BENCANA EKOLOGIS DI PERKOTAAN PESISIR JA
BENCANA EKOLOGIS DI PERKOTAAN PESISIR JAWA1 )
HENNY WARSILAH
Research Center for Society and Culture
The Indonesian Institute of Sciences
1.Pengantar
Dalam konteks ekologi
sesungguhnya Jawa berada dalam posisi
Kebencanaan Ekologis. Tulisan pendek ini akan menyoroti kebencanaan di
kawasan urban terutama terkait dengan ekologi di kota-kota pesisir Jawa .
Pertemuan WALHI se Jawa yang diselenggarakan di Yogjakarta pada bulan
Febuari tahun 2016 melaporkan kondisi lingkungan di Pulau Jawa. Kondisi
lingkungan di Jawa makin terancam karena keberlakuan Paradigma Pembangunan
yang Jawa Sentris, melalui politik kebijakan pemerintah terutama pada sektor
pembangunan
ekonomi,
dan
infrasruktur.
Kebijakan
ekonomi
yang
mengedepankan pembangunana infrastruktur ini tercermin dari dokumen Rencana
Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) dan proyek Masterpaln percepatan dan
perluasan pembangunan ekonomi indonesia (MP3EI). (Lihat Web.WALHI
Jabar:http://www.walhijabar.org/2016/02/19/hentikan-membunuh-jawa-dengankrisis-ekologi/).
Misal, ancaman linkungan di Jawa Barat semakin nyata dengan akan
dibangunnya proyek-proyek baru seperti kereta api cepat Jakarta – Bandung yang
akan memangkas kawasan tangkapan air yang menjadi sumber air di waduk Jati
Luhur. Waduk Jatiluhur adalah penyuplai air di beberapa kota seperti di Bandung,
Bekasi dan Jakarta. Disinyalir dalam proyek kereta api cepat ini banyak aturan
1 Disampaikan pada acara Diskusi Bersama “Krisis Ekologi Pulau Jawa dan Daya Tahan Sosial
Dalam Menghadapinya”, Diselenggarakan oleh P2K-LIPI, Jakarta, Gedng Widya Graha LIPI
lantai 7, 31 Januari 2017.
1
yang di langgar, salah satunya mengenai aturan UU no 32 tahun 2009 tentang
perlindungan dan pengelolaan Lingkungan hidup, PP 27 tahun 2012 tentang Ijin
Lingkungan, dan Permen LH no 16 thn 2012 tentang Pedoman penyusunan
Dokument Amdal.
Kedua, problem lingkungan dan sosial atas beroperasinya PLTU di Cirebon
sangat mempengaruhi kondisi lingkungan di wilayah pesisir pulau Jawa dan
mengancan terhadap perekonomian serta kesehatan warga yang berdekatan dengan
lokasi kegiatan. Ketiga, pembangunan Waduk Jatigede di Jawa Barat diprediksi
dapat menghancurkan pulau Jawa, karena diduga diawali dengan praktik
penghilangan hutan untuk areal waduk ini. Dampak lain yang terjadi ada sebanyak
900.000 pohon akan hilang karena di tebang serta hilngnya flora dan fauna di
kawasan pembangunan Waduk Jatigede. Sekitar 70.000 jiwa akan kehilangan
tempat tinggal dan 3.200 ha kawasan pertanian warga yang subur.
Saat ini di Jawa Tengah ada ancaman ekologi (Karst) yang besar dari
industri tambang semen. Khususnya di Kabupaten Pati, Rembang, Wonogiri dan
Kebumen saat ini masyarakatnya sedang melawan usaha industri eksploitasi
tambang semen di kawasan ekosistem karst. Di Jawa Tengah ada indikasi para
pengusaha besar rebutan mengambil wilayah konsesi karst yang semakin
menyempit. Apalagi sejak terbitnya keputusan menteri ESDM No. 17 Tahun 2012
tentang kawasan bentang alam Karst yang memangkas luasan karst untuk
memfasilitasi investasi industri. Selain itu kerusakan lingkungan hidup di Jawa
Tengah bisa dilihat dari rusaknya beberapa DAS (daerah aliran sungai) seperti di
DAS Garang yang dari hulu sampai hilir dalam kategori kritis. Pencemaran air dan
krisis air bersih menjadi wujud nyata bahwa Jawa Tengah dalam kondisi
membahayakan dalam aspek lingkungan hidup.
2
Di Semarang-Jateng sebagai titik sentra jalur utama Pantai Utara Jawa
dengan panjang garis pantai mencapai 36,63 km, Semarang berkembang pesat
sebagai kota besar dengan beragam aktivitas industri, perdagangan dan jasa.
Kepesatan ini mendorong semakin tingginya tingkat populasi penduduk di
kawasan pesisir kota Semarang, antara lain Tugu, Semarang Barat, Kamijen
Semarang Timur dan Tambak Lorok Semarang Utara dan Genuk yang umumnya
dimanfaatkan sebagai pusat pelabuhan, daerah industri maupun pemukiman
penduduk. Kondisi ini pada akhirnya memicu suatu fenomena klasik di kota
Semarang, salah satunya banjir rob.
Kota pesisir Surabaya juga mengalami kebencanaan ekologis, terutama
terkait dengan hilangnya habitat laut dan hutan mangrove, akibat pengurukan atau
reklamasi yang tidak bertanggung jawab. Reklamasi tidak hanya diakukan
masyarakat pendatang, tetapi juga pihak swasta dan pengembang perumahan.
Selain ada masalah krusial terkait dengan pencemaran limbah kerang hijau, yang
hasil produksinya dieskpor ke berbagai Negara, namun utuk limbahnya tidak ada
yang menangani.
Padahal, kawasan Pesisir merupakan wilayah yang strategis sekaligus paling
rentan terhadap perubahan, gangguan dan pencemaran oleh manusia. Dikatakan
daerah yang strategis karena hampir semua kawasan pesisir di Indonesia
merupakan pintu gerbang utama aktivitas ekonomi kelautan di wilayahnya masingmasing, sementara dikatakan paling rentan terhadap perubahan yang terjadi secara
alami, akibat aktivitas manusia, maupun kombinasi dari keduanya. Namun diantara
faktor-faktor tersebut, pengaruh aktivitas manusia yang tidak ramah lingkungan
merupakan penyebab utamanya. Fakta menunjukkan, kondisi kawasan pesisir di
berbagai penjuru tanah air, terutama pulau Jawa mengalami kerusakan ekosistem
3
yang sangat mencemaskan, misalnya kerusakan terumbu karang, kerusakan
mangrove, erosi pantai, maupun pencemaran.
Kerusakan Ekologi di Jawa
Penduduk Indonesia, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun
2012, mencapai 257.516.167 jiwa. Jumlah penduduk Indonesia diproyeksikan pada
2035 mencapai mencapai 305,6 juta jiwa. Sekitar 50 persen berada di Pulau Jawa.
Konsentrasi penduduk masih berada di Pulau Jawa, yaitu sebesar 54,7 persen.
Tingginya rasio penduduk yang tinggal di Jawa didorong oleh pertumbuhan
ekonomi yang tinggi di pulau tersebut. Jawa Barat merupakan provinsi yang paling
padat di Indonesia, yaitu 57,13 juta penduduk pada 2035. Tingginya jumlah
penduduk di Jawa Barat didorong oleh migrasi yang terjadi di wilayah tersebut.
Terutama di wilayah seperti Depok dan Bekasi.
Proyeksi Penduduk Indonesia dan Jabar, BPS, 2016.
Penduduk pulau Jawa ada 141 juta pada tahun 2012. Angka tahun 2015,
penduduk Jawa mencapai 124 juta orang. Pulau Jawa adalah pulau yang memiliki
4
kepadatan penduduk terbesar dibandingkan dengan wilayah Indonesia lainnya.
Berbagai factor mampu membuat Jawa menjadi pulau dengan penduduk terbesar di
Indonesia dibandingkan dengan pulau lainnya. Pulau Jawa menjadi pusat
pemerintahan dan perekonomian negara sehingga banyak penduduk yang tertarik
untuk tinggal di wilayah ini. Faktor yang menyebabkan kepadatan penduduk yang
tinggi di Pulau Jawa antara lain faktor geografis (khususnya faktor fsik berupa
tanah yang lebih subur) dan faktor sejarah.
