peran bimbingan karir bimbingan karir

Peran Pemahaman Bimbingan Karir dan Prestasi Belajar Pelajaran Kejuruan terhadap Kesiapan
Mental Memasuki Dunia Kerja Siswa Kelas III Jur. T. Otomotif SMKN 2 Wonosari

PENGEMBANGAN MODEL
PEMBELAJARAN KEWIRAUSAHAAN
BERBASIS PORTOFOLIO UNTUK
MENINGKATKAN SIKAP DAN
KOMPETENSI WIRAUSAHA SISWA SMK
(SMEA) DI KOTA MALANG
MOHAMMAD . Maskan

Abstrak
ABSTRAK

Maskan, Mohammad*. 2009. Pengembangan Model Pembelajaran Kewirausahaan Berbasis
Portofolio untuk Meningkatkan Sikap dan Kompetensi Wirausaha Siswa SMK (SMEA) di
Kota Malang, Program Pascasarjana, Universitas Negeri Malang. Pembimbing: (I) Prof.
Dr. Salladien, (II) Prof. Dr. Wahjoedi, ME, dan (III) Prof. Dr. Armanu Thayib, SE, M.Sc.

Kata kunci: pengembangan model pembelajaran, kewirausahaan, model pembelajaran berbasis
portofolio, sikap wirausaha, kompetensi wirausaha.


Model pembelajaran mata pelajaran kewirausahaan selama ini di SMK masih bersifat
klasikal yang bercirikan teacher centered learning sehingga obyektif pembelajaran yang tercapai
hanyalah aspek kognitif, sedangkan aspek afektif dan psikomotorik tidak tercapai. Untuk itu,
maka model pembelajaran ini tidak sesuai dengan kompetensi yang harus dicapai dalam mata
pelajaran kewirausahaan. Bertititik tolak dari masalah tersebut, maka model pembelajaran
kewirausahaan di SMK harus diubah menjadi model pembelajaran yang bercirikan student
centered learning, yaitu model pembelajaran kewirausahaan berbasis portofolio, dimana model

pembelajaran ini menggunakan pendekatan siswa aktif, multi metode pengajaran dan multi
sumber pembelajaran.
Penelitian ini bertujuan: (1) untuk menemukan model mata pelajaran Kewirausahaan
berbasis portofolio yang bercirikan siswa aktif, kooperatif, partisipatif, demokratis, reaktif dan
menyenangkan. (2) untuk meningkatkan pencapaian domain afektif dan psikomotorik dalam
pembelajaran kewirausahaan siswa SMK di Kota Malang.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian pengembangan yang
mengadaptasi pendapat Dick and Carey (1990) yang terdiri atas lima tahap. Populasi penelitian
ini adalah seluruh SMK (SMEA) Jurusan Manajemen dan Administrasi Bisnis di Kota Malang,
sample penelitian ini adalah berasal dari siswa SMK dari SMK Negeri 1 Kota Malang, SMK
PGRI 02 Malang dan SMK Wisnu Wardhana dengan jumlah keseluruhan sampel sebanyak 102

orang. Desain uji coba menggunakan Randomized Subject, Pre-Test-Post test Control Group
Design. Jenis data berupa data primer berupa angket, yang berasal dari guru, ahli media
pembelajaran, ahli rancangan dan siswa yang berupa tanggapan, saran dan masukan. Sedangkan
data sekunder berupa SAP, silabus, jumlah kelas, jumlah siswa dan guru kewirausahaan di SMK
yang digunakan sebagai subyek penelitian. Adapun teknik analisis data yang digunakan adalah:
a) Analisis Isi, yang digunakan untuk mengolah data dari wawancara dan diskusi dari para ahli,
guru, siswa serta hasil uji coba perorangan dan kelompok kecil, b) Analisis Deskriptif digunakan
untuk mengetahui tanggapan dari guru, ahli media pembelajaran, ahli rancangan pembelajaran
dan siswa tentang kualitas hasil produk pengembangan model pembelajaran kewirausahaan
berbasis portofolio dan c) Analisis Komparatif, yang digunakan untuk mengetahui perbedaan
sikap dan kompetensi wirausaha siswa antara model pembelajaran kewirausahaan berbasis
portofolio dan klasikal.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa produk hasil pengembangan model pembelajaran
kewirausahaan berbasis portofolio adalah baik. Artinya, hasil pengembangan model
pembelajaran kewirausahaan berbasis portofolio layak digunakan dalam proses pembelajaran
mata pelajaran kewirausahaan di SMK. Hal ini didasarkan pada hasil uji coba pengembangan
model pembelajaran tersebut yang merujuk pada Dick & Carey (1971) dan Kusumo & Willis,
dengan 6 indikator, yaitu: 1) kegiatan pembelajaran kewirausahaan berbasis portofolio adalah
menarik yang ditunjukkan dengan skor uji coba sebesar 84,15%, 2) model pembelajaran
kewirausahaan berbasis portofolio memungkinkan siswa memperoleh pengetahuan lebih banyak

tentang materi yang diajarkan, yang ditunjukkan dengan skor sebanyak 78,36%, 3) hubungan
antara tujuan pembelajaran dan materi yang diajarkan di dalam model pembelajaran
kewirausahaan berbasis portofolio adalah relevan yang ditunjukkan dengan skor sebesar 78,6%,
4) Item tes dapat mengukur performansi yang dinyatakan dalam tujuan yang dinyatakan dalam
skor pencapaian skor sikap kewirausahaan siswa sebesar 3,6202 dan skor kompetensi
kewirausahaan siswa sebesar 3,5238, 5) Model pembelajaran kewirausahaan berbasis portofolio
dapat memberikan umpan balik, baik kepada guru maupun kepada siswa terhadap proses dan
hasil pembelajaran siswa yang ditunjukkan dengan skor sebanyak 79,28%, 6) Model
pembelajaran kewirausahaan berbasis portofolio memungkinkan adanya perbaikan materi dan
pengajaran yang memuaskan dengan ditunjukkan skor sebesar 79,10%. Disamping itu,
berdasarkan uji beda dalam pembentukan sikap wirausaha, ternyata model pembelajaran
kewirausahaan berbasis portofolio hasilnya lebih tinggi, yaitu sebesar 3,6197 daripada model

pembelajaran klasikal, yaitu sebesar 3,503. Demikian juga pada pembentukan kompetensi
wirausaha siswa, ternyata model pembelajaran kewirausahaan berbasis portofolio hasilnya lebih
tinggi, yaitu sebesar 3,619 daripada model pembelajaran klasikal, yaitu sebesar 3,005. Namun
demikian, berdasarkan kajian statistik, apabila dilihat berdasarkan kemampuan akademis siswa
ternyata model pembelajaran kewirausahaan berbasis portofolio ini hasilnya akan optimal
apabila diterapkan pada siswa berkemampuan akademis menengah ke atas.
Bertitik tolak dari temuan penelitian ini, beberapa rekomendasi agar pelaksanaan model

pembelajaran berbasis portofolio dapat mencapai hasil optimal, adalah 1) memberikan
pembekalan kepada guru pengampu mata pelajaran kewirausahaan tentang model pembelajaran
kewirausahaan berbasis portofolio, 2) secara internal harus ada koordinasi dengan sesama guru
yang mengampu mata pelajaran kewirausahaan, 3) guru perlu membuat lembar kerja siswa
dengan baik, 4) siswa memiliki hasil portofolio yang tiap hari Sabtu dibawa pulang sebagai bukti
kerja dan ditandatangani orang tua, 5) Perusahaan yang dipilih untuk tempat observasi
diusahakan yang dekat dengan tempat tinggal siswa agar dapat menghemat biaya. Untuk
pengembangan lebih lanjut, maka model pembelajaran kewirausahaan ini dapat berupa eportofolio yang berbasis internet dan untuk lebih memvalidasi model pembelajaran portofolio
ini, maka dapat diterapkan pada mata pelajaran yang lain.

