ASIMILASI NILAI KEKELUARGAAN LINTAS ETNIS : Studi Analisis Tentang Transformasi Nilai Kekeluargaan Dayak, Melayu, dan Transmigran Jawa Timur di Desa Rasau Jaya Kabupaten Kubu Raya Kalimantan Barat.

(1)

x

DAFTAR ISI Halaman

DAFTAR JUDUL ... i

LEMBAR PERSETUJUAN PROMOTOR ... ii

LEMBAR PERNYATAAN ... iii

ABSTRACT ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

PENGHARGAAN DAN UCAPAN TERIMA KASIH ... vii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR BAGAN ... xiv

DAFTAR TABEL ... xv

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah Penelitian ... 21

C. Tujuan Penelitian... 22

D. Manfaat Penelitian ... 22

E. Metode Penelitian ... 23

F. Lokasi dan Sampel ... 24

BAB II. ASIMILASI DAN NILAI KEKELUARGAAN ... 27

A. Teori-Teori Asimilasi ... 27

1. Pengertian Asimilasi ... 27

2. Syarat-Syarat Asimilasi ... 39

3. Faktor Pendorong dan Penghambat Asimilasi... 40

B. Nilai-Nilai Kekeluargaan ... 42

1. Nilai Moral dan Norma ... 47

2. Pengertian Kekeluargaan ... 47

3. Perkawinan Campur/amalgamasi ... 48

4. Kerangka Konsep ... 81


(2)

xi

1. Asimilasi Arab-Amerika ... 84

2. Asimilasi Arab-Jawa ………... 86

3. Interaksi Social Berbagai Kelompok ……….... 87

4. Pengukuran Asimilasi Melalui Pasar Perkawinan …….... 90

5. Perkawinan Campur dan Asimilasi Ekonomi ... 93

6. Perkawinan Campur Antar Etnik ... 96

7. Buah Asimilasi Kutai Majapahit ... 100

8. Faktor Sejarah Asimilasi ... 101

9. Membangun Sadar Budaya dan Kearifan Lokal ……….. 102

D. Hubungan Pendidikan Umum dengan Nilai Kekeluargaan ..103

1. Pengertian Pendidikan Umum ...103

2. Tujuan Pendidikan Umum ... 105

3. Cakupan Pendidikan Umum ... 107

4. Pendidikan Umum dan Asimilasi Nilai Kekeluargaan .... 109

BAB III. METODE PENELITIAN ... 112

A. Desain Lokasi dan Subyek Penelitian ………... 112

1. Desain Penelitian ………... 112

2. Lokasi Penelitian ………... 113

3. Suyek Penelitian ... ... 114

B. Definisi Operasional ... 119

C. Instrumen Penelitian ... 120

D. Proses Pengembangan Instrumen ... 121

1. Pengembangan Panduan Wawancara ... 121

2. Pengembangan Panduan Observasi ... 123

3. Pengembangan Teknik Dokumentasi ... 124

E. Teknik Pengumpulan Data ... 126

F. Pendekatan Yang Digunakan ... 128

G. Prosedur dan Tahapan Penelitian ... 130

1. Pengumpulan Data ……….... 133

2. Reduksi Data ……….. 133


(3)

xii

4. Verifikasi Data ………... 134

BAB. IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 139

A. Pengolahan dan Analisis Data ... 139

1. Gambaran Umum Wilayah ……… 139

2. Keadaan Desa Rasau Jaya ………... 140

3. Deskripsi Data Penelitian ……….. 144

B. Deskripsi Asimilasi Nilai Kekeluargaan ... 152

1. Deskripsi Tingkatan Asmilasi ... 152

2. Nilai-Nilai Kekeluargaan ... 155

3. Kendala-Kendala Asimilasi Nilai Kekeluargaan Lintas Etnik ... 176

4. Upaya Kepala Desa dan Tokoh Masyarakat ……… 184

C. Pembahasan Hasil Penelitian... 188

1. Tingkatan Asimilasi Lintas Etnik ………... 188

2. Asimilasi Nilai Kekeluargaan ……….. 211

3. Temuan Penelitian dan Pengembangan ... 238

4. Keterbatasan Penelitian ... 256

BAB. V. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ... 258

A. Simpulan ... 258

B. Rekomendasi ... 259

C. Implikasi Penelitian …... 260

DAFTAR PUSTAKA ... 263

LAMPIRAN-LAMPIRAN:

1. Peta Lokasi Penelitian ...272

2. Gambar Para Informan ... …………. 273

3. Instrumen/Alat Bantu Penelitian ...278

4. Data Populasi dan Sampel Asimilasi ...287

4. SK Promotor Disertasi ... 290

5. Surat Izin Penelitian ... 292


(4)

xiii

DAFTAR GAMBAR

1. Gambar 1.1. Situasi sosial menurut Spradley ………

25

2. Gambar 2.2. Model teoritik asimilasi Peter Blau ………..

82

3. Gambar 3.3. Triangulási alat pengumpul data ………...

123

4. Gambar 4.3. Interaksi model analisis data Huberman...

128

5. Gambar 5.3. Triangulasi credibality Wiliam Wiersma...

125

6. Gambar 4.5. Model teoritik asimilasi Peter Blau ...

236

7. Gambar 4.6. Model empirik hasil penelitian ...

238

8. Gambar 4.7. Model teoritik asimilasi Peter Blau ...

241

9. Gambar 4.8. Model empirik hasil penelitian Dayak-Jawa

243

10. Gambar 4.9. Model teoritik asimilasi Peter Blau ...

246


(5)

xiv

DAFTAR BAGAN

1. Bagan 1.2. Kerangka Konsep Penelitian ... 79

2. Bagan 2.2. Kerangka Acuan Kegiatan Penelitian ... 80


(6)

xv

DAFTAR TABEL

1. Tabel 1.1. Jumlah warga Rasau Jaya yang berasimilasi …

5

2. Tabel 4.2. Luas wilayah Rasau Jaya ...

137

3. Tabel 4.3. Partisipasi Pendidikan ………..

138

4. Tabel 4.4. Komposisi etnik Rasau Jaya ……….

139

5. Tabel 4.5. Tingkatan asimilasi lintas etnis ………..

255


(7)

xvi

DAFTAR TABEL

1. Tabel 1.1. Jumlah penduduk Rasau Jaya ... 5

2. Tabel 4.2. Luas wilayah Rasau Jaya ………

136

3. Tabel 4.3. Partisipasi warga dalam pendidikan ……….

137

4. Tabel 4.4. Komposisi etnik di Rasau Jaya ………

138


(8)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Proses asimilasi nilai kekeluargaan dalam masyarakat multikultur seperti yang ada dan hidup di berbagai daerah di Indonesia, mengalami fluktuasi dari waktu ke waktu. Rasau Jaya sebagai desa transmigran dari Jawa Timur sejak dibukanya pada tahun 1973 sampai saat ini belum pernah terjadi konflik kekerasan. Dengan kata lain desa ini mampu menjaga dinamika sosial yang akhir akhir ini sering mengalami fragmentasi antar kelompok maupun antar etnik. Beberapa hal lain yang patut dicatat di sini adalah desa tersebut kini mengalami perubahan yang signifikan terutama dalam hal berdirinya berbagai lembaga pemerintahan, pendidikan dan sosial dan keagamaan di samping adanya pembangunan fisik desa yang telah mengalami perubahan secara sangat berarti (Monografi Desa, 2010).

Masyarakat modern saat ini dibangun dengan prinsip-prinsip rasionalitas, individualitas dan progresivitas, agar mereka menjadi manusia yang kompetitif. Dengan demikian mereka harus meninggalkan nilai-nilai spiritualitas, komunalitas dan harmoni, karena masyarakat modern sangat mengandalkan kompetisi terhadap siapapun, sehingga manusia satu dengan yang lain ibarat serigala dengan serigala homo homini lupus (Thomas Hobbes, dalam Suryadipura, 1994), atau mereka menganggap orang lain sebagai neraka (Jean Paul Sartre, 1936). Memandang manusia lain sebagai pesaing, atau sebagai musuh telah diajarkan sedemikian kuat dalam masyarakat modern.


(9)

Ketika seseorang memasuki pendidikan formal, maka ia mulai diajarkan menjadi manusia individual dengan diperkenalkan bahwa ada tipe-tipe masyarakat yaitu masyarakat paguyuban dan masyarakat patembayan. Paguyuban dianggap perkumpulan yang hanya mengandalkan nilai-nilai emosional, dan kekerabatan. Masyarakat patembayan diangap manusia rasional yang berkumpul berdasarkan kepentingan tertentu. Perkumpulan ini tidak didasari atas rasa emosi, cinta kasih, tetapi atas dasar kepentingan dan fungsi-fungsi yang sangat rasional. Hal ini dianggap sebagai bentuk komunitas terbaik.

Akibatnya nilai kekeluargaan, yang terjadi berdasarkan ikatan cinta kasih, saling percaya, gotong royong semakin hari semakin menipis, ditiadakan, sehingga falsafah Jawa yang menunjukkan tingginya komitmen sosial seperti yang diungkapkan dalam kata hikmah” mangan ora mangan ngumpul”, yang merupakan nilai komitmen dan perjuangan yang tidak kenal menyerah. Padahal kata-kata itu merupakan terjemahan dari hikmah kenabian bahwa al-muslimu lil muslimi kabunyaanin waahidin (masyarakat muslim itu seperti sebuah bangunan) saling menopang, saling merasakan suka duka ditanggung dan dihadapi bersama. Dari sini ukhuwah islamiyah dan solidaritas sosial terbangun. Tetapi hal ini, oleh keilmuan modern disalah pahami sebagai paham organisme yang berdasarkan pada Darwinisme sosial. Bukankah hal ini merupakan nilai kekeluargaan, nilai-nilai komunal tempat bersemayamnya solidaritas dan cinta kasih antara manusia.

Davis (1941), Merton (1941), Kennedy (1944, 1952), Gordon (1968), Lieberson dan Waters (1988), dalam Rossenfeld, (2002: 153), menyatakan asumsinya bahwa perkawinan adalah merupakan suatu lembaga sosial dan


(10)

keagamaan yang dipakai sebagai sebuah ukuran atau sebuah tongkat pengukur yang paling mendasar untuk mengetahui jarak sosial di antara kelompok-kelompok yang hidup dalam masyarakat, dan dengan menggunakan alasan-alasan yang rasional. Tidak hanya sebatas itu, apakah perkawinan antar etnik juga merupakan sebuah simbol dari suatu proses sosial yang menunjukkan adanya sesuatu yang mewakili penerimaan dari luar ke dalam kelompok yang lebih intim dan suci daripada suatu tempat bekerja atau lingkungan tempat tinggal dari sebuah masyarakat. Tetapi pernikahan itu sendiri adalah lembaga sosial yang unik dan mempunyai sanksi hukum untuk prokreasi dan kemampuan untuk beranak (childbearing). Karena identitas ras dan etnis dan perbedaan yang diciptakan kembali dan direproduksi atau ditemukan kembali dalam proses melahirkan anak. Kehadiran pasangan yang kawin bisa mewakili tantangan yang unik tentang batas sosial antara kelompok orang tua dengan kelompok sosial yang lain. Sedangkan tidak adanya perkawinan antara dua kelompok etnik dapat mewakili dan mereproduksi adanya penghalang/jarak sosial di antara kelompok yang ada. Menurut Gordon (1968: 80) tentang asimilasi klasik dalam kehidupan masyarakat Amerika, ia berpendapat bahwa :

“ ketika sebuah grup baru mulai untuk menikahi sepenuhnya dan bebas dengan kelompok sosial dominan yang asli, maka semua bentuk asimilasi sosial budaya akan selalu mengikuti. Akhirnya, lamanya suatu perpecahan antar etnis dan kelompok sosial di antara kelompok akan secara berangsur menghilang “.