Pulau Jawa merupakan salah satu daerah terpadat di dunia dengan lebih dari
136 juta jiwa tinggal di daerah seluas 129.438,28 km2. Dengan luasan hanya
sekitar enam persen dari keseluruhan daratan di Indonesia, Jawa dihuni lebih dari
50 persen jumlah penduduk Indonesia.
Kepadatan populasi di Pulau Jawa berimplikasi pada besarnya tekanan
terhadap sumber daya alam demi kelangsungan hidup sehari-hari. Tekanan ini
terutama terjadi di 4.614 desa yang berada di dalam dan di sekitar hutan negara.
Berdasarkan data BPKH Wilayah XI, Jawa-Madura (2012), dari 98 juta hektare
kawasan hutan negara di Indonesia, hanya sekitar 3,38 persen yang tercatat berada
di pulau ini.
Luas hutan Jawa 2.429.203 hektare atau 85,37 persen diserahkan
pengelolaannya hanya pada Perum Perhutani. Luasan itu merupakan 19,8 persen
dari luas total wilayah di Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Banten.
Sayangnya, dengan penguasaan tersebut terdapat fakta telah terjadi salah
urus hutan Jawa oleh Perhutani yang mengakibatkan krisis sosial. Data Badan
Pusat Statistik (BPS) (2012) menunjukkan jumlah penduduk miskin perdesaan di
Jawa 8.703.350 jiwa.Sejauh ini diyakini kemiskinan masyarakat perdesaan yang
tinggal di dalam dan sekitar hutan Jawa disebabkan oleh keterbatasan lahan. Dalam
5
data Sensus Pertanian (1993), RACA Institute menyebutkan, penguasaan tanah
petani di Jawa rata-rata 0,3 hektare/KK.
Pulau Jawa hanya memiliki luasan hutan sebesar 3,38% dari seluruh
kawasan hutan di Indonesia. Dari luasan tersebut, sebesar 85,37% dikelola oleh
Perum Perhutani. Luas tutupan hutan dari tahun ke tahun kondisinya semakin
berkurang. Di tahun 2000 luas tutupan hutan Jawa masih 2,2 juta hektar, namun di
tahun 2009 sudah merosot tinggal 800 ribu hektar. Total luas tutupan hutan di
kawasan hutan produksi di Jawa hanya 23, 1%. Akibatnya, sebanyak 123 titik DAS
dan Sub-DAS di Pulau Jawa terganggu akibat degradasi dan deforestasi hutan. Jika
tren ini terus berlangsung maka sekitar 10,7 juta ha DAS dan Sub-DAS di Pulau
Jawa akan semakin terancam. Hingga awal abad ke-20, luas hutan alam di Pulau
Jawa telah berkurang hingga 6 juta hektare dari 11,5 juta hektare pada 1800. Pulau
Jawa yang menjadi pusat ekonomi negara Indonesia sekarang mengalami krisis
ekologi dan sosial yang perlu segera ditangani.
6
Bencana ekologis di pulau Jawa muncul dalam bentuk: banjir, tanah longsor,
kebakaran hutan, dan kekeringan telah diperkirakan terjadi di 90% wilayah
Indonesia. Selain topografi alami di suatu wilayah, potensi bencana ekologis
Indonesia turut disebabkan maraknya deforestasi, praktik pertambangan, dan
monokultur seperti perkebunan sawit di Indonesia. Selain itu, korban bencana
ekologi terbesar juga berada di Jawa Tengah yang menelan korban jiwa sebanyak
152 orang. Kondisi wilayah dengan potensi bencana ekologis terparah lainnya,
yakni Banten 62,5% dari keseluruhan luas wilayahnya, kemudian DKI Jakarta
dengan 51,9%, lalu Jawa Barat dengan 48,0% .dari seluruh kawasan hutan di
Indonesi, Pulau Jawa hanya memiliki hutan seluas 3,38%, sedangkan 85,37% nya
dikuasai oleh Perum Perhutani (WALHI, Jabar).
Di Jawa Timur, pada tahun 2014 total ada 187 bencana ekologis di 804 desa
atau kelurahan yang mencakup semua kabupaten/kota di Jawa Timur.(Walhi Jatim
dalam Tempo.co, 2016) https://m.tempo.co/read/news/2014/06/06/058582894/ada187-bencana-ekologis-di-jawa-timur. Gejala telah terjadinya krisis ekologis ini
juga terlihat dari terus berkurangnya luas tutupan hutan Jawa setiap tahun. Pada
2000, luas tutupan hutan di Jawa diperkirakan 2,2 juta hektare. Namun, pada 2009
luas tutupan hutan hanya tinggal 800-an ribu hektare. Perubahan tutupan hutan ini
karena kegagalan Perum Perhutani menjalankan reboisasi.
Berkurangnya luas tutupan hutan ini berdampak pada terganggunya daerah
aliran sungai (DAS) di Pulau Jawa. Data Kementerian Lingkungan Hidup
menyebutkan, 123 titik DAS dan sub-DAS di Jawa terganggu akibat degradasi dan
deforestasi hutan. Hal ini kian menegaskan terancamnya Jawa oleh krisis ekologis.
Ancaman bencana di Jawa, seperti banjir, longsor, kekeringan menjadi sangat
mencolok jika dibandingkan kenyataan kejadian yang sama di daerah Indonesia
lainnya.
7
Selain persoalan ekologis dan sosial-ekonomis, permasalahan lainnya yang
turut menambah daftar panjang kompleksitas permasalahan di wilayah pesisir
adalah konflik penggunaan lahan antar pemilik kepentingan. Di Kemijen Semarang
Timur, konflik berkembang antara penduduk pendatang yang sudah bermukim
lama dengan PT.KAI, karena mereka menduduki lahan PJKA. Lahan ini oleh
pemerintah setempat akan dipergunakan untuk membangun kolam retensi yang
menampung limpahan air banjir rob. Para pendatang ini telah diuntungkan oleh
keriuhan pemilu era Suharto, yang membagikan sertifikat secara gratis, jadi secara
formal kedudukan mereka di depan hokum kuat, meski tanah itu milik PJKA.
Sementara di Kenjeran Surabaya, konflik muncul ketika Komplek TNI-AL
memperluas kompleksnya dengan cara mereklamasi pantai. Penduduk yang sudah
menetap terancam tergusur, dan pada posisi kekuasaan mereka kalah jika melawan
TNI-AL, sehingga konflik berekembang liar. (Manajer Desk Bencana Wahana
Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Eksekutif Nasional Mukri Friatna di Jakarta,
Selasa (22/1): sumber: www.metrotvnews.com.
Seperti dilaporkan oleh Ismail Al-habib Direktur Eksekutif WALHI, bahwa
siklus lingkungan di Jawa sudah hampir tidak berfungsi, dan bencana ekologis ada
didepan mata. Berdasarkan data tahun 2015 WALHI, bahwa setidaknya ada 1071
desa yang mengalami bencana seperti banjir, tanah longsor dan rob di Jawa Barat.
Data ini mengkonfirmasi bahwa Propvinsi Jawa Barat adalah daerah paling rawan
kedua setelah Aceh yang paling banyak mengalami bencana.
Beban Ekologis
Ada beberapa faktor yang menambah beban ekologis, terutama untuk daerah
urban. Pertama, pesatnya kenaikan jumlah penduduk dan pembangunan yang
8
berdampak kepada semakin kompleksnya permasalahan yang dihadapi masyarakat
pesisir, baik dari segi ekologis maupun sosial-ekonomis.
Misal, persoalan semakin tingginya angka kemiskinan yang berimplikasi
terhadap tingginya kerusakan sumber daya alam, lunturnya nilai-nilai budaya lokal,
rendahnya infrastruktur, rendahnya kesehatan lingkungan, dan rendahnya
kemandirian organisasi-organisasi kemasyarakatan.
