Kongregasi Puteri Reinha Rosari menerjemahkan spiritualitas pendiri, Monseigneur Gabriel Manek, SVD dalam pelayanan orang sakit kusta di rumah sakit kusta Santa Maria Pembantu Abadi Naob Nusa Tenggara Timur.

(1)

viii ABSTRAK

Skripsi ini berjudul KONGREGASI PUTERI REINHA ROSARI MANERJEMAHKAN SPIRITUALITAS PENDIRI, MONSEIGNEUR GABRIEL MANEK, SVD DALAM PELAYANAN ORANG SAKIT KUSTA DI RUMAH SAKIT KUSTA SANTA MARIA PEMBANTU ABADI NAOB NUSA TENGGARA TIMUR. Penulisan skripsi ini berawal dari ketertarikan penulis pada semangat Pendiri Mgr. Gabriel Manek, SVD yang selama hidupnya memiliki cinta yang sangat besar bagi pelayanan orang-orang kecil, miskin dan menderita. Penulis merasa amat penting untuk mendalami dan mengobarkan api cinta pendiri ini ke dalam pelayanan Kongregasi PRR terutama untuk meningkatkan kualitas pelayanan para suster di rumah sakit kusta Naob Timor Tengah Utara Nusa Tenggara Timur. Skripsi ini dibuat dalam bentuk deskripsi. Data-data dalam penulisan ini diperoleh melalui studi pustaka, wawancara dan pengamatan langsung untuk mendapatkan gambaran data tentang pelayanan para suster di rumah sakit kusta Naob.

Permasalahan pokok yang diangkat dalam skripsi ini yakni: Bagaimana kedalaman spiritualitas hidup pendiri dalam hubungan dengan situasi sosial hidup pada zamannya, spiritualitas yang berkembang di balik pelayanan para suster PRR untuk orang sakit kusta di Noab, dan bagaimana para suster bisa belajar dan menghidupi spiritualitas pendiri pada zaman ini. Penulis akan menguraikan permasalahan tersebut dalam enam bab yakni: bab pertama sebagai pendahuluan untuk menjelaskan judul. Bab kedua penulis menguraikan tentang pendiri PRR Mgr. Gabriel Manek, SVD, yang paling pokok di sini adalah spiritualitas pelayanannya bagi orang miskin dan menderita. Bab ketiga penulis menjelaskan tentang pelayanan di rumah sakit kusta Naob, sejarah singkat serta visi dan misi pelayanan yang berkembang. Bab empat sebagai refleksi kritis bagaimana para suster PRR menerjemahkan jiwa dan semangat Mgr. Gabriel Manek, SVD dalam pelayanan orang sakit kusta di Naob. Bab lima merupakan usulan program katekese sebagai bentuk sumbangan penulis untuk semakin meningkatkan kualitas pelayanan para suster bagi orang sakit kusta di Naob.

Akhirnya bab enam merupakan bab penutup yang berisi tentang kesimpulan dan beberapa usul saran antara lain; perlunya penambahan tenaga pelayan atau perawat yang profesional dan terampil serta memiliki keahlian khusus dalam mendampingi orang sakit kusta. Selain itu perlu ada pendampingan rohani secara berkala bagi semua pelayan baik suster ataupun tenaga awam terutama mendalami spiritualitas pendiri Mgr. Gabriel Manek, SVD sehingga semakin tumbuh kesadaran akan pelayanan dengan hati tanpa semata-mata mengandalkan kemampuan intelektual.


(2)

ix ABSTRACT

This thesis entitled CONGREGATION OF PRINCESS REINHA ROSARY REALIZING THE SPIRIT OF MONSEIGNEUR GABRIEL MANEK, SVD THE FOUNDER ON THE SERVICES OF LEPROSY PATIENTS AT THE LEPROSY HOSPITAL SANTA MARIA PEMBANTU ABADI NAOB NUSA TENGGARA TIMUR. The writing of this thesis was based on the interest to the spirit of Mgr. Gabriel Manek, SVD who has dedicated his whole life to serve the minor, the poor and suffered people. The writer felt the importance of elaborating and enhancing the great love of this founder through the services of PRR Congregation especially to improve the service quality on the services of nurses at Naob, Timor Tengah Utara Nusa Tenggara Timur Leprosy Hospital. This thesis was written in the descriptive form. The data on this written thesis were based on literature study, interview and a direct observation for gaining the comprehensive data on the services of nurses at Naob-TTU leprosy hospital.

The fundamental problems exposed on this thesis namely are "how depth the spiritual life of the founder related to social life condition in his era, spirituality enhancement behind the services of PRR Catholic nuns for leprosy patients at Noab, and how the Catholic nuns can learn and enlighten the founder spirituality nowadays". The writer would devide those above problems in five chapters namely: First chapter as an Introduction for describing the title. Second chapter, the writer described about Mgr. Gabriel Manek, SVD as the founder, the most importance was his spiritual services for the poor and suffered people. In third chapter, the writer desrcibed about the servives at Naob leprosy hospital, a brief history as well as services vision and mission developed. Fourth chapter is a critical reflection on how the PRR nuns realize the soul and the spirit of Mgr. Gabriel Manek, SVD in the services of leprosy patients at Naob. Fifth chapter is a proposed program of a catechesis model of Shared Christian Paxis as the author’s contributions to further improve the services quality of nuns for the leprosy patients at Naob.

Finally in the sixth chapter, the writer concludes and propose the suggestions among of which are the urgent needs of adding servants or professional and skill as well as having special competence nurses for caring the leprosy patients. In addition, it is necessary to present the spiritual advicer periodically for all of the nurses either Catholic nuns or laypeople in particular to deepen comprehended the spirituality of Mgr. Gabriel Manek, SVD as the founder so that the concern on the spiritual services will be more developed without relying simply on the intelectual ability.


(3)

KON SPIRITU DALA Progr NGREGAS UALITAS AM PELAY KUSTA Di

ram Studi I

PR KEKHU FAKULT I PUTERI PENDIRI, YANAN OR SANTA M NUSA iajukan untu Memperol lmu Pendid ROGRAM USUSAN P JURUSA TAS KEGU UNIVERS Y REINHA R , MONSEI RANG SAK MARIA PEM A TENGGA

S K R I P

uk Memenu eh Gelar Sa dikan Kekhu Oleh Maria Sed NIM: 1111 STUDI ILM ENDIDIKA AN ILMU P URUAN DA SITAS SAN YOGYAKA 2015 ROSARI M GNEUR G KIT KUST MBANTU A ARA TIMU

P S I

uhi Salah Sa arjana Pendi ususan Pend : du Oyi 24029 MU PEND AN AGAM PENDIDIK AN ILMU NATA DHA ARTA 5 MENERJE GABRIEL M

TA DI RUM ABADI NA UR atu Syarat idikan didikan Aga IDIKAN MA KATOL KAN PENDIDIK ARMA MAHKAN MANEK, S MAH SAKI AOB ama Katolik LIK KAN N SVD IT k


(4)

(5)

(6)

iv

PERSEMBAHAN

Skripsi ini saya persembahkan kepada Kongregasi Puteri Reinha Rosari

yang telah memberikan kepercayaan kepada saya untuk menambah ilmu dan pengetahuan

di Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik

Jurusan Ilmu Pendidikan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.


(7)

v MOTTO

"Aku bersyukur kepada-Mu, Bapa, Tuhan langit dan bumi, karena semuanya itu Engkau sembunyikan

bagi orang bijak dan orang pandai, tetapi Engkau nyatakan kepada orang kecil.”


(8)

(9)

(10)

viii ABSTRAK

Skripsi ini berjudul KONGREGASI PUTERI REINHA ROSARI MANERJEMAHKAN SPIRITUALITAS PENDIRI, MONSEIGNEUR GABRIEL MANEK, SVD DALAM PELAYANAN ORANG SAKIT KUSTA DI RUMAH SAKIT KUSTA SANTA MARIA PEMBANTU ABADI NAOB NUSA TENGGARA TIMUR. Penulisan skripsi ini berawal dari ketertarikan penulis pada semangat Pendiri Mgr. Gabriel Manek, SVD yang selama hidupnya memiliki cinta yang sangat besar bagi pelayanan orang-orang kecil, miskin dan menderita. Penulis merasa amat penting untuk mendalami dan mengobarkan api cinta pendiri ini ke dalam pelayanan Kongregasi PRR terutama untuk meningkatkan kualitas pelayanan para suster di rumah sakit kusta Naob Timor Tengah Utara Nusa Tenggara Timur. Skripsi ini dibuat dalam bentuk deskripsi. Data-data dalam penulisan ini diperoleh melalui studi pustaka, wawancara dan pengamatan langsung untuk mendapatkan gambaran data tentang pelayanan para suster di rumah sakit kusta Naob.

Permasalahan pokok yang diangkat dalam skripsi ini yakni: Bagaimana kedalaman spiritualitas hidup pendiri dalam hubungan dengan situasi sosial hidup pada zamannya, spiritualitas yang berkembang di balik pelayanan para suster PRR untuk orang sakit kusta di Noab, dan bagaimana para suster bisa belajar dan menghidupi spiritualitas pendiri pada zaman ini. Penulis akan menguraikan permasalahan tersebut dalam enam bab yakni: bab pertama sebagai pendahuluan untuk menjelaskan judul. Bab kedua penulis menguraikan tentang pendiri PRR Mgr. Gabriel Manek, SVD, yang paling pokok di sini adalah spiritualitas pelayanannya bagi orang miskin dan menderita. Bab ketiga penulis menjelaskan tentang pelayanan di rumah sakit kusta Naob, sejarah singkat serta visi dan misi pelayanan yang berkembang. Bab empat sebagai refleksi kritis bagaimana para suster PRR menerjemahkan jiwa dan semangat Mgr. Gabriel Manek, SVD dalam pelayanan orang sakit kusta di Naob. Bab lima merupakan usulan program katekese sebagai bentuk sumbangan penulis untuk semakin meningkatkan kualitas pelayanan para suster bagi orang sakit kusta di Naob.

Akhirnya bab enam merupakan bab penutup yang berisi tentang kesimpulan dan beberapa usul saran antara lain; perlunya penambahan tenaga pelayan atau perawat yang profesional dan terampil serta memiliki keahlian khusus dalam mendampingi orang sakit kusta. Selain itu perlu ada pendampingan rohani secara berkala bagi semua pelayan baik suster ataupun tenaga awam terutama mendalami spiritualitas pendiri Mgr. Gabriel Manek, SVD sehingga semakin tumbuh kesadaran akan pelayanan dengan hati tanpa semata-mata mengandalkan kemampuan intelektual.


(11)

ix ABSTRACT

This thesis entitled CONGREGATION OF PRINCESS REINHA ROSARY REALIZING THE SPIRIT OF MONSEIGNEUR GABRIEL MANEK, SVD THE FOUNDER ON THE SERVICES OF LEPROSY PATIENTS AT THE LEPROSY HOSPITAL SANTA MARIA PEMBANTU ABADI NAOB NUSA TENGGARA TIMUR. The writing of this thesis was based on the interest to the spirit of Mgr. Gabriel Manek, SVD who has dedicated his whole life to serve the minor, the poor and suffered people. The writer felt the importance of elaborating and enhancing the great love of this founder through the services of PRR Congregation especially to improve the service quality on the services of nurses at Naob, Timor Tengah Utara Nusa Tenggara Timur Leprosy Hospital. This thesis was written in the descriptive form. The data on this written thesis were based on literature study, interview and a direct observation for gaining the comprehensive data on the services of nurses at Naob-TTU leprosy hospital.

The fundamental problems exposed on this thesis namely are "how depth the spiritual life of the founder related to social life condition in his era, spirituality enhancement behind the services of PRR Catholic nuns for leprosy patients at Noab, and how the Catholic nuns can learn and enlighten the founder spirituality nowadays". The writer would devide those above problems in five chapters namely: First chapter as an Introduction for describing the title. Second chapter, the writer described about Mgr. Gabriel Manek, SVD as the founder, the most importance was his spiritual services for the poor and suffered people. In third chapter, the writer desrcibed about the servives at Naob leprosy hospital, a brief history as well as services vision and mission developed. Fourth chapter is a critical reflection on how the PRR nuns realize the soul and the spirit of Mgr. Gabriel Manek, SVD in the services of leprosy patients at Naob. Fifth chapter is a proposed program of a catechesis model of Shared Christian Paxis as the author’s contributions to further improve the services quality of nuns for the leprosy patients at Naob.

Finally in the sixth chapter, the writer concludes and propose the suggestions among of which are the urgent needs of adding servants or professional and skill as well as having special competence nurses for caring the leprosy patients. In addition, it is necessary to present the spiritual advicer periodically for all of the nurses either Catholic nuns or laypeople in particular to deepen comprehended the spirituality of Mgr. Gabriel Manek, SVD as the founder so that the concern on the spiritual services will be more developed without relying simply on the intelectual ability.


