ASPEK HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM

E-COMMERCE TERHADAP KEJAHATAN CARDING

Magister Teknik Elektro Regulasi dan Hukum ICT Dosen: DR. IR. Iwan Krisnadi. Mba

Oleh:

Muhammad Syadzili Khafifi 55416110025

ASPEK HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM TRANSAKSI E-COMMERCE TERHADAP KEJAHATAN CARDING

Muhammad Syadzili Khafifi

Fakultas Teknik Elektro Universitas Mercu Buana Jl. Menteng Raya No.29 - Jakarta Pusat e-mail : syadzili0410@gmail.com

ABSTRAK

Seiring dengan perkembangan globalisasi, dunia perdagangan dan dunia bisnis ikut berkembang dengan munculnya model transaksi bisnis dengan teknologi tinggi. Kondisi ini di satu pihak membawa keuntungan terutama karena efisiensi, transformasi global dalam bidang ekonomi khususnya mengenai perkembangan perdagangan yang dilakukan dengan menggunakan teknologi elektronik sebagai salah satu cara bertransaksi (berdagang) yang sering disebut dengan transaksi e-commerce. E-commerce merupakan bentuk perdagangan yang mempunyai karakteristik tersendiri yaitu perdagangan yang melintasi batas negara, tidak bertemunya penjual dan pembeli, media yang dipergunakan internet.Kondisi tersebut di satu sisi sangat menguntungkan konsumen, karena mempunyai banyak pilihan untuk mendapatkan barang dan jasa tetapi di sisi lain pelanggaran akan hak – hak konsumen sangat riskan terjadi karena karakteristik e-commerce yang khas. Maka dari itu sangat diperlukan perlindungan hukum terhadap konsumen dalam transaksi e-commerce.

Perlindungan hukum terhadap konsumen diatur dengan Undang - undang No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.Undang - undang ini diharapkan dapat menjamin kepastian hukum terhadap konsumen dalam bertransaksi e-commerce.

Perkembangan teknologi dan internet tidak selamanya menghasilkan hal-hal yang positif. Hal negatif yang merupakan efek sampingnya antara lain adalah kejahatan carding (pencurian kartu kredit) yang merupakan salah satu jenis kejahatan di dunia cybercrime. Hilangnya batas ruang dan waktu di dunia maya mengubah banyak hal. Seorang carder dapat masuk ke sebuah server tanpa izin (unauthorized access). Tujuannya mungkin untuk mendapatkan barang tanpa membayar atau untuk mendapatkan dana yang tidak sah dari akun kartu kredit yang didapat.

Permasalahan yang muncul adalah penerapan yurisdiksi ekstrateritorial yang tidak dapat dipergunakan secara meluas dengan paksaan atau kehendak dari Indonesia. Penelitian ini merupakan legal research yang menggunakan pendekatan konseptual (conceptual approach) serta pendekatan perundang-undangan (statue approach) yang akan menelaah asas-asas hukum internasional yang terdapat di dalam Convention on Cybercrime dan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Berdasarkan metode yang digunakan, maka diketahui kejahatan carding merupakan kejahatan transnasional dan untuk mencegahnya diperlukan penerapan yurisdiksi ekstrateritorial yang didampingi dengan perjanjian internasional yaitu Convention on Cybercrime dan menambah beberapa pasal di dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sesuai dengan ketentuan konvensi tersebut.

Kata kunci : Konsumen, E-Commerce, Cybercrime, Carding

PENDAHULUAN

Seiring dan sejalan dengan perkembangan globalisasi, dunia perdagangan dan dunia bisnis juga ikut berkembang. Muncul sebuah model transaksi bisnis yang sangat inovatif yang mengikuti kemajuan teknologi tinggi di bidang media komunikasi dan informasi. Kemajuan internet dan teknologi informasi menjadikan negara-negara di seluruh dunia seolah tanpa batas ( borderless ). Semuanya terhubung dalam satu kesatuan sistem. Akibatnya, untuk mengakses suatu alamat di negara lain, seseorang hanya perlu mengetikkan alamat URL (Uniform Resource Locator) yang dituju. Kemudian masukkan user account dan password , kita akan mendapatkan fasilitas- fasilitas yang disediakan oleh situs tersebut. Selain memberikan kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan, kemajuan dan peradaban manusia, sekaligus menjadi sarana efektif untuk melakukan perbuatan kriminal. Dalam menanggapi fenomena tersebut, dalam dunia hukum kemudian lahirlah apa yang dikenal dengan hukum siber atau cyber law . Dalam bidang perdagangan, adanya teknologi internet atau cybernet memungkinkan transaksi bisnis tidak hanya dilakukan secara langsung (face to face, direct selling), melainkan dapat menggunakan teknologi ini. Media internet sendiri mulai banyak dimanfaatkan sebagai media aktivitas bisnis terutama karena kontribusinya terhadap efisiensi. Efisiensi merupakan salah satu keuntungan dalam transaksi melalui media internet karena penghematan waktu, baik karena tidak perlunya penjual dan pembeli bertemu secara langsung, tidak adanya kendala transportasi dan juga sistem pembayaran (payment) yang mudah.

Aktivitas atau transaksi perdagangan melalui media internet ini dikenal dengan istilah electronic commerce (e-commerce). E-commerce tersebut terbagi atas dua segmen yaitu perdagangan antar pelaku usaha (business to business e-commerce) dan perdagangan antar pelaku usaha dengan konsumen (business to consumer e-commerce). Segmen business to business e-commerce memang lebih mendominasi pasar saat ini karena nilai transaksinya yang tinggi, namun level business to consumer e- commerce juga memiliki pangsa pasar tersendiri yang potensial. Namun di samping beberapa keuntungan yang ditawarkan seperti yang telah disebutkan di atas, transaksi e-commerce juga menyodorkan beberapa permasalahan baik yang bersifat psikologis, hukum maupun ekonomis. Permasalahan yang bersifat psikologis misalnya adanya keraguan atas kebenaran data, informasi atau massage karena para pihak tidak pernah bertemu secara langsung. Oleh karena itu, masalah kepercayaan (trust) dan itikad baik (good faith) sangatlah penting dalam menjaga kelangsungan transaksi.