Selain persoalan ekologis dan sosial-ekonomis, permasalahan lainnya yang
turut menambah daftar panjang kompleksitas permasalahan di wilayah pesisir
adalah konflik penggunaan lahan antar pemilik kepentingan. Di Kemijen Semarang
Timur, konflik berkembang antara penduduk pendatang yang sudah bermukim
lama dengan PT.KAI, karena mereka menduduki lahan PJKA. Lahan ini oleh
pemerintah setempat akan dipergunakan untuk membangun kolam retensi yang
menampung limpahan air banjir rob. Para pendatang ini telah diuntungkan oleh
keriuhan pemilu era Suharto, yang membagikan sertifikat secara gratis, jadi secara
formal kedudukan mereka di depan hokum kuat, meski tanah itu milik PJKA.
Sementara di Kenjeran Surabaya, konflik muncul ketika Komplek TNI-AL
memperluas kompleksnya dengan cara mereklamasi pantai. Penduduk yang sudah
menetap terancam tergusur, dan pada posisi kekuasaan mereka kalah jika melawan
TNI-AL, sehingga konflik berekembang liar.
Di Teluk Jakarta Utara, konflik muncul ketika kawasan ini akan direklamasi
dan dintegrasikan dalam Mega proyek “National Capital Integrated Coastal
Development” (NCICD). Juga akan dibangun proyek apartemen mewah dan Giant
Sea Wall di sepanjang pantai, padahal, di sana ada 17 ribu nelayan lebih yang telah
bermukim lama. Keberadaan para nelayan ini terancam tergusur, dan jika proyek
selesai di duga akan merusak ekologi dan ekosistem pesisir. Biota laut dan hutan
mangrove akan kian termarjinalkan, pencemaran air karena diprediksi air run off
9
dari banjir akan terkepung tidak bisa mengalir ke laut dengan bebas. Belum lagi
bencana banjir rob, amblesan tanah yang kian meningkat karena pembebanan
bangunan-bangunan baru.
Konflik ini terjadi karena banyak pihak menganggap bahwa sumberdaya
pesisir tanpa kepemilikan sehingga dapat dieksploitasi semaunya oleh siapapun.
Padahal dalam UUD 45 pasal 33 ayat 3 tertera jelas bahwa ‘bumi, air, dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan
dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat’, maka setiap penggunaan
lahan pesisir semestinya diarahkan untuk memberikan manfaat ekonomi dan sosial
bagi masyarakat pesisir, bukan mengeksploitasi sumber daya pesisir demi meraih
keuntungan pribadi .
Menurut Kartodihardjo dan Jhamtani , bencana banjir mencakup 32,96%
dari jumlah kejadian bencana, sementara tanah longsor merupakan 25,04% dari
total kejadian bencana. Bahkan, di pesisir Jawa3, pada kurun waktu 1996 hingga
1999 saja, setidaknya terdapat 1.289 desa terkena bencana banjir. Jumlahnya
semakin meningkat hampir 3 kali lipatnya (2.823 desa) hingga akhir tahun 2003,
yang juga merupakan implikasi dari rusaknya ekosistem pesisir akibat dari
konversi lahan, destructive fishing, reklamasi, hingga pencemaran laut (dimana
80% industri di Pulau Jawa berada disepanjang pantai utara Jawa)- (Politik
Lingkungan dan Kekuasaan di Indonesia, Equinox Publishing, 2006).Walhi Jabar,
2007https://walhijabar.wordpress.com/2007/12/30/bencana-ekologis-dankeberlanjutan-indonesia/
Pembangunan Berkelanjutan dan Resilient City
Mendiang Prof. Eko Budihardjo dalam bukunya yang berjudul “Reformasi
Perkotaan” menulis satu artikel yang berjudul “Kota-kota yang Terluka”. Pada
10
alinea pembuka artikel tersebut, beliau mengungkapkan tentang fenomena “Urban
Suicide” atau “Bunuh Diri Perkotaan” yang terjadi di sebagian besar kota-kota di
Indonesia. Disebut bunuh diri karena itu seringkali dilakukan oleh pengelola kota
itu sendiri, dalam hal ini adalah pemerintah kota, yang dengan berbagai
kebijakannya justru malah merusak keseimbangan hubungan antara manusia
dengan lingkungan perkotaan baik yang masih alami maupun yang sudah terbentuk
menjadi lingkungan binaan. Disebut bunuh diri juga karena sebagian besar
kebijakan-kebijakan itu dibuat dalam keadaan sadar akan dampaknya. Sehingga
beliau pun menyindir dengan menyatakan bahwa beliau akan sangat terkejut
apabila mengetahui ada yang merasa terkejut akan terjadinya kerusakan
lingkungan dan bencana alam yang menimpa kota-kota di Indonesia.
Daerah kota hanya mencakup 2% dari permukaan bumi, akan tetapi setengah
dari jumlah populasi di dunia tinggal di kota-kota. Dan kota, melalui aktivitas
penghuninya, mengkonsumsi 80% energi yang dihasilkan dan mengeluarkan
kurang lebih 50% emisi Greenhouse gas yang ada di bumi. Kota sejak awalnya
didirikan sebagai pusat transaksi atau pertukaran antara konsumsi dan produksi.
Hal ini terus berkembang sampai saat ini dimana kota-kota menjelma menjadi
pusat-pusat ekonomi di setiap negara. Hanya saja “kekuatan” ekonomi suatu kota
ini juga pada umumnya mengandung unsur ketidak-seimbangan dan sekaligus
melupakan keterkaitannya dengan lingkungan alam sebagai asal muasal. Manusia
begitu “serakah” dalam mengkondisikan kota demi keuntungan (ekonomi) semata
sehingga seakan menganggap kota bukan lagi bagian dari bumi ini.
Pada 2005, bahkan hutan alam di Jawa hanya tinggal 0,4 juta hektare.
11
Kemiskinan juga disebabkan terbatasnya akses masyarakat perdesaan terhadap
hutan Jawa. Sesuai amanat konstitusi, kekayaan alam seharusnya untuk
kesejahteraan rakyat. Namun, melalui Peraturan Pemerintah No 72 Tahun 2010,
pemerintah hanya memberikan hak pengelolaan hutan Jawa kepada Perum
Perhutani.
Padahal di tahun 2000, luas tutupan hutan di Pulau Jawa masih 2,2 juta hektar.
Tahun 2009, merosot sangat tinggi hanya menyisakan 800 ribu hektar. Total luas
tutupan hutan di kawasan hutan produksi di Pulau Jawa hanya 23,1%. Reforma
agraria kehutanan dilakukan dengan dua opsi utama, yakni, pertama, tipologi fisik.
Dalam hal ini bidikannya terdapat pada bentuk fisik lahan dan model tata
kelolanya, misalnya, tanah datar menjadi lahan pertanian rakyat; tanah campuran
(datar dan berbukit kecil) menjadi lahan kombinasi pertanian dan perkebunan
(model hutan rakyat) dan tanah dengan kemiringan lebih dari 45 derajat menjadi
hutan yang tata gunanya dibatasi penggunaannya sebagai fungsi lindung.
Akibatnya, 123 titik Daerah Aliran Sungai (DAS) dan sub DAS di Pulau Jawa
terganggu akibat degradasi dan deforestasi hutan. Jika kondisi tersebut terus
dibiarkan. Maka, sekitar 10,7 juta hektar DAS dan sub DAS di Pulau Jawa akan
makin terancam.
Jatim
Persoalan krisis mata air menjadi permasalahan serius bagi masyarakat di Jawa
Timur, karena dapat berdampak terhadap keberlangsungan hidup sebuah
ekosistem, akibat semakin berkurangnya sumber mata air yang menjadi sumber
kehidupan masyarakat. Eksploitasi air yang dilakukan secara tidak terkendali,
selain merugikan rakyat secara umum juga dapat menyebabkan kerusakan
lingkungan yang lebih luas.
12
Konflik sumber mata air Umbul Gemulo di Kota Batu, Jawa Timur menjadi salah
satu konflik ekologi yang dapat mengancam keberlangsungan kehidupan pada
sebuah ekosistem. Dengan lepasnya sumber mata air di suatu tempat akan dapat
menjadi preseden buruk hilangnya sumber mata air di tempat lain.
