GAMBARAN PENGETAHUAN DAN SIKAP REMAJA SM (1)

GAMBARAN PENGETAHUAN DAN SIKAP REMAJA SMA 6 SMK 11 DAN
SMK 19 DI WILAYAH PALARAN SAMARINDA TERKAIT INFEKSI
MENULAR SEKSUAL

DISUSUN OLEH :
Dian Rahmat Syafardi

(1210029058)

Isma Zul Abdillah Jaya

(1210029054)

Septian Widiantoro

(1210029055)

Tanri Hadinata Wiranegara (1210029056)
Pembimbing :
Veronika Hinum, S. KM, MM
dr. Wawan Aprian Noor

dr. Khairul Nuryanto, M.Kes

LABORATORIUM ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MULAWARMAN
PUSKESMAS PALARAN
SAMARINDA
2014

1

ABSTRAK
Judul

: Gambaran pengetahuan dan sikap remaja sma 6 smk 11 dan smk 19 di wilayah

palaran samarinda terkait infeksi menular seksual
Infeksi menular seksual (IMS) adalah penyakit yang ditularkan melalui hubungan seksual. Di
Indonesia, infeksi menular seksual yang paling banyak ditemukan adalah gonorrhea. Prevalensi
infeksi menular seksual di Indonesia sangat tinggi ditemukan di kota Bandung, yakni dengan
prevalensi infeksi gonorrhea sebanyak 37,4%,; Di kota Surabaya prevalensi infeksi gonorrhea

19,8%; Sedang di Jakarta prevalensi infeksi gonorrhea 29,8%. Berdasarkan data surveilens di
Samarinda khususnya puskesmas palaran, insidens penyakit gonore mengalami peningkatan
sebanyak dua kali lipat pada dua tahun terakhir. Kebanyakan penderita penyakit menular seksual
adalah remaja usia 15-20 tahun (Lestari, 2008). Selama masa remaja, seksualitas dan masalahmasalah seksual diperkirakan sebagai masalah yang sangat penting bagi sebagian remaja, dan
pada masa ini, banyak remaja yang sudah aktif secara seksual (Googenov et al., 2008). Hasil
penelitian Rauf tahun 2008 di 12 kota besar di Indonesia termasuk Denpasar menunjukkan 1031% remaja yang belum menikah sudah melakukan hubungan seksual. Penelitian ini
menggunakan rancangan penelitian deskriptif dan pengambilan data dilakukan menggunakan
kuesioner dengan metode sampling yang digunakan adalah metode cluster random sampling.
Pengolahan data dengan menggunakan program Microsoft Excel. Hasil penelitian tingkat
pengetahuan siswa atau siswi di SMA dan SMK diwilayah Palaran Samarinda mengenai infeksi
menular seksual mayoritas berada dalam kategori kurang baik, yaitu sebesar 4,7%. Dan sikap
siswa atau siswi SMA dan SMK diwilayah Palaran Samarinda terhadap infeksi menular seksual
mayoritas berada dalam kategori netral, yaitu sebesar 67%.
Kata kunci: Pengetahuan, Sikap, Infeksi Menular Seksual.

2

ABSTRACT
Title: Overview of Knowledge and Attitudes of Youth SMA 6 SMK 11 SMK 19 Palaran against
Sexually Transmitted Infections

The most common Sexual Transmitted Diseases (STD) found in Indonesia is gonorrhea. A high
prevalence of gonorrhe infection was founded in Bandung (37,4%); meanwhile the prevalences
in Surabaya and Jakarta were 19,8% and 29,8%. Based on surveillance data in Samarinda
especially in Palaran Public Primary Health Care, the incidence itself was multiplying two times
during the last two years. Most of the patients were teenagers (15-20 years old) (Lestari, 2008).
During adolescence period, sexuality issues were among the most important issues for teenagers
and many of them had been sexually active (Googenov et al., 2008). Rauf publishment on 2008
in 12 big cities including Denpasar revealed that 10-31 % of unmarried teenagers had been
sexually active. This study used descriptive study design and the data was collected with
questionnaire from samples which chosen by cluster random sampling method. The data then
tabulated and processed using Microsoft excel. This study itself revealed that the result is not
good enough (4,7%). And the result of concern’s level is good enough (67%).
Key Word : Knowledge, concern, sexual transmitted disease

3

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1.


Latar Belakang
Infeksi menular seksual (IMS) adalah penyakit yang ditularkan melalui hubungan

seksual. Menurut WHO (2009), terdapat lebih kurang 30 jenis mikroba (bakteri, virus, dan
parasit) yang dapat ditularkan melalui hubungan seksual. Kondisi yang paling sering ditemukan
adalah infeksi gonorrhea, chlamydia, syphilis, trichomoniasis, chancroid, herpes genitalis,
infeksi human immunodeficiency virus (HIV) dan hepatitis B. Beberapa diantaranya, yakni HIV
dan syphilis, dapat juga ditularkan dari ibu ke anaknya selama kehamilan dan kelahiran, dan
melalui darah serta jaringan tubuh.
Sampai sekarang, infeksi menular seksual masih menjadi masalah kesehatan, sosial
maupun ekonomi di berbagai negara (WHO, 2003). Peningkatan insidens infeksi menular
seksual dan penyebarannya di seluruh dunia tidak dapat diperkirakan secara tepat. Di beberapa
negara disebutkan bahwa pelaksanaan program penyuluhan yang intensif akan menurunkan
insidens infeksi menular seksual atau paling tidak insidensnya relatif tetap. Namun demikian, di
sebagian besar negara insidens infeksi menular seksual relatif masih tinggi (Hakim, 2003).
Angka penyebarannya sulit ditelusuri sumbernya, sebab tidak pernah dilakukan registrasi
terhadap penderita yang ditemukan. Jumlah penderita yang terdata hanya sebagian kecil dari
penderita sesungguhnya (Lestari, 2008).
Di Indonesia, infeksi menular seksual yang paling banyak ditemukan adalah gonorrhea.
Prevalensi infeksi menular seksual di Indonesia sangat tinggi ditemukan di kota Bandung, yakni

dengan prevalensi infeksi gonorrhea sebanyak 37,4%,; Di kota Surabaya prevalensi infeksi
gonorrhea 19,8%; Sedang di Jakarta prevalensi infeksi gonorrhea 29,8% (Lestari, 2008).
Berdasarkan data surveilens di Samarinda khususnya puskesmas palaran, insidens penyakit
gonore mengalami peningkatan sebanyak dua kali lipat pada dua tahun terakhir dari 9 orang pada
tahun 2011 menjadi 19 orang dari akhir tahun 2012 dan pada tahun 2013 menjadi 48 orang.
Setiap orang bisa tertular penyakit menular seksual. Kecenderungan kian meningkatnya
penyebaran penyakit ini disebabkan perilaku seksual yang bergonta-ganti pasangan, dan adanya
hubungan seksual pranikah dan diluar nikah yang cukup tinggi (Lestari, 2008). Kebanyakan
penderita penyakit menular seksual adalah remaja usia 15-20 tahun, tetapi ada juga bayi yang
tertular karena tertular dari ibunya (Lestari, 2008). Selama masa remaja, seksualitas dan
4

masalah-masalah seksual diperkirakan sebagai masalah yang sangat penting bagi sebagian
remaja, dan pada masa ini, banyak remaja yang sudah aktif secara seksual (Goodenov et al.,
2008).
Tingginya kasus penyakit infeksi menular seksual, khususnya pada kelompok usia
remaja, salah satu penyebabnya adalah akibat pergaulan bebas. Sekarang ini di kalangan remaja
pergaulan bebas semakin meningkat terutama di kota-kota besar. Hasil penelitian di 12 kota
besar di Indonesia termasuk Denpasar menunjukkan 10-31% remaja yang belum menikah sudah
melakukan hubungan seksual. Pakar seks juga spesialis Obstetri dan Ginekologi dr. Boyke Dian

