DESENTRALISASI FISKAL DAN PERUBAHAN STRUKTUR EKONOMI: STUDI PERBANDINGAN KAWASAN SULAWESI DAN JAWA

DESENTRALISASI FISKAL DAN PERUBAHAN STRUKTUR EKONOMI: STUDI PERBANDINGAN KAWASAN SULAWESI DAN JAWA

Muh. Amir Arham

amier_archam@yahoo.com

Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Negeri Gorontalo

ABSTRACT

Fiscal decentralization policies by giving greater authority to the regions to create efficiency and effectiveness to provide public goods, because the area is considered better understand the preferences of the community. Besides, fiscal decentralization policies can accelerate economic growth and changes in economic structure that has a devastating impact on the region is still considered backward. In general, backward areas still rely on primary sectors such districts/municipalities in Sulawesi, while the districts/municipalities in Java, relying on non- primary sector tends to be more advanced. Therefore, in general the economy is still underdeveloped Sulawesi compared to Java. The purpose of this research is to analyze the effect of fiscal decentralization on economic structural change districts/municipalities by comparing the two areas considered different economic structure, Sulawesi and Java. By using a panel analysis of data from 2001-2010 results showed that the fiscal decentralization policies has no effect on changes in the economic structure in Sulawesi. Java, while in the region shows that the negative effect of fiscal decentralization, it means diminishing the role of the primary sector, which leads to changes in the economic structure .

Key words: Fiscal Decentralization, Structure Changes and Comparative Studies

ABSTRAK

Kebijakan desentralisasi fiskal dengan memberikan kewenangan yang lebih besar kepada daerah dapat menciptakan efisiensi dan efektifitas untuk menyediakan barang publik, karena daerah dianggap lebih memahami preferensi masyarakatnya. Disamping itu kebijakan desentralisasi fiskal dapat mendorong percepatan perkembangan ekonomi serta perubahan struktur ekonomi yang memiliki dampak luas bagi daerah yang dianggap masih terbelakang. Pada umumnya daerah terbelakang masih bertumpu pada sektor primer seperti kabupaten/kota yang ada di Sulawesi, sementara kabupaten/kota yang ada di Jawa mengandalkan sektor non primer cenderung lebih maju. Oleh sebab itu secara umum perekonomian wilayah Sulawesi masih terbelakang dibandingkan dengan wilayah Jawa. Tujuan penelitian ini untuk menganalisis pengaruh desentralisasi fiskal terhadap perubahan struktur ekonomi kabupaten/kota dengan membandingkan dua kawasan yang dianggap struktur ekonominya berbeda, yakni Sulawesi dan Jawa. Dengan menggunakan metode analisis panel data periode 2001–2010. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebijakan desentralisasi fiskal tidak berpengaruh terhadap perubahan struktur ekonomi di Sulawesi. Sementara di kawasan Jawa menunjukkan bahwa desentralisasi fiskal berpengaruh negatif, artinya peranan sektor primer makin menurun sehingga berdampak terhadap perubahan struktur ekonomi.

Kata kunci: Desentralisasi Fiskal, Perubahan Struktur dan Studi Perbandingan

PENDAHULUAN

1995 pemerintah pusat mencoba mendesain Pelimpahan fungsi administrasi lokal di desentralisasi percontohan di 26 kabupaten Indonesia atau desentralisasi bukan konsep seluruh Indonesia dengan masing-masing baru di Indonesia, sudah ada sejak zaman satu kabupaten per provinsi. Akan tetapi Hindia Belanda (Matsui, 2003:4). Pada tahun prakteknya, kebijakan desentralisasi selama

432 Ekuitas: Jurnal Ekonomi dan Keuangan – Volume 18, Nomor 4, Desember 2014 : 431 – 451

pemerintahan Orde Baru, yang disertakan basis pajak daerah yang seharusnya untuk alokasi anggaran pemerintah tidak menjadi

mendorong peningkatan penerimaan dae- insentif mengurangi ketimpangan antar

rah.

daerah dan wilayah, serta lambatnya proses Namun demikian, dalam pelaksanaan perubahan struktur ekonomi di luar Jawa

desentralisasi perubahan struktur ekonomi karena masih tingginya derajat sentralisasi

akselarasinya tidak akan sama karena ada- fiskal.

nya perbedaan sumber daya (endowment Berdasarkan kondisi di atas pada awal

factor) yang dimiliki. Endowment factor yang tahun 2001 terjadi pergeseran paradigma

dimaksudkan bukan hanya menyangkut pemerintahan dari sentralistik kearah

SDA akan tetapi juga menyangkut masalah desentralistik dengan

struktur ekonomi dan kemampuan sumber Undang-Undang (UU) Otonomi Daerah se-

diberlakukannya

daya manusia (SDM). Perubahan karakter- bagai payung hukum pelaksanaan de-

istik ekonomi daerah yang memiliki ke- sentralisasi. Ada dua masalah pokok dari

kayaan SDA dan SDM serta keterbukaan pelaksanaan desentralisasi, yaitu redistri

ekonomi cenderung lebih cepat ber- busi kewenangan di bidang pemerintahan

kembang, seperti yang ditunjukkan hasil dan ekonomi (desentralisasi fiskal). Prinsip

studi Hammond dan Tossun (2011) di USA pelaksanaan desentralisasi diarahkan untuk

menunjukkan bahwa desentralisasi fiskal mempercepat terwujudnya kesejahteraan

berdampak positif dan signifikan terhadap masyarakat melalui peningkatan pelayanan,

daerah metropolitan (pusat industri dan pemberdayaan, mampu meningkatkan daya

jasa) serta terjadi peningkatan penyerapan saing dengan memperhatikan prinsip demo

tenaga kerja, namun tidak signifikan bagi krasi, pemerataan, keadilan, kekhususan,

daerah nonmetropolitan. potensi dan kanekaragaman daerah (Mardi-

Masalah lain yang perlu dicermati asmo, 2009:562).

adanya perbedaan endowment factor, selain Menurut amanah UU Otonomi Daerah,

berpotensi memperparah ketimpangan pemerintah daerah memiliki kewenangan

antar daerah juga akan mendorong ter- (urusan) yang lebih besar untuk merencana-

jadinya migrasi tenaga kerja dan pergerakan kan arah pembangunan daerahnya sesuai

modal ke daerah inti, serta tidak ber- dengan potensi sumberdaya yang ada.

jalannya mekanisme trickle down effect Dengan adanya kewenangan yang besar di-

justru sebaliknya yang terjadi backwash sertakan transfer keuangan dari pemerintah

effects. Dalam pelaksanaan desentralisasi, pusat, pemerintah daerah diharapkan dapat

ketidakmerataan SDA antar daerah maka memecahkan

pemerintah pusat melakukan penyeimbang- bangunan yang berdampak pada per-

masalah-masalah

pem-

an transfer (equalizing transfer), namun tumbuhan ekonomi, sekaligus dapat men-

pada kenyataannya kebijakan tersebut be- dorong terjadinya perubahan struktur eko-

lum mampu mengurangi ketimpangan dan nomi. Perubahan struktur ekonomi diperlu-

karakteristik ekonomi masih senjang antar kan sebab jika hanya mengandalkan sektor

kawasan, serta minimnya dampak terhadap primer nilai tambah yang dihasilkan dari

perubahan struktur ekonomi di kawasan sektor tersebut relatif kecil dibandingkan

Sulawesi.