“Kasus yang mengemuka di konflik ekologi Jatim terbaru ya perjuangan
masyarakat pada kasus mata air Umbul Gemulo, antara warga dengan pemilik
hotel The Rayja di Batu,” kata Ahmad Rossul, anggota Divisi Advokasi dan
Kampanye, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Timur.
Rencana pembangunan hotel di atas sumber mata air itu menjadi penyebab aksi
penolakan warga, yang berujung pada gugatan hukum di pengadilan antara warga
dengan pemilik hotel.Dengan melihat karakteristik kerja Perhutani, alih-alih
mengatasi krisis sosial, eksploitasi sumber daya hutan dan masyarakat perdesaan
justru semakin tajam. Dalam catatan HuMa (2013), dari 72 konflik kehutanan, 41
kasus terjadi di hutan Jawa yang melibatkan Perum Perhutani.
Pada skala produksi, laporan tahunan Perum Perhutani 2010 menunjukkan, dari
kawasan hutan produksi seluas 1.767.304 hektare kini hanya mampu menghasilkan
kayu 889.858 m3. Jumlah ini jauh di bawah produksi kayu dari hutan rakyat yang
18.523.433 m3/tahun.
Produksi kayu ini bersumber dari hutan rakyat seluas 2.871.675,31 hektare.
Dengan demikian, tingkat produktivitas hutan rakyat 6,54 m3/hektare, jauh lebih
13
besar dibandingkan produktivitas lahan hutan negara kelolaan Perhutani yang
hanya mampu memproduksi 0,50 m3/hektare.
Atas kondisi ini, negara kehilangan potensi produktivitas lahan 6,04 m3/hektare.
Salah urus hutan Jawa telah mengakibatkan krisis ekologi, sosial, dan ekonomi.
Karena itu, diperlukan tindakan nyata pemerintah. Reforma agraria kehutanan di
Jawa adalah sebuah jawaban.
Dalam konteks ini, reforma agraria kehutanan di Jawa diartikan sebagai perubahan
bentuk atau wujud pengelolaan hutan Jawa ke arah lebih baik. Reforma agraria
hutan Jawa ditujukan untuk melestarikan hutan, memperbaiki keseimbangan
ekologi Pulau Jawa serta perluasan ruang kelola rakyat terkait pengentasan
kemiskinan masyarakat desa hutan.
2.KONSEP EKOLOGI SOSIAL
Definisi Ekologi Manusia, menurut Amos H Hawley (1950:67) dikatakan,
Ekologi manusia, dengan demikian bisa diartikan, dalam istilah yang biasa
digunakan, sebagai studi yang mempelajari bentuk dan perkembangan komunitas
dalam sebuah populasi manusia (“Human ecology may be defined, therefore, in
terms that have already been used, as the study of the form and the development of
the community in human population”).
Frederick Steiner (2002:3) mengatakan, Ekologi Manusia Baru menekankan
pada over-reduksionisme yang cukup rumit, memfokuskan pada perubahan negara
yang stabil, dan memperluas konsep ekologi melebihi studi tentang tumbuhtumbuhan dan hewan menuju keterlibatan manusia. Pandangan ini berbeda dari
determinisme lingkungan pada awal-awal abad ke-20 (“This new human ecology
emphasizes complexity over-reductionism, focuses on changes over stable states,
and expands ecological concepts beyond the study of plants and animals to include
14
people. This view differs from the environmental determinism of the early
twentieth century”).
Menurut Gerald L Young (1994:339) dikatakan, Dengan demikian ekologi
manusia, adalah suatu pandangan yang mencoba memahami keterkaitan antara
spesies manusia dan lingkungannya (“Human ecology, then, is “an attempt to
understand
the inter-relationships
between the human species
and its
environment”). “Ekologi Manusia” merujuk pada suatu ilmu (oikos =
rumah/tempat tinggal ; logos = ilmu) dan mempelajari interaksi lingkungan dengan
manusia sebagai perluasan dari konsep ekologi pada umumnya.
“Pembangunan pabrik semen di Pegunungan Kendeng Utara yang menyebar di
Kabupaten Rembang, Pati, dan Grobogan, serta di Gombong, Jawa Tengah
mengindikasikan hal tersebut.
Penambangan batu gamping untuk industri semen di Kabupaten Rembang
mengancam keberlanjutan Cekungan Air Tanah (CAT) Watuputih. Padahal CAT
tersebut merupakan kawasan lindung geologi dan kawasan resapan air terbesar
yang memasok sumber-mata air yang ada di sekitarnya. Volume air yang
dihasilkan oleh mata air-mata air yang ada di pegununungan karst ini dalam satu
hari mencapai sekitar 51.840.000 liter air. 10% di antaranya dimanfaatkan untuk
kebutuhan masyarakat dan sisanya didistribusikan ke lahan pertanian”.
Rencana pembangunan industri semen di Pati mengancam hak pangan warga.
Lahan yang akan digunakan untuk pabrik seluas 180 hektar, dan 95 hektar di
antaranya berupa lahan pertanian produktif milik 569 orang/KK di tiga desa yakni
Tambakromo, Mojomulyo dan Karangawen. Lahan untuk tapak pabrik dan tapak
15
tambang akan menggunakan kawasan hutan produksi Perum Perhutani sekitar
seluas 484,96 hektar.
Lahan tersebut telah dikelola oleh 267 petani hutan (pesanggem) untuk budi daya
pertanian. Dengan produktivitas 6 ton padi/hektar/panen, pendapatan total dari satu
kali panen di areal budidaya pertanian yang terkena proyek diperkirakan mencapai
Rp 2.137.500.000. Pembangunan pabrik semen akan menurunkan pendapatan
masyarakat di sana.
Tahun 2000 luas tutupan hutan Jawa masih 2,2 juta hektar. Namun di tahun 2009
sudah merosot tinggal 800 ribu hektar. Total luas tutupan hutan di kawasan hutan
produksi di Jawa hanya 23, 1%. Akibatnya, sebanyak 123 titik DAS dan Sub-DAS
di Pulau Jawa terganggu akibat degradasi dan deforestasi hutan. Jika tren ini terus
berlangsung maka sekitar 10,7 juta ha DAS dan Sub-DAS di Pulau Jawa akan
semakin terancam.
“Kebijakan tukar-menukar kawasan hutan di Pulau Jawa bukanlah solusi yang
tepat untuk menyelamatkan Pulau Jawa dari krisis ekologis yang berlangsung saat
ini. Tukar-menukar itupun diduga dapat memicu konflik agraria karena belum
adanya jaminan ‘clear and clean’ dari lahan pengganti yang disediakan. Tukar
menukar juga tidak dapat mengganti hilangnya fungsi ekologis pada lahan yang
ditukar,” ditambahkan Dr. Myrna Safitri dari Universitas Pancasila.
Konflik agraria di Pulau Jawa, khususnya di areal Perum Perhutani, relatif tinggi
dalam hal jumlah dan frekuensi. Dalam catatan HuMa (2013), dari 72 konflik
terbuka kehutanan yang terjadi di Indonesia, 41 (empat puluh satu) konflik hutan
terjadi di Jawa yang nota bene diurus oleh Perum Perhutani. Dalam satu dasawarsa
terakhir ini setidak-tidaknya 108 warga desa hutan mengalami kekerasan dan
kriminalisasi.
16
Bahan Bacaan
Ali, Syukron, (2015). Krisis Ekologi dan Sosial di Pulau Jawa Perlu Ditangani
Segera
Dalam Majalah SWA.
Chamid,
Riyadi,
(2015).
RATUSAN
AKADEMISI
SAMPAIKAN
KEPRIHATINAN KRISIS EKOLOGI DAN SOSIAL PULAU JAWA KEPADA
PRESIDEN, Dalam Blog Mina diakses 24 Januari 2017.
Ekologi Perkotaan: Pola, Proses, dan Aplikasi (Urban Ecology: Patterns, Processes,
and Applications) By. Jari Niemelä, Jürgen H. Breuste, Thomas Elmqvist, Glenn
Guntenspergen, Philip James, and Nancy E. McIntyre. http://lib.uin-suska.ac.id/?
j=1459911216, di upload 26 april 2016, diakse 27 jan 2017.
