REAKTUALISASI ILMU DALAM PENGEMBANGAN HU
REAKTUALISASI ILMU DALAM PENGEMBANGAN HUKUM DI INDONESIA
Salah satu ciri khas manusia adalah sifatnya selalu ingin tahu tentang peristiwaperistiwa yang terjadi di alam sekelilingnya. Keinginan tadi dapat bersifat sederhana, yaitu
ingin tahu tentang “apa” (Ontologi), baik namanya, kelompoknya maupun sifat-sifatnya.
Tetapi keingintahuan tadi dapat juga bersifat kompleks, yaitu bila ingin tahu mengenai
“bagaimana” dan “mengapa” peristiwa tersebut dapat terjadi (Epistemologi); dan “untuk apa”
(Aksiologi) peristiwa tersebut kita pelajari. Ketiga landasan tersebut baik landasan ontologi,
epistemologi, dan aksiologi merupakan ciri spesifik dalam penyusunan pengetahuan. Ketiga
landasan ini saling terkait. Bila usaha keingintahuan tadi berhasil, maka diperoleh apa yang
kita katakan sebagai ketahuan atau “Pengetahuan” (knowledge).1
Epistemologi atau teori pengetahuan (theory of knowledge). Secara etimologi, istilah
‘epistemologi’ berasal dari kata Yunani ‘episteme’ = pengetahuan dan ‘logos’ = teori.
Epistemologi merupakan cabang filsafat yang mempelajari asal mula, sumber, struktur,
metode dan syahnya pengetahuan.2
Aksiologi atau penerapan pengetahuan dengan tujuan untuk menjawab permasalahan
kehidupan yang sehari-hari dihadapi manusia dan untuk digunakan dalam menawarkan
berbagai kemudahan kepadanya. Pengetahuan ilmiah alias ilmu dapat diibaratkan sebagai alat
bagi manusia dalam memecahkan berbagai masalah atau persoalan yang dihadapinya.
Pemecahan tersebut pada dasarnya adalah dengan meramalkan dan mengontrol gejala alam.3
Ontologi, epistemologi, dan aksiologi adalah tingkat kedalaman pengetahuan atau
tingkat kompetensi seseorang tentang sesuatu objek atau fenomena tingkat kedalaman
pengetahuan atau tingkat kompetensi dilakukan secara sadar. Makin sering melakukan
aksiologi, orang tersebut menjadi makin kompeten tidak sadar, yang sudah menjadi
pembiasaan.4
1 Stefanus Supriyanto, Filsafat Ilmu, Prestasi Pustaka, Jakarta, 2013, hal. 1-2.
2 Ibid, hal. 2.
3 Ibid, hal. 2.
4 Ibid, hal. 3.
1
Ilmu merupakan suatu perwujudan kebudayaan manusia yang mengacu pada aktivitas
pemikiran atau riset, metode ilmiah dan pengetahuan. Setiap ilmu memiliki dimensi (cabang
ilmu, pengetahuan relatif abstrak, dan aspek realitas) dan sebuah struktur tertentu (objek yang
dipelajari, bentuk pernyataan, ragam proposisi, ciri-ciri pokok dan pembagian sistematik). 5
Ilmu adalah rangkaian aktivitas pemikiran manusia yang rasional (akal) dan/ atau
aktivitas riset dengan menggunakan metode ilmiah, sehingga menghasilkan kumpulan
pengetahuan yang sistematis, teknologi dan seni mengenai gejala kealaman, kemasyarakatan
atau keorangan untuk tujuan mencapai kebenaran, pemahaman, memberikan penjelasan
maupun melakukan penerapan.6
Ilmu mempelajari alam sebagaimana adanya (das sein) dan terbatas pada lingkup
pengalaman kita. Pengetahuan yang bersumber dari ilmu dengan tujuan untuk menjawab
permasalahan kehidupan sehari-hari yang dihadapi manusia, dan digunakan untuk
menawarkan berbagai kemudahan kepadanya. Ilmu dapat diibaratkan sebagai alat bagi
manusia untuk memecahkan berbagai persoalan yang dihadapinya. Ilmu dapat digunakan
untuk menjelaskan, meramal, dan mengkontrol gejala alam. Oleh karena itu sering dikatakan
bahwa dengan ilmu manusia mencoba memanipulasi dan menguasai alam.7
Ilmu adalah kumpulan pengetahuan yang disusun secara konsisten dan kebenarannya
telah teruji secara empiris. Perlu disadari bahwa pembuktian dalam ilmu tidak bersifat
absolut. Ilmu membatasi diri pada pengkajian objek yang berada dalam lingkup pengalaman
manusia. 8
Ilmu bersifat objektif. Untuk itu maka diperlukan pengukuran yang mana sumber
informasi harus bersifat seobjektif mungkin. Sebelum ditemukan alat ukur seperti berat
badan, meter, voltmeter, thermometer, jam, aritmetik, geometri dan seterusnya, sumber
informasi yang tersedia berdasarkan indera rasa (mata, pendengaran, rasa panas, rasa berat).