Nugraha di Jakarta mengungkapkan, dari tahun ke tahun data remaja yang melakukan hubungan
seks bebas semakin meningkat. Dari sekitar 5% pada tahun 1980-an, menjadi 20% pada tahun
2000. Kisaran angka tersebut didapat dari berbagai penelitian di beberapa kota besar di
Indonesia. Kelompok remaja yang masuk ke dalam penelitian tersebut umumnya masih
bersekolah di Sekolah Menengah Atas (SMA) atau mahasiswa. Namun dalam beberapa kasus
juga terjadi pada anak-anak yang duduk di tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) (Rauf,
2008).
Pengetahuan tentang infeksi menular seksual dapat ditingkatkan dengan pemberian
pendidikan kesehatan reproduksi yang dimulai pada usia remaja. Pendidikan kesehatan
reproduksi di kalangan remaja bukan hanya memberikan pengetahuan tentang organ reproduksi,
tetapi juga mengenai bahaya akibat pergaulan bebas, seperti penyakit menular seksual dan
kehamilan yang belum diharapkan atau kehamilan berisiko tinggi (BKKBN, 2005). Pendidikan
kesehatan reproduksi sangat penting bagi remaja yang masih bersekolah, karena institusi
pendidikan menjadi sarana yang memudahkan tenaga kesehatan untuk mensosialisasikan
kesehatan reproduksi. Oleh karena itu, penelitian ini perlu dilakukan untuk mendapatkan
bagaimana gambaran pengetahuan dan sikap remaja terhadap infeksi menular seksual agar dapat
diketahui apakah diperlukan tambahan pendidikan kesehatan reproduksi bagi remaja dalam
upaya menghambat peningkatan insidens infeksi menular seksual di kalangan remaja dewasa ini.
1.2.


Rumusan Masalah

Masalah yang menjadi dasar dilakukannya penelitian ini adalah bahwa penulis ingin mengetahui:
Bagaimana gambaran pengetahuan dan sikap remaja SMAN 6 Palaran terhadap infeksi
menular seksual?
5

1.3.

Tujuan Penelitian

Tujuan Umum
Untuk mengetahui gambaran pengetahuan dan sikap remaja SMAN 6 SMK 11 dan SMK
19 di Palaran terhadap infeksi menular seksual.
Tujuan Khusus
Yang menjadi tujuan khusus dari penelitian ini adalah:
1. Memperoleh informasi tentang pengetahuan remaja SMA 6 SMK 11 dan SMK 19 palaran
tentang penyakit infeksi menular seksual.
2. Memperoleh informasi tentang sikap remaja SMA 6 SMK 11 dan SMK 19 palaran terhadap
infeksi penyakit menular seksual.

1.4.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat:
1. Sebagai bahan masukan bagi Dinas Kesehatan Samarinda mengenai gambaran pengetahuan
dan sikap remaja terhadap infeksi menular seksual sehingga dapat direncanakan suatu
strategi untuk menindaklanjutinya.
2. Sebagai bahan masukan bagi pihak sekolah dalam memberikan penyuluhan tentang kesehatan
reproduksi kepada peserta didiknya atau pihak sekolah.
3. Sebagai bahan masukan bagi orang tua dalam agar melakukan pengawasan terhadap anakanaknya.
4. Sebagai bahan masukan bagi remaja dalam menyikapi hal-hal yang berhubungan dengan
kesehatan reproduksi.

6

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.


Infeksi Menular Seksual

2.1.1. Definisi dan Epidemiologi Infeksi Menular Seksual
Infeksi menular seksual adalah penyakit yang penularannya terutama melalui hubungan
seksual. Cara hubungan kelamin tidak hanya terbatas secara genito-genital saja, tetapi dapat juga
secara oro-genital, atau ano-genital, sehingga kelainan yang timbul akibat penyakit ini tidak
terbatas pada daerah kelamin (genital) saja, tetapi dapat juga pada daerah-daerah ekstragenital.
Meskipun demikian, tidak berarti bahwa semuanya harus melalui hubungan kelamin, karena ada
beberapa yang dapat juga ditularkan melalui kontak langsung dengan alat-alat, handuk,
thermometer, dan ada juga yang dapat ditularkan dari ibu kepada bayinya yang ada di dalam
kandungan (Daili, 2007).
Infeksi menular seksual didapatkan akibat berhubungan seksual dengan orang yang telah
terinfeksi sebelumnya. Setiap orang yang sudah melakukan hubungan seksual, mempunyai risiko
untuk terkena infeksi menular seksual. Risiko akan semakin tinggi apabila seseorang
berhubungan seksual dengan banyak pasangan yang berbeda, atau pasanganya mempunyai
banyak partner yang berbeda ataupun melakukan hubungan seksual tanpa menggunakan kondom
(AAFP, 2007).
Selama dekade terakhir ini, insidens infeksi menular seksual cukup meningkat di
berbagai negera di dunia. Banyak laporan mengenai penyakit ini, tetapi angka-angka yang
dilaporkan tidak menggambarkan angka yang sesungguhnya. Hal tersebut (Daili, 2007)

disebabkan antara lain oleh:
1. Banyak kasus yang tidak dilaporkan, karena belum ada undang-undang yang mengharuskan
melaporkan setiap kasus baru infeksi menular seksual yang ditemukan.
2. Bila ada laporan, sistem pelaporan yang berlaku belum seragam.
3. Fasilitas diagnostik yang ada sekarang ini kurang sempurna sehingga seringkali terjadi salah
diagnosa dan penanganan.
4. Banyak kasus yang asimtomtik (tanpa gejala yang khas) terutama pada wanita.
5. Pengontrolan terhadap infeksi menular seksual ini belum berjalan baik.

7

2.1.2. Penyebab Infeksi Menular Seksual
Menurut Handsfield (2001), infeksi menular seksual dapat diklasifikasikan berdasarkan agen
penyebabnya, yakni:
1. Dari golongan bakteri, yakni Neisseria gonorrhoeae, Treponema pallidum, Chlamydia
trachomatis, Haemophilus ducreyi, Calymmatobacterium granulomatis, Ureaplasma
urealyticum, Mycoplasma hominis, Gardnerella vaginalis, Salmonella sp., Shigella sp.,
Campylobacter sp., Streptococcus group B, Mobiluncus sp.
2. Dari golongan protozoa, yakni Trichomonas vaginalis, Entamoeba histolytica, Giardia
lamblia, dan protozoa enterik lainnya.

