DAYA SAING PRODUK INDONESIA DI PASAR GLO

DAYA SAING PRODUK INDONESIA DI PASAR GLOBAL
“Menuju Indonesia Maju.” Sebuah kalimat pendek, namun bermakna sangat panjang
dan luas. Indonesia maju adalah sebuah dambaan, Indonesia maju adalah sebuah harapan
yang harus diwujudkan oleh para pemimpin bangsa. Memang tidak mudah, tapi mimpi
seluruh rakyat untuk melihat Indonesia sejajar dengan negara maju harus diwujudkan, apapun
caranya dan bagaimanapun jalannya. Secara matematis, pemerintah yang ada sekarang tidak
bisa dalam sekejap mewujudkan kemajuan Indonesia, mensejajarkannya dengan negaranegara yang sudah lebih dahulu leading, seperti Jepang, China, Korea (untuk kawasan Asia),
Eropa dan Amerika Serikat. Namun perlu ditekankan bahwa suksesnya atau tidaknya
Indonesia di masa yang akan datang, sangat tergantung dengan kebijakan yang dibuat
pemerintah sekarang, dan yang nantinya akan menjadi pijakan, serta pondasi pemerintahan
selanjutnya.
Kemakmuran suatu negara dapat dilihat dari daya saingnya. Daya saing tersebut
didasarkan pada produktivitas yang menghasilkan barang dan jasa. Kebijakan makro
ekonomi yang sehat dan institusi politik dan hukum yang stabil diperlukan untuk mendukung
kebijakan tersebut. Daya saing tersebut berakar pada pandangan yang fundamental terhadap
aspek mikro ekonomi suatu negara serta didukung dengan kecanggihan operasi perusahaan
dan strategi dan kualitas lingkungan bisnis ekonomi mikro dimana perusahaan bersaing.
Pemahaman tentang dasar-dasar mikro ekonomi merupakan dasar kebijakan ekonomi
nasional. Disadari atau tidak liberalisasi perdagangan dunia memicu pentingnya peningkatan
daya saing produk Indonesia di pasar global. Daya saing produk Indonesia, terutama yang
berbasis agro-industri dan keterkaitannya terhadap sektor hulu dan hilir perlu dianalisis dan

dipahami, serta faktor pertumbuhan tersebut perlu dirumuskan dengan melakukan
perbandingan dengan agro-industri berbasis negara lain.
Dari fakta tersebut adalah hal yang penting untuk menganalisa posisi daya saing
berbasis agro pada sektor industri di Indonesia dengan menganalisis input-output di negaranegara Asia, terutama antara Indonesia, Thailand, dan China. Ada beberapa temuan posisi
daya saing berbasis agro pada sektor industri di Indonesia yang penting untuk kita perhatikan
yaitu: (1) daya saing Indonesia berbasis agro sektor industri telah menurun dari 1995 sampai
2000, terutama untuk daya saing dalam negeri, (2) Indonesia berbasis agro sektor industri
memiliki keterkaitan ke Thailand dan China, (3) Indonesia tidak memiliki sumber utama
pertumbuhan berbasis agro industri yang dapat digunakan dalam pembangunan masa depan.
Faktor pertumbuhan struktural dalam agro berbasis sektor industri di Indonesia tidak
memiliki pola, sementara Thailand didukung oleh faktor perubahan teknologi, dan China
didukung oleh faktor ekspor ekspansi.
Dari temuan tersebut setidaknya ada beberapa rekomendasi untuk meningkatkan daya
saing berbasis agro pada sektor industri di Indonesia sebagai berikut: (1) Mengembangkan
berbasis agro industri sebagai sektor ekonomi utama, (2) Meningkatkan produktivitas, (3)
Memperkuat daya saing dalam negeri, (4) Meningkatkan pemasaran berbasis daya saing, dan
(5) Mengembangkan teknologi berbasis ekonomi.

Terakhir, untuk meningkatkan daya saing pada sektor industri di Indonesia ada
baiknya kita mencermati pernyataan Menko Perekonomian Hatta Rajasa dalam kuliah umum

di Institut Teknologi Bandung pada 3 Maret 2012, ada sembilan pilar yang harus dimiliki
untuk mewujudkan kemajuan Indonesia. Kesembilan pilar tersebut adalah perubahan mindset
atau pola pikir, pengembangan mutu modal manusia, pemanfaatan seluruh sumber
pembiayaan pembangunan, pengelolaan anggaran dan kekayaan negara yang lebih baik,
konsistensi kebijakan yang mendorong transformasi sektoral, keberlanjutan jaminan sosial
dan penanggulangan kemiskinan, ketahanan pangan dan air, ketahanan energi dan terakhir,
reformasi birokrasi.
Pilar pertama, perubahan mindset. Polar pikir adalah dasar untuk melakukan
perubahan. Untuk menjadikan Indonesia maju, pola pikirnya juga harus maju. Kita tidak
boleh terpaku kepada budaya ‘narimo’ atau menerima. Dulu berkembang pandangan,
Indonesia adalah negara subur, ‘gemah ripah loh jinawi’, sehingga untuk hanya sekadar
makan, kita tidak perlu bekerja keras. Kekayaan alam yang melimpah dan kesuburan yang
luar biasa seolah meninabobokan kita, sehingga lupa bahwa kekayaan itu suatu saat akan
habis.
Pilar kedua adalah pengembangan mutu modal manusia. Dengan banyaknya kekayaan
alam yang dimiliki Indonesia, diperlukan sumber daya manusia yang mumpuni. Jangan
sampai kekayaan kita dikuasai oleh negara asing, karena Indonesia kekurangan SDM yang
mumpuni, yang melek ilmu pengertahuan, serta teknologi. Percuma kita menyatakan siap
menghadapi tantangan global, kalau tidak didukung oleh SDM yang bermutu. Untuk itu,
peningkatan mutu modal manusia ini sangat perlu, supaya kita tidak jauh tertinggal dengan