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/dark_wright/pengelolaan-wilayahpesisir-terpadu-berbasis-ekologi-dengan-pendekatannegosiasi_54fff54aa33311a36d50f839
17
HENNY WARSILAH
Research Center for Society and Culture
The Indonesian Institute of Sciences
1.Pengantar
Dalam konteks ekologi
sesungguhnya Jawa berada dalam posisi
Kebencanaan Ekologis. Tulisan pendek ini akan menyoroti kebencanaan di
kawasan urban terutama terkait dengan ekologi di kota-kota pesisir Jawa .
Pertemuan WALHI se Jawa yang diselenggarakan di Yogjakarta pada bulan
Febuari tahun 2016 melaporkan kondisi lingkungan di Pulau Jawa. Kondisi
lingkungan di Jawa makin terancam karena keberlakuan Paradigma Pembangunan
yang Jawa Sentris, melalui politik kebijakan pemerintah terutama pada sektor
pembangunan
ekonomi,
dan
infrasruktur.
Kebijakan
ekonomi
yang
mengedepankan pembangunana infrastruktur ini tercermin dari dokumen Rencana
Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) dan proyek Masterpaln percepatan dan
perluasan pembangunan ekonomi indonesia (MP3EI). (Lihat Web.WALHI
Jabar:http://www.walhijabar.org/2016/02/19/hentikan-membunuh-jawa-dengankrisis-ekologi/).
Misal, ancaman linkungan di Jawa Barat semakin nyata dengan akan
dibangunnya proyek-proyek baru seperti kereta api cepat Jakarta – Bandung yang
akan memangkas kawasan tangkapan air yang menjadi sumber air di waduk Jati
Luhur. Waduk Jatiluhur adalah penyuplai air di beberapa kota seperti di Bandung,
Bekasi dan Jakarta. Disinyalir dalam proyek kereta api cepat ini banyak aturan
1 Disampaikan pada acara Diskusi Bersama “Krisis Ekologi Pulau Jawa dan Daya Tahan Sosial
Dalam Menghadapinya”, Diselenggarakan oleh P2K-LIPI, Jakarta, Gedng Widya Graha LIPI
lantai 7, 31 Januari 2017.
1
yang di langgar, salah satunya mengenai aturan UU no 32 tahun 2009 tentang
perlindungan dan pengelolaan Lingkungan hidup, PP 27 tahun 2012 tentang Ijin
Lingkungan, dan Permen LH no 16 thn 2012 tentang Pedoman penyusunan
Dokument Amdal.
Kedua, problem lingkungan dan sosial atas beroperasinya PLTU di Cirebon
sangat mempengaruhi kondisi lingkungan di wilayah pesisir pulau Jawa dan
mengancan terhadap perekonomian serta kesehatan warga yang berdekatan dengan
lokasi kegiatan. Ketiga, pembangunan Waduk Jatigede di Jawa Barat diprediksi
dapat menghancurkan pulau Jawa, karena diduga diawali dengan praktik
penghilangan hutan untuk areal waduk ini. Dampak lain yang terjadi ada sebanyak
900.000 pohon akan hilang karena di tebang serta hilngnya flora dan fauna di
kawasan pembangunan Waduk Jatigede. Sekitar 70.000 jiwa akan kehilangan
tempat tinggal dan 3.200 ha kawasan pertanian warga yang subur.
Saat ini di Jawa Tengah ada ancaman ekologi (Karst) yang besar dari
industri tambang semen. Khususnya di Kabupaten Pati, Rembang, Wonogiri dan
Kebumen saat ini masyarakatnya sedang melawan usaha industri eksploitasi
tambang semen di kawasan ekosistem karst. Di Jawa Tengah ada indikasi para
pengusaha besar rebutan mengambil wilayah konsesi karst yang semakin
menyempit. Apalagi sejak terbitnya keputusan menteri ESDM No. 17 Tahun 2012
tentang kawasan bentang alam Karst yang memangkas luasan karst untuk
memfasilitasi investasi industri. Selain itu kerusakan lingkungan hidup di Jawa
Tengah bisa dilihat dari rusaknya beberapa DAS (daerah aliran sungai) seperti di
DAS Garang yang dari hulu sampai hilir dalam kategori kritis. Pencemaran air dan
krisis air bersih menjadi wujud nyata bahwa Jawa Tengah dalam kondisi
membahayakan dalam aspek lingkungan hidup.
2
Di Semarang-Jateng sebagai titik sentra jalur utama Pantai Utara Jawa
dengan panjang garis pantai mencapai 36,63 km, Semarang berkembang pesat
sebagai kota besar dengan beragam aktivitas industri, perdagangan dan jasa.
Kepesatan ini mendorong semakin tingginya tingkat populasi penduduk di
kawasan pesisir kota Semarang, antara lain Tugu, Semarang Barat, Kamijen
Semarang Timur dan Tambak Lorok Semarang Utara dan Genuk yang umumnya
dimanfaatkan sebagai pusat pelabuhan, daerah industri maupun pemukiman
penduduk. Kondisi ini pada akhirnya memicu suatu fenomena klasik di kota
Semarang, salah satunya banjir rob.
Kota pesisir Surabaya juga mengalami kebencanaan ekologis, terutama
terkait dengan hilangnya habitat laut dan hutan mangrove, akibat pengurukan atau
reklamasi yang tidak bertanggung jawab. Reklamasi tidak hanya diakukan
masyarakat pendatang, tetapi juga pihak swasta dan pengembang perumahan.
Selain ada masalah krusial terkait dengan pencemaran limbah kerang hijau, yang
hasil produksinya dieskpor ke berbagai Negara, namun utuk limbahnya tidak ada
yang menangani.
Padahal, kawasan Pesisir merupakan wilayah yang strategis sekaligus paling
rentan terhadap perubahan, gangguan dan pencemaran oleh manusia. Dikatakan
daerah yang strategis karena hampir semua kawasan pesisir di Indonesia
merupakan pintu gerbang utama aktivitas ekonomi kelautan di wilayahnya masingmasing, sementara dikatakan paling rentan terhadap perubahan yang terjadi secara
alami, akibat aktivitas manusia, maupun kombinasi dari keduanya. Namun diantara
faktor-faktor tersebut, pengaruh aktivitas manusia yang tidak ramah lingkungan
merupakan penyebab utamanya. Fakta menunjukkan, kondisi kawasan pesisir di
berbagai penjuru tanah air, terutama pulau Jawa mengalami kerusakan ekosistem
3
yang sangat mencemaskan, misalnya kerusakan terumbu karang, kerusakan
mangrove, erosi pantai, maupun pencemaran.
Kerusakan Ekologi di Jawa
Penduduk Indonesia, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun
2012, mencapai 257.516.167 jiwa. Jumlah penduduk Indonesia diproyeksikan pada
2035 mencapai mencapai 305,6 juta jiwa. Sekitar 50 persen berada di Pulau Jawa.
Konsentrasi penduduk masih berada di Pulau Jawa, yaitu sebesar 54,7 persen.
Tingginya rasio penduduk yang tinggal di Jawa didorong oleh pertumbuhan
ekonomi yang tinggi di pulau tersebut. Jawa Barat merupakan provinsi yang paling
padat di Indonesia, yaitu 57,13 juta penduduk pada 2035. Tingginya jumlah
penduduk di Jawa Barat didorong oleh migrasi yang terjadi di wilayah tersebut.
Terutama di wilayah seperti Depok dan Bekasi.
Proyeksi Penduduk Indonesia dan Jabar, BPS, 2016.
Penduduk pulau Jawa ada 141 juta pada tahun 2012. Angka tahun 2015,
penduduk Jawa mencapai 124 juta orang. Pulau Jawa adalah pulau yang memiliki
4
kepadatan penduduk terbesar dibandingkan dengan wilayah Indonesia lainnya.
Berbagai factor mampu membuat Jawa menjadi pulau dengan penduduk terbesar di
Indonesia dibandingkan dengan pulau lainnya. Pulau Jawa menjadi pusat
pemerintahan dan perekonomian negara sehingga banyak penduduk yang tertarik
untuk tinggal di wilayah ini. Faktor yang menyebabkan kepadatan penduduk yang
tinggi di Pulau Jawa antara lain faktor geografis (khususnya faktor fsik berupa
tanah yang lebih subur) dan faktor sejarah.