Pandangan Gordon (1968: 80) tentang asimilasi adalah sebagai sesuatu tentang sadar diri yang ideal dan khas. Kami tahu, misalnya, bahwa asal-usul kelompok-kelompok kebangsaan tertua di Amerika Serikat (Inggris, Irlandia, dan


(11)

Jerman) masih menunjukkan kecenderungan untuk menikah secara endogami. Dalam sensus tahun 1990 kemungkinan menikahi seorang Jerman dengan pria Amerika masih sekitar 4 kali lebih tinggi Amerika Jerman untuk perempuan, daripada perempuan dari kelompok lain. Meskipun Gordon, (1968), (Park dan Burgess, 1921, sebelum dia), secara tidak langsung menyatakan bahwa asimilasi perkawinan akan menghapus batas-batas sosial tentang asal-usul kebangsaan. Dalam praktek di lapangan banyak batas-batas sosial ini tidak pernah tampak secara lengkap.

Berbeda dengan fenomena lain yang dapat dicermati pada berbagai daerah akhir-akhir ini, misalnya dengan munculnya berbagai konflik intra dan antar kelompok etnik dan agama yang berbeda-beda di berbagai daerah, merupakan satu di antara indikator yang dapat digunakan sebagai petunjuk bahwa nilai-nilai kekeluargaan belum mengakar, tumbuh dan berkembang secara luas. Kondisi nilai-nilai kekeluargaan tersebut di atas secara umum masih mengalami hambatan atau kendala-kendala untuk diaktualisasikan dalam kehidupan nyata.

Lebih jauh kondisi masyarakat tersebut, dapat memberikan dampak pada proses asimilasi itu, sehingga menjadi belum berjalan optimal seperti yang diharapkan. Terjadinya konflik antar etnik di Kalimantan Barat, sedikitnya telah terjadi 11 (sebelas) kali, sebagai contoh konflik antara Dayak-Madura, muncul akhir tahun 1996, dan antara Melayu-Madura muncul pada awal tahun 1997, serta antara Dayak-Cina terjadi tahun 1970 an dan terjadi pengusiran antara penduduk lokal (Dayak, Melayu) dengan sebagian warga transmigran Jawa petani sawit, di


(12)

Sepauk Sintang (1998). Kejadian ini tidak dipublikasi (pengamatan penulis pada saat penelitian di daerah tersebut ).

Munculnya konflik-konflik tersebut secara garis besar ditengarai disebabkan oleh berbagai faktor antara lain: interaksi sosial lintas etnik yang kurang harmoni, terbatasnya sumber-sumber ekonomi di suatu daerah, kurangnya pemahaman anggota masyarakat terhadap budaya antar etnik, dan kurang mampunya masing-masing anggota masyarakat untuk berkompetisi secara sehat dan masih adanya sekat-sekat hubungan lintas etnik sehingga dapat menghambat proses asimilasi di antara anggota masyarakat. Faktor-faktor ini pula yang diduga memiliki kontribusi yang signifikan, sehingga mampu menjadi penghambat terjadinya asimilasi lintas etnik yang ada di desa Rasau Jaya, sehingga hal itu belum berjalan optimal.

Berikut ini dipaparkan data keadaan jumlah penduduk dan jumlah warga yang melakukan asimilasi lintas etnik di desa Rasau Jaya, kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat.

TABEL I.1.

KEADAAN JUMLAH PENDUDUK DAN WARGA YANG MELAKUKAN ASIMILASI LINTAS ETNIK DI DESA RASAU JAYA

No. Jenis Etnik Jumlah

Penduduk

Jumlah Warga Kawin Campur

Persentase (%)

1. Melayu-Jawa Timur - 24 -

2. Daya-Jawa Timur - 44 -

3. Melayu 102 - -

4. Dayak 180 - -

5. Jawa-Timur 6752 - -

Total 6572 68 1,007

Monograp desa Rasau Jaya, 2010.

Dari data di atas menunjukkan bahwa proses asimilasi lintas etnik, khususnya Melayu-Jawa Timur dan Dayak-Jawa Timur di desa tersebut baru mencapai angka


(13)

1,007 %. Besaran angka ini adalah tergolong relatif masih kecil jika dibandingkan dengan lamanya proses permukiman warga trans yang sampai saat ini sudah 38 tahun lamanya.

Dengan nilai-nilai kekeluargaan yang dimiliki sebagian masyarakat kita, dimungkinkan dapat diaktualisasikan berdasarkan ikatan cinta kasih, saling percaya, gotong royong, dan saling menghargai, sehingga filsafat Jawa yang menunjukkan tingginya komitmen sosial yang diungkapkan dalam kata hikmah” mangan ora mangan ngumpul”, yang merupakan nilai komitmen dan perjuangan yang tidak kenal menyerah, justru dianggap sebagai kepasrahan. Padahal kata itu merupakan terjemahan dari hikmah kenabian bahwa al-muslimu lil muslimi ka bunyaanin waahidin, yang saling menopang, saling merasakan suka, dan duka ditanggung dan dihadapi bersama.

Dari sini ukhuwah islamiyah dan solidaritas sosial terbangun. Tetapi hal ini, oleh keilmuan modern disalah pahami sebagai paham organisme yang berdasarkan pada Darwinisme sosial. Komitmen perjuangan ini, merupakan nilai kekeluargaan, nilai-nilai komunal tempat bersemayamnya solidaritas dan cinta kasih antara manusia yang perlu ditumbuh kembangkan dalam masyarakat plural seperti di daerah Kalimantan Barat.

Humanisme yang telah memuncak pada rasa individualisme di sebagian anggota masyarakat seperti sekarang ini, berdampak pada pemikiran manusia yang telah memandang saudaranya sebagai lawan, benar-benar telah terjadi, sehingga tidak lagi ada rasa pengabdian, pengorbanan dan tolong menolong. Perilaku ini


(14)

telah menghancurkan bangunan harmoni sosial, kejahatan telah mewarnai seluruh aspek kehidupan yang dilakukan oleh dan terhadap siapa saja.

Dalam masyarakat individual yang atomistik, orang tidak lagi peduli pada yang lain, sehingga humanisme yang diharapkan membawa keluhuran budi telah mengarah pada dehumanisasi, karena terkalahkan oleh individualisme yang egois dan serakah. Sementara etika sosial hanya akan berjalan bila ada kontrol sosial. Hal ini bisa terjadi bila masyarakat yang bersangkutan hidup dalam satu komunitas dalam sistem kekeluargaan. Sedangkan kelompok seperti itu baru terbentuk bila terdiri dari keluarga-keluarga yang memiliki nilai kekeluargaan, ada intimasi, kehangatan dan kerja sama yang diikat oleh nilai kasih sayang.

Manusia modern menjadi teralienasi, kesepian, mengalami kesendirian karena berbagai kesibukan, sehingga mengabaikan keluarga sebagai tempat berlabuh, sebagai pembinaan pribadi sosial, dan pembudayaan makhluk alam dan sekaligus sebagai makhluk beragama.

Fenomena lain yang menyangkut nilai-nilai kekeluargaan di masyarakat Amerika dapat di cermati dari tulisan Khaula Shah (2010: 5-6), seperti berikut ini: “…In USA, now only 25% of children are living in conventional families

with bothbiological parents. Children suffer the greatest damage from broken homes. All stories are not tragic but when you look at the information as aggregate the case is over whelming. The number of fatherless children is constantly on a rise. In 1960 17.5% of children were living without their fathers. Despite the increase in medical technology and life expectancy, in 1990, 36.3% of children were living away from their fathers. David Blankenhorn calls this trend “Fatherless America” and “Fatherless society”. What is the cause of this growing trend which is predicted to rise to 50% in the early part of the 21st century? David Blankenhorn in his book

Fatherless America traces the origins of youth violence, domestic violence

against women, child sexual abuse, teenage pregnancy and many of the psychiatric problems in adolescents to broken families and fatherlessness. In


(15)

my opinion, the phenomenon of broken families and fatherlessness is closely related to loss of value of chastity in the society.

Let us examine some other consequences of broken family system. Nathaniel Branden quotes, Robert Reasoner, former superintendent of a school district in California, in his book, Six pillars of self-esteem. “Over 50 percent of students have already seen a family change a separation, a divorce, or a remarriage; in many districts, by high school 68 percent are not living with their two original parents. Twenty-four percent are born out of wedlock and have never known a father. Twenty-four percent are born bearing the residual effects of their mother's abuse of drugs. In California, 25 percent will be either sexually or physically abused before they finish. high school. “… Where as in 1890, 90 percent of the children had grandparents living in the home, and in 1950 40 percent living in the home, today the figure is down to 7 percent; so there is far less of a support system. As to the emotional life of young people, consider these figures. Thirty to 50 percent will contemplate suicide. Fifteen percent will make a serious attempt to kill themselves. Forty-one percent drink heavily every two-three weeks. Ten percent of girls will become pregnant before they finish high school. Thirty percent of boys and girls will drop out of school by the age of eighteen (Khaula Shah, 2010: 5-6).

Di Amerika Serikat, sekarang hanya 25% dari anak-anak tinggal dalam keluarga dengan orang tua konvensional. Anak-anak menderita, kerusakan terbesar berasal dari keluarga berantakan. Semua cerita ini tidak tragis tetapi ketika anda melihat informasi sebagai agregat, kasus ini mencuat ke permukaan. Jumlah anak-anak yatim terus meningkat. Pada tahun 1960, 17,5% dari anak-anak hidup tanpa ayah mereka, meskipun ada peningkatan dalam teknologi kedokteran dan harapan hidup. Pada tahun 1990 tercatat 36,3% anak yang tinggal jauh dari nenek moyang mereka. David Blankenhorn menyebutnya tren "berayah Amerika" dan "masyarakat yatim". Apa penyebab dari kecenderungan yang diperkirakan meningkat menjadi 50% di bagian awal abad ke-21? David Blankenhorn dalam bukunya ”yatim Amerika” menelusuri asal-usul kekerasan remaja, kekerasan dalam rumah tangga terhadap perempuan, pelecehan seksual anak, kehamilan remaja dan banyak masalah kejiwaan pada remaja untuk keluarga rusak dan tidak berayah (fatherlessness).

Menurut pendapat saya, fenomena keluarga rusak dan tidak berayah terkait erat dengan hilangnya nilai kesucian dalam masyarakat. Mari kita periksa beberapa konsekuensi lain dari sistem keluarga yang berantakan. Nathaniel Branden mengutip, Robert Reasoner, mantan pengawas sekolah sebuah distrik di California, dalam bukunya, ”Enam Pilar Harga Diri”. "Lebih dari 50 persen siswa telah melihat perubahan adanya pemisahan keluarga, perceraian, atau pernikahan kembali, di banyak kabupaten, pada sekolah tinggi tercatat 68 persen tidak hidup dengan dua orang tua mereka sendiri. Dua puluh empat persen yang lahir di luar nikah dan tidak pernah mengenal ayah. Dua puluh empat persen (24 %) dilahirkan akibat dari penyalahgunaan obat oleh ibu mereka. Di California, 25 persen terhindar dari pelecehan seksual atau fisik sebelum mereka selesai


(16)

SMA. "... Sedangkan pada tahun 1890, 90 persen dari anak-anak, kakek-nenek tinggal di rumah, dan tahun 1950 tersisa 40 persen tinggal di rumah, dari angka itu turun menjadi 7 persen, sehingga keadaan itu jauh lebih sedikit dari sistem pendukung. Seperti pada kehidupan emosional anak muda, menganggap angka-angka ini menggambarkan bahwa: tiga puluh (30) sampai lima puluh persen (50 %) persen akan bunuh diri. Lima belas persen (15%), akan melakukan perbuatan serius untuk bunuh diri. Empat puluh satu persen minum banyak setiap dua-tiga minggu. Sepuluh persen dari anak perempuan akan menjadi hamil sebelum mereka menyelesaikan sekolah tinggi. Tiga puluh persen anak laki-laki dan perempuan putus sekolah pada usia delapan belas tahun (Khaula Shah, 2010: 5-6).

