PATOFISIOLOGI GANGGUAN JANTUNG PADA ANAK
PATOFISIOLOGI GANGGUAN JANTUNG PADA ANAK DENGAN PENYAKIT KRITIS 5,9,11
GANGGUAN TERHADAP
1. PRELOAD
Penurunan preload bisa terjadi karena berkurangnya jumlah cairan intravaskuler, dilatasi
vena
dan
atau kebocoran kapiler. Kondisi ini dapat terjadi pada
SIRS dan luka bakar,
gangguan integritas endotel berakibat kebocoran plasma yang hebat, gangguankeseimbangan
cairan dan elektrolit. Penyakit obstruksi paru menahun atau khronik mengakibatkan hipoksia dan
hipertensi pulmonal karena refleks vasokonstriksi arteria pulmonalis akibat hipoksia serta
hipoperfusi miokard dan renjatan sitotoksik karena penurunan pemakaian oksigen di
jaringan.
Kondisi
ini
mengakibatkan
peningkatan
afterload
ventrikel
kanan
sehinggamenurunkan right ventrikel end diastolic volume (RVEDV). Hiperinflasi paru dan
stiff lung sering disertai gangguan fungsi relaksasi miokard , hipoksia berat juga mengganggu
relaksasi ventrikle
kiri, hipoksia
dan
takipnea mengakibatakan
systolic ejection
time
menurun. Dengan demikian penyakit paru kritis pada anak sering mengakibatkan penurunan
preload dan volume sekuncup ventrikel kiri. Luka bakar mengakibatkan kerusakan integritas
endotel dan kebocoran kapiler yang masif dalam 24 sampai 48 jam pertama, terjadi mengganggu
keseimbangan cairan interkompartemen
dan penurunan
volume intravaskuler yang hebat
sehingga mengakibatkan penurunan preload yang hebat.5,11
2.
GANGGUAN TERHADAP KONTRAKTILITAS :
Kontraktilitas
jantung meningkat oleh
adanya rangsangan
epineprin,
norepineprin,
glukagon, hormon tiroid dan rangsangan simpatis. Kontraktilitas jantung menurun oleh
adanya pengaruh dari rangsangan simpatis. Kontraktilitas jantung mempengaruhi volume akhir
sistol yang pada akhirnya curah jantung sangat bergantung kepada volume akhir sistol.
Penyakitkritis pada anak
sering
mengakibatkan
gangguan
kontraktilitas sehingga
menimbulkan disfungsi miokard karena pelepasan berbagai mediator yang memberikan depresi
miokard.
Produksi proinflammatory cytokines, adhesion molecules, vasoactive mediators, reactive
oxygen species dan aktivasi sel innate immune dalam responimmuno-inflammatory yang
sering dijumpai pada kondisi sepsis dan SIRS dan sangat berkaitan dengan depresi miokard
serta gangguan sistem persarafan otonom dalam mengendalikan frekuensi denyut jantung.
Beberapa cytokine yang terbentuk termasuk tumour necrosis factor a (TNFa), interleukins (ILIL-1b, IL-8, IL-6, IL-10, IL-4, IL-13), interferon g (IFNg), dan transforming growth factor-b
(TGF-b). . Terdapat hubungan yang erat antara sistim imunitas tubuh dan reaksi inflamasi
( immunoinflammatoryresponse)
serta
beberapa mediator hematologis
yang
juga
mengakibatkan depresi miokard.Pada sepsis terjadi penurunan ekstraksi oksigen ke jaringan
menghambat transferelektron di dalam mitokondria pada reseptor terminal dari sitokrom
oksidase. Kondisi ini mengakibatkan
hipoksia sel dan peningkatan kadar reactive oxygen
species (ROS) di dalam mitokondria miokard. Gejala khas berupa diffuse microvascular injury
dan disfungsi sistolik maupun diastolik.
Jantung dan pembuluh darah sangat sensitif terhadap pengaruh pro-inflammatory cytokines
dan bahan vasoaktif lain yang terjadi pada kondisi sepsis. Nitric oxide dibentuk dari inducible
nitric oxide synthase (iNOS) di dalam endotel dan otot polos vaskuler sebagai respons terhadap
pro-inflammatory cytokines. Nitricoxide adalah mediator vasoaktif yang bertanggung jawab
terhadap tahanan pembuluh darah sistemik pada kejadian hipotensi pada renjatan sepsis yang
biasanya refrakter terhadap terapi cairan, inotropik dan vasokonstriktor yang konvensional.