Untuk permasalahan hukum, masalah yang muncul biasanya mengenai legal certainty atau kepastian hukum. Permasalahan tersebut misalnya mengenai keabsahan transaksi bisnis dari aspek hukum perdata (misalnya apabila dilakukan oleh orang yang belum cakap/dewasa), masalah tanda tangan digital atau tanda tangan elektronik dan data massage. Selain itu permasalahan lain yang timbul misalnya berkenaan dengan jaminan keaslian (authenticity) data, kerahasiaan dokumen (privacy), kewajiban sehubungan dengan pajak (tax), perlindungan konsumen (protections of consumers), hukum yang ditunjuk jika terjadi pelanggaran perjanjian atau kontrak (breach of contract), masalah yurisdiksi hukum dan juga masalah hukum yang harus diterapkan (aplicable law) bila terjadi sengketa. Permasalahan yang disebutkan di atas menunjukkan bahwa transaksi melalui e-commerce mempunyai resiko yang cukup besar. Khusus mengenai pembayaran misalnya ada resiko yang timbul karena pihak

konsumen biasanya memiliki kewajiban untuk melakukan pembayaran terlebih dahulu (advanced payment), sementara ia tidak bisa melihat kebenaran serta kualitas barang yang dipesan dan tidak adanya jaminan kepastian bahwa barang yang dipesan akan dikirim sesuai pesanan. Lebih jauh lagi pembayaran melalui pengisian nomor kartu kredit di dalam suatu jaringan publik (open public network) seperti misalnya internet juga mengandung resiko yang tidak kecil, karena membuka peluang terjadinya kecurangan baik secara perdata maupun pidana. Hal ini disebabkan karena di dalam transaksi e- commerce, para pihak yang melakukan kegiatan perdagangan/perniagaan hanya berhubungan melalui suatu jaringan publik (public network) yang terbuka. Koneksi ke dalam jaringan internet sebagai jaringan publik merupakan koneksi yang tidak aman, sehingga hal ini menimbulkan konsekuensi bahwa transaksi e-commerce yang dilakukan dengan koneksi ke internet adalah bentuk transaksi beresiko tinggi yang dilakukan di media yang tidak aman. Namun demikian, kelemahan yang dimiliki oleh internet sebagai jaringan publik yang tidak aman ini telah dapat diminimalisasi dengan adanya penerapan teknologi penyandian informasi (crypthography) yaitu suatu proses sekuritisasi dengan melakukan proses enskripsi (dengan rumus algoritma) sehingga menjadi chipher/locked data yang hanya bisa dibaca/dibuka dengan melakukan proses reversal yaitu proses deskripsi sebelumnya. Selain itu kelemahan hakiki dari open network yang telah dikemukakan tersebut sebenarnya sudah dapat diantisipasi atau diminimalisasi dengan adanya sistem pengamanan digital signature yang juga menggunakan teknologi sandi crypthography.

Sekalipun kemajuan teknologi informasi memberikan banyak kemudahan bagi kehidupan manusia, tetapi kemajuan ini pun secara bersamaan menimbulkan berbagai permasalahan. Salah satu permasalahan yang muncul akibat perkembangan teknologi informasi adalah lahirnya kejahatan- kejahatan yang sifatnya baru, khususnya yang menggunakan internet sebagai alat bantunya, yang lebih dikenal cybercrimes (kejahatan dunia maya). Mengabaikan perkembangan teknologi saat ini akan menimbulkan dampak negatif di masa depan, sehingga keterbukaan, sifat proaktif serta antisipatif merupakan alternatif yang dapat dipilih dalam menghadapi dinamika perkembangan teknologi. Hal ini disebabkan karena Indonesia dalam kenyataannya sudah menjadi bagian dari pasar e-commerce global. Akibat dari kejahatan dunia maya dapat lebih luas daripada tindak pidana konvensional, karena para pelaku tidak dibatasi oleh waktu dan geografis, oleh karena itu wilayah terjadinya tidak hanya secara lokal atau nasional tetapi juga transnasional dan internasional. Kejahatan dunia maya yang akhir-akhir ini sering dilakukan adalah carding . Carding atau yang bisa disebut juga credit card fraud (penipuan kartu kredit) adalah Akuisisi dan / atau penggunaan kartu debit dan kartu kredit, atau rincian kartu, untuk keuntungan finansial. Kecurangan kartu mungkin melibatkan perolehan kartu yang sah dari lembaga keuangan dengan menggunakan dokumentasi pendukung palsu (application fraud), atau mencuri kartu kredit dan debit yang sah. Ini mungkin juga melibatkan phishing , pembuatan kartu palsu, hacking ke database perusahaan untuk mencuri data keuangan pelanggan, dan kartu Skimming.

Eksistensi cybercrime di dunia maya menimbulkan kesulitan tersendiri dalam proses penegakan hukum. Kesulitan yang timbul misalnya dalam menentukan tempat kejadian perkara ( locus delicti ).

Tempat kejadian perkara (TKP) pada tindak pidana pencurian yang konvensional dapat dengan jelas diketahui, misalnya lokasi terakhir barang yang dicuri berada. Pihak yang merasa kehilangan Tempat kejadian perkara (TKP) pada tindak pidana pencurian yang konvensional dapat dengan jelas diketahui, misalnya lokasi terakhir barang yang dicuri berada. Pihak yang merasa kehilangan

Penanganan kejahatan transnasional mengharuskan dilakukan tidak oleh satu negara saja tapi melalui kerjasama antar negara. Kejahatan tidak lagi berhenti lagi di perbatasan. Namun dalam perjalanannya, kerjasama yang dijalin antar negara terkadang menemui kesulitan karenan terkait dengan kedaulatan sebuah negara, perbedaan budaya, bahasa serta perbedaan dalam sistem hukum.