Pendahuluan ASEAN Free Trade Area (AFTA) merupakan wujud kesepakatan dari negara-negara
ASEAN untuk membentuk suatu kawasan bebas perdagangan dalam rangka meningkatkan daya
saing ekonomi kawasan regional ASEAN dengan menjadikan ASEAN sebagai basis produksi dunia
serta menciptakan pasar regional bagi 500 juta penduduknya. Persaingan global di segala bidang ini
tidak hanya melanda negara-negara ASEAN tetapi juga negara-negara di seluruh penjuru dunia.
Bagi negara maju, mungkin adanya persaingan global hanya menuntut mereka untuk menyesuaikan
diri dengan negara-negara yang lain. Tetapi bagi negara berkembang seperti Indonesia, adanya
persaingan global menuntut untuk meningkatkan segala sektor negara, baik politik, ekonomi,
pendidikan, maupun ilmu pengetahuan dan teknologi. Peningkatan semua sektor tentunya
dilaksanakan melalui pembangunan bangsa. Dalam upaya pembangunan bangsa, tampaknya

pengembangan sumber daya manusia adalah yang paling penting dan utama jika dibandingkan
dengan pengembangan sumber daya alam. Masalah SDM tidak bisa lepas dari masalah tenaga
kerja. Kualitas tenaga kerja sangat bergantung pada kualitas SDM. Oleh karena itu, kualitas SDM
harus mendapatkan prioritas utama untuk ditingkatkan dan dikembangkan guna mendapatkan
kualitas tenaga kerja yang baik. Peningkatan kemampuan dan keterampilan bagi generasi muda
calon tenaga kerja merupakan tanggung jawab dunia pendidikan, baik pendidikan formal maupun
nonformal. Pendidikan merupakan bagian integral yang tidak dapat dipisahkan dari proses
penyiapan SDM yang berkualitas, tangguh, dan terampil. Dengan kata lain, melalui pendidikan akan
diperoleh calon tenaga kerja yang berkualitas sehingga lebih produktif dan mampu bersaing dengan
rekan mereka dari negara lain. Dalam hal ini, pertambahan penduduk yang tidak memiliki
keterampilan kerja akan mengakibatkan Indonesia menjadi salah satu pasar utama bagi produkproduk asing dan pasar lapangan kerja bagi tenaga asing. Pertumbuhan penduduk yang tidak
dikelola dengan baik akan menjadi bencana bagi Indonesia jika tidak diikuti dengan peningkatan
kulitas SDM. Pertumbuhan penduduk tahun 2010 sampai pada tahun 2035 merupakan bonus
demografi bagi indonesia. Bonus demografi ini merupakan suatu fenomena di mana struktur
penduduk sangat menguntungkan dari sisi pembangunan karena jumlah penduduk usia produktif
sangat besar, sedangkan proporsi usia muda sudah semakin kecil dan yang berusia lanjut belum
banyak. Diperkirakan oleh pemerintah tahun 2035 working age mencapai 70% dan dependency
rasio mencapai 40% artinya pada tahun 2035 sekitar 7 orang produktivitas dengan 4 orang tidak
produktivitas mampu menopang perekonomian Indonesia menjadi lebih baik. Peningkatan kualitas
SDM adalah jawaban atas tuntutan dan tantangan perubahan jaman. Pengelolaan pendidikan

terutama yang berkaitan dengan penyiapan tenaga kerja harus menjadi titik perhatian utama agar
mampu mengubah struktur dan kualitas tenaga kerja yang memiliki daya saing dan produktivitas
tinggi dalam membangun ekonomi masyarakat. Pendidikan memegang peranan penting bagi
peningkatan kualitas sumber daya manusia. Trilling dan Fadel (2011) menyatakan bahwa pada era
global ini yang terpenting adalah bagaimana memfungsikan pendidikan sebagai sebuah proses

menyiapkan peserta didik agar sukses menempuh kehidupannya di masa depan. Kemampuan
untuk menghadapi masa depan itulah yang perlu ditumbuhkembangkan dalam proses pendidikan.
Pendidikan kejuruan sebagai salah satu bagian dari sistem pendidikan nasional memainkan peran
yang sangat strategis bagi terwujudnya angkatan tenaga kerja nasional yang terampil. Lulusan SMK
diharapkan menjadi sumber daya manusia yang siap pakai, dalam arti ketika mereka telah
menyelesaikan sekolahnya dapat menerapkan ilmu yang telah mereka dapat sewaktu di sekolah.
Kenyataan di lapangan kerja menunjukkan bahwa daya serap lulusan SMK masih rendah. Hal ini
ditunjukkan dengan data yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik yang menyatakan bahwa Jumlah
tenaga kerja Indonesia per Agustus 2014 mencapai 182,99 juta orang. Dari jumlah itu, 7,24 juta
orang di antaranya berstatus pengangguran terbuka. Tingkat pengangguran terbuka paling banyak
adalah lulusan sekolah menengah kejuruan (SMK), diploma, dan universitas. Jumlah pengangguran
lulusan SMK adalah 11,24 persen dari total jumlah pengangguran. Pengangguran lulusan SMK ini
naik tipis dibandingkan Agustus 2013 yang mencapai 11,21 persen. Jumlah lulusan SMK yang
menganggur ini persentasenya lebih besar dibanding persentase lulusan SMA biasa yang mencapai

9,55 persen. Berturut-turut kemudian lulusan Sekolah Menengah Pertama (SMP) sebesar 7,15%,
dan lulusan Diploma sebesar 6,14%. Kepala BPS Suryamin (dalam tempo.com, Rabu (5/11/2014))
menengarai, belum adanya link and match antara pendidikan kejuruan dengan industri
menyebabkan lulusan SMK yang paling banyak menganggur. Lulusan SMK seharusnya langsung
dapat kerja karena memiliki keahlian sesai dengan kompetensi keahlian. Salah satu penyebab daya
serap rendah ini adalah belum ada link and match antara kompetensi lulusan SMK dengan
kualifikasi keahlian yng dibutuhkan unia industri. Link and match adalah kebijakan sejak zaman
Orde Baru, yang dibuat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan saat itu Wardiman Djojonegoro. Salah
satu upaya yang dilakukan SMK dalam kebijakan ini adalah penerapan Pendidikan Sistem Ganda
(PSG). PSG dalam Kurikulun Pendidikan Berbasis Kompetensi siswa dapat beriteraksi baik di dalam
maupun diluar, yaitu di dalam berarti di sekolah melalui praktek di bengkel dan di luar artinya belajar
di perusahan atau dunia industri melalui magang atau praktek kerja industri (prakerin). Siswa
diharapkan mengetahui lingkungan kerja berdasarkan bidang yang dia kuasai, selain itu juga akan
mengerti tata cara kerja yang baik dan mengerti akan pentingnya keselamatan dan kesehatan kerja.
Kondisi nyata di lapangan menunjukkan bahwa terjadi ketidaksesuaian antara perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi di sekolah dengan dunia industri. Sudah menjadi rahasia umum bahwa
sebagian besar SMK memiliki peralatan praktik yang jauh tertinggal dibandingkan dengan peralatan
dan teknologi yang diterapkan dunia industri sehingga ilmu yang dipelajari oleh siswa SMK hari ini
tidak sinkron dengan tuntutan dunia industri. Praktik kerja indstri (prakerin) yang dilaksanakan dalam
tiga sampai dengan enam bulan di dunia industri kadang menjadi sia-sia ketika siswa magang pada