Dengan kata lain nilai-nilai kesucian keluarga yang penuh dengan kasih sayang, kehangatan, harmoni, saling asah, asih, asuh, semakin hari semakin memprihatinkan. Hal ini jika tidak dilakukan upaya-upaya yang serius akan cenderung semakin meningkat dan berpengaruh terhadap pembangunan karakter suatu masyarakat. Keluarga harus berdiri di depan untuk memberikan keteladanan di berbagai aspek, baik nilai persatuan, nilai moral yang baik, musyawarah dan mufakat, kekerabatan dan solidaritas yang tinggi. Keluarga harus menjadi pilar utama pembangunan nilai-nilai yang luhur ini.

Itulah sebabnya agama menyerukan untuk menjadi diri, menjaga keluarga, tetapi jangan sampai mengabaikan tanggung jawab dan pergaulan sosial, dengan demikian berbagai kewajiban sosial menjadi beban dan tanggung jawab pada setiap muslim, untuk menjaga nilai kekeluargaan dan kolektifitas/kejamaahan. Memang Islam tidak berarti tanpa ada jamaah/pengikut dan hal itu akan kehilangan fungsi tanpa adanya pemimpin dan tokoh umat, yang kemungkinan hilangnya peran pimpinan kalau tidak ada kesetiaan dari anggota. Ini merupakan terjemahan operasional dari bunyanin wahid (bangunan tunggal).

Membangun masyarakat yang maju dan sejahtera dalam Islam justru harus berangkat dari nilai-nilai kekeluargaan. Solidaritas sosial dan komitmen


(17)

kemanusiaan hanya akan terwujud dalam komunitas yang harmoni dan terintegrasi. Integrasi sosial selanjutnya akan terbentuk dari sistem nilai atau kosmologi yang ada di komunitas itu. Dengan adanya persatuan sosial itu akan terbentuk pula integrasi nasional. Maka pembangunan keluarga sebagai komunitas terkecil itu memiliki kaitan makro dengan pembangunan bangsa.

Keluarga yang harmoni akan membentuk masyarakat yang damai dan integratif. Kemasyarakatan yang bersatu ini akan mengejawantah dalam kebangsaan yang kokoh pula. Bangsa yang terintegrasi akan tangguh menghadapi situasi apapun, dan akan mampu membangun berbagai kemajuan, ketika masing-masing elemen saling menopang. Sementara bangsa lain tengah berusaha menghidupkan kembali nilai kekeluargaan sebagai sarana memperkuat persatuan nasional, maka sangat aneh kalau bangsa ini justru meninggalkan nilai-nilai kekeluargaan. Di sinilah pentingnya agama kembali mendesakkan nilai-nilai tersebut, sebagai sarana untuk mengatasi kekeringan dan kekacauan kehidupan modern.

Keberadaan konflik yang selalu menyatu dengan proses kehidupan masyarakat, lebih disebabkan bahwa pertentangan itu bersumber pada eksistensi manusia yang melakukan interaksi sosial. Dengan demikian munculnya perselisihan paham menurut Suseno (1992: 201-202) bukan kenyataan empirik, melainkan suatu realitas yang bersifat esensial (Tim Peneliti Untan, 2000). Interaksi sosial dapat dilihat sebagai tindakan-tindakan yang saling pengaruh mempengaruhi antara dua orang atau lebih. Dalam hal interaksi silang antar etnik, maka tindakan-tindakan itu dapat dikenali sebagai interaksi antar identitas etnik.


(18)

Konflik antar etnik dapat dipahami di antaranya dengan mengenali identitas etnik. Identitas ini merupakan sebuah nilai sosial kemasyarakatan yang melekat pada para pendukung kebudayaan. Identitas etnik bersifat askriptif. Sesuatu yang bersifat turun temurun. Seseorang dapat dikenali identitasnya melalui tanda pengenalnya yang umum dan mendasar, berdasar tempat dan dari mana asal-usulnya (Barth, 1997: 13).

Tiap-tiap etnik memiliki nilai-nilai kekeluargaan sebagai nilai-nilai dasar kehidupan bersama dari suatu kelompok yang telah diikat oleh tali perkawinan baik antar sesama etnik maupun lintas etnik. Dilihat dari fungsinya nilai-nilai tersebut adalah bersifat esensial universal dalam memaknai upaya manusia membangun kesinambungan dan kelangsungan hidupnya sebagai anggota warga masyarakat yang memiliki eksistensi dan kehangatan dalam menjalani hidup sehari-hari. nilai itu dapat juga disebut dengan original family values. Nilai-nilai ini dikatakan original karena merupakan Nilai-nilai-Nilai-nilai hakiki yang bersifat universal, ada dalam setiap keluarga etnik apapun, yang seharusnya ditumbuh kembangkan dan tetap lestari pada setiap kelompok etnik yang ada dimanapun mereka berada. Hal ini dimaknai sebagai suatu nilai-nilai yang mampu menjadi perekat proses integrasi sosial suatu kelompok (within group), dan juga antar kelompok masyarakat (between group) yang bersifat multikultur yang ada di persada tanah air kita ini.

Nilai-nilai kekeluargaan yang murni/original yang dimaksud, menurut Ki Hajar Dewantara (1962: 381) meliputi :


(19)

1. Perasaan dan keinginan untuk bersatu atau berkumpul (sence of integrated) Persatuan diri dengan masyarakat, persatuannya “kawula lan gusti” lambang persatuan rakyat yang merdeka.

2. Nilai moral dan norma yang kuat/tertib dan damai, yang berdimensi budaya, agama, ilmu, hukum/politik.

3. Musyawarah dan mufakat (oriental democracy). 4. Kekerabatan (kinship).

5. Solidaritas (murah hati).

Nilai-nilai tersebut di atas bersifat laten dan potensial ada pada setiap manusia termasuk etnik manapun, baik etnik Dayak, Melayu dan juga Jawa Timur dan juga nilai –nilai tersebut menjadi unsur perekat yang kuat dan menjadi harapan sebuah keluarga yang berhasil dalam menghadapi kehidupan yang penuh dengan tantangan dan juga peluang untuk meraih sukses dan kebahagiaan.

Dayak sebagaimana masyarakat umum menyebut dan menulis, dalam disertasi ini peneliti gunakan sebagai sebutan pergaulan yang merupakan istilah kolektip untuk masyarakat asli Kalimantan. Hal tersebut telah mengalami peningkatan dalam konflik antar etnik ini, sebagaimana halnya terjadi pada kelompok etnik lain dan juga agama di berbagai daerah Indonesia. Gejala ini antara lain bersumber pada perbedaan etnis, agama dan bahasa. Perihal ini dinyatakan oleh Mauneti Yekti (2004:1-3) dalam sebuah buku berjudul Identitas Dayak. Ia menjelaskan bahwa kebungkaman yang panjang pada masa Pemerintahan Orde Baru terhadap isu suku, agama, dan ras akhirnya luluh lantak ketika konflik-konflik etnis, dan keagamaan menjadi makanan masyarakat sehari-hari di berbagai belahan tanah air Indonesia.

Etnik Melayu dapat juga dikatakan sebagai indigeneous people di Kalimantan Barat. Adanya istilah Melayu melekat dengan keberadaan masyarakatnya yang mengalami pertumbuhan dan perkembangan. Sejak abad ke 7 (tujuh), dimana


(20)

seorang bernama I-Tsing telah menyebut MO-LO-YOE- atau MO-LO-YOU (Bakran Suni, dkk, 2007: 13). Arti istilah Melayu cukup beragam, di antaranya Melayu berarti laju, cepat, deras, dan tangkas.

Darus Ahmad menyatakan arti kata Melayu bermakna pohon gaharu, yang harum baunya. Orang India menyebut tanah semenanjung Melayu sebagai Negeri Gaharu. Istilah Melayu digunakan untuk nama-nama suku yang tersebar di daerah tanah Melayu dan Sumatera (Md. Zain Haji Serudin, 1998: 81). Provencher mengatakan, kata Melayu berakar dari kata layu yang berarti layar, bisa juga diartikan layu/berkerut (shrivelled), atau disalai/diasapi/smoked ( Pabali, 2003: 9).

Melayu juga dapat disebut sebagai kelompok etnik asli ”indigeneous” Kalimantan. Melayu dan juga Dayak, merupakan “Proto-Malayo-Polinesia” (Andaya, 1998; Adelar, Blust, Nothofer dan Collin, 2000). Melayu artinya penduduk asli Kalimantan Barat yang bermigrasi ke Sumatra melalui Tambelan dan mereka kembali telah memeluk Islam dan bernama Melayu.

Masyarakat transmigran desa Rasau Jaya adalah warga pendatang yang berasal dari Jawa Timur (Surabaya, Bojonegoro, Lamongan, Jember dan Malang) yang telah bermukim sejak tahun 1973 dan berasimilasi di desa Rasau Jaya Kalimantan Barat. Warga desa Rasau Jaya, yang akan menjadi informan kunci adalah satu keluarga Dayak-Jawa Timur, satu keluarga Melayu-Jawa Timur, dan satu keluarga Dayak-Melayu.

Aktivitas pengiriman transmigran dari pulau Jawa sudah dikenal bukan hanya pada pasca masa kemerdekaan, akan tetapi telah dimulai sejak masa kolonial


(21)

Belanda. Mereka dapat dikelompokkan kedalam 3 jenis kelompok pendatang, yaitu transmigran: swakarsa berbantuan, swakarsa mandiri, dan penuh. Mereka pada umumnya yang direkrut dengan benar, asal usulnya adalah petani, atau memiliki jiwa wirausaha/enterpreneurship, memiliki etos kerja sebagai petani yang tangguh, dan relatif mampu beradaptasi dengan berbagai situasi kehidupan yang baru. Namun demikian, banyak di antara mereka yang tidak berhasil dan banyak juga di antara mereka yang menjadi tunawisma, karena sejak awal masa rekrutmen dipaksakan untuk memenuhi kuota suatu proyek berdasarkan jumlah warga yang harus diberangkatkan ke tempat wilayah permukiman transmigrasi yang telah ditetapkan pemerintah. Dalam penelitian ini penulis memfokuskan pada warga transmigran penuh dengan bantuan pemerintah.

Pemilihan subyek penelitian ini didasari pada anggapan bahwa mereka yang bermigrasi keluar dari daerahnya, sedikit banyak sudah memiliki bekal mental dan ketrampilan yang memadai sesuai potensi yang mereka miliki karena ada pelatihan khusus bagi calon warga trans. Sehingga kelak berbagai kemungkinan yang akan terjadi di permukiman yang baru, mereka akan hadapi dengan penuh pertimbangan yang matang dan lebih mantap.

Banyak penjelasan yang kita cermati dari para pakar tentang hubungan antar etnik yang bisa menimbulkan gelombang konflik antar etnis dan kelompok-kelompok sosial yang berkembang di Indonesia akhir-akhir ini, dengan berbagai alasan yang berbeda-beda. Sebagian ahli berpendapat bahwa kerusuhan dan bentrok fisik yang terjadi dipicu oleh para provokator. Ada sementara kalangan


(22)

menyatakan bahwa kerusuhan ini didukung oleh pihak militer (Mauneti, 2004:1-2).

Alasan yang lain karena bersifat ekonomis. Dengan alasan ini, para pakar melihat adanya kesenjangan antara sumber-sumber yang tersedia tidak seimbang dengan keadaan kebutuhan penduduk yang jumlahnya relatif lebih banyak.