Indonesia sendiri telah memiliki Undang-undang khusus untuk menangani kasus kejahatan dunia maya, yaitu Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Undang-undang tersebut secara materi muatan telah dapat menjawab persoalan kepastian hukum menyangkut tindak pidana carding, hacking maupun cracking disertai dengan sanksi pidana atas tindakan-tindakan tersebut.

Dari uraian latar belakang di atas maka penulis mengangkat tema tentang “ASPEK HUKUM

PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM TRANSAKSI E-COMMERCE TERHADAP KEJAHATAN CARDING ”. PERUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian dari latar belakang masalah tersebut diatas, maka yang menjadi permasalahan dalam karya ilimiah ini adalah adalah sebagai berikut :

1. Apa sajakah permasalahan hukum yang dihadapi dalam transaksi e-commerce .

2. Bagaimanakah pranata atau pengaturan hukum yang dapat memberikan perlindungan terhadap konsumen dalam transaksi e-commerce.

3. Mengapa carding termasuk pada kejahatan transnasional dikaji dari perspektif hukum internasional.

4. Prinsip hukum internasional apa yang dapat mencegah kejahatan carding sebagai kejahatan transnasional.

5. Bagaimana perumusan norma hukum yang dapat mencegah kejahatan carding diharmonisasikan ke dalam undang-undang nomor 11 tahun 2008.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan legal research dengan menggunakan pendekatan konseptual (Conceptual Approach) dan pendekatan perundang-undangan ( Statue Approach ) . Dengan pendekatan konseptual peneliti akan menelaah asas-asas hukum internasional yang terdapat di dalam Convention on Cybercrime yang berguna untuk mencegah kejahatan carding . Pendekatan perundang-undangan digunakan untuk menelaah peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pencegahan kejahatan carding yaitu Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan Convention on Cybercrime yaitu konvensi yang dibuat oleh Council of Europe dan terbuka bagi seluruh negara di dunia. Khusus untuk perlindungan konsumen dalam tataran internasional telah diterima The United Nation Guidelines for Consumer Protection yang diterima oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui Resolusi No. A/RES/39/248 tanggal 16 April 1985 dengan memberikan penekanan terhadap pemahaman umum dan luas mengenai konsumen serta perangkat perlindungan konsumen yang asasi dan adil untuk mencegah praktek perdagangan yang merugikan konsumen, persaingan yang tidak sehat serta perbuatan-perbuatan yang tidak mematuhi ketentuan perundang- undangan.

Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (Library research), yang sepenuhnya menggunakan bahan-bahan hukum (primer maupun sekunder) serta tulisan- tulisan dalam berntuk jurnal maupun artikel dalam media internet, sebagai kajian dalam menjelaskan rumusan masalah dalam penelitian ini

Bahan hukum primer dalam penelitian ini adalah peraturan perundang-undangan sebagai bahan analisis untuk penelitian ini didasarkan pada isinya yang memuat ketentuan hukum mengenai tindak pidana cybercrime baik yang mengatur hukum pidana formilnya maupun hukum pidana materiilnya yang meliputi:

a. UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

b. Convention on Cybercrime , Budapest 23 November 2001

c. Kitab Undang-undang Hukum Pidana

d. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1996 tentang Telekomunikasi

e. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

f. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik. Bahan hukum sekunder ini adalah bahan untuk penelitian yang relevan untuk mendukung dan memperjelas bahan hukum primer diatas, yang meliputi :

a. Pendapat para ahli hukum internasional mengenai prinsip-prinsip hukum internasional yang digunakan untuk mencegah kejahatan dunia maya

b. Pendapat para ahli hukum internasional mengenai kerjasama internasional dalam pencegahan kejahatan transnasional

c. Buku-buku yang membahas kejahatan dunia maya

d. Buku-buku hukum internasional.

e. Jurnal

PEMBAHASAN

Permasalahan Hukum (Kontrak) dalam Transaksi E -Commerce

1. otentikasi subyek hukum yang membuat transaksi melalui internet;

2. saat perjanjian berlaku dan memiliki kekuatan mengikat secara hukum ;

3. obyek transaksi yang diperjualbelikan;

4. mekanisme peralihan hak;

5. hubungan hukum dan pertanggungjawaban para pihak yang terlibat dalam transaksi baik penjual, pembeli, maupun para pendukung seperti perbankan, internet service provider (ISP), dan lain- lain;

6. legalitas dokumen catatan elektronik serta tanda tanan digital sebagai alat bukti.

7. mekanisme penyelesaian sengketa;

8. pilihan hukum dan forum peradilan yang berwenang dalam penyelesaian sengketa.

