MASALAH PEMBELIAN BERHADIAH DAN SANKSINY

MASALAH PEMBELIAN BERHADIAH DAN SANKSINYA
MENURUT UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN
Oleh : Syapri Chan, S.H., M.Hum.
Pendahuluan
Kemajuan teknologi yang begitu pesat, membuat semakin mudah para pelaku
usaha menjalankan strategi usahanya dalam upaya menarik konsumen melalui kiat
promosi, cara penjualan, dan sebagainya baik menggunakan media cetak maupun
elektronik.
Strategi semacam ini lebih efektif dan dapat mencapai sasaran, yakni konsumen.
Bilamana kita bangun pagi dan membaca surat kabar, maka kita telah disodori
berbagai informasi tentang penjualan barang dan/atau jasa dengan diembel-embeli
bermacam hadiah mulai dari alat rumah tangga sampai dengan rumah, mobil, dan
lain-lain tujuannya tidak lain adalah untuk menarik konsumen.
Mengenai “pembelian berhadiah” ini, penulis juga pernah mengalaminya, dimana
pada waktu penulis dan keluarga selesai berbelanja di Club Store Medan, tiba-tiba
penulis ditawari aplikasi kartu kredit HSBC oleh salah seorang sales counter-nya
yang bertugas di Club Store Medan. Sales counter HSBC tersebut menawarkan jasa
kartu kredit kepada penulis dengan iming-iming apabila aplikasi kartu kredit penulis
dikabulkan oleh HSBC, penulis akan memperoleh hadiah berupa kamera eksklusif
secara gratis. Dan ternyata iming-iming hadiah kamera eksklusif secara gratis yang
disampaikan sales counter HSBC tersebut sama dengan yang penulis lihat pada iklan

billboard yang ada di jalan-jalan utama Kota Medan.
Dengan adanya iming-iming hadiah kamera eksklusif secara gratis, maka penulis
bersedia menanda tangani aplikasi kartu kredit HSBC tersebut. Kemudian setelah
penulis menerima kartu kredit HSBC (jenis Classic), ternyata janji pemberian hadiah
kamera eksklusif secara gratis masih memerlukan persyaratan lagi. Dimana untuk

1

mendapatkan hadiah kamera eksklusif secara gratis, pihak HSBC menetapkan syarat
bahwa penulis harus menggunakan/memakai kartu kredit terlebih dahulu (berbelanja)
sejumlah Rp. 250.000,- (dua ratus lima puluh ribu rupiah) selama 3 (tiga) bulan
berjalan sejak menerima kartu kredit, barulah dapat ditukarkan dengan hadiah kamera
eksklusif secara gratis dan di samping itu, yang tragisnya lagi pihak HSBC telah
mengajukan tagihan annual fee kartu kredit kepada penulis sebesar Rp. 150.000,(seratus lima puluh ribu rupiah) untuk setiap tahunnya, padahal penulis sampai saat ini
belum pernah mempergunakan/memakai kartu kredit HSBC tersebut sama sekali.
Persyaratan harus menggunakan/memakai kartu kredit terlebih dahulu
(berbelanja) yang ditetapkan pihak HSBC ternyata bukan hanya kepada penulis,
melainkan juga terhadap teman penulis yang kebetulan juga mengajukan aplikasi
kartu kredit HSBC (jenis Gold), dimana dia harus berbelanja sejumlah Rp.
1.000.000,- (satu jura rupiah) selama 3 (tiga) bulan berjalan sejak menerima kartu

kredit, barulah dapat ditukarkan dengan hadiah kamera eksklusif secara gratis.
Terhadap kejadian ini penulis sedikit kecewa, karena janji pemberian hadiah
kamera eksklusif secara gratis setelah aplikasi kartu kredit dikabulkan oleh pihak
HSBC, ternyata tidak sebagaimana yang dijanjikan.

Permasalahan
Dari kenyataan dan fakta yang dikemukakan diatas, maka dapat saja timbul
permasalahan apabila dikaitkan dengan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen, yakni :
1. Bagaimana jual beli seperti di atas bila dilihat dari sisi Undang-Undang tentang
Perlindungan Konsumen ?

2

2. Apakah ada larangan bagi pelaku usaha di dalam pemberian hadiah selain hal di
atas ?
3. Bagaimana dengan pelaku usaha yang menawarkan, mempromosikan atau
mengiklankan obat, obat tradisional, suplemen makanan, alat kesehatan dan jasa
pelayanan kesehatan ?