Bagaimanapun isu tentang etnik dan agama merupakan isu-isu yang sensitif, yang dengan mudah dapat dimanipulasi, dan mudah dieksploitir untuk memicu reaksi-reaksi emosional dan kadangkala bersifat brutal serta meresahkan masyarakat. Dengan berbagai budaya kelompok masyarakakat yang ada di berbagai daerah/kabupaten di tanah air, khususnya desa Rasau Jaya kabupaten Kubu Raya, sejak pasca kemerdekaan setelah usai revolusi fisik tahun 1973 an, telah mengalami pasang surut dalam transformasi nilai-nilai sosial dan budaya, termasuk di dalamnya proses asimilasi nilai-nilai kekeluargaan antara berbagai etnik yang terlihat belum berjalan secara optimal. Bagaimana hal ini dapat terus berlangsung dalam kehidupan masyarakat yang berjalan dinamis dan mengalami perubahan dari waktu ke waktu, hal ini diperlukan pengkajian secara ilmiah.

Interaksi sosial kemasyarakatan dalam berbagai komunitas yang multikultur bagaimanapun akan mengalami berbagai tantangan, dan mungkin juga kendala-kendala baik secara psikologis maupun secara sosiologis. Kondisi seperti ini memerlukan upaya-upaya berbagai pihak khususnya berbagai kelompok etnis yang ada dan hidup di desa Rasau Jaya kabupaten Kubu Raya, untuk saling memahami satu dengan yang lain agar mereka dapat hidup layak dan sejahtera. Kehidupan para transmigran bersama penduduk setempat selama ini memerlukan


(23)

perjuangan untuk saling percaya, saling mengerti identitas masing-masing sesuai nilai moral dan norma yang berlaku dan tetap berperilaku sesuai harapan masyarakat. Mereka dalam keadaan apapun, akan saling tergantung satu sama lain, saling membutuhkan, dan akan saling melengkapi.

Dalam setiap proses sosial seperti dikatakan oleh Park (1950) di sana akan melalui tahapan-tahapan dalam melakukan interaksi, yang mencakup kontak sosial/komunikasi, kompetisi, akomodasi dan akhirnya akan membangun asimilasi. Hubungan nilai-nilai kekeluargaan antara etnik Dayak, Melayu dan Jawa Timur, dalam membangun proses asimilasi lintas etnik di Kabupaten Kubu Raya menurut pengamatan penulis mengalami suatu dinamika, dan terlihat belum berjalan optimal.

Fenomena tersebut sama halnya dengan yang terjadi dalam hubungan antar berbagai etnik khususnya Dayak, Melayu dengan Etnik Madura yang telah mengalami berbagai gejolak, dan bahkan mengalami konflik berdarah di berbagai kecamatan dan kabupaten di Provinsi Kalimantan Barat khususnya dan demikian halnya hubungan antara berbagai kelompok dan etnik di berbagai provinsi di Indonesia, dimana akhir-akhir ini menunjukkan gejolak yang memprihatinkan. Konflik yang terjadi cenderung bersifat horizontal dan bersifat internal. Untuk itulah proses asimilasi ini dianggap sebagai suatu terapi dari masalah krusial tentang nilai kekeluargaan untuk dapat dilakukan suatu pengkajian secara ilmiah dan mendalam dalam disertasi ini.

Dalam menuju proses perpaduan berbagai budaya kelompok untuk mencapai integrasi nasional yang sempurna, proses asimilasi nilai-nilai kekeluargaan,


(24)

melalui hubungan sosial antara etnik Dayak, Melayu, dan Jawa Timur, bagaikan satu mata uang yang memiliki dua sisi. Sisi yang satu yaitu nilai kekeluargaan masyarakat lokal, tidak akan berfungsi secara optimal manakala tidak dilengkapi oleh sisi mata uang yang lainnya yaitu nilai kekeluargaan budaya pendatang yaitu transmigran Jawa Timur. Demikian halnya proses asimilasi nilai-nilai kekeluargaan akan semakin menguat dan mampu berkembang, manakala berbagai etnik yang hidup di desa Rasau Jaya Kubu Raya, dapat menjalani kehidupan sehari-hari dalam tatanan sosial-budaya yang beraneka ragam, dan bersifat “given”. Masing-masing individu etnik tinggal menjalani, namun sebagai manusia tetap memiliki nalar, dan kehidupan ini berlangsung dalam permukiman warga masyarakat yang relatif membaur antara satu dengan yang lain.

Kelompok warga Dayak dan Melayu sudah ada dan hidup jauh di masa lalu yaitu menurut catatan yang bisa dipercaya berabad-abad lamanya sebelum warga transmigran Jawa bermigrasi swakarsa datang ke Rasau Jaya Kabupaten Kubu Raya. Dalam literatur tentang Melayu dijelaskan bahwa nama Melayu berasal dari nama kerajaan Mo-lo-yue pada tahun 644 dan 645 Masehi ditulis dalam Kronik Dinasti Tang di Cina (Sinan, 2001: 2). Dengan demikian bagaimanakah terjadinya proses asimilasi nilai-nilai kekeluargaan dalam masyarakat multikultur itu, merupakan pertanyaan yang menarik untuk dilakukan penelitian ilmiah untuk dapat menjelaskannya.

Mungkin tidak seorangpun tahu siapa yang mula-mula merencanakan pola permukiman transmigrasi yang demikian itu, hingga saat ini dan juga tidak seorangpun tahu pasti kapan pola permukiman seperti itu mampu mendorong


(25)

proses adaptasi sosial budaya tentang nilai-nilai kekeluargaan antara masyarakat lokal dan pendatang di desa Rasau Jaya Kabupaten Kubu Raya Kalimantan Barat itu, menjadi suatu permukiman yang abadi dan menjadi tempat kehidupan, untuk meraih masa depan para transmigran Jawa Timur. Hanya yang Maha Penciptalah yang tahu pasti akan berakhirnya kehidupan ini. Proses asimilasi nilai-nilai kekeluargaan dari bebagai macam latar etnik yang berbeda akan menghasilkan integrasi masyarakat, juga kompetisi antar kelompok dan kemungkinan munculnya konflik akan selalu ada dan akan dihadapi oleh manusia baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat. Keduanya dapat mengakibatkan hal-hal yang bermanfaat dan juga dapat mengakibatkan kehancuran.

Menurut para ahli, berbagai fenomena dan atau gejolak kehidupan umat manusia seperti yang dipaparkan di atas tidak bisa dipisahkan dari keberadaan nilai-nilai moral yang hidup dan berkembang di masyarakat sekitarnya. Dalam hal ini mereka membagi nilai moral menjadi 2 kelompok, yaitu nilai-nilai nurani (values of being), dan nilai-nilai memberi/values of giving (Elmubarok, 2008: 7).

Nilai nurani/kerohanian, pada tingkatan ini terdapat nilai yang suci dan tidak suci. (Rohmat, 2004: 38-39). Sementara kata nilai moral, memiliki arti bahwa benar tidaknya perbuatan seseorang ditentukan oleh sejauh mana perbuatan orang tersebut dapat memberi keberuntungan/manfaat baik bagi dirinya maupun orang banyak. Moral luck/moral yang menekankan manfaat, terkait dengan etika utilitarianisme, yaitu teori teleologis universalis karena kelompok utilitarian menilai betul salahnya tindakan manusia ditinjau dari segi manfaat atau sesuatu


(26)

yang menguntungkan akibatnya. Larangan berbuat korupsi adalah lebih baik dibandingkan dengan tindakan melakukan korupsi.

Menurut Max Scheller, nilai-moral dalam kenyatannya ada yang tinggi dan ada yang lebih rendah (Rohmat Mulyana, 2004: 38-39). Untuk itu ia membuat hirarki nilai-moral sebagai berikut :

a. Nilai Kehormatan, berhubungan dengan sederetan nilai yang menyenangkan dan akibatnya orang merasa bahagia.

b. Nilai Kehidupan, menyangkut nilai-nilai yang penting bagi kehidupan. Misalnya, kesehatan, kesegaran badan, dan kesejahteraan umum, serta kekeluargaan.

c. Nilai Kejiwaan, pada tingkatan ini terdapat nilai kejiwaan yang sama sekali tidak tergantung pada keadaan jasmani atau lingkungan. Misalnya, keindahan, kebenaran, dan pengetahuan murni yang dicapai melalui filsafat.

d. Nilai kerohanian, pada tingkatan ini terdapat nilai yang suci dan tidak suci (Rohmat,2004: 38-39).

Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa keberadaan nilai-nilai moral yang ada dalam suatu masyarakat termasuk nilai-nilai kekeluargaan, berkaitan dengan upaya manusia untuk menentukan benar tidaknya tindakan seseorang berdasar pada standar yang berlaku. Keberadaan dan kehidupan perkembangan nilai kekeluargaan yang hidup di dalam keluarga, serta masyarakat dirasakan sangat penting dan mendasar, karena hal ini akan dapat memberikan sebesar-besarnya manfaat/keuntungan baik bagi seseorang, kelompok, atau masyarakat, yang kelak sangat berguna bagi kehidupan mereka dalam membangun masyarakat dan bangsa ini yang damai dan sejahtera. Nilai-nilai kekeluargaan berdasar penggolongan Rohmat Mulyana (2004: 38-39), maka hal itu termasuk dalam nilai kehidupan.


(27)

Sebagian ahli beranggapan bahwa perbuatan baik dan atau buruk yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok, yang berlangsung di suatu waktu dan tempat tertentu, selalu bersifat parsial (Konrad Kebung, 2008,72). Kaum Relatifisme nilai-moral memiliki pandangan, bahwa nilai-moral itu bersifat relatif, karena berhubungan dengan preferensi (sikap, keinginan, ketidaksukaan, perasaan, selera, kecenderungan), baik terkait secara sosial maupun pribadi (Loren Bagus, 2005,718). Ada pepatah yang sangat populer yang melegenda dalam masyarakat kita yaitu yang berbunyi lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya. Ketika kita berbicara kebudayaan Timur, karena memang ada kebudayaan Barat. Hal yang demikian itulah yang mencerminkan tentang relatifisme moral yang ada di masyarakat, baik masyarakat lokal, nasional, regional maupun global (Bertens.K, 2001: 11).

Demikian halnya dengan berbagai etnik yang ada di lokasi transmigrasi, yang mencakup berbagai budaya, menghadapi fenomena kehidupan baru, nilai moral baru. Bagaimana nilai moral ini dipersepsikan oleh masing-masing individu dan juga kelompok para transmigran Jawa Timur dan penduduk lokal (Dayak dan Melayu), dalam berinteraksi satu dengan yang lain. Apakah mereka mampu beradaptasi satu dengan yang lain, dan bagaimana pada tahap lebih lanjut mereka mampu berasimilasi. Hal ini adalah sangat menarik perhatian untuk dikaji dan dilakukan suatu penelitian dalam desertasi ini.

Selanjutnya Berten. K. membuat klasifikasi kecenderungan perbuatan manusia menjadi 3 (tiga) macam, yaitu :


(28)

2) Perbuatan-perbuatan yang tidak layak dikerjakan; dan

3) Perbuatan-perbuatan yang boleh dikerjakan dan boleh tidak mengerjakan (Puspoprojo,1999: 21-22 ).

Dalam kaitan pandangan di atas nilai kekeluargaan termasuk ke dalam perbuatan-perbuatan yang selayaknya dikerjakan oleh siapapun termasuk warga lokal dan transmigran Jawa Timur, karena dengan perbuatan yang layak atau pantas untuk dilakukan maka masyarakat ini akan menjadi teratur, damai, dan sejahtera. Sebaliknya jika masyarakat lokal dan para transmigran melakukan hal-hal yang tidak layak, maka masyarakat akan resah, kacau dan mengalami malapetaka, dan kehancuran.