Endotoksin dan pro-inflammatory
cytokines keduanya mengakibatkan
depresi miokard,
sebagaimediatornya adalah NO dan bertanggung jawab terhadap leucitropy ( kemampuan
jantung untuk relaksasi, memaksimalkan
end diastolic filling dan perfusi koroner). iNOS
diproduksi di dalam miokard sebagai respons terhadap cytokines dan peningkatan produksi
NO.
Efek
reologi pada sepsis berupa
gangguan
oksigen,termasuk cardiac index, proses pelepasan
hemodinamik
oksigen kejaringan
dan
transport
dan pemakaian
oksigen menjadi tidak efisien. Peningkatan viskositas darah dan agregasi eritrosit serta
penurunan deformabilitas
eritrosit pada sepsis akan
memperburuk
keadaan
akibat
terganggunya jantung untuk memompa darah ke organ vital. Kondisi dengan hipokalemia,
hipokalsemia, hipomagnesemia, hipoalbuminemia anemia dan hipertensi pada gagal ginjal akut
maupun khronik, mengakibatkan gangguan kontraktilitas miokard dan berbagai jenis disritmia
yang fatal (fibrilasi ventrikel atau atrial fibrilasi dengan rapid ventricular respons). Gangguan
kontraktilitas miokard meningkatkan tekanan pengisian ventrikel kanandan ventrikel kiri serta
penurunan curah jantung. Saturasi oksigen mixed venous menurun karena peningkatan ekstraksi
oksigen jaringan akibat penurunan curah jantung. Kondisi ini dikombinasi dengan
intrapulmonary shunting mengakibatkan desatuasi oksigen arterial. Gangguan kontraktilitas
miokard
juga mengakibatkan
aktivasi beberapa mekanisme kompensasi fisiologi yaitu
rangsangan simpatis (terjadi peningkatan heart rate, kontraktilitas miokard, retensi cairan di
ginjal sehingga terjadi peningkatan preload ventrikel kiri).
Peningkatan
heart rate dan
kontraktilitas miokard akan meningkatkan kebutuhan oksigen sehingga memperburuk iskemia
miokard. Retensi cairan dan gangguan pengisian ventrikel kiri oleh adanya takikardia dan
iskemia mengakibatkan bendungan sistem vena paru dan hipoksia. Rangsangan simpatis juga
mengakibatkan vasokonstriksi untuk mempertahankan tekanan darah sistemik tapi hal ini
akan meningkatkan afterload miokard sehingga menurunkan penampilan jantung. Akhirnya
terjadi lingkaran setan, yang bila tidak segera diputus maka segera terjadi kematian. Biasanya,
gangguan fungsi sistol dan distol terjadi pada syok kardiogenik akibat syok septik yang berat.
Gangguan metabolisme yang mengganggu kontraktilitas miokard selanjutnya memperburuk
fungsi sistolik
ventrikel.
Iskemia
miokard
menurunkan myocardial compliance dengan
demikian meningkatkan tekanan pengisian ventrikel kiri dan volume akhir diastol (disfungsi
diastolik) yang mengakibatkan edema paru dan gagal jantung kongestif.
3. AFTERLOAD
:Pada kondisi normal, untuk mempertahankan perfusi jaringan tubuh diperlukan keseimbangan
antara efek vasokonstriktor dan vasodilator di dalam sirkulasi darah. Pada penyakit kritis, terjadi
perubahan di dalam sirkulasi darah dan keseimbangan tersebut terganggu. Renal blood flow
dan glomerular filtration, ginjal mempunyai autoregulasi yang bergantung kepada tonus arteriol
aferen dan eferen, mekanisme ini terganggu pada kondisi sepsis. Hipovolemia relatif pada sepsis
merupakan penyebab hipoperfusi ginjal dan mengaktivasi sistem RAA sehingga terjadi
peningkatan afterload yang hebat. Pada
sepsis, vaskuler ginjal mempunyai respons yang sangat bervariasi terhadap mediator penyebab
vasodilatasi sistemik, aliran darah ke ginjal tidak dapat di prediksi berdasarkan parameter
tekanan darah sistemik. Ginjal memproduksi vasokonstriktor intrinsik sebagai respons terhadap
cytokines dan sistem renin-angiotensin-aldosteron.
4.