Ukuran dengan indera rasa dari orang ke orang berbeda, sehingga tidak objektif. Hakikat
5 Ibid, hal. 41.
6 Ibid, hal. 41.
7 Ibid, hal. 42.
8 Ibid, hal. 42.
2
ilmu bersifat pragmatis artinya ilmu tidak mencari kebenaran absolut tetapi kebenaran yang
bermanfaat bagi manusia dalam tahap perkembangan tertentu. Ilmu bersifat konsisten artinya
penemuan yang satu didasarkan kepada penemuan-penemuan sebelumnya.9
Sebelum kita membahas tentang apa dan bagaimana hukum sebagai suatu bidang ilmu
pengetahuan tentunya kita harus melihat dulu bagaimana pandangan para ahli tentang hukum
itu. Ketika mempertanyakan tentang apa (hakikat) hukum itu, sebenarnya juga sudah masuk
pada ranah filsafat hukum. Pertanyaan tersebut sebenarnya juga dapat dijawab oleh ilmu
hukum, akan tetapi jawaban tersebut ternyata tidak memuaskan. Hal ini antara lain dapat
berpijak dari pendapat Van Apeldoorn yang antara lain menyatakan bahwa ilmu hukum hanya
memberikan jawaban yang sepihak, karena ilmu hukum hanya melihat gejala-gejala hukum
belaka.10
Ia tidak melihat hukum, ia hanya melihat apa yang dapat dilihat dengan panca indera,
bukan melihat dunia hukum yang tidak dapat dilihat, yang tersembunyi di dalamnya, dengan
demikian kaidah-kaidah hukum sebagai pertimbangan nilai terletak di luar pandangan Ilmu
Hukum Norma (kaidah) hukum tidak termasuk pada ranah kenyataan (Sein), tetapi berada
pada dunia nilai (Sollen dan mogen), sehingga norma hukum bukan dunia penyelidikan ilmu
hukum.
Norma hukum yang diwujudkan dalam tindakan konkret disebut dengan perilaku
hukum. Perilaku hukum ini dapat dikatakan sebagai praksis nilai-nilai di belakangnya, yakni
berupa nilai-nilai yang melatarbelakanginya. Praksis berbeda dengan praktik dalam arti
umum, karena yang disebutkan terakhir ini dapat saja berupa perilaku tanpa nilai-nilai yang
dipilih secara sadar dan diyakini kebenarannya (value-free).11
Lawrence M.Fiedman (1977:115-116) menyatakan
bahwa
perilaku
hukum
menyangkut soal pilihan yang berkaitan dengan motif seseorang. Apa yang mendorong
perilaku hukum dibedakan Friedman menjadi empat kategori, yaitu kepentingan pribadi,
9 Ibid, hal. 42.
10 P. Van Djik et.al, Van Apeldoorn’s inleiding tot de studie van nederlandse recht, Tjeenk-Willijnk, 1985,
hal.447.
11 Darji Darmodiharjo & Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum (Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum
Indonesia), Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2006, hal. 250.
3
kepekaan terhadap sanksi (atau penghargaan), tanggapan atas pengaruh sosial, dan
kepatuhan.12
Bahwa seseorang berperilaku sesuai dengan hukum dapat terjadi secara spontan.
Orang itu berperilaku demikian tanpa berpikir dan menyadari bahwa tindakannya memang
sesuai hukum. Seorang pengendara mobil mengurangi kecepatannya mungkin karena ia
memikirkan keselamatan dirinya sendiri, bukan karena ia mengetahui adanya kecepatan
maksimum yang diperbolehkan. Seorang pejalan kaki akan memilih menyeberang melewati
jembatan penyebrangan daripada memotong langsung arus kendaraan semata-mata karena ia
berkepentingan atas keselamatan dirinya.13
Norma hukum pada prinsipnya menuntut ketaatan fisik, bukan ketaatan batiniah.