(12)

x

KATA PENGANTAR

Seluruh pemikiran dalam tulisan ini merupakan upaya penulis untuk menunjukkan peran Sang Pelayan Agung Yesus Kristus yang menjiwai Mgr. Gabriel Manek, SVD pendiri Kongregasi Puteri Reinha Rosari kepada semua orang yang berkehendak menjadi pengikut dan pelayan-Nya, terutama untuk meningkatkan kualitas pelayanan seluruh anggota Kongregasi PRR dalam memberikan perhatian dan pelayanan kepada kaum miskin, menderita, dan terabaikan. Tak terbayangkan sebelumnya bahwa tulisan ini akan bermanfaat bagi semakin bertambahnya para pelayan yang mengabdikan diri secara total bagi sesama yang menderita yang melampau lintas batas waktu tanpa sekat-sekat penghambat. Oleh karena itu, tulisan ini bukan semata-mata untuk memenuhi syarat penyelesaian Studi Program Strata Satu, Universitas Sanata Dharma. Lebih dari itu, tulisan ini merupakan ungkapan syukur dan terima kasih penulis kepada Pendiri Mgr. Gabriel Manek, SVD yang telah mewariskan keteladanan hidupnya menjadi pencinta orang-orang kecil, miskin, dan menderita sehingga Kongregasi PRR melanjutkan misi itu hingga saat ini.

Puji dan Syukur kepada Tuhan, Sang Pelayan dan Gembala Agung Yesus Kristus, karena rahmat kasih-Nya sungguh dirasakan oleh penulis sehingga tulisan ini dapat diselesaikan. Syukur dan terima kasih atas perlindungan dan doa Bunda Maria. Penulis menyadari bahwa tanpa karya Roh Kudus dan berkat doa Bunda Maria segala usaha dan perjuangan menyelesaikan tulisan ini sia-sia.


(13)

xi

Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak mungkin selesai tanpa adanya dukungan, bimbingan, bantuan dan arahan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati, penulis menyampaikan rasa terima kasih yang tulus kepada:

1. Dr. J. Darminta, S.J., sebagai dosen pembimbing utama dan penguji pertama, yang telah bersedia dan dengan tulus melibatkan diri dalam seluruh pergumulan penulis selama proses penyelesaian skripsi ini.

2. Drs. M. Sumarno Ds., S.J. M.A., sebagai dosen Pembimbing Akademik dan penguji kedua, yang meskipun banyak kesibukan tetap meluangkan waktu untuk memberikan pendampingan dan koreksi positif sampai mencapai penyelesaian skripsi ini.

3. Drs. L. Bambang Hendarto Y., M.Hum., sebagai dosen penguji ketiga, yang telah turut ambil bagian dalam memberikan kritik dan usul saran demi sempurnanya skripsi ini.

4. Drs. F.X. Heryatno Wono Wulung, S.J., M.Ed., sebagai Ketua Program Studi IPPAK, yang telah rela memberi motivasi dan dukungan kepada penulis sejak awal studi di kampus ini hingga pada akhir penyelesaian skripsi ini.

5. Segenap romo, bapak dan ibu dosen yang berkenan membagikan ilmu pengetahuan, ketrampilan, dan teladan spiritualitas hidup seorang pelayan pastoral yang berguna bagi penulis selama di bangku kuliah.

6. Para staf karyawan/karyawati mulai dari satpam, cleaning servise, perpustakaan, sekretariat, sarana prasarana dan dapur prodi IPPAK, yang telah


(14)

xii

menunjukkan semangat pelayanan yang tulus dan membuat rasa nyaman selama penulis mengenyam pendidikan di tempat ini.

7. Teman-teman seangkatan 2011 dan segenap mahasiswa IPPAK, melalui perjumpaan yang hangat penuh kasih melewati berbagai dinamika perkuliahan, suka cita dan getirnya perjuangan untuk bersama-sama meraih cita-cita.

8. Suster Pemimpin Umum dan Staf Dewan Pimpinan Umum Kongregasi PRR beserta suster Pemimpin dan Staf Dewan Pimpinan Regio yang telah memberikan kepercayaan penuh kepada penulis untuk mengenyam pendidikan di Universitas Sanata Dharma.

9. Sr. M. Gabriella, PRR sebagai Koordinator Umum karya pelayanan sosial Kongregasi, atas kerelaan memberikan gambaran sejarah berdirinya Karya Pelayanan Rehabilitasi dan rumah sakit kusta Naob.

10. Sr. M. Marsella, PRR sebagai Ketua Yayasan Sosial Ibu Anfrida, SSpS yang telah bersedia membagikan pengalaman dan pengetahuan tentang situasi pelayanan di rumah sakit kusta Naob.

11. Sr. M. Krisanti, PRR sebagai penanggung jawab rumah sakit kusta Naob, yang telah membantu penulis memberikan berbagai keterangan serta membagikan pengalamannya dalam memberikan pelayanan kepada orang-orang sakit kusta di Naob.

12. Para suster, segenap karyawan-karyawati dan segenap pasien yang telah turut memberikan kesaksiannya dan pengalaman tentang pelayanan di rumah sakit kusta Naob.


(15)

(16)

xiv DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL ... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

PENGESAHAN ... iii

PERSEMBAHAN ... iv

MOTTO ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN ... vii

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xiv

DAFTAR SINGKATAN ... xviii

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Penulisan ... 1

B. Rumusan Permasalahan ... 4

C. Tujuan Penulisan ... 4

D. Manfaat Penulisan ... 4

E. Sistematika Penulisan ... 5

BAB II. SPIRITUALITAS MGR. GABRIEL MANEK, SVD ... 7

A. Pengertian Umum tentang Spiritualitas ... 7

B. Riwayat Hidup Mgr. Gabriel Manek, SVD ... 8

1. Masa Kecil Gabriel Manek ... 9

2. Pendidikan di Seminari ... 10

C. Karya Misi Mgr. Gabriel Manek, SVD ... 13

1. Misionaris Pribumi Pertama dari Serikat Sabda Allah (SVD) ... 13

2. Uskup Pribumi Kedua Indonesia ... 16

3. Bishop of The Poor ... 19


(17)

xv

D. Pendiri Kongregasi PRR ... 25

1. Situasi Awal ... 25

a. Kedatangan Misionaris Portugis ... 25

b. Misionaris Belanda ... 26

c. Pelayanan Misionaris Serikat Yesuit ... 28

d. Pelayanan Misionaris Serikat Sabda Allah ... 29

e. Lahirnya Keuskupan Larantuka ... 29

2. Keprihatinan Mgr. Gabriel Manek, SVD ... 31

3. Panggilan Religius PRR ... 33

E. Spiritualitas Mgr. Gabriel Manek, SVD ... 34

1. Pengaruh Latar Belakang Hidup Umat Setempat ... 34

2. Impian Mengenai Jemaat ... 36

a. Jemaaf yang Berpartisipatif ... 37

b. Jemaat yang Berfungsi Sosial ... 38

c. Jemaat yang Berakar dalam Kebudayaan Setempat ... 39

d. Jemaat yang Berfungsi Kritis ... 40

e. Jemaat yang Memasyarakat dengan Warna Kerajaan Allah ... 41

3. Nilai-nilai yang dihidupi oleh Mgr. Gabriel Manek, SVD ... 41

a. Iman ... 42

b. Cinta Kasih ... 43

c. Keadilan ... 45

d. Kebenaran ... 45

e. Kerendahan Hati ... 46

f. Persaudaraan ... 47

g. Penghargaan terhadap Martabat Hidup Manusia ... 49

4. Hal-hal yang Mempengaruhi Hidup Mgr. Gabriel Manek, SVD ... 49

a. Keluarga dan Lingkungan Sosial ... 50

b. Latar Belakang Iman Katolik ... 51


(18)

xvi

1. Pandangan Seorang Tokoh Umat ... 54

2. Pandangan Seorang Imam dan Sahabat ... 56

BAB III. PELAYANAN ORANG SAKIT KUSTA DI NAOB ... 59

A. Pengertian ... 59

1. Pengertian Umum tentang Pelayanan ... 59

2. Pengertian Sakit secara Umum ... 60

3. Pengertian Kusta ... 61

B. Selayang Pandang tentang Naob ... 63

1. Letak Geografis ... 63

2. Kehidupan Sosial dan Kultural Masyarakat ... 64

C. Pelayanan Orang Sakit Kusta di Naob ... 65

1. Sejarah Berdirinya Rumah Sakit Kusta Naob ... 65

a. Latar Belakang ... 65

b. Awal yang Kecil dan Sederhana ... 66

c. Masa Peralihan ... 68

d. Identitas Rumah Sakit ... 70

e. Visi dan Misi Rumah Sakit Kusta Naob ... 70

1) Visi ... 70

2) Misi ... 70

2. Personil Tenaga Pelayan dan Pasien Januari-Desember 2015 ... 71

a. Tenaga Pelayan Rumah Sakit ... 71

b. Pasien Kusta Periode 2009-2015 ... 72

3. Kesaksian Para Tokoh tentang Pelayanan Orang Sakit Kusta di Naob ... 72

a. Koordinator Umum Yayasan Sosial Kongregasi ... 72

b. Pemimpin Rumah Sakit Kusta Sta. Maria Bunda Pembantu Abadi Naob ... 76

D. Penerapan Spiritualitas dan Kharisma Pendiri dalam Karya Pelayanan Orang Sakit Kusta ... 78

1. Penghayatan Spiritualitas Pendiri ... 78


(19)

xvii

3. Ikut Serta dalam Karya Kerasulan/ Berpastoral ... 79

a. Karya Pastoral Umum ... 80

b. Karya Kesehatan ... 80

c. Karya Sosial Umum ... 81

BAB IV. MENGHIDUPI SPIRITUALITAS MGR. GABRIEL MANEK, SVD DALAM PELAYANAN ORANG SAKIT KUSTA DI NAOB ... 82

A. Naob Menerjemahkan, Menghayati Spiritualitas Pendiri PRR Mgr. Gabriel Manek, SVD ... 82

B. Naob dan Nilai-nilai ... 85

C. Naob dan Gerak Kongregasi ... 89

D. Tantangan Khas Berdasarkan Evangelii Gaudium ... 93

BAB V. USULAN PROGRAM KATEKESE UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS PELAYANAN PARA SUSTER DI RUMAH SAKIT KUSTA NAOB ... 97

A. Latar Belakang Penyususunan Program ... 97

B. Tujuan Program ... 100

C. Alasan Pemilihan Tema ... 101

D. Rumusan Tema dan Tujuan ... 103

E. Penjabaran Program ... 105

F. Petunjuk Pelaksanaan Program ... 107

G. Salah Satu Contoh Satuan Persiapan Katekese ... 108

BAB VI. PENUTUP ... 126

A. Kesimpulan ... 126

B. Usul Saran ... 130

DAFTAR PUSTAKA ... 131

LAMPIRAN ... 133

Lampiran 1: Pertanyaan Wawancara ... (1)

Lampiran 2: Hasil Wawancara ... (3)

Lampiran 3: Teks Lagu Pendri PRR, Mgr. Gabriel Manek, SVD ... (14)

Lampiran 4: Teks Konstitusi Artikel 103 dan 112 ... (15)

Lampiran 5: Teks Lagu Melayani Tuhan ... (16) Lampiran 6: Video tentang Pendiri PRR, Mgr. Gabriel Manek, SVD (18)


(20)

xviii

DAFTAR SINGKATAN

A. Singkatan Kitab Suci

Seluruh singkatan Kitab Suci dalam skripsi ini mengikuti Kitab Suci Perjanjian Baru: dengan pengantar dan catatan singkat. (Dipersembahkan kepada Umat Katolik Indonesia oleh Ditjen Bimas Katolik Departemen Agama Republik Indonesia dalam rangka PELITA IV). Ende: Arnoldus, 1984, hal. 8.

B. Singkatan Dokumen Resmi Gereja

EG : Evangelii Gaudium, Seruan Apostolik Paus Fransiskus, 24 November 2013.

EN : Evangelii Nuntiandi, Anjuran Apostolik Paus Paulus VI tentang Pewartaan Injil dalam dunia modern, 8 Desember 1975.

GS : Gaudium et Spes, Konstitusi Pastoral Konsili Vatikan II tentang Gereja dalam dunia modern, 7 Desember 1965.

KHK : Kitab Hukum Kanonik(Codex luris Canonici), diundangkan oleh Paus Yohanes II tanggal 25 Januari 1983.

LG : Lumen Gentium, Konstitusi Dogmatis Konsili Vatikan II tentang Gereja, 21 November 1964.

OA : Octogesima Adveniens, Surat Apostolik Paus Paulus IV (Rerum Novarum).


