TABU NJANGKAR ORANG JAWA DI SULAWESI TEN

PEMERTAHANAN BAHASA DAERAH
DALAM BINGKAI KEBERAGAMAN BUDAYA
DI SULAWESI TENGGARA
PROSIDING KONGRES II BAHASA-BAHASA DAERAH SULAWESI TENGGARA TAHUN 2014
KENDARI, 7 8 OKTOBER 2014

Editor

FIRMAN A.D.

SANDRA SAFITRI HANAN

KANTOR BAHASA PROVINSI SULAWESI TENGGARA
BADAN PENGEMBANGAN DAN PEMBINAAN BAHASA
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
2015

Pemertahanan Bahasa Daerah dalam Bingkai Keberagaman Budaya di Sulawesi
Tenggara (Prosiding Kongres II Bahasa-Bahasa Daerah Sulawesi Tenggara 2014)
ISBN 978-979-069-206-0
Diterbitkan oleh

Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Jalan Haluoleo, Kompleks Bumi Praja Anduonohu, Kendari

Editor
: Firman A. D., Sandra Safitri Hanan
Penata Letak : Firman A. D.
Pewajah Kulit : Hairil M. Indra Jaya

HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG
Dilarang memperbanyak isi buku ini, baik sebagian maupun seluruhnya, dalam bentuk
apapun tanpa izin tertulis dari penerbit, kecuali dalam hal pengutipan untuk keperluan
penulisan artikel atau karangan ilmiah.
Hak cipta pada Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara
Katalog Dalam Terbitan (KDT)

Pemertahanan Bahasa Daerah dalam Bingkai Keberagaman Budaya di Sulawesi
Tenggara (Prosiding Kongres II Bahasa-Bahasa Daerah Sulawesi Tenggara
2014)/Editor: Firman A.D., S.S., M.Si., Sandra Safitri Hanan, cet. 1--, Kendari; Kantor
Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara, 2014

xxxii, 356 hlm; 19 cm x 28 cm
ISBN 978-979-069-206-0
1. Bahasa Indonesia Temu Imiah

I. Judul

499.216 6

KATA PENGANTAR
KEPALA KANTOR BAHASA PROVINSI SULAWESI TENGGARA
Syukur alhamdulillah kami panjatkan ke hadirat Allah Swt. atas perkenan-Nya Kongres II
Bahasa-Bahasa Daerah Sulawesi Tenggara 2014 dapat terlaksana dengan baik dan lancar di Hotel
Clarion, Kota Kendari. Pelaksanaan Kongres ini merupakan amanah dari rekomendasi Kongres
sebelumnya di Kota Baubau tahun 2010. Rekomendasi Kongres sebelumnya sebagian besar telah
dilaksanakan, baik oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara, pemerintah kabupaten/kota seSulawesi Tenggara, maupun oleh Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara. Namun demikian,
beberapa rekomendasi yang belum terlaksana bukan karena tidak ada niat dan keinginan untuk
tidak melaksanakannya tetapi karena keterbatasan waktu dan tenaga serta berbagai kendala lain
sehingga perlu kiranya dibahas lagi dalam Kongres II kali ini.
Dari tahun ke tahun masalah yang dihadapi dalam kaitannya dengan pengembangan dan
pembinaan bahasa semakin kompleks. Era globalisasi dan modernisasi adalah dua isu yang dari

waktu ke waktu sering dihembuskan dalam kaitannya dengan pemertahanan dan pelesatarian
bahasa daerah. Masalah baru yang ada dihadapan kita saat ini adalah kesepakatan negara-negara
ASEAN yang dikenal dengan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).
Saat ini, berdasarkan pandangan dari Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan
Bahasa, masalah kebahasaan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia bukan hanya globalisasi dan
modernisasi, melainkan sudah masuk ke isu-isu kewilayahan di negara kita. Berdasarkan
pembagian zona waktu, Indonesia dibagi menjadi tiga wilayah atau zona, yaitu Indonesia bagian
barat, bagian tengah, dan bagian timur. Ketiga wilayah ini masing-masing memiliki isu kebahasaan
yang sewaktu-waktu dapat mengancam kesatuan dan keutuhan bangsa Indonesia. Indonesia
bagian barat terpapar oleh isu kemelayuan, Indonesia bagian tengah digempur oleh maraknya
otonomi daerah, dan Indonesia bagian timur diungkit dengan isu kemelanesiaan. Ketiga isu inilah
yang dapat menjadi ancaman yang serius terhadap integritas bangsa Indonesia. Ancaman
disintegrasi bukan hanya disebabkan oleh kekuatan dari luar tetapi dapat juga disebabkan oleh
kekuatan dari dalam negeri.
Isu-isu ini seharusnya dapat kita antisipasi mulai dari sekarang. Kami harapkan melalui
Kongres II ini dapat dihimpun beberapa pandangan tokoh dan pakar bahasa dan sastra untuk
dirumuskan menjadi suatu rekomendasi yang bermanfaat bagi pemertahanan bahasa daerah di
wilayah Sulawesi Tenggara yang multietnis dan sekaligus dapat menangkal isu-isu negatif dalam
kaitannya dengan pemertahanan bahasa daerah. Berbagai pokok permasalahan yang dibahas
beserta rumusan dan rekomendasi hasil kongres telah dihimpun dalam buku ini.

Mudah-mudahan penerbitan buku ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca dan
masyarakat dalam memahami dan menerapkan upaya pemertahanan dan pelestarian bahasa
daerah di Indonesia, khususnya di Sulawesi Tenggara.
Kepala
H. Muhammad Nasir, S.H., M.M.

DAFTAR ISI
Kata Pengantar Kepala Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara
Daftar Isi
Sambutan Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa
Sambutan Gubernur Provinsi Sulawesi Tenggara
Laporan Pelaksanaan Kongres II Bahasa-Bahasa Daerah Sulawesi Tenggara 2014
Rumusan dan Rekomendasi Kongres II Bahasa-Bahasa Daerah Sulawesi Tenggara 2014
Strategi Pemertahanan Bahasa Daerah
Mahsun (Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa) ........................................

1

Menyelamatkan Aset Kebahasaan Indonesia
Sugiyono (Kepala Pusat Pengembangan Infrastruktur dan Pelindungan Bahasa)................


12

Pemertahanan Bahasa Daerah dalam Perspektif Pembinaan Bahasa di Indonesia
Yeyen Maryani (Kepala Pusat Pembinaan dan Pemasyarakatan Bahasa) ............................

