Kajian pengelolaan ekosistem mangrove pada kawasan hutan lindung di desa Dabong, Kecamatan Kubu, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat

(1)

KAJIAN PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE

PADA KAWASAN HUTAN LINDUNG DI DESA DABONG,

KECAMATAN KUBU, KABUPATEN KUBU RAYA,

KALIMANTAN BARAT

TEGUH SETYO NUGROHO

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

B O G O R 2009


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis saya yang berjudul Kajian Pengelolaan Ekosistem Mangrove Pada Kawasan Hutan Lindung di Desa Dabong, Kecamatan Kubu, Kabupaten Kubu Raya, Kalimntan Barat adalah hasil karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Desember 2009

Teguh Setyo Nugroho NIM C.252070051


(3)

ABSTRACT

TEGUH SETYO NUGROHO, Management Study of Mangrove Ecosystem at Protected Forest Area in Dabong Village, Kubu District, Kubu Raya Regency, Province of West Kalimantan. Supervised by GATOT YULIANTO and ZAIRION.

The mangrove ecosystem in Dabong has been specified to become mangrove protected forest because having important role for life prop of coastal area and sea, but this is not fully can protect mangrove ecosystem from degradation due to some of mangrove areas has been converted to be shrimp ponds by local community. The study objective is to find alternatives policy for mangrove ecosystem management, so for the purpose need to be analysed mangrove condition; economics value of mangrove ecosystem and shrimp ponds; and institutional from mangrove ecosystem management. Data were obtained through sampling, field observation, respondent information, and bibliography study. Study result showed that already happened degradation of mangrove forest wide 502.77 ha (17.65%) in range of time 16 years (1991-2007). Economics value of mangrove ecosystem is equal to Rp.10,637,453.28 /ha/year, higher from shrimp ponds which equal to Rp.3,561,772.66 /ha/year. Institution structure (jurisdiction boundaries, property rights and rules of representation) in mangrove ecosystem management still weakening because still having problems with local community. Management policy of mangrove ecosystem which can be done is by strengthening institutional structure passed revision to zonation of mangrove protected forest area and makes agreement of conservation with local community.

Keyword: mangrove ecosystem, protected forest, degradation, management policy, institution.


(4)

RINGKASAN

TEGUH SETYO NUGROHO, Kajian Pengelolaan Ekosistem Mangrove Pada Kawasan Hutan Lindung di Desa Dabong Kecamatan Kubu Kabupaten Kubu Raya Provinsi Kalimantan Barat. Dibimbing oleh GATOT YULIANTO dan ZAIRION.

Ekosistem mangrove di Desa Dabong telah ditetapkan menjadi hutan lindung mangrove karena memegang peranan penting untuk penyangga kehidupan pesisir dan laut. Akan tetapi hal ini tidak sepenuhnya dapat melindungi ekosistem mangrove dari degradasi karena sebagian kawasan mangrove telah dikonversi menjadi tambak oleh masyarakat. Hal ini terjadi akibat lemahnya pengelolaan hutan lindung mangrove. Kajian pengelolaan ekosistem mangrove terutama yang terkait dengan kelembagaan perlu dilakukan agar didapat alternatif solusi kebijakan pengelolaan mangrove yang berkelanjutan. Penelitian ini bertujuan untuk mencari alternatif kebijakan dalam pengelolaan mangrove sehingga untuk itu perlu dikaji situasi dan kondisi mangrove, nilai ekonomi mangrove dan tambak serta akar penyebab permasalahan adanya tambak, pemukimana dan lahan garapan di kawasan hutan lindung mangrove.

Pengumpulan data dilakukan melalui metode observasi (pengamatan) langsung di lapangan, kuisioner, wawancara secara mendalam (depth interview), diskusi dan penelusuran berbagai data penunjang. Perubahan luasan mangrove dan tambak didapatkan dari analisis Citra Landsat 7 ETM+ tahun 1991, 2002 dan 2007 dengan kombinasi warna RGB 542. Analisis struktur vegetasi mangrove dilakukan dengan menghitung kerapatan spesies, kerapatan relatif spesies, frekuensi spesies, frekuensi relatif spesies, penutupan spesies dan penutupan relatif spesies untuk mendapatkan indek nilai penting species (INPi). Nilai ekonomi total manfaat hutan mangrove didapatkan dari nilai manfaat langsung (hasil hutan dan perikanan), nilai manfaat tidak langsung (penahan abrasi, interusi air laut dan penyedia unsur hara), nilai manfaat pilihan dan nilai keberadaan. Nilai manfaat ekonomi tambak dihitung berdasarkan hasil panen udang dikurangi dengan biaya tetap dan biaya operasional. Pandangan masyarakat terhadap pengelolaan ekosistem mangrove dihitung dari hasil kuisioner (50 responden) dengan menggunakan rating scale. Analisis kelembagaan dilakukan melalui kajian terhadap berbagai situasi sebagai sumber interdependensi, struktur kelembagaan (batas yuridiksi, property right dan aturan representasi), serta pengaruhnya terhadap performance.

Luas hutan mangrove di Desa Dabong berdasarkan hasil interpretasi citra Landsat 7 ETM+ pada tahun 1991 adalah 2.849.01 ha, tahun 2002 adalah 2.432.34 ha, dan pada tahun 2007 adalah 2.346.24 ha. Luas tambak pada tahun 1991 adalah 0 ha (tidak ada lahan tambak), tahun 2002 adalah 328.52 ha, dan pada tahun 2007 adalah 522.08 ha. Hal ini menunjukan bahwa dalam kurun waktu 16 tahun (1991- 2007) terjadi penurunan luasan mangrove sebesar 502.77 ha atau 17.65%. Jika penurunan luas mangrove ini dibiarkan, maka perkirakan dalam waktu 74.67 tahun yang akan datang mangrove yang tersisa akan habis. Hal ini disebabkan oleh konversi wilayah hutan mangrove menjadi tambak oleh masyarakat dan juga penebangan liar.


(5)

Jenis vegetasi mangrove yang terdapat di lokasi penelitian (dalam transek) terdiri dari Avicennia alba, Bruguiera gymnorhiza, Excoecaria agallocha, Rhizophora apiculata, Sonneratia alba, Xylocarpus granatum dan Xylocarpus

moluccensis. Indeks Nilai Penting (INP) tertinggi untuk tingkat pohon, pancang

dan semai terdapat pada jenis Rhizophora apiculata yang secara berturut-turut nilainya 216.59%, 235.50% dan 155.79%., lalu di ikuti oleh Bruguiera

gymnorrhiza dengan nilai INP untuk tingkat pohon, pancang dan semai secara

berturut-turut sebesar 60.57 %, 58.05% dan 37.03%, dan selanjutnya kemudian diikuti oleh Sonneratia alba dan Avicennia alba. INP yang besar pada jenis

Rhizophora apiculata dan Bruguiera gymnorrhiza menunjukan bahwa jenis ini

merupakan jenis yang paling dominan dan mampu menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan yang ada, sehingga jika ada upaya rehabilitasi terhadap kawasan yang rusak, maka prioritas utama jenis vegatasi mangrove yang ditanam adalah Rhizophora apiculata kemudian diikuti Bruguiera gymnorrhiza lalu

Sonneratia alba dan Avicennia alba.

Nilai manfaat ekonomi mangrove adalah sebesar Rp.10.637.453.28 /ha/thn, lebih tinggi dari nilai ekonomi tambak yang sebesar Rp.3.561.772.66 /ha/thn. Nilai ekonomi ekosistem mangrove sekitar 3 (tiga) kali lebih besar jika bandingkan dengan nilai ekonomi tambak. Hal ini menunjukan bahwa jika dilihat dari nilai ekonomi, lebih menguntungkan mangrove dibiarkan dalam kondisi lestari daripada dikonversi menjadi tambak. Akan tetapi, jika nilai ekonomi tambak dibandingkan dengan nilai manfaat langsung ekosistem mangrove (Rp.2.047.671.16 /ha/thn), maka nilai ekonomi tambak memiliki nilai yang lebih besar.

Akar penyebab permasalahan adanya tambak, pemukimana dan lahan garapan di kawasan hutan lindung mangrove di Desa Dabong selama ini adalah masih lemah dan belum efektif organisasi, struktur kelembagaan (batas yuridiksi,

property right dan aturan representasi) dalam pengelolaan ekosistem mangrove

sehinga belum dapat mengontrol berbagai situasi sebagai sumber interdependensi. Kelembagaan yang kurang effektifi meyebabkan kondisi performance yang buruk seperti potensi konflik sosial yang tinggi, lingkungan alam yang terdegradasi dan kondisi sosial ekonomi masyarakat yang buruk. Hal ini ditunjang dari pandangan masyarakat terhadap pengelolaan ekosistem mangrove yang hanya sebesar 49.1%, artinya masyarakat masih memandang pengelolaan Ekosistem Mangrove di Desa Dabong selama ini berjalan kurang baik.

Alternatif solusi kebijakan pengelolaan mangrove ditujukan untuk mendapatkan performance yang lebih baik dengan cara merubah struktur kelembagaan. Hal ini dapat dilakukan adalah dengan memperkuat struktur kelembagaan melalui cara revisi tapal batas (zonasi) sehingga tidak ada lahan masyarakat yang masuk kedalam dan kontrak sosial melalui kesepakatan konservasi. Kesepakatan konservasi yang menyatakan bahwa masyarakat diijinkan untuk budidaya udang pada lahan tambak yang sudah ada, tetapi memiliki kewajiban-kewajiban menjaga keutuhan dan kelestarian mangrove. Rehabilitasi tambak yang ada dengan penerapan pola tumpangsari antara mangrove dengan tambak (sylvofishery/wanamina) juga perlu dilakukan. Cara/teknik silvofishery yang diterapkan adalah model empang parit tradisional dengan perbandingan luasan antara antara mangrove dan parit adalah 80% : 20%.


(6)

Jenis mangrove yang ditanam hendak jenis yang cocok untuk daerah tersebut yaitu Rhizohopora apiculata dan Bruguiera gymnorrhiza.

Dengan berbagai alternatif solusi yang telah dipaparkan sebelumya, maka diharapkan performance yang baik dari pengelolaan ekosistem mangrove di Desa Dabong dapat dicapai. Performance yang baik dari kelembagaan ekosistem mangrove yaitu kelestarian lingkungan alam (ekosistem mangrove) yang meningkat/lestari, kondisi sosial ekonomi masyarakat yang semakin baik dan rendahnya potensi konflik sosial dengan biaya penegakan status yang rendah.

Kata kunci : ekosistem mangrove, hutan lindung, degradasi, kebijakan pengelolaan, kelembagaan.


(7)

@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2009 Hak Cipta dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atas seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.


(8)

KAJIAN PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE

PADA KAWASAN HUTAN LINDUNG DI DESA DABONG,

KECAMATAN KUBU, KABUPATEN KUBU RAYA,

KALIMANTAN BARAT

TEGUH SETYO NUGROHO

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

B O G O R 2009


(9)

Judul Tesis : Kajian Pengelolaan Ekosistem Mangrove Pada Kawasan Hutan Lindung di Desa Dabong, Kecamatan Kubu, Kabupaten Kubu Raya, Kalimntan Barat

Nama Mahasiswa : Teguh Setyo Nugroho Nomor Pokok : C.252070051

Disetujui

Komisi Pembimbing

Ir. Gatot Yulianto, M.Si Ir. Zairion, M.Sc

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA

Tanggal Ujian : 24 Nopember 2009 Tanggal Lulus :

Dekan Sekolah Pascasarjana


(10)

(11)

Bukalah mata, telinga, pikiran dan hati seluas-luasnya, agar kita

dapat melihat, mendengar, mengetahui dan merasakan kebenaran yang

sesungguhnya.

Gunakanlah semuanya sebagai dasar untuk setiap tindakan yang akan

kita tempuh, agar kebijaksanaan selalu mengiringi langkah kita.

