PENINGKATAN PENGGUNAAN BAHASA INGGRIS DI
PENINGKATAN PENGGUNAAN BAHASA INGGRIS DIDALAM KELAS
Suwartono, Arif Hertanto
Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris, FKIP
Universitas Muhammadiyah Purwokerto
Jawa Tengah, INDONESIA
Abstrak
Pengabdian pada Masyarakat ini dilaksanakan dengan tujuan untuk
meningkatkan penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa Inggris guru selama
proses pembelajaran didalam kelas, baik secara kuantitatif maupun kualitatif.
Kegiatan Pengabdian pada Masyarakat dilaksanakan dalam bentuk
workshop yang mengundang guru bahasa Inggris di Wilayah Kabupaten
Banyumas. Workshop dilaksanakan 2 kali, dengan jeda 1 bulan guna memberikan
kesempatan para peserta untuk mengimplementasikan materi workshop di sekolah
masing-masing. Workshop pertama (5 Februari 2011) membahas soal teknikteknik yang dapat ditempuh oleh guru bahasa asing untuk tetap menggunakan
bahasa sasaran ketika ia berbicara didalam kelas (Teacher’s Talk Time). Didalam
workshop pertama juga diulas mengenai penggunaan bahasa Inggris yang baik
sebagai konsekuensi logis guru bahasa sebagai model dalam penggunaan bahasa
yang diajarkannya, disamping merupakan teknik khusus guna membantu siswa
memahami bahasa asing yang ia gunakan. Sedangkan workshop kedua (12 Maret
2011) mendiskusikan hasil implementasi materi workshop selama 1 bulan.
Kegiatan Pengabdian Masyarakat ini dapat dikatakan cukup berhasil.
Parameter keberhasilan workshop ini diantaranya adalah antusiasme peserta
selama workshop pertama maupun kedua, peningkatan rasa percaya diri dan
keyakinan peserta tentang aplikabilitas materi yang diterima (terungkap selama
workshop kedua dan hasil test penjajakan), apresiasi peserta yang tercermin dalam
isian lembar evaluasi.
Kata Kunci: peningkatan, penggunaan, bahasa Inggris, kelas
Abstract
This Social Service was aimed at improving the use of English by EFL
teacher during his/her speech time in the classroom, both quatatively and
qualitatively.
This Social Service activity was held through workshops involving
teachers of English in the area of Banyumas Regency. Workshops were carried
out twice, with a month-period-pause for giving the participating teachers time for
classroom practice. First workshop (February 5th, 2011) presented the techniques
that can be adopted by foreign language teachers to avoid recourse to native
tongue in their speech time (Teacher’s Talk Time). The workshop also dealt with
the use of proper English as consequence of the role of language teacher as model
in language use beside as a special effort to help facilitate comprehension in the
part of students. In the second workshop, a month later, result of classroom
implementation was brought into a discussion.
On overall, this Social Service activity can be said to be successful enough.
Parameters of success include participants’ anthusiasm during the first and second
workshops, improvement in participants’ self-confidence and belief in the
applicability of the workshop materials presented in the first workshop (clearly
seen during the second workshop and from the tests’ result), and appreciations
addressed by the participants on the evaluation form.
Key Words: improving, use, English, class
Dalam pembelajaran bahasa asing, guru memiliki peran sebagai salah satu sumber
input kebahasaan selain sebagai model bagi siswa-siswinya. Oleh karena itu, apabila guru
bahasa Inggris menggunakan bahasa sasaran ini sebagai bahasa pengantar dalam
pelajarannya sesungguhnya siswa sangat diuntungkan. Namun sebaliknya, di lapangan,
guru masih banyak yang belum menggunakan bahasa Inggris selama pelajaran
berlangsung karena beberapa alasan. Sebagian guru menyerah menggunakan bahasa
Inggris karena siswa-siswinya tidak mengerti apa yang mereka katakan. Sebagian guru
mengatakan mustahil menggunakan bahasa Inggris di sekolah dengan murid-murid
kwalitas rendah. Sebagian lagi mengurungkan niat dengan dalih lain (misalnya, tidak
cukup percaya diri?). Hal ini terungkap dari berbagai kegiatan seperti pelatihan guru yang
tidak lolos penilaian portofolio (PLPG), workshop, dan penelitian. Umumnya guru bahasa
Inggris menunjukkan sikap sulit menerima fakta bahwa selama pelajaran bahasa Inggris
berlangsung guru bisa menggunakan bahasa Inggris.