Permasalahan Mendasar dalam E-Commerce

Permasalahan-permasalahan yang mendasar dalam e-commerce adalah sebagai berikut :

1. Permasalahan yang bersifat substantif

a). Keaslian data message dan digital signature. Keabsahan data message ini menadi persoalan yang sangat vital dalam e- commerce, karena data message inilah yang ijadikan dasar utama terbentuknya suatu kontrak, baik itu dalam hubungannya dengan kesepakatan ketentuan-ketentuan dan persyaratan kontrak ataupun dengan substansi kesepakatan itu sendiri. b). Keabsahan (Validity). Keabsahan suatu kontrak tergantung pada pemenuhan syarat-syarat kontrak. Apabila syarat-syarat kontrak terlah terpenuhi, yang terutama adalah adanya kesepakatan atau persetujuan antara para pihak, maka kontrak dinyatakan terjadi. Dalam e-commerce ini, terjadinya kesepakatan sanagat erat hubungannya dengan penerimaan atas absah dan otentiknya data message yang memuat kesepakatan itu. c.). Kerahasiaan (Privacy) Kerahasiaan ini meliputi data dan atau informasi dan juga perlindungan terhadap data dan informasi tersebut dari akses yang tidak sah dan berwenang. d). Keamanan (Security) Masalah keamanan merupakan masalah penting karena keberadaannya menciptakan rasa nyaman bagi para pengguna (user) dan pelaku bisnis untuk tetap menggunakan media elektronik sebagai kepentingan bisnisnya. e). Ketersediaan (availability). Permasalahan lain yang harus diperhatikan juga adalah keberadaan informasi yang dibuat dan ditransmisikan secara elektronik yang harus ada setiap kali dibutuhkan.

2. Permasalahan yang bersifat prosedural

Yaitu pengakuan dan daya mengikat putusan hakim dari negara lain untuk diberlakukan dan dilaksanakan di negeri lawan, sekalipun hal ini memakai instrumen-instrumen internasional. Sepanjang menyangkut permasalahan- permasalahan pidana, suatu negara Yaitu pengakuan dan daya mengikat putusan hakim dari negara lain untuk diberlakukan dan dilaksanakan di negeri lawan, sekalipun hal ini memakai instrumen-instrumen internasional. Sepanjang menyangkut permasalahan- permasalahan pidana, suatu negara

a. Jurisdiksi dengan prinsip teritorial yaitu setiap negara mempunyai jurisdiksi terhadap kejahatan- kejahatan yang dilakukan diwilayahnya, terhadap setiap orang dan setiap benda yang berada dalam wilayahnya.

b. Jurisdiksi berdasarkan kewarganegaraan atau kebangsaan

c. Jurisdiksi berdasarkan perlingdungan kepentingan penting negara. Berdasarkan prinsip ini, suatu negara dapat melaksanakan jurisdiksinya terhadap warga negara lain yang melakukan kejahatan di luar negeri yang bisa mengancam kepentingan keamanan, kemerdekaan dan integritasnya.

d. Yurisdiksi Universal, yaitu bahwa setiap negara mempunyai jurisdiksi untuk mengadili tindak kejahatan tertentu apabila

3. Perlindungan Hukum Konsumen dalam Transaksi E-Commerce

kejahatan tersebut mengancam atau memiliki karakter membahayakan rakyat internasional tanpa melihat siapa pelaku, warga negara mana dan tempat kejadiannya dimana. Salah satu kelebihan atau keuntungan dalam e-commerce adalah informasi yang beragam dan mendetail yang dapat diperoleh konsumen dibandingkan dengan perdagangan konvensional tanpa harus bersusah payah pergi ke banyak tempat. Melalui internet misalnya konsumen dapat memperoleh aneka informasi barang dan jasa dari berbagai situs yang beriklan dalam berbagai variasi merek lengkap dengan spesifikasi harga, cara pembayaran, cara pengiriman, bahkan fasilitas pelayanan track and trace yang memungkinkan konsumen melacak tahap pengiriman barang yang dipesannya.

Kondisi tersebut memberi banyak manfaat bagi konsumen karena kebutuhan akan barang dan jasa yang diinginkan dapat terpenuhi. Selain itu juga terbuka kesempatan untuk memilih aneka jenis dan kualitas barang dan jasa sesuai dengan keinginan dan kemampuan finansial konsumen dalam waktu yang relatif efisien.

Namun demikian, e-commerce juga memiliki kelemahan. Metode transaksi elektronik yang tidak mempertemukan pelaku usaha dan konsumen secara langsung serta tidak dapatnya konsumen melihat secara langsung barang yang dipesan berpotensi menimbulkan permasalahan yang merugikan konsumen.

Salah satu contoh adalah ketidaksesuaian jenis dan kualitas barang yang dijanjikan, ketidaktepatan waktu pengiriman barang atau ketidakamanan transaksi. Faktor keamanan transaksi seperti keamanan metode pembayaran merupakan salah satu hal urgen bagi konsumen. Masalah ini penting sekali

diperhatikan karena terbukti mulai bermunculan kasus-kasus dalam e-commerce yang berkaitan dengan keamanan transaksi, mulai dari pembajakan kartu kredit, stock exchange fraud , banking fraud, akses ilegal ke sistem informasi (hacking ) perusakan web site sampai dengan pencurian data.

Beragam kasus yang muncul berkaitan dengan pelaksanaan transaksi terutama faktor keamanan dalam e-commerce ini tentu sangat merugikan konsumen. Padahal jaminan keamanan transaksi e-commerce sangat diperlukan untuk menumbuhkan kepercayaan konsumen penggunanya. Pengabaian terhadap hal tersebut akan mengakibatkan pergeseran terhadap falsafah efisiensi yang terkandung dalam transaksi e- commerce menuju ke arah ketidakpastian yang nantinya akan menghambat upaya pengembangan pranata e-commerce .

Permasalahan hukum serta pemecahan yang sudah dijelaskan di atas, sebenarnya tidak lain dimaksudkan sebagai upaya untuk memberikan perlindungan terhadap konsumen dalam transaksi e- Permasalahan hukum serta pemecahan yang sudah dijelaskan di atas, sebenarnya tidak lain dimaksudkan sebagai upaya untuk memberikan perlindungan terhadap konsumen dalam transaksi e-

Untuk jaminan keamanan, public key infrastructure saat ini dioperasikan oleh banyak lembaga (dalam tataran internasional, seperti Amerika Serikat misalnya) baik untuk menunjang digital signature dan encryption (pengacakan). Salah satu cara untuk mengimplementasikan public key infrastructure adalah dengan melakukan sertifikasi antardomain ( interdomain certification ) atau dengan kata lain penerbitan sertifikat oleh dan antar suatu Certification Authority . Umumnya sertifikasi antar domain ini mencerminkan pengakuan secara hukum lintas domain dari semua komponen penting public key infrastructure , termasuk certification authority , sertifikat, digital signatures dan rekaman pendukung transaksi yang berlangsung. Jadi untuk menjamin keaslian suatu dokumen dan memastikan tanda tangan digital memang milik seseorang yang berhak lembaga Certification Authority inilah yang menjamin keasliannya. Hal ini tentunya sangat penting, mengingat ketidak aslian dari certification authority , sertifikat, digital signatures dan rekaman pendukung transaksi yang berlangsung secara potensial akan merugikan konsumen.