23

Peran Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dalam Menangani Kepunahan Bahasa
Muhamad Hisyam (Peneliti LIPI).............................................................................................

32

Riwayat Dan Gambaran Pernaskahan di Sulawesi Tenggara
Titik Pudjiastuti (Masyarakat Pernaskahan Nusantara) ........................................................

48

Sastra Daerah sebagai Sumber Rekonstruksi Sejarah
Susanto Zuhdi (Universitas Indonesia) ...................................................................................


53

Perlindungan Sastra Daerah sebagai Warisan Budaya
Pudentia MPSS (Asosiasi Tradisi Lisan)...................................................................................

63

Bahasa Ciacia: Daya Hidup dan Daya Kembangnya sebagai Bahasa Daerah
Kisyani-Laksono (Universitas Negeri Surabaya) .....................................................................

67

Strategi Pembelajaran Bahasa Daerah
La Ode Sidu Marafad (Universitas Halu Oleo) ........................................................................

79

Bahasa Daerah Sulawesi Tenggara: Sejarah Penelitian dan Masa Depan
Masao Yamaguchi (Universitas Setsunan, Jepang) ................................................................


88

Relasi Historis Kekerabatan Bahasa Wakatobi di Kepulauan Lepas Pantai Sulawesi Tenggara:
Tinjauan Linguistik Diakronis
Inyo Yos Fernandez (Universitas Gadjah Mada).....................................................................
95
Strategi Pemertahanan dan Pengembangan Bahasa Culambacu: Sebuah Bahasa Minoritas di
Provinsi Sulawesi Tenggara
Asri (Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara) ..................................................................

112

Bahasa Lasalimu dan Kamaru sebagai Bahasa Kerabat dalam Sub-kelompok Bahasa Muna-Buton
(Kajian Linguistik Historis Komparatif)
Rahmawati Nusi (SMAN 1 Rumbia, Kab. Bombana) ..............................................................
119
Bahasa Daerah Muna Dialek Mawasangka sebagai Aset Bangsa dalam Bingkai Provinsi Sulawesi
Tenggara
Ishak Bagea (Universitas Muhammadiyah Kendari) ..............................................................

132
Telaah Linguistik dalam Cerita Rakyat Wolio sebagai Upaya Pelestarian Bahasa Daerah di
Sulawesi Tenggara
Herianah (Balai Bahasa Provinsi Sulawesi Selatan dan Provinsi Sulawesi Barat).................

141

Penggalian Potensi Bahasa Daerah Muna, Kambowa, dan Busoa melalui Pendekatan Linguistik
Historis Komparatif sebagai Pemerkaya Budaya Nasional
La Ino (Universitas Halu Oleo )................................................................................................
150
Bahasa Laiyolo, Rumpun Muna-Buton yang Terancam Punah
Rahmawati (Universitas Halu Oleo ).......................................................................................

162

Kosakata dalam Karya Sastra sebagai Alat Pemertahanan Bahasa dan Sastra
Dad Murniah (Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa) ............................................

171


Komunitas Sastra dan Pemertahanan Bahasa di Sulawesi Tenggara
Ahid Hidayat (Universitas Halu Oleo) .....................................................................................

180

Potensi Cerita Rakyat Wolio sebagai Pemerkaya Budaya Nasional
Besse Darmawati dan David G. Manuputty (Balai Bahasa Provinsi Sulawesi Selatan dan
Provinsi Sulawesi Barat)..........................................................................................................

188

Kartu Pos dari Tenggara: Konawe dalam Puisi Syaifuddin Gani
Cecep Syamsul Hari (Redaksi Jurnal Sastra Indonesia) ..........................................................

193

Adati Totongano WonuaI: Identitas Moronene yang Tetap Lestari
Early Wulandari Muis (Badan Penelitian dan Pengembangan Prov. Sulawesi Tenggara)....


202

Peran Tradisi Lisan dalam Pemertahanan Bahasa Daerah
Hamiruddin Udu (Universitas Halu Oleo) ...............................................................................

209

Dari Selayar ke Tenggara hingga Hulonthalo: Kisah Kerajaan dalam Kekerabatan Sastra
Nusantara
Haruddin (Kantor Bahasa Provinsi Gorontalo).......................................................................

218

Menggali Makna Ungkapan Tradisional Masyarakat Buton sebagai Landasan Pendidikan
Karakter
Sahlan (Universitas Halu Oleo) ...............................................................................................
231
Pattimura dan Sawerigading di Tanah Buton: Keindonesiaan dalam Cerita Rakyat Nusantara
Asrif (Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara).................................................................


238

Eksistensi Bahasa Bugis di Wilayah Daratan Sulawesi Tenggara
Firman A.D. (Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara) .....................................................

246

Adaptasi Fonologis dan Leksikon antara Bahasa Laiyolo dan Bahasa Selayar
Wahidah (Kantor Bahasa Provinsi Maluku)............................................................................

257

Sikap Bahasa Etnik Muna di Perantauan Sulawesi Tengah
Siti Fatinah (Balai Bahasa Provinsi Sulawesi Tengah) ............................................................

263

Pemertahanan Bahasa Daerah oleh Mahasiswa Asal Sulawesi Tenggara di Yogyakarta
Sigit Arba i (Balai Bahasa Provinsi D.I. Yogyakarta) ...............................................................

273

Peran Tradisi Lisan Katoba dalam Pemertahanan Bahasa Daerah Muna
Rahmawati (Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara)......................................................

281

Tabu Njangkar Orang Jawa di Sulawesi Tenggara
Heksa Biopsi Puji Hastuti (Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara)................................

288

Heterogenitas Budaya-Budaya di Sulawesi Tenggara untuk Mendukung Pengembangan Buku
Pengayaan Bahasa Indonesia
Aris Badara (Universitas Halu Oleo)........................................................................................
298
Pengembangan Model Implementasi Kurikulum Muatan Lokal Bahasa Daerah di Sulawesi
Tenggara
La Ode Balawa (Universitas Halu Oleo) ..................................................................................

305

Pelestarian Bahasa-Bahasa Daerah Sulawesi Tenggara melalui Pendidikan Formal (Reposisi
Pembelajaran Bahasa Daerah dalam Kurikulum 2013)
Mahdin (SMPN 1 Kendari).......................................................................................................

316

Melirik Sastra Daerah dalam Momentum Pengajaran Bahasa Indonesia
Uniawati (Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara)..........................................................