B. Rumusan Masalah Penelitian

Dari uraian pada bagian latar belakang penelitian di atas, maka kajian ini di arahkan untuk menganalisis proses asimilasi nilai-nilai kekeluargaan yang terjadi antara etnik Dayak dengan Jawa, etnik Melayu dengan Jawa, dan Etnik Dayak dengan Melayu, yang dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah proses asimilasi nilai kekeluargaan antara masyarakat Melayu-Jawa, Dayak-Jawa dan Dayak-Melayu di desa Rasau Jaya, Kabupaten Kubu Raya Kalimantan Barat.

2. Kendala apa sajakah yang muncul dalam proses asimilasi lintas etnik di desa Rasau Jaya ?

3. Bagaimanakah upaya yang dilakukan Kepala Desa dan tokoh masyarakat untuk mengatasi hambatan-hambatan proses asimilasi nilai kekeluargaan di desa Rasau Jaya ?


(29)

C. Tujuan Penelitian

1. Umum.

Merujuk pada perumusan fokus penelitian di bagian terdahulu maka tujuan penelitian ini adalah untuk menghasilkan gagasan dan pengembangan teori tentang proses asimilasi nilai kekeluargaan antara etnik Dayak, Melayu, dan Jawa, di desa transmigran Rasau Jaya, Kubu Raya Kalimantan Barat.

2. Khusus.

Secara khusus tujuan penelitian ini diarahkan pada hal-hal sebagai berikut:

a. Mengidentifikasi dan mendiskripsikan serta menganalisis secara sistematis proses asimilasi nilai kekeluargaan lintas etnik antara masyarakat Melayu, Dayak, dan Jawa, di desa transmigran Jawa Timur Rasau Jaya.

b. Mendiskripsikan dan menganalisis berbagai kendala dalam proses asimilasi nilai kekeluargaan lintas etnik di desa Rasau Jaya.

c. Mengeksplorasi secara mendalam tentang upaya kepala desa dan tokoh masyarakat untuk mengatasi hambatan proses asimilasi nilai kekeluargaan lintas etnik di desa Rasau Jaya.

D. Manfaat Penelitian

Kegunaan atau manfaat penelitian yang dilakukan oleh penulis meliputi dua macam manfaat, yaitu:


(30)

1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis kajian ini dapat mengembangkan gagasan, teori-teori dan pengembangan model proses asimilasi nilai kekeluargaan lintas etnik, antara etnik Dayak, Melayu, dan Jawa di desa transmigran Jawa Timur, Rasau Jaya Kalimantan Barat.

2. Manfaat Praktis

Secara praktis kajian ini dapat menjadi acuan para pengambil keputusan, dan para ilmuan, serta akademisi yang bergelut dengan asimilasi nilai kekeluargaan lintas etnik, yang hidup dan berkembang di masyarakat Indonesia dan dunia intenasional yang bersifat multikultur. Dengan memahami berbagai unsur yang memberikan kontribusi dan yang menghambat terbentuknya asimilasi nilai kekeluargaan diharapkan dapat dilakukan sosialisasi yang efektif dan upaya-upaya lainnya oleh para penentu kebijakan yang saling terkait, baik di sekolah, keluarga dan masyarakat.

E. Metode Penelitian

Untuk menjawab fokus penelitian ini, maka studi ini akan diarahkan pada analisis tentang asimilasi nilai-nilai kekeluargaan masyarakat lokal (Dayak dan Melayu) dengan masyarakat Jawa, yaitu transmigran dari Jawa Timur, yang bermukim di desa Rasau Jaya. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan fenomenologik-naturalistik, dengan metode induktif. Jenis penelitian ini yaitu deskriptif, kualitatif. Rancangan penelitian ini yaitu kualitatif, digunakan sebagai pendekatan utama, yang meliputi sejumlah strategi penelitian yang memiliki sejumlah sifat tertentu, yang diambil dari serangkaian asumsi yang saling


(31)

berhubungan yang bersifat khas paradigma penelitian kualitatif (Bpgdan and Biclen, 1992; Mustafa dalam Alwasilah, 2008: 26; Iskandar, 2009: 17).

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik langsung, yang diperoleh melalui berbagai instrumen penelitian yaitu menggunakan wawancara mendalam, pengamatan/observasi terstruktur dan dokumen–dokumen yang relevan. Data yang terkumpul akan dianalisis dan dideskripsikan serta dihubungkan antara gejala yang satu dengan yang lain.

F. Lokasi dan Sampel 1. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini dimaksudkan sebagai tempat dimana penelitian ini dilakukan. Penelitian ini berlokasi di desa Rasau Jaya, dimana di tempat ini para transmigran dari Jawa Timur ditempatkan. Desa Rasau Jaya saat ini bermukim selain warga trans, ada juga warga Melayu, Dayak, Madura dan Cina. Alasan pemilihan desa ini sebagai lokasi penelitian adalah pertama, di desa ini telah bermukim berbagai etnis, khususnya Melayu, Dayak, dan warga Trans Jawa Timur, yang menjadi fokus penelitian; Kedua, desa ini merupakan desa transmigrasi yang telah mengalami perkembangan secara fisik, sosial dan budaya. Dari aspek bangunan, desa ini telah mampu merubah diri dari desa pertanian menjadi desa pusat perniagaan atau perdagangan setingkat kota kecamatan, yang memiliki daya tarik tersendiri; Ketiga, dari aspek budaya desa ini telah mampu menjadi pusat pertemuan berbagai kultur dan berbagai etnik, yaitu Melayu, Dayak, dan Jawa.; Keempat, telah terjadi proses asimilasi lintas


(32)

etnik antara Melayu-Jawa, Dayak-Jawa, dan Melayu-Dayak yang menjadi sumber data dalam kajian ini.

2. Sampel Penelitian

Sampel adalah bagian dari populasi. Dalam penelitian kualitatif tidak menggunakan istilah populasi tetapi Spradley menggunakan istilah “social situation” (Sugiyono, 2010: 300). Situasi sosial terdiri dari tiga elemen, yaitu tempat, pelaku, dan aktivitas yang berinteraksi secara sinergis. Situasi sosial dapat berupa, keluarga di rumah dengan aktivitasnya, orang-orang yang sedang ngobrol di sudut jalan, di tempat kerja, di kota, desa, di sekolah dan semacamnya.

Situasi sosial seperti yang dipaparkan Spradley, dapat digambarkan berikut

ini.

Tempat/place

Pelaku/actor Aktivitas/action

Gambar 1.1. Situasi sosial menurut Spradley (Sugiyono, 201: 298). Sampel yang dijadikan sumber data dalam penelitian ini, ditentukan

dengan menggunakan teknik purposive samplyng, dimana peneliti memilih subyek penelitian yang sesuai dengan kriteria yang ditetapkan seperti berikut ini.


(33)

a. Sebuah keluarga yang dibangun dari awal sampai saat ini, adalah berasal dari seseorang di antara para pasangan yang dipilih berasal dari transmigran Jawa Timur desa Rasau Jaya, dan seseorang di antara para pasangan yang lain berasal dari daerah tetangga yang ada di sekitarnya atau di luar kecamatan Rasau Jaya.

b. Sebuah keluarga lintas etnis yang memulai masa perkenalan/pacaran dan kemudian menikah, di desa Rasau Jaya dan saat sekarang ini juga bertempat tinggal di desa yang sama.

Dari kriteria tersebut di atas maka ditetapkan sampel penelitian ini, sebagai berikut:

1) Pasangan Darmadi-Sulastri, mewakili etnik Melayu-Jawa. 2) Kusrianto-Emilia mewakili, warga trans Jawa-Dayak, dan, 3) Putra-Nurhayati mewakili Dayak dan Melayu.

4) Sumarni, tokoh informal Jawa, mantan kepala desa Rasau Jaya. 5) Sukamto,ST, mewakili tokoh formal, kepala desa masih aktip. 6) H. Ali As.,SH, tokoh Adat Dayak dari Putussibau.

7) H. Uti Khasbullah Laram, SH., tokoh Melayu dari Ketapang. 8) Drs.H. Sudarto, mewakili praktisi ahli etnik Jawa, berdomisli di


(34)

112 BAB III

METODE PENELITIAN

Penelitian ini berbentuk penelitian naturalistik, artinya suatu kegiatan pengamatan yang mendalam dan terus menerus terhadap gejala sosial yang bersifat alamiah (nature). Hasil interaksi antar manusia itu dideskripsikan (descriptive model), dan dihubungkan satu dengan yang lain sesuai fakta di lapangan (empiris), sehingga membentuk makna-makna yang bersifat kualitatip. Pendekatan ini dimaknai sebagai upaya memahami fenomena-fenomena dimana manusia yang saling berhubungan itu membentuk pengalaman-pengalaman yang perlu ditampakkan oleh peneliti melalui bahasa , sikap dan perilaku mereka dalam keseharian. Untuk itu pendekatan seperti ini disebut dengan pendekatan fenomenologis (Iskandar, 2009: 204-209).

A. Desain, Lokasi dan Subyek Penelitian 1. Desain Penelitian

Desain atau rancangan penelitian ini dimaksudkan sebagai cetak biru suatu kegiatan penelitian agar dapat diperoleh pemahaman yang utuh tentang subyek penelitian. Rancangan kegiatan ilmiah ini menggunakan skema naturalistik, deskriptif, dengan menggunakan metode induktip, dengan pendekatan fenomenologik (Bogdan Bicklen, 1992; Chaedar A.W., 2008: 25; Iskandar, 2009: 17; Engkus K., 2009: 29-38). Hal ini dimaknai bahwa peneliti berusaha memahami fenomena yang terjadi pada subyek penelitian


(35)

secara holistik melalui penampakkan/gejala, pengalaman subyek melalui bahasa, sikap dan perilaku yang diperlihatkan.

2. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini dimaksudkan sebagai tempat dimana penelitian ini dilakukan. Setting penelitian ini berlokasi di desa Rasau Jaya, tempat bermukimnya para transmigran dari Jawa Timur, sejak tahun 1973. Desa tersebut saat ini telah berkembang dan juga dihuni selain warga trans, yaitu etnik Melayu, Dayak, Madura dan Cina.

Alasan pemilihan desa ini sebagai lokasi penelitian adalah pertama, di desa ini telah bermukim berbagai etnis, khususnya Melayu, Dayak, dan warga trans Jawa Timur yang telah berasimilasi dan hal ini menjadi fokus dalam penelitian ini; kedua, desa ini merupakan desa transmigrasi yang telah mengalami perkembangan secara pisik, sosial dan budaya, yang sangat berarti bagi pembangunan bangsa. Secara pisik, desa ini telah mampu membangun dirinya dari desa pertanian menjadi desa pusat perniagaan tingkat kecamatan atau perdagangan yang memiliki daya tarik tersendiri; ketiga, dari aspek budaya, desa ini telah mampu menjadi pusat pertemuan budaya berbagai etnik, yaitu Melayu, Dayak, Jawa, Cina, dan Madura; keempat, di tempat ini telah terjadi proses asimilasi lintas etnik antara Melayu-Jawa, Dayak-Jawa, dan Melayu-Dayak, meskipun masih tergolong sangat kecil yaitu sekitar 1,007%, yang menjadi fokus dalam penelitian ini.


(36)

3. Subyek Penelitian

Subyek penelitian sebagai sumber data penelitian yang menggunakan pendekatan kualitatip dapat berupa manusia, latar (setting), kejadian (events) dan proses (processes). Pendekatan ini memiliki berbagai karakteristik. Lebih jauh dapat dipaparkan bahwa penentuan subyek sebagai sumber data perlu dilakukan agar terfokus pada sasaran penelitian. Oleh karena itu fokus dan pertanyaan penelitian harus selalu dirujuk ulang agar esensi penelitian dan ranah penelitian tidak jauh menyimpang, sehingga sulit dikendalikan (Alwasilah, 2008: 146).