Secara Nasional, pranata untuk memberikan perlindungan terhadap konsumen adalah UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, namun UU perlindungan Konsumen ini secara khusus belum mengantisipasi perkembangan teknologi informasi di dalam pengaturannya. Dalam tataran internasional, telah dibuat kesepakatan-kesepakatan internasional yang secara khusus dapat digunakan untuk memberikan perlindungan terhadap konsumen dalam transaksi e-commerce .

Di bawah ini akan diuraikan mengenai pranata atau pengaturan hukum yang dapat memberikan perlindungan terhadap konsumen dalam transaksi e-commerce .

1. Pranata dan Perlindungan Hukum terhadap Konsumen dalam Transaksi E-Commerce dalam tataran Internasional

Liberalisasi perdagangan membawa konsekuensi di mana semua barang dan jasa yang berasal dari negara lain bisa masuk Indonesia termasuk dengan menggunakan electronic commerce . Hal ini merupakan konsekuensi logis dari disahkannya Undang-Undang No. 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization atau persetujuan pembentukan organisasi perdagangan dunia (WTO). Namun masuknya barang dan jasa impor tersebut bukannya tanpa masalah, di mana salah satu permasalahan yang timbul adalah masalah perlindungan konsumen. Demikian pula dalam hal pengaturan hukum mengenai hal ini.

2. Pranata dan Perlindungan Hukum terhadap Konsumen dalam Transaksi E-Commerce dalam tataran Nasional Walaupun Indonesia sudah meratifikasi pengesahan tentang pembentukan WTO, namun sampai saat ini perangkat yang dibutuhkan untuk itu belum cukup memadai. Setelah meratifikasi Pengesahan pembentukan WTO tersebut memang terlihat ada kemajuan yang cukup berarti dalam hal dibuatnya legislasi sebagai pendukung serta perangkat menuju era perdagangan bebas.

Indonesia telah memiliki UU yang memberikan perlindungan terhadap hak kekayaan intelektual seperti hak Cipta, Paten dan Merk termasuk mengesahkan UU tentang Perlindungan Konsumen. Dalam tataran Indonesia telah memiliki UU yang memberikan perlindungan terhadap hak kekayaan intelektual seperti hak Cipta, Paten dan Merk termasuk mengesahkan UU tentang Perlindungan Konsumen. Dalam tataran

Dalam salah satu butir konsiderannya dinyatakan bahwa usaha perlindungan terhadap konsumen dilakukan karena adanya ekspansi dunia usaha yang mengglobal. Disebutkan dalam konsideran menimbang butir 3 bahwa semakin terbukanya pasar nasional sebagai akibat dari proses globalisasi ekonomi harus tetap menjamin peningkatan kesejahteraan masyarakat serta kepastian atas mutu, jumlah, dan keamanan barang dan/atau jasa yang diperolehnya di pasar.

Selanjutnya dalam Penjelasan UU tersebut dijelaskan bahwa fenomena globalisasi dan perdagangan bebas yang didukung oleh kemajuan teknologi telekomunikasi dan informatika telah memperluas ruang gerak arus transaksi barang dan/atau jasa melintasi batas-batas wilayah suatu negara, sehingga barang dan/atau jasa yang ditawarkan bervariasi baik produksi luar negeri maupun produksi dalam negeri.

Kondisi yang demikian pada satu pihak mempunyai manfaat bagi konsumen karena kebutuhan konsumen akan barang dan/atau jasa yang diinginkan dapat terpenuhi serta semakin terbuka lebar kebebasan untuk memilih aneka jenis dan kualitas barang dan/atau jasa sesuai dengan keinginan dan kemampuan konsumen, namun di sisi lain, kondisi dan fenomena tersebut di atas dapat mengakibatkan kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang dan konsumen berada pada posisi yang lemah. Konsumen menjadi objek aktivitas bisnis oleh pelaku usaha untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya melalui kiat promosi, cara penjualan, serta penerapan perjanjian standar yang merugikan konsumen.

Tujuan perlindungan konsumen sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 2 Undang-Undang Perlindungan konsumen ini adalah untuk 1) meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri; 2) mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa; 3) meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen; 4) menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi; 5) menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggungjawab dalam berusaha; serta 6). meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau

jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen 30 .

Perlu pula ditegaskan bahwa faktor utama yang menjadi kelemahan konsumen adalah tingkat kesadaran konsumen akan haknya masih rendah, yang terutama disebabkan oleh rendahnya pendidikan konsumen. Oleh karena itu, Undang-undang Perlindungan Konsumen dimaksudkan menjadi landasan hukum untuk melakukan upaya pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan pendidikan konsumen.

Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen telah diatur pula hak dan kewajiban pelaku usaha serta larangan-larangan yang bertujuan untuk memberi perlindungan terhadap konsumen dan telah pula mengatur mengenai hak dan kewajiban konsumen. Namun khusus untuk perlindungan hak konsumen dalam transaksi e-commerce masih rentan, karena walaupun Undang-undang Perlindungan Konsumen telah mengatur hak dan kewajiban bagi produsen dan konsumen, namun kurang tepat untuk diterapkan dalam transaksi e-commerce . Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam proses produksi barang dan jasa ternyata belum diikuti dengan kemajuan perangkat hukum yang ada.