325

Peningkatkan Keterampilan Menulis Dongeng dengan Menggunakan Metode Hypnoteaching
Siswa Kelas VII 1 SMP Negeri 9 Kendari
Sri Suryana Dinar (Universitas Halu Oleo) ..............................................................................
332
Sastra Luar Kelas
Syaifuddin (Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara) .......................................................

350

Pemertahanan Bahasa Daerah
dalam Bingkai Keberagaman Budaya di Sulawesi Tenggara

TABU NJANGKAR ORANG JAWA DI SULAWESI TENGGARA
Heksa Biopsi Puji Hastuti
Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara
Kompleks Bumi Praja, Jalan Haluoleo, Kendari

Pendahuluan
Suku Jawa adalah suku asli nusantara yang terbilang paling luas ketersebarannya. Wilayah
asal suku ini ialah di pulau Jawa bagian tengah, sampai ke timur. Dalam pembagian wilayah
Republik Indonesia, orang Jawa ialah orang yang berasal dari Provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur,
dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Pada masa sebelumnya, wilayah kebudayaan Jawa lebih dikenal
berdasarkan kesamaan budayanya, yakni wilayah Kejawen yang meliputi Banyumas, Kedu,
Yogyakarta, Surakarta, Madiun, Malang, dan Kediri. Di luar wilayah tersebut dinamakan daerah
pesisir dan Ujung Timur (Kodiran, Koentjaraningrat ed., 1980: 322). Lonjakan jumlah penduduk
terjadi cepat di pulau Jawa setelah Perang Dunia ke-II (Kodiran, 1980: 343) sehingga
menjadikannya sebagai pulau terpadat di Indonesia. Hal ini membuat Jawa menjadi pulau utama
yang mengirimkan penduduknya ke pulau lain sebagai transmigran dalam program transmigrasi
yang berarti perpindahan penduduk dari pulau yang padat ke pulau lain yang masih kurang
penduduknya.
Di Kendari dan wilayah Sulawesi Tenggara pada umumnya, orang Jawa tercatat masuk
melalui berbagai jalur dan menempati beragam posisi dalam masyarakat. Yang pertama ialah jalur
transmigrasi formal yang diprakarsai dan didanai oleh pemerintah. Tujuan program transmigrasi
ini di samping untuk pemerataan penyebaran penduduk dan tenaga kerja, serta pembukaan dan
pengembangan daerah produksi baru, juga diharapkan dapat mendorong peningkatan taraf hidup
para transmigran dan masyarakat sekitarnya (Badan Pusat Statistik Provinsi Kendari, 2010: 84).
Sementara itu, Undang-Undang R.I. Nomor 15 Tahun 1997 tentang Ketransmigrasian
menyebutkan bahwa penyelenggaraan transmigrasi ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan
transmigran dan masyarakat sekitarnya, peningkatan dan pemerataan pembangunan daerah,
serta memperkokoh kesatuan dan persatuan bangsa. Tujuannya lebih disederhanakan agar daerah
(otonomi) dapat mengembangkan sesuai dengan kebutuhannya (Depnakertrans.go.id). Selain
melalui program transmigrasi, ada juga orang Jawa yang masuk ke Kendari dari jalur perniagaan
sebagai pedagang, atau karena perkawinan dengan penduduk Kendari, dan karena penempatan
sebagai pegawai baik pegawai pemerintah maupun swasta.
Sebagai manusia yang secara kodrati membutuhkan interaksi dan komunikasi dengan
manusia lain, orang Jawa di Kendari (dan di mana pun juga) melakukannya dengan orang-orang
dari suku lain. Dalam berkomunikasi, salah satu unsur yang perlu diperhatikan ialah bentuk kata
sapaan karena kata sapaan merupakan kata yang sangat tinggi frekuensi pemakaiannya (Purwa
dkk., 2003: 3). Bahasa komunikasi ditentukan oleh bermacam-macam variabel, antara lain
identitas lawan bicara, situasi, dan tempat terjadinya pembicaraan. Purwa dkk. juga menuliskan
bahwa Labov menamakan unsur-unsur tersebut sebagai variabel nonlinguistik, sedangkan Fishman
menyebutkan variabel tersebut berhubungan dengan siapa yang berbicara, dengan bahasa apa,
kepada siapa, dan kapan kejadiannya.
Kongres II Bahasa-Bahasa Daerah Sulawesi Tenggara 2014 | 288