Sebagian ahli menjelaskan bahwa “in qualitative research, the subjects are people interviewed and found in the research setting” (dalam penelitian kualitatif, subjek adalah manusia yang di interview dan terdapat pada lokasi penelitian (Bogdan and Biklen, 1992).

Dalam menentukan informan sebagai sample penelitian fenomenologi Cresswell John.W. menyarankan syarat-syarat sebagai berikut:

a. Informan biasanya berada dalam satu lokasi.

b. Informan adalah orang yang mengalami secara langsung peristiwa yang menjadi fokus perhatian.

c. Informan mampu untuk menceritakan kembali peristiwa yang telah dialaminya.

d. Bersedia menjadi informan dalam penelitian dimaksud (Kuswarno, 2008: 62).

Dalam penelitian ini, subjek penelitian (nama disamarkan) yang menjadi sumber data adalah keluarga Melayu (Pura-Nur), keluarga Dayak-Jawa (Emi-Kusri), dan keluarga Melayu-Dayak-Jawa (Dardi-Sutri), sebagai sumber


(37)

data utama dan sejumlah tokoh masyarakat Dayak, Melayu dan Jawa, sebagai sumber data pendukung.

a. Kriteria Pemilihan Subyek Penelitian

Penentuan subyek penelitian ini menggunakan teknik purposif sampling, artinya pemilihan sampel ditetapkan sesuai dengan tujuan penelitian, yaitu diarahkan untuk mengeksplorasi, mengeksplanasi proses asimilasi nilai kekeluargaan lintas etnik, yang terjadi pada keluarga Melayu-Jawa, Dayak-Jawa dan Melayu-Dayak, berdasarkan kriteria atau indikator dengan memenuhi hal-hal berikut:

1) Keluarga yang dibangun dari awal sampai saat ini adalah berasal dari para pasangan yang berasal dari transmigran Jawa Timur di Desa Rasau Jaya dan seseorang di antara para pasangan yang lain berasal dari daerah tetangga yang ada di sekitarnya atau di luar Kecamatan Rasau Jaya.

2) Keluarga lintas etnis yang memulai masa perkenalan/pacaran dan kemudian menikah di desa Rasau Jaya dan saat sekarang ini juga bertempat tinggal di Desa Rasau Jaya.

Dengan kriteria sampel seperti tersebut di atas, maka ditetapkanlah sampel penelitian yang digunakan dalam penelitian ini. Untuk itulah peneliti melakukan wawancara dan observasi secara mendalam dengan menggunakan teknik seperti tersebut di atas. Pada mulanya peneliti bersama pemandu penelitian (orang sumber), menentukan sebuah pasangan yang disesuaikan dengan kriteria yang


(38)

ditetapkan. Dengan kriteria tersebut pemandu penelitian ini (At) menunjukkan tempat tinggal sepasang suami isteri yang dianggap memenuhi syarat. Untuk meyakinkan apakah pasangan tersebut telah memenuhi persyaratan atau belum, maka pada kesempatan tersebut dilakukan wawancara dan observasi dengan seksama dan mendalam yang terkait dengan perihal persyaratan tersebut.

Pertanyaan yang diajukan pada saat penjaringan subyek penelitian berkenaan dengan hal-hal sebagai berikut:

a) Identitas masing-masing pasangan, yang meliputi nama, jenis kelamin, asal daerah, tempat tanggal lahir, tingkat pendidikan, pekerjaan, tanggal perkawinan, jenis etnik, lama berdomisili di desa Rasau Jaya, jumlah anak, dimana terjadi perkenalan pertama, dan dimana dilakukan perkawinan.

b) Dari jawaban para informan tersebut tentang pertanyaan- pertanyaan yang diajukan peneliti, maka pada saat itu juga dapat diyakinkan/ditetapkan bahwa yang bersangkutan dapat dimasukkan sebagai sampel peneltian ini atau tidak. Demikian seterusnya, proses selanjutnya berjalan secara tahap demi tahap untuk menentukan sampel penelitian yang diperlukan sehingga pada saat ini telah ditetapkan sampel sebagai berikut :

(1) Pasangan Melayu–Jawa Timur diwakili oleh Dardi dan Sutri.


(39)

(3) Pasangan Dayak–Melayu diwakili oleh Pura dan Nur. berdomisili di desa tetangga Rasau Jaya Utama, yang merupakan desa tertua sebelum proyek desa transmigrasi ini dibangun.

b. Kriteria Pemilihan Tokoh Formal dan Informal

Penentuan tokoh formal dan informal ditentukan berdasarkan sampel purposif. Hal tersebut dilakukan dengan alasan sebagai berikut: (a) Penentuan tokoh dalam penelitian ini didasarkan pada kemampuan

yang dimiliki orang tersebut tentang pengetahuan dan pengalaman langsung kehidupan keetnisan yang menjadi kompetensinya. (b) Tokoh tersebut berstatus etnik yang diwakilinya.

(c) Tokoh tersebut secara luas diakui oleh masyarakat, bahwa yang bersangkutan memang layak disebut tokoh masyarakat karena memiliki kepribadian dan perilaku yang dapat diteladani oleh masyarakat luas, khususnya identitas etnik yang dimiliki.

Berdasarkan kriteria tersebut di atas maka dapat ditetapkan tokoh formal dan informal sebagai berikut:

(1) Skt, sebagai kepala desa aktif dianggap tepat untuk dimintai informasi penting tentang perkembangan asimilasi nilai kekeluargaan yang berlangsung di Desa Rasau Jaya, sesuai dengan pengamatan beliau.

(2) Smn tokoh informal Jawa, mantan kepala desa Rasau Jaya, dalam penelitian ini bertindak sebagai tokoh informan kunci tentang peran


(40)

tokoh masyarakat yang memahami proses asimilasi yang terjadi di daerah ini.

(3) Al. As, tokoh informal /masyarakat Dayak, bertindak sebagai expert practicioner/opinion lahir tgl. 12-02-1928, di Putussibau, tergolong berpengetahuan luas tentang adat-istiadat kehidupan Dayak. Beliau adalah mantan bupati Kapuas Hulu, mantan ketua DPRD Kalimantan Barat, dan berbagai jabatan Kepala Dinas Kebudayaan dan Museum Kalimantan Barat. Yang bersangkutan bertindak sebagai praktisi ahli tentang nilai-nilai kekeluargaan masyarakat Dayak. Dalam penelitian ini ia berperan sebagai expert opinion atau expert practisioner, dimana peneliti mengkonfirmasikan hasil penelitian sebagai upaya validasi data atau triangulasi temuan penelitian tentang nilai-nilai kekeluargaan yang diperoleh dari informan kunci warga Dayak, dan Melayu dengan warga trans Jawa Timur, untuk diminta pendapat dan pemikirannya tentang hal tersebut. Dengan masukan-masukan yang diperoleh dari expert opinion tersebut, maka data penelitian ini lebih dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Dengan kata lain tingkat kredibilitas dan konfirmabilitas data hasil penelitian ini tergolong sesuai dengan realitas di lapangan.

(4) Lrm, tokoh adat Melayu, bertindak sebagai expert practisioner/opinion, lahir tanggal 8-3-1943 di Ketapang, dan berdomisili di Ketapang. Beliau alumni sekolah hakim jaksa di


(41)

Malang tahun 1966. Ia bertindak sebagai expert practisioner/opinion untuk ahli adat-istiadat dan pengalaman hidup ke Melayuan. Kepada beliau peneliti meminta pendapatnya tentang hasil-hasil penelitian yang menyangkut asimilasi nilai-nilai kekeluargaan dalam keluarga Melayu dengan warga trans Jawa Timur yang diperoleh dari para informan kunci di lapangan. Yang bertindak sebagai expert opinion untuk memvalidasi data

hasil penelitian, diantaranya adalah Al As, tokoh agama/ahli hukum adat (mantan dosen luar biasa di Fakultas Hukum) berasal dari Putussibau; Lrm, tokoh Adat Melayu penduduk asli dari Ketapang; Sdt sebagai mantan guru sejarah di SMA negeri maupun swasta di Kota Pontianak.

Dari persyaratan sampel yang disarankan oleh Creswell, Bogdan dan Biklen (1982), maka sampel yang dipilih dalam penelitian ini tergolong sudah memenuhi kriteria yang dipersyaratkan.

B. Definisi Operasional

Definisi operasional dimaksudkan sebagai penjelasan istilah yang digunakan dalam variabel penelitian, yang berfungsi sebagai batasan agar penelitian ini terarah pada tujuan. Dalam penelitian ini istilah-istilah yang digunakan yang perlu diberi penjelasan adalah:

1. Asimilasi dalam penelitian ini adalah perkawinan campur antara etnik Melayu-Jawa, Dayak-Melayu-Jawa, dan Dayak-Melayu. Asimilasi dimaknai sebagai proses menjadi sama. Asimilasi suatu proses saling menyesuaikan dari 2 atau lebih


(42)

kelompok etnik, yang membentuk budaya baru (Abecrombie.N., et.all.,1984: 14).

2. Nilai Kekeluargaan dimaksudkan sebagai seperangkat nilai yang dimiliki dan dipraktekkan dalam kehidupan keluarga kawin campur lintas etnik seperti tersebut di atas.

Nilai-nilai kekeluargaan yang dimaksud meliputi: a. Rasa persatuan dalam keluarga.

b. Nilai moral norma / NMNr yang baik. c. Musyawarah dan mufakat.

d. Kekerabatan, dan,

e. Solidaritas atau murah hati (Ki Hajar Dewantara, 1962: 380-393). 3. Desa Rasau Jaya, adalah sebuah desa transmigrasi di Kabupaten Kubu Raya,

Kalimantan Barat yang menjadi lokasi penelitian.

4. Tokoh masyarakat, adalah seseorang yang memiliki kemampuan di bidang kemasyarakatan, sehingga yang bersangkutan ditokohkan warga di sekitarnya untuk menyuarakan perihal nilai kemasyarakatan yang dianggap penting. 5. Lintas etnik, dimaksudkan sebagai kawin campur antara etnik, yaitu antara

warga Melayu dengan warga Jawa, warga Dayak dengan Jawa, dan warga Dayak dan Melayu di Desa Rasau Jaya.

C. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian dalam suatu kajian ilmiah, memegang peranan begitu penting untuk menghasilkan data yang diperlukan dalam rangka pemecahan suatu masalah.

“ Instrumen penelitian dalam penelitian kualitatif adalah peneliti sendiri. Oleh karena itu peneliti harus divalidasi sejauh mana peneliti siap atau mampu melakukan penelitian dan kemudian terjun ke lapangan. Peneliti kualitatif sebagai human instrument, berfungsi menentukan fokus


(43)

penelitian, memilih informan, mengumpulkan data, menilai kualitas data, analisis data, dan menafsirkan data serta mengambil kesimpulan atas temuan-temuan penelitian (Lincoln Guba, 1986; Sugioyono, 2010: 306). Sejalan pendapat di atas, Nasution (1988), menyatakan bahwa ketika fokus penelitian sudah jelas dan pasti, maka peneliti dapat mengembangkan instrumen sederhana yang dapat melengkapi data yang perlukan. Peneliti terjun ke lapangan sendiri baik pada tahap wisata pertanyaan, maupun tahap focused dan seleksi, pengumpulan data, analisis dan membuat kesimpulan.