(Tyo 2009)

Karya ini kupersembahkan bagi Istriku “Uji Sukmawati” dan putriku “Nada Aurellia Izdihar” yang tersayang dan tercinta, terima kasih atas pengertian, pengorbanan dan

dukungannya yang tulus selama menunggu selesainya masa studiku. Tidak lupa pula juga untuk Ibunda “Hj. Tasmisih”, Ayahanda “Soenggono (alm)”, Bapak Mertua “Sumaryono”, Ibu Mertua “Sri Lestari” dan seluruh saudara-saudaraku yang juga sangat kusayangi. E-mail: tyo.teguh@gmail.com


(12)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas atas segala karuniaNya sehingga tesis dengan judul “Kajian Pengelolaan Ekosistem Mangrove Pada Kawasan Hutan Lindung di Desa Dabong, Kecamatan Kubu, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat” dapat terselesaikan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi menjadi dasar pertimbangan dalam menentukan kebijakan dan strategi pengelolaan ekosistem mangrove dalam rangka menangani kasus pemukiman, lahan garapan dan tambak udang masyarakat di dalam kawasan hutan lindung bakau di Desa Dabong.

Terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada Bapak Ir. Gatot Yulianto, M.Si dan Ir. Zairion, M.Sc selaku pembimbing, serta Bapak Dr.Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc dan Prof.Dr. Ir Mennofatria Boer, DEA yang telah banyak memberikan saran. Di samping itu, terima kasih juga penulis ucapkan kepada seluruh jajaran di Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) dan Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Barat dan Kabupaten Kubu Raya yang telah banyak membantu dalam penyediaan informasi dan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada masyarakat Desa Dabong yang telah banyak membantu dalam penelitian ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan tesis ini masih terdapat berbagai kekurangan, sehingga kritik dan saran yang konstruktif sangat penulis harapkan sehingga penelitian yang akan dilaksanakan nantinya dapat memberikan hasil sesuai dengan yang diharapkan. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi kita semua.

Bogor, Desember 2009


(13)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Desa Kembang Kecamatan Dukuhseti, Kabupaten Pati, Provinsi Jawa Tengah, pada tanggal 8 April 1980 dari ayah Soenggono (alm) dan Ibu Hj. Tasmisih. Penulis merupakan putra kelima dari enam bersaudara.

Menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar pada tahun 1992 di SD Negeri 1 Kembang, SLTP Negeri 1 Tayu pada tahun 1995, SMU Negeri 1 Tayu pada tahun 1998. Pada Tahun 2003, penulis berhasil menyelesaikan pendidikan Sarjana Strata Satu (S-1) pada Fakultas Perikanan Program Studi Teknologi Hasil Perikanan Universitas Brawijaya Malang. Pada tahun 2004 sampai 2005, penulis bekerja di salah satu perusahaan swasta PT. Jico Agung (MI-WON group) Jakarta sebagai

Marketing Supervisor. Tahun 2005 sampai sekarang penulis bekerja sebagai salah

satu staff pengajar (Dosen) di Politeknik Negeri Pontianak Jurusan Ilmu Kelautan dan Perikanan. Tahun 2007 penulis melanjutkan studi pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut, Sekolah Pascasarjana (S-2) Institut Pertanian Bogor.


(14)

i

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... v

DAFTAR LAMPIRAN ... vi

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 2

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 5

1.4. Kerangka Pemikiran ... 5

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ekosistem Mangrove ... 8

2.2. Faktor Lingkungan Yang Mempengaruhi Kehidupan Mangrove ... 12

2.3. Zonasi dan Struktur Vegetasi Ekosistem Mangrove ... 16

2.4. Fungsi dan Manfaat Ekosistem Mangrove ... 17

2.5. Konsep dan Metode Valuasi Ekonomi ... 19

2.5.1. Konsep Valuasi Ekonomi ... 19

2.5.2. Metode Valuasi Ekonomi ... 21

2.6. Analisis Kelembagaan ... 26

2.6. Konsep Pengelolaan Berkelanjutan ... 27

2.7. Pengelolaan Ekosistem Mangrove ... 29

3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 33

3.2. Pengumpulan Data ... 34

3.2.1. Pengumpulan data ekosistem mangrove dan tambak ... 34

3.2.2. Pengumpulan data sosial ekonomi dan kelembagaan ... 36

3.2.3. Pengumpulan berbagai data penunjang ... 37

3.3. Analisis Data ... 39

3.3.1. Analisis data luas ekosistem mangrove dan tambak ... 39

3.3.2. Analisis terhadap struktur vegetasi mangrove ... 39

3.3.3. Analisis nilai manfaat ekonomi ekosistem mangrove ... 41

3.3.4. Analisis nilai manfaat ekonomi tambak ... 45

3.3.5. Analisis Pandangan Masyarakat Terhadap Pengelolaan Ekosistem Mangrove ... 45

3.3.6. Analisis kelembagaan ... 46

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Wilayah Penelitian ... 48

4.1.1. Keadaan Iklim, Topografi, Hidrologi, dan Tanah ... 48

4.1.2. Kondisi sosial ekonomi masyarakat ... 50

4.1.3. Aktivitas perekonomian ... 54

4.1.4. Penggunaan Lahan di Kawasan Dabong ... 57

4.1.5. Kondisi Sosial Budaya Masyarakat ... 57


(15)

ii

4.2. Luas Ekosistem Mangrove, Tambak dan Kawasan Lindung

Mangrove ... 61

4.3. Struktur Vegetasi Mangrove ... 63

4.3.1. Kerapatan dan Kerapatan Relatif Jenis Mangrove ... 65

4.3.2. Frekuensi dan Frekuensi Relatif Jenis Mangrove ... 67

4.3.3. Penutupan dan Penutupan Relatif Jenis Mangrove ... 68

4.3.4. Indeks Nilai Penting (INP) ... 70

4.4. Keanekaragaman Fauna ... 72

4.5. Kondisi Fisik Lingkungan Ekosistem Mangrove ... 73

4.5.1. Derajat Keasaman (pH) ... 74

4.5.2. Suhu ... 75

4.5.3. Salinitas ... 76

4.5.4. Jenis Tanah ... 77

4.6. Nilai Manfaat Ekonomi Ekosistem Hutan Mangrove ... 77

4.6.1. Nilai Manfaat Langsung ( Direct Use Value) ... 78

4.6.2. Nilai Manfaat Tidak Langsung ( Indirect Use Value) ... 85

4.6.3. Nilai Manfaat Pilihan ... 87

4.6.4. Nilai Manfaat Keberadaan ... 88

4.6.5. Nilai Manfaat Ekonomi Total Ekosistem Mangrove di Desa Dabong ... 89

4.7. Nilai Ekonomi Tambak di Kawasan Hutan Mangrove Dabong ... 91

4.8. Sejarah dan Pola Penguasaan Lahan di Kawasan Dabong ... 92

4.9. Pandangan Masyarakat Terhadap Pengelolaan Ekosistem Mangrove ... 95

4.10. Analisis Kelembagaan Pengelolaan Ekosistem Mangrove ... 99

4.10.1. Organisasi pengelola kawasan hutan lindung mangrove di Desa Dabong ... 101

4.10.2. Berbagai situasi sebagai sumber interdependensi dalam pengelolaan ekosistem mangrove di Desa Dabong ... 103

4.10.3. Analisis struktur kelembagaan dalam pengelolaan ekosistem mangrove di Desa Dabong ... 105

4.11. Sintesa dan Alternatif Solusi ... 119

5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan ... 128

5.2. Saran ... 129

DAFTAR PUSTAKA ... 131


(16)

iii

DAFTAR TABEL

Halaman 1. Penyebaran jenis-jenis pohon mangrove berdasarkan kelas genangan.… 10

2. Ikhtihar dampak kegiatan menusia terhadap ekosistem mangrove ... 11

3. Contoh hipotesis penilaian dampak ekonomi pembukaan hutan mengrove untuk lahan tambak ... 25

4. Jenis dan variabel data yang dikumpulkan beserta metode pengumpulan datanya. ... 37

5. Kondisi iklim di wilayah studi ... 48

6. Jumlah penduduk Desa Dabong... 50

7. Perkembangan jumlah penduduk Desa Dabong ... 51

8. Struktur penduduk di Dusun-Dusun Desa Dabong berdasarkan mata pencaharian ... 52

9. Distribusi penduduk Desa Dabong berdasarkan tingkat pendidikan ... 53

10. Distribusi penduduk Desa Dabong berdasarkan agama... 54

11. Alat tangkap ikan di Desa Dabong ... 56

12. Produksi perikanan laut yang didaratkan di TPI/PPI Dabong ... 56

13. Penggunaan lahan di Kawasan Dabong Kecamatan Kubu Tahun 2007 ... 57

14. Route trayek transportasi umum di kawasan studi. ... 58

15. Banyaknya sarana dan tenaga kesehatan di Desa Dabong ... 60

16. Luas hutan mangrove, tambak dan kawasan lindung mangrove di Desa Dabong ... 61

17. Jenis pohon mangrove yang ditemukan di Lokasi Penelitian ... 64

18. Kerapatan jenis dan kerapatan relatif jenis mangrove pada tiap tingkatan pohon, pancang, dan semai ... 65

19. Frekuensi jenis dan frekuensi relatif jenis mangrove pada tiap tingkatan pohon, pancang, dan semai ... 67

20. Penutupan jenis dan penutupan relatif jenis... 69

21. Indeks Nilai Penting (INP) Mangrove ... 70

22. Sebaran pH, Suhu dan Salinitas di Tiap Jalur Pengamatan ... 74

23. Nilai manfaat potensi kayu komersial ... 79

24. Nilai manfaat kayu bakar hutan mangrove Dabong ... 80


(17)

iv

26. Nilai manfaat daun nipah hutan mangrove Dabong ... 81

27. Nilai manfaat ikan hutan mangrove Dabong ... 82

28. Nilai manfaat kerang hutan mangrove Dabong ... 83

29. Nilai manfaat ale-ale hutan mangrove Dabong ... 83

30. Nilai manfaat kepah hutan mangrove Dabong... 84

31. Nilai manfaat kepiting hutan mangrove Dabong ... 84

32. Nilai manfaat langsung ekosistem mangrove di Desa Dabong ... 85

33. Nilai manfaat tidak langsung ekosistem mangrove di Desa Dabong ... 87

34. Nilai manfaat keberadaan ekosistem mangrove di Desa Dabong ... 88

35. Total nilai manfaat ekosistem mangrove Desa Dabong ... 89

36. Nilai manfaat ekonomi tambak. ... 92

37. Pandangan masyarakat terhadap pengelolaan ekosistem mangrove di Desa Dabong ... 95

38. Aturan representatif di dalam kawasan hutan lindung mangrove Desa Dabong ... 114

39. Beberapa peraturan perundang-undangan yang relevan untuk mendukung pelaksanaan pengelolaan hutan lindung mangrove di Desa Dabong ... 124


(18)

v

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1. Kerangka berpikir penelitian kajian pengelolaan ekosistem mangrove

pada kawasan hutan lindung di Desa Dabong ... 7

2. Pengelompokan Nilai Ekonomi Lingkungan dan Hubungannya Dengan Metode Valuasi Ekonomi Lingkungan ... 23

3. Kerangka analisis kelembagaan ... 27

4. Tiga pilar pengelolaan berbasis sosial ekosistem ... 28

5. Peta lokasi penelitian dan titik sampling mangrove ... 33

6. Skema penempatan petak contoh ... 35

7. Tipologi Nilai Ekonomi Total ... 42

8. Peta sebaran mangrove dan tambak pada tahun 1991, 2002 dan 2007. .... 62

9. Kerapatan jenis mangrove tingkat pohon pada setiap jalur pengamatan. . 66

10. Kerapatan relatif jenis mangrove tingkat pohon pada setiap jalur pengamatan ... 66

11. Frekuensi jenis mangrove tingkat pohon pada setiap jalur pengamatan ... 68

12. Frekuensi relatif jenis mangrove tingkat pohon pada setiap jalur pengamatan ... 68

13. Penutupan jenis mangrove tingkat pohon pada setiap jalur pengamatan . 69 14. Penutupan relatif jenis mangrove tingkat pohon pada setiap jalur pengamatan ... 70

15. Indeks Nilai Penting komunitas mangrove tingkat pohon pada setiap jalur pengamatan ... 72

16. Sebaran pH air dan tanah di Lokasi Pengamatan... 74

17. Sebaran suhu pada setiap jalur pengamatan ... 75

18. Sebaran salinitas pada setiap jalur pengamatan ... 76

19. Struktur Organisasi Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Kubu Raya ... 101

20. Macam-macam teknik silvofishery: empang parit tradisional, komplangan, empang parit terbuka dan kao-kao ... 126


(19)

vi

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Peta Kawasan Hutan Lindung Mangrove di Desa Dabong ... 137