Profesionalisme guru bahasa Inggris bisa dibangun melalui berbagai cara, tidak
cukup lewat bangku kuliah. Kreativitas, kemauan, dan kerja keras menjadi pemicu dan
pemacu terwujudnya profesionalisme guru bahasa Inggris sebagai bahasa asing. Namun,
pada kenyataannya guru bahasa Inggris kita rupanya masih banyak yang belum
menyadari hal ini. Dengan beragam dalih, seperti soal beban jam mengajar, ijin dari
Kepala Sekolah, dana, mereka memilih untuk tidak mengikuti kegiatan ilmiah dan tukar
pikiran yang digelar.
Tujuan kegiatan Pengabdian pada Masyarakat ini adalah untuk meningkatkan
penggunaan bahasa Inggris didalam kelas oleh guru selama pelajaran bahasa Inggris
berlangsung. Guru yang selama ini sangat sedikit atau tidak menggunakan bahasa Inggris
nantinya diharapkan sekurang-kurangnya 50% bahasa pengantar yang digunakan selama
mengajar adalah bahasa sasaran. Dan bagi guru yang selama ini intensitas penggunaan
bahasa Inggrisnya didalam kelas telah tinggi diharapkan akan lebih meningkat dalam
menggunakan bahasa sasaran tersebut.
Metode Pengabdian pada Masyarakat
Guna terwujudnya tujuan diatas, dipilih cara-cara khusus yaitu pelatihan dan
diskusi perihal teknik-teknik penyampaian pesan dalam penggunaan bahasa Inggris oleh
guru selama pelajaran serta perbaikan kualitas bahasa Inggris guru. Didalam kegiatan
Pengabdian pada Masyarakat ini, pertama-tama akan disampaikan pemberitauan perihal
kerjasama dengan mitra Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Bahasa Inggris
Kabupaten Banyumas melalui Ketuanya. Persetujuan dari Ketua MGMP dimaksudkan
sebagai rekomendasi bagi para guru bahasa Inggris sasaran.
Selanjutnya, dikirim undangan untuk guru bahasa Inggris, dengan prioritas mereka
yang bertugas di sekolah-sekolah pinggiran dan sekolah-sekolah non-favorit dengan
mempertimbangkan masukan dari Ketua MGMP. Kegiatan dilangsungkan selama 2 kali
pertemuan di kampus Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Tempat dipilih dengan
pertimbangan lokasi sekolah yang tersebar.
Para peserta dikenai biaya kontribusi premium untuk konsumsi. Pada awal
kegiatan dilakukan test penjajakan (pre-test) terkait dengan materi pelatihan. Pada
pertemuan kedua (bulan berikutnya) para peserta diminta melaporkan kemajuan yang
dicapai dalam mempraktikkan ilmu yang diperoleh selama pertemuan pertama. Pada akhir
kegiatan para peserta ditest ulang (post-test), dimintai waktunya untuk menilai
keberhasilan kegiatan yang telah diikuti serta menerima sertifikat sebagai tanda telah
memenuhi kondisi yang diharapkan.
Hasil dan Pembahasan
Pada bagian ini dibahas hasil kegiatan berdasarkan data kuantitatif maupun
kualitatif yang berhasil dihimpun. Secara kualitatif, pada bagian sebelumnya telah
disinggung apa yang dapat diamati langsung selama kegiatan berlangsung. Dari
pengamatan penulis sebagai pemateri workshop, terlihat para peserta mengikuti kegiatan
dengan semangat. Respon yang minim ketika sesi tanya jawab dibuka diduga kuat karena
faktor pengalaman yang kurang menguntungkan, baik ketika dulu sebagai siswa maupun
sekarang setelah menjadi guru. Substansi dan nada pertanyaan satu-satunya yang diajukan
menguatkan pandangan ini.
Pada workshop II, kondisi secara drastis berbalik. Selain semangat, menurut
catatan peserta juga aktif terlibat dalam diskusi. Diantara komentar yang disampaikan
oleh seluruh peserta guru yang hadir, hanya 3 komentar yang mengarah kepada keraguan
untuk mengimplementasikan materi workshop (1 guru dari SD, 1 SMP, dan satu lagi dari
SMK). Untuk yang dari SD guru tersebut diketahui memang belum memprakktikkan
materi workshop, dengan demikian dapat diabaikan. Untuk guru SMK dimaksud tidak
cukup meyakinkan apakah telah mengimplemetasikan atau belum.