Pembahasan
A. Perbuatan Yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha
Perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha diatur dalam Bab IV Undang-Undang
tentang Perlindungan Konsumen, yang terdiri dari 10 pasal, dimulai dengan Pasal 8
sampai dengan Pasal 17. Menurut Undang-Undang ini, selain pelaku usaha pabrikan
dan pelaku usaha

distributor (dan jaringannya), juga meliputi pelaku usaha

periklanan.1
Di dalam ketentuan-ketentuan tentang perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha
juga ada diatur ketentuan-ketentuan yang spesipik tentang “pembelian berhadiah”
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf k, Pasal 10 hurud d, Pasal 13 dan
Pasal 14 Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen.
Masalah pembelian berhadiah tersebut tidak terlepas pelaku usaha periklanan,
karena pelaku usaha pabrikan atau pelaku usaha distributor (dan jaringannya) selalu
menggunakan jasa pelaku usaha periklanan untuk mempromosikan produknya kepada
masyarakat khususnya konsumen.
Salah satu aturan hukum yang harus ditaati oleh pelaku usaha periklanan adalah
yang diatur dalam Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen. Beberapa pasal

yang perlu diperhatikan dari ketentuan dalam Undang-Undang tersebut adalah
1

Gunawan Widjaja, et-al, 2001, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, PT. Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta, hal. 36.

3

larangan-larangan yang diatur dalam Pasal 9, Pasal 10, Pasal 12, dan Pasal 13 yang
berhubungan dengan berbagai macam larangan dalam mempromosikan barang
dan/atau jasa tertentu, serta ketentuan Pasal 17 yang khusus diperuntukkan bagi
perusahaan periklanan.2
Ketentuan Pasal 9 melarang setiap pelaku usaha untuk menawarkan,
mempromosikan, mengiklankan maupun memperdagangkan suatu barang dan/atau
jasa secara tidak benar, dan/atau seolah-olah :
a. barang tersebut telah memenuhi dan/atau memiliki potongan harga, harga khusus,
standar mutu tertentu, gaya atau mode tertentu, karakteristik tertentu, sejarah atau
guna tertentu;
b. barang tersebut dalam keadaan baik dan/atau baru;
c. barang dan/atau jasa tersebut telah mendapatkan dan/atau memiliki sponsor,

persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu, ciri-ciri kerja atau
aksesori tertentu;
d. barang dan/atau jasa tersebut dibuat oleh perusahaan yang mempunyai sponsor,
persetujuan atau afiliasi;
e. barang dan/atau jasa tersebut tersedia;
f. barang tersebut tidak mengandung cacat tersembunyi;
g. barang tersebut merupakan kelengkapan dari barang tertentu;
h. barang tersebut berasal dari daerah tertentu;
i. secara langsung atau tidak langsung merendahkan barang dan/atau jasa lain;
j. menggunakan kata-kata yang berlebihan, seperti aman, tidak berbahaya, tidak
mengandung risiko atau efek sampingan tanpa keterangan yang lengkap;
k. Menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.

2

Ibid, hal. 43-44.

4

Menurut penulis, menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti

sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 9 ayat (1) huruf k di atas dapat
ditafsirkan dengan janji misalnya, pemberian berhadiah.
Ketentuan Pasal 10, pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang
ditujukan untuk diperdagangkan dilarang untuk menawarkan, mempromosikan,
mengiklankan, atau membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan
mengenai :
a. harga atau tarif suatu barang dan/atau jasa;
b. kegunaan suatu barang dan/atau jasa;
c. kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang dan/atau jasa;
d. tawaran potongan harga atau hadiah yang menarik yang ditawarkan;
e. bahaya penggunaan barang dan/atau jasa.
Ketentuan Pasal 12 berhubungan dengan larangan yang dikenakan bagi pelaku
usaha yang menawarkan, mempromosikan, atau mengiklankan suatu barang dan/atau
jasa dengan harga atau tarif khusus dalam suatu waktu dan dalam jumlah tertentu, jika
pelaku usaha tersebut sesungguhnya tidak bermaksud untuk melaksanakannya sesuai
dengan waktu dan jumlah yang ditawarkan, dipromosikan, atau diiklankan tersebut.
Kemudian, ketentuan Pasal 13 melarang pelaku usaha untuk menawarkan,
mempromosikan, atau mengiklankan :
1. suatu barang dan/atau jasa dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa
barang dan/atau jasa lain secara cuma-cuma dengan maksud tidak memberikannya

atau memberikan tidak sebagaimana yang dijanjikan;
2. obat, obat tradisional, suplemen makanan, alat kesehatan, dan jasa pelayanan
kesehatan dengan cara menjanjikan pemberian hadian berupa barang dan/atau jasa
lain.