dengan industri pengolahan (sektor sekun- Dalam konteks kajian perbedaan ke- der), disamping itu jika daerah terlalu

mampuan ekonomi, di mana daerah yang mengandalkan sektor primer sebagai mesin

relatif lebih maju pada umumnya sektor perekonomian cenderung akan mencipta-

non pertanian lebih dominan berkontribusi kan ketimpangan. Kondisi ini akan mem-

terhadap pembentukan Produk Domestik berikan implikasi terhadap konsumsi dan

Regional Bruto (PDRB). Jika dilakukan tabungan (investasi) masyarakat yang ren-

pemetaan perbedaan kemampuan ekonomi dah. Selanjutnya akan berdampak terhadap

di Indonesia, umumnya selama ini dilaku-

Desentralisasi Fiskal Dan Perubahan Struktur Ekonomi: ... – Arham

kan pembagian didasarkan kawasan Jawa di Pulau Jawa yang memberikan kontribusi dan luar Jawa, atau Kawasan Timur Indo-

terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nesia (KTI) dan Kawasan Barat Indonesia

rata-rata di atas 50%, sementara Pulau (KBI). PDRB per kapita Jawa secara umum

Sulawesi yang dianggap sebagai represen- lebih tinggi dibandingkan dengan luar

tatif dari KTI sumbangannya terhadap Jawa. Tapi uniknya dalam menghadapi

pembentukan PDB hanya rata-rata 4,5% krisis ekonomi, luar Jawa (termasuk

(BPS, 2011). Secara rinci perbandingan Sulawesi) lebih kuat dibandingkan dengan

peranan antar kawasan dapat disimak pada kawasan Jawa. Pada saat krisis tahun 1998

tabel 1.

PDRB perkapita luar Jawa lebih tinggi, Rendahnya kontribusi kawasan Sula- karena harga komoditi SDA meningkat atau

wesi terhadap PDB salah satu penyebabnya pangsa primer meningkat. Sebelum krisis

karena pangsa sektor primer (pertanian) PDRB per kapita Jawa adalah pada tahun

masih dominan, berkontribusi terhadap 1998 Rp. 2,1 juta turun drastis menjadi lebih

PDRB terbesar (30%), itupun tumbuh de- kurang Rp. 1,7 juta, sementara luar Jawa

ngan lambat padahal kegiatan ekonomi meskipun PDRB perkapita turun akan

utama ini menyerap sekitar 50% tenaga tetapi penurunannya relatif kecil. PDRB per

kerja. Rendahnya kapasitas ekonomi Sula- kapita luar Jawa sebelum krisis RP. 1,9 juta

wesi sebagai dampak dari rendahnya pada tahun 1998 turun sebesar Rp. 1,8 juta.

investasi baik yang berasal dari dalam dan Gambaran ini mengindikasikan terjadi-

luar negeri dibandingkan daerah lain. Ini nya ketimpangan dan kemampuan antar

makin diperparah ketersediaan infra- kawasan sangat berbeda, bahkan cenderung

struktur perekonomian dan sosial seperti mencolok satu sama lain kondisi per-

jalan, listrik, air, dan kesehatan kurang me- ekonomiannya. Atas dasar itu diperlukan

madai (Bappenas, 2011). Fenomena ini me- kebijakan desentralisasi, sebab salah satu

nunjukkan bahwa pelaksanaan desentrali- tujuan pelaksanaan desentralisasi, yakni

sasi fiskal pencapaiannya belum maksimal mengatasi masalah struktur perekonomian

untuk mendorong perubahan struktur eko- yang dapat mengoreksi ketimpangan.

nomi, khususnya di kawasan Sulawesi. Tetapi sekalipun desentralisasi fiskal sudah

Bahkan hasil studi Pepinsky dan Wihardja diimplementasikan selama 10 (sepuluh) ta-

(2009:42) menemukan minimnya efek positif hun, berdasarkan peranan wilayah/pulau

desentralisasi terhadap pembangunan di struktur perekonomian Indonesia secara

Indonesia. Meski tidak dapat dipungkiri spasial pada tahun 2006 sampai tahun 2010

kawasan Jawa juga mengalami hal serupa, masih didominasi oleh kelompok provinsi

dampak desentralisasi belum optimal.

Tabel 1 Peranan Kawasan Terhadap Pembentukan PDB, 2006 – 2010 (Persen)

No

Kawasan

Kontribusi/Tahun (%)

3 Bali-Nusa Tenggara

Sumber: Badan Pusat Statistik, Diolah

434 Ekuitas: Jurnal Ekonomi dan Keuangan – Volume 18, Nomor 4, Desember 2014 : 431 – 451

Berdasarkan beberapa uraian per- masalahan di atas, maka penelitian ini akan mengkaji masalah kebijakan desentralisasi fiskal yang berpengaruh pada perubahan struktur selama pelaksanaan otonomi dae- rah. Untuk keperluan studi ini dilakukan komparasi, diambil sampel kawasan yang dianggap relatif sudah maju (Jawa) dan kawasan yang masih terkebelakang struktur ekonominya (Sulawesi). Berdasarkan uraian di atas maka rumusan masalahnya, yaitu apakah desentralisasi fiskal berpengaruh terhadap perubahan struktur di kabu- paten/kota di Sulawesi dan Jawa selama pelaksanaan otonomi daerah. Selanjutnya melihat variabel apa saja yang ber- pengaruh terhadap perubahan struktur ekonomi di Sulawesi dan Jawa. Sementara tujuan penelitian ini adalah untuk meng- analisis pengaruh desentralisasi fiskal ter- hadap perubahan struktur ekonomi kabu- paten/kota di Sulawesi dan Jawa selama pelaksanaan otonomi daerah.

TINJAUAN TEORETIS Teori Desentralisasi Fiskal

Menjelaskan masalah desentralisasi fis- kal tidak dapat dipisahkan dengan konsep desentralisasi secara umum yang di dalam- nya menyangkut masalah administratif dan politis. Oleh karena itu mendefinisikan desentralisasi fiskal akan selalu berkaitan satu sama lain ketiga hal tersebut, dan me- rupakan prasyarat untuk mencapai tujuan desentralisasi, yakni meningkatkan kesejah- teraan masyarakat. Desentralisasi politik merupakan tonggak terwujudnya demo- kratisasi dan peningkatan partisipasi masyarakat dalam kegiatan pemerintahan dan pembangunan. Sementara desentrali- sasi administrasi merupakan instrumen untuk menjalankan pelayanan kepada masyarakat, dan desentralisasi fiskal me- miliki fungsi untuk mewujudkan pelaksana- an desentralisasi politik dan administrasi melalui pelimpahan kewenangan di bidang fiskal (Mardiasmo, 2009:563).