Pemertahanan Bahasa Daerah
dalam Bingkai Keberagaman Budaya di Sulawesi Tenggara

Satu hal yang menarik dalam komunikasi antarsuku adalah penggunaan bentuk sapaan
mbak dan mas di Kendari, dan di Sulawesi Tenggara pada umumnya. Kendari sebagai ibu kota
provinsi menjadi pusat pemerintahan dengan heterogenitas penduduk yang relatif tinggi. Hal ini
menjadikan Kendari menarik untuk diamati perilaku berkomunikasinya. Bentuk sapaan khas Jawa
ini oleh sebagian orang dirasakan sudah melewati batas suku pemiliknya. Dalam sebuah forum
diskusi budaya, seorang pemuda yang berasal dari suku asli Sulawesi Tenggara mengungkapkan
keheranannya, mengapa orang Jawa bisa begitu ringan menyapa mbak atau mas kepada orang
lain di luar sukunya. Ungkapan keheranan ini bermuatan rasa tidak senang. Sementara itu,
pemuda lain dari suku yang sama, mengatakan ia bahkan merasa mendapat penghormatan
dengan sapaan mas yang ditujukan padanya. Dua pernyataan sikap yang berbeda atas sebuah
fenomena ini wajar saja terjadi mengingat tersedianya berbagai sudut untuk memandang sebuah
permasalahan.
Penggunaan sapaan mbak dan mas di perantauan sudah pernah diteliti oleh Untoro dan
terangkum dalam makalah berjudul Pemakaian Bahasa Jawa dalam Keluarga Jawa di Manado .
Makalah ini dipresentasikan pada Kongres Bahasa Jawa V tahun 2011. Dalam simpulannya, Untoro
mengemukakan adanya penurunan pemakaian sapaan mbak dan mas dalam keluarga Jawa di
Manado.
Menanggapi keheranan meluasnya penggunaan sapaan mbak dan mas di Kendari (daerah
rantau), saya ingin memberikan gambaran dari sisi lain, yakni fakta sastra tradisional berupa cerita
rakyat atau dongeng yang hidup dalam masyarakat. Sebagaimana diketahui, sastra merupakan
cerminan masyarakat di mana ia dilahirkan, hidup, dan berkembang. Dalam makalah ini, saya
bermaksud memperlihatkan bentuk sapaan yang digunakan dalam dongeng, dalam hal ini
dongeng Jawa dan Sulawesi Tenggara, sehingga dapat ditangkap bagaimana sesungguhnya bentuk
sapaan yang hidup dan diajarkan secara turun temurun dalam kaitannya dengan fungsi dan
kedudukan dongeng sebagai salah satu bentuk folklor yang menjadi refleksi masyarakat
pemiliknya.
Bentuk Sapaan Khas di Kendari, Mbak, dan Mas
Suku asli Kendari atau wilayah daratan Sulawesi Tenggara adalah suku Tolaki dan
Moronene. Suku asli Sulawesi Tenggara lainnya mendiami wilayah kepulauan, yaitu suku Muna,
Buton, dan sebagian suku Moronene. Akan tetapi, dengan semakin tingginya mobilitas warga,
banyak orang dari kepulauan yang datang dan bermukim di wilayah daratan, khususnya kota
Kendari. Masing-masing suku tersebut memiliki bahasa dan sistem sapaan yang berbeda-beda.
Berikut ini akan dibahas beberapa contohnya.
Dalam sistem sapaan bahasa Tolaki, sebutan untuk kakak dalam hubungan kekerabatan
adalah kaka. Bentuk sapaan ini biasanya hanya digunakan dalam lingkungan internal keluarga saja.
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Abdul Kadir Mulya dkk., diketahui bahwa orang Tolaki
biasa memanggil nama dengan berbagai variasi penyebutan (antara nama depan, nama belakang,
dan nama lengkap), baik kepada orang yang sudah akrab maupun belum, dalam suasana formal
maupun informal (Mulya dkk., 2004: 113). Kata sapaan yang biasa digunakan untuk orang yang
belum dikenal dari kalangan sama usia atau lebih muda, lebih lumrah digunakan kata sapaan o bio
(untuk anak laki-laki) dan o tina (untuk anak perempuan). Sebutan o bio dan o tina ini bisa juga
digunakan kepada orang yang sudah dikenal. Dalam praktik berkomunikasi suku Tolaki, biasa juga
digunakan sapaan untuk perempuan yang masih gadis dengan sebutan luale, diikuti dengan nama
yang bersangkutan. Untuk orang dewasa atau yang sudah menikah, kata sapaan yang digunakan
Kongres II Bahasa-Bahasa Daerah Sulawesi Tenggara 2014 | 289

Pemertahanan Bahasa Daerah
dalam Bingkai Keberagaman Budaya di Sulawesi Tenggara

ialah ina (perempuan) dan ama (laki-laki). Kepada kelas bangsawan atau orang yang dihormati,
orang Tolaki mengenal kata sapaan inggomiu. Dalam praktik berkomunikasi, orang Tolaki
menggunakan sebutan inggomiu, ina, ama, dan bentuk khas lainnya hanya kepada lawan bicara
yang bersuku Tolaki.
Keadaan serupa juga ditemukan dalam sistem sapaan bahasa Muna yang mendiami
wilayah kepulauan Sulawesi Tenggara. Suku Muna mengenal beberapa bentuk sapaan yang
mempertimbangkan faktor jenis kelamin, status sosial, profesi, dan ikatan kekerabatan
(Sukmawati, 2006: 70). Kata sapaan untuk kakak dalam hubungan kekerabatan adalah isa.
Sebutan isa berlaku baik untuk kakak laki-laki maupun kakak perempuan. Untuk menyapa pemuda
yang belum dikenal, orang Muna biasa menggunakan bentuk sapaan oje (laki-laki) dan abe
(perempuan). Apabila sudah dikenal, bisa dipanggil oje/abe atau namanya saja. Sedangkan sapaan
untuk orang yang sudah menikah atau usianya sudah dewasa adalah ina (perempuan) dan ama
(laki-laki). Sebagaimana juga orang Tolaki, orang Muna pun umumnya menggunakan sapaan khas
tersebut hanya kepada lawan bicara dari suku yang sama. Gambaran kebiasaan suku-suku lain di
Kendari umumnya sama dengan apa yang ada pada suku Tolaki dan Muna. Dalam sistem sapaan
bahasa suku-suku lokal di Kendari tidak terlalu memberikan penekanan pada kata sapaan sebagai
tanda penghormatan atau bentuk kesantunan dalam praktik berkomunikasi. Selama cara
penyampaiannya dilakukan dengan bahasa yang baik dan tidak kasar, sudah dianggap memenuhi
syarat kesantunan, terlebih dengan semakin menurunnya penggunaan bahasa daerah di Kendari.
Bahasa Indonesia menjadi pilihan utama untuk berkomunikasi terutama dengan lawan bicara yang
berbeda suku. Pilihan bahasa ini termasuk juga kata sapaannya dalam bentuk yang lebih bersifat
nasional sifatnya seperti kakak, ibu, bapak, om, tante, bibi, dan yang lainnya.
Sistem bahasa terkait erat dengan nilai budaya sebuah kelompok. Dalam karakteristik nilai
budaya Jawa dikenal adanya karakteristik nilai etis. Nilai etis yang berkembang dalam filosofi orang
Jawa adalah etika sebagai pedoman atau panduan praktis hidup dan berkehidupan dengan
moralitas atau susila (ethics of being) sebagai kebalikan dari etika sebagai kajian (ilmu) kritis yang
menelaah asas-asas moral secara logis dan sistematis (ethics of doing) tanpa disertai dengan
berkembangnya nilai susila (Saryono, 2011: 101). Etiket berada dalam tataran kesantunan,
sedangkan moralitas terkait dengan permasalahan kebaikan dan keburukan. Bagi orang Jawa,
dikenal pula istilah (n)Jawa atau menjadi Jawa. Walaupun secara lahiriah seseorang berdarah
Jawa, tetapi jika ia tidak dapat menerapkan standar etiket dan moralitas Jawa, terutama dalam
kesehariannya seperti cara berkomunikasi, ia dikatakan durung (n)Jawa atau belum menjadi Jawa,
demikian pula sebaliknya. Salah satu bentuk (n)Jawa bagi orang Jawa adalah perilaku tidak
njangkar♥ dalam bertutur sapa. Sapaan mengandung bentuk penghormatan atas perbedaan
status sosial, jabatan, budaya, usia, dan tingkat keformalan tuturan. Sapaan mas dan mbak dalam
masyarakat Jawa, selain berkaitan dengan unsur kekerabatan juga mengandung etika
penghormatan terhadap lawan bicara, terlepas dari kenyataan adanya strata priyayi dengan
sebutan khasnya kakang dan mbakyu serta bentuk-bentuk dinamisnya (Untoro, 2011). Untoro
Njangkar (bhs. Jawa): dalam buku Baoesastra Djawa yang disusun oleh W.J.S. Poerwadarminta (1939)
disebutkan ndjangkar bermakna: anggone ngoendang (njeboet) moeng djenenge tjilik oet. ora kapratelake
seseboetane. Artinya: memanggil atau menyapa orang lain dengan cara menyebutkan namanya saja tanpa
didahului dengan bentuk-bentuk sapaan yang ada sesuai dengan kedudukan lawan bicaranya. Seorang Jawa
yang sudah (n)Jawa akan merasa tidak sopan dan risih menyapa orang lain dengan cara njangkar.