5

Selanjutnya, Pasal 17 secara khusus memberlakukan larangan bagi pelaku usaha
periklanan untuk memproduksi iklan yang :
a. mengelabui konsumen mengenai kualitas, kuantitas, bahan, kegunaan, dan harga
barang dan/atau tarif jasa, serta ketepatan waktu penerimaan barang dan/atau jasa;
b. mengelabui jaminan/garansi terhadap barang dan/atau jasa;
c. memuat informasi yang keliru, salah, atau tidak tepat mengenai barang dan/atau
jasa;
d. mengeksploitasi kejadian dan/atau seseorang tanpa seizin yang berwenang atau
persetujuan yang bersangkutan;
e. melanggar etika dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai
periklanan.
Undang-Undang Perlindungan Konsumen tidak melarang pembelian berhadiah,
selama hadiah yang dijanjikan ditepati oleh pelaku usaha. 3 Akan tetapi muncul

berbagai persoalan manakala hadiah yang dijanjikan kepada konsumen diingkari.
Seperti contoh, kita sering jumpai baik itu di pasar swalayan maupun di tempat
lainnya dimana sering terpampang sebuah spanduk yang besar dan mencolok dengan
menyebutkan pembelian berhadiah.
Namun, adakalanya jika kita membeli barang dan/atau jasa yang dipromosikan
seperti di atas, ternyata persediaan hadiahnya telah habis, sehingga pada saat kita
tanyakan kepada penjaga toko atau pelayannya, dengan enteng dan ringan, mereka
menjawabnya bahwa persediaan hadiah telah habis, sementara spanduk dan promosi
yang melalui media cetak atau elektronik terus saja berjalan.
3

Pasal 14 Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen menyebutkan bahwa pelaku usaha
dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dengan memberikan
hadiah melalui cara undian, dilarang untuk :
a. tidak melakukan penarikan hadiah setelah batas waktu yang dijanjikan;
b. mengumumkan hasilnya tidak melalui media massa;
c. memberikan hadiah tidak sesuai dengan yang dijanjikan;
d. mengganti hadiah yang tidak setara dengan nilai hadiah yang dijanjikan.

6


Dari kejadian seperti di atas pelaku usaha tersebut telah melanggar UndangUndang Perlindungan Konsumen, dan bagi pelaku usaha yang melanggar dapat
dikenakan sanksi sesuai dengan kesalahannya.
Persoalan seperti di atas, mungkin juga akan terjadi pada penulis nantinya setelah
penulis memenuhi persyaratan yang ditetapkan pihak HSBC, dengan kata lain penulis
telah mempergunakan kartu kredit (berbelanja) sejumlah Rp. 250.000,- (dua ratus
lima puluh ribu rupiah) selama jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak menerima kartu
kredit, dimana pihak HSBC dapat saja mengatakan persediaan kamera eksklusif telah
habis atau menggantinya dengan hadiah yang lain.
Pemberian hadiah seperti di atas amat sering kita temui, dimana batas waktu yang
dijanjikan untuk mengumumkan penarikan hadiah diundur dan bahkan tidak jelas
rimbanya sama sekali. Apakah undian semacam itu telah diundi atau belum?, sering
juga hadiahnya diganti dengan nilai yang jauh lebih rendah.
Undang-Undang Perlindungan Konsumen juga melarang pelaku usaha
menawarkan, mempromosikan atau mengiklankan obat, obat tradisional, suplemen
makanan, alat kesehatan, dan jasa pelayanan kesehatan dengan cara menjanjikan
pemberian hadiah berupa barang dan/atau jasa lain.
Dalam hal ini dapat kita ambil contoh yang sederhana misalnya pelaku usaha
menawarkan, mempromosikan atau mengiklankan obat sehat pria dengan menjanjikan
hadiah berupa sebuah rumah atau sebuah mobil.

Pembelian dengan menggunakan strategi pemberian hadiah saat ini sedang
menjadi trend, sehingga pelaku usaha merasa ketinggalan jaman apabila tidak
menggunakannya. Pembelian semacam ini tidak dilarang dan sah-sah saja, namun
akhir-akhir ini banyak timbul masalah yang berkaitan dengan hal tersebut.