Secara prinsipil ketiga jenis desentrali- sasi tersebut semua menekankan pelimpah-

an kewenangan ke pemerintah daerah, di- ikuti oleh pembiayaan dari pemerintah pusat. Maka dari itu desentralisasi dapat dimaknai sebagai gambaran sejauh mana kewenangan dipegang oleh pemerintah daerah untuk mampu mengambil keputus- an sendiri yang mengikat beberapa kebijak- an pada ruang lingkup pemerintahan dae- rah (Litvack et al,. 1998:8). Mencermati ketiga jenis desentralisasi penjabarannya cukup luas, maka uraian selanjutnya lebih fokus mengkaji masalah desentralisasi fis- kal. Dimana desentralisasi fiskal merupakan salah satu instrumen kebijakan pemerintah bertujuan untuk mengurangi kesenjangan fiskal antara pemerintah pusat dan daerah, serta antar daerah lainnya, serta perbaikan pelayanan publik, efisiensi pemanfaatan sumber daya, disamping itu untuk me- ningkatkan akuntabilitas pengelolaan ke- uangan daerah. Dalam tataran lebih apli- katif, desentralisasi fiskal sebagai pelimpah- an kewenangan pengelolaan potensi eko- nomi dan sumber daya lainnya di daerah, namun tetap diikutkan transfer dari pe- merintah pusat. Besarnya transfer dana ke daerah dan kemungkinan peningkatan pe- nerimaan diharapkan memiliki korelasi yang kuat terhadap peningkatan kesejah- teraan masyarakat. Hal ini terjadi karena pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk memprioritaskan kegiatan yang lebih tepat sasaran, intervensi dari pemerintah di tingkat atas relatif minim, sehingga daerah lebih mandiri mengambil keputusan.

Berkaitan dengan hal tersebut, Bird dan Vaillancourt, (1998:4) menjelaskan konsep desentralisasi fiskal dalam kaitannya de- ngan derajat kemandirian pengambilan ke- putusan yang dilakukan daerah.

1. Desentralisasi berarti pelepasan tang- gung jawab yang berada dalam lingkungan pemerintah pusat ke instansi vertikal di daerah atau ke pemerintah daerah (Dekonsentrasi).

2. Daerah bertindak sebagai perwakilan pemerintah

untuk

melaksanakan fungsi-fungsi tertentu atas nama pe- merintah pusat (Perwakilan).

Desentralisasi Fiskal Dan Perubahan Struktur Ekonomi: ... – Arham

3. Pelimpahan berhubungan

dengan

suatu situasi

yang bukan saja

implementasi tetapi juga kewenangan untuk memutuskan apa yang perlu dikerjakan di daerah (Devolusi).

Dari ketiga jenis desentralisasi tersebut, yang dianggap ideal yakni devolusi di mana pemerintah daerah diberikan ke- wenangan yang lebih luas baik secara administratif, politik maupun kewenangan- kewenangan di bidang ekonomi untuk menggali potensi yang dimiliki oleh daerah. Pelaksanaan desentralisasi tanpa diberikan kewenangan yang besar kepada pemerintah daerah, maka tujuan dari pelaksanaan de- sentralisasi itu sendiri sulit tercapai. Oleh sebab itu dalam pelaksanaan desentralisasi diperlukan kewenangan, terutama untuk mengembangkan potensi ekonomi.

Perlunya dilakukan pelimpahan we- wenang, menurut Tiebout (1956:418) dalam Arham (2013) karena akan meningkatkan kemampuan pemerintah daerah dalam melayani kebutuhan barang publik dengan lebih baik dan lebih efisien. Alasan men- dasar peningkatan kemampuan pelayanan tersebut karena pemerintah daerah di- pandang lebih mengetahui kebutuhan dan karakter masyarakat lokal, sehingga pro- gram-program dari kebijakan pemerintah akan lebih efektif untuk dijalankan, sekali- gus dari sisi penganggaran publik akan muncul konsep efisiensi karena tepat guna dan berdaya guna.

Dengan demikian pelaksanaan de- sentralisasi fiskal menjadi penting untuk dilakukan karena memiliki alasan men- dasar. Alasan-alasan ekonomi untuk di- lakukan desentralisasi diantaranya untuk meningkatkan penyediaan barang publik pada gilirannya akan mendorong per- tumbuhan ekonomi di daerah, selanjutnya akan berimplikasi luas terhadap per- tumbuhan ekonomi nasional. Selain men- dorong pertumbuhan ekonomi, diharapkan ketimpangan distribusi pendapatan antar daerah juga makin menurun. Ananda (2002:26-27) menyebutkan bahwa ada dua

alasan ekonomi dilakukannya desentralisasi fiskal, yaitu; 1) Desentralisasi dilakukan untuk efisiensi alokasi sumberdaya, dimana keputusan tentang pengeluaran publik yang dibuat oleh pemerintah akan lebih dekat dengan masyarakat, serta akuntabilitasnya lebih besar bila dilakukan oleh pemerintah daerah, oleh karenanya desentralisasi lebih rasional daripada sentralisasi. 2) Meningkat- kan kemampuan bersaing bagi pemerintah daerah, serta mendorong inovasi, sehingga pemerintah daerah akan selalu berusaha untuk memuaskan kebutuhan dan keingin- an masyarakatnya. Pada gilirannya ber- implikasi dimana masyarakat menjadi lebih suka membayar kewajiban-kewajibannya (membayar pajak dan retribusi daerah) untuk pembiayaan pengadaan barang publik dengan memprioritaskan kebutuhan masyarakat bersangkutan, bahkan masya- rakat ikut berpartisipasi memberikan pe- layanan.

Selanjutnya, desentralisasi fiskal akan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan masya- rakat, atau desentralisasi fiskal berpotensi memberikan kontribusi dalam bentuk pe- ningkatan efisiensi pemerintahan dan laju pertumbuhan ekonomi karena pemerintah lokal (daerah) akan lebih efisien untuk kegiatan produksi dan penyediaan barang- barang publik. Pengambilan keputusan pada level pemerintah lokal akan lebih didengarkan untuk menganekaragamkan pilihan lokal dan lebih berguna bagi efisiensi alokasi (Oates, 1993:237; Musgrave, 1989:5, dan Wellisch, 2004:25). Selain itu menurut De Mello (2000) dengan membawa pemerintah lebih dekat dengan masyarakat di daerah, desentralisasi fiskal diharapkan dapat meningkatkan efisiensi sektor publik, serta akuntabilitas dan transparansi dalam pemberian layanan dan pembuatan kebijak- an.