Kongres II Bahasa-Bahasa Daerah Sulawesi Tenggara 2014 | 290

Pemertahanan Bahasa Daerah
dalam Bingkai Keberagaman Budaya di Sulawesi Tenggara

mengemukakan hasil penelitiannya bahwa pemakaian sapaan mbak dan mas dalam keluarga Jawa
di Manado mengalami penurunan.
Dalam budaya Jawa dikenal bermacam-macam kata sapaan. Stratifikasi dan sistem kelas
dalam masyarakat Jawa menuntut banyak macam kata sapaan seperti sebutan dalam gelar
kebangsawanan raden, raden mas, dan sebutan lainnya. Sebutan mbak dan mas merupakan
bentuk paling sederhana yang dapat digunakan secara universal. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia term mbak/mbakyu bermakna (1) kata sapaan untuk perempuan yang lebih tua di
daerah Jawa; dan (2) kata sapaan untuk perempuan muda. Sementara itu, term mas bermakna (1)
kata sapaan untuk saudara laki-laki yang dianggap lebih tua; (2) kata sapaan hormat untuk lakilaki, tanpa memandang usia. Dari fakta telah masuknya istilah mbak dan mas ke dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia, dipahami bahwa kedua bentuk sapaan tersebut sudah menjadi istilah
dalam bahasa Indonesia. Hal ini dimungkinkan dengan alasan sudah meluasnya kedua bentuk
tersebut digunakan dalam masyarakat di Indonesia. Dalam definisi kedua, istilah mbak dan mas
tidak memiliki keterikatan kekerabatan. Keduanya dapat digunakan dalam konteks yang lebih luas
dalam praktik berkomunikasi. Hal ini ditunjang dengan adanya tabu njangkar dalam moralitas
masyarakat Jawa. Orang Jawa merasa lebih nyaman menyapa lawan bicaranya dengan
menyertakan embel-embel bentuk sapaan, baik pak, bu, mbak ataupun mas daripada hanya
menyebutkan nama saja.
Sapaan dalam Dongeng Tolaki dan Dongeng Jawa
Dongeng, sebagaimana folklor lainnya, juga mengemban fungsi yang dikemukakan oleh
William R. Bascom, yakni sebagai alat pencerminan angan-angan suatu kelompok, alat pengesahan
pengesahan pranata-pranata dan lembaga-lembaga kebudayaan, alat pendidikan anak-anak, dan
sebagai alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma dalam masyarakat selalu dipatuhi
(Danandjaya, 2002: 19; http://augustrush15.wordpress.com). Apa yang tertuang dalam dongeng
diharapkan dapat menjalankan fungsi-fungsi tersebut.
Dongeng yang ada di sebuah tempat dapat memberikan gambaran tentang masyarakatnya
karena dongeng berfungsi sebagai alat proyeksi. Dalam makalah ini saya akan memberikan kutipan
beberapa dongeng yang dianggap bisa mewakili penggunaan kata sapaan dalam praktik
berkomunikasi. Berikut ini kutipan dongeng Tolaki Tarambu uno Anolaa Ranoa yang berkisah
tentang asal usul terjadinya buah semangka. Di dalam kutipan ini terdapat bentuk sapaan khas
Tolaki sebagai suku asli yang tinggal di Kendari.
Laa ito ona ndee tekura luale Sani; I ko ono oleo noponahunggee kinaano inea kuro
mboholea, maa taute embeke no opu ikaa. Te eni lualo Sani, toono hapo ie i kiro
anomokora ito mongga. I kopitu oleo lako ito ona mosaira luale Sani i pombaharao, Mano
ki oki no temonggopio nopodea itokaa la meo ori. Lakono luale Sani mbule meoponono moedea i o hapo laa timulurano. Notepodeari ito, laa mondulura nggira nggiro o ranoa, ieto
tulurano, maa tabena kenotaa mehinggi akutaa kaako. I lakonoto luale Sani pe ekati i laika,
me ooriitokaa ranoaa I nggo oto i maatu luale Sani , totaha itokaa itoono luale Sani oono
inakuto . Maa ponahunggonato ona akuponggaa kadu ito nomokome aronggau. I lakonoto
luale Sani menahunggee anoina u mowawokee. Iee nggo kinaa dowono, mombokosadai ito
nggo kinaa motahano i sala keno polasu ninggiro. Sabutuno kokomohina petuha ito lako
nggiro o luale Sani molasu.... (Nasruddin dan Haruddin, 1998:179 180)