Beberapa hak konsumen yang diatur dalam UU perlindungan konsumen adalah : 1) hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa; 2) hak untuk memilih serta mendapatkan barang dan/atau jasa sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; 3) hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur; 4) hak untuk didengar pendapat dan keluhannya; 5) hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut; 6) hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen; 7) hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; 8) hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.

Namun selain haknya sebagaimana disebut di atas, konsumen juga memiliki beberapa kewajiban, dalam hal ini supaya konsumen tidak mendapatkan kerugian karena ketidak hati-hatiannya sendiri. Kewajiban tersebut diantaranya adalah : 1) membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan; 2) beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa; 3) membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati; 4) mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.

Selain hak dan kewajiban konsumen seperti tersebut di atas, Pelaku Usaha memiliki pula beberapa hak dan kewajiban sebagai pemenuhan hak terhadap konsumen tersebut. Selain memiliki hak dan kewajiban ada beberapa pelarangan terhadap Pelaku Usaha yang apabila dilanggar, dapat mengakibatkan Pelaku Usaha terkena sanksi baik sanksi administratif, sanksi pidna maupun ganti kerugian secara perdata. Secara singkat pelarangan tersebut adalah :

1. memproduksi serta memperdagangkan barang dan/atau jasa yang : tidak sesuai dengan standar; tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto ,dan jumlah serta tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut; tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa; tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang.

2. menawarkan, mempromosikan, mengiklan-kan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar, dan/atau seolah-olah : suatu barang telah memenuhi dan/atau memiliki potongan harga, harga khusus, standar mutu tertentu, gaya atau mode tertentu, karakteristik tertentu, sejarah atau guna tertentu; barang tersebut dalam keadaan baik dan/atau baru; tidak mengandung cacat tersembunyi.

3. memproduksi iklan yang mengelabui konsumen; memuat informasi yang keliru, salah, atau tidak tepat.

4. Mencantumkan klausula baku apabila menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha; menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali baik barang yang sudah dibeli maupun uang yang sudah dibayarkan konsumen; menyatakan mendapat kuasa dari konsumen baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran; mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen; menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan yang dibuat sepihak; mencantumkan klausula baku yang letak atau 4. Mencantumkan klausula baku apabila menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha; menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali baik barang yang sudah dibeli maupun uang yang sudah dibayarkan konsumen; menyatakan mendapat kuasa dari konsumen baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran; mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen; menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan yang dibuat sepihak; mencantumkan klausula baku yang letak atau

Untuk transaksi e-commerce , masalah posting iklan yang dilakukan oleh vendor di Internet misalnya harus dicermati dengan sungguh-sungguh oleh konsumen baik mengenai penawaran, promosi, serta iklan suatu barang dan/atau jasa. Demikian pula mengenai iklan yang mengelabui konsumen seperti misalnya memuat informasi yang keliru, salah, atau tidak tepat. Hal ini disebabkan karena tidak dapatnya konsumen melihat langsung produk barang atau jasa yang ditawarkan. UU Perlindungan Konsumen sebenarnya telah mengantisipasi hal tersebut. Tapi untuk transaski e-commerce, perlindungan ini tidak dapat serta merta diberlakukan karena karakteristiknya yang khas tersebut.

Dalam rangka perlindungan terhadap konsumen, dapat dilihat pula bahwa UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen selain memberikan sanksi administratif terhadap pelaku usaha bila melakukan perbuatan-perbuatan tertentu sebagaimana diatur dalam UU, juga melakukan kriminalisasi terhadap beberapa perbuatan sebagaimana diatur dalam UU Perlidungan Konsumen tersebut. Ketentuan pidana yang dapat diberikan adalah pidana penjara dan juga denda sampai dengan jumlah maksimal sebesar Rp. 2.000.000.000,-(dua milyar Rupiah).

Semua pengaturan yang telah disebutkan di atas sungguh tepat untuk memberikan perlindungan terhadap konsumen. Namun karena undang-undang ini bertujuan untuk melindungi konsumen dalam skala nasional, maka perlindungan konsumen dalam bertransaksi secara elektronik sesungguhnya belum terakomodasi dalam ketentuan-ketentuan ini.

Selain pengaturan dalam UU Perlindungan Konsumen, sebenarnya dalam tataran tertentu untuk melindungi konsumen dapat pula digunakan hukum pidana dalam hal ini KUHP. Sungguhpun demikian, sehubungan dengan hal tersebut, Romli Atmasasmita sebagaimana disitasi oleh Yusif Shofie, mengemukakan bahwa bentuk tindak pidana dalam era perdagangan bebas tidak cukup dapat diantisipasi dengan ketentuan mengenai tindak pidana ‘perbuatan curang’ sebagaimana diatur dalam Pasal 378 sampai 395 KUHP, tetapi seharusnya diatur dalam ketentuan baru yang lebih komprehensif. Selanjutnya mengenai hal ini Romli Artmasasmita mengemukakan bahwa : “sanksi pidana dalam konteks dunia perdagangan dan bisnis hanya merupakan salah satu upaya untuk memperkuat harmonisasi hubungan antara para pihak yang terlibat, bukan sarana hukum yang dapat memperbaiki hubungan para pihak yang telah terganggu. Penggunaan dan harapan yang terlalu berlebihan pada kekuatan sanksi pidana dalam konteks dunia perdagangan dan bisnis hanya akan mempertaruhkan masa depan dunia usaha ke dalam jurang kehancuran, dan tidak memperkuat segenap segmen kehidupan dunia bisnis dan perdagangan .”