GANGGUAN TERHADAP IRAMA DAN FREKUENSI DENYUT JANTUNG
Hiperpireksia sering menyertai sakit kritis pada anak dan menunjukkan disfungsi
hipotalamus mengakibatkan system control frekuensi jantung terganggu serta peningkatan
pemakaian oksigen yang berlebihan diseluruh jaringan tubuh. Frekuensi, irama denyut
jantung dan volume sekuncup sangat menentukan besarnya curah jantung, sehingga semua
faktor yang mempengaruhi frekuensi yaitu sistem saraf autonom dan hormon selain suhu
tubuh akan mempengaruhi curah jantung. Hal ini oleh karena peningkatan atau penurunan
heart rate yang tidak efektif akan menurunkan filling time setiap
ventrikel diastol dan
mengakibatkan penurunan volume akhir diastol sehingga terjadi penurunan curah jantung. Sinus
takikardia merupakan respons tubuh untuk meningkatkan curah jantung dan pelepasan
oksigen ke jaringan sesuai dengan kebutuhan metabolisme tubuh. Hal ini Terjadi peningkatan
otomatisasi jantung akibat katekolamin di dalam sirkulasi darah.
Pada penyakit kritis sering disertai kecemasan, febris, rasa sakit, anemia, hypovolemia,
sepsis, gangguan metabolik, hipoksia, hipo/hipertermia, hiperkalemia, hipomagnesemia, dan
asidosis, kondisi seperti ini merupakan pemicu untuk terjadinya takikardi ventrikuler yang fatal.
Sinus bradikardia atau bradidisritmia akibat hiperkalemia yaitu kadar kalium serum > 5
mEq/L dengan tanda berupa kompleks QRS yang lebar, gelombang T yang tinggi dan tajam,
gelombang P yang rendah, fibrilasi ventrikel sampai henti jantung. Kadar kalium serum > 6
mEq/L merupakan suatu kedaruratan medik, bila mencapai > 7 mEq/L dapat mengancam
kehidupan. Hiperkalemia pada sakit kritis pada anak terjadi bila perolehan kalium lebih besar
dari pengeluaran, kondisi ini akibat : a) iatrogenik baik secara oral maupun intravena; b)
keluarnya kalium dari sel akibat kerusakan sel masif oleh karena trauma, luka bakar luas,
rabdomiolisis, hemolisis hebat, lisis tumor, nekrosis sel, transfuse darah dengan stored blood,
serta asidosis metabolik maupun respiratorik. ; c) pengeluaran kalium dari ginjal menurun akibat
oliguria,
nefiritis intersisial dan
gagal ginjal, hipoaldosteronisme akibat pemberian ACE
inhibitor pada hipertensi. Pada penyakit kritis lebih sering juga dijumpai hipokalemia daripada
hyperkalemia yaitu kadar kalium serum < 3,5 mEq/L, akibat dari : a) perolehan kalium yang
lebih rendah dari pengeluaran ; b) hipokalemia redistribusi yaitu masuknya kalium kedalam sel
pada saat metabolic atau respiratorik alkalosis dan pada saat pengobatan insulin pada
diabetik keto asidosis ; c) peningkatan kalium di usus yang berlebihan pada diare dan muntah,
pemasangan nasogastric tube, fistula serta pemakaian laksatif yang berlebihan ;d) peningkatan
kalium di ginjal yang berlebihan pada pemakaian diuretikum dan hiperaldosteronisme, renin
yang berlebihan pada renovascular hypertension,
serta keringat yang berlebihan. Gejala
hipokalemi biasanya sekender terhadap penyebabnya, yang fatal dapat mempengaruhi fungsi
dan sistim konduksi jantung. Pada EKG tampak depresi segmen ST, gelombang T mendatar
sampai inverted, gelombang U
prominen, disritmia ventrikuler, irama ektopik ventrikuler
sampai fibrilasi ventrikuler.
Gangguan keseimbangan natrium Selalu
berkaitan
dengan
keseimbangan
air,
osmolalitas dipantau osmoreseptor di hipotalamus, status hidrasi atau volume cairan (ECV)
ekstraseluler dipantau dari tekanan oleh baroreseptor di sinus karotis, sinus aorta dan atrium
kanan. Bila volume ECV meningkat, mekanisme untuk meningkatkan ekskresi natrium dan
air diaktifkan.
Bila volume plasma meningkat,
venous return yang meningkat akan
meregangkan dinding atrium dan merangsang pelepasan atrial natriuretic peptides (ANP). ANP
ini mengurangi rasa haus dan menghambat pengeluaran aldosterone, sehingga pengeluaran air
dan natrium meningkat, volume ECV berkurang dan tekanan darah normal kembali. Bila
osmolalitas yang dipantau hipotalamus menurun, pelepasan hormon antidiuretik (ADH)
dikurangi, mengakibatkan pengeluaran air di ginjal meningkat, sehingga volume cairan ECV
kembali normal. Bila ECV menurun maka mekanisme untuk mengurangi pengeluaran air dan
natrium diaktifkan sehingga ECV akan meningkat kembali. Disamping itu penurunan ECV akan
diikuti penurunan tekanan darah maka sistim renin-angiotensin-aldosteron diaktifkan dengan
akibat pengeluaran air dan natrium dikurangi sehinga ECV dan tekanan darah naik kembali.
