan berhak mendapatkan bonus dari keuntungan pemanfaatan dana giro oleh bank. Besarnya bonus tidak ditetapkan di muka tetapi benar-benar merupakan kebijaksanaan bank.

  Sungguhpun demikian nominalnya diupayakan sedemikian rupa untuk selalu kompetitif.

  b.

  Tabungan Mudharabah, dana yang disimpan nasabah akan dikelola bank untuk memperoleh keuntungan. Keuntungan akan diberikan kepada nasabah berdasarkan kesepakatan bersama. Dalam produk ini dapat dilakukan mutasi, sehingga perhitungan saldo rata-rata.

  c.

  Deposito Investasi Mudharabah, dana yang disimpan nasabah hanya bisa ditarik berdasarkan jangka waktu yang telah ditentukan, dengan bagi hasil keuntungan berdasarkan kesepakatan bersama. d.

  Tabungan Haji Mudharabah, adalah simpanan pihak ketiga yang penarikannya dilakukan pada saat nasabah akan menunaikan ibadah haji, atau pada kondisi-kondisi tertentu sesuai dengan perjanjian nasabah. Merupakan simpanan dengan memperoleh imbalan bagi hasil (mudharabah).

  e.

  Tabungan Qurban, adalah simpanan pihak ketiga yang dihimpunkan untuk Ibadah Qurban dengan penarikan dilakukan pada saat nasabah akan melaksanakan Ibadah Qurban, atau atas kesepakatan antara pihak bank dan nasabah. Juga merupakan simpanan yang akan memperoleh imbalan bagi hasil (mudharabah).

  Sedangkan produk untuk penyaluran dana kepada masyarakat berupa:

  a) Pembiayaan Mudharabah, bank dapat menyediakan pembiayaan modal investasi atau modal kerja sepenuhnya, sedangkan nasabah menyediakan usaha dan managemennya. Hasil keuntungan akan dibagikan sesuai dengan kesepakatan bersama, dalam bentuk nisbah tertentu dari keuntungan pembiayaan.

  b) Pembiayaan Mudharabah, adalah pembiayan untuk pembelian barang lokal ataupun internasional. Pembiayaan ini mirip dengan kredit modal kerja dari bank konvensional, karena itu jangka waktu pembiayaan bisa lebih dari satu tahun. Bank mendapat keuntungan dari harga barang yang dinaikkan (harga jual baru yang terdiri dari harga beli ditambah margin keuntungan). c) Pembiayaan Bai Bithaman Ajil, adalah pembiayaan untuk pembelian barang dengan cicilan. Pembiayaan ini dicicil mirip dengan kredit investasi dari bank konvensional, karena itu jangka waktu pembiayaan bisa lebih dari satu tahun. Bank mendapat keuntungan dari harga barang yang dinaikkan (harga jual baru yang terdiri dari harga jual ditambah margin keuntungan).

  d) Pembiayaan Al-Qardhul Hasan, merupakan pinjaman lunak bagi pengusaha kecil yang benar-benar kekurangan modal. Nasabah tidak perlu membagi keuntungan kepada bank, tapi hanya membayar biaya administrasi saja yang merupakan biaya-biaya real yang tidak dapat dihindari untuk terjadinya suatu kontrak, misalnya biaya penelitian proyek, notaris, upah karyawan dan sebagainya.

  e) Pembiayaan Musyarakah, merupakan pembiayaan sebagian dari modal uasaha keseluruhan, yang mana pihak bank dapat dilibatkan dalam proses manejemen. Pembagian keuntungan berdasarkan perjanjian sesuai proposalnya.

  f) Produk pemberian jasa lainnya, seperti: Jasa Penerbitan L/C-Inkasso dan

  Jasa Transfer-Bank Garansi

  Kemungkinan-kemungkinan in flow dana Bank Muamalat Indonesia dapat kita lihat dalam bentuk skema di bawah ini:

  1. Musyarakah 1.1.

  Saham 2. Giro Wadiah

  2.1. Perorangan

  2.2. Lembaga Usaha

  B

  2.3. Lembaga Pendidikan

  2.4. Lembaga Dakwah

  2.5. BPR/Bank/LKBB 3.

  Tabungan Mudharabah

  3.1. Tabungan haji

  3.2. Tabungan Qurban

  M

  3.3. Tabungan Tapelpram (Tab Pemuda, Pelajar, Pramuka) 4.

  Deposito Mudharabah

  4.1.Deposito Perorangan