Sementara itu, hasil test penjajakan
menunjukkan bahwa penyelenggaraan
workshop berhasil. Dari 16 peserta yang terdaftar sebagai guru 64,7% diantaranya
memandang perlu guru menggunakan bahasa Inggris ketika mereka berbicara didalam
kelas. Angka ini meningkat menjadi 72,7% pada akhir workshop.
Sebelum peserta memperoleh materi workshop jumlah peserta yang menilai
bahasa Inggris bisa digunakan sepenuhnya atau hampir sepenuhnya ketika guru berbicara
didalam kelas belum mencapai separuhnya (47%). Namun, pada akhir rangkaian kegiatan
workshop angka ini meningkat menjadi 54,5%. Ini berarti meskipun tipis keyakinan
(belief) mereka meningkat, yaitu bahwa bahasa sasaran perlu diberikan prioritas untuk
digunakan berkomunikasi dengan siswa didalam kelas. Peningkatan yang relatif belum
siknifikan ini mudah dipahami, mengingat pengalaman penulis selama ini menunjukkan
bahwa guru cenderung memilih bahasa ibu ketika sedang berbicara didalam kelas dengan
berbagai dalih, utamanya anak tidak memahami, acuh, lamban, dan alasan-alasan lain.
Padahal, ini bisa saja akibat dari ketidakyakinan guru, kelemahan bahasa Inggris guru
sendiri, ketidakmampuan guru menggunakan teknik-teknik tertentu yang mampu
menjabatani kemampuan siswa, kurangnya wawasan guru tentang manfaat yang diterima
oleh siswa ketika guru menggunakan bahasa sasaran, dan sebagainya.
Yang menarik adalah jawaban peserta bahwa ketika posisi mereka digantikan oleh
guru penutur asli bahasa Inggris kondisi akan lebih baik mencapai 54,5%. Ini meningkat
hampir 20% dari angka sebelumnya yang hanya mencapai 36,4%. Ini menunjukkan
bahwa para peserta guru semakin percaya diri bahwa guru bahasa Inggris lokal pun akan
bisa bersaing dengan guru bahasa bahasa Inggris penutur asli, asalkan mereka siap belajar
dan bekerja keras.
Informasi pendukung yang menguatkan keberhasilan penyelenggaraan kegiatan
workshop Pengabdian Masyarakat bertema “Peningkatan Penggunaan Bahasa Inggris
didalam Kelas” ini terjaring melalui angket/evaluation form. Seluruh peserta workshop,
tanpa terkecuali, memilih jawaban-jawaban positif seperti “Baik”, “Sangat Baik”,
“Bermanfaat”, “Sangat Bermanfaat”, “Sangat Berkompeten” pada seluruh aitem angket.
Demikian pula bila dicermati respon peserta terhadap 2 aitem terbuka, komentar seperti
“Workshop ini sangat realistis”, “Perlu diadakan lagi karena sangat dibutuhkan”,
“Memberikan
wawasan
baru”,
“Pembicaranya
sangat
berkompeten”,
“Sangat
disayangkan workshop seperti ini peserta gurunya hanya sedikit” mewarnai tulisan
mereka pada bagian bawah angket.
Sejumlah hambatan telah menjadikan kegiatan ini tidak mencapai sukses besar.
Pertama, sasaran kegiatan ini adalah guru bahasa Inggris SMP dan SMA se-Banyumas.
Hambatan terbesar dalam rangkaian kegiatan Pengabdian Masyarakat ini adalah jumlah
peserta guru yang masih jauh dari kuota (minimal 50 orang). Hambatan ini diperkirakan
kuat akibat masih rendahnya kinerja Panitia Penyelenggara workshop. Kurangnya
koordinasi baik internal seksi maupun antar-seksi dan ketidakkonsistenan anggota Panitia
terhadap apa yang telah disepakati bersama menjadi penyebab utama rendahnya
perolehan jumlah peserta. Dari kuota diatas, undangan yang disebarkan hanya sebanyak
76 alamat sekolah.