Kongres II Bahasa-Bahasa Daerah Sulawesi Tenggara 2014 | 291

Pemertahanan Bahasa Daerah
dalam Bingkai Keberagaman Budaya di Sulawesi Tenggara

Terjemahan:
Gadis Sani mulai bersusah hati mengenai soal makanan tersebut. Pada hari keenam ia telah
memasak satu periuk yang besar sekali untuk makanan manusia tadi, tetapi habis juga. Gadis
Sani bertanya dalam hati, manusia apa ini, terlalu banyak dia makan? Hari ketujuh gadis Sani
pergi menyabit kebunnya. Tidak berapa lama terdengarlah namanya dipanggil dan gadis Sani
pulang secara diam-diam dan mengintip apa yang sedang dibicarakannya. Ia mendengar
semangka tersebut berkata, Besok saya makan engkau (gadis Sani).
Gadis Sani kemudian naik ke rumah, lalu bersuaralah semangka, Kamukah gadis Sani? Sahut
gadis Sani, Ya, sayalah. Masaklah makanan saya sudah lapar. Setelah itu gadis Sani lalu
memasakkan makanannya, kemudian diberikannya kepada semangka itu, lalu makanlah ia.
Untuk gadis Sani sendiri sudah disiapkannya juga makanan untuk di jalan karena ia akan lari
dari tempat itu.... (Nasruddin dan Haruddin, 1998: 93 94).
Tidak mudah mendapatkan dongeng Tolaki yang menggunakan bentuk sapaan khas.
Umumnya menggunakan sapaan nama tokoh saja. Kutipan dongeng Tolaki di atas memperlihatkan
sebuah kata sapaan untuk seorang gadis bernama Sani. Luale artinya perempuan yang masih
gadis, dalam menyapa biasa digunakan dengan diikuti nama orangnya. Suku Tolaki mengenal
bentuk sapaan seperti ini. Namun, penggunaannya dalam komunikasi saat ini sudah jarang. Hanya
orang-orang tua yang masih memakai bentuk luale diikuti nama orang, itu pun terbatas saat
mereka berada di kalangan yang homogen (sesama suku Tolaki). Kebanyakan dongeng Tolaki
menyebutkan nama sebagai sapaan dalam narasinya. Hal itu sudah dianggap memenuhi kriteria
kesopanan selama pembicaraan disampaikan dengan bahasa yang baik. Dalam dongeng
Tarambu uno Anolaa Ranoa ini tidak tercermin sebuah nilai yang dipandang penting dalam
permasalahan bentuk sapaan kepada lawan bicara ketika berkomunikasi, sehingga dapat
dikatakan, dalam hal ini dongeng tersebut tidak memproyeksikan angan-angan orang Tolaki,
bukan sebagai alat pengesahan pranata kebudayaan, alat edukasi, maupun alat pemaksa dan
pengawas norma dalam masyarakat. Manakala sebuah realitas tidak dianggap sebagai sesuatu
yang penting, berarti tidak ada paksaan terhadap anggota kelompok untuk melakukannya.
Salah satu dongeng Jawa yang sudah cukup dikenal luas adalah kisah Ande-Ande Lumut.
Dongeng Ande-Ande Lumut menceritakan tiga orang gadis kakak beradik (Kleting Abang, Kleting
Ijo, dan Kleting Biru) dengan satu adik angkat, yang ngunggah-unggahi♣ seorang pemuda. Gadisgadis ini berpenampilan menawan semua kecuali sang adik angkat yang bernama Kleting Kuning.
Ia biasa ditugasi mengerjakan semua pekerjaan rumah oleh ibu angkatnya sehingga ia tidak
berpenampilan sebaik saudara-saudaranya karena tidak mempunyai waktu untuk berdandan atau
merawat tubuhnya. Dongeng ini sudah banyak ditulis dalam berbagai versi, di antaranya ditulis
oleh Diansari yang dimuat dalam majalah Jemparing No. 05, November 2011. Versi lain ditulis
dalam bentuk dialog drama. Berikut ini kutipan dialog antara para gadis ketika hendak
menyeberangi sungai yang banjir.

Ngunggah-unggahi: lamaran yang dilakukan oleh pihak perempuan kepada pihak laki-laki. Dalam
Bausastra Jawa-Indonesia yang disusun oleh S. Prawiroatmodjo (1981: 488) dimaknai: datang minta
diperisteri.



Kongres II Bahasa-Bahasa Daerah Sulawesi Tenggara 2014 | 292

Pemertahanan Bahasa Daerah
dalam Bingkai Keberagaman Budaya di Sulawesi Tenggara

Kleting merah♦ : Wah kaline banjir
Kleting hijau
: Iya Mbakyu piye carane awake dhewe nyebrang??
Kleting merah : Kosek-kosek .kae ono Yuyu Kangkang to????
Kleting hijau
: Wah iya.. ayo jaluk tulung Yuyu Kangkang wae Mbakyu...
Kleting merah : Iya
.Yuyu Kangkang Yuyu Kangkang
(http://fortive.blogspot.com)
Terjemahan:
Kleting Merah
Kleting Hijau
Kleting Merah
Kleting Hijau
Kleting Merah

: Wah sungainya banjir
: Iya Mbakyu bagaimana caranya kita menyeberang??
: sebentar sebentar
itu ada Yuyu Kangkang kan????
: Wah iya... ayo minta tolong Yuyu Kangkang saja Mbakyu..
: Iya.. .Yuyu Kangkang Yuyu Kangkang

Penyebutan bentuk sapaan dalam dongeng Jawa pada umumnya berada dalam ragam
bahasa tinggi yang biasa digunakan oleh kelas priyayi. Dalam perkembangannya, bentuk sapaan
mbakyu dan kangmas umumnya sudah mengalami penyederhanaan bentuk menjadi mbak dan
mas, walaupun bentuk mbakyu dan kangmas tetap digunakan. Dalam kaitannya dengan fungsi
folklor yang telah dipaparkan di muka, penggunaan sebutan mbak/mbakyu dan mas/kangmas
dalam dongeng Jawa menyiratkan beberapa kepentingan. Berdasarkan fungsi sebagai alat
pencerminan angan-angan suatu kelompok, tersirat bahwa kelompok masyarakat Jawa sebagai
pemilik dongeng Ande-Ande Lumut mengangankan sebuah kondisi ideal di mana dalam
berkomunikasi tidak terjadi perilaku njangkar, yang ditabukan dalam budaya Jawa, terutama
kepada orang yang lebih tua. Ada nilai yang tidak pantas untuk dilanggar oleh orang yang sudah
njawa, yakni nilai kesantunan dan menghormati lawan bicara dalam praktik berkomunikasi.
Leluhur orang Jawa, yang menciptakan dongeng-dongeng secara lisan pada awalnya, memuat
gambaran ideal yang ada dalam benaknya ke dalam alur penceritaan. Gambaran ideal tersebut
salah satunya adalah perilaku berbahasa tidak njangkar terhadap lawan bicara. Melalui
penggunaan kata sapaan dalam dongeng pula, masyarakat Jawa menyosialisasikan pranata yang
berlaku dalam lembaga yang bernama budaya Jawa, yaitu tabu njangkar. Dengan demikian
diharapkan apa yang menjadi tata aturan dalam budaya masyarakat Jawa diketahui oleh penikmat
dongeng ini, baik yang berasal dari suku Jawa atau non-Jawa. Pada akhirnya, dongeng sekaligus
dapat mengemban fungsi sebagai alat edukasi (pedagogical device) bagi pembaca, pendengar,
atau penonton dongeng ini dalam berbagai versinya, termasuk alat pendidikan tentang cara
kesantunan dalam berkomunikasi dengan jalan tidak njangkar. Dongeng yang pada awalnya
Dalam teks ini nama para gadis dituliskan dalam bahasa Indonesia. Kleting Abang menjadi Kleting Merah,
Kleting Ijo menjadi Kleting Hijau, sedangkan Kleting Biru dan Kleting Kuning tetap karena warna biru dan
kuning sama penyebutannya dalam bahasa Jawa dan bahasa Indonesia.