Hukum sudah memandang cukup apabila seseorang pengendara mobil berhenti pada saat
lampu lalu lintas berwarna merah, terlepas apakah pengendara itu suka atau tidak, terpaksa
atau sukarela berbuat demikian. Inilah yang antara lain membedakan norma hukum dengan
norma yang bersifat individual, seperti norma agama dan norma kesusilaan. Perbedaan
lainnya adalah mengenai penerapan sanksi. Sanksi atas norma hukum pada umumnya bersifat
dapat dipaksakan pelaksanaannya oleh kekuasaan formal penguasa.14
Perilaku hukum, dengan demikian, mungkin dilakukan karena yang bersangkutan
khawatir akan mendapat sanksi. Sejalan dengan ini, ada pula kemungkinan bahwa perilaku
hukum itu dilakukan untuk mendapat penghargaan. Inilah yang dimaksud Friedman dengan
kepekaan terhadap sanksi (atau penghargaan) sebagai salah satu motif orang berperilaku
sesuai dengan hukum.15
Sebagai makhluk sosial, perilaku manusia juga sangat dipengaruhi oleh lingkungan
sosialnya. Seseorang mungkin berperilaku sesuai dengan hukum karena lingkungan
pergaulannya menyukai perilaku demikian. Sebaliknya, dapat pula terjadi bahwa ia tidak
berperilaku sesuai dengan hukum karena lingkungannya tidak menyukainya. Seorang anak
12 Ibid, hal. 250.
13 Ibid, hal. 251.
14 Ibid, hal. 251.
15 Ibid, hal. 251.
4
remaja barangkali akan merasa bangga dapat menunjukkan kepada teman-teman sebayanya
bahwa ia berani melajukan sepeda motornya dengan kecepatan tinggi di jalan raya yang padat
dengan kendaraan.16
Motif lain yang mendorong orang berperilaku hukum adalah kesadarannya sendiri.
Dengan perkataan lain, nilai-nilai yang terkandung dalam norma hukum itu telah
diinternalisasikan dalam individu tersebut. Internalisasi yang dimaksud di sini adalah proses
pembatinan nilai dari luar dirinya (eksternal) menjadi bagian dalam dirinya atau batinnya
(internal).17
Dari empat motif yang diketengahkan di atas, hanya motif pertama yang tidak
mensyaratkan perlunya pemahaman hukum. Sekali lagi, pemahaman yang dimaksud di sini
adalah pemahaman atas keseluruhan unsur sistem hukum, yang meliputi struktur, substansi,
maupun budaya hukumnya. Pelembagan (institusionalisasi) hukum memegang peranan amat
penting karena pelembagaan ini amat mempengaruhi efektivitas hukum. Semakin tinggi
tingkat pelembagaan hukum, semakin efektif hukum itu berlaku di masyarakat.18
Sebagaimana diintroduksikan oleh Roscoe Pound dengan aliran Sociological
Jurisprudence-nya, hukum dapat digunakan sebagai alat untuk merekayasa masyarakat.
Konsep Pound ini kemudian dikembangkan oleh Mochtar Kusumaatmadja, dengan
mengatakan bahwa hukum di Indonesia berperan sebagai sarana untuk memperbaharui
masyarakat. Konsep ini sangat menarik, karena hukum dalam hal ini tidak lagi tidak lagi
ditempatkan (berjalan tertatih-tatih) di belakang kenyataan (het recht hinkt achter de feiten
aan), seperti dalam konsep Mazhab Sejarah yang notabene pernah dianut secara luas di
Indoesia, tetapi telah didudukkan di muka kenyataan. Hukum mendahului kenyataan dengan
harapan dapat mengubah kenyataan yang ada menjadi lebih baik, sejalan dengan cita hukum
Indonesia (Pancasila).19
16 Ibid, hal. 251.
17 Ibid, hal. 252.
18 Ibid, hal. 252.
19 Ibid, hal. 252.
5
Konsep hukum sebagai sarana pembaruan masyarakat bukannya tanpa bahaya.