Sementara itu, Sidik (2009:540) meng- uraikan tujuan umum program desentrali- sasi fiskal di Indonesia, yaitu;

436 Ekuitas: Jurnal Ekonomi dan Keuangan – Volume 18, Nomor 4, Desember 2014 : 431 – 451

1. Meningkatkan alokasi nasional dan dapat meningkatkan kesejahteraan indi- efisiensi operasional pemerintah dae-

vidu. Kedua, pengeluaran ataupun pem- rah.

belanjaan ditingkat lokal akan mendorong

2. Memenuhi aspirasi daerah, memper- producer efficiency akibat pelayanan yang baiki struktur fiskal secara keseluruhan

lebih murah untuk penyediaan infra- dan memobilisasi pendapatan daerah

struktur.

dan kemeudian nasional. Dari segi efisiensi, adanya desentrali-

3. Meningkatkan akuntabilitas, meningkat- sasi fiskal pengeluaran pemerintah jauh kan transparansi dan mengembangkan

lebih efisien ketimbang ditangani oleh pe- partisipasi konstituen dalam pengambil-

merintah pusat, kemudian daripada itu, an keputusan di tingkat daerah.

desentralisasi fiskal akan meningkatkan

4. Mengurangi kesenjangan fiskal antar efisiensi ekonomi karena pemerintah daerah pemerintah daerah, memastikan pe-

memiliki posisi yang lebih baik daripada laksanaan pelayanan dasar masyarakat

pemerintah pusat dalam menyalurkan pe- diseluruh Indonesia, dan.

layanan publik yang dibutuhkan oleh

5. Memperbaiki kesejahteraan sosial rakyat pemerintah daerah. Dengan adanya de- Indonesia.

sentralisasi fiskal pada kelanjutannya efisiensi akan mendorong percepatan per-

Sejalan dengan argumentasi di atas tumbuhan ekonomi ditingkat daerah dan Steffensen (2010:3) menyebutkan tujuan dari

dampaknya terhadap pertumbuhan ekono- desentralisasi fiskal secara keseluruhan,

mi secara nasional (Oates, 1972:196). Pem- dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

buktian empris hubungan positif antara

1. Peningkatan efisiensi, dengan memper- desentralisasi fiskal dan pertumbuhan eko- kuat hubungan antara layanan dengan

nomi telah dilakukan oleh Xie et al., (1999), permintaan masyarakat sesuai ke-

Akai dan Sakata (2002), Akai et al., (2009), butuhannya, maka pemerintah daerah

Lin dan Liu (2000), Ding (2007), Ismail et.al, yang lebih dekat akan lebih responsif

(2004), dan Samimi et al., (2010). Asumsinya, terhadap preferensi masyarakat lokal.

terjadinya pertumbuhan ekonomi juga akan

2. Peningkatan akuntabilitas keuangan, berimplikasi terhadap perubahan struktur dengan membawa pemerintahan dan ke-

ekonomi dengan makin menurunnya putusan lebih dekat kepada masyarakat

kontribusi sektor primer, pada saat yang dalam hal pemilihan suara, pengaruh,

bersamaan sektor sekunder dan tersier pertukaran informasi, dan monitoring

memiliki peran lebih meningkat. Namun dan lain-lain lebih muda dilakukan, dan.

tidak semua kajian empirik menunjukkan

3. Peningkatan efektivitas, akan meningkat- pola yang sama, beberapa diantaranya me- kan kemungkinan memperkuat per-

nunjukkan sebaliknya, desentralisasi fiskal saingan dalam penyediaan layanan pu-

berkorelasi negatif terhadap pertumbuhan blik antar daerah, sehingga dapat me-

ekonomi, seperti yang ditemukan oleh mobilisasi kontribusi warga, melakukan

Davoodi dan Zou (1998), Baskaran dan Feld inovasi dan lain-lain.

(2009), Jin dan Rider (2010). Merujuk pada beberapa teori dan dikuatkan dengan bukti

Martinez-Vazquez dan McNab (2003) empiris di beberapa negara, makin diyakini mengemukakan bahwa ada dua alasan bahwa desentralisasi sebagai sistem pe- mengenai efisiensi (ekonomi) desentralisasi merintahan dapat memacu laju pem-

fiskal, yaitu; Pertama, apabila pemerintah bangunan ekonomi daerah untuk me- lokalnya cerdas dan mampu membaca ke- ngurangi ketergantungan terhadap pe- inginan konstituennya maka akan mudah merintah pusat, disamping mengembang-

dalam mengadaptasikan kebijakan pe- kan prinsip-prinsip demokrasi dan partisi- ngeluarannya, sehingga dengan hal tersebut pasi masyarakat lebih nyata.

Desentralisasi Fiskal Dan Perubahan Struktur Ekonomi: ... – Arham

Ini menunjukkan bahwa desentralisasi fiskal sangat diperlukan bagi negara besar seperti Indonesia. Tidak mungkin semua urusan dilakukan secara terpusat, karena faktanya selama pemerintahan sentralistik ketimpangan distribusi pendapatan sangat tinggi, demikian juga ketimpangan antar wilayah Jawa dan luar Jawa, Indonesia bagian timur dan Indonesia bagian barat. Brodjonegoro et al., (2001:3), dengan adanya desentralisasi fiskal diharapkan pemerintah daerah akan lebih efektif dan mampu untuk memenuhi pelayanan publik yang dibutuh- kan, membangun sarana perekonomian serta dapat menciptakan lapangan kerja bagi masyarakatnya sehingga pada akhir- nya akan meningkatkan pendapatan masya- rakat. Pengukuran desentralisasi fiskal pada dasarnya tidak memiliki ukuran tunggal, ada yang mengukur dari sisi penerimaan dan ada pula yang mengukur dari sisi pengeluaran, Akai dan Sakata (2002) me- nyebutkan bahwa desentralisasi dapat di- ukur dari dua aspek, yakni aspek pe- nerimaan dan aspek pengeluaran. Pe- nerapannya dapat secara sendiri-sendiri, misalnya hanya melihat dari sisi penerima- an atau melihat dari sisi pengeluaran. Selain itu dapat digunakan secara bersamaan de- ngan melihat sisi penerimaan dan pe- ngeluaran secara paralel. Berdasarkan pada pengukuran itu, maka tulisan ini mengukur desentralisasi fiskal dari aspek pengeluaran dengan mengukur rasio pengeluaran (belanja daerah) kabupaten/kota terhadap PDRB masing-masing daerah otonom.

Perubahan Struktur

Pembangunan ekonomi pada mulanya diidentikkan dengan pertumbuhan pen- dapatan per kapita, dengan asumsi bahwa dengan pertumbuhan yang tinggi masalah- masalah kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan akan terselesaikan dengan sendirinya melalui efek penetesan kebawah. Namun pada kenyataannya kondisi ini sulit tercapai, justru yang muncul masalah ke- timpangan wilayah, dan distribusi pen- dapatan makin melebar. Sekalipun per-

tumbuhan ekonomi makin tinggi akan tetapi ketimpangan distribusi pendapatan makin mencolok, ketidakseimbangan struk- tur ekonomi muncul berbarengan, per- ekonomian sektor pedesaan dan perkotaan menciptakan ketidakseimbangan.