perusahaan atau industri kecil sebagai akibat dari keterbatasan kuota dari perusahaan besar dalam
menerima siswa magang. Hal ini terjadi karena jumlah siswa yang belajar di SMK dengan jumlah
industri yang bersedia menerima siswa melaksankan praktik kerja industri tidak seimbang dimana
jumlah siswa jauh lebih banyak dibandingkan dengan kuota yang disediakan industri untuk siswa
magang. Guru produktif sebagai instruktur yang mengajar mata pelajaran kejuruan juga mempunyai
peran dalam kesenjangan lulusan SMK dengan tuntutan dan kebutuhan dunia industri. Hal ini terjadi
dikarenakan sebagian besar guru produktif mandek (stagnan) dalam keilmuan mutakhir
sebagaimana yang diterapkan oleh dunia industri. Guru produktif yang merupakan produk LPTK

seringkali memiliki keterbatasan pengetahuan akan teknologi mutakhir, banyak guru produktif yang
tidak mampu mengimbangi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi disebabkan banyak
keterbatasan dari guru sendiri. Dengan demikian faktor guru produktif dan profesionalisme juga
merupakan variabel yang perlu diperhatikan ketika membahas link and match lulusan SMK dengan
dunia kerja. Kritik atas Kegagalan SMK? Secara konseptual sesungguhnya tidak ada yang salah
dengan SMK. Direktorat Pendidikan Mengah Kejuruan (2003) menyatakan bahwa tujuan Sekolah
Menengah Kejuruan memiliki tujuan umum, yaitu: (1) menyiapkan peserta didik agar dapat
menjalani kehidupan secara layak, (2) meningkatkan keimanan dan ketakwaan peserta didik, (3)
menyiapkan peserta didik agar menjadi warga negara yang mandiri dan bertanggung jawab, (4)
menyiapkan peserta didik agar memahami dan menghargai keanekaragaman budaya bangsa
Indonesia, dan (5) menyiapkan peserta didik agar menerapkan dan memelihara hidup sehat,

memiliki wawasan lingkungan, pengetahuan dan seni. Tujuan khusus SMK, adalah: (1) menyiapkan
peserta didik agar dapat bekerja, baik secara mandiri atau mengisi lapangan pekerjaan yang ada di
dunia usaha dan industri sebagai tenaga kerja tingkat menengah, sesuai dengan bidang dan
program keahlian yang diminati, (2) membekali peserta didik agar mampu memilih karir, ulet dan
gigih dalam berkompetensi dan mampu mengembangkan sikap profesional dalam bidang keahlian
yang diminati, dan (3) membekali peserta didik dengan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK)
agar mampu mengembangkan diri sendiri melalui jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Kenyataan di
lapangan saat ini menunjukkan bahwa slogan SMK yang santer terdengar “SMK Bisa!” mulai
nampak loyo dan kuyu melihat fakta BPS menyoal jumlah pengangguran. SMK yang sejatinya
mempersiapkan generasi sekolah menengah untuk siap terjun ke dunia kerja nampaknya ironi
semata. Sloga di atas sepertinya hanya membara saat generasi muda menempuh di jenjang
sekolah. Sedang di dunia kerja, penyerapan baik yang diharapkan nampak belum optimal. Seperti
termaktub dalam salah satu poin Sekolah Menengah Kejuruan dalam website www.ditpsmk.net
yaitu Mendidik Sumber Daya Manusia yang mempunyai etos kerja dan kompetensi berstandar
internasional belum terwujud. Etos kerja yang digadang-gadang mampu mempersiapkan siswa di
dunia kerja nampaknya belum optimal. Hal ini terkendala pengelolaan setengah hati SMK.
Pemerintah memberikan keleluasaan dalam pengembangan sekolah menengah kejuruan. Namun,
saat ini belum ada peningkatan mutu pendidikan SMK dan pemetaan mobilisasi lulusan SMK.
Kebijakan pemerintah ini justru ditanggapi dengan euforia, yaitu munculnya SMK-SMK baru. Apabila
tidak ada peningkatan kualitas SMK, maka industri akan kesulitan menyerap lulusan SMK yang

jumlahnya cukup besar. Kegagalan pendidikan SMK selama ini yang berimplikasi terhadap
rendahnya daya serap lulusan dan dicapnya SMK sebagai sekolah yang mencetak pengangguran
dan kuli tidak lepas dari banyak faktor yang saling terkait, baik menyangkut kebijakan pemerintah,
pengelola SMK termasuk kepala sekolah dan guru, sarana dan prasarana, serta dunia
usaha/industri selaku mitra SMK. Penulis menginventarisasi kegagalan pendidikan SMK, sebagai
berikut: 1. Kebijakan Setengah Hati Pemerintah Pemerintah dalam kebijakan pendidikan
menengah kejuruan melalui Provinsi Vokasi, Kabupaten Vokasi bahkan sampai dengan
Kelurahan/Desa Vokasi menekankan keberpihakannya pada Sekolah Menengah Kejuruan. Hal ini
didasarkan pada pemikiran bahwa melalui SMK para siswa dibekali keterampilan. Kelebihan
sekolah di SMK sebelum lulus para siswa diberi kesempatan praktk kerja industri (prakerin).
Umumnya para siswa akan dilepas di dunia kerja rata-rata antara 3 sampai 6 bulan. Siswa di SMK
diharuskan membuat sebuah karya disebut Tugas Akhir (TA) dan uji kompetensi yang menilai

sampai sejauh mana penguasaan keahlian setelah selama 3 tahun belajar sebagai persyaratan
kelulusan. Lulusan siswa SMK dikatakan setelah lulusan siap masuk di dunia kerja. Kebijakan
hebat ini mendapatkan respons yang luar biasa dari masyarakat yang diitunjukkan dengan semakin
bertambahnya jumlah-jumlah SMK dan juga minat orang tua untuk menyekolahkan anak-anaknya
ke SMK. Banyak SMK swasta yang didirikan menyambut antusiasme masyarakat atas kebijakan
pemerintah ini. Selanjutnya yang terjadi di lapangan menunjukkan bahwa banyaknya pendirian SMK
ini tidak diimbangi dengan penyediaan sarana dan prasarana praktik yang memadai dan guru-guru