D. Proses Pengembangan Instrumen

1. Pengembangan Panduan Wawancara dan Observasi

Proses pengembangan instrumen dalam penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahapan. Pertama, berdasar perumusan masalah yang menjadi fokus penelitian, maka dirumuskan daftar pedoman wawancara dan observasi, yang meliputi aspek-aspek tingkatan asimilasi, yaitu meliputi tahapan akulturasi, struktural, amalgamasi/biologis dan aspek identifikasi/psikologis. Daftar wawancara ini dilengkapi dengan pedoman observasi atau pengamatan dengan aspek-aspek yang sama dengan panduan wawancara. Daftar wawancara dan observasi penelitian ini menjadi satu kesatuan, alasannya adalah ketika peneliti melakukan wawancara dengan para informan peneliti sekaligus mengobservasi hal-hal yang terjadi pada saat itu dan terlampir pada daftar lampiran instrumen atau alat bantu penelitian.


(44)

Kisi-kisi panduan wawancara tingkatan asimilasi:

No. Fokus Penelitian Aspek Pertanyaan

1. Kultural Transportasi, pekerjaan, bahasa, sistem perkawinan, kesenian, sistem pengetahuan

1,2,3,4, dan 5 Halaman 274- 275.

2. Struktural Sistem kekerabaran, kegiatan ekonomi, hubungan

personal/kelompok

1,2,3, dan 4. Halaman 275- 276

3. Amalgamasi/Biologis Ketertarikan secara pisik antar calon pasangan, penampilan yang menarik calon pasangan.

1,2,3,4, dan 5. Halaman 276 4. Identifikasi/Psikologis Aspek kejiwaan yang menarik

antar calon pasangan, saling memahami perbedaan antar calon pasangan

1,2, dan 3. Halaman 277.

Daftar kisi-kisi tingkatan asimilasi dan nilai-nilai kekeluargaan ini dimaksudkan untuk memberikan arah pada jalannya proses penelitian, agar penelitian tidak sampai melebar dan menyimpang sehingga tidak menyentuh substansi aspek yang menjadi fokus penelitian.

Kisi-kisi panduan wawancara Nilai Kekeluargaan :

No. Fokus Penelitian Aspek Pertanyaan

1. Persatuan keluarga Rasa persatuan, cinta kasih murni, menghambakan diri, persatuan diri dengan

masyarakat, persatuan kawula lan gusti.

a,b,c,d,dan e. Halaman 278.

2. NMNr Membina: nilai moral,

nilai-nilai keluarga, aturan-aturan keluarga, aturan berdasar cinta kasih,

a,b,c,dam d. Halaman 278. 3. Musyawarah/mufakat Keterbukaan suami-istri,

persamaan hak suami-istri, saling menghargai.

a, b, dan c. Halaman 279. 4. Kekerabatan Hak kuajiban suami-istri,

mamak dan kemanakan

a, dan b. Halaman 278. 5. Solidaritas/kemurahan

hati

Berbagi rasa, turut serta mersakan masalah keluarga, menghargai anggota lain.

a, b, dan c. Halaman 279.


(45)

2. Pengembangan Panduan Observasi

Pengembangan panduan observasi tidak bisa dilepaskan dengan panduan daftar wawancara, karena hal-hal yang diobservasi berpusat pada fokus penelitian. Dengan demikian aspek-aspek yang diobservasi meliputi aspek akulturasi, struktural, amalgamasi/biologis, dan aspek psikologis atau identifikasi. Daftar panduan observasi dapat dilihat pada daftar lampiran instrumen penelitian. Dalam penelitian kualitatif, pelaksanaannya sering menggabungkan teknik observasi partisipatif dengan wawancara mendalam dan pencataan dokumen yang terkait dengan fokus penelitian. Selama melakukan observasi peneliti juga melakukan wawancara kepada para informan yang diteliti, dan sekaligus pencatatan dokumen-dokumen yang terkait.

Kisi-kisi panduan observasi tingkatan asimilasi :

No. Fokus Penelitian Aspek Ceklist

Ada Tdk ada 1. Kultural Transportasi,

pekerjaan, bahasa, sistem perkawinan, kesenian, sistem pengetahuan ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... 2. Struktural Sistem kekerabaran,

kegiatan ekonomi, hubungan, personal/kelompok ... ... ... ... ... ... ... ... 3. Amalgamasi Ketertarikan secara pisik

antar calon pasangan, penampilan yang menarik calon pasangan,

... ...

... ... 4. Identifikasi/psokologis Aspek kejiwaan yang

menarik antar calon pasangan,

saling memahami perbedaan antar calon pasangan,

... ...

... ...


(46)

Kisi-kisi panduan observasi Nilai Kekeluargaan:

No. Fokus Penelitian Aspek Ceklist

Ada Tdk ada 1. Persatuan keluarga Rasa persatuan,

cinta kasih murni, menghambakan diri, persatuan diri dengan masyarakat,

persatuan kawula lan gusti. ... ... ... ... ... ... ... ... ... ...

2. NMNr Membina: nilai moral,

nilai-nilai keluarga, aturan-aturan keluarga, aturan berdasar cinta kasih, ... ... ... ... ... ... ... ... 3. Musyawarah/mufakat Keterbukaan suami-istri,

persamaan hak suami-istri, saling menghargai. ... ... ... ... ... ... 4. Kekerabatan Hak kewajiban

suami-istri, mamak dan kemanakan,

... ...

... ... 5. Solidaritas/kemurahan

hati

Berbagi rasa,

turut serta merasakan masalah keluarga, menghargai anggota lain.

... ... ... ... ... ... 3. Pengembangan Teknik Dokumentasi

Pengembangan teknik dokumentasi ditujukan pada fokus penelitian. Teknik dokumentasi dalam penelitian ini meliputi telaah dokumen yang terkait dengan proses asimilasi nilai-nilai kekeluargaan lintas etnik, referensi yang relevan(buku-buku teks, jurnal, majalah, dan sumber internet) dan pembuatan foto para informan, serta dokumen kawin campur di Rasau Jaya. Dalam hal ini penulis menganalisis dokumen-dokumen kawin campur lintas etnik Melayu, Dayak, dan Jawa, yang telah terjadi sejak permukiman warga trans Jawa itu, terjadi di Rasau Jaya


(47)

Kabupaten Kubu Raya. Data dokumen tentang kawin campur dan gambar-gambar para responden dapat dilihat pada daftar lampiran disertasi ini.

Pengembangan ketiga instrumen dalam penelitian ini dimaksudkan agar dapat diperoleh data yang akurat tentang fokus penelitian sehingga berbagai data yang berhasil dihimpun melalui pengembangan instrumen tersebut di atas dapat memenuhi syarat ilmiah dan data yang dihimpun menjadi lebih akurat. Seperti yang dijelaskan oleh Susan Stainback (1988), bahwa triangulasi teknik pengumpulan data dimaksudkan ‘ ... the aim is not to determine the truth about some social phenomenon, rather the purpose of trianggulation is to increase one’s understanding of what ever is being investigated ‘ ( Sugiyono, 2010: 330). Triangulasi teknik dalam penelitian kualitatif ditujukan untuk untuk lebih memberikan pemahaman peneliti terhadap hasil temuan di lapangan.

Kisi-kisi panduan dokumentasi tingkatan asimilasi:

No. Fokus Penelitian Aspek Ceklist

Ada Tdk ada

1. Kultural Transportasi,

pekerjaan, bahasa sistem perkawinan, kesenian, sistem pengetahuan ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ...

2. Struktural Sistem kekerabaran,

kegiatan ekonomi, hubungan, personal/kelompok ... ... ... ... ... ... ... ...

3. Amalgamasi Ketertarikan secara pisik

antar calon pasangan,

penampilan yang menarik calon pasangan.

... ...

... ...

4. Identifikasi Aspek kejiwaan yang

menarik antar calon pasangan,

saling memahami perbedaan antar calon pasangan

... ...

... ...


(48)

Data dokumentasi ini dimaksudkan untuk memperkuat data yang diperoleh dari hasil wawancara dan observasi. Dengan demikian dapat diketahui tentang credibality dan confirmability antara data dari hasil wawancara, observasi dan dokumentasi.

No. Fokus Penelitian Aspek Ceklist

Ada Tdk ada 1. Persatuan keluarga Rasa persatuan,

cinta kasih murni, menghambakan diri, persatuan diri dengan masyarakat,

persatuan kawula lan gusti. ... ... ... ... ... ... ... ... ... ...

2. NMNr Membina: nilai moral,

nilai-nilai keluarga, aturan-aturan keluarga, aturan berdasar cinta kasih, ... ... ... ... ... ... ... ... 3. Musyawarah/mufakat Keterbukaan suami-istri,

persamaan hak suami-istri, saling menghargai. ... ... ... ... ... ... 4. Kekerabatan Hak kewajiban

suami-istri, mamak dan kemanakan,

... ...

... ... 5. Solidaritas/kemurahan

hati

Berbagi rasa,

turut serta merasakan masalah keluarga, menghargai anggota lain.

... ... ... ... ... ... E. Teknik Pengumpulan Data dan Alasannya

Teknik pengumpulan data merupakan faktor penting dalam rangka menghimpun data penelitian dari para informan. Ada sejumlah teknik yang dapat digunakan dalam penelitian ini, antara lain berupa teknik langsung dan teknik tidak langsung. Dalam penelitian ini, peneliti menerapkan kedua teknik tersebut. “Direct techniques adalah teknik komunikasi langsung (wawancara), observasi,


(49)

dan kunjungan lapangan, serta teknik dokumentasi, dimana peneliti terjun langsung ke lokasi penelitian. Penggunaan ketiga teknik dalam penelitian ini sekaligus berfungsi sebagai trianggulasi alat pengumpul data agar data yang diperoleh dari sumber informasi dapat dipertangggungjawabkan (Wiliam Wiersma, 1986; Sugiyono, 2008: 273).

Teknik dokumentasi dalam penelitian ini dimaksudkan sebagai proses perekaman terhadap berbagai peristiwa yang terkait dengan asimilasi nilai-nilai kekeluargaan dalam kehidupan keluarga Dayak-Melayu, Melayu–Jawa, dan Dayak-Jawa dengan menggunakan tape recorder/IC recorder dan dilengkapi dengan handicam/video program. Sementara itu, wawancara (interview) lebih difokuskan pada penelusuran identitas informan/pasangan kawin silang, wawancara pengungkapan secara mendalam proses asimilasi nilai-nilai kekeluargaan dengan berbagai faktor yang mempengaruhi, wawancara pengungkapan peran tokoh masyarakat dalam mendorong proses asimilasi lintas etnik, serta hal ihwal mengenai proses implementasi nilai-nilai kekeluargaan dalam kehidupan keluarga (values realization/actualization process). Penggunaan panduan wawancara, panduan observasi dan penggunaan dokumentasi dimaksudkan sebagai ”teknik triangulasi”, pengumpul data dalam penelitian ini agar dapat diperoleh data yang benar dari sumber informasi, yang dapat digambarkan dalam diagram berikut:


(50)

Teknik Wawancara Teknik Observasi Partisipan

Teknik dokumentasi

Gambar 2. Triangulási Alat Pengumpul Data dari William Wiersma (1986) (Sugiyono, 2008: 274)

F. Pendekatan yang Digunakan

Untuk menjawab masalah penelitian ini maka studi ini akan difokuskan pada analisis tentang asimilasi nilaI-nilai kekeluargaan lintas etnik yaitu antara masyarakat lokal ( Dayak dan Melayu) dengan masyarakat pendatang yaitu transmigran dari Jawa Timur. Pendekatan yang digunakan dalam kajian ini adalah pendekatan fenomenologik/kualitatif dengan metode deskriptif. Data yang diperoleh dengan berbagai alat bantu/instrumen yaitu menggunakan wawancara mendalam, pengamatan/observasi sistematik dan juga dokumen–dokumen yang relevan, dengan proses asimilasi nilai-nilai kekeluargaan lintas etnik. Data yang berhasil dihimpun dideskripsikan, dan dianalisis serta dihubungkan antara variabel yang satu dengan yang lain, untuk memperoleh gambaran yang utuh tentang fokus penelitian ini.