2. Citra Landsat ETM+7 Desa Dabong Tahun 1991 ... 138

3. Citra Landsat ETM+7 Desa Dabong Tahun 2002 ... 139

4. Citra Landsat ETM+7 Desa Dabong Tahun 2007 ... 140

5. Analisis Vegetasi Tingkat Pohon ... 141

6. Analisis Vegetasi Tingkat Pancang ... 143

7. Analisis Vegetasi Tingkat Semai ... 145

8. Rekapitulasi Analisis Vegetasi ... 147

9. Beberapa Jenis Fauna Pada Ekosistem Mangrove Desa Dabong ... 148

10. Data Fisika Kimia Lingkungan Ekosistem Mangrove di Desa Dabong ... 150

11. Hasil Analisis Nilai Manfaat Langsung Potensi Kayu Mangrove ... 153

12. Hasil Analisis Nilai Manfaat Langsung Kayu Bakar Mangrove ... 154

13. Hasil Analisis Nilai Manfaat Langsung Cerucuk ... 156

14. Hasil Analisis Nilai Manfaat Langsung Daun Nipah ... 157

15. Hasil Analisis Nilai Manfaat Langsung Ikan ... 158

16. Hasil Analisis Nilai Manfaat Langsung Kerang ... 162

17. Hasil Analisis Nilai Manfaat Langsung Ale-ale ... 165

18. Hasil Analisis Nilai Manfaat Langsung Kepah ... 168

19. Hasil Analisis Nilai Manfaat Langsung Kepiting ... 171

20. Rekapitulasi Nilai Manfaat ... 174

21. Nilai Manfaat Budidaya Tambak Tradisional (Udang Vannamei) di Desa Dabong ... 175

22. Rekapitulasi Jawaban Responden untuk Nilai Manfaat Eksistensi Hutan Mangrove Dabong ... 179

23. Rekapitulasi Jawaban Responden untuk Pengelolaan Ekosistem Mangrove di Desa Dabong ... 181

24. Kuesioner Pengeloaan Ekosistem Mangrove... 184

25. Panduan Wawancara Mendalam Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung Mangrove ... 192

26. Panduan Wawancara Mendalam Analisis Kelembagaan Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung Mangrove ... 198


(20)

vii

27. Contoh perijinan yang dimiliki petambak di Desa Dabong yang berupa

Ijin Usaha Perikanan (IUP)” ... 200 28. Contoh perijinan yang dimiliki petambak di Desa Dabong yang berupa

Surat Pembudidayaan Ikan (SBI)” ... 201 29. Foto Penelitian ... 202


(21)

1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Desa Dabong merupakan salah satu desa di Kecamatan Kubu, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat yang memiliki hamparan hutan mangrove yang cukup luas. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No 259/kpts-II/2000, sejumlah lahan di kawasan pesisir Desa Dabong telah ditetapkan menjadi hutan lindung mangrove (luas ± 4 895.5 ha) dari 34 884 hektar hutan lindung mangrove yang ada di Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat.

Ekosistem mangrove memegang peranan penting untuk kehidupan pesisir dan laut. Di kawasan pesisir, ekosistem mangrove ini akan mendukung lingkungan pantai, menjadi tempat yang ideal bagi ikan-ikan untuk berkembang biak, rumah yang nyaman bagi kepiting dan burung air, dalam saat berbahaya mangrove juga berfungsi menyaring pencemaran logam berat dari daratan sebelum masuk lautan.

Sebagai salah satu ekosistem pesisir utama di Desa Dabong, ekosistem mangrove di sepanjang pantai memberikan kontribusi yang sangat penting, baik manfaat langsung (direct) maupun manfaat tidak langsung (indirect). Manfaat tersebut diantaranya secara fisik, khususnya dalam melindungi pantai dari gelombang, angin dan badai. Tegakan mangrove dapat melindungi pemukiman, bangunan dan pertanian dari angin kencang dan interusi air laut. Mangrove juga memegang peranan penting dalam dalam melindungi pesisir dari terpaan badai. Kemampuan mangrove dalam mengembangkan wilayahnya kearah laut merupakan salah satu peran penting mangrove dalam pembentukan lahan baru. Akar mangrove mampu mengikat dan menstabilkan substrat lumpur, pohonnya mengurangi energi gelombang dan memperlambat arus, sementara vegetasi secara keseluruhan dapat memerangkap sedimen. Mangrove juga mempunyai fungsi sebagai spawning ground, feeding ground, dan juga nursery ground guna mendukung produksi perikanan. Beberapa studi menunjukan bahwa terdapat hubungan yang positif antara luasan mangrove dengan produksi perikanan (Martosubroto & Naamin 1977; de Graaf & Xuan 1998). Jika mangrove tidak ada, maka produksi laut akan berkurang secara nyata (Naamin 1991). Oleh karena itu,


(22)

2

hutan mangrove merupakan ekosistem dengan tingkat produktivitas yang tinggi dengan berbagai macam fungsi ekonomi, sosial, dan ekologi/lingkungan yang penting.

Walaupun hutan mangrove di Desa Dabong telah ditetapkan sebagai Hutan Lindung berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No 259/kpts-II/2000, akan tetapi tidak sepenuhnya dapat melindungi ekosistem mangrove dari kerusakan dan degradasi. Kawasan mangrove di Desa Dabong ini mengalami kerusakan karena sebagian telah dikonversi menjadi tambak tanpa ada proses pelepasan kawasan hutan terlebih dahulu dari Menteri Kehutanan RI. Pengambilan pohon mangrove untuk kayu bakar dan bahan bangunan oleh masyarakat setempat juga ikut menambah kerusakan hutan mangrove di Desa Dabong ini. Kegiatan ini akan berdampak negatif pada ekosistem pesisir dan lautan. Degradasi ekosistem mangrove di Desa Dabong akibat berbagai aktifitas pemanfaatan seperti konversi untuk lahan tambak dan pengambilan kayu/penebangan liar perlu mendapat perhatian dan penanganan khusus dari semua pihak. Melihat hal tersebut, maka penelitian ini diharapkan dapat mengurai akar penyebab permasalahan sehingga dapat dirumuskan alternative pengelolaan yang tepat. Alternative pengelolaan yang didapat hendaknya mampu menjembatani antara kepentingan ekologi (konservasi) dengan kepentingan sosial ekonomi masyarakat.

1.2. Perumusan Masalah

Kawasan hutan mangrove di Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat termasuk diantaranya hutan mangrove yang ada di Desa Dabong berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 259/kpts-II/2000 telah ditetapkan statusnya sebagai Hutan Lindung Mangrove. Keluarnya SK MenHut No 259/kpts-II/2000 ini didasarkan padu-serasi antara Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) yang tertuang dalam SK Menteri Pertanian Nomor 757/Kpts/Um/10/1982, Perda Nomor I/1995 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Kalbar dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 47/1999 tentang RTRW Nasional. Berdasarkan otonomi daerah, wewenang pengelolaan hutan lindung mangrove di Desa Dabong berada pada pemerintah daerah yaitu Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Kubu Raya. Penetapan kawasan hutan lindung mangrove


(23)

3

ini ditujukan untuk perlindungan sistem penyangga kehidupan di pesisir dan laut serta bertujuan untuk mencegah timbulnya kerusakan fungsi lingkungan hidup. Pengelolaan kawasan lindung meliputi upaya penetapan, pelestarian dan pengendalian pemanfaatan kawasan lindung.

Meskipun kawasan hutan mangrove tersebut telah ditetapkan statusnya sebagai Kawasan Hutan Lindung, akan tetapi tidak sepenuhnya dapat melindungi ekosistem mangrove ini dari kerusakan dan degradasi. Pada tahun 2009 tercatat sekitar 564,35 hektar area hutan lindung mangrove di Desa Dabong telah dikonversi menjadi tambak oleh masyarakat setempat tanpa adanya proses pelepasan kawasan hutan terlebih dahulu dari Menteri Kehutanan. Konversi hutan manggrove menjadi tambak pola tradisional oleh masyarakat ini diduga telah terjadi sejak tahun 1991 dan berkembang dengan pesat mulai tahun 1998 sampai sekarang. Perkembangan tambak didalam kawasan hutan lindung mangrove ini tidak terlepas dari adanya Program Peningkatan Ekspor Hasil Perikanan (Protekan). Pada tahun 1998-1999, Dinas Perikanan Pontianak menjalankan Protekan dari Departemen Kelautan dan Perikanan dan mendorong pembangunan tambak udang di area yang ternyata merupakan kawasan hutan lindung mangrove. Hampir semua petambak di Desa Dabong merupakan binaan dari Dinas Perikanan. Petambak memiliki Ijin Usaha Perikanan (IUP) dan Surat Pembudidayaan Ikan (SBI) yang diterbitkan oleh Dinas Perikanan Kabupaten Pontianak (yang merupakan kabupaten induk dari Kabupaten Kubu Raya sebelum pemekaran). Ijin ini mengacu kepada Perda No 12 tahun 1998 tanggal 4 Nopember tentang penertiban perizinan usaha perikanan. Hal ini menunjukan adanya ketidakjelasan kebijakan dan ketiadaan koordinasi antara instansi di pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten yang menyebabkan munculnya areal tambak didalam hutan lindung mangrove.

Permasalahan lain yang serius adalah masuknya sebagian besar lahan masyakat seperti pemukiman, lahan garapan dan berbagai fasilitas umum ke dalam kawasan hutan lindung mangrove tanpa adanya proses pelepasan hak (ganti rugi/kompensasi), padahal masyarakat sudah lama bermukim di daerah tersebut. Bahkan hampir semua dusun/kampung termasuk pusat pemerintahan desa masuk kedalam kawasan hutan lindung. Hal ini tentunya menimbulkan konflik


(24)

4

pemanfaatan ruang antara antara pengelola hutan lindung dengan masyarakat. Pengambilan kayu mangrove secara liar untuk berbagai keperluan juga membuat semakin terancamnya kelestarian hutan mangrove di daerah tersebut.

Dalam realisasinya, implementasi pengelolaan ekosistem akan menghadapi berbagai macam rintangan seperti sengketa lahan, birokrasi yang buruk dan kebijakan publik yang kurang berpihak pada upaya konservasi (Yaffee

et al. 1996). Lemah dan buruknya dalam perencanaan dan pelaksanaan sistem

pengelolaan sumberdaya hutan mangrove dapat memberikan dampak negatif seperti degradasi lingkungan dan buruknya kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar kawasan hutan. Mengatasi berbagai rintangan pada pengelolaan ekosistem, maka hendaknya dilakukan pengelolaan yang adaptip (Sampson 1993; Brunner & Clark 1997). Untuk mencapai hal ini, maka diperlukan keterpaduan yang efektif dari para praktisi, peneliti dan berbagai stakeholder untuk berbagi pandangan, pengetahuan dan pengalaman (Yaffee 1999).

Sistem pengelolaan sumberdaya mangrove di Desa Dabong hendaknya lestari, terpadu dan berkesinambungan. Penilaian atas keberlanjutan dalam pengelolaan sumberdaya alam haruslah multidisplin dan mencakup aspek lingkungan, sosial dan ekonomi (Glaser & Diele 2004). Lebih lanjut Bengen (2002) menyatakan, bahwa masalah pengelolaan mengrove secara lestari adalah bagaimana menggabungkan antara kepentingan ekologi (konservasi hutan mangrove) dengan kepentingan sosial dan ekonomi masyarakat.

Untuk itu perlu dilakukan suatu penelitian yang dapat menjembatani antara kepentingan ekologi (konservasi hutan mangrove) dengan kepentingan sosial dan ekonomi masyarakat yang sudah lama bermukim di kawasan tersebut sebelum ditetapkan sebagai kawasan hutan lindung mangrove, sehingga selanjutnya dapat dicari alternatif kebijakan pengelolan yang tepat. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan rekomendasi arah kebijakan yang diperlukan dalam upaya pengelolaan ekosistem mangrove yang lestari, terpadu dan berkelanjutan di Desa Dabong.