Todaro (2000) mengemukakan dengan mengutip pendapat dari Lewis mengakui dimana kondisi pangsa pertanian akan semakin menurun seiring dengan pe- ningkatan pangsa relatif sektor industri dan jasa karena proses transfer tenaga kerja dari sektor yang memiliki produktifitas rendah (pertanian) ke sektor yang produkti- fitasnya tinggi (sektor industri). Teori ini didasarkan pada dualisme kegiatan per- ekonomian, perekonomian dimulai dengan dua sektor, yakni sektor pertanian pedesaan dan sektor industri perkotaan. Sektor per- tanian umumnya mempekerjakan pekerja dengan produktivitas marjinal tenaga kerja pertanian hampir sama dengan nol, semen- tara sektor industri perkotaan sebaliknya. Oleh karena itu, diperlukan transfer pekerja keluar dari sektor pertanian meski tidak mengurangi produktivitas pekerja dalam perekonomian secara keseluruhan, kondisi ini disebut sebagai transformasi struktural ekonomi.

Perubahan struktur (pergeseran sektor- al) mengandung makna terjadinya transfor- masi, bukan hanya dalam bentuk fisik atau tetapi juga berkaitan dengan kebiasaan atau cara memperlakukan kegiatan produksi ekonomi. Istilah "struktur" dan "perubahan struktural" telah menjadi banyak digunakan dalam penelitian ekonomi, meskipun de- ngan makna yang berbeda dan interpretasi. Dalam ekonomi pembangunan dan sejarah ekonomi, perubahan struktural umumnya dipahami sebagai "pengaturan yang ber- beda aktivitas produktif dalam perekonomi- an dan distribusi yang berbeda faktor produktif di antara berbagai sektor eko- nomi, berbagai pekerjaan, wilayah geo- grafis, jenis produk (Machlup, 1991: 76, dalam Silva dan Teixeira, 2008: 275).

Menurut Fisher (1935) transformasi struktural merupakan peralihan atau per-

438 Ekuitas: Jurnal Ekonomi dan Keuangan – Volume 18, Nomor 4, Desember 2014 : 431 – 451

geseran permintaan secara berangsur- angsur dari kegiatan sektor produksi primer (pertanian, pertambangan) ke sektor produksi sekunder (industri manufaktur dan konstruksi) dan ke sektor tersier (jasa), mengakibatkan perubahan dalam struktur produksi melalui pergeseran kesempatan kerja dan alokasi dana. Oleh karena tingkat produktifitas dan

laju

pertumbuhan

masing-masing sektor berbeda, kemudian terjadi pergeseran diantara peranan masing- masing sektor dalam komposisi produksi nasional. Dimana kontribusi sektor per- tanian terhadap produksi nasional makin menurun secara relatif, sekalipun hasil produksi secara absolut bertambah.

Hampir semua negara sudah meng- alami proses transformasi ekonomi ter- masuk di Indonesia, namun menurut Anderson dan Pangestu (1995) dalam Arham (2013) transformasi ekonomi yang terjadi di Indonesia bersifat semu, sebab penurunan peranan sektor pertanian tidak diimbangi berkurangnya tenaga kerja di sektor pertanian sebagai akibat daya serap tenaga kerja di luar sektor pertanian rendah, maka makin berat beban yang ditanggung sektor pertanian sehingga produktifitasnya makin rendah.

Melihat kondisi itu dalam konteks pelaksanaan desentralisasi diharapkan per- ubahan struktur ekonomi tidak lagi bersifat semu, namun perubahan struktur dalam arti yang sebenarnya terjadi disemua dae- rah, artinya perubahan struktur ekonomi berkontribusi terhadap pertumbuhan eko- nomi secara signifikan dan merealokasi sumberdaya dari sektor produktifitas ren- dah ke sektor produktifitas tinggi (Fan, 2003). Hanya saja bila dilakukan pencermat- an perubahan struktur yang diinginkan tidak hanya terkait dengan masalah eko- nomi. Menurut Kuncoro (2006), proses pembangunan menghendaki adanya per- tumbuhan ekonomi diikuti dengan per- ubahan (growth plus change) dalam hal, perubahan struktur ekonomi dari pertanian ke industri atau jasa, selain itu perubahan kelembagaan, baik lewat regulasi maupun

reformasi kelembagaan. Hal ini biasa di- sebut sebagai perubahan struktur produksi, hanya saja perubahan struktur produksi dapat terlaksana manakala ada peningkatan dalam hal kuantitas dan kualitas faktor produksi yang digunakan dan juga karena dukungan perkembangan teknologi pada sektor tersebut. Implikasinya selama per- tumbuhan ekonomi berlangsung, alokasi sumberdaya ke berbagai sektor mengalami perubahan.

Namun dalam prakteknya perubahan yang diinginkan tidak akan tercapai begitu saja tanpa ”intervensi” pemerintah melalui kebijakan reformasi ekonomi. Perubahan struktur ekonomi yang didorong oleh kebijakan reformasi ekonomi secara empiris sudah dibuktikan oleh Valli dan Saccone (2009) di China. Reformasi ekonomi bukan hanya bertumpu di tingkat nasional akan tetapi juga diharapkan memiliki implikasi langsung ke daerah, diantaranya peranan transfer atau pemberian kewenangan pe- ngelolaan fiskal yang lebih kepada pe- merintah daerah. Kewenangan yang diberi- kan kepada daerah dalam hal alokasi akan menciptakan efisiensi ekonomi sehingga proses perubahan struktur akan tercapai. Loehr dan Manasan (1999:10) dengan ada- nya tanggung jawab bagi pemerintah daerah yang dipandu dengan aturan pe- merintah pusat perubahan struktur akan efisien dengan adanya desentralisasi fiskal, atau desentralisasi fiskal memainkan peran- an penting dalam menciptakan efisiensi perubahan struktur ekonomi.

Untuk menganalisis perubahan struk- tur ekonomi, selain menggunakan teori Lewis, juga menggunakan teori Chenery (teori transformasi struktural). Chenery dan Syrquin (1975) memfokuskan pada per- ubahan struktur dalam tahapan proses perubahan ekonomi di suatu negara yang mengalami transformasi dari pertanian tradisional ke sektor industri sebagai mesin utama pertumbuhan. Dalam proses pem- bangunan ekonomi yang berlangsung, transformasi struktural merupakan pra- syarat dari peningkatan dan kesinambung-

Desentralisasi Fiskal Dan Perubahan Struktur Ekonomi: ... – Arham

an pertumbuhan dan penanggulangan ke- miskinan, sekaligus pendukung bagi ke- berlanjutan pembangunan itu sendiri. Se- cara umum proses perubahan struktur perekonomian ditandai dengan: 1) merosot- nya pangsa sektor primer (pertanian), 2) meningkatnya pangsa sektor sekunder (industri), dan 3) pangsa sektor tersier (jasa) kurang lebih konstan, namun kontribusinya akan meningkat sejalan dengan pertumbuh- an ekonomi.