yang kompeten. SMK negeri dan swasta yang ada selama ini ada belum secara optimal
mendapatkan bantuan upgrading alat-alat praktik maupun pelatihan kompetensi bagi guru produktif
sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mutakhir. Kuantitas SMK yang
semakin besar yang tidak diimbangi dengan kualitas baik sarana dan prasarana, guru yang
kompeten, dan nihil mendapatkan mitra dunia usaha/industri menjadkan semakin banyaknya SMK
sastra yang kurang praktik sehingga lulusanpun menjadi tidak berkualitas dan akibatnya sulit untuk
masuk dunia kerja. Salah satu penyebab terjadinya kondisi ironis dalam implementasi pendidikan
SMK disebabkan ketidakseimbangan antara produk hukum dengan perencanaan dan implementasi
kebijakan yang ditetapkan. Sebagai contoh dalam pelaksanaan pendidikan sistem ganda dan
kemitraan sekolah dengan industri, pemerintah seharusnya tidak setengah-setengah dalam
membantu SMK dalam meningkatkan kualitas lulusannya. Perlu langkah konkrit bagaimana
mengatur dunia usaha dan industri agar membantu SMK dalam melaksanakan program bersama
dalam upaya menyiapkan tenaga kerja siap pakai. Penyiapan aturan atau bahkan undang-undang
yang mengikat semua dunia usaha dan industri dalam merealisasikan kerjasama ini. Nasionalisme
DUDI dibangun dengan dimulai dari membuat aturan dan undang-undang dan aturan yang mengikat
mereka menuju ke arah pembangunan bangsa yang kuat. 2. Rendahnya Visi Kepala SMK Kepala
SMK hendaknya memiliki visi jauh ke depan karena lulusannya berhubungan langsung dengan
masalah ketenagakerjaan dan kebutuhan dunia usaha serta industri. Kebanyakan kepala SMK yang
memandang bahwa SMK tidak ubahnya dengan sekolah-sekolah lain menyebabkan proses
pembelajaran yang berlangsung juga sama dengan sekolah-sekolah menengah yang lain dengan
orientasi pada tingginya persetase kelulusan dan nilai ujian nasional semata. UN dan penilaianpenilaian normatif dan kognitif menjadi panglima dalam penyelenggaraan pendidikan sehingga
lulusan yang dihasilkan hanya memiliki selembar ijazah dan pengakuan-pengakuan normatif formal
saja tanpa dimbangi dengan soft skill sebagai kecakapan hidup (life skill) saat terjun di masyarakat.
3. Kompetensi dan Profesionalisme Guru Kejuruan/Produktif Guru pengampu mata pelajaran
kejuruan/produktif mempunyai peran yang stategis dalam menghasilkan lulusan SMK yang
kompeten dan siap kerja. Lulusan SMK yang berkualitas hanya akan terwujud jika guru yang
mengajar dan memfasilitasi kegiatan pembelajaran termasuk praktik keterampilan kejuruan sesuai
dengan kompetensi keahlian adalah guru profesional yang kompeten. Kenyataan di lapangan
menunjukkan bahwa sebagian besar guru kejuruan/produktif yang merupakan lulusan LPTK telah
tertinggal dalam penguasaaan ilmu pengetahuan dan tenologi. Banyak ilmu pengetahuan dan
tenologi terbaru dan mutakhir yang tidak dikuasai oleh guru dikarenakan keterbatasan guru dalam
mengakses informasi dan tidak mendapat upgrading keilmuan dan kompetensi dalam pendidikan
dan pelatihan yang memadai. Hasil penilaian uji kompetensi guru yang diumumkan oleh pemerintah
menunjukkan bahwa nilai kompetensi guru sebagian besar adalah rendah dan dilihat dari sisi
kualitasnya banyak keilmuan yang telah tertinggal dibandingkan dengan kamajuan ilmu

pengetahuan dan teknologi yang terus berkembang secara pesat. 4. Sarana dan Prasarana Praktik
yang Tertinggal Dunia industri berkembang pesat seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Perkembangan ini tidak mampu diimbangi oleh sebagian besar SMK. Sarana dan
prasarana praktik SMK banyak yang sudah ketinggalan jaman dan tidak sesuai lagi dengan
perkembangan teknologi yang diterapkan dunia industri. SMK yang kurang atau tidak memiliki
fasilitas praktik, membuat lulusannya tidak terampil. Masyarakat sering menyebut dengan SMK
Sastra. Lulusan seperti itu kalah dalam persaingan masuk dunia kerja. Tes akademik kalah dengan
lulusan SMA, sementara tes keterampilan selalu gagal. Mereka juga sulit memilih pekerjaan di luar
jurusannya di SMK. Lengkaplah kemeranaan lulusan SMK Sastra itu. 5. Kurikulum SMK yang
Membingungkan Kurikulum merupakan salah satu komponen penting dalam sistem pendidikan
nasional. Kurikulum berfungsi sebagai seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi dan
bahan ajar serta cara yang digunakan sebagai pedoman dalam penyelenggaraan kegiatan
pembelajaran. Kurikulum diperlukan untuk membantu guru dalam mengembangkan pengetahuan,
sikap, nilai, dan keterampilan dari berbagai berbahan kajian. Kurikulum yang dapat meningkatkan
kemampuan guru dalam menyelenggarakan kegiatan pembelajaran disusun melalui proses yang
komprehensif dan sistematis. Dengan demikian, dalam pengembangan kurikulum perlu diterapkan
pedekatan menyeluruh secara sistematik dan sistemik. Sekolah Menengah Kejuruan mempunyai
kekhususan. Kekhususan tersebut terletak pada mata pelajaran produktif. Seperti halnya mata
pelajaran lain, standar isi (SI) dan standar kompetensi lulusan (SKL) mata pelajaran produktif juga
perlu dikaji. Kegiatan kajian diusulkan agar dilakukan dengan melibatkan para guru dan dosen
berpengalaman industri, para profesional DU/DI dalam bidangnya serta asosiasi profesi terkait.
Pelibatan mantan anggota Kelompok Bidang Keahlian (KBK) pada Majelis Pendidikan Kejuruan
Nasional (MPKN) sangat disarankan. Buram final perlu disebar-luaskan secara terbuka kepada para
pemangku kepentingan untuk mendapat masukan. Mengingat KTSP SMK harus mengacu pula
pada Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI), sedangkan belum semua program
keahlian memiliki SKKNI, perlu upaya sinergis dengan BNSP (Badan Nasional Sertifikasi Profesi)
untuk penyusunan SKKNI terkait yang belum terbit. Berdasarkan analisis pelaksanaan di lapangan,
penambahan mata pelajaran pada kelompok normatif (Seni Budaya) dan pada kelompok adaptif
(Ilmu Pengetahuan Sosial dan Ilmu Pengetahuan Alam) berdampak pada beban belajar peserta
didik di sekolah menengah kejuruan di satu sisi, di sisi lain berkurangnya alokasi waktu untuk mata
pelajaran produktif. Sehingga beban jumlah jam belajar dengan perbandingan alokasi waktu tatap
muka, praktik sekolah dan praktik industri (1:2:4) berimplikasi pada penyediaan waktu lebih banyak
dari yang diamanatkan pada standar isi (mengakomodasi jumlah jam perminggu maksimum 40 jam).
Oleh karena itu jam real praktik disekolah dan industri harus dihitung serta melakukan penambahan
jumlah jam pelajaran lebih dari 4 jam pelajaran untuk memenuhi pencapaian standar kompetensi
lulusan. 6. Produk SMK yang Tak Didukung Kegiatan pembelajaran SMK yang efektif adalah
berbasis kompetensi dan berbasis produksi. Dengan demikian siswa SMK diharapkan mampu
menghasilkan proyek yang berupa produk atau jasa sesuai dengan kompetensi keahlian yang
dipelajari. Unit poduksi yang merupakan elemen penting SMK yang menjadi ciri khusus dan
membedakan dengan pendidikan menengah lainnya mempunyai peran yang strategis dalam
memperkenalkan dan memasarkan produk SMK. Contoh paling nyata berkaitan dengan Esemka
yang merupakan salah satu produk siswa SMK yang dibanggakan. Esemka adalah produk mobil
nasional hasil rakitan siswa-siswa Sekolah Menengah Kejuruan yang bekerja sama dengan institusi