Dari beberapa kali pantauan yang dilakukan melalui pesan sms dapat diketahui
bahwa diantara anggota Panitia yang terlibat yaitu 6 orang mahasiswa masih tampak
adanya kesenjangan informasi. Dan, apa yang telah disepakati bersama ternyata sering
dilanggar, misalnya terkait dengan jadwal kerja dan deadline. Yang menyedihkan adalah
fakta bahwa dari jumlah peserta guru yang hanya mencapai 1/3 dari kuota tidak lebih dari
separuhnya bukan peserta yang mendapatkan informasi per surat undangan melainkan
melalui internet (tepatnya jaringan pertemanan facebook). Itupun tidak seluruhnya guru di
wilayah Banyumas sebagaimana direncanakan, melainkan wilayah sekitar seperti Cilacap.
Melalui isian angket diketahui bahwa sejumlah peserta juga turut menyayangkan jumlah
peserta yang terlalu sedikit untuk ukuran kegiatan yang mereka nilai bermanfaat atau
bahkan sangat bermanfaat.
Hal lain yang memberikan peluang kurangnya jumlah peserta bertalian dengan
sistem pendaftaran. Tidak adanya keterangan tentang variasi biaya pendaftaran berbasis
variasi waktu pendaftaran memungkinkan penerima informasi kurang termotivasi untuk
bersegera mendaftarkan diri dan cenderung berspekulasi mendekati deadline, bahkan
melakukan pendaftaran pada hari H. Rupanya peserta sudah terbiasa dengan kegiatankegiatan serupa terdahulu yang menerima pendaftaran di tempat pada hari H (on the spot
registration) dengan biaya sama dengan pendaftar lainnya sebelum dealine.
Simpulan dan Saran
Kegiatan Pengabdian Masyarakat berjudul: “Peningkatan Penggunaan Bahasa
Inggris didalam Kelas” ini dapat dikatakan cukup berhasil. Kendatipun untuk beberapa
tolok ukur kegiatan ini dapat dikatakan sangat sukses, namun dalam pelaksanaannya
masih terkendala beberapa hal.
Guna mendukung suksesnya kegiatan serupa pada waktu-waktu mendatang dan
kemanfaatan kegiatan yang telah dilaksanakan, ada beberapa hal yang harus diperhatikan.
Pertama, sosialisasi tentang penyelenggaraan Pengabdian pada Masyarakat bagi guru
bahasa Inggris harus dilakukan dengan lebih terencana. Misalnya, selain undangan
dikirim melalui Kepala Sekolah, perlu juga ditujukan kepada guru bahasa Inggris
langsung. Kedua, pelibatan mahasiswa dalam kepanitiaan harus lebih selektif dan
mengutamakan penilaian kinerja serta komitmen dalam rekruitmen. Berikutnya,
perbaikan sistem pendaftaran peserta. Sebenarnya, memberlakukan kontribusi premium
kepada peserta merupakan keputusan yang tepat guna memberikan efek keterikatan dalam
partisipasi dan layanan yang lebih baik. Namun, guna menjaring peserta sesuai dengan
kuota maka harus ada perbedaan nilai kontribusi peserta sesuai rentang-rentang waktu
pendaftaran; kongkritnya, semakin mendekati hari H semakin mahal.
Daftar Rujukan
Effendi, Yusuf, ”When Teachers don’t Speak English”. Accessed on November 27, from
http://yusufe.wordpress.com
Genesee, Fred (editor), 1994, Educating Second Language Children: the Whole Child, the
Whole Curriculum, the Whole Community, Cambridge: Cambridge University
Press
Lamb, Martin, 2004, ”’It Dependes on the Students Themselves’: Independent Language
Learning at an Indonesian State School”, Language, Culture, and Curriculum,
Vol. 17, No. 3. Accessed on November 13, 2007, from http://www.multilingual.
matter.net
Littlewood, William, 1981, Communicative Language Teaching, Cambridge: Cambridge
University Press
Mangubhai, Francis, 2005, ”What can EFL Teachers Learn from Immersion Language
Teaching?”, Asian EFL Journal, Vol. 7, Issue 4. Accessed on October 24, 2007,
from http://www.asian-efl-journal.com.