Teori Chenery memfokuskan pada per- ubahan struktur dalam tahapan proses perubahan ekonomi di suatu negara yang mengalami transformasi dari pertanian tradisional ke sektor industri. Analisis teori Pattern of Development yang dikemukakan oleh Chenery berfokus pada perubahan struktur dalam tahapan proses perubahan ekonomi, industri dan struktur institusi perekonomian negara sedang berkembang, yang mengalami transformasi dari pertani- an tradisional beralih ke sektor industri sebagai mesin utama pertumbuhan eko- nomi. Transformasi struktur produksi me nunjukkan bahwa sejalan dengan pe- ningkatan pendapatan per kapita, per- ekonomian suatu negara akan bergeser dari yang semula mengandalkan sektor per- tanian mengalami penurunan, saat GNP/ perkapita meningkat (Kuncoro, 2007:92).

Teori dasar Chenery dan Syrquin (1975) mengemukakan peranan suatu sektor dalam menciptakan produksi di suatu negara dipengaruhi oleh tingkat pendapat- an perkapita (Y) dan jumlah penduduk (N) negara yang bersangkutan. Selain itu Chenery dan Syrquin (1975) mengukur pola perubahan struktur ekonomi dengan me- nambahkan variabel peranan impor dengan persamaan regresi sebagai berikut:

dimana:

F = Peranan impor dikurangi ekspor terhadap PDB

Tj = Menunjukkan periode analisis (j = 1,2,3,….,20)

Teori Chenery dan Syrquin yang per- tama (dengan menggunakan variabel pen- dapatan per kapita dan jumlah penduduk negara yang bersangkutan) diadopsi oleh Azis (1990), (1992) melakukan kajian ber- kaitan dengan pengaruh alokasi sumber- daya, serta pengaruh dana Inpres terhadap perubahan struktur produksi perekonomian daerah di Indonesia dengan menambah variabel (kebijakan pemerintah) ke dalam model. Pendekatan yang akan dilakukan pada penulisan ini juga mengekspresikan teori dasar tersebut dengan mengikuti mo- del yang ada dengan melakukan berbagai modifikasi, yaitu perubahan struktur (nilai tambah yang diciptakan sektor i) diganti menjadi pergeseran sektoral dengan meng- gunakan Structural Change Index di Sula- wesi dan Jawa.

Berbagai studi yang telah dilakukan untuk menganalisis pergeseran dan peranan perekonomian di suatu daerah umumnya menggunakan analisis Shift–Share. Namun penggunaan analisis Shift-Share untuk me- lihat pergeseran sektor relatif memiliki kelemahan, maka untuk keperluan studi ini menggunakan alat analisis yakni, Structural Change Index (SCI). Sebuah metode yang umum digunakan untuk mengukur per- ubahan struktural dalam tingkat output (dan pekerja) atau koefisien (komposisi) perubahan struktural. SCI untuk output dapat didefinisikan sebagai setengah jumlah dari nilai absolut dari perbedaan nilai tambah share/sektor dari waktu ke waktu. Formulasi rumus dari perhitungan ini sebagai berikut (Jenissen, 1998; Jarjoura, 2001; Dietrich, 2009).

(4) dimana

mewakili setiap kontribusi (share) industri dari total nilai kontribusi

(share) masing-masing sektor pada waktu (t), dan (t-1) menunjukkan share periode sebelumnya. Penggunaan nilai absolut

440 Ekuitas: Jurnal Ekonomi dan Keuangan – Volume 18, Nomor 4, Desember 2014 : 431 – 451

memastikan bahwa positif dan negatif sebagai objek, karena pelaksanaan otonomi perubahan dalam saham industri tidak

daerah diletakkan pada daerah kabupaten/ membatalkan satu sama lain ketika nilai

kota. Keuangan daerah tercermin dari dijumlahkan di industri. SCI dibatasi antara

struktur pengeluaran daerah dalam APBD nol dan 100, dengan angka nol berarti tidak

setiap tahunnya di kabupaten/kota wilayah ada perubahan struktural, sementara 100

Sulawesi dan Jawa selama pelaksanaan menunjukkan kebalikannya terjadi per-

otonomi daerah, dengan periode tahun 2001 ubahan struktural secara lengkap (Janissen,

et al., 1998:69). Unit analisis dalam penelitian ini ada- Selanjutnya dikembangkan model de-

lah kabupaten/kota yang ada di Sulawesi ngan mengacu pada studi empirik sebelum-

dan Jawa sebanyak 187 dengan perincian nya dengan menggunakan variabel pen-

masing-masing kabupaten/kota di provinsi dapatan per kapita dan jumlah penduduk,

sebagai berikut; Provinsi Sulawesi Utara kapasitas fiskal yang dilihat dari besar

terdiri dari 15 kabupaten/kota, Provinsi kecilnya celah fiskal yang dimiliki daerah

Sulawesi Tengah terdiri dari 11 kabupaten/ otonom, ditambahkan dengan variabel de-

kota, Provinsi Sulawesi Selatan terdiri dari sentralisasi fiskal (kebijakan transfer pe-

24 kabupaten/kota, Provinsi Sulawesi Teng- merintah) dalam bentuk dana perimbangan,

gara terdiri dari 12 kabupaten/kota, Provin- atau biasa disebut dana PKPD dan NPKPD,

si Gorontalo terdiri dari 6 kabupaten/kota, diproksi dari desentralisasi penerimaan dan

Provinsi Sulawesi Barat terdiri dari 5 pengeluaran daerah (kabupaten/kota) yang

kabupaten/kota, namun demikian untuk menjadi unit analisis. Adapun formulasi

keperluan analisis kabupaten yang ada di model dasar yang akan dikembangka

provinsi ini masih digabungkan dengan sebagai berikut:

Provinsi Sulawesi Selatan, karena Provinsi Sulawesi Barat baru resmi berdiri tahun

2004. Untuk kawasan Jawa, Provinsi Jawa Barat terdiri dari 26 kabupaten/kota,

METODE PENELITIAN

Provinsi Jawa Tengah terdiri dari 35 kabu- Jenis penelitian ini adalah penelitian

paten/kota, Provinsi Jawa Timur terdiri korelatif komparatif. Penelitian korelatif

dari 38 kabupaten/kota, Provinsi DKI untuk mencari keterkaitan hubungan fakta-

Jakarta terdiri dari 5 kabupaten/kota tidak fakta dalam fenomena yang diteliti kemudi-

dipilah per kota karena pengendalian ang- an mendeskripsikan secara sistematis,

garan (APBD) ada ditingkat provinsi, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta

Provinsi Yokyakarta terdiri dari 5 kabu- dan fenomena tersebut, seperti variabel-

paten/kota, Provinsi Banten terdiri dari 8 variabel dampak desentralisasi fiskal dan

kabupaten kota. Meskipun demikian tidak perubahan struktur. Penelitian komparatif

semua kabupaten/kota yang ada di Sula- yaitu sejenis penelitian deskriptif untuk

wesi dan Jawa dimasukan sebagai unit mencari jawaban mendasar tentang sebab-

analisis, kabupaten/kota hasil pemekaran akibat, dengan menganalisa faktor-faktor

pada periode awal penelitian tidak ter- penyebab terjadinya atau munculnya suatu

masuk di dalamnya, demikian juga kabu- fenomena tertentu (Nazir, 1999:68). Feno-

paten/kota yang ada DKI Jakarta tidak mena tersebut seperti keterkaitan antara

dimasukkan karena pembahasan dan pe- desentralisasi fiskal dengan perubahan

nyusunan APBD berada di level provinsi, struktur ekonomi antar kabupaten/kota di

selain itu karakteristik perekonomian DKI Sulawesi dan Jawa. Objek penelitian ini

Jakarta berbeda dengan provinsi lainnya adalah keuangan daerah dan perekonomian

sehingga jumlah unit analisis kabupaten/ daerah kabupaten/kota di Sulawesi dan

kota sebanyak 150.

Jawa, dimana dikabupaten/kota dijadikan

Desentralisasi Fiskal Dan Perubahan Struktur Ekonomi: ... – Arham

Keseluruhan data tersebut diperoleh FDEC = Desentralisasi fiskal yang di- dengan menggunakan metode kepustakaan

proksi dari pengeluaran kabu- dan metode komputerisasi. Data yang telah

paten/kota (persen) dikumpulkan selanjutnya dikelompokkan

= Unit/Satuan Kabupaten/Kota dan ditabulasi berdasarkan variabel ke-

= Periode waktu (t= 1, 2, 3… 10) dalam tiga bentuk tabel, yaitu 1). Tabel

= Error term

untuk data dasar, 2). Tabel untuk data olahan, dan 3). Tabel hasil olahan atau hasil

Teknik Analisis Data

analisis yang akan disajikan dalam laporan. Dalam penelitian ini, model yang di- Sementara pengolahan data dilakukan

gunakan adalah data panel dengan se- dengan menggunakan dua software, yaitu

rangkaian tahapan pengujian, yaitu Uji MX-Excell untuk input dan olah data, dan

Statistik (Uji Kesesuain Model). Pada Eviews 6.0 untuk estimasi parameter,

umumnya, untuk mengetahui apakah mo- pengujian asumsi dasar dan pengujian

del yang digunakan sudah baik atau tidak, validitas model.

biasanya tergantung pada; Nilai koefisien determinasi (R 2 ) Nilai (R 2 ) terletak antara

Model Empiris

nol dan satu. Jika nilai (R 2 ) semakin men- Untuk mengetahui hubungan antar

dekati satu, maka model yang digunakan variabel dalam penelitian ini maka di-

cukup baik karena variasi perubahan varia- gunakan alat analisis ekonometrika melalui

bel dependen dapat dijelaskan oleh variasi model persamaan data panel. Model empi-

perubahan variabel independen, dan se- ris perubahan struktur antar kabupaten/

baliknya. Nilai F-test, F-test selain diguna- kota di Sulawesi dan Jawa dilakukan

kan untuk melihat signifikansi parameter estimasi secara terpisah. Spesifikasi umum

variabel independen terhadap variabel de- persamaan pergeseran yang diadopsi dari

penden secara bersama-sama juga diguna- Chenery dan Syrquin (1975), Azis (1990)

kan untuk melihat goodness of fit suatu serta Bonet (2006), meskipun pada dasarnya

model. Disamping melakukan uji secara model empiris dikembangkan lebih lanjut

statistik, yaitu t-test (untuk uji parsial). t-test oleh peneliti. Perubahan struktur ekonomi

digunakan untuk melihat apakah variabel tersebut lebih menekankan pada sektor

independen secara individual mempunyai primer yang diproksi dari nilai sectoral

pengaruh yang signifikan atau tidak ter- change index kabupaten/kota, dengan

hadap variabel dependen. Dengan mem- asumsi bahwa kabupaten/kota di Sulawesi

bandingkan antara nilai t-test dengan nilai t- dan Jawa sektor pertanian berkontribusi

tabel, hal tersebut akan diketahui. Kaidah paling besar terhadap pembentukan per-

pengujian dirumuskan sebagai berikut: ekonomian wilayah, adapun model empiris

Ho = β 1 = 0 dan Hα = β 1 ≠0 yaitu sebagai berikut:

Selanjutnya dilakukan uji ekonometri-

PS it = 0 + 1 LnPDRBCap it + 2 LnPOP it +

ka, yaitu uji validitas model atau ketepatan

model, yakni digunakan uji asumsi regresi dimana:

 3 KF it + 4 FDEC it + 1 .................... (6)

klasik (classical regression linier model) PS

= Nilai perubahan sektor di- guna mengetahui adanya penyimpangan proksi dari nilai pergeseran

terhadap asumsi-asumsi regresi linier kla- sektor

sik, antara lain uji multikolinieritas, heteros- LnPDRB = PDRB per kapita atas dasar

kedastisitas dan autokorelasi. harga konstan tahun 2000 (Rupiah)

ANALISIS DAN PEMBAHASAN

POP = Jumlah populasi (Jiwa)

Analisis

KF = Kapasitas fiskal Perbedaan paling mencolok antara dua kawasan (Sulawesi dan Jawa) dilihat dari

442 Ekuitas: Jurnal Ekonomi dan Keuangan – Volume 18, Nomor 4, Desember 2014 : 431 – 451

aspek demografinya, separuh jumlah pen- ngan penyediaan fasilitas dan pelayanan duduk Indonesia berada di Pulau Jawa.

publik semua mempertimbangkan besar Perkembangan jumlah penduduk suatu

kecilnya jumlah penduduk. negara (termasuk daerah) memiliki impli-

Perkembangan jumlah penduduk di kasi positif bertambahnya jumlah pen-

Sulawesi dan Jawa dibandingkan dengan duduk akan menambah potensi kekuatan

total penduduk Indonesia sejak sensus pen- sumberdaya manusia, atau dapat diasumsi-

duduk dilakukan pada tahun 1971 hingga kan bahwa makin banyak jumlah penduduk

tahun 2010 dapat disimak pada gambar 1. potensi untuk mendapatkan penerimaan

Gambar 1 menggambarkan per- daerah makin besar. Selain itu, dengan

kembangan jumlah penduduk di Sulawesi jumlah populasi yang besar berpengaruh

dan Jawa menurut hasil sensus penduduk terhadap perkembangan perekonomian dari

sejak tahun 1971 sampai hasil sensus pen- sisi permintaan, serta mendorong perminta-

duduk tahun 2010. Hasil sensus penduduk an domestik.