(25)

5

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian kajian pengelolaan ekosistem mangrove pada kawasan hutan lindung di Desa Dabong, Kecamatan Kubu, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat ini bertujuan untuk :

1. Mengkaji situasi dan kondisi ekosistem mangrove. 2. Mengkaji manfaat ekonomi hutan mangrove dan tambak.

3. Mengkaji akar penyebab permasalahan adanya tambak, permukiman dan lahan garapan masyarakat di dalam kawasan hutan lindung mangrove dengan menganalisis kelembagaan pengelolaan.

4. Menentukan alternatif solusi kebijakan pengelolaan ekosistem mangrove pada kawasan hutan lindung yang tepat dan berkelanjutan serta menjembatani antara kepentingan ekologi (konservasi) dengan kepentingan sosial ekonomi masyarakat.

Manfaat penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi upaya pengelolaan kawasan ekosistem mangrove yang berkelanjutan di Desa Dabong, Kecamatan Kubu, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat di masa mendatang.

1.4. Kerangka Pemikiran

 Ekosistem mangrove memiliki peran yang sangat penting sebagai penyangga kehidupan di wilayah pesisir dan laut. Sebagai upaya perlindungan ekosistem mangrove, maka pemerintah telah menetapkan sejumlah lahan di kawasan pesisir Desa Dabong menjadi hutan lindung mangrove berdasarkan SK Menhut No 259/kpts-II/2000. Namun pemanfaatan ekosistem mangrove sering kali rawan terhadap konflik kepentingan. Kerusakan hutan mangrove akan membawa dampak negatif bagi kehidupan masyarakat, baik dari sisi ekologi maupun social ekonomi.

Adanya tambak udang, pemukiman dan lahan garapan masyarakat di dalam kawasan hutan lindung mangrove serta kegiatan pengambilan kayu mangrove secara liar pada dasarnya merupakan bentuk dari lemah atau kurang efektifnya institusi/kelembagaan pengelolaan hutan mengrove di daerah tersebut. Institusi pengelolaan yang ada saat ini masih belum mampu mengatur dan mengendalikan prilaku dan berbagai pihak (masyarakat) untuk melestarikan dan


(26)

6

tidak merusak hutan mangrove. Hal ini menyebabkan performance yang buruk, baik dari sisi ekologi (konservasi) maupun sosial ekonomi masyarakat.

Untuk mengatasi permasalahan tersebut, maka perlu dilakukan analisis kelembagaan guna mencari akar penyebab permasalahan kurang efektifnya kelembagaan selama ini. Analisis kelembagaan akan mengkaji/menganalisis berbagai situasi sebagai sumber interdependensi dan struktur kelembagaan (batas yuridiksi, property right dan aturan representatif) pengelolaan mangrove selama ini serta pengaruhnya terhadap performance baik dari sisi ekologi (konservasi) maupun sosial ekonomi masyarakat. Sebagai penunjang dalam analisis kelembagaan, maka perlu dilakukan juga berbagai kajian seperti:

1. Mengkaji kondisi dan potensi mangrove dan berapa besarnya degradasi/kerusakan mangrove pada daerah tersebut. Pada kajian ini akan ditelaah: (a) luas liputan mangrove, luas areal mangrove yang dikonversi menjadi tambak dan perubahan status lahan. (b) struktur dan komposisi mangrove seperti kerapatan, frekuensi, penutupan dan indeks nilai penting species (INPi). (c) kondisi fisika kimia mangrove (meliputi suhu, salinitas, ph dan jenis substrat).

2. Mengkaji berapa besarnya nilai manfaat total/valuasi ekonomi ekosistem mangrove (manfaat langsung, manfaat tidak langsung, manfaat pilihan, dan manfaat eksistensi) dibandingkan dengan nilai ekonomi tambak di daerah tersebut.

3. Mengkaji sejarah dan pola penguasaan lahan di kawasan ekosistem mangrove Desa Dabong.

4. Mengkaji proses ditetapkannya kawasan ini menjadi status kawasan Hutan Lindung Mangrove berdasarkan SK MenHut No.259/kpts-II/2000 dan berbagai upaya yang telah dilakukan oleh pihak pengelola kawasan untuk penegakan status kawasan lindung (sosialisasi, pengawasan dan penegakan hukum).

Output dari analisis kelembagaan ini adalah perubahan struktur kelembagaan yang akan digunakan sebagai dasar dalam menentukan alternative solusi yang tepat dan reformulasi kebijakan pengelolaan. Alternative solusi dalam pengelolaan ekosistem mangrove di kawasan hutan lindung ini diharapkan dapat


(27)

7

memberikan performance yang lebih baik, baik dari sisi ekologi (konservasi) maupun sosial ekonomi masyarakat. Secara sederhana diagram kerangka berpikir kajian pengelolaan ekosistem mangrove pada kawasan hutan lindung di Desa Dabong dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Kerangka berpikir penelitian kajian pengelolaan ekosistem mangrove pada kawasan hutan lindung di Desa Dabong

Situasi dan Kondisi Mangrove

Analisis Manfaat Mangrove & Tambak

Alternatif pengelolaan yang berkelanjutan Ekosistem Mangrove

di Desa Dabong

•Alih fungsi lahan menjadi tambak •Pemukiman di dalam hutan lindung •Pengambilan kayu

Institusi Pengelolaan saat ini

(Status Hutan Lindung SK MenHut No.259/kpts-II/2000)

Reformulasi Kebijakan Pengelolaan

Lemahnya pengawasan & penegakan hukum

Sejarah penguasaan lahan

Berbagai situasi sebagai sumber independensi

Performance yang lebih baik Perubahan

Institusi Performance

saat ini

Analisis Kelembagaan


(28)

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Ekosistem Mangrove

Istilah mangrove berasal dari kata mangro yaitu nama yang biasa digunakan untuk tumbuhan Rhizophora mangle di Suriname (Karsten 1890 in

Chapman 1972). Menurut Macnae (1968), kata mangrove merupakan perpaduan antara kata mangal dari bahasa Portugis dan kata grove dari bahasa Inggris. Dalam bahasa Portugis, kata mangrove dipergunakan untuk individu jenis tumbuhan dan kata mangal untuk komunitas hutan yang terdiri atas individu-individu jenis mangrove tersebut. Dalam bahasa Inggris, kata mangrove

dipergunakan baik untuk komunitas pohon-pohon atau rumput-rumput maupun semak belukar yang tumbuh di laut maupun untuk individu jenis tumbuhan yang berasosiasi dengannya.

Menurut Aksornkoae (1993), mangrove adalah tumbuhan halophit yang hidup di sepanjang areal pantai yang dipengaruhi oleh pasang tertinggi sampai daerah mendekati ketinggian rata-rata air laut yang tumbuh di daerah tropis dan subtropis. Hutan mangrove meliputi pohon-pohonan dan semak yang terdiri atas 12 genera tumbuhan berbunga (Avicennia, Sonneratia, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Xylocarpus, Lumnitzera, Laguncularia, Aegiceras, Aegiatilis, Snaeda,

dan Canocarpus), yang termasuk dalam delapan family.

Vegetasi hutan mangrove di Indonesia memiliki keanekaragaman jenis yang tinggi, dengan jumlah jenis tercatat sebanyak 202 jenis yang terdiri atas 89 jenis pohon, 5 jenis palem, 19 jenis liana, 44 jenis epifit dan 1 jenis sikas. Namun demikian hanya terdapat kurang lebih 47 jenis tumbuhan yang spesifik hutan mangrove. Paling tidak di dalam hutan mangrove terdapat salah satu jenis tumbuhan penting/dominan yang termasuk ke dalam 4 famili : Rhizophoracea

(Rhizophora, Bruguiera dan Ceriops), Soneratiaceae(Sonneratia), Avicenniaceae

(Avicennia) dan Meliaceae (Xylocarpus) (Bengen 2004).

Dennis (1992) mengambarkan habitat mangrove berupa sistem akar tunjang atau akar napas yang berada dipinggir pantai, laguna, dan teluk yang berasal dari mangrove. Karakteristik habitat mangrove yakni: (1) umumnya tumbuh di daerah intertidal yang jenis tanahnya berlumpur, berlempung atau


(29)

9

berpasir, (2) daerah yang tergenang air laut secara berkala baik setiap hari maupun yang hanya tergenang pada saat pasang purnama, frekuensi genangan menentukan komposisi vegetasi mangrove, (3) menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat, (4) terlindung dari gelombang besar dan arus pasang yang kuat. air yang bersalinitas payau (2/22 per mil) hingga asin (mencapai 38 per mil) (Bengen 2004).

Tumbuhan mangrove mempunyai kemampuan khusus untuk beradaptasi dengan kondisi lingkungan yang ekstrim, seperti kondisi tanah yang tergenang, kadar garam yang tinggi serta kondisi tanah yang kurang stabil. Dengan kondisi lingkungan seperti ini beberapa jenis mangrove mengembangkan mekanisme yang memungkinkan aktif mengeluakan garam dari jaringan, sementara yang lain mengembangkan system akar napas untuk membantu memperoleh oksigen bagi sistem perakarannya (Bengen 2004).

Menurut Supriharyono (2000) walaupun tumbuhan mangrove dapat berkembang pada lingkungan yang buruk, tetapi setiap tumbuhan mangrove mempunyai kemampuan yang berbeda dalam mempertahankan diri terhadap kondisi lingkungan fisika dan kimia di lingkungannya. Empat faktor utama yang mempengaruhi penyebaran tumbuhan mangrove, yaitu : (1) frekuensi arus pasang, (1) salinitas tanah, (3) air tanah, dan (4) suhu air. Keempat faktor tersebut akan menentukan dominasi jenis mangrove yang ada di tempat yang bersangkutan.

Mangrove dapat berkembang dimana tidak terdapat gelombang. Kondisi fisik pertama yang harus terdapat pada daerah mangrove ialah gerakan air yang minimal. Kurangnya gerakan air ini mempunyai pengaruh yang nyata. Gerakan air yang lambat dapat menyebabkan partikel sedimen yang halus cenderung mengendap dan berkumpul didasar. Hasilnya berupa kumpulan lumpur, jadi substrat pada rawa mangrove biasanya lumpur. Substrat inilah yang nantinya bermanfaat bagi penambahan luasan bagi suatu daerah (Supriharyono 2000).

Jenis-jenis pohon mangrove umumnya menyebar di pantai yang terlindung dan di muara-muara sungai, dengan komposisi jenis yang berbeda tergantung pada kondisi habitatnya. Berdasarkan berbagai hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa penyebaran jenis mangrove berkaitan dengan salinitas, tipe pasang dan frekuensi penggenangan. Dalam hal ini, Watson (1928); Chapman (1994) dan De


(30)

10

Hann (1931) in Kusmana et al.(2005) membuat korelasi antara salinitas, frekuensi genangan pasang (kelas genangan) dan jenis pohon mangrove yang tumbuh pada daerah yang bersangkutan (Tabel 1) .

Tabel 1. Penyebaran jenis-jenis pohon mangrove berdasarkan kelas genangan Tipe pasang/ kelas penggenangan Watson (1928) Kelas penggenangan (salinitas dan frekuensi) Frekuensi penggenangan Chapman (1944)

Jenis pohon dominan

1. Pasang tinggi tertinggi

2. Pasang tinggi rata-rata 3. Pasang tinggi

normal 4. Pasang tinggi

musim

5. pasang tinggi badai

A.Payau sampai asin, salinitas 10-30 ppt, selalu tergenang A1. 1-2 kultur, min 20 hr/bln.

A2. 10-19 hr/bln

A3. 9 hari/bln

A4. Beberapa hr/bln

B. Air tawar sampai payau

B1. Jarang tergenang pasang

530-700 kali/thn

400-530 kali/thn

150-250 kali/thn

4-100 kali/thn

Avicennia spp.

Sonneraia spp.

Rhizophora spp.

Bruguiera spp.

Xylocapus spp.

Heritiera spp.

Lumnitzera spp.

Bruguiera spp.

Scyphypora spp.

Jenis-jenis halophyta Nypa fruticans

Oncosperma sp.

Carbera sp.

Sumber: Kusmana et al.(2005)

Mangrove adalah salah satu sumberdaya yang dapat pulih (renewable). Peran dan fungsi mangrove yang sangat penting, akan tetapi kondisi hutan mangrove saat ini telah mengalami banyak kerusakan. Kerusakan mangrove disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor alam dan faktor manusia. Sekalipun demikian faktor utama kerusakan mangrove adalah karena faktor manusia, seperti aktifitas produksi, eksploitasi, konversi lahan untuk peruntukan lain atau aktifitas non-poduksi seperti polusi dari limbah rumah tangga atau limbah industry (Fauzi 2004).