Pendekatan penelitian kualitatif adalah suatu desain penelitian yang berusaha memahami dan menafsirkan tentang makna dari suatu pendapat, sikap dan perilaku yang ditampilkan subyek penelitian dalam suatu situasi menurut pemahaman peneliti sendiri (Bogdan dan Biklen,1982:31). Pendapat yang lain menjelaskan bahwa penelitian kualitatif merupakan suatu penelitian yang berusaha mengamati orang-orang dalam suatu lingkungan, melakukan interaksi dengan


(51)

informan, dan berusaha memahami pernyataan ungkapan perasaan, sikap dan perilaku mereka dalam kehidupan keseharian (Nasution, 1996: 5). Jenis penelitian ini digunakan sebagai pendekatan utama. Penelitian kualitatif ini, meliputi sejumlah strategi penelitian yang memiliki sejumlah sifat tertentu, yang diambil dari serangkaian asumsi yang saling berhubungan yang bersifat khas paradigma penelitian kualitatif (Mustafa dalam Alwasilah, 2008: 26).

Penelitian kualitatif memiliki asumsi-asumsi filosofis yang berdasar pada : a. Realitas dibangun secara sosial, karena realitas (pengetahuan) adalah

sesuatu yang dibentuk, demikian halnya dengan asimilasi nilai kekeluargaan lintas etnik.

b. Realitas asimilasi nilai kekeluargaan dibangun secara kognitif sehingga realitas tidak dapat dipisahkan dari peneliti.

c. Seluruh entitas selalu dalam keadaan yang saling mempengaruhi dalam proses pembentukan secara serentak, dan,

d. Peneliti tidak bisa dipisahkan dari subyek ditelitinya, dengan demikian maka penelitian itu selalu terikat pada nilai-nilai, khususnya nilai-nilai kekeluargaan yang menjadi fokus penelitian ini.

Pendekatan kualitatif yang digunakan dalam penelitian ini, bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis tentang proses Asimilasi Lintas Etmik di Desa Rasau Jaya Kabupaten Kubu Raya Kalimantan Barat, yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

1) mempunyai latar alamiah,

2) peneliti sendiri sebagai instrumen, 3) analisis data dilakukan secara induktif,


(1)

Susanto, A.S. (1984). Sosiologi Pembangunan, Jakarta: Bina Cipta.

Poeloengan. L.Y.,(2002). Kewenangan Pusat dan Daerah dan Paradigma Baru Ketransmigrasian Pada Era Otonomi Daerah, Jakarta, Depnakertrans. Rivaie,W. dan Bahari Y. (1989). Dampak Sosial Ekonomi HTI Trans Beduai,

Kabupaten Sanggau.

Rivaie, W. (2007). Pengendalian Sosial Dalam Masyarakat Multikultural Kecamatan Sebangki Kabupaten Landak, Pontianak: FKIP Untan.

Sada, C,. (2010), Filsafat Kehidupan Orang Dayak Sebagai Tema Gawai Internasional di Sabah Serawak,(diselenggarakan bulan Juni 1994). Salahuddin. ( 2002). Setawar Sedingin, Sebuah Model Resolusi Konflik

Masyarakat Adat Bengkulu, Yogyakarta: Tesis UGM.

Samodra, W. (1994). Kebijakan Publik Proses dan Analisis, Jakarta: Intermedia. Sarjono.M.A. (1992). Paham Jawa, Jakarta: Swadaya

Satia,M.R., (2003). Analisis Alternatif Kebijakan Resolusi Konflik Antara Etnik Dayak-Madura di Sampit Kalimantan Tengah, Yogyakarta: Tesis UGM. Sauri S. dan Herlan F., (2010). Meretas Pendidikan Nilai, Bandung: Arfino Raya. Sauri, S. (2006). Membangun Komunikasi dalam Keluarga, Kajian Nilai Religi,

Sosial, dan Edukatip, Bandung: Genesindo.

Smith, A. (1987). Etnic Origin and Nations, New York: Blackwell

Simmel, G. (1965;1964). The Metropolis and Mental Life, New York: Free Press. Soekanto.S., (2004). Sosiologi Keluarga, Jakarta: Rineka Cipta

Sudagung, H.S., (1984). Migrasi Swakarsa Orang Madura ke Kalimantan, Yogyakarta: Disertasi UGM.

Sugiyono, (2007). Metode Penelitian Kuantitatip, Kualitatip dan R&D, Bandung: Alfabeta.

---, (2010). Metode Penelitian Pendidikan, Pendekatan Kuantitatip,Kualitatif, dan R&D, Bandung: Alfabeta.


(2)

Suseno.M., (1989). Etika Dasar, Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral, Yogyakarta: Kanisus.

Sutaryo, (1977). Sosiologi, Suatu Pengantar, Yogyakarta: UGM.

Suwarsono dan Alvin Y.SO, (1991). Perubahan Sosial Dan Pembangunan di Indonesia, Jakarta: LP3ES

Tenas, Efendy, (2006). Tunuk Ajar Melayu,Yogyakarta: Mitra Gama Widya. The Macquarie University. (1985). The Macquarie Dictionary, Australia: NSW. Tim Peneliti Untan, (2000). Konflik Sosial di Kalimantan Barat, Pontianak:

Universitas Tanjungpura.

UPI. (2009). Pedoman Penulisan Karya Ilmiah, Bandung.

Vembriarto. (1987). Sosiologi Pendidikan, Yogyakarta: Paramita

Watson, C.W.,(2000). Multiculturalism, Philadepia: Open University Press. Weber, Max, (1930). The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism, New

York.

Wiese, V. (1982). Systematic Sociology, New York.

Zakaria, M. (1357 H). Fadhail A’mal, Delhi,India: Idara Isya’at Diniyyat. ..., (1357 H). Karakter dan Keberanian, Batam Centre: Interaksara.

Sumber Internet :

http/www.com.htm.(2002). Pengendalian Sosial, Jakarta: Pikiran Rakyat.

---, (Maret 2006). Pengendalian Sosial Melalui Agama, Aceh: Institut Organization Dalam opini Sulaiman.

---, (September 2004). Pengendalian Sosial Melalui Adat Puun Dalam Suku Baduy, Jakarta: Kompas.

---, (1992). Pengendalian Sosial, Koencaraningrat. ---, ( 1986). General Theory of Love, Steinberg.


(3)

http://www.nu.or.id.kekerabatan/page.php.news_view&news_id.

http//www.nurturingparenting.com.98. (2009). Developing Family Morals and Values; Developing Family Rules, Session 12.,p.98-103., Journal.

Ingerakan_antikultus@yahoogroups.com, "Nilai Kekeluargaan Milik Para Pemilik Modal Bukan Kaum Buruh [Online], Juli 2010.

Koentjaraningrat.http://www.pkesinteraktif.com/content/view//lang,id. Laman, Sejenis. (2005). ModalSosial, Jakarta: http://www.archive.com.

Mun’im, A. DZ. (1908). Menumbuhkan Semangat Kekerabatan, NU,[Online], 12 Desember 2010.

Tony,Wen. NilaiKekeluargaan.http://www.archive.com/tionghnet@yahoo.group. daownload (Juni, 2010).

www.lirs.org, Women’s Commission for Refugee Women and Children, Locking Up Family Values:The Detention of Immigrant Families 1,February,2007

New York: Lutheran Immigration and Refugee Service

Widodo, N. dan Suradi, (2004). Penelitian Profil Dan Peranan Organisasi Lokal Dalam Bangunan Masyarakat,[Online]. http/www. Depsos.go.id., tanggal 1 Juli 2010, Balitbang Depsos.

---, (2004). Kerusuhan Antar Etnis, Rusmin, Jaenal Aripin, Imam.S.

---, ( 2004). Pembangunan Komunitas Peduli Anak, Anwar Sitepu, Jakarta Barat.

---, (2005). Lembaga Sosial Dalam Usaha Meningkatkan Ketahanan Sosial. ---, (2000). Studi Sosial Budaya Komunitas`Osing Banyuwangi, Suradi. ---, (2007). Modul Pemberdayaan Masyarakat Adat, IRE, Yogyakarta. Wikipedia, (2009). Asimilasi Sosial, http//wapedia.mobi/id.

Sumber dari Majalah :

Aswandi, (2007). Integritas Seorang Pemimpin, Pontianak Post (April 2007). Majalah Duta (Februari, 1997). Sanggau Ledo Rusuh, Pontianak.


(4)

Majalah Forum (Maret,1997). Laporan Lengkap Kerusuhan di Kalimantan Barat, Jakarta.

JURNAL :

Anagnostou,Y. (2003). Model Americans Quintessensiatial Greeks: Etnic Succes and Assimilation in Diaspora, US: The Ohio State University.

Ann,M. et.all. (2009). Journal Article-Report Research, Young Adult Relationship Values at the Intersection of Gender and Sexuality, August. vol.71., No3. p. 510-525.

Deborah, R.G. and Daniel, T.L. (2002). Marriage Among Unwed Mother: whites, Blacks, and Hispanics Compared, Vol. 34 (6), p. 286-293, Pensilvania: State University.

---, Perspectives on Sexual and Reproductive Health, New York: NY 10005, 34 (6), November / Desember (2002). p.286-293.

Forbes,S.H. (1996). Values in Holistic Education, 28 JUNI, London: University of Alabama, the Roehampton Institute; p.1-9.

Freienfels, M.W. (1987). Cohabitation and Marriage Law a Comparative Study of International Journal of Law, Policy and the Family, October 1, Vol. 1, p. 259-294.

Ismail, A. C.L.W.and Abdullah. A.G.K. (2003). The Impact Of Principal’s Transformational Leadership Style on Teachears’ Job Satisfaction and Commitment, International Journal of Leadership.

Johnes, J.T. (2009). Identifikasi Nilai Kekeluargaan Mapalus-Minahasa, 2-3.

Kantarevic, J. (2004). Inter Etnic Marriage and Economic Assimilation of Immigrant, Bonn: Univ.of Toronto, Discussión Paper, No. 1142

Kulczycki, A. and Arun Peter Lobo, (2002). Pernikahan dan Keluarga, No. 202, (64), Feb., 202-210. Universitas Alabama-Birmingham Lobo, New York City: Departemen Perencanaan Kota

---, Patterns, Determinants, and Implications of Intermarriage Among Arab Americans, Journal of Marriage and Family, (2002). New York: January, V.64., p.202-210.

Meng, X. and Robert G. Gregory. (2002). Juli, Intermarriage and The Economic Assimilation of Immigrants, Australian National University. *


(5)

Neils, H. (2009). What is Values-Based Education, Oxford: United Kingdom, West Kishlington School, p.1-3.

Pelly, U. (1997). Masalah Asimilasi Keturunan Cina, Sebuah Gugatan

Sosiokultural, dalam analisis CSIS, Tahun XXIII,No 1, Jakarta:

Januari-Februari, hal. 55-63.

Rosenfeld, M.J. (2002). Measures of Assimilation in the Marriage Market: Mexican Americans (1970–1990). Journal of Marriage and Family, (64), No. 152, February, US: Stanford University, p.152-162.

Schoen, R. (1986). A Methodological of Analysis of Intergroup Marriage, Sociological Methodology, Volume 16, p. 49-50., Journal.

Sukmana, O. (2003). Proses Asimilasi Sosial Dalam Komunitas Masyarakat Bauran Etnis Arab-Jawa (Studi di Kampung Embong Arab, Kota Malang), 24 Juni, Malang: Lembaga Penelitian Malang.


(6)

EKSTRA PUSTAKA