3. Dari golongan virus, yakni Human Immunodeficiency Virus (tipe 1 dan 2), Herpes Simplex
Virus (tipe 1 dan 2), Human Papiloma Virus (banyak tipe), Cytomegalovirus, Epstein-Barr
virus, Molluscum contagiosum virus, dan virus-virus enteric.
4. Dari golongan ektoparasit, yakni Phthirus pubis dan Sarcoptes scabei.
Sedangkan menurut Daili (2007), selain disebabkan oleh agen-agen di atas, infeksi
menular seksual juga dapat disebabkan oleh jamur, yakni jamur Candida albicans.
2.1.3. Cara Penularan Infeksi Menular Seksual
Cara penularan infeksi menular seksual (Karang Taruna, 2001), sesuai dengan
sebutannya, terutama melalui hubungan seksual yang tidak terlindungi, baik pervaginal, anal,
maupun oral. Cara penularan lainnya adalah:
1. Perinatal, yakni dari ibu ke bayinya, baik selama kehamilan, saat kelahiran ataupun
setelah lahir.
2. Melalui transfusi darah atau kontak langsung dengan cairan darah atau produk darah.
Menurut Depkes RI (2006), penularan infeksi menular seksual dapat melalui beberapa
cara, yakni bisa melalui hubungan seksual, berkaitan dengan prosedur medis (iatrogenik), dan
bisa juga berasal dari infeksi endogen. Infeksi endogen adalah infeksi yang berasal dari
pertumbuhan organisme yang berlebihan yang secara normal hidup di vagina dan juga ditularkan
melalui hubungan seksual. Sedangkan infeksi menular seksual akibat iatrogenik disebabkan oleh
prosedur-prosedur medis seperti pemasangan IUD ( Intra Uterine Device), aborsi dan atau proses
8

kelahiran bayi. Infeksi menular seksual tidak ditularkan bila seseorang duduk di samping orang
yang terinfeksi, penggunaan kamar mandi umum, kolam renang umum, bersalaman, bersinbersin dan keringat (Dinkes Surabaya, 2009).
2.1.4. Manifestasi Klinis dan Diagnosa Infeksi Menular Seksual
Terkadang infeksi menular seksual tidak memberikan gejala, baik pada pria maupun pada
wanita. Beberapa infeksi menular seksual baru menunjukkan gejalanya berminggu-minggu,
berbulan-bulan, maupun bertahun-tahun setelah terinfeksi (Lestari, 2008). Mayoritas infeksi
menular seksual tidak memberikan gejala (asimptomtik) pada perempuan (60-70% dari infeksi
gonore dan klamidia).
Pada perempuan, konsekuensi infeksi menular seksual sangat serius dan kadang-kadang
bersifat fatal (misalnya kanker serviks, kehamilan ektopik dan sepsis). Konsekuensi juga terjadi
pada bayi yang dikandung jika perempuan terinfeksi pada saat hamil (bayi lahir mati, kebutaan)
(Kesrepro, 2007).
Gejala infeksi menular seksual bisa berupa gatal dan adanya sekret di sekitar alat
kelamin, bejolan atau lecet di sekitar alat kelamin, bengkak di sekitar alat kelamin, buang air
kecil yang lebih sering dari biasanya, demam, lemah, kulit menguning dan rasa nyeri sekujur
tubuh, kehilangan berat badan, diare, keringat malam, pada wanita bisa keluar darah di luar masa
menstruasi, rasa panas seperti terbakar atau sakit saat buang air kecil, kemerahan di sekitar alat
kelamin, rasa sakit di bawah perut pada wanita di luar masa menstruasi, dan bercak darah setelah
berhubungan seksual (Lestari, 2008; Murtiastutik, 2008). Menurut

American Academy of

Family Physician (2007), selain gejala-gejala diatas, juga dijumpai gejala berupa sakit
tenggorokan pada orang yang melakukan hubungan seks secara oro-genital dan sakit di sekitar
anus pada orang yang melakukan hubungan seks ano-genital. Diagnosa infeksi menular seksual
dilakukan melalui proses anamnesa, diikuti pemeriksaan fisik dan pengambilan spesimen untuk
pemeriksaan laboratorium (Daili, 2007; Murtiastutik, 2008). Untuk menegakkan diagnosa infeksi
menular seksual, diperlukan anamnesa yang akurat mengenai riwayat sosial dan seksual
seseorang, termasuk faktor-faktor yang mempengaruhi

seksualitas, seperti penyalahgunaan

obat-obatan (Handsfield, 2001).

9

2.1.5. Komplikasi Infeksi Menular Seksual
Infeksi menular seksual yang tidak ditangani dapat menyebabkan kemandulan, merusak
penglihatan, otak dan hati, menyebabkan kanker leher rahim, menular pada bayi, rentan terhadap
HIV, dan beberapa infeksi menular seksual dapat menyebabkan kematian (Dinkes Surabaya,
2009).
Suatu studi epidemiologi menggambarkan bahwa pasien dengan infeksi menular seksual
lebih rentan terhadap HIV. Infeksi menular seksual diimplikasikan sebagai faktor yang
memfasilitasi penyebaran HIV (WHO, 2004).
2.1.6. Pencegahan Infeksi Menular Seksual
Menurut WHO (2006), pencegahan infeksi menular seksual terdiri dari dua bagian, yakni
pencegahan primer dan pencegahan sekunder. Pencegahan primer terdiri dari penerapan perilaku
seksual yang aman dan penggunaan kondom. Sedangkan pencegahan sekunder dilakukan dengan
menyediakan pengobatan dan perawatan pada pasien yang sudah terinfeksi dengan infeksi
menular seksual. Pencegahan sekunder bisa dicapai melalui promosi perilaku pencarian
pengobatan untuk infeksi menular seksual, pengobatan yang cepat dan tepat pada pasien serta
pemberian dukungan dan konseling tentang infeksi menular seksual dan HIV.
Langkah terbaik untuk mencegah infeksi menular seksual (Depkes RI, 2006) adalah
menghindari kontak langsung dengan cara sebagai berikut:
1. Menunda kegiatan seks bagi remaja (abstinensia),
2. Menghindari bergonta-ganti pasangan seksual,
3. Memakai kondom dengan benar dan konsisten.
Pencegahan termasuk pengenalan diagnosis yang cepat dan pengobatan yang efektif
terhadap infeksi menular seksual, akan mengurangi kemungkinan komplikasi

pada

masing-

masing individu dan mencegah infeksi baru di masyarakat (Depkes RI, 2006; Dinkes Surabaya,
2009). Selain pencegahan di atas, pencegahan infeksi menular seksual juga dapat dilakukan
dengan mencegah masuknya transfusi darah yang belum diperiksa kebersihannya dari
mikroorganisme penyebab infeksi menular seksual, berhati-hati dalam menangani segala sesuatu
yang berhubungan dengan darah segar, mencegah pemakaian alat-alat yang tembus kulit (jarum
10

suntik, alat tindik) yang tidak steril, dan menjaga kebersihan alat reproduksi sehingga
meminimalisir penularan (ICA, 2009; Dinkes Surabaya, 2009).
2.1.7. Penatalaksanaan Infeksi Menular Seksual
Penanganan infeksi menular seksual yang ideal adalah penanganan berdasarkan
mikroorganisme penyebabnya. Namun, dalam kenyataannya penderita infeksi menular seksual
selalu diberi pengobatan secara empiris (Handsfield, 2001; Murtiastutik, 2007). Penanganan
infeksi menular seksual (Daili, 2007) secara komprehensif mencakup