Lebih lanjut Kusmana (1991) menyatakan, bahwa kerusakan ekosistem mangrove terjadi karena pengaruh dua faktor, yaitu faktor alam dan faktor manusia. Dari faktor alam, kerusakan tersebut dapat terjadi melalui pengaruh proses sedimentasi maupun kenaikan permukaan air laut. Adapun dari faktor


(31)

11

manusia, kerusakan yang terjadi akibat prilaku manusia itu sendiri seperti aforestasi, reforestasi dan eksploitasi hutan mangrove yang tidak terkendali serta pencemaran di perairan estuaria tempat lokasi tumbuhnya mangrove. Uraian secara ringkas dampak kegiatan manusia pada ekosistem mangrove dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Ikhtisar dampak kegiatan manusia terhadap ekosistem mangrove

No Kegiatan Dampak potensial

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Tebang habis

Penggalian alian air tawar, misalnya pada pembangunan irigasi

Konversi menjai lahan pertanian, perikanan, pemukiman, dll.

Pembuangan limbah cair

Pembuangan limbah padat (sampah)

Pencemaran oleh tumpahan minyak

Penebangan dan ekstraksi mineral, baik di dalam hutan maupun di daratan sekitar mangrove

a. berubahnya komposisi tumbuhan mangrove b. tidak berfungsi sebagai daerah mencari

makanan dan pengasuhan

a. peningkatan salinitas pada lahan mangrove b. menurun tingkat kesubuan hutan mangrove

a. mengancam regenerasi stok ikan dan udang di perairan lepas pantai yang memerlukan mangrove

b. terjadi pencemaran laut oleh bahan pencemar yang sebelumnya diikat oleh substrat mangrove

c. pendangkalan perairan pantai d. erosi garis pantai dan intrusi garam.

a. Penurunan kandungan oksigen terlarut, peningkatan gas H2S

a. Kemungkinan tertutupnya pneumatofora

yang mengakibatkan matinya pohon mangrove

b. Perembesan bahan-bahan pencemar dalam sampah padat

a. Kematian pohon mangrove

a. Kerusakan total ekosistem mangrove sehingga menurunkan fungsi ekologis mangrove (daerah mencari makanan dan asuhan).

b. Pengendapan sedimen yang dapat mematikan pohon mangrove. Sumber: Bengen (2004)


(32)

12

2.2. Faktor Lingkungan yang Mempengaruhi Kehidupan Mangrove

Kusmana et al. (2005) berpendapat bahwa terdapat beberapa faktor lingkungan yang mendukung ekosistem mangrove (struktur, fungsi, komposisi dan distribusi spesies, dan pola pertumbuhan) yakni sebagai berikut:

1. Fisiografi pantai

Topografi pantai merupakan factor penting yang mempengaruhi karakteristik struktur mangrove, khususnya komposisi spesies, distribusi spesies dan ukuran serta luas mangrove. Semakin datar pantai dan semakin besar pasang surut maka semakin lebar mangrove yang tumbuh.

2. Iklim a. Cahaya

Umumnya tanamaan mangrove membutuhkan intensitas cahaya matahari yang tinggi dan penuh, sehingga zona pantai tropis merupakan habitat ideal bagi mangrove. Kisaran intensitas cahaya optimal untuk pertumbuhan mangrove adalah 3000 – 3800 kkal/m2/hari. Pada saat masih kecil (semai) tanaman mangrove memerlukan naungan. Beberapa hasil penelitian menunjukkan:

− Intensitas cahaya 50% dapat meningkatkan daya tumbuh bibit

Rhizopora mucronata dan Rhizophora apiculata.

− Intensitas cahaya 75% mempercepat pertumbuhan bibit Bruguiera

gymnorrhiza.

− Intensitas cahaya 75% meningkatkan pertumbuhan tinggi bibit

Rhizopora mucronata, Rhizophora apiculata dan Bruguiera

gymnorrhiza.

b. Curah hujan

Curah hujan mempengaruhi factor lingkungan seperti suhu air dan udara, salinitas air permukaan tanah yang berpengaruh pada daya tahan spesies mangrove. Dalam hal ini mangrove tumbuh subur di daerah curah hujan rata-rata 1500 – 3000 mm/thn.

c. Suhu udara

Suhu penting dalam proses fisiologi seperti fotosintesis dan respirasi. Mangrove yang terdapat dibagian Timur Pulau Sumatera tumbuh pada


(33)

13

suhu rata-rata bulanan dengan kisaran dari 26.3 0C pada Bulan Desember sampai dengan 28.7 0C.

Hutching dan Saenger (1987) in Kusmana et al. (2005) mendapatkan kisaran suhu optimum untuk pertumbuhan beberapa jenis tumbuhan mangrove yaitu: Avicennia marinna tumbuh baik pada suhu 18–20 0C,

Rhizophora stylosa, Criops spp., Exceocaria agallocha dan Lumnitzera

racemosa pertumbuhan daun segar tertinggi dicapai pada suhu 26–28 0C,

suhu optimum Bruguiera spp. 27 0C, Xylocarpus spp. berkisar antara 21– 26 0C dan Xylocarpus granatum 28 0C. Pertumbuhan mangrove yang baik memerlukan suhu rata-rata minimal lebih besar dari 20 0C dan perbedaan suhu musiman tidak melebihi 5 0C kecuali di Afrika Timur dimana perbedaan suhu musiman mencapai suhu 10 0C.

d. Angin

Angin berpengaruh terhadap gelombang dan arus pantai, yang dapat menyebabkan abrasi dan mengubah struktur mangrove, meningkatkan evapotranspirasi dan angin kuat dapat menghalangi pertumbuhan dan menyebabkan karakteristik fisiologis abnormal, namun demikian diperlukan untuk proses polinasi dan penyebaran benih tanaman.

3. Pasang surut

Pasang surut menentukan zonasi komunitas flora dan fauna mangrove. Durasi pasang surut berpengaruh besar terhadap perubahan salinitas pada areal mangrove. Perubahan tingkat salinitas pada saat pasang merupakan salah satu factor yang membatasi distribusi spesies mangrove terutama distribusi horizontal. Pada area yang selalu tergenang hanya Rhizophora mucronata

yang tumbuh baik, sedang Bruguiera spp., dan Xylocarpus spp. jarang mendominasi daerah yang sering tergenang.

4. Gelombang dan arus

Gelombang pantai yang dipengaruhi angin dan pasut merupakan penyebab penting abrasi dan suspensi sedimen. Pada pantai berpasir dan berlumpur, gelombang dapat membawa partikel pasir dan sedimen laut. Partikel besar atau kasar akan mengendap terakumulasi membentuk pantai pasir. Mangrove akan tumbuh pada lokasi yang arusnya tenang.


(34)

14

5. Salinitas

Salinitas air dan salinitas tanah rembesan merupakan faktor penting dari pertumbuhan, daya tahan dan zonasi spesies mangrove. Tumbuhan mangrove tumbuh subur di daerah estuaria dengan salinitas 10-30 ppt. beberapa spesies dapat tumbuh di daerah dengan salinitas yang tinggi. Di Australia dilaporkan

Aviecennia marina dan Exceocaria agallocha dapat tumbuh di daerah dengan

salinitas maksimun 63 ppt, Ceriops spp. pada 72 ppt, Sonneratia spp. pada 44 ppt, Rhizophora artikulata pada 65 ppt dan Rhizophora stylosa pada 74 ppt. Mangrove merupakan vegetasi yang bersifat salt-tolerant bukan

salt-dimanding, oleh karena mangrove dapat tumbuh secara baik di habitat air

tawar. Kebanyakan mangrove tumbuh di habitat maritim mungkin disebabkan oleh beberapa faktor sebagai berikut: (a) penyebaran biji/propagul mangrove terbatas oleh daya jangkau pasang surut, (b) anakan mangrove kalah bersaing dengan tumbuhan darat, dan (c) mangrove dapat mentoleransi kadar garam. Zonasi mangrove berdasarkan salinitas, menurut De Hann (1931) in Bengen (2004) dibagi sebagai berikut:

a. Zona air payau hingga air laut dengan salinitas pada waktu terendam air pasang berkisar antara 10-30 ppt:

− Area yang terendam sekali atau dua kali sehari selama 20 hari dalam sebulan hanya Rhizophora mucronata yang masih dapat tumbuh. − Area yang terendam 10-19 kali/bln, ditemukan Avicennia (Avicennia

alba, Avicennia marina), Sonneratia sp. dan didominasi oleh

Rhizophora sp.

− Area yang terendam kurang dari 9 kali/bulan, ditemukan Rhizophora

sp., Bruguiera sp.

− Area yang tergenang hanya beberapa kali dalam setahun (jarang),

Bruguiera gymnorrhiza dominan dan Rhizophora apikulata masih

dapat hidup.

b. Zona air tawar hingga relatif air payau, dimana salinitas berkisar antara 0-10 ppt:

- Area yang kurang lebih masih di bawah pengaruh pasang surut, terdapat asosiasi Nipah (Nypa fruticans).


(35)

15

- Area yang terendam secara musiman, didominasi oleh Hibiscus. 6. Oksigen terlarut

Oksigen terlarut sangat penting bagi eksistensi flora dan fauna mangrove (terutama dalam proses fotosintesis dan respirasi) dan percepatan dekomposisi serasah sehingga konsentrasi oksigen terlarut berperan mengontrol distribusi dan pertumbuhan mangrove. Konsentrasi oksigen terlarut bervariasi menurut waktu, musim, kesuburan dan organisme akuatik. Konsentrasi oksigen terlarut harian tertinggi dicapai pada siang hari dan terendah pada malam hari. Konsentrasi oksigen terlarut di mangrove berkisar antara 1.7-3.4 mg/l, lebih rendah di banding diluar mangrove yang besarnya 4.4 mg/l.

7. Tanah

Tanah mangrove dibentuk oleh akumulasi sedimen yang berasal dari pantai dan erosi hulu sungai. Mangrove terutama tumbuh pada tanah lumpur, namun berbagai jenis mangrove dapat tumbuh di tanah berpasir, koral, tanah berkerikil bahkan tanah gambut.

8. Nutrien

Nutrient mangrove dibagi atas nutrien in-organik dan detritus organic. Nutrien in-organik penting adalah N dan P (jumlahnya sering terbatas), serta K, Mg dan Na (selalu cukup). Sumber nutrient in-organik adalah hujan, aliran permukaan, sedimen, air laut dan bahan organic yang terdegradasi. Detritus

organic adalah nutrient organic yang berasal dari bahan-bahan biogenic

melalu beberapa tahap degradasi microbial. Detritus organic berasal dari

authochthonus (fitoplankton, diatom, bakteri, algae, sisa organisme dan

kotoran organisme) dan allochthonus (partikulat dari air, limpasan sungai, partikel tanah dari pantai dan erosi tanah, serta tanaman dan hewan yang mati di zona pantai dan laut).

9. Proteksi

Mangrove berkembang baik di daerah pesisir yang terlindungi dari gelombang yang kuat yang dapat menghempaskan anakan mangrove. Daerah yang dimaksud dapat berupa laguna, teluk, estuaria, delta, dan lain-lain. Beberapa ahli ekologi mangrove berpendapat bahwa faktor-faktor lingkungan


(36)

16

yang paling berperan dalam pertumbuhan mangrove adalah tipe tanah, salinitas, drainase dan arus yang semuanya diakibatkan oleh kombinasi pengaruh fenomena pasang surut dan ketinggian tempat dari rata-rata muka air laut.

2.3. Zonasi dan Struktur Vegetasi Ekosistem Mangrove

Dalam perencanaan konservasi, distribusi/sebaran jenis tumbuhan dan binatang disepanjang area sangat diperlukan sebagai informasi dasar (Pearce & Ferrier 2001). Lebih lanjut Van Horne (1983) menyatakan, bahwa informasi demografis dan utilisasi sumber daya yang lengkap adalah hal penting untuk pemahaman kelayakan habitat dan akan mutunya.

Menurut Noor et al. (1999), mangrove pada umumya tumbuh dalam 4 (empat) zona yaitu, pada daerah terbuka, daerah tengah, daerah yang memiliki sungai berair payau sampai hampir tawar, serta daerah ke arah daratan yang memiliki air tawar. Lebih jelasnya masing-masing zona diuraikan sebagai berikut:

a) Mangrove terbuka, berada pada bagian yang berhadapan dengan laut.