Sebenarnya masih ada satu lagi pranata hukum yang dapat melindungi konsumen dalam transaksi e- commerce yakni dengan asuransi. Namun sudah sangat jelas bahwa dengan penggunaan asuransi, maka beban biaya yang harus diberikan oleh konsumen dalam membeli atau menggunakan suatu produk menjadi lebih besar karena biaya pembayaran premi, karena umumnya konsumenlah yang akan terkena beban untuk membayar premi tersebut. Namun demikian, pranata ini dapat dijadikan salah satu upaya untuk pemberian perlindungan terhadap konsumen.

Dari apa yang telah dipaparkan di atas, maka sudah sangat jelas bahwa demi kebutuhan perlindungan terhadap konsumen terutama konsumen yang melakukan transaksi bisnis dengan menggunakan teknologi Dari apa yang telah dipaparkan di atas, maka sudah sangat jelas bahwa demi kebutuhan perlindungan terhadap konsumen terutama konsumen yang melakukan transaksi bisnis dengan menggunakan teknologi

Karakteristik yang berbeda dalam sistem perdagangan melalui teknologi elektronik tidak tercover dalam UU Perlindungan Konsumen tersebut. Untuk itu perlu dibuat peraturan hukum mengenai cyberlaw termasuk didalamnya tentang e-commerce agar hak-hak konsumen sebagai pengguna teknologi elektronik dalam proses perdagangan khususnya dalam melakukan transaksi e-commerce dapat terjamin.

4. Cyberlaw Dalam E-Commerce

Hak dan kewajiban tidak ada artinya jika tidak dilindungi oleh hukum yang dapat menindak mereka yang mengingkarinya. Sebuah dokumen untuk dapat diajukan ke depan pengadilan harus mengikuti tiga aturan utama:

1. The rule of authentification;

2. Hearsay rule; dan

3. The Best Evidence rule. Pengadilan modern telah dapat mengadaptasi ketiga jenis aturan ini di dalam sistem e-commerce. Masalah autentifikasi misalnya telah dapat terpecahkan dengan memasukkan unsur-unsur origin dan accuracy of storage jika email ingin dijadikan sebagai barang bukti (sistem email telah diaudit secara teknis untuk membuktikan bahwa hanya orang tertentu yang dapat memiliki email dengan alamat tertentu, dan tidak ada orang lain yang dapat mengubah isi email ataupun mengirimkannya selain yang bersangkutan). Dalam melakukan kegiatan e-commerce, tentu saja memiliki payung hukum, terutama di negara Indonesia. Undang Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Internet dan Transaksi Elektronik, walaupun belum secara keseluruhan mencakup atau memayungi segala perbuatan atau kegiatan di dunia maya, namun telah cukup untuk dapat menjadi acuan atau patokan dalam melakukan kegiatan cyber tersebut. Beberapa pasal dalam Undang-Undang Internet dan Transaksi Elektronik yang berperan dalam e-commerce adalah sebagai berikut : Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Internet dan Transaksi Elektronik, walaupun belum secara keseluruhan mencakup atau memayungi segala perbuatan atau kegiatan di dunia maya, namun telah cukup untuk dapat menjadi acuan atau patokan dalam melakukan kegiatan cyber tersebut. Beberapa pasal dalam Undang-Undang Internet dan Transaksi Elektronik yang berperan dalam e- commerce adalah sebagai berikut :

1. Pasal 2 Undang-Undang ini berlaku untuk setiap Orang yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, baik yang berada di wilayah hukum Indonesia maupun di luar wilayah hukum Indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia dan/atau di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia.

2. Pasal 9 Pelaku usaha yang menawarkan produk melalui Sistem Elektronik harus menyediakan informasi yang lengkap dan benar berkaitan dengan syarat kontrak, produsen, dan produk yang ditawarkan.

3. Pasal 10

(1) Setiap pelaku usaha yang menyelenggarakan Transaksi Elektronik dapat disertifikasi oleh Lembaga Sertifikasi Keandalan. (2) Ketentuan mengenai pembentukan Lembaga Sertifikasi Keandalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

4. Pasal 18 (1) Transaksi Elektronik yang dituangkan ke dalam Kontrak Elektronik mengikat para pihak. (2) Para pihak memiliki kewenangan untuk memilih hukum yang berlaku bagi Transaksi Elektronik internasional yang dibuatnya. (3) Jika para pihak tidak melakukan pilihan hukum dalam Transaksi Elektronik internasional, hukum yang berlaku didasarkan pada asas Hukum Perdata Internasional. (4) Para pihak memiliki kewenangan untuk menetapkan forum pengadilan, arbitrase, atau lembaga penyelesaian sengketa alternatif lainnya yang berwenang menangani sengketa yang mungkin timbul dari Transaksi Elektronik internasional yang dibuatnya. (5) Jika para pihak tidak melakukan pilihan forum sebagaimana dimaksud pada ayat (4), penetapan kewenangan pengadilan, arbitrase, atau lembaga penyelesaian sengketa alternatif lainnya yang berwenang menangani sengketa yang mungkin timbul dari transaksi tersebut, didasarkan pada asas Hukum Perdata Internasional

5. Pasal 20 (1) Kecuali ditentukan lain oleh para pihak, Transaksi Elektronik terjadi pada saat penawaran transaksi yang dikirim Pengirim telah diterima dan disetujui Penerima. (2) Persetujuan atas penawaran Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan dengan pernyataan penerimaan secara elektronik.