(21)

xix C. Singkatan Lainnya

AKFIS : Akademik Fisioterapi. APP : Aksi Pembangunan Puasa. ASG : Ajaran Sosial Gereja. ASKES : Asuransi Kesehatan.

BPJS : Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. BTA : Bulgarska Telegrafischeka Agentzia. CICM : Congregatio Immaculata Cordis Mariae. CIJ : Congregatio Imitationis Jesu.

CMM : Congregatio Matris Misericordiae. CU : Credit Union.

DC : District of Columbia. Dinkes : Dinas Kesehatan.

Fr : Frater.

Hal : Halaman.

HUT : Hari Ulang Tahun. Konst : Konstitusi.

KWI : Konferensi Waligereja Indonesia. Menkes : Menteri Kesehatan.

Mgr : Monseigneur. NaCL : Natrium Chlorida. NIT : Negara Indonesia Timur. NTT : Nusa Tenggara Timur.


(22)

xx

P : Pater.

P2MPLP : Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman.

Pr : Projo.

PRR : Puteri Reinha Rosari.

RS : Rumah Sakit.

SCP : Shared Christian Praxis.

SD : Sekolah Dasar.

SJ : Societatis Jesu.

SMAK : Sekolah Menengah Atas Kejuruan. SR : Sekolah Rakyat.

Sr. M : Suster Maria.

SSpS : Servae Spiritu Sancti. St/Sta : Santo/Santa.

SVD : Societas Verbi Divini (Serikat Sabda Allah). TTS : Timor Tengah Selatan.

TTU : Timor Tengah Utara. UGD : Unit Gawat Darurat. USA : United State of America.

VOC : Vereenigde Oost-Indische Compagnie. WHO : World Health Organization.

Yanmed : Pelayanan Medik. YM : Yang Mulia.


(23)

BAB I

PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang Penulisan

Gnothi seauton

(

γν

εαυ όν)

!

Kenalilah diri anda sendiri. Ungkapan

atau nasehat Socrates ini menyadarkan kita bahwa pengenalan diri adalah elemen

vital manusia. Adanya kesadaran diri mendorong setiap orang untuk mampu

mengetahui eksistensinya sebagai makhluk hidup. Salah satu hal yang

fundamental dari manusia yakni memiliki potensi untuk berinteraksi dengan

sesamanya.

Kongregasi PRR adalah kongregasi pribumi yang berada dalam situasi dan

lingkup hidup tertentu serta berusaha mewujudkan karakter hidupnya. Dari mana

karakter hidup itu diperoleh? Hal ini merupakan pertanyaan yang mengundang

kongregasi itu sendiri untuk bertanya dan menggali sejarah dan tujuan dia

didirikan. Kongregasi ini terus menggali nilai-nilai awal hidupnya dan berusaha

untuk menghidupkan nilai-nilai itu dalam karyanya. Di sini sebetulnya kongregasi

sedang menjalankan apa yang diungkapkan pada awal tulisan ini untuk mengenal

diri sebagai tindakan yang wajib bagi seseorang atau sebuah serikat yang ingin

hidupnya lebih bernilai dan berkualitas. Hidup yang bernilai atau lebih berkualitas

yakni hidup yang mencerminkan semangat Kristus yang berpihak pada kaum

lemah, miskin dan menderita.

Mgr. Gabriel Manek, SVD menyadari bahwa potensi dan eksistensi

dirinya adalah anugerah Tuhan yang harus dikembangkan bukan untuk diri sendiri

melainkan untuk sesama yang membutuhkan. Ia sadar bahwa pengalaman


(24)

rohaninya akan Allah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari seluruh

karyanya. Ia menerapkan kehidupan rohaninya yang mendalam dengan bertekun

dalam pekerjaannya, menaruh kepedulian kepada kaum miskin, lemah, tertindas

dan tersisihkan. Ia juga rela menderita bersama mereka sebagai orang yang

tersingkirkan, tidak dicintai dan tidak dipedulikan oleh sesamanya. Akhirnya ia

digelar

The Bishop of The Poor

karena cintanya yang khas bagi orang miskin dan

orang sakit kusta. Penghayatan iman menjadi real dan berkembang, jika dihayati

dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam realitas kerja dan relasi dengan

sesama yang miskin dan menderita. “Sebab seperti tubuh tanpa roh adalah mati,

demikian jugalah iman tanpa perbuatan ada

lah mati” (Yak 2:26)

. Semangat

pelayanan yang dimiliki Mgr. Gabriel Manek, SVD tercermin dalam semangat

pelayanan Kongregasi PRR. Tujuan didirikannya Kongregasi PRR selain sebagai

tanda syukur atas iman umat tetapi juga untuk misi pelayanan bagi orang miskin,

lemah, menderita dan tersingkirkan dari tengah masyarakat.

Karya dan perjalanan hidup Mgr. Gabriel Manek, SVD menjadi sebuah

contoh bagi Kongregasi PRR dalam usaha meningkatkan mutu pelayanannya.

Nilai-nilai kemanusiaan yang diperjuangkan oleh Mgr. Gabriel Manek, SVD

dapat dianalogikan dengan mutiara berharga yang tidak begitu saja dilupakan.

Sebagai seorang uskup, ia tidak pernah terlepas dari segala hal yang berkaitan erat

dengan hidup dan karyanya. Beliau mendasarkan seluruh cita-citanya dalam

ajaran Yesus Kristus dalam Kitab Suci, serta tanggap terhadap filsafat hidup sosial

Gereja melalui Ajaran Sosial Gereja (ASG) yang berkembang.

Situasi hidup

Gereja dan hidup sosial merupakan suatu keadaan yang saling terkait, yang

menginspirasi pendiri dalam memulai dan mengembangkan karyanya.


(25)

Kongregasi PRR sebagai bagian dari Gereja universal, dikehendaki oleh

pendiri untuk ikut memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan. Nilai-nilai itu antara

lain adalah nilai iman, cinta kasih, kerendahan hati, keadilan, kebenaran,

persaudaraan dan penghargaan terhadap harkat dan martabat manusia. Sejak awal

Gereja sudah menekankan pentingnya perintah cinta kasih yang dihidupi dan

diajarkan oleh Yesus (Yoh 13:34-35). Perintah cinta kasih ini bersifat universal,

merangkul semua manusia tanpa perbedaan latar belakang, etnis, bahasa, dan

pandangan hidup.

Dengan demikian Naob menjadi salah satu tempat perwujudan karya

pelayanan Kongregasi PRR terhadap orang kecil, miskin, dan tersisihkan dari

tengah masyarakat. Naob adalah nama tempat di Kabupaten Timur Tengah Utara

(TTU), yang berada di ibu kota Kabupaten Kefamenanu, berdekatan dengan

Negara Timor Leste. Naob dikenal karena terdapat rumah sakit tempat perawatan

penderita kusta milik Kongregasi Puteri Reinha Rosari (PRR). Disinilah banyak

penderita kusta merasa hidupnya menjadi lebih berarti dan bernilai lagi karena

merasa diterima dan memperoleh pelayanan yang pantas.

Berdasarkan penjelasan di atas, penulis merasa tertarik untuk menggali

nilai-nilai kemanusiaan dan spiritualitas yang menjiwai Mgr. Gabriel Manek,

SVD. Oleh karena itu saya memilih judul ini:

KONGREGASI PUTERI

REINHA ROSARI MENERJEMAHKAN SPIRITUALITAS PENDIRI,

MONSEIGNEUR GABRIEL MANEK, SVD DALAM PELAYANAN

ORANG SAKIT KUSTA DI RUMAH SAKIT KUSTA SANTA MARIA

PEMBANTU ABADI NAOB NUSA TENGGARA TIMUR.


(26)

B.

Rumusan Permasalahan

Ada banyak karya pelayanan dalam banyak organisasi kemasyarakatan

dan juga dalam tubuh Gereja. Semua karya pelayanan kepada orang-orang

terpinggirkan sebetulnya didorong oleh panggilan kemanusiaan umum juga oleh

spiritualitas tertentu yang melatarinya. Berdasarkan latar belakang di atas, penulis

berusaha untuk melihat hal-hal berikut:

1.

Bagaimana kedalaman spiritualitas hidup pendiri dalam hubungan dengan

situasi sosial hidup pada zamannya?

2.

Apa spiritualitas yang berkembang di balik pelayanan para suster PRR untuk

orang sakit kusta di Noab?

3.

Bagaimana para suster bisa belajar dan menghidupi spiritualitas pendiri pada

zaman ini?

C.

Tujuan Penulisan

1.

Menggali spiritualitas dan nilai-nilai yang menjiwai Mgr. Gabriel Manek,

SVD demi meningkatkan semangat pelayanan Kongregasi PRR bagi para

penderita kusta di Naob-TTU.

2.

Menggali spiritualitas yang berkembang dalam pelayanan para suster bagi

orang sakit kusta di Naob.

3.

Menerjemahkan semangat Mgr. Gabriel Manek, SVD dalam pelayanan

Kongregasi PRR terutama dalam pelayanan orang sakit kusta di Naob-TTU.

D.

Manfaat Penulisan

1.

Bagi suster-suster PRR semakin terinspirasi oleh semangat pelayanan Mgr.

Gabriel Manek, SVD untuk memaksimalkan pelayanan bagi orang sakit kusta

di Naob.


(27)

2.

Bagi masyarakat atau semua orang yang akan membaca tulisan ini,

membangkitkan semangat solidaritas untuk memperhatikan kehidupan orang

kecil dan terpinggirkan.

3.

Bagi pengembangan karya Kongregasi PRR dan mungkin juga bagi serikat

dan organisasi lain yang bekerja dalam bidang itu, memberi sumbangan

pemikiran untuk semakin meningkatkan semangat pelayanan kemanusiaan.

E.

Sistematika Penulisan

Skripsi dengan judul:

KONGREGASI PUTERI REINHA ROSARI

MENERJEMAHKAN

SPIRITUALITAS

PENDIRI,

MONSEIGNEUR

GABRIEL MANEK, SVD DALAM PELAYANAN ORANG SAKIT KUSTA

DI RUMAH SAKIT KUSTA SANTA MARIA PEMBANTU ABADI NAOB

NUSA TENGGARA TIMUR,

akan ditulis dalam enam bab dengan uraian

sebagai berikut:

Bab I merupakan pendahuluan yang menyampaikan latar belakang,

rumusan masalah, tujuan penuliasan, manfaat penulisan dan sistematika penulisan.

Bab tersebut merupakan gambaran awal dari judul yang diajukan oleh penulis

dalam tulisan ini.

Bab II adalah kajian tentang kekhasan hidup pendiri, Mgr. Gabriel Manek,

SVD. Penulis akan membahas tentang pengertian umum spirituaitas, riwayat

hidup Mgr. Gabriel Manek, SVD, karya misi Mgr. Gabriel Manek, Pendiri

Kongregasi PRR, spiritualitas Mgr. Gabriel Manek, SVD dan nilai-nilai

kemanusiaan yang diperjuangkan Mgr. Gabriel Manek, SVD, serta kesaksian

orang tentang hidup Mgr. Gabriel Manek, SVD.


(28)

Pada Bab III penulis akan membahas pengertian umum tentang pelayanan,

pengertian sakit dan kusta, sejarah pelayanan orang sakit kusta di Naob, visi dan

misi pelayanan orang sakit kusta di Naob, dan kehidupan masyarakat Naob yang

meliputi letak geografis, kehidupan sosial masyarakat dan kesaksian para tokoh

tentang pelayanan orang sakit kusta di Naob. Pada bab ini juga akan diceritakan

penerapan visi dan misi pendiri dalam berbagai bidang karya di Naob.

Dalam bab IV ini penulis akan menulis tentang Naob menerjemahkan

spiritualitas pendiri PRR, Naob dan penghayatan nilai-nilai, Naob dan gerak

kongregasi serta tantangan-tantangan khas berdasarkan

Evangelii Gaudium

. Dan

bab V sebagai usulan program katekese yang bertujuan untuk meningkatkan

kualitas semangat pelayanan para suster bagi orang sakit kusta di Naob.

Bab VI merupakan bab penutup. Dalam bab ini penulis akan

menyampaikan kesimpulan atas keseluruhan penulisan. Penulis akan menyertakan

pula beberapa usul saran untuk para suster di rumah sakit kusta Naob khususnya

dan Kongregasi PRR secara keseluruhan demi peningkatan kualitas pelayanan

bagi orang miskin, menderita dan tersingkir.


(29)

BAB II

SPIRITUALITAS MGR. GABRIEL MANEK, SVD

A. Pengertian Umum tentang Spiritualitas

Kata spiritualitas berasal dari kata latin spiritus yang berarti roh, jiwa atau semangat. Dalam bahasa Perancis istilah spiritualitas ini disebut l’esprit atau la spiritualite, kata benda. Orang-orang berbahasa Inggris menyebut spiritualitas dengan kata spirituality, yang artinya sama dengan bahasa Latin dan bahasa Perancis. Kata spirituality, dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan kata spiritualitas (Hardjana, 2005: 64).