7

Selain hal di atas, masih ada lagi strategi yang digunakan pelaku usaha yang lebih
canggih, yaitu dengan cara menghubungi konsumen baik via telepon, surat atau
dengan cara lain dengan menyatakan kepada konsumen bahwa anda seorang
konsumen yang paling beruntung dari sekian banyak konsumen setelah dilakukan
evaluasi dan penilaian oleh perusahaan, dan anda mendapat hadiah, umpamanya
sebesar satu juta rupiah dan untuk itu anda harus datang ke tempat kami (tempat
pelaku usaha) dengan membawa KTP dan lain-lain.
Dengan adanya berita gembira yang diterima oleh konsumen seperti di atas,
sering kali konsumen bergegas datang ke alamat yang telah ditentukan dengan
perasaan bangga bahwa mereka adalah orang yang terpilih untuk menerima hadiah.
Apa yang terjadi setelah konsumen tiba di tempat pelaku usaha, ternyata hadiah
barang dapat diterima apabila konsumen membeli beberapa macam barang yang telah
disediakan, dengan perasaan bangga konsumen tanpa berpikir panjang membeli

barang yang dipersiapkan oleh pelaku usaha tadi. Sebenarnya bilamana barang-barang
yang dibeli konsumen tersebut jika dibeli di tempat lain harganya akan jauh lebih
murah. Dengan demikian maka pembelian berhadiah semacam ini tidak lain sebagai
kedok pengelabuan terhadap konsumen dan hal tersebut tanpa disadari oleh konsumen
itu sendiri.
Oleh sebab itu kepada konsumen diharapkan lebih berhati-hati dalam membeli
yang diiming-imingi dengan pemberian hadiah, sebab sudah banyak jatuh korban dari
pelaku usaha yang tidak bertanggung jawab atau yang beriktikad tidak baik akan
selalu memperdaya konsumen.

B. Sanksi Terhadap Pelanggaran Undang-Undang Perlindungan Konsumen

8

Aturan mengenai sanksi-sanksi yang dapat dikenakan kepada pelaku usaha yang
melanggar ketentuan perlindungan konsumen dapat ditemukan dalam Bab XIII
Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen, yang dimulai dari Pasal 60 sampai
dengan Pasal 63.
Sanksi-sanksi yang dapat dikenakan terhadap pelaku usaha yang melakukan
pelanggaran terdiri dari :
1. Sanksi administratif;
2. Sanksi pidana pokok;
3. Sanksi pidana tambahan.

Sanksi administratif
Sanksi administratif diatur dalam satu pasal, yaitu Pasal 60. Sanksi administratif
ini merupakan suatu “hak khusus” yang diberikan oleh Undang-Undang tentang
Perlindungan Konsumen kepada Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)
atas tugas dan/atau kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang tentang
Perlindungan Konsumen ini kepada BPSK untuk menyelesaikan persengketaan
konsumen di luar pengadilan.
Menurut ketentuan Pasal 60 ayat (2) jo. Pasal 60 ayat (1) Undang-Undang tentang
Perlindungan Konsumen, sanksi administratif yang dapat dijatuhkan oleh BPSK
adalah berupa penetapan ganti rugi sampai setinggi-tingginya Rp. 200.000.000,00
(dua ratus juta rupiah) terhadap para pelaku usaha yang melakukan pelanggaran
terhadap/dalam rangka :
1. tidak dilaksanakannya pemberian ganti rugi oleh pelaku usaha kepada konsumen,
dalam bentuk pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang

9

sejenis, maupun perawatan kesehatan atau pemberian santunan atas kerugian yang
diderita oleh konsumen;
2. terjadinya kerugian sebagai akibat kegiatan produksi iklan yang dilakukan oleh
pelaku usaha periklanan;
3. pelaku usaha yang tidak dapat menyediakan fasilitas jaminan purna jual, baik
dalam bentuk suku cadang maupun pemeliharaannya, serta pemberian jaminan
atau garansi yang telah ditetapkan sebelumnya; baik berlaku terhadap pelaku
usaha yang memperdagangkan barang dan/atau jasa.