dalam negeri dan beberapa perusahaan lokal dan nasional. Kandungan komponen lokal (dalam
negeri) berkisar antara 50%-90%. Namun faktanya, mobnas Esemka terengah-engah mencoba
menghirup nafas dalam gempuran mobil Jepang. Esemka yang digadang-gadang oleh Jokowi
menjadi serupa Timor nampak mangkrak. Lebih lagi pemerintah nampak masa bodoh. Dengan
dikeluarkannya kebijakan mobil murah, seperti menikam mati produksi hasil tangan-tangan siswa
SMK. Sudah empat hari mobil Esemka buatan PT Solo Manufaktur Kreasi dipamerkan di Jakarta
Convention Center (JCC), Senayan, Jakarta Pusat. Hingga hari ini baru 3 unit mobil Esemka yang
berhasil terjual di acara Pameran Produk Dalam Negeri 2013. Marketing PT Solo Manufaktur Kreasi
Tri Yuli Puspitarini mengatakan sejak mengikuti pameran di JCC, 4 hari lalu sampai saat ini baru 3
unit mobil Esemka yang laku terjual (berita: finance.detik.com). Menuju SMK Bisa! yang Unggul
Membangun sekolah unggul sebagaimana slogan SMK Bisa ! dan unggul dalam segala hal
termasuk menghasilkan lulusan yang kompeten yang kompetetif dalam persaingan global dan dunia
kerja bahkan mencetak wirausahawa muda adalah sebuah kalimat yang mudah diucapkan tetapi
sulit untuk dicapai. Tetapi kata sulit belum tentu tidak bisa bahkan sangat mungkin dicapai jika
direncanakan secara matang dan direalisasikan dengan penuh dedikasi dan loyalitas demi
mewujudkan generasi penerus yang tangguh. Sesuai dengan pengertian dasarnya, sekolah unggul
(effective school) berarti sekolah yang memiliki kelebihan, kebaikan, keutamaan jika dibandingkan
dengan yang lain, maka dalam konteks ini sekolah unggul mengandung makna sekolah model yang
dapat dirujuk sebagai contoh bagi kebanyakan sekolah lain karena kelebihan, kebaikan dan
keutamaan serta kualtas yang dimilikinya baik secara akademik maupun non akademik.
Departemen Pendidikan Nasional telah menetapkan sejumlah kriteria yang harus dimiliki sekolah
unggul. Kesembilan kriteria tersebut menjadi rambu-rambu yang harus dipenuhi oleh SMK untuk
menjadi sekolah yang unggul, yaitu: Masukan (input), yaitu siswa diseleksi secara ketat dengan
menggunakan kriteria tertentu dan prosedur yang dapat dipertanggungjawabkan. Kriteria yang
dimaksud adalah : (1) prestasi belajar superior dengan indikator angka rapor dan nilai UN, serta
hasil tes prestasi akademik, (2) skor psikotes yang meliputi intelgensi dan kreativitas, (3) tes fisik,
jika diperlukan. Sarana dan prasarana yang menunajang unutk memenuhi kebutuhan belajar siswa
serta menyalurkan minat dan bakatnya, baik dalam kegiatan kurikuler maupun ekstra kurikuler.
Lingkungan belajar yang kondusif untuk berkembangnya potensi keunggulan menjadi keunggulan
yang nyata baik lingkung fisik maupun social-psikologis. Guru dan tenaga kependidikan yang
menangani harus unggul baik dari segi penguasaan materi pelajaran, metode mengajar, maupun
komitmen dalam melaksanakan tugas. Kurikulum dipercaya dengan pengembangan dan improvisasi
secara maksimal sesuai dengan tuntutan belajar peserta didik yang memiliki kecepatan belajar yang
lebih tinggi. Kurun waktu belajar lebih lama dibandingkan sekolah lain. Karena itu perlu ada asrama
untuk memaksimalkan pembinaan dan menampung para siswa dari berbagai lokasi. Di kompleks
asrama perlu adanya sarana yang bisa menyalurkan minat dan bakat siswa seperti perpustakaan,
alat-alat olah raga, kesenian dan lain yang diperlukan. Alokasi waktu untuk pengembangan soft skill
dalam kerangka kecakapan hidup sangat ditekankan termasuk di dalamnya kompetensi kerja
produktif dan praktik kewirausahaan Proses belajar mengajar harus berkulitas dan hasilnya dapat
dipertanggungjawabkan (accountable) baik kepada siswa, lembaga maupun masyarakat. Sekolah
unggul tidak hanya memberikan manfaat kepada peserta didik di sekolah tersebut, tetapi harus
memiliki resonansi sosial kepada lingkungan sekitarnya. Dalam kaitannya dengan produk yang
dihasilkan diharapkan berbasis pada kebutuhan dan permintaan pasar/masarakat sekitar sehingga