Richards, J.C., & Rodgers, T.S., 1986, Approaches and Methods in Language Teaching:
Description and Analysis, Cambridge: Cambridge University Press
Wilkins, D.A., 1972, Linguistics in Language Teaching: London: Edward Arnold
Suwartono, Arif Hertanto
Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris, FKIP
Universitas Muhammadiyah Purwokerto
Jawa Tengah, INDONESIA
Abstrak
Pengabdian pada Masyarakat ini dilaksanakan dengan tujuan untuk
meningkatkan penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa Inggris guru selama
proses pembelajaran didalam kelas, baik secara kuantitatif maupun kualitatif.
Kegiatan Pengabdian pada Masyarakat dilaksanakan dalam bentuk
workshop yang mengundang guru bahasa Inggris di Wilayah Kabupaten
Banyumas. Workshop dilaksanakan 2 kali, dengan jeda 1 bulan guna memberikan
kesempatan para peserta untuk mengimplementasikan materi workshop di sekolah
masing-masing. Workshop pertama (5 Februari 2011) membahas soal teknikteknik yang dapat ditempuh oleh guru bahasa asing untuk tetap menggunakan
bahasa sasaran ketika ia berbicara didalam kelas (Teacher’s Talk Time). Didalam
workshop pertama juga diulas mengenai penggunaan bahasa Inggris yang baik
sebagai konsekuensi logis guru bahasa sebagai model dalam penggunaan bahasa
yang diajarkannya, disamping merupakan teknik khusus guna membantu siswa
memahami bahasa asing yang ia gunakan. Sedangkan workshop kedua (12 Maret
2011) mendiskusikan hasil implementasi materi workshop selama 1 bulan.
Kegiatan Pengabdian Masyarakat ini dapat dikatakan cukup berhasil.
Parameter keberhasilan workshop ini diantaranya adalah antusiasme peserta
selama workshop pertama maupun kedua, peningkatan rasa percaya diri dan
keyakinan peserta tentang aplikabilitas materi yang diterima (terungkap selama
workshop kedua dan hasil test penjajakan), apresiasi peserta yang tercermin dalam
isian lembar evaluasi.
Kata Kunci: peningkatan, penggunaan, bahasa Inggris, kelas
Abstract
This Social Service was aimed at improving the use of English by EFL
teacher during his/her speech time in the classroom, both quatatively and
qualitatively.
This Social Service activity was held through workshops involving
teachers of English in the area of Banyumas Regency. Workshops were carried
out twice, with a month-period-pause for giving the participating teachers time for
classroom practice. First workshop (February 5th, 2011) presented the techniques
that can be adopted by foreign language teachers to avoid recourse to native
tongue in their speech time (Teacher’s Talk Time). The workshop also dealt with
the use of proper English as consequence of the role of language teacher as model
in language use beside as a special effort to help facilitate comprehension in the
part of students. In the second workshop, a month later, result of classroom
implementation was brought into a discussion.
On overall, this Social Service activity can be said to be successful enough.
Parameters of success include participants’ anthusiasm during the first and second
workshops, improvement in participants’ self-confidence and belief in the
applicability of the workshop materials presented in the first workshop (clearly
seen during the second workshop and from the tests’ result), and appreciations
addressed by the participants on the evaluation form.
Key Words: improving, use, English, class
Dalam pembelajaran bahasa asing, guru memiliki peran sebagai salah satu sumber
input kebahasaan selain sebagai model bagi siswa-siswinya. Oleh karena itu, apabila guru
bahasa Inggris menggunakan bahasa sasaran ini sebagai bahasa pengantar dalam
pelajarannya sesungguhnya siswa sangat diuntungkan. Namun sebaliknya, di lapangan,
guru masih banyak yang belum menggunakan bahasa Inggris selama pelajaran
berlangsung karena beberapa alasan. Sebagian guru menyerah menggunakan bahasa
Inggris karena siswa-siswinya tidak mengerti apa yang mereka katakan. Sebagian guru
mengatakan mustahil menggunakan bahasa Inggris di sekolah dengan murid-murid
kwalitas rendah. Sebagian lagi mengurungkan niat dengan dalih lain (misalnya, tidak
cukup percaya diri?). Hal ini terungkap dari berbagai kegiatan seperti pelatihan guru yang
tidak lolos penilaian portofolio (PLPG), workshop, dan penelitian. Umumnya guru bahasa
Inggris menunjukkan sikap sulit menerima fakta bahwa selama pelajaran bahasa Inggris
berlangsung guru bisa menggunakan bahasa Inggris.
