PERAN PENDIDIKAN SEJARAH DALAM KEBUDAYAA

Peran (Pendidikan) Sejarah dan Kebudayaan Nasional
dalam Meningkatkan Persatuan dan Persatuan Bangsa
Yudi Prasetyo
Program Studi Pendidikan Sejarah
[email protected]
Abstrak
Artikel ini mengulas tentang peran pendidikan sejarah dan kaitannya
dengan nasionalisme bangsa. Kebudayaan menjadi cikal-bakal
terbentuknya rasa nasionalisme melalui berbagai wujud kebudayaan.
Disamping itu juga membahas tentang bagaimana wujud kebudayaan
memiliki peran krusial dalam pemersatu dan simbol nasionalisme bangsa
dari era klasik hingga perannya di era masa kini. Metode yang digunakan
dalam artikel ini adalah metode penelitian sejarah dengan kajian studi
literatur dan pendeketan hermeunitika. Signifikansi dalam artikel ini
adalah memberikan perspektif komprehensif perkembangan ilmu sejarah,
pandangan masyarakat, peran pendidikan sejarah sebagai identitas bangsa,
dan dampak yang akan diakibatkan atas negasi sejarah dalam konteks
kebangsaan.
Kata kunci: Pendidikan, Sejarah, Kebudayaan
Abstract
This article is reviewing about the role of culture history and its relevance

with nationalism. Culture became the forerunner of the formation of a
sense of nationalism through various forms of culture. Besides, it also
discusses how a form of culture has a crucial role in unifying nationalism
and symbols of the classical era up to its role in the present era. The
method used in this article is a method of historical research with the study
of literature and pendeketan hermeunitika. The significance of this article
is to provide a comprehensive perspective of the development of the
science of history, a view of society, the role of history education as the
nation's identity, and the impact will be caused on the negation of history
in the context of nationality.
Key words: Education, History, Culture

1

PENDAHU
LUAN
Sejarah
dan
kebudayaan
merupakan hal yang

tak dapat dipisahkan,
eksistensinya
bagaikan dua sisi
mata uang. Manusia
merupakan subjek
dari
proses
terbentuknya
kebudayaan,
baik
yang secara material
maupun imaterial.
Koentrjaraningrat,
mendefinisikan
kebudayaan sebagai
keseluruhan sistem
gagasan, tindakan,
dan hasil karya
manusia
dalam

rangka
kehidupan
masyarakat
yang
dijadikan milik diri
manusia
dengan
belajar. Terminologi
“kebudayaan”
berasal dari kata
Sansekerta,
buddhayah,
yakni
bentuk jamak dari
budhi yang berarti
”budi atau “akal”.
(Koetjaraningrat,n.y:
181).
Soekarno,
budayawan Sidoarjo,

menerjemahkan
“kebudayaan” dalam
bahasa Jawa yakni
nalar, panemu utawa
angen-angen
sing
dibabarno
rupa
tumindak, paugeran,
pakaryan
lan
kawicaksanan.
Utawa:
babare
nalar
pambudine
menungso
sing
wujud
kagunan,

kepinteran, raweruh,

tata pernatan, sing
2. Sistem
dilandesi karo cipta, pengetahuan
rasa, karya, kuwasa
3. Organisasi
lan
sakteruse. sosial
( Soekarno, 2015: 1)
4. Sistem
peralatan hidup dan
Maka
dapat
teknologi
diartikan bahwa ke5. Sistem mata
budaya-an
dapat pencaharian hidup
diartikan: ”hal-hal
6. Sistem religi

yang bersangkutan
7. Kesenian
dengan akal” yang
dapat berupa cipta,
Ketujuh unsur
karsa, dan rasa, tersebut kemudian
sedangkan
tercipta, terlaksana,
kebudayaan
hingga
menjadi
merupakan
kebiasaan
(habit)
produk/hasil
dari yang
kemudian
cipta, karsa, dan rasa bermuara
pada
tersebut.