Yuyu Kangkang adalah ketam raksasa yang membantu ketiga gadis dalam dongeng Ande-Ande Lumut
menyeberangi sungai yang banjir dengan upah ciuman. Hanya Kleting Kuning yang menolak diseberangkan
oleh Yuyu Kangkang karena dia dalam keadaan bau, tidak bersolek sehingga yuyu kangkang meolaknya.
Kleting Kuning sendiri tidak mau mencium Yuyu Kangkang, dia bisa menyeberangi sungai berkat lidi ajaib
pemberian burung blekok jelmaan orang sakti.


Kongres II Bahasa-Bahasa Daerah Sulawesi Tenggara 2014 | 293

Pemertahanan Bahasa Daerah
dalam Bingkai Keberagaman Budaya di Sulawesi Tenggara

disampaikan secara lisan akan mendapatkan penekanan-penekanan khusus, bergantung pada si
pendongeng, di bagian mana ia ingin memberikan kesan lebih dalam. Tentunya disesuaikan juga
dengan pendengarnya: anak-anak, remaja, atau dewasa. Penyampaian yang berulang akan
meninggalkan kesan mendalam bagi pendengar dongeng, terutama kesan terhadap hal yang
menjadi fokus penekanan sang pendongeng.
Penutup
Pernyataan atas mengumumnya penggunaan bentuk sapaan mbak dan mas di Kendari
meski kepada orang non-Jawa, baik yang bernada positif atau negatif, dapat dicari penjelasannya
dalam cerita rakyat atau dongeng yang dianggap dapat mewakili suku Jawa dan suku lokal di
Kendari. Dari kutipan dongeng diperoleh gambaran bahwa dalam dongeng Tolaki (sebagai salah
satu suku asli yang mendiami wilayah Kendari) tidak ada bentuk sapaan khas yang
merepresentasikan kepentingan proyeksi angan-angan kelompok, alat pengesahan pranata
kebudayaan, alat edukasi, ataupun pengawas norma dalam masyarakat. Hal ini memunculkan
pemakluman atas keadaan yang ada saat ini, di mana tidak ada bentuk sapaan khasnya yang
digunakan oleh masyarakat umum di Kendari. Hal lain yang turut memengaruhi kondisi ini ialah
tertutupnya komunikasi dalam bahasa daerah Tolaki (dan bahasa-bahasa daerah asli di Sulawesi
Tenggara pada umumnya). Bahasa-bahasa ini, termasuk bentuk sapaan khasnya, cenderung hanya
digunakan ketika seseorang berada dalam lingkungan interaksi yang homogen. Sementara itu,
dalam budaya Jawa dikenal tabu njangkar yang menganggap tidak sopan menyapa seseorang
tanpa embel-embel kata sapaan. Hal ini tercermin dalam cerita rakyat atau dongeng Jawa. Dalam
dongeng Jawa (dalam makalah ini dicontohkan dongeng Ande-Ande Lumut ) banyak dijumpai
bentuk sapaan khas Jawa. Meskipun kebanyakan bentuk sapaan dari masyarakat kelas priyayi atau
bangsawan, tetapi dijumpai juga bentuk sapaan untuk rakyat kebanyakan seperti mbakyu dan
kangmas. Dari hal ini dapat dimafhumkan apabila dongeng Jawa mengemban fungsinya sebagai
kepentingan proyeksi angan-angan kelompok, alat pengesahan pranata kebudayaan, alat edukasi,
ataupun pengawas norma dalam masyarakat dalam hal tabu njangkar. Bentuk mbakyu dan
kangmas ini mengalami penyederhanaan menjadi mbak dan mas, dan diterima oleh masyarakat
baik Jawa maupun nonjawa. Ketersebaran orang Jawa membawa serta perilaku tabu njangkar di
perantauan sehingga mbak dan mas digunakan juga di Kendari.
Daftar Pustaka
Badan Pusat Statistik Provinsi Kendari. 2010. Kendari dalam Angka. Kendari: Badan Pusat Statistik
Provinsi Kendari.
Danandjaya, James. 2002. Folklor Indonesia. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Diansari. Andhe-Andhe Lumut . Kalawarti Pendhidhikan Jemparing No. 05, November 2011.
http://augustrush15.wordpress.com/2010/08/11/folklor-indonesia. Tanggal akses: 30 Oktober
2012 pkl 10.05.

Kongres II Bahasa-Bahasa Daerah Sulawesi Tenggara 2014 | 294

Pemertahanan Bahasa Daerah
dalam Bingkai Keberagaman Budaya di Sulawesi Tenggara

http://fortive.blogspot.com/2012/11/cerita-rakyat-ande-ande-lumut. tanggal akses: 3 Januari
2013 pkl. 05.50.
Kodiran. 1980. Kebudayaan Jawa . Dalam Koentjaraningrat (redaksi). Manusia dan Kebudayaan di
Indonesia: 322 345. Jakarta: Penerbit Djambatan.
Mulya, Abdul Kadir, dkk. 2004. Sistem Sapaan Bahasa Tolaki. Jakarta: Pusat Bahasa.
Nasruddin dan Haruddin. 1998. Prosa dalam Sastra Tolaki. Jakarta: Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Prawiroatmodjo, S. 1981. Bausastra Jawa-Indonesia. Jakarta: PT Gunung Agung.
Purwa, I Made, dkk.. 2003. Sistem Sapaan Bahasa Sumbawa. Jakarta: Badan Bahasa Departemen
Pendidikan Nasional.
Saryono, Djoko. 2011. Sosok Nilai Budaya Jawa: Rekonstruksi Normatif-Idealis. Malang: Aditya
Media Publishing.
Sukmawati. 2006. Sistem Sapaan Bahasa Muna. Kendari: Kantor Bahasa Provinsi Kendari.
Untoro, Ratun. 2011. Pemakaian Bahasa Jawa dalam Keluarga Jawa di Manado . Makalah
disampaikan pada Kongres Bahasa Jawa V di Surabaya 27 30 November 2011.