diagnosa

yang

tepat,

pengobatan yang efektif, pemberian konseling kepada pasien dalam rangka memberikan K.I.E.
(komunikasi, informasi, dan edukasi), dan penanganan pasangan seksualnya. Menurut Barakbah
(2003), konseling adalah suatu proses yang dapat membantu seseorang untuk mengetahui dan
menyelesaikan masalah dengan baik, serta mampu memotivasi individu tersebut untuk merubah
perilakunya. Dalam praktiknya, konseling perlu dibedakan dengan bimbingan ( guidance). Oleh
karena infeksi menular seksual terdiri dari bermacam-macam penyakit dengan derajat kesakitan
yang berbeda, maka konseling untuk setiap penyakit tidak akan sama. Menurut WHO (2003),
penanganan pasien infeksi menular seksual terdiri dari dua cara, bisa dengan penanganan
berdasarkan kasus ( case management) ataupun penanganan berdasarkan sindrom ( syndrome
management). Penanganan berdasarkan kasus yang efektif tidak hanya berupa pemberian terapi
antimikroba untuk menyembuhkan dan mengurangi infektifitas mikroba, tetapi juga diberikan
perawatan kesehatan reproduksi yang komprehensif. Sedangkan penanganan berdasarkan
sindrom didasarkan pada identifikasi dari sekelompok tanda dan gejala yang konsisten, dan
penyediaan pengobatan untuk mikroba tertentu yang menimbulkan sindrom.
2.2.

Pengetahuan dan Sikap

2.2.1. Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan
penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Sebagian besar pengetahuan

manusia

diperoleh

melalui mata dan telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting
dalam membentuk tindakan seseorang ( overt behavior). Menurut Rogers (1974) dalam Soekidjo
(2007), sebelum seseorang mengadopsi perilaku baru (berperilaku baru), di dalam diri orang
tersebut terjadi proses yang berurutan, yakni:
11

1. Awareness (kesadaran), yakni orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui ada stimulus
(objek) terlebih dahulu,
2. Interest, yakni orang mulai tertarik kepada stimulus,
3. Evaluation, yakni sikap responden menimbang-nimbang apakah stimulus tersebut baik atau
tidak terhadap dirinya,
4. Trial, yakni orang mulai mencoba perilaku baru,
5. Adoption, yakni subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran, dan
sikapnya terhadap stimulus.
Namun demikian, dari penelitian selanjutnya Rogers menyimpulkan bahwa perubahan
perilaku tidak selalu melewati tahap-tahap di atas. Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan
dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari
subjek penelitian atau responden (Notoatmodjo, 2007).
2.2.2. Sikap
Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau
objek. Dari berbagai batasan tentang sikap, dapat disimpulkan bahwa manifestasi sikap itu tidak
dapat langsung dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dari perilaku yang tertutup. Sikap
secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu yang
dalam kehidupan sehari-hari merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus
sosial. Menurut Newcomb, salah seorang ahli psikologis sosial, menyatakan bahwa sikap
merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak, dan bukan merupakan pelaksanaan motif
tertentu. Menurut Allport (1954) dalam Soekidjo (2007), sikap mempunyai 3 komponen pokok,
yakni:
a. Kepercayaan (keyakinan), ide, dan konsep terhadap suatu objek.
b. Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek.
c. Kecenderungan untuk bertindak ( tend to behave).
Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh ( total attitude).
Dalam penentuan sikap yang utuh ini, pengetahuan, pikiran, keyakinan, dan emosi memegang
peranan penting. Seperti halnya pengetahuan, sikap terdiri dari berbagai tingkatan, yakni:

12

1. Menerima ( receiving) diartikan bahwa subjek mau dan memperhatikan stimulus yang
diberikan (objek).
2. Merespon ( responding) Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan, dan
menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap.
3. Menghargai ( valuing) Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu
masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga.
4. Bertanggung jawab ( responsible). Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah
dipilihnya dengan segala risiko merupakan sikap yang paling tinggi. Pengukuran sikap dapat
dilakukan secara langsung dan tidak langsung. Secara langsung dapat ditanyakan bagaimana
pendapat atau pernyataan responden terhadap suatu objek. Secara tidak langsung dapat
dilakukan dengan pernyataan-pernyataan hipotesis, kemudian ditanyakan pendapat
responden (sangat setuju, setuju, tidak setuju, sangat tidak setuju) (Notoatmodjo, 2007).
2.3.

Remaja

2.3.1. Definisi Remaja
Ada beberapa definisi mengenai remaja. Menurut Hurlock (1993), masa remaja adalah
masa yang penuh kegoncangan, taraf mencari identitas diri dan merupakan periode yang paling
berat. Remaja adalah masa peralihan, yang ditempuh oleh seseorang dari anak-anak menuju
dewasa, meliputi semua perkembangan yang dialami sebagai persiapan memasuki masa dewasa
(Darajad, 1990). Menurut Darajad (1995) dalam bukunya yang lain, mendefinisikan remaja
sebagai tahap umur yang datang setelah masa anak-anak berakhir, ditandai oleh pertumbuhan
fisik yang cepat yang terjadi pada tubuh remaja luar dan membawa akibat yang tidak sedikit
terhadap sikap, perilaku, kesehatan, serta kepribadian remaja. Bisri (1995), mengartikan remaja
adalah mereka yang telah meninggalkan masa kanak-kanak yang penuh dengan ketergantungan
dan menuju masa pembentukan tanggung jawab. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Calon
(1953) dalam Monks (2002), masa remaja menunjukkan dengan jelas sifat-sifat masa transisi
atau peralihan karena remaja belum memiliki status dewasa tetapi tidak lagi memiliki status
anak-anak. Perkembangan fisik dan psikis menimbulkan kebingungan dikalangan remaja
sehingga masa ini disebut oleh orang barat sebagai periode sturm und drung dan akan membawa
akibat yang tidak sedikit terhadap sikap, perilaku, kesehatan, serta kepribadian remaja (Monks,
2002). Lebih jelas pada tahun 1974, WHO memberikan definisi tentang remaja secara lebih
13

konseptual, yakni remaja adalah suatu masa dimana individu berkembang dari saat pertama kali
ia menunjukkan tanda-tanda seksual sekundernya sampai saat ia mencapai kematangan seksual.
Individu mengalami perkembangan psikologik dan pola identifikasi dari kanak-kanak menjadi
dewasa. Terjadi peralihan dari ketergantungan sosial-ekonomi yang penuh kepada keadaan yang
relatif lebih mandiri (Sarwono, 2001). Kaplan & Sadock (2007), menyatakan bahwa fase remaja
terdiri atas fase remaja awal (12-14 tahun), fase remaja pertengahan (14-16 tahun), dan fase
remaja akhir (17-19) tahun.
2.3.2. Perilaku Seksual Remaja
Perilaku seksual adalah segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual, baik
dengan lawan jenis maupun dengan sesama jenis. Bentuk-bentuk tingkah laku ini dapat beraneka
ragam, mulai dari perasaan tertarik hingga tingkah laku berkencan, bercumbu dan bersenggama.
Objek seksual dapat berupa orang, baik sejenis maupun lawan jenis, orang dalam khayalan atau
diri sendiri. Sebagian tingkah laku ini memang tidak memiliki dampak terutama bila tidak
menimbulkan dampak fisik bagi orang yang bersangkutan atau lingkungan sosial. Tetapi
sebagian perilaku seksual yang dilakukan sebelum waktunya justru dapat memiliki dampak
psikologis yang sangat serius, seperti rasa bersalah, depresi, marah dan agresi (Reiss, 2006).
Selama masa remaja, seksualitas dan masalah-masalah seksual diperkirakan sebagai masalah
yang sangat penting bagi sebagian remaja, dan pada masa ini, banyak remaja yang sudah aktif
secara seksual (Goodenov et al., 2008).