Komposisi floristic dari komunitas di zona terbuka sangat tergantung pada substratnya. Contoh tanamannya adalah Sonneratia alba yang mendominasi daerah berpasir sementara Avicennia marina dan Rhizophora mucronata

cenderung untuk mendominasi daerah yang berlumpur.

b) Mangrove tengah, terletak di belakang mangrove zona terbuka. Di zona ini

biasanya didominasi oleh jenis Rhizophora. Jenis-jenis penting lainnya yang ditemukan adalah Bruguiera gymnorhiza, Excoecaria agallocha, Rhizophora

mucronata, Xylocarpus granatum dan X. moluccensis.

c) Mangrove payau, berada di sepanjang sungai berair payau hingga hampir

tawar. Di zona ini biasanya didominasi oleh komunitas Nypa atau sonneratia. Di jalur lain biasanya ditemukan tegakan Nypa fruticans yang bersambung dengan vegetasi yang terdiri atas Cerbera sp., Gluta renghas, Stenochlaena

palustris, dan Xylocarpus granatum. Ke arah pantai campuran komunitas

Sonneratia-Nypa lebih sering ditemukan.

d) Mangrove daratan, berada di zona perairan payau atau hampir tawar di

belakang jalur hijau mangrove sebenarnya. Zona ini memiliki kekayaan jenis yang lebih tinggi dibandingkan dengan zona lainnya. Jenis-jenis yang umum


(37)

17

ditemukan pada zona ini termasuk Ficus microcarpus, F. retusa, Intsia bijuga,

Nypa fruticans, Lumnitzera racemoza, Pandanus sp., dan Xylocarpus

moluccensis.

2.4. Fungsi dan Manfaat Ekosistem Mangrove

Ekosistem mangrove merupakan sumberdaya alam tropika yang memiliki banyak manfaat, baik aspek ekologi maupun aspek sosial ekonomi. Peranan penting ekosistem mangove bagi kehidupan dapat diketahui dari banyaknya makhluk hidup, baik yang hidup di parairan, di atas lahan maupun di tajuk-tajuk pohon mangrove serta ketergantungan manusia terhadap ekosistem tersebut. Mangrove berfungsi untuk mensuplai berbagai material ke daerah pantai (Alongi 1989; Hatcher et al. 1989; Chong et al. 1990; Lee 1995). Material ini menstimulasi produktivitas pantai, dimana daerah pantai yang bermangrove akan memiliki hasil perikanan yang lebih besar dibandingkan daerah pantai tanpa mangrove (Marshall 1994). Detritus mangrove setelah terbawa air laut merupakan nutrisi yang berpengaruh nyata bagi kehidupan pesisir dan laut (Rodelli et al.

1984, Hatcher et al. 1989, Fleming et al. 1990, Marguillier et al. 1997). Sebagai tambahan, mangrove juga menyediakan bahan makanan, tempat bernaung, dan sebagai tempat perlindungan untuk berbagai organisme intertidal maupun subtidal (Blaber 1986; Robertson & Duke 1987).

Para ahli berpendapat bahwa hutan mangrove memiliki fungsi fisik, fungsi biologi dan fungsi ekonomi. Menurut Hamilton dan Sneadaker (1984), Arief (1994) dan Bann (1998), fungsi hutan mangrove dapat dipandang dari beberapa aspek yaitu :

1. Fungsi biologi

Fungsi biologi dari hutan mangrove antara lain:

(a).Tempat pemijahan (spawning ground) dan pertumbuhan pasca larva

(nursery ground) komoditi perikanan bernilai ekonomis tinggi (ikan,

kepiting, udang dan kerang)

(b).Pelindung terhadap keanekaragaman hayati

(c).Penyerap karbon dan penghasil oksigen yang sangat berguna bagi peningkatan kualitas lingkungan hidup


(38)

18

2. Fungsi fisik

Fungsi fisik dari hutan mangrove antara lain:

(a).Pembangunan lahan dan pengendapan lumpur sehingga dapat memperluas daratan.

(b).Menjaga garis pantai agar tetap stabil, pelindung pantai dari abrasi akibat gempuran ombak, arus, banjir akibat laut pasang dan terpaan angin

(c).Pencegah interusi air laut ke daratan

(d).Pengolah limbah organic dan perangkap zat-zat pencemar (pollutant trap). 3. Fungsi ekonomi

Fungsi ekonomi yang berkaitan dengan pemanfaatan langsung dari hutan mangrove antara lain:

(a).Bahan bakar (kayu bakar dan arang)

(b).Bahan bangunan (kayu bangunan, tiang dan pagar)

(c).Alat penangkap ikan ( tiang sero, bubu, pelampung dan bagan) (d).Makanan, minuman dan obat-obatan

(e).Bahan baku pulp dan kertas

(f).Bahan baku untuk membuat alat-alat rumah tangga dan kerajinan (g).Pariwisata

Fungsi fisik dan biologi dapat dikatakan sebagai fungsi ekologis yang belum mengalami perubahan dari aktivitas pembangunan manusia. Fungsi ekonomi merupakan unsur tambahan dalam system ekologi tersebut yang telah melibatkan berbagai aktifitas untuk memanfaatkan sumberdaya alam. Fungsi ekologis secara ekonomis memberi manfaat tidak langsung terhadap manusia, sedangkan fungsi ekonomi memberikan manfaat langsung kepada manusia.

Menurut Liyanage (2004), nilai keuntungan (manfaat) tidak langsung dari eksosistem mangrove dirasakan lebih tinggi jika dibandingkan manfaat langsungnya. Nilai penting ekosistem mangrove antara lain menurunkan tingkat erosi di pantai dan sungai, mencegah banjir, mencegah intrusi air laut, menurunkan tingkat polusi (pencemaran), poduksi bahan organik sebagai sumber bahan makanan, sebagai wilayah (daerah) asuhan, pemijahan, dan mencari makan untuk berbagai jenis biota laut. Mangrove juga akan menjadi sumberdaya penting dalam ekowisata di banyak negara. Hong dan San (1993) menambahkan bahwa


(39)

19

pada kenyataannya ekosistem ini menjaga kestabilan garis pantai, menyediakan penghalang alami dari badai, topan, pasang surut yang tidak menentu dan bencana alam lainnya. Untuk beberapa kasus, ekosistem mangrove berkontribusi secara signifikan terhadap kehidupan social ekonomi masyarakat disekitarnya.

Melena et al. (2000) menambahkan bahwa terdapat 6 fungsi ekosistem mangrove ditinjau dari ekologi dan ekonomi, yaitu:

1. Mangrove menydiakan daerah asuhan untuk ikan, udang dan kepiting, dan mendukung produksi perikanan di wilaiayah pesisir.

2. Mangrove menghasilkan serasah daun dan bahan-bahan pengurai yang berguna sebagai bahan makanan hewan-hewan estuari dan perairan pesisir. 3. Mangrove melindungi lingkungan sekitar dengan melindungi daerah

pesisir dan masyarakat didalamnya dari badai, ombak, pasang surut dan topan.

4. Mangrove menghasilkan bahan organik (organic biomass) yaitu karbon dan menurunkan polusi bahan organik di daerah tepi dengan menjebak dan menyerap berbagai polutan yang masuk kedalam perairan.

5. Dari segi estetika, mangrove menyediakan daerah wisata untuk pengamatan burung, dan pengamatan jenis-jenis satwa lainnya.

6. Mangrove menyediakan kayu api untuk bahan bakar, kayu untuk bahan bangunan, daun nipah untuk atap dan kerajinan tangan, serta lahan tambak untuk budidaya perikanan. Ikan, udang-udangan, kerang dan berbagai benih ikan juga dapat di panen dari ekosistem mangrove. Akuakultur dan perikanan komersial (perikanan tangkap) juga tergantung dari sumberdaya mangrove, yaitu sebagai tempat untuk tumbuh dan berkembang biak berbagai jenis komoditas perikanan. Selain itu mangrove juga sebagai sumber tannin, alkohol, dan obat-obatan. Nilai keseluruhan ekosistem mangrove berkisar $500 US – $1 550 USD /ha/thn, nilai minim terjadi ketika ekosistem mangrove dikonversi menjadi diperuntukan yang lain.

2.5. Konsep dan Metode Valuasi Ekonomi 2.5.1. Konsep Valuasi Ekonomi

Konsep nilai (value) adalah harga yang diberikan oleh seseorang terhadap sesuatu pada suatu tempat dan waktu tertentu. Ukuran harga ditentukan oleh


(40)

20

waktu, barang atau uang yang akan dikorbankan seseorang untuk atau menggunakan barang atau jasa yang diinginkannya. Penilaian (valuation) adalah kegiatan yang berkaitan dengan pembangunan konsep dan metodologi untuk menduga nilai barang dan jasa. Kajian-kajian valuasi ekonomi membahas masalah nilai lingkungan (valuing the environment) atau harga lingkungan (pricing the

environment).

Pada prinsipnya valuasi ekonomi bertujuan untuk memberikan nilai ekonomi kepada sumberdaya yang digunakan sesuai dengan nilai riil dari sudut pandang masyarakat. Menurut Thampapillai (1993) dalam Sanim (1997) tujuan utama dari valuasi ekonomi barang-barang dan jasa lingkungan (environmental

goods dan services) adalah untuk dapat menempatkan lingkungan sebagai

komponen integral dari setiap sistem ekonomi. Dengan demikian valuasi lingkungan hidup harus merupakan suatu bagian integral dan prioritas sektoral dalam mendeterminasi keseimbangan antara konservasi dan pembangunan.

Bermacam-macam teknik penilaian dapat digunakan untuk mengkuantifikasi konsep dari nilai. Sanim (1997) menyatakan hal-hal yang harus diperhatikan dan dipertimbangkan dalam memilih suatu metode valuasi ekonomi dampak lingkungan adalah sebagai berikut :

1. Banyaknya tujuan atau perkiraan yang ingin diukur. Apabila analisis yang dilakukan memiliki tujuan ganda, maka akan lebih meyakinkan bagi seorang analis apabila mampu menyarankan besaran-besaran dampak yang disarankan.

2. Konsep dan aspek yang ingin dinilai. Metode valuasi yang saling berbeda satu sama lain bersifat saling melengkapi bukan berkompetisi, karena mengukur aspek atau konsep yang berbeda.

3. Kebutuhan atau kepentingan pemakai hasil valuasi. Pemakai hasil valuasi memiliki preferensi tertentu dan tersendiri terhadap suatu metode valuasi ekonomi tergantung biaya, waktu dan tujuan.

4. Kepentingan umum atau masyarakat secara keseluruhan. Preferensi masyarakat umum harus mampu ditangkap secara maksimal dan setepat mungkin. Oleh karena itu, perlu ditempuh cara jajak pendapat yang intensif dan memadai.


(41)

21

5. Perbandingan atau bobot antara biaya dengan nilai ekonomi penggunaan hasil valuasi ekonomi. Apakah keuntungan yang diperoleh dari hasil penggunaan valuasi tersebut sebanding dengan biaya yang akan dikeluarkan.

2.5.2. Metode Valuasi Ekonomi

Kegiatan valuasi ekonomi terdiri dari 3 tahap yaitu: (1) melakukan identifikasi manfaat dan fungsi sumberdaya, (2) melakukan kuantifikasi seluruh manfaat dan fungsi sumberdaya, dan (3) melakukan pilihan alternatif pengelolaan sumberdaya (Dahuri et al. 2004).

a. Identifikasi manfaat dan fungsi ekosistem mangrove

Manfaat ekosistem hutan mangrove yang dikonsumsi oleh masyarakat dapat dikategorikan ke dalam dua komponen utama yaitu manfaat langsung (use

value) dan manfaat tidak langsung (non use value). Komponen manfaat langsung

dikategorikan kembali ke dalam nilai kegunaan langsung (direct use value) dan nilai kegunaan tidak langsung (indirect use value). Nilai kegunaan langsung merujuk pada kegunaan langsung dari pemanfaatan hutan mangrove baik secara komersial maupun non komersial. Sedangkan nilai kegunaan tidak langsung merujuk pada nilai yang dirasakan secara tidak langsung terhadap barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam dan lingkungan (Dahuri et al. 2004).