Dalam buku Religiositas, Agama dan Spiritualitas (Hardjana, 2005: 64), mengatakan: spiritualitas adalah hidup berdasarkan atau menurut roh. Ada tentunya macam-macam roh, entah roh yang baik dan roh yang jahat. Namun dalam studi ini, istilah roh selalu dikaitkan dengan roh yang baik, secara khusus yang berhubungan dengan yang transenden yakni Roh Allah dalam paham Kristen. Spiritualitas adalah hidup yang didasarkan pada pengaruh dan bimbingan Roh Allah. Dengan spiritualitas, manusia bermaksud membuat diri dan hidupnya terarah dan dibentuk sesuai dengan semangat dan cita-cita Allah.

Dalam buku Spiritualitas Transformatif: Suatu Pergumulan Ekumenis (Banawiratma, 1990: 57-58), menegaskan akar kata spiritualitas sebagaimana sudah disebutkan sebelumnya. Spiritualitas menurutnya, berasal dari bahasa latin yaitu: “spiritus” yang berarti roh atau daya kekuatan yang menghidupkan atau menggerakkan seseorang. Unsur baru yang muncul adalah spiritualitas diartikan sebagai kekuatan atau roh yang memberi daya tahan kepada seseorang atau


(30)

   

sekelompok orang untuk mempertahankan, memperkembangkan dan mewujudkan kehidupannya. Spiritualitas berarti: cara orang menyadari dan menghayati hidup rohaninya. Dalam konteks ini spiritualitas tidak lain adalah kekuatan yang mendorong dan mengarahkan suara batin seseorang atau sekelompok orang dan hal ini akan berpengaruh serta menentukan keberadaan hidupnya.

Berdasarkan pandangan Hardjana (2005: 64) dan Banawiratma (1990: 57-58), yang memandang spiritualitas sebagai hal yang amat penting dalam hidup manusia, kita sebetulnya diarahkan kepada pemahaman bahwa semua daya kekuatan yang ada dalam diri manusia sesungguhnya berasal dari Allah, yang menghidupkan. Daya Ilahi itu menggerakkan seseorang untuk mempertahankan, memperkembangkan, dan mewujudkan kehidupannya. Spiritualitas adalah dasar hidup yang mendapat pengaruh dan bimbingan dari Roh Allah sendiri. Spiritualitas mendorong seseorang atau sekelompok orang untuk hidup menurut kehendak Roh Allah yang membantu mereka untuk meningkatkan mutu dan kualitas hidupnya dalam cara, sikap hidup dan prinsip hidup.

B. Riwayat Hidup Mgr. Gabriel Manek, SVD

Mgr. Gabriel Manek, SVD adalah putera bungsu dari empat bersaudara. Ayah dan ibunya bernama Lay Piang Siu dan Liu Keu Moy. Ia dilahirkan di sebuah dusun kecil bernama Ailomea-Lahurus pada 18 Agustus 1913. Hanya dalam tempo satu hari tepatnya pada 19 Agustus 1913, ia dibaptis dengan nama: Gabriel Yohanes Wilhelmus Manek (Lay Tjhong Sie). Imam yang membaptisnya waktu itu adalah P. Arnoldus Verstraelen, SVD dan bapak saksi permandian bernama Yohanes Leki. Dalam usia yang masih sangat kecil ibunya meninggal


(31)

   

karena sakit kanker, ketika itu ayahnya berada di Tiongkok. Gabriel Manek kecil bersama ketiga saudaranya tinggal sendirian. Gabriel Manek kecil ini kemudian diambil sebagai anak angkat oleh mama kecilnya Maria Belak, istri dari Raja Don Kaitanus da Costa, raja kerajaan Taifeto, Belu Utara (Beding, 2000: 7).

Orang tua angkat ini mendidik Manek dengan baik hingga dewasa. Lingkungan hidupnya berada di antara kalangan keluarga raja di zaman itu. Ayah angkatnya adalah putera raja Oekusi yang waktu itu merupakan bekas jajahan Portugal. Wilayah jajahan ini dipengaruhi juga dari sisi agama penjajah waktu itu yakni agama Katolik. Karena itu Raja Don Kaitanus menjadi juga pewaris tradisi Katolik. Ia seorang raja yang mencintai kerja keras dan disiplin. Dua hal ini yang menjadi ciri pendidikan bagi keluarga dan masyarakatnya. Dalam praktik imannya ia sungguh percaya kepada Yesus Kristus. Ia juga berdevosi kepada Bunda Maria sebagai Bunda Gereja. Semua hal yang dipandangnya baik, ia ajarkan kepada keluarganya termasuk kepada anak angkatnya Manek kecil.

1. Masa Kecil Gabriel Manek

Manek dikenal sebagai anak penurut. Hal ini tentu sesuai dengan arti kata ‘manek’ dalam bahasa lokal. Kata ‘manek’ artinya terlalu penurut dan begitulah saudara-saudara Manek mengenalnya dalam kalangan keluarga raja. Dia hidup bersama tiga saudara; dua perempuan dan satu laki-laki. Manek termasuk anak paling muda. Dia sangat dekat dengan ibunya dan rajin membantu sang ibu dalam berbagai pekerjaan rumah tangga. Ia memperbaiki pancuran air, memetik buah kelapa dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga lainnya. Meskipun sebagai putera raja, Manek tidak memperlihatkan atau menempatkan dirinya sebagai anak


(32)

   

manja yang suka dilayani oleh para pelayan. Ia selalu memperlihatkan sikap hidup polos dan sederhana. Masa kecil Manek tidak dilewati di wilayah istana saja, tetapi ia sering bertemu dan bermain bersama anak-anak kampung yang sederhana hidupnya di sekitar istana raja (Beding, 2000: 12).

Terkait pendidikan formal, Manek disekolahkan di SR (Sekolah Rakyat) bersama kakaknya Dona Wilhelmina da Costa di desa Halelulik tahun 1920. Semasa sekolah mereka tinggal di asrama yang dikelola oleh Misi Katolik. Gabriel Manek dikenal sebagai murid cerdas, karena itu suatu waktu yakni tahun 1920 ia lompat kelas dari kelas satu ke kelas tiga. Enam tahun kemudian Gabriel Manek melanjutkan pendidikannya ke Schakelschool, tahun 1926. Schakelschool adalah sekolah yang disediakan pemerintahan Kolonial Belanda sebagai lanjutan dari SR. Sekolah ini hanya untuk anak-anak dari kalangan atas yang akan melanjutkan pendidikannya ke sekolah milik Belanda (Beding, 2000: 12).

2. Pendidikan di Seminari

Seminari yang ada pada masa itu hanya satu. Itupun letaknya jauh yakni di Flores tepatnya di Wilayah Selatan Kabupaten Sikka-Maumere saat ini, di sebuah kampung yang kemudian menjadi nama Kabupaten yakni Sikka. Seminari itu baru dibuka dan Gabriel Manek termasuk salah satu di antara murid-murid angkatan awal seminari pada tahun 1927-1929. Di seminari ini Gabriel Manek mulai belajar bahasa Latin dan bahasa Belanda, juga tentunya memperdalam pelajaran Agama Katolik yang dianutnya.

Situasi pendidikan waktu itu, meski wilayahnya masih dalam Koloni Belanda tetapi bahasa pengantar dalam pelajaran masih menggunakan bahasa Melayu.


(33)

   

Pimpinan seminari waktu itu adalah P. Cornelissen, SVD. Bahasa melayu adalah bahasa yang umum dipakai untuk semua sekolah sedangkan bahasa Belanda dipakai di kalangan pegawai tinggi sekaligus menjadi bahasa dalam perundang-undangan, surat kabar, majalah dan buku-buku ilmu pengetahuan. Bahasa Belanda sangat perlu karena saat itu dijadikan sebagai bahasa pengantar untuk mempelajari bahasa klasik seperti bahasa Latin. Para seminaris diwajibkan mempelajari bahasa Belanda agar selanjutnya bisa belajar bahasa Latin. Gabriel Manek tekun mempelajari bahasa Belanda sehingga pada akhirnya ia menguasai dan sangat fasih berbahasa Belanda (Beding, 2000: 16).

Tahun yang ketiga yakni tahun 1929, Manek melanjutkan pendidikan ke Seminari Mataloko. Waktu itu terjadi satu perubahan dalam sistem pendidikan yakni semua sekolah membuka tahun ajaran tidak lagi pada bulan Januari melainkan pada bulan Agustus. Hal ini membawa konsekuensi bahwa tahun pelajaran waktu itu yakni tahun 1928-1929, harus diperpanjang setengah tahun untuk semua kelas. Satu hal yang menjadi kekhususan saat itu yakni aturan ini tidak berlaku untuk seminaris Gabriel Manek. Ia diberi kesempatan setengah tahun untuk mengenyam pendidikan di kelas III dan pada tahun ajaran baru ia lompat kelas IV karena dianggap sangat cerdas melampaui kecerdasan kakak-kakak tingkatnya. Akhirnya ia bergabung dengan angkatan pertama di kelas IV. Seiring berjalannya waktu, banyak angkatan pertama yang meninggalkan seminari karena macam-macam alasan hingga menyisakan dua seminaris yang bertahan yakni Gabriel Manek dan Karolus Kale Bale (Beding, 2000:18).

Pada tahun ajaran baru, bulan Agustus tahun 1929, jumlah siswa seminari bertambah menjadi 30 orang. Gabriel Manek mempunyai banyak teman karena terkenal sebagai seminaris yang ceria. Ia suka membuat cerita humor dengan


(34)

   

menggunakan bahasa asal teman-temannya. Bakatnya untuk mempelajari banyak bahasa sangat menonjol. Sebagai siswa yang berbakat dan pandai dalam berbahasa Belanda, ketika upacara pembukaan seminari di Todabelu, Manek diberi kepercayaan untuk memberikan kata sambutan dalam bahasa Belanda. Gabriel Manek mendapatkan pujian yang luar biasa dari Assistant-Resident Belanda. Selain menguasai banyak bahasa, Manek diakui sebagai seminaris yang baik, disiplin, rajin dan tekun dalam berdoa. Ia juga menguasai beberapa alat musik seperti harmonika, seruling dan biola (Beding, 2000: 19).

Setelah mengenyam pendidikan selama 6 tahun, di Seminari Mataloko, tiba saatnya Gabriel Manek mengutarakan niatnya untuk menjadi calon imam SVD. Sebab itu dia dianjurkan untuk membuat permohonan untuk masuk di Novisiat SVD di Todabelu. Pada 16 Oktober 1934 Gabriel Manek resmi diterima sebagai Novis SVD. Novisiat adalah masa untuk pembaharuan diri supaya mulai berusaha bertumbuh menjadi seorang religius atau rohaniwan. Niatnya menjadi imam Tuhan sangat kuat, hal itu terlihat dari semangat dan keseriusannya menjalani masa pembinaan di Novisiat. Menurut ketentuan Serikat Sabda Allah, sesudah berakhir masa dua tahun Novisiat, setiap frater mengajukan permohonan untuk mengikrarkan kaul-kaul pertama. Maka atas permohonannya, Frater Gabriel Manek diterima untuk mengikrarkan kaul pertama pada 17 Januari 1936. Untuk pertama kali, terdengar di wilayah ini bahwa calon imam mengikrarkan Tri Kaulnya yakni kaul kemurnian, kemiskinan dan ketaatan sesuai dengan peraturan konstitusi Serikat Sabda Allah. Kaul-kaul ini akan selalu diperbaharui setiap tahun hingga 6 kali sebelum mengikrarkan kaul kekal (Beding, 2000: 23).

Pada 15 Agustus 1940 Frater Gabriel Manek akhirnya dinilai layak dan berhasil sehingga dapat mengikrarkan kaul kekal. Dengan demikian dia resmi


(35)

   

menjadi anggota penuh Serikat Sabda Allah. Frater Manek kemudian diterima untuk ditabiskan menjadi imam Tuhan bersama Frater Karolus Kale Bale pada 28 Januari 1941 oleh Mgr. Leven, SVD di Nita-Maumere. Peristiwa ini merupakan peristiwa yang amat besar dan mengagumkan di wilayah ini karena imam-imam pertama dari kalangan pribumi ditahbiskan. Hal ini juga menjadi kesempatan syukur di wilayah-wilayah tempat mereka berasal sebab setelah ditahbiskan mereka diijinkan untuk kembali ke tempat asal masing-masing dan mengadakan perayaan syukur bersama keluarga dan umat (Beding, 2000: 24).