negara-negara yang sudah maju.
Pilar ketiga, pemanfaatan seluruh sumber pembiayaan pembangunan. Salah satu
penyakit Indonesia saat ini adalah kurang efektifnya memanfaatkan dana yang disediakan
untuk pembangunan. Sumber pembiayaan pembangunan di Indonesia sebenarnya sangat
besar. Namun karena terjadi kebocoran di sana-sini dan penyelewengan yang dilakukan
oknum-oknum tidak bertanggung jawab, sumber dana itu sebagian menguap tanpa
menghasilkan sesuatu.
Pilar keempat, pengelolaan anggaran dan kekayaan negara yang lebih baik. Berkalikali Presiden SBY mengatakan supaya pengelolaan anggaran harus transparan dan akuntabel.
Begitu pun Menko Perekonomian Hatta Rajasa yang berkali-kali menegaskan supaya
pengelolaan kekayaan negara harus bisa dipertanggungjawabkan. Apa yang disampaikan
SBY dan Hatta itu semata-mata untuk menyelamatkan kekayaan negara. Jangan sampai
anggaran dan kekayaan negara dikorupsi, dilarikan ke luar negeri oleh oknum-oknum mafia.
Sebab, kalau anggaran dan kekayaan terkelola dengan baik, niscaya kesejahteraan seluruh
masyarakat akan terjamin.
Pilar kelima adalah konsistensi kebijakan yang mendorong transformasi sektoral.
Untuk membangun Indonesia menjadi sebuah negara maju, syarat utamanya adalah harus
konsisten. Kalau kebijakan dijalankan secara konsisten, pasti hasilnya juga akan sesuai

target. Kebijakan yang dijalankan secara konsisten juga akan menghasilkan sebuah sistem
yang terintegrasi, sehingga bisa terbangun konektivitas antara satu sektor dengan sektor lain.

Konektivitas ini sangat diperlukan, supaya pembangunan bangsa ini bisa terukur dan berguna
untuk seluruh masyarakat Indonesia.
Pilar keenam, keberlanjutan jaminan sosial dan penanggulangan kemiskinan. Jaminan
sosial untuk masyarakat adalah kewajiban yang harus dipenuhi negara secara terus menerus.
Ciri dari sebuah negara maju adalah adanya sebuah jaminan dari pemerintah terhadap
kehidupan sosial masyarakat. Jaminan sosial ini sangat terkait dengan program
penanggulangan kemiskinan. Tolok ukur keberhasilan sebuah jaminan sosial adalah ketika
angka kemiskinan terus menurun. Dengan penurunan tingkat kemiskinan, ototamatis
kesejahteraan masyarakat meningkat.
Pilar ketujuh, ketahanan pangan dan air. Masih terkait dengan jaminan sosial,
ketahanan pangan dan air adalah bagian dari program pemerintah dalam memberikan
perlindungan kepada rakyat. Banyak negara di luar yang terjerat krisis, karena mampu
mengatasi persoalan pangan dan air bersih. Ini tidak boleh terjadi di Indonesia. Sebagai
negara yang subur, kaya akan sumber daya alam, Indonesia harus mampu melakukan
swasembada pangan. Akan sangat ironis, jika Indonesia yang subur dan kaya sumber daya
alam, harus mengimpor bahan pokok makanan dari negara yang secara geografis lebih jelek
dari Indonesia. Ini menjadi tantangan pemerintah sekarang dan di masa mendatang, yaitu
bagaimana memanfaatkan sumber daya yang dimiliki Indonesia, sehingga mampu mencukupi
kebutuhan pangan dan air di dalam negeri.
Pilar kedelapan, ketahanan energi. Pilar kedelapan ini sangat terkait dengan pilar

ketujuh. Sumber daya alam yang melimpah di Indonesia harus benar-benar dimanfaatkan
untuk memenuhi kebutuhan energi di dalam negeri. Sebagai salah satu negara yang memiliki
sumber daya energi terbesar di dunia, Indonesia harus mampu menciptakan ketahanan energi
sendiri, tanpa tergantung dari negara luar. Pengembangan sumber energi alternatif, di luar
minyak harus terus dilakukan, supaya kita tidak tergantung pada fluktuasi politik dunia.
Kalau kita sudah mampu mengembang energi alternatif, tidak perlu takut lagi terhadap
kenaikan harga minyak dunia. Pemerintah juga akan lebih leluasa menerapkan kebijakan
energi, karena secara kuota kita mampu menghasilkan energi yang bisa meng-cover
kebutuhan di dalam negeri.
Semua pilar untuk kemajuan Indonesia itu akan menjadi percuma, jika tidak
dilengkapi dengan pilar kesembilan, yaitu reformasi birokrasi. Salah satu penyakit kronis
yang harus segera ditangani pemerintah saat ini adalah birokrasi yang korup. Banyak
kebijakan pemerintah yang pro rakyat tidak sampai pada target yang dituju, karena terjadi
penyelewengan-penyelewengan ditingkat birokrasi. Banyak investor batal menanamkan
modalnya di Indonesia karena terbentur pada birokrasi yang bertele-tele. Reformasi birokrasi
ini mendesak dilakukan, supaya roda pemerintah bisa berjalan stabil. Kalau pemerintah sudah
stabil, kebijakan ekonomi berjalan on the track, mimpi untuk menjadi negara maju segera
bisa menjadi kenyataan.