14

BAB 3
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL
3.1. Kerangka Konsep Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian di atas maka kerangka konsep dalam
penelitian ini adalah:
Pengetahuan
remaja

Infeksi menular seksual

Sikap remaja

3.2. Definisi Operasional
Pengetahuan adalah apa yang diketahui para remaja tentang pengertian infeksi menular
seksual, jenis dan penyebab infeksi menular seksual, cara penularan, gejala, pencegahan,
pengobatan, dan komplikasi infeksi menular seksual.
Pengukuran tingkat pengetahuan remaja mengenai infeksi menular seksual dilakukan
berdasarkan jawaban pertanyaan yang diberikan oleh responden. Instrumen yang digunakan
berupa angket dengan jumlah pertanyaan sebanyak 9 pertanyaan. Apabila jawaban responden
benar, akan diberi nilai 1, dan bila jawaban responden salah diberi nilai 0. Dengan demikian,
skor tertinggi adalah 9.
Pengukuran tingkat pengetahuan responden dilakukan dengan menggunakan sistem
skoring (Arikunto, 2007), yakni dengan skala ordinal sebagai berikut:
a. Tingkat pengetahuan baik, apabila jawaban responden benar > 75% dari nilai tertinggi, yaitu
skor > 7
b. Tingkat pengetahuan cukup, apabila jawaban responden benar antara 56-75% dari nilai
tertinggi, yaitu skor 6-7
c. Tingkat pengetahuan kurang, apabila jawaban responden benar antara 40-55% dari nilai
tertinggi, yaitu skor 4-5
d. Tingkat pengetahuan buruk, apabila jawaban responden benar < 40 % dari

nilai

tertinggi,

yaitu skor < 4
15

Sikap adalah tanggapan atau respon remaja terhadap hal-hal yang berhubungan dengan
infeksi menular seksual. Pengukuran sikap remaja mengenai infeksi menular seksual dilakukan
berdasarkan jawaban pertanyaan yang diberikan oleh responden. Instrumen yang digunakan
berupa angket dengan jumlah pertanyaan sebanyak 6 pertanyaan.
Skala Likert adalah skala yang dapat dipergunakan untuk mengukur sikap, pendapat, dan
persepsi seseorang atau sekelompok orang mengenai suatu gejala atau fenomena pendidikan.
Dalam skala Likert terdapat dua bentuk pernyataan yaitu pernyataan positif yang berfungsi untuk
mengukur sikap positif, dan pernyataan negatif yang berfungsi untuk mengukur sikap negative
objek sikap.
Skor pernyataan positif dimulai dari 1 untuk sangat tidak setuju (STS), 2 untuk tidak
setuju (TS), 3 untuk ragu-ragu (R), 4 untuk setuju (S), dan 5 untuk sangat setuju (SS). Skor
pernyataan negative dimulai dari 1 untuk sangat setuju (SS), 2 untuk setuju (S), 3 untuk raguragu (R), 4 untuk tidak setuju (TS), dan 5 untuk sangat tidak setuju (STS).
Remaja adalah masa peralihan, yang ditempuh oleh seseorang dari anak-anak menuju
dewasa, meliputi semua perkembangan yang dialami sebagai persiapan memasuki masa dewasa.
Infeksi menular seksual adalah penyakit yang penularannya terutama melalui hubungan
seksual.

16

BAB 4
METODE PENELITIAN
4.1. Jenis Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian yang bersifat deskriptif,
yaitu suatu penelitian yang bertujuan untuk mendapatkan informasi mengenai pengetahuan dan
sikap remaja SMA Rawa Makmur Palaran, Samarinda terhadap infeksi menular seksual.
Pendekatan yang digunakan pada desain penelitian ini adalah “cross sectional study” dimana
data dikumpulkan pada satu waktu tertentu.
4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di SMAN 6, SMKN 11, SMKN 19 di Wilayah Palaran,
Samarinda, provinsi Kalimantan Timur. Penelitian ini berlangsung selama 2 minggu, sejak
peneliti mengajukan proposal penelitian hingga seminar hasil pada bulan Agustus 2014.
4.3. Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi penelitian ini adalah seluruh siswa/i SMA Rawa Makmur Palaran, Samarinda.
Populasi penelitian terdiri dari 1610 orang. Sampel pada penelitian ini adalah sebagian dari
siswa/i SMA Rawa Makmur, Palaran, Samarinda. Dalam menentukan besarnya sampel,
dilakukan perhitungan sampel dengan menggunakan rumus (Notoatmodjo, 2005):

n=

N
1+ N ( d2 )

N= besar populasi
n= jumlah sampel
d= tingkat kepercayaan/ ketepatan yang diinginkan.
Dengan tingkat ketepatan relatif 10%, maka jumlah sampel yang diperoleh dari rumus di
atas berjumlah sekitar 94 orang. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik cluster random
sampling. Sampel tersebut kemudian di distribusikan menggunakan rumus :

17

¿= ¿ × n
N
Keterangan :
Ni = banyaknya individu yang ada dalam cluster
N = Banyaknya populasi seluruhnya
n = banyaknya sampel
ni = banyaknya sampel yang dimasukkan menjadi sub sampel
Dari rumus di atas didapatkan jumlah sampel penelitian pada masing-masing sekolah
sebagai berikut:
• Siswa SMAN 6 Palaran: 39 orang
• Siswa SMKN 19 Palaran: 25 orang
• Siswa SMKN 11 Palaran: 30 orang
4.4. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dilakukan dengan dengan dua cara, yakni menggunakan data
primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari responden
dimana pengumpulan data dilakukan dengan metode angket yang dibagikan kepada responden
untuk mendapatkan jawaban pertanyaan. Sedangkan data sekunder adalah data yang didapatkan
dari pihak sekolah yang berhubungan dengan jumlah dan karakteristik siswa/i di SMA Rawa
Makmur, Palaran, Samarinda.
4.4. Metode Analisis Data
Data dari setiap responden dimasukkan ke dalam komputer oleh peneliti. Analisis data
yang diperoleh dilakukan secara deskriptif dengan menggunakan program komputer EXCEL.

18

BAB 5
HASIL PENELITIAN & PEMBAHASAN
5.1. Hasil Penelitian
Gambaran Pengetahuan Dan Sikap Remaja Di Wilayah Palaran Samarinda Terkait Infeksi
Menular Seksual, 2014.
5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Sekolah SMA/K diwilayah Palaran Samarinda, dimana
terdapat SMAN 6, SMKN 19 dan SMKN 11. SMAN 6 berada di kelurahan Rawa Makmur,
SMKN 19 di kelurahan Bukuan dan SMKN 11 di kelurahan Simpang Pasir.
5.1.2. Deskripsi Karakteristik Responden
Dalam penelitian ini, responden yang terpilih sebanyak 94 siswa/i yang terdiri dari 24
siswa/i tingkat X, 41 siswa/i tingkat XI, dan 29 siswa/i tingkat XII. Dari keseluruhan responden
gambaran karakteristik yang diamati meliputi usia dan jenis kelamin. Data lengkap bila ditinjau
dari segi usia dapat dilihat pada tabel 5.1.
Tabel 5.1. Distribusi frekuensi karakteristik responden berdasarkan usia Kelompok usia

Dari tabel di atas terlihat bahwa kelompok terbesar responden terdapat pada usia 16
tahun, yaitu sebanyak 44,7%, diikuti usia 17 tahun sebanyak 30,9%, dan terendah pada
kelompok usia 15 tahun, yaitu sebesar 24,5%. Data lengkap bila didistribusikan berdasarkan
jenis kelamin dapat dilihat pada tabel 5.2.