Pada 25 April 1951, Mgr. Gabriel Manek, SVD ditahbiskan menjadi Uskup Tituler Alinda dan Vikaris Apostolik Larantuka melalui tangan Mgr. Hendrikus Leven, SVD. Dalam perjalanan waktu Mgr.Gabriel Manek, SVD melihat dan membaca kebutuhan yang paling mendesak akan pendalaman iman umat, serta peningkatan hidup sebagai umat beriman, namun ketiadaan tenaga pelayan. Mgr. Gabriel Manek, SVD kemudian mendirikan Kongregasi Puteri Reinha Rosari pada 15 Agustus 1958 sebagai tanda syukur kepada Tuhan atas anugerah iman dan keselamatan bagi umat atau Gereja di Nusantara. Pelindung utama tarekat ini adalah Maria Ratu Rosari. Nama ini merupakan warisan penghormatan kepada Bunda Maria sejak berabad-abad lamanya dalam umat. Maria dalam sejarah hidup iman umat telah menjadi pelindung dan penyerta umat setempat (Beding, 2000: 65).

C. Karya Misi Mgr. Gabriel Manek, SVD

1. Misionaris Pribumi Pertama dari Serikat Sabda Allah (SVD)

Pada 28 Januari 1941 setelah urapan imamat, P. Gabriel Manek diutus untuk menjadi pastor pembantu di Nita-Maumere. Dia bekerja di wilayah ini dari


(36)

   

tahun perutusannya hingga tahun 1942. Kesempatan ini digunakannya untuk memberikan perhatian kepada usaha pengkaderan tenaga pewarta iman Katolik (katekis). Ia sendiri mengisi hari-hari tugasnya dengan mengunjungi umatnya. Ia menunjukkan perhatiannya yang istimewa kepada orang-orang kecil, miskin, sakit dan menderita (Beding, 2000: 29).

Dari wilayah pastoral yang kecil, pada tahun 1942-1946, P. Gabriel Manek, SVD ditetapkan oleh Mgr. Leven, SVD untuk melayani umat di seluruh Flores Timur, Alor dan Pantar. Dalam karya pelayanan di sebuah wilayah yang luas ini, P. Gabriel Manek berusaha memaksimalkan pelayanannya dengan pertama-tama mengunjungi stasi-stasi pedalaman. Dia dengan sangat tekun dan setia mengunjungi umat. Dia lebih banyak berjalan kaki ketimbang menunggang kuda yang menjadi kendaraan elite waktu itu. Sering juga ia berlayar dengan perahu atau dalam bahasa lokal “paledang” untuk menyeberangi pulau-pulau. Beliau berani menyeberangi sebuah tempat yang terkenal seram dan menakutkan, yakni Tanjung Naga. Dalam situasi-situasi sulit seperti ini dia semata-mata mengandalkan kekuatan Tuhan dan doa Bunda Maria serta percaya pada keberanian pendayung. Sepanjang karirnya dia terkenal mampu melakukan tugas pelayanannya dengan penuh cinta di seluruh pelosok Flores, Alor dan Pantar. P. Gabriel Manek, SVD tidak takut bahaya karena Ia percaya bahwa Tuhanlah yang mengutusnya ke tempat-tempat terpencil dan Dialah yang akan melindunginya (Beding, 2000: 33).

Daerah Tanjung Naga merupakan tempat tinggal para penderita kusta. Mereka dibuang dari tengah keluarga dan masyarakat. Mereka dikucilkan dan harus berjuang untuk mencari nafkah dan menghidupi dirinya sendiri. P. Gabriel


(37)

   

Manek adalah orang pertama yang berani mengunjungi dan mendekati mereka. Beliau mendekati dan menyapa mereka dengan caranya yang khas tanpa merasa jijik atau takut terkena kusta. Ia memberikan peneguhan dan menghibur mereka. Humor-humornya yang khas membuat penderita kusta ini tertawa gembira. Kehadirannya dikenang, dikagumi dan selalu didambakan karena memberi kesan tersendiri bagi para penderita kusta. Dalam kunjungannya ke paroki-paroki yang searah dengan Tanjung Naga, P. Gabriel Manek selalu menyempatkan diri untuk mengunjungi para penderita lepra. Perjumpaan dengan penderita kusta inilah yang mengispirasi beliau untuk mendirikan tempat yang layak bagi mereka. Cita-citanya ini baru terwujud ketika ia menjadi uskup, beliau mendirikan rumah sakit lepra di Lewoleba-Lembata (Beding, 2000: 33).

Pada 17 Agustus 1945 merupakan momen khusus berkaitan dengan sejarah kemerdekaan bangsa Indonesia, sekaligus membuka sebuah babak baru perjalanan misi di wilayah Flores dan Timor. Meski perang sudah berakhir namun puing-puing kepedihan masih terlihat jelas. Perang meninggalkan luka yang mendalam bagi Gereja di Pulau Flores dan Timor khususnya. Pintu-pintu penjara bagi misionaris baru terbuka. Para misionaris yang sebelumnya ditahan dilepaskan sehingga mereka dapat kembali memekarkan pelayanan ke pulau-pulau Nusa Tenggara. Oleh karenanya pada tahun 1946, P. Gabriel Manek dipindahtugaskan ke tempat asalnya di Timor. Dalam situasi Gereja yang masih terporak-poranda, P. Gabriel Manek memulai lagi tugasnya yang baru dengan menata kembali kehancuran yang ada. Dalam perjalanan tugasnya yang cukup berat, beliau diminta untuk terlibat dalam urusan politik. Maka atas izin uskup setempat beliau bersedia dipilih menjadi anggota parlemen Negara Indonesia Timur (NIT) yang


(38)

   

berpusat di Makasar. Dengan tugas baru ini, P. Gabriel Manek tidak jarang harus meninggalkan umatnya untuk mengikuti sidang-sidang parlemen dan berbicara atas nama rakyat yang memilihnya. Hal pertama yang diperjuangkannya adalah nasib daerah-daerah terpencil di NTT yang kurang terjangkau perhatian dan pelayanan Negara. Seperti biasa setiap anggota parlemen selalu menjadi sorotan kritik, akan tetapi P. Gabriel Manek tetap menunjukkan sikap tegar dan memperlihatkan komitmennya untuk tidak menjadi penjilat siapapun tetapi selalu berbicara untuk kepentingan rakyat yang mengutusnya (Beding, 2000: 35).

Terkait soal pengembangan pastoral di wilayah misi ini, P. Gabriel Manek adalah sosok yang peka terhadap kebutuhan tenaga-tenaga baru dan pendidikan calon imam. Tahun 1950 P. Gabriel Manek memperoleh kepercayaan besar dari Mgr. Yakobus Pesser, SVD Vikaris Apostolis Atambua untuk membuka Seminari Menengah di Lalian. P. Gabriel Manek diangkat menjadi direktur seminari sedangkan P.H. Janssen sebagai Prefek. Dengan demikian tempat pendidikan calon imam dapat lebih dekat bagi calon-calon baru dari Timor. Sayang sekali P. Gabriel Manek menerima tugas sebagai direktur seminari tidak berlangsung lama, karena selang beberapa bulan kemudian Beliau terpilih sebagai Vikaris Apostolis Larantuka-Flores Timur (Beding, 2000: 36).

2. Uskup Pribumi Kedua Indonesia

Pada tahun 1950, Mgr. Hendrikus Leven, SVD pergi ke Roma dalam rangka cuti dan berobat ke Eropa. Dalam kesempatan audiensi dengan Sri Paus Pius XII, beliau menyampaikan permohonan untuk meletakkan jabatan sebagai uskup. Alasan yang diberikan terkait dengan gangguan kesehatan dan usia yang


(39)

   

sudah tidak mendukung untuk tugas penggembalaan umat yang waktu itu berjumlah 265.000 jiwa di seluruh wilayah Kepulauan Sunda Kecil. Mgr. Hendrikus Leven, pada saat itu sudah berusia 67 tahun dan sering sakit-sakitan. Permohonan Beliau diterima baik oleh Sri Paus Pius XII sekaligus memberinya mandat sebagai Administrator Apostolik untuk mentahbiskan tiga uskup baru sebagai pengganti-penggantinya. Itulah satu tanda penghargaan istimewa bagi Mgr. Hendrikus Leven dalam karyanya sebagai seorang uskup misionaris di Indonesia. Tiga uskup baru yang terpilih oleh kuasa Tahta Suci Sri Paus Pius XII adalah Mgr. Antonius Thijssen, SVD untuk wilayah Keuskupan Agung Ende, Mgr. Wilhelmus van Bekkum, SVD untuk wilayah Keuskupan Ruteng dan Mgr. Gabriel Manek, SVD untuk wilayah Keuskupan Larantuka di bagian Flores Timur. Hal ini merupakan sebuah berita gembira bagi seluruh umat di seluruh wilayah Kepulauan Sunda Kecil (Beding, 2000: 37).

Seluruh umat Flores Timur dengan penuh rasa syukur mempersiapkan segala sesuatu untuk menyambut peristiwa ini. Pada 25 April 1951, Mgr. Gabriel Manek, SVD ditahbiskan menjadi Uskup Tituler Alinda dan Vikaris Apostolik Larantuka melalui tangan Mgr. Hendrikus Leven, SVD. Para uskup pendamping waktu itu adalah Vikaris Apostolis Semarang: Mgr. Albertus Soegijapranata, SJ, Vikaris Apostolis Makasar: Mgr. Nicolaus Schneiders, CICM, dan Vikaris Apostolis Atambua: Mgr. Yakobus Pesser, SVD. Dalam catatan sejarah perkembangan Gereja Indonesia diceriterakan bahwa Mgr. Gabriel Manek, SVD adalah uskup kedua Indonesia sesudah Mgr. Albertus Soegijapranata, SJ (Beding, 2000: 38).


(40)

   

Menghadapi tahbisan uskup, Mgr. Gabriel Manek, SVD memilih motto tahbisan: ”Maria Protegente” yang artinya ‘di bawah perlindungan Bunda Maria’. Motto yang sangat sederhana ini mengandung makna yang sangat dalam. Mgr. Gabriel Manek, SVD mempunyai devosi khusus terhadap Bunda Maria sebagai ibu Gerejanya (Konst., no. 109). Ia menyadari peran Bunda Maria dalam karya agung Kristus untuk menyelamatkan umat manusia. Sebab itu ia sangat yakin bahwa karya misinya tidak pernah terlepas dari doa Bunda Maria. Melalui Bunda Maria ada jalan untuk pergi kepada Yesus, bersatu dengan Yesus dan diutus oleh-Nya untuk menjadi saksi iman dan keselamatan (Beding, 2000: 40).

Mgr. Gabriel Manek, SVD memiliki impian dan cita-cita di awal tugas penggembalaannya yakni bahwa keselamatan dalam Kristus harus disampaikan kepada jiwa-jiwa sebanyak-banyaknya dan harus segera diwartakan agar diimani oleh sebanyak mungkin umat manusia. Untuk mendukung cita-cita ini, Mgr. Gabriel Manek mengutamakan panggilan-panggilan kepada imamat, biara, dan awam militan bagi Kristus. Namun Ia menyadari bahwa hal ini tidak mungkin tercapai tanpa rahmat Tuhan, maka ia mengajak umatnya untuk terus-menerus berdoa bagi karya misi Gereja. Dia sendiri membuat doa untuk kebutuhan ini sebagaimana dikutip oleh Sr. Gabriella, yakni:

Ya Allah, Engkau menghendaki agar semua manusia mencapai keselamatan dan memperoleh pengetahuan akan kebenaran. Kami mohon: utuslah pekerja-pekerja ke panenan-Mu. Berilah supaya mereka dengan imannya yang teguh mewartakan sabda-Mu. Semoga Injil-Mu dengan cepat tersebar dan jaya di mana-mana dan segala bangsa mengakui Engkau sebagai satu-satunya Allah yang benar, serta Putra-Mu yang Kau utus Yesus Kristus Tuhan kami, yang bersama Dikau hidup dalam kesatuan dengan Roh Kudus, Allah sepanjang segala abad. Amin (Gabriella, 2008b: 2).

Hidup Mgr. Gabriel Manek, SVD menunjukkan imannya yang kuat pada Yesus. Iman dan penyerahan dirinya kepada Yesus Tuhan, terungkap dalam


(41)

   

sebuah doa singkat yang digubahnya sebagaimana dikutip oleh Sr. Gabriella: “Yesus Kristus Anak Allah yang hidup, Terang dunia, aku sembah sujud kepada-Mu, untuk Engkau aku hidup, untuk Engkau aku mati” (Gabriella, 2008b: 3). Doa penyerahan tanpa syarat ini, diwujudkan secara sungguh-sungguh dalam karya pelayanannya sampai akhir hidupnya. Sebagaimana sudah disebutkan sebelumnya, bukti tentang penyerahan dirinya yang total ini terlihat dari ekspresi cinta dan belas kasih yang tulus diberikannya kepada mereka yang kecil, miskin dan terbuang (Gabriella, 2008b: 3).