produk yang dihasilkan akan diterima dan dapat berkembang semakin baik yang berimplikasi pada
pengembangan diri siswa. Nilai lebih sekolah unggul terletak pada perlakuan tamban di luar
kurikulum nasional melalui pengembangan kurikulum, program pengayaan dan perluasan,
pengajaran remedial, pelayanan bimbingan dan konseling yang berkualitas, pembinaan kreatifitas
dan disiplin. Di samping kesembilan kriteria sekolah unggul dari Departemen Pendidikan Nasional
yang menjadi acuan maka SMK Bisa yang benar-benar unggul juga harus mempunyai nilai lebih
yang ditunjukkan dalam integrasi kecerdasan inteletual, emosional, dan spiriual, serta bagaimana
membangun paradigma pembelajaran unggul, pembelajaran berbasis kewirausahaan sebaai dasar
mencetak wirausahawan, menjajadkan UPJ sebagai perusahaan sekolah, dan membangun secara
kuat jaringan mitra industi yang handal. Masing-masing aspek untuk mewujudkan SMK Bisa yang
unggul dijelaskan sebagai berikut. 1. Integrasi Kecerdasan Intelektual, Emosional dan Spiritual
Mencermati sekolah unggul yang diajukan di atas, secara eksplisit masih mengarah pada aspekaspek bersifat tangible, atau berada pada ranah kognitif sehingga sulit diharapkan mampu
menciptakan manusia utuh yang sesungguhnya (insan kamil). Manusia utuh yang diharapkan lahir
dari sekolah unggul adalah manusia yang menampilkan citra sebagai sosok makhluk tuhan yang di
dalam dirinya terdapat potensi rasional (nalar), potensi (emosi) dan potensi spiritual. Tiga dimensi
keunggulan (cerdas intelek, cerdas emosional dan serdas spiritual)dalamperspektif Islam
mencitrakan sosok manusia utuh. Lembaga pendidikan yang terlalu banyak menekankan
pentingnya nilai akademik, kecerdasan otak atau IQ saja, mengabaikan kecerdasan emosi yanga
mengajarkan: integritas, kejujuran, komitmen, visi, kreativitas, ketahanan mental, kebijaksanaan,
keadilan, prinsip kepercayaan, penguasaan diri atau sinergi menjadikan pendidikan kehilangan
ruhnya. Aspek emosional sebagai salah satu unsur yang menandai ke- diri-an manusia
tidakbisadiabaikan, karena ia akan membentuk karakter kepribadian manusia, terutama ketika
iamenghadapi berbagai kerumitan dan keruwetan kenyataan hidup. Secara esensi kecerdasan
emosional (EQ) adalah hatiyang mengaktifkan nilai-nilai kita yang terdalam, mengubahnya dari
suatu yangkita piker menjadi sesuatu yang kita jalani. Hati mampu mengetahui hal-hal mana yang
tidakboleh, atau tidak dapat diketahui oleh pikiran kita. Kedua aspek tersebut, dalam perspektif
pendidikan ideal belumlah cukup untuk menggambarkan kebutuhan sosok manusia. Sebab dalam
diri manusia terdapat satu asek penting lainnya yaitu potensi spiritual. Pemanduan ketiga potensi ini
menggambarkan keutuhan manusia yang sesungguhnya. Sebab bukanlah manusia jika hanya
memiliki rasio, tetapi tumpul rasa. Juga ukanlah manusia jika iamenggambarkan sosok dirinya
sebagai makhluk yangterus menrus berzikir tanpa memiliki kepekaan terhadap aspek-aspek lain
(sosial, ekonomi, budaya dan sebagainya). Karena itu, kecerdasan spiritual adalah kecerdasan yang
kita gunakan untuk membuat kebaikan, kebenaran,keindahan, dan kasih saying dalam hidup kita,
kecerdasan untuk menghadapi persoalanmakna atau value, yaitu kecerdasan untuk menempatkan
perilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya. Dengan lain pernyataan,
pendidikan adalah kemampuan merasakan hubungan yang tersembunyi (the hidden connection)
antar berbagai fenomena dalam hidup manusia. Dengan mengorientasikan tiga unsur tersebut
berarti sekolah unggul telah mengakomodasi sisi kemanusiaan peserta didik secara komprehensif,
tidak hanya berkutat pada persoalan nilai UN, atau pengetahuan kognitif saja, tetapi hal ini juga
menekankan semua segi kehidupan manusia seperti spiritualitas,moralitas, sosialitas, rsadan
rasionalitas. Sebab, menentukan kriteria keunggulan sekolah dari sisi kognitif saja tidak hanya
mereduksi keluasan makna dan fungsi pendidikan, tetapi juga sekolah akan menjadi semacam

ajang pemaksaan budaya dominan, yaitu prestise dan popularitas sesaat para shateholders
sehingga siswanya tidak lagi dipandang sebagai “people who can transform knowledge and society”,
tetapi sebagi makhluk semi mati yang bisa direkayasa untuk kepentingan-kepentingan pragmatis
pula. Sekolah yang idealnya merupakan sebuah proses humanisasi dan liberalisasi (amr bil ma’ruf
wa hany ‘an almungkar) menjadi keilangan relevansi dan jati dirinya bagi pemecahan permasalahan
dalam pembangunan manusia seutuhnya. Lembaga pendidikan unggul idealnya berkepentingan
untuk menempatkan manusia sebagai makhluk yang memiliki potensi multidimensi seperti
dikemukakaan di atas, tidak untuk menjadikan manusiasebagai makhluk tuna dimensi. Dengan
demikian output lembaga pendidikan unggul mampu hidup serasi bukan hanya dengan habitat
ekologinya (lingkungan keluarga, manusia dengan anggota masyarakat, manusia dengan alam)
tetapi juga manusia dengan Tuhan. 2. Paradigma Pembelajaran SMK Unggul Pembelajaran pada
SMK unggul memandang bahwa semua siswa mempunyai potensi untuk berkembang sehingga
kata kunci yang dipegang adalah tidak ada produk gagal. Hal ini berarti bahwa semua siswa dididik
dengan berorientasi pada tujuan SMK dengan berbasis kompetensi kerja sesuai kebutuhan tenaga
kerja dan berbasis proyek. Dengan demikian lulusan SMK diharapkan merupakan tenaga kerja
terampil yang siap pakai. Pembelajaran SMK unggul dapat dicapai dengan baik jika didukung oleh
beberapa faktor, diantaranya: Kepemimpinan kepala sekolah visioner dan berwawasan luas; Guru
profesional dan kompeten; Sarana dan prasarana serta peralatan praktik yang memadai sesuai
dengan dunia usaha/industri; Pendekatan pembelajaran yang digunakan berpusat pada siswa
(student centered learning); Pembelajaran mata pelajaran kejuruan/produktif berbasis kompetensi
dan proyek sesui dengan standar industri dengan memperhatikan ranah kognitif, afektif, dan
psikomotorik; Pembiasaan budaya kerja unggul baik disiplin, kejujuran, ketertiban, kerja sama dan
tanggung jawab; Pelaksanaan praktik kerja industri (prakerin)/pendidikan sistem ganda yang efektif
pada dunia usaha/industri yang relevan dengan kompetensi keahlian yang dipelajari untuk
memberikan gambaran nyata dunia kerja; Dukungan profesonal/praktisi dunia usaha/industri dalam
pembelajaran sebagai guru tamu yang memberikan ilmu pengetahuan dan teknologi mutakhir
sesuai tuntutan dan kebutuhan dunia kerja. Ada 5 (lima) indikator yang menunjukkan pembelajaran
pada SMK unggul, yaitu: 1. Pembentukan Karakter (Charater Building) Manusia pada hakikatnya
terdiri dari 2 sisi, yaitu; jasmani & rohani. Kedua sisi tersebut, selayaknya harus tersentuh proses
pembelajaran dalam hidup manusia. Apabila porsi pendidikan terhadap 2 sisi tersebut tidak
seimbang (terutama pada sisi rohani), maka akan terjadi krisis akhlak yang didalamnya tidak ada
lagi kejujuran, kepedulian, tanggung jawab, saling menghargai dll.Character Building adalah bidang
studi yang memenuhi kebutuhan rohani setiap manusia. Tapi pada saat ini, kenyataannya
pendidikan/materi akhlak menjadi satu dengan materi akidah, yaitu dalam bidang studi agama. 2.
Agen Perubahan (Agent of Change) Sekolah semestinya menjadi agen perubahan. Roh ini
sepertinya telah luntur, bahkan sudah merasuk keparadigma masyarakat. Bahwa sekolah unggulan
adalah sekolah yang murid-muridnya pandai dan baik, serta untuk masuk kesekolah tersebut butuh
biaya yang mahal. Sekolah jeblok adalah sekolah yang murid-muridnya bodoh dan nakal atau anak
buangan (yang tidak diterima masuk sekolah unggulan).Dalam hal ini, Bukankah sebuah sekolah
dibangun untuk mencerdaskan anak yang bodoh, serta membuat baik anak yang nakal. Dengan
menerapkan Multiple Intelegence Research kepada setiap siswa pada tiap tahun, ternyata tidak
semua siswa bodoh. Setiap siswa memiliki kecenderungan kecerdasan dan gaya belajar yang
beragam dan patut dihargai. 3. Proses Terbaik (The Best Process) Konsekuensi Agent of Change