Bila osmolalitas meningkat maka AD dilepaskan lebih banyak, akibatnya pengeluaran air di
ginjal dikurangi sehinga ECV meningkat dan tekanan darah normal kembali.
Hipernatremia (> 145 mEq/L), menunjukkan bahwa proporsi jumlah natrium lebih
besar dan proporsi jumlah air lebih sedikit di dalam ECV dibanding nilai normal. Kadar natrium
tidak menujukkan jumlah natrium di dalam ECV dan tidak menunjukkan jumlah air dan volum
ECV. Terjadi bila pemasukan natrium lebih banyak dari pada pemasukan air (kurang minum) dan
pengeluaran air lebih banyak (muntah) dari pada pengeluaran natrium. Sering akibat iatrogenik
(pemberian cairan hipertonik, natrium bikarbonat, nutrisi parenteral). Pada diabetes insipidus,
pengeluaran air lebih banyak dari pada natrium, osmolalitas urin < 150 mOsml/L. Gejala
hipernatremia memberikan akibat hipertonis yaitu air keluar dari sel, terjadi dehidrasi intrasel
terutama otak sehingga timbul koma, twitching dan dehidrasi miokard sehingga menurunkan
kontraktilitas dan curah jantung. Hipernatremia hypervolemia terjadi bila pemasukan natrium
lebih banyak, memberikan gejala hipertensi, sesak nafas , edema paru dan efusi pleura.
Gambar 2 : Berbagai faktor yang terjadi pada sakit kritis pada anak yang mempengaruhi
volume sekuncup (stroke volume) .
Gambar 3 : Berbagai faktor yang terjadi pada penyakit kritis pada anak
yangmempengaruhi curah jantung (cardiac output)
gambar 4 : Berbagai faktor yang terjadi pada penyakit kritis dengan melalui berbagai
mekanisme yang mengganggu fungsi jantung,.
5.
GANGGUAN JANTUNG PADA INFEKSI DAN SEPSIS
Perubahan fisiologis akibat sepsis paling sering berupa penurunan kontraktilitas
ventrikel kanan dan kiri, peningkatan venous capacitance dan tahanan vaskuler paru serta
kebocoran
plasma.
Peningkatan
ventricular
compliance dan
sinus takikardia
bahkan
penurunan tahanan arteriol merupakan respons adaptasi untuk mempertahankan curah jantung
sesuai kebutuhan metabolisme tubuh, tetapi memberikan konsekuensi terhadap penurunan
tekanan darah yang berlebihan serta fatal. Oleh karena itu berdasarkan perubahan fisiologi
tersebut maka terapi rasional pada sepsis yang telah terjadi gangguan fungsi jantung adalah
pemberian
inotropik dan vasopresor ( untuk
meningkatkan
kontraktilitas
dan
tahanan
vaskuler sistemik) sementara diberikan resusitasi cairan.
Pada setiap anak dengan sepsis terutama yang telah mendapat terapi steroid jangka lama
atau sudah terjadi kerusakan pada pituitari atau kerusakan adrenal, harus dipikirkan sudah
terjadi insufisiensi suprarenal bila tidak ada respon perbaikan hemodinamik walaupun sudah
diberi resusitasi cairan yang adekuat. Pada kondisi ini, pemberian kortikosteroid masih tetap
diperlukan pada syok septik yang sangat bergantung pada katekolamin,
dan
keterlibatan
miokard (miokarditis) akibat infeksi virus untuk mempertahankan fungsi ventrikel.