Sebagai gembala ia mengunjungi umat hingga ke dusun-dusun terpencil yang hanya dapat dijangkau dengan berjalan kaki. Kerja kerasnya mendatangkan hasil yang memadai, setidaknya terlihat dari pesatnya pekembangan jumlah umat. Keberhasilan ini membuat dia memikirkan dengan serius ketersediaan tenaga pastoral untuk karya pelayanan kepada gembalaan yang semakin pesat jumlahnya (Beding, 2000: 40).

3. Bishop of The Poor

Seperti kebanyakan orang yang diilhami oleh Injil Tuhan, Mgr. Gabriel Manek memperlihatkan dalam hidupnya, keseriusannya menjadi kabar gembira bagi orang-orang kecil. Setelah dia pindah ke Amerika tahun 1970, sebagai uskup emeritus, ciri khas hidup dekat dengan orang-orang kecil ini tidak dia tinggalkan. Sebab itu orang suku asli Indian yang merasakan perhatiannya memberinya gelar “Bishop of The Poor” (Gabriella, 2008b: 4). Orang-orang dari suku asli Amerika di wilayah New Mexico mengakui bahwa Mgr. Gabriel Manek adalah uskup dan sahabat orang kecil, miskin, menderita dan terbuang.


(42)

   

Orang Indian adalah orang-orang yang diasingkan di tanahnya sendiri oleh orang-orang Eropa yang datang dengan tujuan mencari keuntungan di Negeri itu. New Mexico sendiri termasuk Negara bagian yang sangat miskin. Mereka masih sangat melekat dengan adat istiadat nenek moyang mereka termasuk dalam hal berternak dan membuat kerajianan tangan yang indah. Namun demikian pendapatan mereka sangat rendah, mereka tinggal di perumahan yang tidak layak huni dan tidak mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik ataupun kesempatan pendidikan yang cukup. Banyak dari mereka yang kecewa dan meninggalkan tempat penampungan untuk mengadu nasib di kota-kota, namun karena latar belakang pendidikan yang terbatas mereka hanya bisa menjadi buru kecil atau pekerja kasar (Gabriella, 2008b: 5).

Hati seorang Gembala tidak tega menyaksikan keterpurukan domba-dombanya. Ia terusik oleh keprihatinan yang dalam, turut merasakan penderitaan yang menimpa orang-orang yang terabaikan itu. Mgr. Gabriel Manek dengan didorongan oleh Roh Tuhan menaruh belas kasihan dengan setia mengunjungi mereka di daerah-daerah penampungan, memberikan peneguhan, penghiburan iman, sembako, pakaian dan permadani bekas layak pakai. Ia rela merendahkan diri dengan tidak menaruh rasa malu menghampiri tempat-tempat sampah yang kotor dan menjijikkan, ia mengambil permadani bekas orang-orang kaya dan dipakai untuk menutup gubuk-gubuk orang Indian yang sudah reyot (Beding, 2000: 88). Ia setia mengunjungi dan memberikan pendampingan rohani bagi mereka. Ia sedemikian menyatu dengan mereka sampai mereka mengangkatnya menjadi ”Kepala Suku Navajos” dengan mengenakan kepadanya “mahkota bulu” lambangan kebesaran dalam suku Navajos. Mereka juga memberi gelar “Big Chief Yellow Father” sebagai tanda hormat dan kebanggaan mereka.


(43)

   

Julukan “Bishop of The Poor“ merupakan kisah dari kesaksian orang Amerika yang telah mengalami kasih Allah melalui hidup Mgr. Gabriel Manek, SVD. Julukan ini menjadi semacam mahkota penghargaan kepadanya yang telah dengan penuh cinta melayani Yesus dengan mengasihi orang miskin dan terlantar. Ia mempersembahkan seluruh hidupnya untuk menjadi sahabat bagi orang miskin, penghibur dan pencinta bagi orang kusta serta orang-orang terbuang (Gabriella, 2008b: 6).

Dia menunjukkan komitmen kerasulannya untuk orang kusta dengan mendirikan sebuah rumah sakit yang dikhususkan untuk rehabilitasi para penderita kusta di Lembata-Flores Timur pada 8 Juni 1959. Karya ini kemudian dipercayakan kepada suster-suster CIJ, sebuah tarekat pribumi yang didirikan oleh Mgr. Hendrikus Leven yang waktu itu menjabat sebagai uskup di Keuskupan Agung Ende. Selama menjadi uskup, Mgr. Gabriel Manek, SVD telah menghantar kembali para pendosa, mengangkat dan membela hak kaum tertindas dan dengan berani masuk dalam dunia politik untuk menyuarakan cita-cita dan harapan rakyat kecil (Gabriella, 2008a: 122).

Banyak hal yang ia perbuat menunjukkan perhatiannya yang besar kepada orang-orang miskin dan terpinggirkan. Ia pernah berpesan kepada umatnya sebagaimana dikutip oleh Sr. Gabriella yakni: “Cintailah dan layanilah sesamamu yang menderita tanpa membeda-bedakan suku, ras, agama atau golongan, karena hanya dengan cara itu kamu dapat melihat Allah” (Gabriella, 2008b: 5).

Dalam wasiat ini seakan umat mendengarkan dalam formulasi lain sabda yang pernah keluar dari mulut Yesus: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku” (Mat 25:40). Sabda ini yang


(44)

   

menginspirasi banyak pemimpin Gereja dari sejak Yesus ada sampai masa hidup Mgr. Gabriel Manek, SVD juga sampai sekarang untuk memperhatikan Yesus dalam diri orang-orang yang sedang menderita dan terbuang. Pada masa sekarang Paus Fransiskus menjadi tokoh yang amat menonjol dalam hal ini. Ia menulis dalam Surat Apostoliknya tentang suka cita Injili demikian: “Iman kita akan Kristus yang menjadi miskin dan selalu dekat dengan kaum miskin dan tersingkir, adalah dasar kepedulian kita pada pengembangan seutuhnya para anggota masyarakat yang paling terabaikan” (EG 186). Sebagai pemimpin umat, Paus Fransiskus mendorong semua umat untuk peka terhadap jeritan semua orang yang haus akan pembebasan dari kemelut kesusahan hidup.

Ketika sudah waktunya Mgr. Gabriel Manek, SVD harus berbaring di tempat tidur dan tak kuat lagi untuk mengunjungi umatnya, tidak sedikit umat dari berbagai kalangan yang mengunjungi Mgr. Gabriel Manek, SVD dan masih antrian meminta nasehat dan doa-doanya. Ia dikenal sebagai pendoa dan memiliki kharisma khusus untuk mendoakan orang sakit. Banyak dari antara mereka bersaksi tentang efektifitas doanya yang membuat mereka sembuh dari penyakit yang mereka derita (Beding, 2000: 88).

4. Hidup Baru dalam Roh

Mgr. Gabriel Manek, SVD tutup usianya yang ke-76 pada 30 November 1989 di Lakewood-Colorado, USA. Adalah wajar jika para anggota Puteri Reinha Rosari dan semua orang yang mengenalnya mengatakan bahwa ziarah hidupnya telah mencapai titik kesempurnaan dan layak mendapat meterai tanda tamat dalam karya misi. Hal itu tentu tidak dianugerahkan manusia, tetapi Tuhan yang ia abdi, Dialah yang memberikannya. Usia 76 tahun sudah cukup baginya untuk


(45)

   

menjemput sebuah kemenangan dan layak menerima penghargaan dari Dia yang menganugerahkan kepadanya tugas misioner sebagai imam dan uskup (Gabriella, 2008a: 6).

Ketika akan merayakan HUT Kongregasi Puteri Reinha Rosari pada 15 Agustus 1983, timbul kerinduan suster-suster PRR untuk meminta pendiri kembali ke Indonesia, untuk tinggal dan merayakan HUT Kongregasi bersama puteri-puterinya di Indonesia secara khusus di Larantuka yang merupakan tempat di mana biara pusat PRR berada. Kerinduan ini terungkap dengan mengajukan permohonan tertulis kepada General SVD di Roma tahun 1982 oleh Sr. M. Gabriella, PRR ketika menjabat sebagai pemimpin Kongregasi. Permohonan ini dikabulkan oleh Pater General Henry Heekeren, SVD. Namun tidak terwujud terkait dengan kondisi Mgr. Gabriel Manek yang tidak memungkinkan karena sakit. Kerinduan yang sama juga diungkapkan oleh Mgr. Antonius Pain Ratu, SVD uskup Atambua pada tahun 1999. Beliau mengharapkan suster-suster PRR mengusahakan agar YM. Mgr. Gabriel Manek, SVD dibawa pulang ke tanah air meskipun dalam wujud yang lain, akan tetapi kerinduan ini masih terpendam karena belum memenuhi peraturan pemerintahan USA dalam hal pemindahan jenasah atau kerangka (Gabriella, 2008a: 6).

Menjelang Pesta Emas Kongregasi PRR tahun 2004, kerinduan akan kembalinya pendiri semakin membara dalam lubuk hati PRR karena adanya kebutuhan untuk hidup dalam inspirasi pendiri. Maka pada tahun itu juga Sr. M. Simprosa, PRR mengajukan permohonan yang sama kepada Pater General Anthony Pernia, SVD agar bapak uskup hadir di tengah-tengah suster PRR sebagai tonggak inspirasi. Pater General SVD langsung mengabulkan permohonan ini. Permohonan ini adalah yang kedua kali dibuat oleh pihak


(46)

   

pimpinan PRR. Langkah demi langkah telah dibuat demi tercapainya sebuah kerinduan. Kerinduan ini baru terkabulkan pada tahun 2007, satu tahun menjelang tahun Emas Kongregasi Puteri Reinha Rosari (Gabriella, 2008a: 7).

Siapa pernah menyangka bahwa hal ini bisa terjadi dan sekaligus menjadi peristiwa yang menjawab kerinduan beliau untuk kembali ke tanah air? Pada tahun 2007 meski hanya jasadnya, Ia dibawa kembali ke Indonesia. Satu tanda Agung yang perlu dikenang adalah ketika peti jenasah dibuka, didapati kondisi tubuh YM. Mgr. Gabriel Manek, SVD masih utuh. Hal itu terjadi pada 14 April 2007. Karena itu, bukan lagi hanya tulang-tulang yang akan dibawa ke Indonesia melainkan jenasah beliau yang kedapatan masih utuh setelah 18 tahun berada di dalam perut bumi. Suster-suster PRR melihat ini, sebagai peristiwa iman yang mengejutkan. Banyak orang bisa berpendapat tentang kenyataan ini tapi bagi suster-suster PRR, ini adalah tanda kekudusan Mgr. Gabriel Manek yang diperlihatkan Tuhan. Setelah peti jenasah diangkat dan dibuka pada 14 April 2007, jenasah beliau dibawa kembali ke tanah air dengan rute perjalanan dari Amerika-Jakarta-Denpasar Bali-Kupang-Lahurus, kembali lagi ke Kupang dan berakhir di Larantuka pada 21 April 2007 (Gabriella, 2008b: 7-18).

Peristiwa kembalinya jenasah bapak pendiri ke tengah puteri-puterinya, merupakan peristiwa hidup baru dalam Roh yang menyemangati karya pelayanan suster-suster PRR dalam karya perutusan. Peristiwa agung ini menjadi peristiwa bermakna, sebagai momen untuk berbenah diri, menemukan “akar” untuk mengembangkan “sayap” pelayanan ke belahan dunia. Dalam rangka menemukan akar untuk mengembangkan sayap bukanlah persoalan yang gampang, tidak sedikit kritik yang dialamatkan kepada suster-suster pribumi ini, namun semua itu


(47)

   

dilihat sebagai cambuk untuk semakin sungguh-sungguh dalam menemukan jati diri (Tukan, 2006: 24).

D. Pendiri Kongregasi PRR

Mgr. Gabriel Manek, SVD adalah pendiri Kongregasi Puteri Reinha Rosari. Sejarah perkembangan Gereja Katolik di Larantuka menjadi latar belakang berdirinya Kongregasi ini. Untuk sampai pada dasar pemikiran Mgr. Gabriel Manek, SVD mendirikan Tarekat ini, maka kita perlu melihat situasi awal Gereja setempat.