Sanksi pidana pokok
Sanksi pidana pokok adalah sanksi yang dapat dikenakan dan dijatuhkan oleh
pengadilan atas tuntutan jaksa penuntut umum terhadap pelanggaran yang dilakukan
oleh pelaku usaha. Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen memungkinkan
dilakukannya penuntutan pidana terhadap pelaku usaha dan/atau pengurusnya.
Rumusan Pasal 62 Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen menentukan
bahwa pelaku usaha dan/atau pengurusnya yang melakukan pelanggaran terhadap :
1. ketentuan sebagaimana dimaksud dalam :
a. pasal 8, mengenai barang dan/atau jasa yang tidak memenuhi standar yang
telah ditetapkan;
b. pasal 9 dan pasal 10, mengenai informasi yang tidak benar;
c. pasal 13 ayat (2), mengenai penawaran obat-obatan dan hal-hal yang
berhubungan dengan kesehatan;
d. pasal 15, mengenai penawaran barang secara paksaan (fisik);
e. pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf e, mengenai iklan yang
memuat informasi yang tidak sesuai dengan kenyataan atau menyesatkan;

10

f. pasal 17 ayat (2), mengenai peredaran iklan yang dilarang; dan
g. pasal 18, mengenai pencantuman klausula baku;
dapat dikenakan sanksi pidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun
atau pidana denda sebanyak Rp. 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah).
2. ketentuan sebagaimana dimaksudkan dalam :
a. Pasal 11, mengenai penjualan secara obral atau lelang;
b. Pasal 12, mengenai penawaran dengan tarif khusus;
c. Pasal 13 ayat (1), mengenai pemberian hadiah secara cuma-cuma;
d. Pasal 14, mengenai penawaran dengan memberikan hadiah melalui undian;
e. Pasal 16, mengenai penawaran melalui pesanan;
f. Pasal 17 ayat (1) huruf d dan huruf f mengenai produksi iklan yang
bertentangan dengan etika, kesusilaan, dan ketentuan hukum yang berlaku;
dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana
denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
3. pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap, atau
kematian, maka akan diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku secara umum.

Sanksi pidana tambahan
Ketentuan Pasal 63 Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen
memungkinkan diberikannya sanksi pidana tambahan di luar sanksi pidana pokok
yang dapat dijatuhkan berdasarkan ketentuan Pasal 62 Undang-Undang tentang
Perlindungan Konsumen.
Sanksi-sanksi pidana tambahan yang dapat dijatuhkan kepada pelaku usaha
berupa :
a. perampasan barang tertentu;

11

b. pengumuman keputusan hakim;
c. pembayaran ganti rugi;
d. perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian
konsumen;
e. kewajiban penarikan barang dari peredaran;
f. pencabutan izin usaha.
Jika kita perhatikan sanksi-sanksi yang dapat dikenakan kepada pelaku usaha
yang melakukan pelanggaran, maka sanksi-sanksi yang dapat dikenakan kepada
pelaku usaha yang melakukan pelanggaran khusus mengenai “pembelian berhadiah”
sebagaimana dimaksud Pasal 9 ayat (1) huruf k, Pasal 10 hurud d, Pasal 13 dan Pasal
14 Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen adalah sebagai berikut :
1. Pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp.
2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah), apabila melanggar Pasal 9, Pasal 10 dan
Pasal 13 ayat (2) Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen.
2. Pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp.
500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah), apabila melanggar Pasal 13 ayat (1) dan
Pasal 14 Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen.
3. Hukuman tambahan, berupa :
a. perampasan barang tertentu;
b. pengumuman keputusan hakim;
c. pembayaran ganti rugi;
d. perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian
konsumen;
e. kewajiban penarikan barang dari peredaran; atau
f. pencabutan izin usaha.

12

Penutup
Di dalam ketentuan-ketentuan mengenai “Perbuatan Yang Dilarang Bagi Pelaku
Usaha” terdapat ketentuan-ketentuan yang spesipik mengenai “pembelian berhadiah”
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf k, Pasal 10 hurud d, Pasal 13 dan
Pasal 14 Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen.
Sedangkan sanksi-sanksi mengenai “pembelian berhadiah” diatur dalam Pasal 62
ayat (1) dan (2) yang memuat sanksi pidana pokok dan Pasal 63 yang memuat sanksi
pidana tambahan.
Dengan adanya sanksi pidana pokok dan pidana tambahan yang sangat berat
diharapkan pelaku usaha tidak melakukan pelanggaran Undang-Undang tentang
Perlindungan Konsumen khususnya mengenai masalah “pembelian berhadiah”.

Daftar Pustaka
1. Gunawan Widjaja, et-al, 2001, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, PT.
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
2. Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Departemen Perindustrian dan
Perdagangan, 1999, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen, Jakarta.

13