1971 penduduk wilayah Sulawesi sebanyak Hanya saja semakin besar jumlah pen-

8,5 juta jiwa atau 7,16 % terhadap total pen- duduk suatu daerah semakin besar ke-

duduk Indonesia, penduduk Pulau Jawa 76 butuhan fiskal daerah untuk memenuhi

juta jiwa atau 63,83 % dari total jumlah pen- pelayanan dan penyediaan barang publik.

duduk Indonesia. Hasil sensus penduduk Apalagi penyebaran dan pertumbuhan pen-

pada tahun 1980 penduduk wilayah Sula- duduk di suatu daerah memiliki tingkat

wesi sebanyak 10,4 juta jiwa atau 7,08 % kesulitan yang berbeda untuk memenuhi

dari jumlah penduduk Indonesia, Pen- ketersediaan dan peningkatan pelayanan

duduk Pulau Jawa sebanyak 91,2 juta jiwa fasilitas. Dalam kaitannya dengan itu,

atau 62,12 % dari total penduduk Indonesia. variabel jumlah penduduk selalu menjadi

Hasil sensus penduduk Indonesia pertimbangan penting dalam proses pem-

tahun 1990, penduduk wilayah Sulawesi bangunan. Seluruh aktifitas pembangunan

sebanyak 12,5 juta jiwa atau 7,01 % terhadap ekonomi berkaitan dengan perilaku pen-

penduduk Indonesia, penduduk Pulaua duduk, seperti peningkatan taraf hidup

Jawa sebanyak 107,5 juta jiwa atau 60,23% penduduk, perbaikan pendapatan perkapita

terhadap total penduduk Indonesia. Hasil atau daya beli masyarakat, berkaitan de-

sensus penduduk tahun 2000, penduduk

Sumber: Badan Pusat Statistik, Diolah (2014).

Gambar 1 Jumlah Penduduk Sulawesi dan Jawa Terhadap Indonesia (Juta Jiwa)

Desentralisasi Fiskal Dan Perubahan Struktur Ekonomi: ... – Arham

wilayah Sulawesi sebanyak 14,9 juta jiwa sebesar 2,16%, tahun 1980–1990 pertumbuh- atau 7,25 % terhadap total penduduk Indo-

an penduduk Sulawesi sebesar 10 %, Jawa nesia, penduduk Pulau Jawa sebanyak 121,3

sebesar 1,56%, tahun 1990–2000 pertumbuh- juta jiwa atau 58,83 % terhadap total pen-

an penduduk Sulawesi sebesar 12,24%, Jawa duduk Indonesia. Sedangkan hasil sensus

sebesar 1,29%, dan tahun 2000–2010 per- penduduk tahun 2010, penduduk wilayah

tumbuhan penduduk Sulawesi sebesar Sulawesi sebanyak 17,3 juta jiwa atau 7,31

11,36%, Jawa sebesar 1,14%. Meskipun per- % terhadap total jumlah penduduk Indo-

tumbuhan penduduk di Pulau Jawa relatif nesia, penduduk Pulau Jawa sebanyak 136,6

kecil, namun penduduk Pulau Jawa tingkat juta jiwa atau 57,49 % terhadap total

populasinya lebih dari separuh penduduk penduduk Indonesia.

Indonesia mendiami wilayah tersebut. Selama lima kali pelaksanaan sensus penduduk di Indonesia sejak tahun 1971

Kawasan Sulawesi

sampai sensus penduduk 2010, secara Berdasarkan hasil hausman test me- persentase penduduk di Pulau Jawa ter-

nunjukkan model yang tepat digunakan hadap total penduduk Indonesia meng-

adalah fix effect model. Dimana model alami penurunan, sedangkan penduduk

pendekatan yang diestimasi adalah faktor- wilayah Sulawesi terhadap total penduduk

faktor; Pendapatan perkapita (PDRBCap), Indonesia cenderung meningkat (Lihat

karena faktor ini sebagai gambaran tingkat Gambar 2). Provinsi dengan laju pertumbuh

kesejahteraan masyarakat disuatu negara penduduk yang relatif tinggi di Sulawesi,

(wilayah), makin tinggi tingkat pendapatan yaitu Sulawesi Tenggara sekitar 3 % setiap

mengindikasikan bahwa perekonomian ma- tahun, dan provinsi dengan laju per-

kin maju yang biasanya ditopang oleh tumbuhan penduduknya terendah di Sula-

sektor-sektor produktif (non primer). Jum- wesi diantaranya Sulawesi Utara dan

lah populasi (POP), berkaitan erat dengan Gorontalo sekitar 1 % pertahun.

dinamika perekonomian, dengan asumsi Gambar 2 menggambarkan laju per-

jumlah penduduk produktif menjadi po- tumbuhan penduduk di Sulawesi dan Jawa,

tensi penggerak ekonomi termasuk tingkat kurun waktu tahun 1971–1980 pertumbuh-

konsumsi meningkat akan mengubah struk- an penduduk Sulawesi sebesar 11%, Jawa

tur ekonomi.

Sumber: Badan Pusat Statistik, Diolah (2014).

Gambar 2 Laju Pertumbuhan Penduduk Sulawesi dan Jawa (Persen)

444 Ekuitas: Jurnal Ekonomi dan Keuangan – Volume 18, Nomor 4, Desember 2014 : 431 – 451

Kemampuan fiskal (KF), setiap daerah memiliki kapasitas fiskal yang berbeda, secara umum daerah yang mengandalkan sektor primer sebagai penyumbang utama pembentukan ekonomi kemampuan (kapa- sitas) fiskalnya rendah.

Desentralisasi Pengeluaran Daerah (DESTEXP), pengeluaran (belanja) daerah merupakan instrumen penting untuk meng- gerakkan perekonomian, apalagi bagi dae- rah yang minim investasi swasta, maka belanja daerah yang saat ini menjadi ke- wenangan penuh kabupaten/kota sangat berperan mendorong perubahan struktur ekonomi. Dari berbagai uraian tersebut, sejatinya faktor-faktor di atas diyakini dapat mendorong terjadinya perubahan struktur ekonomi selama pelaksanaan desentralisasi fiskal. Perubahan struktur ekonomi diproksi dari sectoral change index, yang difokuskan pada sektor primer untuk memudahkan melakukan analisis, dengan asumsi bahwa bila nilai share sektor primer negatif maka sektor-sektor lainnya dianggap given positif (meningkat), dengan demikian terjadi pro- ses transformasi ekonomi. Sebaliknya jika share sektor primer positif diduga sektor- sektor lainnya menurun, berarti cenderung tidak terjadi perubahan struktur ekonomi di suatu wilayah. Berdasarkan berbagai se- rangkaian pengujian, model yang diguna- kan lolos dari pelanggaran asumsi klasik (otokorelasi, heteroskedatisitas dan multi- kolonieritas), serta diikuti pengujian koefisi-