adalah proses pembelajaran yang terbaik. Proses pembelajaran ini harus mengandung kekuatan
emosi positif dari proses awal hingga akhir pembelajaran harus benar-benar menyentuh perasaan
siswa. Jika hal ini terjadi, maka akan menimbulkan penjiwaan dari siswa tersebut dan pelajaran
tersebut akan terekam dalam memory jangka panjang. 4. Guru Terbaik (The Best Teacher) Ada 3
hal yang menentukan untuk menjadi guru terbaik yang dapat memberikan pembelajaran optimal
bagi siswanya sehingga dihasilkan lulusan berkualitas dan paripurna, yaitu: (1) guru sebagai
fasilitator, memfasilitasi dengan memberi porsi yang besar kepada siswa dalam proses
pembelajaran sehingga pemikiran siswa dapat tumbuh kembang dengan optimal; (2) guru sebagai
katalisator, akan terus memantik kemampuan siswa termasuk bakatnya, terutama pada siswa yang
lamban dalam memahami pelajaran; dan (3) guru harus dapat menyesuaikan gaya mengajarnya
dengan gaya belajar siswa, apabila proses teaching style dengan learning style sesuai maka akan
muncul kondisi sebenarnya dimana tidak ada pelajaran yang sulit dan semua siswa dapat menerima
pelajaran dari guru. 5. Manajamen Sekolah (School Management) Manajemen sekolah adalah
manajemen pemberdayaan SDM tingkat tinggi, sangat kompleks dan dibutuhkan orang-orang
profesional untuk mengelolanya. Manajemen sekolah ibarat kedua kaki kita yang melangkah menuju
satu tujuan kehidupan yang mulia. Kaki kanan ibarat context system, yaitu penyelenggara
pendidikan dan kaki kiri ibarat content system, yaitu kepala sekolah dan guru. Jadi alangkah
padunya bila langkah kedua kaki ini melangkah dengan harmonis. 3. Pembelajaran Berbasis
Kewirausahaan sebagai Dasar Mencetak Wirausahawan Pembelajaran pada SMK unggul di
samping berbasis kompetensi dan proyek yang menunjukkan keutuhan penguasaan ilmu
pengetahuan dan teknologi juga berbasis kewirusahaan sebagai dasar mencetak wirausahawan
muda. Lulusan SMK seharusnya mampu menciptakan lapangan pekerjaan minimal bagi dirinya
sendiri bahkan pada tataran yang lebih luas dapat membuka lowongan pekerjaan untuk orang lain.
Nilai-nilai dan jiwa kewirausahaan dapat ditanamkan sejak dini dan yang paling efektif adalah
melalui pendidikan. Dengan demikian pembelajaran produktif sangat strategis jika dilakukan dengan
berbasis kewirausahaan. Pembelajaran produktif merupakan mata pelajaran yang mengajarkan
kompetensi keahlian sesuai bakat dan minat peserta didik sesuai dengan kejuruan (vokasional)
yang dipilih dan membekali peserta didik dengan pengetahuan, keterampilan dan sikap (attitude)
untuk memasuki dunia kerja. Perlu dikaji dan diteliti secara mendalam dengan pendekatan kualitatif
tentang model implementasi pembelajaran produktif berbasis kewirausahaan pada SMK yang dapat
menanamkan dan menginternalisasi nilai-nilai dan jiwa kewirausahaan bagi siswa SMK sehingga
pada saatnya nanti lulusan SMK dapat menjadi wirausahawan-wirausahawan muda yang dapat
meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan, bagi diri, keluarga dan masyarakatnya. Wibowo (2011)
menyatakan bahwa pembelajaran produktif akan lebih bermakna jika diajarkan dengan berbasis
kewirausahaan karena dapat menginternalisasikan jiwa dan mental kewirausahaan kepada peserta
didik. Pendidikan berbasis kewirausahaan akan membentuk kurikulum berbasis kewirausahaan
yang sangat sesuai dengan karakter Sekolah Menengah Kejuruan yang lulusannya dipersiapkan
memasuki dunia kerja. Pembelajaran produktif berbasis kewirausahaan dalam praktiknya dapat
dilakukan dengan menanamkan nilai-nilai dan jiwa kewirausahaan pada peserta didik yang dapat
dikembangkan berdasarkan prinsip-prinsip berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan
kepentingan peserta didik dan lingkungannya dengan cara mengintegrasikan pendidikan
kewirausahaan dalam proses pembelajaran produktif. Melalui integrasi ini diharapkan peserta didik
akan memperoleh kesadaran betapa pentingnya nilai-nilai kewirausahaan. Dengan demikian,

kegiatan pembelajaran bukan lagi sekedar menjadikan peserta didik menguasai kompetensi
produktif yang ditargetkan tetapi juga mengenal, menyadari dan peduli, serta menginternalisasi nilainilai kewirausahaan dan menjadikannya perilaku dalam kehidupannya. Hasil penelitian Samsudi
(2014) tentang pengembangan model pembelajaran program produktif SMK untuk membentuk
karakter kewirausahaan lulusan menunjukkan hasil bahwa pembelajaran program produktif SMK
memiliki posisi strategis dalam pengembangan kompetensi siswa, baik kompetensi teknis (hard
competence) maupun kecakapan kewirausahaan (soft competence). Materi pembelajaran perlu
didesain dengan memfokuskan pada kegiatan produktif (membuat atau menciptakan produk baik
barang maupun jasa) yang menekankan karakter kewirausahaan, metode pembelajaran bersifat
penugasan atau project work, dan evaluasi hasil pembelajaran perlu menerapkan teknik evaluasi
unjuk kerja dengan menekankan evaluasi proses dan produk. Pembelajaran produktif berbasis
kewiarusahaan sangat efektif diterapkan pada SMK agar lulusan siap memasuki dunia kerja bukan
hanya sebagai pencari kerja tetapi juga sebagai pencipta lapangan pekerjaan. Pendidikan produktif
berbasis kewirausahaan akan efektif jika materi pembelajaran produktif didesain dengan baik
memuat nilai-nilai kewirausahaan dengan pendekatan yang tepat dan evaluasi unjuk kerja maka
siswa akan lebih termotivasi untuk belajar lebih baik dan nilai-nilai kewirausahaan terinternalisasi
secara lebih bermakna. 4. UPJ sebagai Dunia Usaha/Industri di Sekolah Unit produksi adalah unit
usaha yang memiliki keseimbangan antara aspek komersial dan aspek akademik, yang
diselenggarakan dalam lingkup organisasi sekolah dengan memanfaatkan fasilitas yang dimiliki
sekolah yang bersangkutan. Keuntungan itu dimanfaatkan untuk membantu pembiayaan pendidikan
dan meningkatkan kesejahteraan bagi warga sekolah, termasuk siswa dan pengelola yang
bersangkutan. Unit produksi pada umumnya bekerja dalam lingkup unit usaha sekolah, aktivitasnya
tidak mengganggu program intrakurikuler. Berdasarkan pedoman pelaksanaan unit produksi
(Dikmenjur, 2007), tujuan penyelenggaraan kegiatan tersebut adalah: (1) wahana pelatihan berbasis
produksi/jasa bagi siswa; (2) wahana menumbuhkan dan mengembangkan jiwa wirausaha guru dan
siswa pada SMK/MAK; (3) sarana praktik produktif secara langsung bagi siswa; (4) membantu
pendanaan untuk pemeliharaan, penambahan fasilitas dan biaya-biaya operasional pendidikan
lainnya; (5) menambah semangat kebersamaan, karena dapat menjadi wahana peningkatan
aktivitas produktif guru dan siswa serta memberikan income dan peningkatan kesejahteraan warga
sekolah; dan (6) mengembangkan sikap mandiri dan percaya diri dalam pelaksanaan kegiatan
praktik siswa. Unit produksi SMK sejak awal diharapkan menjadi salah satu alternatif dan
pendekatan melahirkan dunia usaha di lingkungan SMK, dengan memberdayakan seluruh aset dan
potensi yang dimiliki SMK. Profil unit produksi SMK meliputi: (1) struktur organisasi: adanya struktur
organisasi yang terintegrasi dengan struktur organisasi sekolah; (2)sumber permodalan: sistem
permodalan melibatkan warga sekolah/stake holder termasuk siswa; (3) program: perencanaan
kegiatan unit produksi dengan: (a) menerapkan konsep-konsep manajemen produksi, manajemen
SDM, akuntansi keuangan, dan pemasaran, (b) kegiatan produksi terintegrasi dengan proses belajar
mengajar, (c) kegiatan unit produksi menjadi alternatif pelaksanaan praktik kerja industri dan
sebagai proses pelatihan kewirausahaan, (d) pemasaran produk melibatkan seluruh warga sekolah
dan stake holder, termasuk alumni; (4) pengelolaan profit: profit terdistribusi dengan persentase
yang disepakati bersama warga sekolah, mendukung dana operasional sekolah, pengembangan
SDM, kegiatan sosial kemasyarakatan; (5) pembukuan dan pertanggungjawaban keuangan
dilakukan mengikuti Standar Akuntansi Keuangan. Audit keuangan minimal satu kali dalam 3 bulan