Kongres II Bahasa-Bahasa Daerah Sulawesi Tenggara 2014 | 295

Pemertahanan Bahasa Daerah
dalam Bingkai Keberagaman Budaya di Sulawesi Tenggara

Laporan Sidang
Sidang
Hari, Tanggal, Pukul
Judul Makalah
Penyaji/Pembicara
Moderator
Notulen

: Komisi III (Komisi Akulturasi), Sesi III
: Rabu, 8 Oktober 2014, 13.00 14.00
: Tabu Njangkar Orang Jawa di Sulawesi Tenggara
: Heksa Biopsi Puji Hastuti, S. S., M. Hum.
: Wahidah, M.A.
: Asrif, S. Pd., M. Hum.

Tanya Jawab
Pertanyaan/Saran
Drs. Juhaeba, M. Si. (Universitas Halu Oleo)
Ibu menyebutkan istilah luale dari bahasa Tolaki. Luale tadi menurut Ibu adalah perempuan secara
umum. Menurut pemahaman saya sebagai orang Tolaki, luale itu adalah sebutan untuk
perempuan yang sudah berusia gadis, bukan anak-anak lagi. Kalau sebutan perempuan untuk
anak-anak ada empat, yaitu tina, mbui, mburi, tie.
Menurut Ibu, apakah penelitian Ibu ini menjadi masalah dalam pandangan bahasa Indonesia?
Pertanyaan/Saran
La Ode Aris, S. Sos., M. A.
Setelah meihat contoh nama panggilan yang ibu kemukakan, menurut saya panggilan itu
tergantung status di masyarakat, bangsawan atau bukan. Panggilan ode itu biasa laki-laki juga
perempuan. Ketika menunjuk perempuan harus ada wa di depan ode khusus untuk bangsawan.
Lama kelamaan terjadi perluasan makna, ode itu ditujukan untuk semua kalangan, tanpa
memandang status. Hal ini biasanya dilakukan oleh suku-suku pendatang, bukan dari suku Muna
sendiri.
Kalau sudah menikah dan dianggap tua ada lagi panggilannya, dipanggil ida untuk laki-laki/paapa
untuk perempuan bangsawan, yang bukan bangsawan dipanggal ama (laki-laki) /ina. Sapaan
untuk seseorang menunjukkan status seseorang. Tidak sembarang menggunakan bahasa jangan
sampai orang yang disapa marah atau tersinggung.
Panggilan untuk abe dan ege jarang lagi dipakai saat ini karena mungkin ada pengaruh lain.
Biasanya kedua istilah ini digunakan pada bayi yang baru lahir yang belum memiliki nama. Jadi
untuk sementara bayi tersebut dipanggil abe atau ege. Kedua panggilan ini hanya digunakan untuk
masyarakat biasa. Jadi, baik kalau ada penelitian lebih jauh lagi di daerah Muna.
Pertanyaan/Saran
Nurianti, S. Ag. (Guru)
Penggunaan kata sapaan mas dan mbak, apakah sapaan ini hanya digunakan berdasarkan usia?
Mohon dijelaskan?

Kongres II Bahasa-Bahasa Daerah Sulawesi Tenggara 2014 | 296

Pemertahanan Bahasa Daerah
dalam Bingkai Keberagaman Budaya di Sulawesi Tenggara

Jawaban/Tanggapan
- Terima kasih atas koreksinya, Pak. Waktu saya melakukan penelitian, saya menanyakan makna
luale pada seorang informan orang Tolaki yang menyatakan bahwa makna luale ini tidak
mengenal usia. Ketika sudah menikah pun dapat dipanggil luale. Kalau memang ada
pertentangan dan ketidaksesuaian makna luale ini menurut informan saya dan Bapak, perlu
dilakukan penelitian lanjutan. Hasil koreksi ini akan saya jadikan bahan revisi. Terima kasih.
- Dalam kaitannya dengan pandangan bahasa Indonesia, semisal dalam fungsinya sebagai bahasa
nasional, menurut saya tidak ada masalah jika kita menyapa seseorang dengan sapaan lokal.
Lokalitas merupakan sebuah perekat, baik itu diperantauan maupun di daerah sendiri. Selain itu
juga mengingatkan kita selalu akan konsep kebhinekaan Nusantara, yakni perbedaan yang
memunculkan keindahan dan harmoni. Bukan berarti penggunaan sapaan lokal memupuskan
nasionalisme bahasa Indonesia, dan kata mbak dan mas ini sudah dimasukkan dalam KBBI.
- Terima kasih atas masukan dari Bapak. Ada pemakaian sapaan bahasa daerah tidak meluas
penggunaannya sehingga kurang dikenal oleh masyarakat. Tergantung sikap penutur bahasa
daerah itu. Mereka jarang atau tidak mempergunakan sapaan-sapaan tersebut di tempat umum
sehingga kurang dikenal. Si penutur bahasa daerah itulah yang harus memperkenalkan bahasa
daerahnya sendiri, termasuk sapaan-sapaan daerah. Karena, siapa lagi yang bertanggung jawab
atas kelangsungan hidup sebuah bahasa selain penutur bahasa tersebut? Saya pun setuju
dengan Bapak tentang penelitian lebih lanjut mengenai sapaan bahasa Muna ini. Ternyata masih
banyak detail yang belum diketahui secara luas.
- Dalam hubungan kekerabatan orang Jawa, sapaan mas dan mbak memang mengacu pada
perbedaan usia. Mas dan mbak adalah sapaan untuk orang yang usianya lebih tua. Akan tetapi,
di dalam komunikasi masyarakat, penggunaan mas dan mbak ini tidak lagi hanya untuk
menunjukkan perbedaan usia. Kata sapaan ini lebih memainkan peran sebagai sapaan
penghormatan. Secara esensi dalam komunikasi orang Jawa, penggunaan kata sapaan ini adalah
upaya untuk tidak melakukan tabu njangkar. Ada ketakutan dari masyarakat yang bukan penutur
bahasa daerah untuk menyapa seseorang dengan sapaan dalam bahasa daerahnya. Jangan
sampai salah dan menyebabkan orang tersinggung sehingga masyarakat dari suku lain lebih
cenderung menggunakan sapaan Pak, Ibu, Mas, atau mba yang lazim digunakan.

Kongres II Bahasa-Bahasa Daerah Sulawesi Tenggara 2014 | 297