Komponen manfaat tidak langsung adalah nilai yang diberikan kepada hutan mangrove atas keberadaannya meskipun tidak dikonsumsi secara langsung dan lebih bersifat sulit diukur karena lebih didasarkan pada preferensi terhadap lingkungan ketimbang pemanfaatan langsung. Komponen manfaat tidak langsung dibagi lagi ke dalam sub-class yaitu nilai keberadaan (existence value), nilai pewarisan (bequest value) dan nilai pilihan (option value). Nilai keberadaan pada dasarnya adalah penilaian yang diberikan dengan terpeliharanya sumberdaya. Nilai pewarisan diartikan sebagai nilai yang diberikan oleh generasi kini dengan menyediakan atau mewariskan sumberdaya untuk generasi mendatang. Nilai pilihan diartikan sebagai nilai pemeliharaan sumberdaya sehingga pilihan untuk memanfaatkannya masih tersedia untuk masa yang akan datang (Dahuri et al.


(42)

22

b. Kuantifikasi manfaat dan fungsi ekosistem hutan mangrove

Tipologi metode valuasi ekonomi dapat digolongkan dalam tiga bagian besar, terantung pada derajat atau kemudahan aplikasinya yaitu: (1) umum diaplikasikan, (2) potensial untuk diaplikasikan, dan (3) didasarkan atas survey. Secara garis besar metode valuasi ekonomi dapat dibagi dalam dua kelompok besar yaitu pendekatan manfaat (benefit based valuation) dan pendekatan biaya

(cost based valuation). Metode-metode tersebut pada dasarnya merupakan turunan

dari metode analisis biaya manfaat (Dixon and Hodgson 1988)

Metode valuasi dengan pendekatan manfaat dapat dikelompokkan ke dalam 2 kategori umum yaitu: berdasarkan nilai pasar aktual (actual market based

methods) dan yang kedua berdasarkan nilai pasar pengganti (substitute or

surrogate market based methods). Metode-metode valuasi ekonomi yang

termasuk ke dalam pengukuran nilai pasar aktual adalah (1) perubahan nilai produksi (change in productivity), (2) metode kehilangan penghasilan (loss of

earning methods). Untuk metode pasar pengganti terdiri dari: (1) biaya perjalanan

(travel cost methods), (2) pendekatan perbedaan upah (wage differential methods),

(3) pendekatan nilai pemilikan (property value), dan (4) pendekatan nilai barang yang dapat dipasarkan sebagai pengganti lingkungan (hedonic pricing).

Metode valuasi dengan pendekatan biaya terdiri dari: (1) pengeluaran pencegahan (averted defensive expenditure methods), (2) proyek bayangan

(shadow project methods), (3) biaya penggantian (replacement cost methods), dan

(4) biaya perpindahan (relocation cost methods). Secara ringkas, hubungan antara nilai ekonomi dan metode valuasinya dapat dilihat pada Gambar 2.


(43)

23

 

Gambar 2. Pengelompokan nilai ekonomi lingkungan dan hubungannya dengan metode valuasi ekonomi lingkungan (Dixon and Hodgson 1988).

Hufschmidt et al. (1996) mengelompokkan metode valuasi ekonomi berdasarkan pendekatan harga pasar (actual market based methods) dan berdasarkan pendekatan survei atau penilaian hipotesis. Pendekatan berorientasi pasar telah mencakup berbagai metode valuasi yang dikemukakan oleh Dixon dan Hudgson (1988). Pendekatan berdasarkan survey (survey based methods), terdiri dari metode pendekatan berdasarkan kondisi lapangan (contingen valuation


(44)

24

c. Pilihan alternatif pengelolaan ekosistem hutan mangrove

Dalam menetapkan kebijakan dengan mengutamakan prinsip keseimbangan antara pemanfaatan dan pelestarian fungsi sumberdaya hutan mangrove, maka pemahaman terhadap nilai ekonomi total (total economic value) hutan mangrove serta kombinasi alokasi pemanfaatan sumberdaya yang efisien mutlak diperlukan. Menurut Barbier (1989), konsep nilai ekonomi total terdiri dari 5 komponen yaitu nilai manfaat langsung (direct use value), nilai manfaat tidak langsung (indirect use value), nilai manfaat pilihan (option value), nilai keberadaan (existence value), dan nilai waris (bequest value).

Menurut Sanim (1997), nilai ekonomi dari aset lingkungan hidup dapat dipecah-pecah kedalam suatu set bagian komponen. Sebagai ilustrasi dalam konteks penentuan alternatif penggunaan lahan dari hutan mangrove. Bedasarkan hukum biaya dan manfaat (benefit – cost rule), keputusan untuk mengembangkan suatu hutan mangrove dapat dibenarkan apabila manfaat bersih dari pengembangan hutan tersebut lebih besar dari manfaat bersih konservasi. Jadi dalam hal ini manfaat konservasi diukur dengan nilai ekonomi total dari hutan mangrove tersebut yang juga dapat diinterprestasikan sebagai perubahan kualitas lingkungan hidup.

Ruitenbeek (1994) mengemukakan dengan teknik analisis biaya dan manfaat dapat membantu dalam pengambilan keputusan untuk perencanaan dan pengelolaan lingkungan. Dalam hal ini analisis biaya dan manfaat digunakan untuk mengukur semua manfaat (benefit) dan biaya (cost) sebuah proyek dari awal sampai akhir dalam bentuk nilai uang dan memberikan ukuran efisiensi ekonomi proyek tersebut dari pandangan masyarakat.

Lubis (1995) mengemukakan bahwa analisis biaya dan manfaat dapat digunakan jika :

1. Sebagian manfaat dan biaya proyek dapat dihitung dengan nilai uang

2. Manfaat dan biaya termasuk manfaat dan biaya lingkungan yang mengenai sekelompok masyarakat tidak secara langsung dihitung dalam proyek (dampak eksternal)


(45)

25

Adapun faktor-faktor yang perlu dibedakan dalam kuantifikasi manfaat dan biaya yaitu :

1. Kemungkinan logis untuk menilai semua manfaat dan biaya sebuah proyek 2. Kemungkinan empiris untuk mengevaluasi

3. Penilaian moral atas valuasi tersebut

Dampak lingkungan sedapat mungkin diintegrasikan kedalam proses valuasi proyek, sehingga memungkinkan bagi pembuat kebijakan untuk membandingkan dampak lingkungan dengan dampak ekonomi dalam suatu unit yang sama. Tabel 3 menunjukkan beberapa dampak lingkungan yang dapat dihitung dalam ukuran uang dan dimasukkan dalam analisa manfaat dan biaya. Dalam tabel tersebut terlihat adanya dampak positif (manfaat) dan dampak negatif (biaya) dari pembukaan hutan bakau untuk tambak.

Tabel 3. Contoh hipotesis penilaian dampak ekonomi pembukaan hutan mangrove untuk lahan tambak

No Dampak Manfaat/

Biaya Pengukur

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.

Peningkatan produksi ikan dan udang

Kehilangan jenis ikan dan biota lain

Peningkatan rekreasi atau wisata pantai

Peningkatan kondisi lingkungan karena perkembangan daerah Abrasi pantai

Konstruksi irigasi dan pekerjaan pemeliharaan Relokasi penduduk Manfaat Biaya Manfaat Manfaat Biaya Biaya Biaya

Harga ikan atau udang setelah disesuaikan dengan

subsidi/pajak x produksi ???

Jumlah uang yang dibelanjakan oleh turis

Peningkatan harga tanah

Kehilangan lahan

Harga bahan bangunan, tenaga kerja, kapital dan alat

??? 8.

9. 10.

Operasi dan biaya pekerjaan pemeliharaan lainnya Pembersihan lahan Penurunan hasil ikan di muara dan lepas pantai

Biaya

Biaya Biaya

Harga bahan bangunan, tenaga kerja, kapital dan alat

Harga peralatan, tenaga kerja Harga ikan x jumlah ikan yang berkurang


(46)

26

2.6. Analisis Kelembagaan

Secara umum terdapat dua jenis pengertian institusi, pertama adalah institusi sebagai organisasi dan kedua adalah institusi sebagi aturan main atau

“rules of the game”. Institusi sebagai suatu organisasi biasanya menunjukan pada

lembaga-lembaga formal seperti departemen dalam pemerintahan, koperasi, bank, rumah sakit, dan sejenisnya. Institusi sebagai “rules of the game” merupakan aturan main, norma-norma, larangan-larangan, kontrak, dan lain sebagainya dalam mengatur dan mengendalikan perilaku individu dalam masyarakat atau organisasi (North 1990; Rodgers 1994). Bromley (1992) mengibaratkan organisasi sebagai

hardwere dan institusi adalah softwerenya.

Suatu institusi, terdiri dari tiga unsur utama yaitu batas jurisdiksi, property

rights, dan aturan representasi (rules of representations). Satu institusi berbeda

dengan institusi lainnya apabila satu atau lebih dari unsur-unsur tersebut berbeda. Untuk memahami institusi lebih mendalam dan dapat melihat dampak perubahan alternatif institusi terhadap performa kita perlu terlebih dahulu mempelajari unsur-unsur dari institusi itu sendiri (Schmid and Allan 1987).

Landasan kerangka analitik institusi adalah mempelajari dampak perubahan alternatif institusi terhadap perubahan prilaku manusia yang akhirnya akan menghasilkan performa yang berbeda. Perubahan institusi hanya akan menghasilkan performa yang berbeda apabila perubahan tersebut dapat mengkontrol sumber interdependensi antar individu seperti inkompatibilitas, ongkos eksklusi tinggi (high exclusion cost), ongkos transaksi, skala ekonomi,

joint impact good,dan seterusnya. Kemampuan suatu institusi mengkordinasikan,

mengendalikan, atau mengontrol interdependensi antar partisipan sangat ditentukan oleh kemampuan institusi tersebut mengendalikan sumber interdependensi. Oleh karena itu pengetahuan mengenai sumber interdependensi dan alternatif institusi sangat penting karena kesalahan dalam pemahaman sumber interdependensi akan menyebabkan perubahan institusi tidak efektif (Schmid and


(47)

27

Gambar 3. Kerangka analisis kelembagaan (Schmid and Allan 1987)

2.7. Konsep Pengelolaan Berkelanjutan

Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan untuk memenuhi kebutuhan saat ini tanpa merusak atau menurunkan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kehidupannya (WCED 1987 in Dahuri et al. 2004). Selanjutnya Bengen (2004) berpendapat bahwa pembangunan berkelanjutan

(sustainable development) merupakan visi dunia internasional yang sudah saatnya

juga menjadi visi nasional. Visi pembangunan berkelanjutan tidak melarang aktivitas pembangunan ekonomi, tetapi menganjurkannya dengan persyaratan bahwa laju (tingkat) kegiatan pembangunan tidak melampaui daya dukung

(carrying capacity) lingkungan alam. Dengan demikian generasi mendatang

memiliki asset sumber daya alam dan jasa lingkungan (environmental service) yang sama atau jika dapat lebih baik daripada generasi yang hidup sekarang. Menurut Dahuri et al. (2004), pada dasarnya pembangunan berkelanjutan merupakan suatu strategi pembangunan yang memberikan semacam ambang batas

(limit) pada laju pemanfaatan ekosistem alamiah serta sumber daya alam yang ada

didalamnya. Ambang batas yang dimaksud tidaklah bersifat mutlak (absolute) melainkan merupakan batasan yang luwes (fleksibel) yang tergantung pada kondisi teknologi dan social ekonomi tentang pemanfaatan sumber daya alam serta kemampuan biosfer untuk menerima dampak kegiatan manusia. Secara garis besar konsep pembangunan berkelanjutan memiliki 4 dimensi:

(1) Dimensi ekologis, (2) Dimensi sosial budaya,

SITUASI

STRUKTUR

KEBIJAKAN TRANSISI

KEBIJAKAN MENDASAR

PERILAKU PERFORMANCE AKAR

MASALAH


(48)

28

(3) Dimensi sosial politis,

(4) Dimensi hukum dan kelembagaan (Dahuri et al. 2004).