Walaupun penelitian khusus pada anak masih sangat jarang, tapi penemuan pada dewasa
bisa diimplementasikan pada usia anak. Dianjurkan pemberian hidrokortison 2 mg/kgBB
dilanjutkan dosis rumatan 2mg/kgBB/24 jam. Klarifikasi yang dipakai untuk menilai pasien
dengan sepsis secara klinis praktis adalah sebagai berikut :
1. Bacteremia: terdapat bakteri dalam darah, kultur darah menunjukan bakteri.
2. Septicemia: terdapat microba dan toxinnya dalam darah.
3. Systemic inflammatory response syndrome (SIRS) diikuti dengan: Temperature
>38o atau < 36OC, Heart rate >90 beats/min, Respiratory rate >20 breaths/min or
PaCO2
GANGGUAN TERHADAP
1. PRELOAD
Penurunan preload bisa terjadi karena berkurangnya jumlah cairan intravaskuler, dilatasi
vena
dan
atau kebocoran kapiler. Kondisi ini dapat terjadi pada
SIRS dan luka bakar,
gangguan integritas endotel berakibat kebocoran plasma yang hebat, gangguankeseimbangan
cairan dan elektrolit. Penyakit obstruksi paru menahun atau khronik mengakibatkan hipoksia dan
hipertensi pulmonal karena refleks vasokonstriksi arteria pulmonalis akibat hipoksia serta
hipoperfusi miokard dan renjatan sitotoksik karena penurunan pemakaian oksigen di
jaringan.
Kondisi
ini
mengakibatkan
peningkatan
afterload
ventrikel
kanan
sehinggamenurunkan right ventrikel end diastolic volume (RVEDV). Hiperinflasi paru dan
stiff lung sering disertai gangguan fungsi relaksasi miokard , hipoksia berat juga mengganggu
relaksasi ventrikle
kiri, hipoksia
dan
takipnea mengakibatakan
systolic ejection
time
menurun. Dengan demikian penyakit paru kritis pada anak sering mengakibatkan penurunan
preload dan volume sekuncup ventrikel kiri. Luka bakar mengakibatkan kerusakan integritas
endotel dan kebocoran kapiler yang masif dalam 24 sampai 48 jam pertama, terjadi mengganggu
keseimbangan cairan interkompartemen
dan penurunan
volume intravaskuler yang hebat
sehingga mengakibatkan penurunan preload yang hebat.5,11
2.
GANGGUAN TERHADAP KONTRAKTILITAS :
Kontraktilitas
jantung meningkat oleh
adanya rangsangan
epineprin,
norepineprin,
glukagon, hormon tiroid dan rangsangan simpatis. Kontraktilitas jantung menurun oleh
adanya pengaruh dari rangsangan simpatis. Kontraktilitas jantung mempengaruhi volume akhir
sistol yang pada akhirnya curah jantung sangat bergantung kepada volume akhir sistol.
Penyakitkritis pada anak
sering
mengakibatkan
gangguan
kontraktilitas sehingga
menimbulkan disfungsi miokard karena pelepasan berbagai mediator yang memberikan depresi
miokard.
Produksi proinflammatory cytokines, adhesion molecules, vasoactive mediators, reactive
oxygen species dan aktivasi sel innate immune dalam responimmuno-inflammatory yang
sering dijumpai pada kondisi sepsis dan SIRS dan sangat berkaitan dengan depresi miokard
serta gangguan sistem persarafan otonom dalam mengendalikan frekuensi denyut jantung.
Beberapa cytokine yang terbentuk termasuk tumour necrosis factor a (TNFa), interleukins (ILIL-1b, IL-8, IL-6, IL-10, IL-4, IL-13), interferon g (IFNg), dan transforming growth factor-b
(TGF-b). . Terdapat hubungan yang erat antara sistim imunitas tubuh dan reaksi inflamasi
( immunoinflammatoryresponse)
serta
beberapa mediator hematologis
yang
juga
mengakibatkan depresi miokard.Pada sepsis terjadi penurunan ekstraksi oksigen ke jaringan
menghambat transferelektron di dalam mitokondria pada reseptor terminal dari sitokrom
oksidase. Kondisi ini mengakibatkan
hipoksia sel dan peningkatan kadar reactive oxygen
species (ROS) di dalam mitokondria miokard. Gejala khas berupa diffuse microvascular injury
dan disfungsi sistolik maupun diastolik.
Jantung dan pembuluh darah sangat sensitif terhadap pengaruh pro-inflammatory cytokines
dan bahan vasoaktif lain yang terjadi pada kondisi sepsis. Nitric oxide dibentuk dari inducible
nitric oxide synthase (iNOS) di dalam endotel dan otot polos vaskuler sebagai respons terhadap
pro-inflammatory cytokines. Nitricoxide adalah mediator vasoaktif yang bertanggung jawab
terhadap tahanan pembuluh darah sistemik pada kejadian hipotensi pada renjatan sepsis yang
biasanya refrakter terhadap terapi cairan, inotropik dan vasokonstriktor yang konvensional.