19

Tabel 5.2. Distribusi frekuensi karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin

Dari tabel di atas terlihat bahwa kelompok terbesar responden adalah laki-laki yaitu
sebanyak 54 orang (57,4%) dan terendah adalah kelompok perempuan yaitu sebanyak 40 orang
(42,6%). Data lengkap bila didistribusikan berdasarkan asal kelas dapat dilihat pada tabel 5.3.
Tabel 5.3. Distribusi frekuensi karakteristik responden berdasarkan asal kelas

Dari tabel di atas terlihat bahwa kelompok terbesar responden berasal dari kelas 2 yaitu
sebanyak 41 orang (43,6%), diikuti dari kelas 3 sebanyak 29 orang (30,9%) dan terendah adalah
responden dari kelas 1 yaitu sebanyak 24 orang (25,5%). Data lengkap bila didistribusikan
berdasarkan asal sekolah dapat dilihat pada tabel 5.4.
Tabel 5.4. Distribusi frekuensi karakteristik responden berdasarkan asal sekolah

Dari tabel di atas terlihat bahwa kelompok terbesar responden berasal dari SMAN 6 yaitu
sebanyak 39 orang (41,5%), diikuti dari SMKN 11 sebanyak 30 orang (31,9%) dan terendah
adalah responden dari SMKN 19 yaitu sebanyak 25 orang (26,6%).

20

5.1.3. Hasil Analisis Data
5.1.3.1. Pengetahuan
Hasil uji tingkat pengetahuan mengenai infeksi menular seksual dengan menggunakan
angket dapat dilihat pada tabel 5.5.
Tabel 5.5. Distribusi frekuensi hasil uji tingkat pengetahuan

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa tingkat pengetahuan responden mengenai infeksi
menular seksual paling banyak berada pada kategori kurang, yaitu sebanyak 43 orang (45,7%),
diikuti dengan kategori cukup sebanyak 38 orang (40,4%), kategori baik sebanyak 10 orang
(10,6%), dan kategori buruk sebanyak 3 orang (3,2%). Data lengkap distribusi frekuensi jawaban
responden pada variabel pengetahuan dapat dilihat pada tabel 5.6.

21

Tabel 5.6. Distribusi frekuensi jawaban responden pada variabel pengetahuan

Berdasarkan tabel di atas dapat dilhat bahwa pertanyaan yang paling banyak dijawab
dengan benar oleh responden adalah pertanyaan nomor 3 yaitu dengan persentase sebesar 98%,
sedangkan pertanyaan yng paling banyak dijawab dengan salah oleh responden adalah
pertanyaan nomor 10 yaitu dengan persentase sebesar 86% &. Data lengkap distribusi frekwensi
hasil uji tingkat pengetahuan berdasarkan usia dapat dilihat pada tabel 5.7.
Tabel 5.7. Distribusi frekuensi hasil uji tingkat pengetahuan berdasarkan usia
22

Dari tabel di atas dapat dilihat pada kelompok responden dengan usia 15 tahun yang
mempunyai pengetahuan baik sebanyak 4 orang (17,4%), pengetahuan cukup sebanyak 7 orang
(30,4%), pengetahuan kurang sebanyak 12 orang (52,2%), dan pengetahuan buruk sebanyak 0
orang (0%). Pada kelompok responden usia 16 tahun yang mempunyai pengetahuan baik
sebanyak 5 orang (11,9%), pengetahuan cukup sebanyak 22 orang (52,4%), pengetahuan kurang
sebanyak 13 orang (31%), dan pengetahuan buruk sebanyak 2 orang (4,8%), dan pada kelompok
responden usia 17 tahun yang mempunyai pengetahuan baik sebanyak 1 orang (3,4%), cukup
sebanyak 9 orang (31,0%), kurang sebanyak 18 orang (62,1%), dan buruk sebanyak 1 orang
(3,4%). Data lengkap distribusi frekuensi hasil uji tingkat pengetahuan berdasarkan jenis kelamin
dapat dilihat pada tabel 5.8.
Tabel 5.8. Distribusi frekuensi hasil uji tingkat pengetahuan berdasarkan jenis kelamin.

Dari tabel di atas dapat dilihat pada kelompok responden laki-laki yang mempunyai
pengetahuan baik sebanyak 5 orang (9,3%), pengetahuan cukup sebanyak 24 orang (44,4%),
pengetahuan kurang sebanyak 23 orang (42,6), dan pengetahuan buruk sebanyak 2 orang (3,7%),
dan pada kelompok responden perempuan yang mempunyai pengetahuan baik sebanyak 5 orang
(12,5%), pengetahuan cukup sebanyak 14 orang (35%), pengetahuan kurang sebanyak 20 orang
(50%), dan pengetahuan buruk sebanyak 1 orang (25,5%). Data lengkap distribusi frekuensi hasil
23

uji tingkat pengetahuan berdasarkan asal kelas dapat dilihat pada tabel 5.9.
Tabel 5.9. Distribusi frekuensi hasil uji tingkat pengetahuan berdasarkan asal kelas

Dari tabel di atas dapat dilihat pada kelompok responden kelas 1 yang mempunyai
pengetahuan baik sebanyak 4 orang (16,7%), pengetahuan cukup sebanyak 7 orang (29,2%),
pengetahuan kurang sebanyak 13 orang (54,2%), dan pengetahuan buruk sebanyak 0 orang (0%).
Pada kelompok responden kelas 2 yang mempunyai pengetahuan baik sebanyak 5 orang
(12,2%), pengetahuan cukup sebanyak 22 orang (53,7%), pengetahuan kurang sebanyak 12
orang (29,3%), dan pengetahuan buruk sebanyak 2 orang (4,9%), dan pada kelompok responden
kelas 3 yang mempunyai pengetahuan baik sebanyak 1 orang (3,4%), cukup sebanyak 9 orang
(31,0%), kurang sebanyak 18 orang (62,1%), dan buruk sebanyak 1 orang (3,4%). Data lengkap
distribusi frekuensi hasil uji tingkat pengetahuan berdasarkan asal sekolah dapat dilihat pada
tabel 5.10.
Tabel 5.10. Distribusi frekuensi hasil uji tingkat pengetahuan berdasarkan asal sekolah

24

Dari tabel di atas dapat dilihat pada kelompok responden dari SMAN 6 yang mempunyai
pengetahuan baik sebanyak 5 orang (12,8%), pengetahuan cukup sebanyak 17 orang (43,6%),
pengetahuan kurang sebanyak 15 orang (38,5%), dan pengetahuan buruk sebanyak 2 orang
(5,1%). Pada kelompok responden dari SMKN 19 yang mempunyai pengetahuan baik sebanyak
3 orang (12%), pengetahuan cukup sebanyak 12 orang (48%), pengetahuan kurang sebanyak 10
orang (40%), dan pengetahuan buruk sebanyak 0 orang (0%), dan pada kelompok responden dari
SMKN 11 yang mempunyai pengetahuan baik sebanyak 2 orang (6,7%), cukup sebanyak 9 orang
(30%), kurang sebanyak 18 orang (60%), dan buruk sebanyak 1 orang (3,3%).
5.1.3.2. Sikap
Hasil uji sikap terhadap infeksi menular seksual yang dilakukan dengan menggunakan
angket dapat dilihat pada tabel 5.11.
Tabel 5.11. Distribusi frekuensi hasil uji sikap

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa sikap responden terhadap infeksi menular seksual
paling banyak berada dalam kategori netral yaitu sebanyak 63 orang (67%), diikuti dengan sikap
kurang sebanyak 16 orang (17%), diikuti dengan sikap cukup sebanyak 13 orang (13,8%) dan
sikap baik sebanyak 2 orang (2,1%). Data lengkap distribusi frekuensi jawaban responden pada
variabel sikap dapat dilihat pada tabel 5.12.