Hukum yang ditempatkan di muka kenyataan tidak boleh terlalu jauh dari kenyataan yang
ada. Harus disadari sepenuhnya bahwa yang akan diperbarui adalah budaya hukum
masyarakat, dan nilai budaya memang termasuk yang tidak mudah berubah. Apabila nilai
(budaya hukum) yang akan ditanamkan dalam suatu norma hukum terlalu jauh dari
kenyataan, yang timbul justru reaksi penolakan. Reaksi kontra yang demikian justru akan
menciptakan
instabilitas
dalam
hukum,
yang
pada
gilirannya
akan
mengancam
kesinambungan pembangunan.
Untuk memperkecil kemungkinan terjadinya penolakan, perlu dilakukan pelembagaan
hukum seperti yang dikemukakan di atas. Artinya, norma hukum yang dituangkan dalam
berbagai bentuk (format) hukum, apakah undang-undang, peraturan pemerintah, dan
sebagainya, tidak boleh berhenti di atas kertas. Budaya bangsa Indonesia masih bersifat amat
verbal, sehingga pencantuman norma hukum secara literal tidak mungkin efektif tanpa
ditindaklanjuti dengan upaya konkret. Upaya inilah yang disebut pelembagaan hukum.
Mengingat orientasi budaya kita yang vertikal (paternalistik), maka pelembagaan
hukum membutuhkan partisipasi yang sangat aktif dari tokoh-tokoh panutan masyarakat.
Pelembagaan ini tentu memerlukan waktu yang lama, dan jika telah berhasil dilakukan, maka
upaya pelembagaan itu ditingkatkan menjadi internalisasi nilai-nilai yang diamanatkan dalam
cita hukum (Pancasila). Jika pelembagaan hukum lebih bersifat massal, maka internalisasi ini
lebih mengacu pada sasaran secara individual. Dengan demikian, pembangunan hukum di
Indonesia tidak sekedar menciptakan masyarakat dan individu yang taat hukum, tetapi juga
masyarakat dan individu yang Pancasilais.
DAFTAR PUSTAKA :
Darji Darmodiharjo & Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum (Apa dan Bagaimana Filsafat
Hukum Indonesia), Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2006.
P. Van Djik et.al, Van Apeldoorn’s inleiding tot de studie van nederlandse recht, TjeenkWillijnk, 1985.
6
Stefanus Supriyanto, Filsafat Ilmu, Prestasi Pustaka, Jakarta, 2013.
7
Salah satu ciri khas manusia adalah sifatnya selalu ingin tahu tentang peristiwaperistiwa yang terjadi di alam sekelilingnya. Keinginan tadi dapat bersifat sederhana, yaitu
ingin tahu tentang “apa” (Ontologi), baik namanya, kelompoknya maupun sifat-sifatnya.
Tetapi keingintahuan tadi dapat juga bersifat kompleks, yaitu bila ingin tahu mengenai
“bagaimana” dan “mengapa” peristiwa tersebut dapat terjadi (Epistemologi); dan “untuk apa”
(Aksiologi) peristiwa tersebut kita pelajari. Ketiga landasan tersebut baik landasan ontologi,
epistemologi, dan aksiologi merupakan ciri spesifik dalam penyusunan pengetahuan. Ketiga
landasan ini saling terkait. Bila usaha keingintahuan tadi berhasil, maka diperoleh apa yang
kita katakan sebagai ketahuan atau “Pengetahuan” (knowledge).1
Epistemologi atau teori pengetahuan (theory of knowledge). Secara etimologi, istilah
‘epistemologi’ berasal dari kata Yunani ‘episteme’ = pengetahuan dan ‘logos’ = teori.
Epistemologi merupakan cabang filsafat yang mempelajari asal mula, sumber, struktur,
metode dan syahnya pengetahuan.2
Aksiologi atau penerapan pengetahuan dengan tujuan untuk menjawab permasalahan
kehidupan yang sehari-hari dihadapi manusia dan untuk digunakan dalam menawarkan
berbagai kemudahan kepadanya. Pengetahuan ilmiah alias ilmu dapat diibaratkan sebagai alat
bagi manusia dalam memecahkan berbagai masalah atau persoalan yang dihadapinya.