oleh tim audit yang dibentuk bersama warga sekolah, laporan pertanggungjawaban keuangan unit
produksi dilakukan minimal setiap akhir tahun akademik. 5. Jaringan Mitra Industri yang Handal
Karakteristik pendidikan kejuruan menurut Djohar (2007:1295-1297) adalah sebagai berikut:
Pendidikan kejuruan merupakan pendidikan yang memiliki sifat untuk menyiapkan penyediaan
tenaga kerja. Oleh karena itu orientasi pendidikannya tertuju pada lulusan yang dapat dipasarkan di
pasar kerja. Justifikasi pendidikan kejuruan adalah adanya kebutuhan nyata tenaga kerja di dunia
usaha dan industri. Pengalaman belajar yang disajikan melalui pendidikan kejuruan mencakup
domain afektif, kognitif, dan psikomotorik yang diaplikasikan baik pada situasi kerja yang tersimulasi
lewat proses belajar mengajar, maupun situasi kerja yang sebenarnya. Keberhasilan pendidikan
kejuruan diukur dari dua kriteria, yaitu keberhasilan siswa di sekolah (in-school success), dan
keberhasilan siswa di luar sekolah (out-of school success). Kriteria pertama meliputi keberhasilan
siswa dalam memenuhi persyaratan kurikuler, sedangkan kriteria kedua diindikasikan oleh
keberhasilan atau penampilan lulusan setelah berada di dunia kerja yang sebenarnya. Pendidikan
kejuruan memiliki kepekaan/daya suai (responsiveness) terhadap perkembangan dunia kerja. Oleh
karena itu pendidikan kejuruan harus bersifat responsif dan proaktif terhadap perkembangan ilmu
dan teknologi, dengan menekankan kepada upaya adaptabilitas dan fleksibilitas untuk menghadapi
prospek karir anak didik dalam jangka panjang. Bengkel kerja dan laboratorium merupakan
kelengkapan utama dalam pendidikan kejuruan, untuk dapat mewujudkan situasi belajar yang dapat
mencerminkan situasi dunia kerja secara realistis dan edukatif. Hubungan kerjasama antara
lembaga pendidikan kejuruan dengan dunia usaha dan industri merupakan suatu keharusan, seiring
dengan tingginya tuntutan relevansi program pendidikan kejuruan dengan tuntutan dunia usaha dan
industri. Dengan memperhatikan karakteristik SMK di atas maka jaringan kemitraan antara SMK
dengan dunia usaha/industri menjadi keniscayaan yang tidak dapat diabaikan. Peran industri
semakin penting bagi SMK karena perkembangan teori pendidikan dan pembelajaran kejuruan lebih
banyak menempatkan DUDI sebagai tempat belajar cara kerja yang efektif. Ada dua teori belajar di
tempat kerja yang pokok yang terkait dengan DUDI, yaitu situated learning dan work-based learning
(belajar berbasis tempat kerja). Kerjasama sekolah dan industri harus dibangun berdasarkan
kemauan dan saling membutuhkan. Pihak dunia kerja dan industri seharusnya menyadari bahwa
pihak industri tidak akan mendapatkan tenaga kerja siap pakai yang mereka perlukan dengan
persyaratan yang dikehendaki, tanpa membangun program pendidikan bersama. Perencanaan
kurikulum dan praktiknya bisa disusun dengan pihak industri. SMK unggul membangun jaringan
yang luas dengan dunia usaha/industri sebagai mitra dalam menyelenggarakan pembelajaran agar
dihasilkan lulusan yang berkualitas dan siap kerja. Sebagaimana amanah Undang-undang bahwa
SMK diberi kepercayaan untuk menyiapkan sumber daya manusia yang siap memasuki dunia kerja
dan menjadi tenaga kerja yang produktif. Lulusan SMK idealnya merupakan tenaga kerja yang siap
pakai, dalam arti langsung bisa bekerja di dunia usaha dan industri. Fungsi dunia usaha/industri
dalam proses pembelajaran, di antaranya: (1) sebagai tempat praktik kerja industri yang diharapkan
apat memberikan gambaran nyata kepada siswa SMK tentang dunia kerja sebenarnya; (2) dunia
usaha/industri sebagai tempat magang kerja. Sistem magang merupakan sistem yang cukup efektif
untuk mendidik dan menyiapkan seseorang untuk memperdalam dan menguasai keterampilan yang
lebih rumit yang tidak mungkin atau tidak pernah dilakukan melalui pendidikan massal di sekolah.
Dalam sistem magang seorang yang belum ahli (novices) belajar dengan orang yang telah ahli
(expert) dalam bidang kejuruan tertentu. Sistem magang juga dapat membantu siswa SMK

memahami budaya kerja, sikap profesional yang diperlukan, budaya mutu, dan pelayanan
konsumen; dan (3) industri sebagai tempat belajar manajemen industri dan wawasan dunia kerja.
Dunia usaha/industri dimanfaatkan oleh sekolah sebagai tempat pembelajaran tentang manajemen
dan organisasi produksi. Siswa SMK kadang-kadang melakukan pengamatan cara kerja mesin dan
produk yang dihasilkan dengan secara tidak langsung belajar tentang mutu dan efisiensi produk.
Selain itu siswa juga belajar tentang manajemen dan organisasi industri untuk belajar tentang dunia
usaha dan cara pengelolaan usaha, sehingga mereka memiliki wawasan dan pengetahuan tentang
dunia usaha. Melalui belajar manajemen dan organisasi ini juga bisa menambah wawasan siswa
pada dunia wirausaha. Penutup SMK sudah saatnya menjawab t