25

Tabel 5.12. Distribusi frekuensi jawaban responden pada variabel sikap

Dari tabel di atas terlihat bahwa pernyataan yang paling banyak dijawab dengan nilai 5
adalah pernyataan nomor 1 yakni sebesar 51,1% dan pernyataan yang paling sedikit dijawab
dengan nilai 5 adalah pernyataan nomor 5 dan 6, yaitu sebesar 4,3%. Data lengkap distribusi
frekuensi hasil uji sikap berdasarkan usia dapat dilihat pada tabel 5.13.

26

Tabel 5.13. Distribusi frekuensi hasil uji sikap berdasarkan usia

Dari tabel di atas dapat dilihat pada kelompok responden usia 15 tahun yang mempunyai
sikap yang baik sebanyak 0 orang (0%), sikap cukup sebanyak 2 orang (8,7%), sikap netral
sebanyak 15 orang (65,2%), sikap kurang sebanyak 6 orang (26,1%) dan sikap buruk sebanyak 0
orang (0%). Pada kelompok responden usia 16 tahun yang mempunyai sikap yang baik sebanyak
1 orang (2,4%), sikap cukup sebanyak 9 orang (21,4%), sikap netral sebanyak 26 orang (61,9%),
sikap kurang sebanyak 6 orang (14,3%) dan sikap buruk sebanyak 0 orang (0%)., dan pada
kelompok responden usia 17 tahun yang mempunyai sikap yang baik sebanyak 2 orang (2,1%),
sikap cukup sebanyak 2 orang (6,9%), sikap netral sebanyak 22 orang (75,9%), sikap kurang
sebanyak 4 orang (13,8%) dan sikap buruk sebanyak 0 orang (0%). Data lengkap distribusi
frekuensi hasil uji sikap berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada tabel 5.14.
Tabel 5.14. Distribusi frekuensi hasil uji sikap berdasarkan jenis kelamin

Dari tabel di atas dapat dilihat pada kelompok respoden laki-laki yang mempunyai sikap
yang baik sebanyak 2 orang (3,7%), sikap cukup sebanyak 8 orang (14,8%), sikap netral
sebanyak 31 orang (57,4%), sikap kurang sebanyak 13 orang (24,1%) dan sikap buruk sebanyak
0 orang (0%). Dan pada kelompok responden perempuan yang mempunyai sikap yang baik
sebanyak 0 orang (0%), sikap cukup sebanyak 5 orang (12,5%), sikap netral sebanyak 32 orang
27

(80%), sikap kurang sebanyak 3 orang (7,5%) dan sikap buruk sebanyak 0 orang (0%). Data
lengkap distribusi frekuensi hasil uji sikap berdasarkan asal kelas dapat dilihat pada tabel 5.15.
Tabel 5.15. Distribusi frekuensi hasil uji sikap berdasarkan asal kelas

Dari tabel di atas dapat dilihat pada kelompok responden kelas 1 yang mempunyai sikap
yang baik sebanyak 0 orang (0%), sikap cukup sebanyak 4 orang (16,7%), sikap netral sebanyak
14 orang (58,3%), sikap kurang sebanyak 6 orang (25%) dan sikap buruk sebanyak 0 orang
(0%). Pada kelompok responden kelas 2 yang mempunyai sikap yang baik sebanyak 1 orang
(2,4%), sikap cukup sebanyak 7 orang (17,1%), sikap netral sebanyak 27 orang (65,9%), sikap
kurang sebanyak 6 orang (14,6%) dan sikap buruk sebanyak 0 orang (0%)., dan pada kelompok
responden kelas 3 yang mempunyai sikap yang baik sebanyak 1 orang (3,4%), sikap cukup
sebanyak 2 orang (6,9%), sikap netral sebanyak 22 orang (75,9%), sikap kurang sebanyak 4
orang (13,8%) dan sikap buruk sebanyak 0 orang (0%). Data lengkap distribusi frekuensi hasil
uji sikap berdasarkan asal sekolah dapat dilihat pada tabel 5.16.
Tabel 5.16. Distribusi frekuensi hasil uji sikap berdasarkan asal sekolah

28

Dari tabel di atas dapat dilihat pada kelompok responden dari SMAN 6 yang mempunyai
sikap yang baik sebanyak 1 orang (2,6%), sikap cukup sebanyak 3 orang (7,7%), sikap netral
sebanyak 27 orang (69,2%), sikap kurang sebanyak 8 orang (20,5%) dan sikap buruk sebanyak 0
orang (0%). Pada kelompok responden dari SMKN 19 yang mempunyai sikap yang baik
sebanyak 0 orang (0%), sikap cukup sebanyak 6 orang (24%), sikap netral sebanyak 15 orang
(60%), sikap kurang sebanyak 4 orang (16%) dan sikap buruk sebanyak 0 orang (0%)., dan pada
kelompok responden dari SMKN 11 yang mempunyai sikap yang baik sebanyak 1 orang (3,3%),
sikap cukup sebanyak 4 orang (13,3%), sikap netral sebanyak 21 orang (70%), sikap kurang
sebanyak 4 orang (13,3%) dan sikap buruk sebanyak 0 orang (0%). Data lengkap distribusi
frekuensi hasil uji sikap berdasarkan tingkat pengetahuan dapat dilihat pada tabel 5.17.
5.2. Pembahasan
5.2.1. Tingkat Pengetahuan
Dari hasil analisis data dapat dilihat bahwa tingkat pengetahuan siswa/i SMA/K
diwilayah Palaran Samarinda mengenai infeksi menular seksual berada dalam kategori kurang.
Pada penelitian ini memperlihatkan bahwa kebanyakan responden mengetahui jenis infeksi
menular. Ini dikarenakan jenis-jenis infeksi menular seksual sudah terdapat dalam kurikulum
pembelajaran responden yaitu dalam mata pelajaran biologi dalam topik sistem reproduksi
manusia sejak SMP. Pada penelitian ini juga memperlihatkan bahwa kebanyakan responden tidak
mengerti secara konkrit pengurangan resiko seorang penderita infeksi menular seksual. Para
responden hanya mempunyai pengetahuan mengenai pengertian infeksi menular seksual secara
etimologis, yaitu pengertian bahwa infeksi menular seksual adalah infeksi yang hanya bisa
ditularkan melalui hubungan seksual, padahal sebenarnya infeksi menular seksual bisa ditularkan
melalui cara lain selain hubungan seksual.
Berdasarkan hasil penelitian Sarwanto dan Ajik (2004) dan data BKKBN (2009),
pengetahuan remaja mengenai infeksi menular seksual masih rendah. Hal ini sesuai dengan hasil
penelitian di atas. Hasil penelitian mengenai tingkat pengetahuan ini tidak sesuai dengan hasil
penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Notobroto (1999) yang mengemukakan bahwa
pengetahuan siswa SMA mengenai infeksi menular seksual masih dikategorikan dalam tingkat
pengetahuan yang cukup baik, meskipun masih ada yang kurang baik.