Pemecahan tersebut pada dasarnya adalah dengan meramalkan dan mengontrol gejala alam.3
Ontologi, epistemologi, dan aksiologi adalah tingkat kedalaman pengetahuan atau
tingkat kompetensi seseorang tentang sesuatu objek atau fenomena tingkat kedalaman
pengetahuan atau tingkat kompetensi dilakukan secara sadar. Makin sering melakukan
aksiologi, orang tersebut menjadi makin kompeten tidak sadar, yang sudah menjadi
pembiasaan.4
1 Stefanus Supriyanto, Filsafat Ilmu, Prestasi Pustaka, Jakarta, 2013, hal. 1-2.
2 Ibid, hal. 2.
3 Ibid, hal. 2.
4 Ibid, hal. 3.
1
Ilmu merupakan suatu perwujudan kebudayaan manusia yang mengacu pada aktivitas
pemikiran atau riset, metode ilmiah dan pengetahuan. Setiap ilmu memiliki dimensi (cabang
ilmu, pengetahuan relatif abstrak, dan aspek realitas) dan sebuah struktur tertentu (objek yang
dipelajari, bentuk pernyataan, ragam proposisi, ciri-ciri pokok dan pembagian sistematik). 5
Ilmu adalah rangkaian aktivitas pemikiran manusia yang rasional (akal) dan/ atau
aktivitas riset dengan menggunakan metode ilmiah, sehingga menghasilkan kumpulan
pengetahuan yang sistematis, teknologi dan seni mengenai gejala kealaman, kemasyarakatan
atau keorangan untuk tujuan mencapai kebenaran, pemahaman, memberikan penjelasan
maupun melakukan penerapan.6
Ilmu mempelajari alam sebagaimana adanya (das sein) dan terbatas pada lingkup
pengalaman kita. Pengetahuan yang bersumber dari ilmu dengan tujuan untuk menjawab
permasalahan kehidupan sehari-hari yang dihadapi manusia, dan digunakan untuk
menawarkan berbagai kemudahan kepadanya. Ilmu dapat diibaratkan sebagai alat bagi
manusia untuk memecahkan berbagai persoalan yang dihadapinya. Ilmu dapat digunakan
untuk menjelaskan, meramal, dan mengkontrol gejala alam. Oleh karena itu sering dikatakan
bahwa dengan ilmu manusia mencoba memanipulasi dan menguasai alam.7
Ilmu adalah kumpulan pengetahuan yang disusun secara konsisten dan kebenarannya
telah teruji secara empiris. Perlu disadari bahwa pembuktian dalam ilmu tidak bersifat
absolut. Ilmu membatasi diri pada pengkajian objek yang berada dalam lingkup pengalaman
manusia. 8
Ilmu bersifat objektif. Untuk itu maka diperlukan pengukuran yang mana sumber
informasi harus bersifat seobjektif mungkin. Sebelum ditemukan alat ukur seperti berat
badan, meter, voltmeter, thermometer, jam, aritmetik, geometri dan seterusnya, sumber
informasi yang tersedia berdasarkan indera rasa (mata, pendengaran, rasa panas, rasa berat).
Ukuran dengan indera rasa dari orang ke orang berbeda, sehingga tidak objektif. Hakikat
5 Ibid, hal. 41.
6 Ibid, hal. 41.
7 Ibid, hal. 42.
8 Ibid, hal. 42.
2
ilmu bersifat pragmatis artinya ilmu tidak mencari kebenaran absolut tetapi kebenaran yang
bermanfaat bagi manusia dalam tahap perkembangan tertentu. Ilmu bersifat konsisten artinya
penemuan yang satu didasarkan kepada penemuan-penemuan sebelumnya.9
Sebelum kita membahas tentang apa dan bagaimana hukum sebagai suatu bidang ilmu
pengetahuan tentunya kita harus melihat dulu bagaimana pandangan para ahli tentang hukum
itu. Ketika mempertanyakan tentang apa (hakikat) hukum itu, sebenarnya juga sudah masuk
pada ranah filsafat hukum. Pertanyaan tersebut sebenarnya juga dapat dijawab oleh ilmu
hukum, akan tetapi jawaban tersebut ternyata tidak memuaskan. Hal ini antara lain dapat
berpijak dari pendapat Van Apeldoorn yang antara lain menyatakan bahwa ilmu hukum hanya
memberikan jawaban yang sepihak, karena ilmu hukum hanya melihat gejala-gejala hukum
belaka.10
Ia tidak melihat hukum, ia hanya melihat apa yang dapat dilihat dengan panca indera,
bukan melihat dunia hukum yang tidak dapat dilihat, yang tersembunyi di dalamnya, dengan
demikian kaidah-kaidah hukum sebagai pertimbangan nilai terletak di luar pandangan Ilmu
Hukum Norma (kaidah) hukum tidak termasuk pada ranah kenyataan (Sein), tetapi berada
pada dunia nilai (Sollen dan mogen), sehingga norma hukum bukan dunia penyelidikan ilmu
hukum.