Profesionalisme guru bahasa Inggris bisa dibangun melalui berbagai cara, tidak
cukup lewat bangku kuliah. Kreativitas, kemauan, dan kerja keras menjadi pemicu dan
pemacu terwujudnya profesionalisme guru bahasa Inggris sebagai bahasa asing. Namun,
pada kenyataannya guru bahasa Inggris kita rupanya masih banyak yang belum
menyadari hal ini. Dengan beragam dalih, seperti soal beban jam mengajar, ijin dari
Kepala Sekolah, dana, mereka memilih untuk tidak mengikuti kegiatan ilmiah dan tukar
pikiran yang digelar.
Tujuan kegiatan Pengabdian pada Masyarakat ini adalah untuk meningkatkan
penggunaan bahasa Inggris didalam kelas oleh guru selama pelajaran bahasa Inggris
berlangsung. Guru yang selama ini sangat sedikit atau tidak menggunakan bahasa Inggris
nantinya diharapkan sekurang-kurangnya 50% bahasa pengantar yang digunakan selama
mengajar adalah bahasa sasaran. Dan bagi guru yang selama ini intensitas penggunaan
bahasa Inggrisnya didalam kelas telah tinggi diharapkan akan lebih meningkat dalam
menggunakan bahasa sasaran tersebut.
Metode Pengabdian pada Masyarakat
Guna terwujudnya tujuan diatas, dipilih cara-cara khusus yaitu pelatihan dan
diskusi perihal teknik-teknik penyampaian pesan dalam penggunaan bahasa Inggris oleh
guru selama pelajaran serta perbaikan kualitas bahasa Inggris guru. Didalam kegiatan
Pengabdian pada Masyarakat ini, pertama-tama akan disampaikan pemberitauan perihal
kerjasama dengan mitra Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Bahasa Inggris
Kabupaten Banyumas melalui Ketuanya. Persetujuan dari Ketua MGMP dimaksudkan
sebagai rekomendasi bagi para guru bahasa Inggris sasaran.
Selanjutnya, dikirim undangan untuk guru bahasa Inggris, dengan prioritas mereka
yang bertugas di sekolah-sekolah pinggiran dan sekolah-sekolah non-favorit dengan
mempertimbangkan masukan dari Ketua MGMP. Kegiatan dilangsungkan selama 2 kali
pertemuan di kampus Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Tempat dipilih dengan
pertimbangan lokasi sekolah yang tersebar.
Para peserta dikenai biaya kontribusi premium untuk konsumsi. Pada awal
kegiatan dilakukan test penjajakan (pre-test) terkait dengan materi pelatihan. Pada
pertemuan kedua (bulan berikutnya) para peserta diminta melaporkan kemajuan yang
dicapai dalam mempraktikkan ilmu yang diperoleh selama pertemuan pertama. Pada akhir
kegiatan para peserta ditest ulang (post-test), dimintai waktunya untuk menilai
keberhasilan kegiatan yang telah diikuti serta menerima sertifikat sebagai tanda telah
memenuhi kondisi yang diharapkan.
Hasil dan Pembahasan
Pada bagian ini dibahas hasil kegiatan berdasarkan data kuantitatif maupun
kualitatif yang berhasil dihimpun. Secara kualitatif, pada bagian sebelumnya telah
disinggung apa yang dapat diamati langsung selama kegiatan berlangsung. Dari
pengamatan penulis sebagai pemateri workshop, terlihat para peserta mengikuti kegiatan
dengan semangat. Respon yang minim ketika sesi tanya jawab dibuka diduga kuat karena
faktor pengalaman yang kurang menguntungkan, baik ketika dulu sebagai siswa maupun
sekarang setelah menjadi guru. Substansi dan nada pertanyaan satu-satunya yang diajukan
menguatkan pandangan ini.
Pada workshop II, kondisi secara drastis berbalik. Selain semangat, menurut
catatan peserta juga aktif terlibat dalam diskusi. Diantara komentar yang disampaikan
oleh seluruh peserta guru yang hadir, hanya 3 komentar yang mengarah kepada keraguan
untuk mengimplementasikan materi workshop (1 guru dari SD, 1 SMP, dan satu lagi dari
SMK). Untuk yang dari SD guru tersebut diketahui memang belum memprakktikkan
materi workshop, dengan demikian dapat diabaikan. Untuk guru SMK dimaksud tidak
cukup meyakinkan apakah telah mengimplemetasikan atau belum.