29

Berdasarkan hasil analisis data distribusi frekuensi hasil uji pengetahuan berdasarkan
usia, dapat dilihat bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan dari tingkat pengetahuan
responden berdasarkan usia. Ditemukan bahwa proporsi responden yang memiliki pengetahuan
baik paling besar pada usia 15 tahun, yaitu 17,4%, dibandingkan dengan usia 16 tahun yaitu
11,9%. Untuk pengetahuan cukup, paling banyak ditemukan pada usia 16 tahun yaitu sebesar
52,4%. Pengetahuan kurang terbanyak ditemukan pada usia 17 tahun, yaitu 62,1%, dan
pengetahuan buruk pada usia 16 tahun yaitu sebesar 4,8%.
Hasil ini tidak sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Hadi, et al (2008), bahwa
pertambahan usia seseorang akan berhubungan dengan perkembangan kognitif, penalaran moral,
perkembangan psiko seksual dan perkembangan sosial yang artinya semakin dewasa seseorang
seharusnya pengetahuan dan pengalamannya semakin bertambah. Hasil ini juga tidak sesuai
dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Prihyugiarto (2008), bahwa salah satu faktor yang
mempengaruhi pengetahuan seseorang mengenai infeksi menular seksual adalah usia, yaitu pada
kelompok usia yang lebih tua akan memiliki tingkat pengetahuan yang lebih baik dibandingkan
pada kelompok usia yang muda.
Menurut Hanifah (2007) di masyarakat, gender menentukan bagaimana dan apa yang
harus diketahui oleh laki-laki dan perempuan mengenai masalah seksualitas, termasuk perilaku
seksual, kehamilan dan penyakit menular seksual (PMS). Konstruksi sosial mengenai atribut dan
peran feminin ideal menekankan bahwa ketidaktahuan seksual, keperawanan, dan ketidaktahuan
perempuan mengenai masalah seksual merupakan tanda kesucian sehingga dikatakan bahwa
laki-laki lebih mengetahui masalah seksualitas daripada perempuan, karena perempuan dianggap
lebih pasif sedangkan laki-laki lebih aktif dalam mencari informasi mengenai seksualitas.
Berdasarkan hasil analisis data distribusi frekuensi hasil uji pengetahuan berdasarkan
jenis kelamin, dapat dilihat bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan dari tingkat
pengetahuan responden berdasarkan jenis kelamin. Pada responden dengan jenis kelamin lakilaki didapatkan pengetahuan kurang sebanyak 42,6%, dibandingkan dengan perempuan sebesar
50%. Namun hal ini tidak bermakna karena memang pada penelitian ini proporsi responden lakilaki lebih besar (52,4%), dibandingkan dengan responden perempuan (47,6%). Hasil penelitian
ini sesuai dengan hasil penelitian Prihyugiarto (2008), bahwa jenis kelamin tidak berpengaruh
terhadap pengetahuan mengenai infeksi menular seksual.

30

Berdasarkan hasil analisis data distribusi frekuensi hasil uji pengetahuan berdasarkan asal
kelas, dapat dilihat bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan dari tingkat pengetahuan
responden berdasarkan jenis kelamin. Pada responden dengan jenis kelamin laki-laki didapatkan
pengetahuan kurang sebanyak 42,6%, dibandingkan dengan perempuan sebesar 50%. Namun hal
ini tidak bermakna karena memang pada penelitian ini proporsi responden laki-laki lebih besar
(52,4%), dibandingkan dengan responden perempuan (47,6%). Hasil penelitian ini sesuai dengan
hasil penelitian Prihyugiarto (2008), bahwa jenis kelamin tidak berpengaruh terhadap
pengetahuan mengenai infeksi menular seksual.
Berdasarkan hasil analisis data distribusi frekuensi hasil uji pengetahuan berdasarkan asal
kelas, dapat dilihat bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan dari tingkat pengetahuan
responden berdasarkan asal kelas. Ditemukan bahwa proporsi responden yang memiliki
pengetahuan baik paling besar pada kelas 1, yaitu 16,7%, dibandingkan dengan kelas 2 yaitu
12,2%. Untuk pengetahuan cukup, paling banyak ditemukan pada kelas 2 yaitu sebesar 53,7%.
Pengetahuan kurang terbanyak ditemukan pada kelas 1, yaitu 54,2%, dan pengetahuan buruk
pada kelas 2 yaitu sebesar 4,9%.
Berdasarkan hasil analisis data distribusi frekuensi hasil uji pengetahuan berdasarkan asal
sekolah, dapat dilihat bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan dari tingkat pengetahuan
responden berdasarkan asal sekolah. Ditemukan bahwa proporsi responden yang memiliki
pengetahuan baik paling besar di SMAN 6, yaitu 12,8%, dibandingkan dengan dari SMKN 19
yaitu 12%. Untuk pengetahuan cukup, paling banyak ditemukan pada SMKN 19 yaitu sebesar
48%. Pengetahuan kurang terbanyak ditemukan pada SMKN 11, yaitu 60%, dan pengetahuan
buruk pada SMAN 6 yaitu sebesar 5,1%.
Menurut asumsi peneliti, usia, jenis kelamin, asal kelas dan asal sekolah tidak
berpengaruh terhadap pengetahuan remaja karena saat ini, remaja mempunyai kesempatan yang
sama untuk mengakses informasi mengenai infeksi menular seksual.
5.2.2. Sikap
Dari hasil analisis data dapat dilihat bahwa sikap siswa/i SMA/K diwilayah Palaran
Samarinda terhadap infeksi menular seksual adalah netral. Pada penelitian ini memperlihatkan
bahwa kebanyakan remaja mempunyai sikap yang netral dalam menanggapi masalah seks bebas
31

dan pencegahan infeksi menular seksual. Namun, beberapa remaja masih mempunyai sikap yang
kurang dalam mengahadapi seseorang yang menderita infeksi menular seksual. Para remaja lebih
cenderung untuk manjauhi penderita infeksi menular seksual oleh karena takut tertular. Hal ini
sesuai dengan hasil analisis pengetahuan sebelumnya yang mendapatkan bahwa pengetahuan
remaja SMA/K diwilayah Palaran Samarinda masih buruk, terutama dalam hal pengertian dan
cara penularan infeksi menular seksual. Berdasarkan hasil penelitian Sarwanto dan Ajik (2004)
dan data BKKBN (2009), sikap remaja terhadap infeksi menular seksual masih rendah. Hasil
penelitian mengenai sikap remaja ini juga sejalan dengan hasil penelitian peneliti.
Berdasarkan hasil analisis data distribusi frekuensi hasil uji sikap berdasarkan usia, dapat
diliha