Pulau Jawa merupakan salah satu daerah terpadat di dunia dengan lebih dari
136 juta jiwa tinggal di daerah seluas 129.438,28 km2. Dengan luasan hanya
sekitar enam persen dari keseluruhan daratan di Indonesia, Jawa dihuni lebih dari
50 persen jumlah penduduk Indonesia.
Kepadatan populasi di Pulau Jawa berimplikasi pada besarnya tekanan
terhadap sumber daya alam demi kelangsungan hidup sehari-hari. Tekanan ini
terutama terjadi di 4.614 desa yang berada di dalam dan di sekitar hutan negara.
Berdasarkan data BPKH Wilayah XI, Jawa-Madura (2012), dari 98 juta hektare
kawasan hutan negara di Indonesia, hanya sekitar 3,38 persen yang tercatat berada
di pulau ini.
Luas hutan Jawa 2.429.203 hektare atau 85,37 persen diserahkan
pengelolaannya hanya pada Perum Perhutani. Luasan itu merupakan 19,8 persen
dari luas total wilayah di Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Banten.
Sayangnya, dengan penguasaan tersebut terdapat fakta telah terjadi salah
urus hutan Jawa oleh Perhutani yang mengakibatkan krisis sosial. Data Badan
Pusat Statistik (BPS) (2012) menunjukkan jumlah penduduk miskin perdesaan di
Jawa 8.703.350 jiwa.Sejauh ini diyakini kemiskinan masyarakat perdesaan yang
tinggal di dalam dan sekitar hutan Jawa disebabkan oleh keterbatasan lahan. Dalam
5
data Sensus Pertanian (1993), RACA Institute menyebutkan, penguasaan tanah
petani di Jawa rata-rata 0,3 hektare/KK.
Pulau Jawa hanya memiliki luasan hutan sebesar 3,38% dari seluruh
kawasan hutan di Indonesia. Dari luasan tersebut, sebesar 85,37% dikelola oleh
Perum Perhutani. Luas tutupan hutan dari tahun ke tahun kondisinya semakin
berkurang. Di tahun 2000 luas tutupan hutan Jawa masih 2,2 juta hektar, namun di
tahun 2009 sudah merosot tinggal 800 ribu hektar. Total luas tutupan hutan di
kawasan hutan produksi di Jawa hanya 23, 1%. Akibatnya, sebanyak 123 titik DAS
dan Sub-DAS di Pulau Jawa terganggu akibat degradasi dan deforestasi hutan. Jika
tren ini terus berlangsung maka sekitar 10,7 juta ha DAS dan Sub-DAS di Pulau
Jawa akan semakin terancam. Hingga awal abad ke-20, luas hutan alam di Pulau
Jawa telah berkurang hingga 6 juta hektare dari 11,5 juta hektare pada 1800. Pulau
Jawa yang menjadi pusat ekonomi negara Indonesia sekarang mengalami krisis
ekologi dan sosial yang perlu segera ditangani.
6
Bencana ekologis di pulau Jawa muncul dalam bentuk: banjir, tanah longsor,
kebakaran hutan, dan kekeringan telah diperkirakan terjadi di 90% wilayah
Indonesia. Selain topografi alami di suatu wilayah, potensi bencana ekologis
Indonesia turut disebabkan maraknya deforestasi, praktik pertambangan, dan
monokultur seperti perkebunan sawit di Indonesia. Selain itu, korban bencana
ekologi terbesar juga berada di Jawa Tengah yang menelan korban jiwa sebanyak
152 orang. Kondisi wilayah dengan potensi bencana ekologis terparah lainnya,
yakni Banten 62,5% dari keseluruhan luas wilayahnya, kemudian DKI Jakarta
dengan 51,9%, lalu Jawa Barat dengan 48,0% .dari seluruh kawasan hutan di
Indonesi, Pulau Jawa hanya memiliki hutan seluas 3,38%, sedangkan 85,37% nya
dikuasai oleh Perum Perhutani (WALHI, Jabar).
Di Jawa Timur, pada tahun 2014 total ada 187 bencana ekologis di 804 desa
atau kelurahan yang mencakup semua kabupaten/kota di Jawa Timur.(Walhi Jatim
dalam Tempo.co, 2016) https://m.tempo.co/read/news/2014/06/06/058582894/ada187-bencana-ekologis-di-jawa-timur. Gejala telah terjadinya krisis ekologis ini
juga terlihat dari terus berkurangnya luas tutupan hutan Jawa setiap tahun. Pada
2000, luas tutupan hutan di Jawa diperkirakan 2,2 juta hektare. Namun, pada 2009
luas tutupan hutan hanya tinggal 800-an ribu hektare. Perubahan tutupan hutan ini
karena kegagalan Perum Perhutani menjalankan reboisasi.
Berkurangnya luas tutupan hutan ini berdampak pada terganggunya daerah
aliran sungai (DAS) di Pulau Jawa. Data Kementerian Lingkungan Hidup
menyebutkan, 123 titik DAS dan sub-DAS di Jawa terganggu akibat degradasi dan
deforestasi hutan. Hal ini kian menegaskan terancamnya Jawa oleh krisis ekologis.
Ancaman bencana di Jawa, seperti banjir, longsor, kekeringan menjadi sangat
mencolok jika dibandingkan kenyataan kejadian yang sama di daerah Indonesia
lainnya.
7
Selain persoalan ekologis dan sosial-ekonomis, permasalahan lainnya yang
turut menambah daftar panjang kompleksitas permasalahan di wilayah pesisir
adalah konflik penggunaan lahan antar pemilik kepentingan. Di Kemijen Semarang
Timur, konflik berkembang antara penduduk pendatang yang sudah bermukim
lama dengan PT.KAI, karena mereka menduduki lahan PJKA. Lahan ini oleh
pemerintah setempat akan dipergunakan untuk membangun kolam retensi yang
menampung limpahan air banjir rob. Para pendatang ini telah diuntungkan oleh
keriuhan pemilu era Suharto, yang membagikan sertifikat secara gratis, jadi secara
formal kedudukan mereka di depan hokum kuat, meski tanah itu milik PJKA.
Sementara di Kenjeran Surabaya, konflik muncul ketika Komplek TNI-AL
memperluas kompleksnya dengan cara mereklamasi pantai. Penduduk yang sudah
menetap terancam tergusur, dan pada posisi kekuasaan mereka kalah jika melawan
TNI-AL, sehingga konflik berekembang liar. (Manajer Desk Bencana Wahana
Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Eksekutif Nasional Mukri Friatna di Jakarta,
Selasa (22/1): sumber: www.metrotvnews.com.
Seperti dilaporkan oleh Ismail Al-habib Direktur Eksekutif WALHI, bahwa
siklus lingkungan di Jawa sudah hampir tidak berfungsi, dan bencana ekologis ada
didepan mata. Berdasarkan data tahun 2015 WALHI, bahwa setidaknya ada 1071
desa yang mengalami bencana seperti banjir, tanah longsor dan rob di Jawa Barat.
Data ini mengkonfirmasi bahwa Propvinsi Jawa Barat adalah daerah paling rawan
kedua setelah Aceh yang paling banyak mengalami bencana.
Beban Ekologis
Ada beberapa faktor yang menambah beban ekologis, terutama untuk daerah
urban. Pertama, pesatnya kenaikan jumlah penduduk dan pembangunan yang
8
berdampak kepada semakin kompleksnya permasalahan yang dihadapi masyarakat
pesisir, baik dari segi ekologis maupun sosial-ekonomis.
Misal, persoalan semakin tingginya angka kemiskinan yang berimplikasi
terhadap tingginya kerusakan sumber daya alam, lunturnya nilai-nilai budaya lokal,
rendahnya infrastruktur, rendahnya kesehatan lingkungan, dan rendahnya
kemandirian organisasi-organisasi kemasyarakatan.