Sementara itu, hasil test penjajakan
menunjukkan bahwa penyelenggaraan
workshop berhasil. Dari 16 peserta yang terdaftar sebagai guru 64,7% diantaranya
memandang perlu guru menggunakan bahasa Inggris ketika mereka berbicara didalam
kelas. Angka ini meningkat menjadi 72,7% pada akhir workshop.
Sebelum peserta memperoleh materi workshop jumlah peserta yang menilai
bahasa Inggris bisa digunakan sepenuhnya atau hampir sepenuhnya ketika guru berbicara
didalam kelas belum mencapai separuhnya (47%). Namun, pada akhir rangkaian kegiatan
workshop angka ini meningkat menjadi 54,5%. Ini berarti meskipun tipis keyakinan
(belief) mereka meningkat, yaitu bahwa bahasa sasaran perlu diberikan prioritas untuk
digunakan berkomunikasi dengan siswa didalam kelas. Peningkatan yang relatif belum
siknifikan ini mudah dipahami, mengingat pengalaman penulis selama ini menunjukkan
bahwa guru cenderung memilih bahasa ibu ketika sedang berbicara didalam kelas dengan
berbagai dalih, utamanya anak tidak memahami, acuh, lamban, dan alasan-alasan lain.
Padahal, ini bisa saja akibat dari ketidakyakinan guru, kelemahan bahasa Inggris guru
sendiri, ketidakmampuan guru menggunakan teknik-teknik tertentu yang mampu
menjabatani kemampuan siswa, kurangnya wawasan guru tentang manfaat yang diterima
oleh siswa ketika guru menggunakan bahasa sasaran, dan sebagainya.
Yang menarik adalah jawaban peserta bahwa ketika posisi mereka digantikan oleh
guru penutur asli bahasa Inggris kondisi akan lebih baik mencapai 54,5%. Ini meningkat
hampir 20% dari angka sebelumnya yang hanya mencapai 36,4%. Ini menunjukkan
bahwa para peserta guru semakin percaya diri bahwa guru bahasa Inggris lokal pun akan
bisa bersaing dengan guru bahasa bahasa Inggris penutur asli, asalkan mereka siap belajar
dan bekerja keras.
Informasi pendukung yang menguatkan keberhasilan penyelenggaraan kegiatan
workshop Pengabdian Masyarakat bertema “Peningkatan Penggunaan Bahasa Inggris
didalam Kelas” ini terjaring melalui angket/evaluation form. Seluruh peserta workshop,
tanpa terkecuali, memilih jawaban-jawaban positif seperti “Baik”, “Sangat Baik”,
“Bermanfaat”, “Sangat Bermanfaat”, “Sangat Berkompeten” pada seluruh aitem angket.
Demikian pula bila dicermati respon peserta terhadap 2 aitem terbuka, komentar seperti
“Workshop ini sangat realistis”, “Perlu diadakan lagi karena sangat dibutuhkan”,
“Memberikan
wawasan
baru”,
“Pembicaranya
sangat
berkompeten”,
“Sangat
disayangkan workshop seperti ini peserta gurunya hanya sedikit” mewarnai tulisan
mereka pada bagian bawah angket.
Sejumlah hambatan telah menjadikan kegiatan ini tidak mencapai sukses besar.
Pertama, sasaran kegiatan ini adalah guru bahasa Inggris SMP dan SMA se-Banyumas.
Hambatan terbesar dalam rangkaian kegiatan Pengabdian Masyarakat ini adalah jumlah
peserta guru yang masih jauh dari kuota (minimal 50 orang). Hambatan ini diperkirakan
kuat akibat masih rendahnya kinerja Panitia Penyelenggara workshop. Kurangnya
koordinasi baik internal seksi maupun antar-seksi dan ketidakkonsistenan anggota Panitia
terhadap apa yang telah disepakati bersama menjadi penyebab utama rendahnya
perolehan jumlah peserta. Dari kuota diatas, undangan yang disebarkan hanya sebanyak
76 alamat sekolah.