1. Situasi Awal

Sejarah perkembangan iman Katolik yang cukup pesat di Nusa Tenggara Timur terutama di Pulau Solor, Alor dan Pantar menjadi dasar pemikiran Mgr. Gabriel Manek, SVD mengenai tenaga-tenaga pendamping iman. Iman umat mulai bertumbuh dan berkembang sejak abad XVI-XVII. Dalam catatan sejarah Gereja Katolik Indonesia jilid I bagian dokumentasi-penerangan Kantor Waligereja Indonesia (KWI) sebagaimana dikutip oleh P. Vriens, S.J., dimulai dari karangan Pater Y. Bakker. S.J., menceritakan perkembangan Gereja Katolik Larantuka.

a. Kedatangan Misionaris Portugis

Pada abad XVI (1556), sebuah kapal para Pedagang Portugis singgah di pulau Solor dalam perjalanan berdagang dan membeli rempah-rempah. Orang Portugis adalah mayoritas beragama Katolik, karena itu dalam menjalin relasi dengan masyarakat lokal mereka juga memperkenalkan Agama Katolik dan


(48)

   

mewartakan Injil Kristus. Banyak masyarakat setempat termasuk raja Lohayong tertarik dan mereka memberi diri dibaptis menjadi Katolik. Apa yang dirintis oleh kaum awam atau para pedagang ini, kemudian dilanjutkan oleh para misonaris Portugis yang datang kemudian. Di bawah para misionaris Dominikan, Agama Katolik mulai berkembang dan Kristus semakin diwartakan dan diimani oleh masyarakat Kepulauan Solor, Flores dan Timor. Baru pada tahun 1561 empat misionaris ordo dominikan dikirim dari Malaka ke Solor. Mereka adalah Pastor Antonio de Taceira, P. Antonio da Cruz, P. Simeo da Chagas dan Bruder Alexio. Empat misionaris ini menetap Lohayong-Solor selain untuk melayani para pedagang Portugis, mereka juga melanjutkan misi para pedagang untuk mewartakan Injil kepada penduduk lokal (Vriens, 1974: 367-369).

Kehadiran orang asing yang membawa agama baru ini tidak diterima begitu saja, banyak mengalami perlawanan sampai perang berdarah. Maka pada tahun 1566 Frater Antonio da Cruz membangun benteng di Lohayong di Solor Timur untuk melindungi misi dari serangan musuh agama Katolik yang menyerang umat di kepulauan ini dan memaksa mereka untuk meninggalkan imannya akan Yesus dan Bunda Maria. Tradisi kehidupan sosial dan keagamaan umat Katolik Larantuka sampai saat ini masih melekat dengan tradisi-tradisi Portugis. Seperti perayaan pekan suci, khususnya Jumad Agung dirayakan dalam nuansa Portugis, baik lagu-lagu maupun doa-doanya (Vriens, 1974: 369-374).

b. Misionaris Belanda

Pada tahun 1613 pihak Belanda yang bersekutu dengan kelompok-kelompok Muslim menaklukkan benteng Lohayong, sehingga pusat misi Solor berpindah ke Larantuka. Selama masa kekuasaan VOC, imam-imam Katolik


(49)

   

hidup dalam tekanan dan terancaman bahaya. Banyak di antara mereka mengalami penganiayaan, mereka diusir, ditangkap, dipenjarakan dan bahkan dibunuh. Dengan demikian umat mengalami trauma dan kehilangan tenaga pendamping terlebih perhatian dari para misionaris. Tidak lama kemudian pihak Belanda meninggalkan Solor karena tidak menemukan sesuatu yang mempunyai nilai komersial di wilayah itu. Baru pada tahun 1630 benteng itu dipulihkan kembali berkat kedatangan misionaris baru (Vriens, 1974: 381-388).

Masyarakat Katolik di Flores diperkuat dan semakin diperbaharui dengan kedatangan sekelompok keluarga Katolik dari Makasar pada tahun 1660. Yang memimpin kelompok ini adalah Fransisco Vieyra Figueiredo. Frater Lucas da Cruz bersama mereka sambil membawa harta Gereja “S. Dominggo de Surian”. Keluarga-keluarga ini sebagian dari mereka melarikan diri dari Malaka pada tahun 1641 menetap di Konga-Larantuka dan Wure-Adonara. Pada tahun 1679 lima belas misionaris lain bekerja di daerah ini. Dalam dua abad berikutnya kehadiran orang Portugis terbatas pada misi, hampir tanpa campur tangan politik atau militer. Penduduk dapat mempunyai pastor selama dua puluh tahun dan kemudian untuk dua puluh tahun berikutnya tidak mempunyai pastor sama sekali. Pada 19 Desember 1851 dibuatlah perjanjian damai antara Portugis dan Belanda yang memisahkan wilayah politik Portugis dan wilayah politik Belanda di Kepulauan Nusa Tenggara. Flores Timur masuk wilayah kekuasan politik pemerintah Belanda. Namun demikian, para misionaris Portugis masih sesekali melayani umat di Flores Timur. Dengan penandatanganan Traktat Lisabon 20 April 1859, Portugis menarik diri dari Flores Timur. Walau demikian kebebasan beragama tetap diatur dalam traktat ini. Maka pemerintah Belanda wajib mendatangkan


(50)

   

misionaris Belanda untuk melayani umat di wilayah Flores Timur. Sementara itu, Gereja Katolik di Larantuka memiliki “Konfreria” yakni Serikat Rosari Kudus yang terdiri dari kaum awam yang bertugas mengurus kehidupan beragama bersama raja-raja yang sudah menjadi Katolik (Vriens, 1974: 400-415).

Pada 4 Agustus 1860 Romo Yohanes Petrus Nikolaus Sanders, seorang imam diosesan Belanda tiba di Larantuka. Desember 1861, pastor Sanders diganti oleh kerabatnya Romo Gaspar Hubertus Fransen. Dalam karyanya, pastor Fransen dibantu oleh keluarga Kerajaan Larantuka, yakni raja Don Gaspar dan adiknya Don Minggo. Romo Fransen mulai mendirikan sekolah pertama di Flores Timur pada masa itu walau dalam bentuk yang sederhana. Oktober 1863, pastor Fransen kembali ke Belanda (Vriens, 1972: 103-109).

c. Pelayanan Misionaris Serikat Yesuit

Sebelum pastor Fransen kembali ke Belanda, P. Gregorius Metz seorang Yesuit sebagai penggantinya telah tiba di Larantuka pada 17 April 1863. P. Metz kemudian membangun sebuah Gereja di Postoh-Larantuka. Selanjutnya sejumlah Gereja dan Kapela dibangun, yang hingga kini masih ada dan diperbaharui. Gereja San Juan Lebao, San Dominggo di Wure, San Dominggo di Konga, Santa Klara di Lewolaga, kapela Santa Lusia di Waibalun, Santa Klara di Lewolere, Miserekordia di Pantai Besar, Philipus dan Yakobus di Larantuka, Santa Maria di Batumea (kini Kapela Tuan Ma), San Sepulchro di Ponbao, San Lorenso di Pohon sirih, Nosa Senhora di Lohayong dan Yose di Gege. P. Metz bekerja di Larantuka selama 20 tahun selanjutnya kembali ke Belanda. Maka berakhirlah periode pelayanan misionaris Yesuit di tanah ini (Vriens 1972: 110-114).


(51)

   

d. Pelayanan Misionaris Serikat Sabda Allah

Sebelum P. Metz kembali, pada 20 Mei 1915 tiba di Larantuka misionaris SVD pertama yakni P. Wiliam Baack, SVD. Tahun 1919-1920 datang lagi 36 imam dan bruder SVD. Frater van Velsen, SVD yang memiliki ijasah guru diangkat oleh pemerintah sebagai penilik sekolah di Flores termasuk Larantuka. Di Larantuka berdiri sekolah di Nobo, Riangwulu, Konga, Hewa, Lewolaga, Waibalun dan Lebao. Demikian juga stasi-stasi dibuka di luar Larantuka. Di Lembata stasi Lamalera dengan seorang misionaris yakni Pater Bernardus Bode, SVD yang membuka sekolah pertama di Lembata. Di Larantuka terdapat sebuah sekolah Standartschool atau Vervolgschool 2 tahun, sebagai kelanjutan Sekolah Rakyat tiga tahun. Di samping itu didirikan sebuah sekolah guru di Larantuka dan kursus pertukangan yang sudah dirintis para imam Yesuit. Ketika perang dunia II tahun 1942, Jepang menduduki Flores termasuk Larantuka. Lalu para misionaris Belanda diinternir di Sulawesi Selatan. Namun Mgr. Hendrik Leven bersama sejumlah imam diizinkan berkarya dan meneruskan pendidikan imam pribumi. Sebelumnya telah ditahbiskan 2 imam pribumi pertama yakni: P. Gabriel Manek, SVD dan P. Carolus Kale Bale, SVD pada 28 Januari 1941. Pastor Gabriel Manek inilah yang kemudian ditempatkan di wilayah Flores Timur (Vriens, 1974: 1119-1147).

e. Lahirnya Keuskupan Larantuka

Babak baru segera mulai setelah melewati masa sulit pendudukan Jepang. Kemerdekaan diisi dengan pengembangan Gereja di Nusa Tenggara. Pendidikan seminari menjadi salah satu jalan menyiapkan imam-imam pribumi. Berdirilah di


(52)

   

Larantuka Seminari San Dominggo Hokeng tahun 1950. Sebelumnya, tahun 1942 ditahbiskan sejumlah calon imam dari Larantuka menjadi imam tarekat religius SVD yakni: P. Rufinus Pedrico, SVD, P. Yohanes Bala Letor. Dan dari Larantuka juga tiga imam SVD ditahbiskan menjadi Uskup yaitu Mgr. Gregorius Mentero (Almarhum), Mgr. Paulus Sani Kleden (Almarhum) dan Mgr. Antonius Pain Ratu. Imam diosesan pertama dari Larantuka ditahbiskan tahun 1963. Tiga puluh lima tahun kemudian (1998) sudah mencapai 78 imam diosesan. Meskipun demikian tenaga imam belum cukup menjangkau pelayanan bagi umat yang semakin berkembang pesat jumlahnya. Mgr. Gabriel Manek, SVD menyadari akan penyelenggaraan Kasih Allah dalam perkembangan iman umat dan atas karya Roh Kudus dan Bunda Surgawi bahwa iman umat akan tetap terpelihara dan semakin kuat. Meskipun kekurangan tenaga imam dan tanpa bimbingan hirarki yang jelas, namun umat tetap bertahan dalam imannya akan Yesus Kristus dan Bunda Maria (Vriens, 1974: 1132-1140).

Tahun 1951 Vikariat Apostolik Kepulauan Sunda Kecil dimekarkan menjadi tiga Vikariat Apostolik. Vikariat Apostolik Ende dengan uskupnya Mgr. Antonius Hubertus Thijssen, SVD, Vikariat Apostolik Ruteng dengan uskupnya Mgr. Van Bekkum, SVD dan Vikariat Apostolik Larantuka dengan uskupnya Mgr. Gabriel Manek, SVD yang adalah uskup pribumi pertama di Nusa Tenggara. Tahun 1961 Paus Yohanes XXIII mendirikan hirarki di Indonesia. Vikariat Apostolik Ende menjadi Keuskupan Agung Ende, demikian pula Ruteng dan Larantuka menjadi keuskupan Sfragan. Saat itu, Mgr. Gabriel Manek diangkat menjadi Uskup Agung Ende dan di Larantuka digantikan oleh Mgr. Antonius Hubertus Thijssen, SVD sebagai Uskup kedua. Tahun 1974 beliau dipindahkan ke Keuskupan Denpasar, dan diangkatlah Mgr. Darius Nggawa, SVD sebagai uskup


(53)

   

yang ketiga (Vriens, 1974: 1140-1156). Memasuki masa pensiun, tahun 2004 Uskup Darius meletakan jabatan dan digantikan oleh pengganti yang sudah disiapkan dua tahun sebelumnya. Uskup Koajutor Larantuka Mgr. Fransiskus Kopong Kung, Pr diangkat menjadi uskup keempat di Keuskupan Larantuka, sekaligus menjadi uskup dari imam projo pertama di Flores.

2. Keprihatinan Mgr. Gabriel Manek, SVD

Perkembangan umat yang ketiadaan bimbingan yang memadai, dan tidak dikuatkan dengan santapan rohani seperti sakramen-sakramen, dikuatirkan perlahan-lahan akan mengalami kekaburan nilai-nilai iman yang murni. Sejak dahulu umat kristiani sudah memiliki kebiasaan keagamaan kristiani yang terus dipertahankan bahkan sampai saat ini, seperti doa Rosario, Novena, Pekan Suci khusus pada hari Jumat Agung mereka mengadakan prosesi besar-besaran, dan tradisi ini sangat bernilai bagi mereka. Akan tetapi justru dampaknya dalam kenyataan kehidupan sehari-hari iman umat serani Katolik sering dangkal dan meragukan. Nampaknya mereka mudah bimbang dan terbawa arus oleh pengaruh tahyul dan kepercayaan terhadap kekuatan gaib (Beding, 2000: 63).