Endotoksin dan pro-inflammatory
cytokines keduanya mengakibatkan
depresi miokard,
sebagaimediatornya adalah NO dan bertanggung jawab terhadap leucitropy ( kemampuan
jantung untuk relaksasi, memaksimalkan
end diastolic filling dan perfusi koroner). iNOS
diproduksi di dalam miokard sebagai respons terhadap cytokines dan peningkatan produksi
NO.
Efek
reologi pada sepsis berupa
gangguan
oksigen,termasuk cardiac index, proses pelepasan
hemodinamik
oksigen kejaringan
dan
transport
dan pemakaian
oksigen menjadi tidak efisien. Peningkatan viskositas darah dan agregasi eritrosit serta
penurunan deformabilitas
eritrosit pada sepsis akan
memperburuk
keadaan
akibat
terganggunya jantung untuk memompa darah ke organ vital. Kondisi dengan hipokalemia,
hipokalsemia, hipomagnesemia, hipoalbuminemia anemia dan hipertensi pada gagal ginjal akut
maupun khronik, mengakibatkan gangguan kontraktilitas miokard dan berbagai jenis disritmia
yang fatal (fibrilasi ventrikel atau atrial fibrilasi dengan rapid ventricular respons). Gangguan
kontraktilitas miokard meningkatkan tekanan pengisian ventrikel kanandan ventrikel kiri serta
penurunan curah jantung. Saturasi oksigen mixed venous menurun karena peningkatan ekstraksi
oksigen jaringan akibat penurunan curah jantung. Kondisi ini dikombinasi dengan
intrapulmonary shunting mengakibatkan desatuasi oksigen arterial. Gangguan kontraktilitas
miokard
juga mengakibatkan
aktivasi beberapa mekanisme kompensasi fisiologi yaitu
rangsangan simpatis (terjadi peningkatan heart rate, kontraktilitas miokard, retensi cairan di
ginjal sehingga terjadi peningkatan preload ventrikel kiri).
Peningkatan
heart rate dan
kontraktilitas miokard akan meningkatkan kebutuhan oksigen sehingga memperburuk iskemia
miokard. Retensi cairan dan gangguan pengisian ventrikel kiri oleh adanya takikardia dan
iskemia mengakibatkan bendungan sistem vena paru dan hipoksia. Rangsangan simpatis juga
mengakibatkan vasokonstriksi untuk mempertahankan tekanan darah sistemik tapi hal ini
akan meningkatkan afterload miokard sehingga menurunkan penampilan jantung. Akhirnya
terjadi lingkaran setan, yang bila tidak segera diputus maka segera terjadi kematian. Biasanya,
gangguan fungsi sistol dan distol terjadi pada syok kardiogenik akibat syok septik yang berat.
Gangguan metabolisme yang mengganggu kontraktilitas miokard selanjutnya memperburuk
fungsi sistolik
ventrikel.
Iskemia
miokard
menurunkan myocardial compliance dengan
demikian meningkatkan tekanan pengisian ventrikel kiri dan volume akhir diastol (disfungsi
diastolik) yang mengakibatkan edema paru dan gagal jantung kongestif.
3. AFTERLOAD
:Pada kondisi normal, untuk mempertahankan perfusi jaringan tubuh diperlukan keseimbangan
antara efek vasokonstriktor dan vasodilator di dalam sirkulasi darah. Pada penyakit kritis, terjadi
perubahan di dalam sirkulasi darah dan keseimbangan tersebut terganggu. Renal blood flow
dan glomerular filtration, ginjal mempunyai autoregulasi yang bergantung kepada tonus arteriol
aferen dan eferen, mekanisme ini terganggu pada kondisi sepsis. Hipovolemia relatif pada sepsis
merupakan penyebab hipoperfusi ginjal dan mengaktivasi sistem RAA sehingga terjadi
peningkatan afterload yang hebat. Pada
sepsis, vaskuler ginjal mempunyai respons yang sangat bervariasi terhadap mediator penyebab
vasodilatasi sistemik, aliran darah ke ginjal tidak dapat di prediksi berdasarkan parameter
tekanan darah sistemik. Ginjal memproduksi vasokonstriktor intrinsik sebagai respons terhadap
cytokines dan sistem renin-angiotensin-aldosteron.
4.