Norma hukum yang diwujudkan dalam tindakan konkret disebut dengan perilaku
hukum. Perilaku hukum ini dapat dikatakan sebagai praksis nilai-nilai di belakangnya, yakni
berupa nilai-nilai yang melatarbelakanginya. Praksis berbeda dengan praktik dalam arti
umum, karena yang disebutkan terakhir ini dapat saja berupa perilaku tanpa nilai-nilai yang
dipilih secara sadar dan diyakini kebenarannya (value-free).11
Lawrence M.Fiedman (1977:115-116) menyatakan
bahwa
perilaku
hukum
menyangkut soal pilihan yang berkaitan dengan motif seseorang. Apa yang mendorong
perilaku hukum dibedakan Friedman menjadi empat kategori, yaitu kepentingan pribadi,
9 Ibid, hal. 42.
10 P. Van Djik et.al, Van Apeldoorn’s inleiding tot de studie van nederlandse recht, Tjeenk-Willijnk, 1985,
hal.447.
11 Darji Darmodiharjo & Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum (Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum
Indonesia), Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2006, hal. 250.
3
kepekaan terhadap sanksi (atau penghargaan), tanggapan atas pengaruh sosial, dan
kepatuhan.12
Bahwa seseorang berperilaku sesuai dengan hukum dapat terjadi secara spontan.
Orang itu berperilaku demikian tanpa berpikir dan menyadari bahwa tindakannya memang
sesuai hukum. Seorang pengendara mobil mengurangi kecepatannya mungkin karena ia
memikirkan keselamatan dirinya sendiri, bukan karena ia mengetahui adanya kecepatan
maksimum yang diperbolehkan. Seorang pejalan kaki akan memilih menyeberang melewati
jembatan penyebrangan daripada memotong langsung arus kendaraan semata-mata karena ia
berkepentingan atas keselamatan dirinya.13
Norma hukum pada prinsipnya menuntut ketaatan fisik, bukan ketaatan batiniah.
Hukum sudah memandang cukup apabila seseorang pengendara mobil berhenti pada saat
lampu lalu lintas berwarna merah, terlepas apakah pengendara itu suka atau tidak, terpaksa
atau sukarela berbuat demikian. Inilah yang antara lain membedakan norma hukum dengan
norma yang bersifat individual, seperti norma agama dan norma kesusilaan. Perbedaan
lainnya adalah mengenai penerapan sanksi. Sanksi atas norma hukum pada umumnya bersifat
dapat dipaksakan pelaksanaannya oleh kekuasaan formal penguasa.14
Perilaku hukum, dengan demikian, mungkin dilakukan karena yang bersangkutan
khawatir akan mendapat sanksi. Sejalan dengan ini, ada pula kemungkinan bahwa perilaku
hukum itu dilakukan untuk mendapat penghargaan. Inilah yang dimaksud Friedman dengan
kepekaan terhadap sanksi (atau penghargaan) sebagai salah satu motif orang berperilaku
sesuai dengan hukum.15
Sebagai makhluk sosial, perilaku manusia juga sangat dipengaruhi oleh lingkungan
sosialnya. Seseorang mungkin berperilaku sesuai dengan hukum karena lingkungan
pergaulannya menyukai perilaku demikian. Sebaliknya, dapat pula terjadi bahwa ia tidak
berperilaku sesuai dengan hukum karena lingkungannya tidak menyukainya. Seorang anak
12 Ibid, hal. 250.
13 Ibid, hal. 251.
14 Ibid, hal. 251.
15 Ibid, hal. 251.
4
remaja barangkali akan merasa bangga dapat menunjukkan kepada teman-teman sebayanya
bahwa ia berani melajukan sepeda motornya dengan kecepatan tinggi di jalan raya yang padat
dengan kendaraan.16
Motif lain yang mendorong orang berperilaku hukum adalah kesadarannya sendiri.