Selain persoalan ekologis dan sosial-ekonomis, permasalahan lainnya yang
turut menambah daftar panjang kompleksitas permasalahan di wilayah pesisir
adalah konflik penggunaan lahan antar pemilik kepentingan. Di Kemijen Semarang
Timur, konflik berkembang antara penduduk pendatang yang sudah bermukim
lama dengan PT.KAI, karena mereka menduduki lahan PJKA. Lahan ini oleh
pemerintah setempat akan dipergunakan untuk membangun kolam retensi yang
menampung limpahan air banjir rob. Para pendatang ini telah diuntungkan oleh
keriuhan pemilu era Suharto, yang membagikan sertifikat secara gratis, jadi secara
formal kedudukan mereka di depan hokum kuat, meski tanah itu milik PJKA.
Sementara di Kenjeran Surabaya, konflik muncul ketika Komplek TNI-AL
memperluas kompleksnya dengan cara mereklamasi pantai. Penduduk yang sudah
menetap terancam tergusur, dan pada posisi kekuasaan mereka kalah jika melawan
TNI-AL, sehingga konflik berekembang liar.
Di Teluk Jakarta Utara, konflik muncul ketika kawasan ini akan direklamasi
dan dintegrasikan dalam Mega proyek “National Capital Integrated Coastal
Development” (NCICD). Juga akan dibangun proyek apartemen mewah dan Giant
Sea Wall di sepanjang pantai, padahal, di sana ada 17 ribu nelayan lebih yang telah
bermukim lama. Keberadaan para nelayan ini terancam tergusur, dan jika proyek
selesai di duga akan merusak ekologi dan ekosistem pesisir. Biota laut dan hutan
mangrove akan kian termarjinalkan, pencemaran air karena diprediksi air run off
9
dari banjir akan terkepung tidak bisa mengalir ke laut dengan bebas. Belum lagi
bencana banjir rob, amblesan tanah yang kian meningkat karena pembebanan
bangunan-bangunan baru.
Konflik ini terjadi karena banyak pihak menganggap bahwa sumberdaya
pesisir tanpa kepemilikan sehingga dapat dieksploitasi semaunya oleh siapapun.
Padahal dalam UUD 45 pasal 33 ayat 3 tertera jelas bahwa ‘bumi, air, dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan
dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat’, maka setiap penggunaan
lahan pesisir semestinya diarahkan untuk memberikan manfaat ekonomi dan sosial
bagi masyarakat pesisir, bukan mengeksploitasi sumber daya pesisir demi meraih
keuntungan pribadi .
Menurut Kartodihardjo dan Jhamtani , bencana banjir mencakup 32,96%
dari jumlah kejadian bencana, sementara tanah longsor merupakan 25,04% dari
total kejadian bencana. Bahkan, di pesisir Jawa3, pada kurun waktu 1996 hingga
1999 saja, setidaknya terdapat 1.289 desa terkena bencana banjir. Jumlahnya
semakin meningkat hampir 3 kali lipatnya (2.823 desa) hingga akhir tahun 2003,
yang juga merupakan implikasi dari rusaknya ekosistem pesisir akibat dari
konversi lahan, destructive fishing, reklamasi, hingga pencemaran laut (dimana
80% industri di Pulau Jawa berada disepanjang pantai utara Jawa)- (Politik
Lingkungan dan Kekuasaan di Indonesia, Equinox Publishing, 2006).Walhi Jabar,
2007https://walhijabar.wordpress.com/2007/12/30/bencana-ekologis-dankeberlanjutan-indonesia/
Pembangunan Berkelanjutan dan Resilient City
Mendiang Prof. Eko Budihardjo dalam bukunya yang berjudul “Reformasi
Perkotaan” menulis satu artikel yang berjudul “Kota-kota yang Terluka”. Pada
10
alinea pembuka artikel tersebut, beliau mengungkapkan tentang fenomena “Urban
Suicide” atau “Bunuh Diri Perkotaan” yang terjadi di sebagian besar kota-kota di
Indonesia. Disebut bunuh diri karena itu seringkali dilakukan oleh pengelola kota
itu sendiri, dalam hal ini adalah pemerintah kota, yang dengan berbagai
kebijakannya justru malah merusak keseimbangan hubungan antara manusia
dengan lingkungan perkotaan baik yang masih alami maupun yang sudah terbentuk
menjadi lingkungan binaan. Disebut bunuh diri juga karena sebagian besar
kebijakan-kebijakan itu dibuat dalam keadaan sadar akan dampaknya. Sehingga
beliau pun menyindir dengan menyatakan bahwa beliau akan sangat terkejut
apabila mengetahui ada yang merasa terkejut akan terjadinya kerusakan
lingkungan dan bencana alam yang menimpa kota-kota di Indonesia.
Daerah kota hanya mencakup 2% dari permukaan bumi, akan tetapi setengah
dari jumlah populasi di dunia tinggal di kota-kota. Dan kota, melalui aktivitas
penghuninya, mengkonsumsi 80% energi yang dihasilkan dan mengeluarkan
kurang lebih 50% emisi Greenhouse gas yang ada di bumi. Kota sejak awalnya
didirikan sebagai pusat transaksi atau pertukaran antara konsumsi dan produksi.
Hal ini terus berkembang sampai saat ini dimana kota-kota menjelma menjadi
pusat-pusat ekonomi di setiap negara. Hanya saja “kekuatan” ekonomi suatu kota
ini juga pada umumnya mengandung unsur ketidak-seimbangan dan sekaligus
melupakan keterkaitannya dengan lingkungan alam sebagai asal muasal. Manusia
begitu “serakah” dalam mengkondisikan kota demi keuntungan (ekonomi) semata
sehingga seakan menganggap kota bukan lagi bagian dari bumi ini.
Pada 2005, bahkan hutan alam di Jawa hanya tinggal 0,4 juta hektare.
11
Kemiskinan juga disebabkan terbatasnya akses masyarakat perdesaan terhadap
hutan Jawa. Sesuai amanat konstitusi, kekayaan alam seharusnya untuk
kesejahteraan rakyat. Namun, melalui Peraturan Pemerintah No 72 Tahun 2010,
pemerintah hanya memberikan hak pengelolaan hutan Jawa kepada Perum
Perhutani.
Padahal di tahun 2000, luas tutupan hutan di Pulau Jawa masih 2,2 juta hektar.
Tahun 2009, merosot sangat tinggi hanya menyisakan 800 ribu hektar. Total luas
tutupan hutan di kawasan hutan produksi di Pulau Jawa hanya 23,1%. Reforma
agraria kehutanan dilakukan dengan dua opsi utama, yakni, pertama, tipologi fisik.
Dalam hal ini bidikannya terdapat pada bentuk fisik lahan dan model tata
kelolanya, misalnya, tanah datar menjadi lahan pertanian rakyat; tanah campuran
(datar dan berbukit kecil) menjadi lahan kombinasi pertanian dan perkebunan
(model hutan rakyat) dan tanah dengan kemiringan lebih dari 45 derajat menjadi
hutan yang tata gunanya dibatasi penggunaannya sebagai fungsi lindung.
Akibatnya, 123 titik Daerah Aliran Sungai (DAS) dan sub DAS di Pulau Jawa
terganggu akibat degradasi dan deforestasi hutan. Jika kondisi tersebut terus
dibiarkan. Maka, sekitar 10,7 juta hektar DAS dan sub DAS di Pulau Jawa akan
makin terancam.
Jatim
Persoalan krisis mata air menjadi permasalahan serius bagi masyarakat di Jawa
Timur, karena dapat berdampak terhadap keberlangsungan hidup sebuah
ekosistem, akibat semakin berkurangnya sumber mata air yang menjadi sumber
kehidupan masyarakat. Eksploitasi air yang dilakukan secara tidak terkendali,
selain merugikan rakyat secara umum juga dapat menyebabkan kerusakan
lingkungan yang lebih luas.
12
Konflik sumber mata air Umbul Gemulo di Kota Batu, Jawa Timur menjadi salah
satu konflik ekologi yang dapat mengancam keberlangsungan kehidupan pada
sebuah ekosistem. Dengan lepasnya sumber mata air di suatu tempat akan dapat
menjadi preseden buruk hilangnya sumber mata air di tempat lain.
“Kasus yang mengemuka di konflik ekologi Jatim terbaru ya perjuangan
masyarakat pada kasus mata air Umbul Gemulo, antara warga dengan pemilik
hotel The Rayja di Batu,” kata Ahmad Rossul, anggota Divisi Advokasi dan
Kampanye, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Timur.