GANGGUAN TERHADAP IRAMA DAN FREKUENSI DENYUT JANTUNG
Hiperpireksia sering menyertai sakit kritis pada anak dan menunjukkan disfungsi
hipotalamus mengakibatkan system control frekuensi jantung terganggu serta peningkatan
pemakaian oksigen yang berlebihan diseluruh jaringan tubuh. Frekuensi, irama denyut
jantung dan volume sekuncup sangat menentukan besarnya curah jantung, sehingga semua
faktor yang mempengaruhi frekuensi yaitu sistem saraf autonom dan hormon selain suhu
tubuh akan mempengaruhi curah jantung. Hal ini oleh karena peningkatan atau penurunan
heart rate yang tidak efektif akan menurunkan filling time setiap
ventrikel diastol dan
mengakibatkan penurunan volume akhir diastol sehingga terjadi penurunan curah jantung. Sinus
takikardia merupakan respons tubuh untuk meningkatkan curah jantung dan pelepasan
oksigen ke jaringan sesuai dengan kebutuhan metabolisme tubuh. Hal ini Terjadi peningkatan
otomatisasi jantung akibat katekolamin di dalam sirkulasi darah.
Pada penyakit kritis sering disertai kecemasan, febris, rasa sakit, anemia, hypovolemia,
sepsis, gangguan metabolik, hipoksia, hipo/hipertermia, hiperkalemia, hipomagnesemia, dan
asidosis, kondisi seperti ini merupakan pemicu untuk terjadinya takikardi ventrikuler yang fatal.
Sinus bradikardia atau bradidisritmia akibat hiperkalemia yaitu kadar kalium serum > 5
mEq/L dengan tanda berupa kompleks QRS yang lebar, gelombang T yang tinggi dan tajam,
gelombang P yang rendah, fibrilasi ventrikel sampai henti jantung. Kadar kalium serum > 6
mEq/L merupakan suatu kedaruratan medik, bila mencapai > 7 mEq/L dapat mengancam
kehidupan. Hiperkalemia pada sakit kritis pada anak terjadi bila perolehan kalium lebih besar
dari pengeluaran, kondisi ini akibat : a) iatrogenik baik secara oral maupun intravena; b)
keluarnya kalium dari sel akibat kerusakan sel masif oleh karena trauma, luka bakar luas,
rabdomiolisis, hemolisis hebat, lisis tumor, nekrosis sel, transfuse darah dengan stored blood,
serta asidosis metabolik maupun respiratorik. ; c) pengeluaran kalium dari ginjal menurun akibat
oliguria,
nefiritis intersisial dan
gagal ginjal, hipoaldosteronisme akibat pemberian ACE
inhibitor pada hipertensi. Pada penyakit kritis lebih sering juga dijumpai hipokalemia daripada
hyperkalemia yaitu kadar kalium serum < 3,5 mEq/L, akibat dari : a) perolehan kalium yang
lebih rendah dari pengeluaran ; b) hipokalemia redistribusi yaitu masuknya kalium kedalam sel
pada saat metabolic atau respiratorik alkalosis dan pada saat pengobatan insulin pada
diabetik keto asidosis ; c) peningkatan kalium di usus yang berlebihan pada diare dan muntah,
pemasangan nasogastric tube, fistula serta pemakaian laksatif yang berlebihan ;d) peningkatan
kalium di ginjal yang berlebihan pada pemakaian diuretikum dan hiperaldosteronisme, renin
yang berlebihan pada renovascular hypertension,
serta keringat yang berlebihan. Gejala
hipokalemi biasanya sekender terhadap penyebabnya, yang fatal dapat mempengaruhi fungsi
dan sistim konduksi jantung. Pada EKG tampak depresi segmen ST, gelombang T mendatar
sampai inverted, gelombang U
prominen, disritmia ventrikuler, irama ektopik ventrikuler
sampai fibrilasi ventrikuler.
Gangguan keseimbangan natrium Selalu
berkaitan
dengan
keseimbangan
air,
osmolalitas dipantau osmoreseptor di hipotalamus, status hidrasi atau volume cairan (ECV)
ekstraseluler dipantau dari tekanan oleh baroreseptor di sinus karotis, sinus aorta dan atrium
kanan. Bila volume ECV meningkat, mekanisme untuk meningkatkan ekskresi natrium dan
air diaktifkan.
Bila volume plasma meningkat,
venous return yang meningkat akan
meregangkan dinding atrium dan merangsang pelepasan atrial natriuretic peptides (ANP). ANP
ini mengurangi rasa haus dan menghambat pengeluaran aldosterone, sehingga pengeluaran air
dan natrium meningkat, volume ECV berkurang dan tekanan darah normal kembali. Bila
osmolalitas yang dipantau hipotalamus menurun, pelepasan hormon antidiuretik (ADH)
dikurangi, mengakibatkan pengeluaran air di ginjal meningkat, sehingga volume cairan ECV
kembali normal. Bila ECV menurun maka mekanisme untuk mengurangi pengeluaran air dan
natrium diaktifkan sehingga ECV akan meningkat kembali. Disamping itu penurunan ECV akan
diikuti penurunan tekanan darah maka sistim renin-angiotensin-aldosteron diaktifkan dengan
akibat pengeluaran air dan natrium dikurangi sehinga ECV dan tekanan darah naik kembali.