Pada masa Perang Dunia II, ketika Mgr. Gabriel Manek, SVD bertugas di wilayah Flores Timur sebagai imam, beliau sudah merasakan adanya kebutuhan tenaga-tenaga pendamping iman umat dan pelayan sosial yang bersedia menolong masyarakat yang mengalami kekelaman iman serta mengalami banyak tekanan sosial maupun ekonomi. Inilah keprihatinan yang mendasari pemikiran Mgr. Gabriel Manek akan pentingnya mempersiapkan tenaga-tenaga pendamping iman. Baru setelah menjadi uskup perasaan ini semakin mendorong dia kepada suatu


(54)

   

gagasan baru untuk mendirikan sebuah persekutuan hidup bakti, yakni sebuah Tarekat Suster Pribumi (Beding, 2000: 56).

Terdorong oleh kebutuhan tersebut Mgr. Gabriel Manek, SVD berani mengajukan permohonan kepada Propaganda Fide pada 7 Januari 1958 untuk mendirikan sebuah Tarekat Religius. Permintaan ini mendapat angin segar melalui surat balasan resmi dari Takhta Suci kepada Mgr. Gabriel Manek, SVD tertanggal 20 Januari 1958. Keinginan Mgr. Gabriel Manek, SVD untuk mendirikan tarekat pribumi ini, sebelumnya sudah dibicarakannya kepada Sri Paus Pius XII dalam kesempatan audiensi pribadi pada 26 Oktober 1956. Meski sudah memperoleh surat resmi dari pihak yang berwewenang, tetapi tetap merupakan pekerjaan yang tidak mudah untuk melaksanakan impian ini (Vriens, 1974: 1154).

Tahun 1957 Mgr. Gabriel Manek sempat membicarakan gagasan ini kepada Mgr. A. Soegiyopranata, S.J., Vikaris Apostolik Semarang, sekaligus meminta bantuan beberapa suster dari Jawa untuk membantu pendampingan calon. Namun tidak berhasil karena masih kekurangan tenaga suster. Akhirnya bapak Uskup kembali ke Larantuka dan membicarakan rencana ini kepada para pastor, beliau meminta dukungan mereka khususnya kepada seorang misionaris atas nama P. A. van de Burg, SVD yang pada waktu itu menjabat sebagai Vikaris Jenderal di Keuskupan Larantuka. P. A. van de Burg adalah seorang misionaris Serikat Sabda Allah yang kemudian berkarya di Indonesia terutama di Flores sejak tahun 1935. Beliau juga mengenal baik betapa sulitnya tenaga pendampingan iman umat di daerah yang perkembangan umatnya semakin pesat. Selain P. A. van de Burg, Bapak Uskup Manek juga meminta bantuan Sr. Anfrida, SSpS untuk membantu pendidikan calon. Maka atas izin resmi pimpinan tertinggi


(55)

   

Kongregasi SSpS, Sr. Anfrida dan beberapa suster lain membantu pembinaan bagi calon-calon baru tarekat pribumi (Beding, 2000: 55-57).

Berdasarkan data tanggal berdirinya Kongregasi yang baru ini, tercatat pada 15 Agustus 1958 satu tahun, delapan bulan dari tanggal diterimanya surat keputusan Paus Pius XII sebagai tanggal resmi berdirinya tarekat religius baru itu. Mgr. Gabriel Manek, SVD sebagai pendiri, meresmikan serikat baru ini dengan nama ‘Kongregasi Puteri Reinha Rosari’. Tarekat ini menjadi buah atas keprihatinan Mgr. Gabriel Manek, SVD terhadap pendampinan iman umat kecintaannya. Mgr. Gabriel Manek bermimpi bahwa tarekat yang didirikannya kelak menjadi ragi bagi karya pewartaan iman dan pelayanan kemanusiaan (Beding, 2000: 65).

3. Panggilan Religius PRR

Dalam Kitab Hukum Kanonik (KHK) mengungkapkan suatu hal yang sangat bernilai di dalam kehidupan Gereja yakni kehidupan yang dipersembahkan secara utuh kepada Tuhan (Kan. 573 $ 1). Sepanjang sejarah kehidupan Gereja, terdapat bukti-bukti yang mengagumkan mengenai kehidupan orang-orang yang mendengarkan suara panggilan Tuhan Yesus Kristus, supaya menyangkal dirinya, mengangkat salibnya dan mengikuti Dia (Mat 16:24). Untuk itulah Mgr. Gabriel Manek mendirikan sebuat tarekat religius PRR sebagai sebuah tarekat yang di dalamnya merupakan kumpulan orang-orang yang membaktikan hidupnya bagi kemuliaan Tuhan (Beding, 2000: 55).

Mgr. Gabriel Manek, SVD melihat bahwa panggilan religius PRR sebagai tunas kecil milik Bunda Surgawi yang menjadi pasukan Maria. Sebagai pasukan Maria, tunas ini harus seperti Maria memiliki jiwa dan semangat seorang hamba


(56)

   

yang mengabdikan seluruh hidupnya bagi sesama. Bapak pendiri berharap agar setiap anggota Kongregasi ini, siap diutus ke mana saja untuk mewartakan karya keselamatan Kristus (Beding, 2000: 59).

Seiring berjalannya waktu, dengan memilih Visi: “Yesus Hamba Yahwe dan Maria Hamba Allah”, para suster Puteri Reinha Rosari berjuang mewujudkan kharisma pendiri dalam pelbagai karya karitatif terutama pengabdian dalam karya sosial, partoral, kesehatan dan pendidikan. Dalam karya sosial yang menjadi perhatian khusus adalah karya pelayanan para penderita kusta, AIDS dan Panti Asuhan. Karya kerasulan untuk penderita kusta saat ini di Naob dan di Agats yang baru dirintis tahun 2014. Terkait pelayanan terhadap para penderita AIDS, karya ini sedang dibuat oleh para suster Puteri Reinha Rosari di Keuskupan Homa Bay Kenya-Afrika. Karya-karya ini terlihat sebagai jawaban atas semangat, kerinduan dan cita-cita pendiri Mgr. Gabriel Manek, SVD (Jebarus, 2008: 81).

Berdasarkan katalog Kongregasi PRR Edisi Januari 2015, tercatat jumlah suster PRR yakni: 310 suster kaul kekal, 90 suster kaul sementara, 27 suster novis dan 24 suster postulan. Berkat karya Roh Kudus dan penyertaan Bunda Maria, Kongregasi PRR telah mengembangkan pelayanan berawal dari pribumi hingga mendunia. Kini Kongregasi PRR telah memiliki 70 komunitas karya dan tiga tempat formasio atau wilayah pembinaan Novis-Postulan yakni di Flores Timur, Timur Leste dan Kenya-Afrika.

E. Spiritualitas Mgr. Gabriel Manek, SVD

1. Pengaruh Latar Belakang Hidup Umat Setempat

Spiritualitas sebagaimana telah dijelaskan pada bagian pertama adalah daya rohani yang menggerakkan seseorang atau sekelompok orang untuk hidup


(57)

   

dan memaknai hidupnya. Pertanyaan kita pada bagian spiritualitas Mgr. Gabriel Manek adalah daya rohani macam mana yang menggerakkan dia untuk menghayati pilihan-pilihan hidupnya entah menjadi imam dan menjadi teman serta sahabat orang-orang kecil? Untuk mencari tahu spiritualitas yang mendasari hidup Mgr. Gabriel Manek, SVD sumber yang pasti adalah Kitab Suci secara khusus ’misteri salib’ yang selalu dihayatinya sebagai kekuatan dan sumber yang menjamin keselamatannya (Konst., no. 103). Tentang hal ini sejarah menunjukkan bahwa umat di wilayah Keuskupan Larantuka sudah terbiasa dengan salib perjuangan hidup yang berat. Mereka telah mengalami berbagai macam salib pernderitaan, kesulitan dan kegagalan selama masa penjajahan Jepang dan Belanda. Aneka macam bencana dan malapetaka silih berganti menimpa hidup mereka. Akan tetapi mereka tidak pernah putus asa. Mereka tetap berpegang pada misteri salib yang selalu dikenang pada Jumat Agung dengan penyembahan serta prosesi Agung sampai sekarang (Vriens, 1974: 1129-1130).

Hidup umat yang setia berpegang pada misteri salib dengan tradisi keagamaan turun-temurun sebagaimana yang disaksikan dan dialami sendiri oleh Mgr. Gabriel Manek, SVD ketika beliau menjadi pastor seluruh Flores Timur, Alor dan Pantar tahun 1942-1946 telah memberi dia ilham dalam menentukan visinya sewaktu mendirikan Kongregasi PRR. Beliau melihat betapa iman itu terus dipelihara dan dipertahankan dengan gigih terutama pada masa-masa sulit seperti pada masa penjajahan Jepang, para misionaris asing sebagai gembala umat diinternir dan dideportasi keluar Flores. Visi pendiri sebagaimana tercantum dalam konstitusi dan Direktorium Tarekat PRR, yakni:


(1)

sama dengan suster-suster. Saya dapat menyaksikan perjuangan suster-suster untuk merawat orang sakit sungguh luar biasa. Sr. Krisanti sering ke desa untuk menjemput orang sakit. Pernah saya sekali bersama Sr. Emerensiana juga ikut ke desa untuk memberikan penyuluhan tentang sakit kusta.

5. Apakah masyarakat pada umumnya senang atau mendukung kehadiran suster-suster?

Jawaban: Masyarakat sangat mendukung dan mereka sangat merasa terbantu dengan kehadiran suster-suster. Jika ada acara di rumah sakit masyarakat atau umat sekitar selalu bersedia membantu dan turut berpartisipasi seperti membangun jalan masuk rumah sakit, membersihkan lingkungan.

6. Apa kesan bapak terhadap kehadiran dan pelayanan para suster di Naob? Jawaban: Kesan saya terhadap kehadiran suster-suster di rumah sakit kusta sangat membantu masyarakat. Banyak masyarakat merasa tertolong dengan pelayanan di rumah sakit ini. Selain masyarakat yang kena sakit kusta, masyarakat yang menderita sakit umum juga lebih banyak merasa cepat tertolong karena puskesmas dan rumah sakit umum jauh dari sini. Selain itu juga, suster-suster sangat merakyat. Suster-suster terbuka membantu masyarakat yang butuh bantuan seperti jika ada pembangun ada yang minta bantuan kendaraan, suster selalu bersedia meminjamkan kendaraan untuk mempermudah angkutan tanpa biaya.


(2)

(3)

Lampiran 4: Teks Konstitusi art. 103 dan 112.

Artikel 103

Pelaksanaan tugas yang khas ini bertolak dari visi pendiri yang membaca kebutuhan yang mendesak akan pembentukan jemaat yang kembali ke akarnya yang murni yakni misteri salib yang mewarnai perjuangan hidup keseharian umat. Jemaat yang dicita-citakan adalah jemaat yang partisipatif yakni: jemaat yang mampu mendayagunakan kharismanya, bekerja sama membangun Gereja sebagai Tubuh Mistik Kristus; jemaat yang karena berpusat pada Kristus mampu berfungsi sosial, memasyarakat dan meragi dalam pembangunan masyarakat; jemaat yang berakar dari kebudayaan setempat sehingga benar menjadi Gereja umat Allah; jemaat yang berpegang pada kesatuan dengan Roh Kudus yang membuatnya menjadi jemaat yang berfungsi kritis, mampuh dalam penegasan Roh dalam menghadapi tantangan nilai dunia; jemaat yang memasyarakat dengan warna Kerajaan Allah, persaudaraan, damai, dan cinta, iman, harap dan kasih yang hidup. kita mengabdikan diri dalam pembentukan jemaat tersebut.

Artikel 112.

Dalam mengikuti misteri sengsara dan wafat di salib, sebagaimana Maria yang tabah dan pasrah kepada rencana Allah dalam kegelapan imannya, demikian kita semakin merasakan kemiskinan kita dan meletakkan seluruh harapan pada Allah terutama di saat yang berat, yang tak jelas, yang meminta banyak kurban diri demi kemuliaan Tuhan dan keselamatan sesama. Dan dalam hubungan dengan pelayanan sesama, suka duka, terang dan gelap dalam hidupnya, serta dengan penuh keprihatinan sebagai seorang sesama dan ibu kita menaruh perhatian, rindu merasakan bersama, bertahan bersama dan berjuang bersama untuk melepaskan diri dari belenggu dosa, sengsara, derita dan kemiskinan. Bahkan dalam situasi seperti itu, kita ada bersama mereka, dan bersama percaya bahwa dalam situasi keterbatasan kita itu, Tuhan sedang berkarya dengan kekuatan-Nya untuk menebus kita, sehingga dengan penuh keyakinan kita giat membangun diri dan sesama, menemukan hidup baru lagi, karena sadar bahwa Tuhan yang sedang berkarya, tetap berkarya menyelamatkan kita pula.


(4)

(5)

(6)