Dari beberapa kali pantauan yang dilakukan melalui pesan sms dapat diketahui
bahwa diantara anggota Panitia yang terlibat yaitu 6 orang mahasiswa masih tampak
adanya kesenjangan informasi. Dan, apa yang telah disepakati bersama ternyata sering
dilanggar, misalnya terkait dengan jadwal kerja dan deadline. Yang menyedihkan adalah
fakta bahwa dari jumlah peserta guru yang hanya mencapai 1/3 dari kuota tidak lebih dari
separuhnya bukan peserta yang mendapatkan informasi per surat undangan melainkan
melalui internet (tepatnya jaringan pertemanan facebook). Itupun tidak seluruhnya guru di
wilayah Banyumas sebagaimana direncanakan, melainkan wilayah sekitar seperti Cilacap.
Melalui isian angket diketahui bahwa sejumlah peserta juga turut menyayangkan jumlah
peserta yang terlalu sedikit untuk ukuran kegiatan yang mereka nilai bermanfaat atau
bahkan sangat bermanfaat.
Hal lain yang memberikan peluang kurangnya jumlah peserta bertalian dengan
sistem pendaftaran. Tidak adanya keterangan tentang variasi biaya pendaftaran berbasis
variasi waktu pendaftaran memungkinkan penerima informasi kurang termotivasi untuk
bersegera mendaftarkan diri dan cenderung berspekulasi mendekati deadline, bahkan
melakukan pendaftaran pada hari H. Rupanya peserta sudah terbiasa dengan kegiatankegiatan serupa terdahulu yang menerima pendaftaran di tempat pada hari H (on the spot
registration) dengan biaya sama dengan pendaftar lainnya sebelum dealine.
Simpulan dan Saran
Kegiatan Pengabdian Masyarakat berjudul: “Peningkatan Penggunaan Bahasa
Inggris didalam Kelas” ini dapat dikatakan cukup berhasil. Kendatipun untuk beberapa
tolok ukur kegiatan ini dapat dikatakan sangat sukses, namun dalam pelaksanaannya
masih terkendala beberapa hal.
Guna mendukung suksesnya kegiatan serupa pada waktu-waktu mendatang dan
kemanfaatan kegiatan yang telah dilaksanakan, ada beberapa hal yang harus diperhatikan.
Pertama, sosialisasi tentang penyelenggaraan Pengabdian pada Masyarakat bagi guru
bahasa Inggris harus dilakukan dengan lebih terencana. Misalnya, selain undangan
dikirim melalui Kepala Sekolah, perlu juga ditujukan kepada guru bahasa Inggris
langsung. Kedua, pelibatan mahasiswa dalam kepanitiaan harus lebih selektif dan
mengutamakan penilaian kinerja serta komitmen dalam rekruitmen. Berikutnya,
perbaikan sistem pendaftaran peserta. Sebenarnya, memberlakukan kontribusi premium
kepada peserta merupakan keputusan yang tepat guna memberikan efek keterikatan dalam
partisipasi dan layanan yang lebih baik. Namun, guna menjaring peserta sesuai dengan
kuota maka harus ada perbedaan nilai kontribusi peserta sesuai rentang-rentang waktu
pendaftaran; kongkritnya, semakin mendekati hari H semakin mahal.
Daftar Rujukan
Effendi, Yusuf, ”When Teachers don’t Speak English”. Accessed on November 27, from
http://yusufe.wordpress.com
Genesee, Fred (editor), 1994, Educating Second Language Children: the Whole Child, the
Whole Curriculum, the Whole Community, Cambridge: Cambridge University
Press
Lamb, Martin, 2004, ”’It Dependes on the Students Themselves’: Independent Language
Learning at an Indonesian State School”, Language, Culture, and Curriculum,
Vol. 17, No. 3. Accessed on November 13, 2007, from http://www.multilingual.
matter.net
Littlewood, William, 1981, Communicative Language Teaching, Cambridge: Cambridge
University Press
Mangubhai, Francis, 2005, ”What can EFL Teachers Learn from Immersion Language
Teaching?”, Asian EFL Journal, Vol. 7, Issue 4. Accessed on October 24, 2007,
from http://www.asian-efl-journal.com.
Richards, J.C., & Rodgers, T.S., 1986, Approaches and Methods in Language Teaching:
Description and Analysis, Cambridge: Cambridge University Press
Wilkins, D.A., 1972, Linguistics in Language Teaching: London: Edward Arnold