Bila osmolalitas meningkat maka AD dilepaskan lebih banyak, akibatnya pengeluaran air di
ginjal dikurangi sehinga ECV meningkat dan tekanan darah normal kembali.
Hipernatremia (> 145 mEq/L), menunjukkan bahwa proporsi jumlah natrium lebih
besar dan proporsi jumlah air lebih sedikit di dalam ECV dibanding nilai normal. Kadar natrium
tidak menujukkan jumlah natrium di dalam ECV dan tidak menunjukkan jumlah air dan volum
ECV. Terjadi bila pemasukan natrium lebih banyak dari pada pemasukan air (kurang minum) dan
pengeluaran air lebih banyak (muntah) dari pada pengeluaran natrium. Sering akibat iatrogenik
(pemberian cairan hipertonik, natrium bikarbonat, nutrisi parenteral). Pada diabetes insipidus,
pengeluaran air lebih banyak dari pada natrium, osmolalitas urin < 150 mOsml/L. Gejala
hipernatremia memberikan akibat hipertonis yaitu air keluar dari sel, terjadi dehidrasi intrasel
terutama otak sehingga timbul koma, twitching dan dehidrasi miokard sehingga menurunkan
kontraktilitas dan curah jantung. Hipernatremia hypervolemia terjadi bila pemasukan natrium
lebih banyak, memberikan gejala hipertensi, sesak nafas , edema paru dan efusi pleura.
Gambar 2 : Berbagai faktor yang terjadi pada sakit kritis pada anak yang mempengaruhi
volume sekuncup (stroke volume) .
Gambar 3 : Berbagai faktor yang terjadi pada penyakit kritis pada anak
yangmempengaruhi curah jantung (cardiac output)
gambar 4 : Berbagai faktor yang terjadi pada penyakit kritis dengan melalui berbagai
mekanisme yang mengganggu fungsi jantung,.
5.
GANGGUAN JANTUNG PADA INFEKSI DAN SEPSIS
Perubahan fisiologis akibat sepsis paling sering berupa penurunan kontraktilitas
ventrikel kanan dan kiri, peningkatan venous capacitance dan tahanan vaskuler paru serta
kebocoran
plasma.
Peningkatan
ventricular
compliance dan
sinus takikardia
bahkan
penurunan tahanan arteriol merupakan respons adaptasi untuk mempertahankan curah jantung
sesuai kebutuhan metabolisme tubuh, tetapi memberikan konsekuensi terhadap penurunan
tekanan darah yang berlebihan serta fatal. Oleh karena itu berdasarkan perubahan fisiologi
tersebut maka terapi rasional pada sepsis yang telah terjadi gangguan fungsi jantung adalah
pemberian
inotropik dan vasopresor ( untuk
meningkatkan
kontraktilitas
dan
tahanan
vaskuler sistemik) sementara diberikan resusitasi cairan.
Pada setiap anak dengan sepsis terutama yang telah mendapat terapi steroid jangka lama
atau sudah terjadi kerusakan pada pituitari atau kerusakan adrenal, harus dipikirkan sudah
terjadi insufisiensi suprarenal bila tidak ada respon perbaikan hemodinamik walaupun sudah
diberi resusitasi cairan yang adekuat. Pada kondisi ini, pemberian kortikosteroid masih tetap
diperlukan pada syok septik yang sangat bergantung pada katekolamin,
dan
keterlibatan
miokard (miokarditis) akibat infeksi virus untuk mempertahankan fungsi ventrikel.
Walaupun penelitian khusus pada anak masih sangat jarang, tapi penemuan pada dewasa
bisa diimplementasikan pada usia anak. Dianjurkan pemberian hidrokortison 2 mg/kgBB
dilanjutkan dosis rumatan 2mg/kgBB/24 jam. Klarifikasi yang dipakai untuk menilai pasien
dengan sepsis secara klinis praktis adalah sebagai berikut :
1. Bacteremia: terdapat bakteri dalam darah, kultur darah menunjukan bakteri.
2. Septicemia: terdapat microba dan toxinnya dalam darah.
3. Systemic inflammatory response syndrome (SIRS) diikuti dengan: Temperature
>38o atau < 36OC, Heart rate >90 beats/min, Respiratory rate >20 breaths/min or
PaCO2