Dengan perkataan lain, nilai-nilai yang terkandung dalam norma hukum itu telah
diinternalisasikan dalam individu tersebut. Internalisasi yang dimaksud di sini adalah proses
pembatinan nilai dari luar dirinya (eksternal) menjadi bagian dalam dirinya atau batinnya
(internal).17
Dari empat motif yang diketengahkan di atas, hanya motif pertama yang tidak
mensyaratkan perlunya pemahaman hukum. Sekali lagi, pemahaman yang dimaksud di sini
adalah pemahaman atas keseluruhan unsur sistem hukum, yang meliputi struktur, substansi,
maupun budaya hukumnya. Pelembagan (institusionalisasi) hukum memegang peranan amat
penting karena pelembagaan ini amat mempengaruhi efektivitas hukum. Semakin tinggi
tingkat pelembagaan hukum, semakin efektif hukum itu berlaku di masyarakat.18
Sebagaimana diintroduksikan oleh Roscoe Pound dengan aliran Sociological
Jurisprudence-nya, hukum dapat digunakan sebagai alat untuk merekayasa masyarakat.
Konsep Pound ini kemudian dikembangkan oleh Mochtar Kusumaatmadja, dengan
mengatakan bahwa hukum di Indonesia berperan sebagai sarana untuk memperbaharui
masyarakat. Konsep ini sangat menarik, karena hukum dalam hal ini tidak lagi tidak lagi
ditempatkan (berjalan tertatih-tatih) di belakang kenyataan (het recht hinkt achter de feiten
aan), seperti dalam konsep Mazhab Sejarah yang notabene pernah dianut secara luas di
Indoesia, tetapi telah didudukkan di muka kenyataan. Hukum mendahului kenyataan dengan
harapan dapat mengubah kenyataan yang ada menjadi lebih baik, sejalan dengan cita hukum
Indonesia (Pancasila).19
16 Ibid, hal. 251.
17 Ibid, hal. 252.
18 Ibid, hal. 252.
19 Ibid, hal. 252.
5
Konsep hukum sebagai sarana pembaruan masyarakat bukannya tanpa bahaya.
Hukum yang ditempatkan di muka kenyataan tidak boleh terlalu jauh dari kenyataan yang
ada. Harus disadari sepenuhnya bahwa yang akan diperbarui adalah budaya hukum
masyarakat, dan nilai budaya memang termasuk yang tidak mudah berubah. Apabila nilai
(budaya hukum) yang akan ditanamkan dalam suatu norma hukum terlalu jauh dari
kenyataan, yang timbul justru reaksi penolakan. Reaksi kontra yang demikian justru akan
menciptakan
instabilitas
dalam
hukum,
yang
pada
gilirannya
akan
mengancam
kesinambungan pembangunan.
Untuk memperkecil kemungkinan terjadinya penolakan, perlu dilakukan pelembagaan
hukum seperti yang dikemukakan di atas. Artinya, norma hukum yang dituangkan dalam
berbagai bentuk (format) hukum, apakah undang-undang, peraturan pemerintah, dan
sebagainya, tidak boleh berhenti di atas kertas. Budaya bangsa Indonesia masih bersifat amat
verbal, sehingga pencantuman norma hukum secara literal tidak mungkin efektif tanpa
ditindaklanjuti dengan upaya konkret. Upaya inilah yang disebut pelembagaan hukum.
Mengingat orientasi budaya kita yang vertikal (paternalistik), maka pelembagaan
hukum membutuhkan partisipasi yang sangat aktif dari tokoh-tokoh panutan masyarakat.
Pelembagaan ini tentu memerlukan waktu yang lama, dan jika telah berhasil dilakukan, maka
upaya pelembagaan itu ditingkatkan menjadi internalisasi nilai-nilai yang diamanatkan dalam
cita hukum (Pancasila). Jika pelembagaan hukum lebih bersifat massal, maka internalisasi ini
lebih mengacu pada sasaran secara individual. Dengan demikian, pembangunan hukum di
Indonesia tidak sekedar menciptakan masyarakat dan individu yang taat hukum, tetapi juga
masyarakat dan individu yang Pancasilais.
DAFTAR PUSTAKA :
Darji Darmodiharjo & Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum (Apa dan Bagaimana Filsafat
Hukum Indonesia), Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2006.
P. Van Djik et.al, Van Apeldoorn’s inleiding tot de studie van nederlandse recht, TjeenkWillijnk, 1985.
6
Stefanus Supriyanto, Filsafat Ilmu, Prestasi Pustaka, Jakarta, 2013.
7