Rencana pembangunan hotel di atas sumber mata air itu menjadi penyebab aksi
penolakan warga, yang berujung pada gugatan hukum di pengadilan antara warga
dengan pemilik hotel.Dengan melihat karakteristik kerja Perhutani, alih-alih
mengatasi krisis sosial, eksploitasi sumber daya hutan dan masyarakat perdesaan
justru semakin tajam. Dalam catatan HuMa (2013), dari 72 konflik kehutanan, 41
kasus terjadi di hutan Jawa yang melibatkan Perum Perhutani.
Pada skala produksi, laporan tahunan Perum Perhutani 2010 menunjukkan, dari
kawasan hutan produksi seluas 1.767.304 hektare kini hanya mampu menghasilkan
kayu 889.858 m3. Jumlah ini jauh di bawah produksi kayu dari hutan rakyat yang
18.523.433 m3/tahun.
Produksi kayu ini bersumber dari hutan rakyat seluas 2.871.675,31 hektare.
Dengan demikian, tingkat produktivitas hutan rakyat 6,54 m3/hektare, jauh lebih
13
besar dibandingkan produktivitas lahan hutan negara kelolaan Perhutani yang
hanya mampu memproduksi 0,50 m3/hektare.
Atas kondisi ini, negara kehilangan potensi produktivitas lahan 6,04 m3/hektare.
Salah urus hutan Jawa telah mengakibatkan krisis ekologi, sosial, dan ekonomi.
Karena itu, diperlukan tindakan nyata pemerintah. Reforma agraria kehutanan di
Jawa adalah sebuah jawaban.
Dalam konteks ini, reforma agraria kehutanan di Jawa diartikan sebagai perubahan
bentuk atau wujud pengelolaan hutan Jawa ke arah lebih baik. Reforma agraria
hutan Jawa ditujukan untuk melestarikan hutan, memperbaiki keseimbangan
ekologi Pulau Jawa serta perluasan ruang kelola rakyat terkait pengentasan
kemiskinan masyarakat desa hutan.
2.KONSEP EKOLOGI SOSIAL
Definisi Ekologi Manusia, menurut Amos H Hawley (1950:67) dikatakan,
Ekologi manusia, dengan demikian bisa diartikan, dalam istilah yang biasa
digunakan, sebagai studi yang mempelajari bentuk dan perkembangan komunitas
dalam sebuah populasi manusia (“Human ecology may be defined, therefore, in
terms that have already been used, as the study of the form and the development of
the community in human population”).
Frederick Steiner (2002:3) mengatakan, Ekologi Manusia Baru menekankan
pada over-reduksionisme yang cukup rumit, memfokuskan pada perubahan negara
yang stabil, dan memperluas konsep ekologi melebihi studi tentang tumbuhtumbuhan dan hewan menuju keterlibatan manusia. Pandangan ini berbeda dari
determinisme lingkungan pada awal-awal abad ke-20 (“This new human ecology
emphasizes complexity over-reductionism, focuses on changes over stable states,
and expands ecological concepts beyond the study of plants and animals to include
14
people. This view differs from the environmental determinism of the early
twentieth century”).
Menurut Gerald L Young (1994:339) dikatakan, Dengan demikian ekologi
manusia, adalah suatu pandangan yang mencoba memahami keterkaitan antara
spesies manusia dan lingkungannya (“Human ecology, then, is “an attempt to
understand
the inter-relationships
between the human species
and its
environment”). “Ekologi Manusia” merujuk pada suatu ilmu (oikos =
rumah/tempat tinggal ; logos = ilmu) dan mempelajari interaksi lingkungan dengan
manusia sebagai perluasan dari konsep ekologi pada umumnya.
“Pembangunan pabrik semen di Pegunungan Kendeng Utara yang menyebar di
Kabupaten Rembang, Pati, dan Grobogan, serta di Gombong, Jawa Tengah
mengindikasikan hal tersebut.
Penambangan batu gamping untuk industri semen di Kabupaten Rembang
mengancam keberlanjutan Cekungan Air Tanah (CAT) Watuputih. Padahal CAT
tersebut merupakan kawasan lindung geologi dan kawasan resapan air terbesar
yang memasok sumber-mata air yang ada di sekitarnya. Volume air yang
dihasilkan oleh mata air-mata air yang ada di pegununungan karst ini dalam satu
hari mencapai sekitar 51.840.000 liter air. 10% di antaranya dimanfaatkan untuk
kebutuhan masyarakat dan sisanya didistribusikan ke lahan pertanian”.
Rencana pembangunan industri semen di Pati mengancam hak pangan warga.
Lahan yang akan digunakan untuk pabrik seluas 180 hektar, dan 95 hektar di
antaranya berupa lahan pertanian produktif milik 569 orang/KK di tiga desa yakni
Tambakromo, Mojomulyo dan Karangawen. Lahan untuk tapak pabrik dan tapak
15
tambang akan menggunakan kawasan hutan produksi Perum Perhutani sekitar
seluas 484,96 hektar.
Lahan tersebut telah dikelola oleh 267 petani hutan (pesanggem) untuk budi daya
pertanian. Dengan produktivitas 6 ton padi/hektar/panen, pendapatan total dari satu
kali panen di areal budidaya pertanian yang terkena proyek diperkirakan mencapai
Rp 2.137.500.000. Pembangunan pabrik semen akan menurunkan pendapatan
masyarakat di sana.
Tahun 2000 luas tutupan hutan Jawa masih 2,2 juta hektar. Namun di tahun 2009
sudah merosot tinggal 800 ribu hektar. Total luas tutupan hutan di kawasan hutan
produksi di Jawa hanya 23, 1%. Akibatnya, sebanyak 123 titik DAS dan Sub-DAS
di Pulau Jawa terganggu akibat degradasi dan deforestasi hutan. Jika tren ini terus
berlangsung maka sekitar 10,7 juta ha DAS dan Sub-DAS di Pulau Jawa akan
semakin terancam.
“Kebijakan tukar-menukar kawasan hutan di Pulau Jawa bukanlah solusi yang
tepat untuk menyelamatkan Pulau Jawa dari krisis ekologis yang berlangsung saat
ini. Tukar-menukar itupun diduga dapat memicu konflik agraria karena belum
adanya jaminan ‘clear and clean’ dari lahan pengganti yang disediakan. Tukar
menukar juga tidak dapat mengganti hilangnya fungsi ekologis pada lahan yang
ditukar,” ditambahkan Dr. Myrna Safitri dari Universitas Pancasila.
Konflik agraria di Pulau Jawa, khususnya di areal Perum Perhutani, relatif tinggi
dalam hal jumlah dan frekuensi. Dalam catatan HuMa (2013), dari 72 konflik
terbuka kehutanan yang terjadi di Indonesia, 41 (empat puluh satu) konflik hutan
terjadi di Jawa yang nota bene diurus oleh Perum Perhutani. Dalam satu dasawarsa
terakhir ini setidak-tidaknya 108 warga desa hutan mengalami kekerasan dan
kriminalisasi.
16
Bahan Bacaan
Ali, Syukron, (2015). Krisis Ekologi dan Sosial di Pulau Jawa Perlu Ditangani
Segera
Dalam Majalah SWA.
Chamid,
Riyadi,
(2015).
RATUSAN
AKADEMISI
SAMPAIKAN
KEPRIHATINAN KRISIS EKOLOGI DAN SOSIAL PULAU JAWA KEPADA
PRESIDEN, Dalam Blog Mina diakses 24 Januari 2017.
Ekologi Perkotaan: Pola, Proses, dan Aplikasi (Urban Ecology: Patterns, Processes,
and Applications) By. Jari Niemelä, Jürgen H. Breuste, Thomas Elmqvist, Glenn
Guntenspergen, Philip James, and Nancy E. McIntyre. http://lib.uin-suska.ac.id/?
j=1459911216, di upload 26 april 2016, diakse 27 jan 2017.
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/dark_wright/pengelolaan-wilayahpesisir-terpadu-berbasis-ekologi-dengan-pendekatannegosiasi_54fff54aa33311a36d50f839
17