6. Pasal 21 (1) Pengirim atau Penerima dapat melakukan Transaksi Elektronik sendiri, melalui pihak yang dikuasakan olehnya, atau melalui Agen Elektronik. (2) Pihak yang bertanggung jawab atas segala akibat hukum dalam pelaksanaan Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sebagai berikut:

a. jika dilakukan sendiri, segala akibat hukum dalam pelaksanaan Transaksi Elektronik menjadi tanggung jawab para pihak yang bertransaksi;

b. jika dilakukan melalui pemberian kuasa, segala akibat hukum dalam pelaksanaan Transaksi Elektronik menjadi tanggung jawab pemberi kuasa; atau

c. jika dilakukan melalui Agen Elektronik, segala akibat hukum dalam pelaksanaan Transaksi Elektronik menjadi tanggung jawab penyelenggara Agen Elektronik. (3) Jika kerugian Transaksi Elektronik disebabkan gagal beroperasinya Agen Elektronik akibat tindakan pihak ketiga secara langsung terhadap Sistem Elektronik, segala akibat hukum menjadi tanggung jawab penyelenggara Agen Elektronik. (4) Jika kerugian Transaksi Elektronik disebabkan gagal beroperasinya Agen Elektronik akibat kelalaian pihak pengguna jasa layanan, segala akibat hukum menjadi tanggung jawab pengguna jasa layanan. (5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku dalam hal dapat dibuktikan terjadinya keadaan memaksa, kesalahan, dan/atau kelalaian pihak pengguna Sistem Elektronik.

7. Pasal 22 (1) Penyelenggara Agen Elektronik tertentu harus menyediakan fitur pada Agen Elektronik yang dioperasikannya yang memungkinkan penggunanya melakukan perubahan informasi yang masih dalam proses transaksi. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggara Agen Elektronik tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

8. Pasal 30 (1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik milik Orang lain dengan cara apa pun. (2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apa pun dengan tujuan untuk memperoleh Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik. (3) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apa pun dengan melanggar, menerobos, melampaui, atau menjebol sistem pengamanan.

9. Pasal 46 (1) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). (2) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp700.000.000,00 (tujuh ratus juta rupiah). (3) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan/atau denda paling banyak Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).

5. Carding Termasuk Pada Kejahatan Transnasional Dikaji Dari Perspektif Hukum Internasional

Kejahatan transnasional adalah kejahatan yang tidak hanya berupa kejahatan yang melintasi batas negara, tetapi termasuk juga kejahatan yang dilakukan di suatu negara, tetapi menimbulkan dampak di negara lain. Kejahatan carding merupakan kejahatan yang memanfaatkan teknologi internet sebagai sarana utama untuk mengakses secara tidak sah suatu sistem sebuah website untuk mendapatkan data-data para nasabah kartu kredit. Tujuannya adalah untuk membelanjakan secara tidak sah kartu kredit yang telah didapatkan ataupun untuk mendapatkan dana milik pemegang kartu kredit tersebut. Dibawah ini merupakan gambaran modus operandi yang saat ini sering dilakukan oleh para pelaku carding ( carder ).

Para carder memilliki dua cara untuk mendapatkan data-data kartu kredit para korban, yang pertama dengan menyentuh langsung kartu kredit milik korban yang pada umumnya dilakukan di gerai ritel seperti restoran dan toko. Tindakan tersebut dilakukan oleh karyawan dengan alasan yang sah untuk memiliki kartu kredit korban, selanjutnya karyawan memanfaatkan electronic data capture untuk mencuri data-data yang tersimpan di dalam kartu ( skimming ).

Cara yang kedua adalah memanfaatkan teknologi internet. Salah satunya adalah phising , teknik ini digunakan oleh para carder untuk memperoleh data-data kartu kredit dengan mengarahkan korban untuk masuk ke sebuah situs website jebakan yang telah dibuat menyerupai website asli, seperti www.klikbca.com . Biasanya para carder melakukan phising dengan mengirimkan sebuah email kepada para korban. Setelah mendapatkan nomor kartu kredit beserta data-datanya, carder membelanjakannya di pedagang ( merchant ) online yang diinginkan. Barang yang dibeli akan dikirimkan ke alamat teman carder yang ada di luar negeri seperti Australia atau Singapura, hal ini dilakukan karena banyak merchant yang tidak berkenan mengirimkan barang ke alamat Indonesia. Setelah itu barang akan dikirimkan oleh teman carder ke alamat Indonesia.

Dari modus operandi tersebut dapat dilihat bahwa carder yang memanfaatkan teknologi internet dapat menjangkau para nasabah pemegang kartu kredit yang berada di luar negara dimana carder berada dan dapat membelanjakan kartu kredit tersebut di toko manapun yang menyediakan pembelian secara online. Hal tersebut dapat dilakukan karena sifat dari teknologi internet yang tanpa batas ( borderless ). Menurut pasal 3 ayat 2 United Nations Convention Against Transnational Organized Crime, suatu kejahatan dapat dikategorikan sebagai kejahatan transnasional apabila:

1. It is committed in more than one State;

2. It is committed in one State but a substansial part of its preparation, planning, direction or control takes place in another State;

3. It is committed in one State but involves an organized criminal group that engages in criminal activities in more than one State; or

4. It is committed in one State but has substansial effects in another State. Kejahatan carding dapat dikategorikan dalam kejahatan transnasional karena:

1. Pencurian data-data kartu kredit nasabah oleh para carder bisa dilakukan di beberapa negara.

2. Persiapan, perencanaan pengarahan dan pengawasan oleh pelaku kejahatan carding dilakukan di satu negara tetapi target kejahatan tersebut berada di luar negara dimana carder berada.

3. Para carder bisa mendapatkan data-data kartu kredit dibantu oleh teman mereka di luar negeri yang bekerja di gerai ritel seperti restoran atau toko yang melayani pembayaran melalui kartu kredit. Mereka juga bisa mendapatkan data tersebut melalui forum-forum carding dengan memanfaatkan teknologi internet.

4. Kejahatan carding memiliki target yang berada di lebih dari satu Negara

6. Prinsip hukum internasional yang dapat mencegah kejahatan carding sebagai kejahatan transnasional