Konsep pengelolaan lain yang berbasis ekosistem yang juga telah diperkenalkan oleh Meffe et al. (2002) in INRR (2005) yang menggambarkan bahwa pada dasarnya pendekatan ini mengintegasikan antara pemahaman ekologi dan nilai-nilai sosial ekonomi. Dalam hal ini tujuan pengelolaan berbasis ekosistem adalah memelihara, menjaga kelestarian dan integritas ekosistem sehingga pada saat yang sama mampu menjamin keberlanjutan suplai sumberdaya untuk kepentingan sosial ekonomi manusia. Rejim kolaboratif untuk mecapai tujuan tersebut adalah 3 pilar pengelolaan berbasis ekologi, social ekonomi dan institusi (Gambar 4). Dari gambar tersebut terdapat 4 konteks kebijakan yang masing-masing merupakan dua perspektif tersebut.

Konteks ekologi

Konteks Sosial Ekonomi

Konteks Hukum

C A

D B

Gambar 4. Tiga pilar pengelolaan berbasis social ekosistem (Meffe et al. 2002 in

INRR 2005)

Gambar diatas dapat dijelaskan bahwa daerah A adalah zona otoritas pengelolaan (zone of management authority), dimana institusi pengelola mendapatkan mandat dari masyarakat untuk melakukan regulasi terhadap pengambilan keputusan yang terkait dengan ekosistem. Daerah B disebut sebagai daerah kewajiban masyarakat (zone of societal obligation), dimana kebijakan yang diambil institusi menitikberatkan pada kepentingan masyarakat sementara itu daerah C adalah daerah pengaruh (zone of influence), dimana dinamika keterkaitan sistem alam dan sistem sosial ekonomi terjadi dalam konsteks proses dan bukan pada regulasi atau otoritas. Dengan kata lain proses saling memengaruhi antar keduanya menjadi fokus utama dari perspektif daerah C.


(49)

29

Terakhir adalah daerah D sering pula disebut daerah interaksi bersama (zone of

win-win partnership) dimana fokus utama pembangunan berbasis pada sistem

sosial ekologi berada. Dalam konteks ini pandangan ketiga pilar pengelolaan berbasis sosial ekosistem menjadi sama penting dan diwujudkan dalam kebijakan pembangunan yang komprehensif dan terpadu.

2.8. Pengelolaan Ekosistem Mangrove yang Berkelanjutan

Pengelolaan ekosistem mangrove merupakan suatu upaya untuk memelihara, melindungi dan merehabilitasi sehinga pemanfaatan terhadap ekosistem ini dapat berkelanjutan. Menurut Aksornkoae (1993) pengelolaan mangrove yang baik sangat penting untuk saat ini dan tujuan dari pengelolaan ini antara lain harus:

1. Mengelola hutan mangrove untuk kepentingan produksi seperti kayu-kayuan, kayu api, arang, untuk memenuhi domestik maupun ekspor.

2. Mengelola hutan mangrove untuk kepentingan tidak langsung seperti daerah pemijahan dan mencari makan bebeberapa organisme darat dan laut, pelindung badai, pencegah banjir dan erosi tanah.

3. Mengelola hutan mangrove sebagai satu kesatuan yang terpadu dari berbagai ekosistem pantai, bukan sebagai ekosistem yang terisolasi.

Namun demikian pada hakekatnya dalam kerangka pengelolaan dan pelestarian mangrove terdapat tiga konsep yang dapat diterapkan. Ketiga konsep tersebut adalah perlindungan hutan mangrove, pemanfaatan hutan mangrove dan rehabilitasi hutan mangrove. Ketiga konsep ini memberikan legitimasi dan pengertian bahwa mangrove sangat memerlukan pengelolaan dan perlindungan agar dapat lestari dan pemanfaatannya dapat berkelanjutan.

1) Perlindungan hutan mangove

Pelindungan terhadap hutan mangrove merupakan salah satu upaya pengelolaan berkelanjutan terhadap ekosistem ini. Wujud nyata perlindungan dimaksud dapat dilakukan melalui penetapan suatu kawasan konservasi suatu bentuk sabuk hijau di sepanjang pantai dan tepi sungai. Bentuk perlindungan seperti ini cukup efektif dilakukan dan membawa hasil. Upaya perlindungan ini berkaitan erat dengan Surat Keputusan Bersama Menteri Pertanian dan


(50)

30

Menteri Kehutanan nomor : KB.550/ 264/ kpts/ 1984 dan nomor: 082/ Kpts-II/ 1984 tanggal 30 April 1984 dimana diantaranya disebutkan bahwa lebar sabuk hijau hutan mangrove adalah 200 m. Surat keputusan bersama itu dibuat selain dengan tujuan utama memberikan legitimasi terhadap perlindungan hutan mangrove, juga buat untuk menyelaraskan peraturan mengenai areal perlindungan hutan mangrove diantara instansi terkait.

Surat keputusan bersama ini lebih lanjut dijabarkan oleh Depatemen Kehutanan dengan mengelakan Surat Edaran Nomor: 507/ IV-BPHH/ 1990 yang diantaranya berisi penentuan lebar sabuk hijau paa hutan mangrove yaitu sebsar 200 m disepanjang pantai dan 50 m disepanjang tepi sungai. Berkaitan dengan perlindungan ekosistem mangrove dengan penentuan kawasan konservasi seperti diuraikan diatas, perlu dilakukan suatu zonasi terhadap ekosistem mangrove dengan tujuan pengaturan berbagai bentuk kepentingan terhadap ekosistem ini. Menurut Aksornkoae (1993) zonasi mangrove meupakan salah satu langkah pertama untuk pengawasan dan pengelolaan ekosistem mangrove secaa berkelanjutan. Menurut persetujuan internasional terhadap zonasi mangrove tedapat 3 zona utama yaitu:

a. Zona pemeliharaan (preservation zone) merupakan zona yang kaya akan hutan mangrove, tidak terganggu oleh aktivitas manusia yang menyediakan sumber makanan dan daerah berbiak biota laut. Zona ini juga melindungi daerah pantai dari angin, badai dan erosi tanah.

b. Zona perlindungan (conservation zone) merupakan zona dengan hutan mangrove yang sedikit. Biasanya ditanam untuk tujuan tertentu dari pemerintah, ditebang dan dibiarkan hutan mangrove tersebut untuk regenerasi. Pada zona ini juga biasa digunakan sebagai tempat pemancingan oleh masyarakat local.

c. Zona pengembangan (development zone) merupakan zona dengan penutupan mangrove yang sangat kecil (kerusakan parah) dan dibutuhkan penghutanan kembali atau pengelolaan untuk kepentingan lain.


(51)

31

2) Pemanfaatan hutan mangrove

Dari segi pemanfaatan, Inoue et al. (1999) menyatakan mangrove sebagai suatu ekosistem pada umumnya dapat dimanfaatkan secara langsung dan tidak langsung antara lain yaitu arang, kayu bakar, bahan bangunan, chip,

tannin, nipah, obat-obatan, bahan makanan, perikanan (penangkapan ikan,

tambak), pertanian, perkebunan dan pariwisata. 3) Rehabilitasi hutan mangove

Rehabilitasi merupakan kegiatan/upaya, termasuk didalamnya pemulihan dan penciptaan habitat dengan mengubah sistem yang rusak menjadi lebih stabil. Pemulihan merupakan suatu kegiatan untuk menciptakan suatu ekosistem atau memperbarui untuk kembali pada fungsi alamiahnya. Namun demikian, rehabilitasi mangrove sering diartikan secara sederhana, yaitu menanam mangrove atau membenihkan mangrove lalu menanamnya tanpa adanya penilaian yang memadai dan evaluasi terhadap keberhasilan penanam pada level ekosistem. Selain itu, untuk alasan ekonomi usaha pemulihan kembali ekosisetm mangrove seringkali terbatas pada jenis-jenis tertentu dari mangrove (dua atau tiga jenis). Hal ini meneyebabkan perubahan terhadap habitat dan penurunan fungsi ekologi ekosistem magrove tersebut karena sifatnya yang homogen dibandingkan dengan yang alami (heterogen dan banyak spesies) yang merupakan biodiversitas dalam kaitannya dengan kekayaan genetic (Macintosh et al. 2002).

Pelestarian hutan mangrove merupakan usaha yang sangat kompleks untuk dilaksanakan, karena kegiatan tersebut sangat membutuhkan sifat akomodatif dari segenap pihak yang berada disekitar kawasan. Namun demikian, sifat akomodatif ini akan lebih dirasakan manfaatnya bilamana keberpihakan terhadap masyarakat yang sangat rentan terhadap sumber daya mangrove diberikan porsi yang lebih besar. Menurut Sembiring dan Husbaini (1999), pemberian porsi yang besar kepada masyarakat harus diiringi dengan upaya pembangunan kesadaran dan persepsi pentingnya arti dan peran hutan mangrove itu sendiri. Pandangan masyarakat yang selama ini hanya melihat kepentingan mangrove dari sudut ekonomi, secara berangsur-angsur harus digiring ke arah kepentingan bioekologis.


(1)

199

Lampiran 26 (lanjutan). C. Property Right

1. Menurut bapak bolehkah masyarakat desa Dabong masuk dalam kawasan Hutan Lindung Mangrove? Jelaskan!

2. Menurut bapak bolehkah masyarakat desa Dabong mengambil hasil hutan dan hasil perikanan didalam kawasan Hutan Lindung Mangrove seperti daun, buah, kayu, ikan, satwa, dll? Jelaskan!

3. Menurut bapak bolehkah masyarakat desa Dabong bermukim dan mengolah lahan (untuk tambak, pertanian dll) di kawasan Hutan Lindung Mangrove? Jelaskan!

4. Menurut bapak apakah masyarakat desa Dabong bisa/harus melarang warga lain masuk dalam wilayah Hutan Lindung Mangrove atau hutan sekitarnya? Jelaskan!

5. Menurut bapak bolehkah masyarakat desa Dabong menjual lahan yang terletak didalam kawasan Hutan Lindung Mangrove baik yang telah atau belum dijadikan tambak? Jelaskan!

D. Role Of Representation (Aturan Representatif)

1. Menurut bapak bolehkah masyarakat desa Dabong ikut mengambil keputusan terhadap penetapan tata batas wilayah kawasan Hutan Lindung Mangrove? Jelaskan!

2. Menurut bapak bolehkah masyarakat desa Dabong ikut mengambil keputusan terhadap apa yang boleh diakses dalam kawasan Hutan Lindung Mangrove? Jelaskan!

3. Menurut bapak bolehkah masyarakat desa Dabong ikut mengambil keputusan terhadap siapa saja yang boleh mengakses kawasan Hutan Lindung Mangrove? Jelaskan!

4. Menurut bapak bolehkah masyarakat desa Dabong ikut mengambil keputusan terhadap pemberian sanksi terhadap pelangaran aturan-aturan didalam kawasan Hutan Lindung Mangrove? Jelaskan!

Catatan :

1. Kusisoner tidak diberikan kepada responden, melainkan disampaikan dengan oral dalam bentuk wawancara.

2. Pertanyaan dalam kuisioner ini bersifat dinamis, dapat disesuaikan dengan kondisi dilapangan.


(2)

Lampiran 27. Contoh perijinan yang dimiliki petambak di Desa Dabong yang berupa “Ijin Usaha Perikanan (IUP)”


(3)

Lampiran 28. Contoh perijinan yang dimiliki petambak di Desa Dabong yang berupa “Surat Pembudidayaan Ikan (SBI)”


(4)

202

Lampiran 29. Foto-foto Penelitian di Desa Dabong

Foto 1. Topografi Desa Dabong Foto 2. Kondisi Pemukiman Penduduk (Mekar Jaya)

Foto 3. Sarana Pendidikan (SDN 023

Dabong) Foto 4. Sarana transportasi air di Rasau Jaya

Foto 5. Sarana transportasi air di Kubu Foto 6. Sarana transportasi air di Dabong


(5)

203

Lampiran 29 (lanjutan).

Foto 7. Mangrove di Desa Dabong Foto 8. Kayu mangrove log di sepanjang sungai Dabong

Foto 9. Kayu bakar mangrove Foto 10. Kayu cerucuk mangrove

Foto 11. Atap daun nipah Foto 12. Komoditas ikan


(6)

204

Lampiran 29 (lanjutan).

Foto 15. Komoditas kepah Foto 16. Komoditas kepiting

Foto 17. Tambak didalam Hutan Lindung Mangrove

Foto 18. Wawancara dengan Tokoh Masyarakat

Foto 19. Diskusi dan wawancara dengan masyarakat