Pelbagai proses terbentuknya
produk kebudayaan tradisi.
Proses
tersebut kemudian tersebut
tentunya
dituangkan
dalam juga tidak dapat
sebuah historiografi dilepaskan
dari
yang kelak menjadi proses ruang dan
indikator
sebuah waktu
yang
bangsa
atau merupakan
ranah
peradaban
studi
sejarah,
mengalamai

masa terutama
ilmu
transisi dari masa sejarah. Kerap kali
prasejarah
(belum sebuah
tradisi
mengenal tulisan) ke menjadi pemahaman
era sejarah (telah memory collective
mengenal tulisan).
suatu
masyarakat
yang diturunkan dari
Kehidupan
generasi ke generasi
manusia
sebagai namun
tidak
entitas sosial sejak terdokumentasi
dilahirkan
hingga dengan

baik,
kelak menemui masa sehingga
ketika
akhir hayatnya tidak dilakukan
akan lepas
dari penelusuran sejarah
kegiatan berbudaya dengan
dan
menggunakan
bersejarah.Koentjara sumber-sumber
ningrat
tertulis maka yang
mengemukakan
terjadi
adalah
bahwa terdapat tujuh missing link terkait
unsur kebudayaan, dengan
ketiadaan
yakni:
sumber tertulis dan

hanya mengandalkan
1. Bahasa
sumber lisan / oral.(

Thompson, 2012: 26
).
Sebuah tradisi
atau
produk
kebudayaan
akan
diragukan
eksistensinya tanpa
dukungan
sumber
tertulis yang otentik
dan
kredibel.
Dokumen-dokumen
tersebut

dapat
dijadikan
sebagai
legalitas atau bahkan
legitimasi
atas
adanya
sebuah
pengakuan
dan
memiliki
peran
krusial
sebagai
identitas bangsa di
masa kini, sekarang,
dan
yang
akan
datang. Selain itu
sebuah bangsa akan
dikatakan
maju
ketika
masyarakatnya
terbiasa
dengan
budaya
membaca
(literasi)
layaknya
negara-negara
di
Eropa,
Amerika,
Jepang,
dan
Singapura.
Makalah ini
akan
mencoba
untuk mencari dan
mengaitkan
benang
merah
diantara
peran
sejarah
dengan
kebudayaan
nasional
terkait
dengan
upaya
peningkatan
persatuan
dan
kesatuan bangsa.
Sejarah,
Kebudayaan, dan

Glorifikasi
Bangsa
Plato dalam
Timaeus dan Critia
s, yang ditulis pada
tahun 360 SM,
berisi
tentang
referensi pertama
Atlantis.
Plato
tidak
pernah
menyelesaikan Cri
tias karena
berbagai faktor dan
ketidaktahuan.
Karya
tersebut
kemudian
ditelusuri
dan
dilanjutkan
oleh
berbagai peneliti
generasi
berikut
setelah
berabadabad
kemudian
mulai dari Francis
Bacon
(1627),
Isaac
Newton
(1728),
Charles
Etienne Brasseur
de
Bourbourg,
Edward
Herbert
Thompson dan Au
gustus
Le
Plongeon
pada
akhir abad XIX
hingga
pada
akhirnya seorang
ahli geohistori asal
Brasil,
Arysio
Santos Nunes dos
Santos
dengan
karya Atlantis The
Lost
Continent
Finally
Found adalah
sebuah
buku
arkeologi
prasejarah
yang
menyatakan secara
definitif
letak
peradaban Atlantis
ada di Indonesia.
(Santos, 2010).

Hal
ini
mengacu
pada
tesisnya
yang
mengatakan bahwa
kawasan Atlantis
terdapat di wilayah
Ring
of
Fire
dengan
ciri
rangkaian gunung
api di berbagai
kawasan Indonesia
sehingga
tidak
mengherankan bila
area
Nusantara
dikenal
sangat
subur
akibat
adanya
abu
vulkanik
yang
mampu
menyuburkan
tanah di sekitarnya.
Kesuburan
dan
keindahan
alam
Hindia Belanda di
era kolonialisme
Belanda
menghadirkan
sebuah
konsep
“Mooi
Indie”.
Menurut
Onghokham,
terminologi Mooi
Indiё
adalah
penggambaran
ciptaan
kolonial
Belanda
tentang
alam
dan
masyarakat Hindia
Belanda
secara
damai, tenang, dan
harmonis.
Pandangan tersebut
berakar
pada
romantisisme
Belanda yang ingin
menciptakan
Timur yang eksotis
sekaligus
menguntungkan
bagi sisi finansial.
(Onghokham
dalam
Bachtiar

dkk, 2009: 163164)
Penelitian
tersebut memang
masih perlu dikaji
ulang
namun
apabila dikaitkan
dalam
konteks
nasionalisme
menunjukkan
bahwa
pada
dasarnya
nenek
moyang kita di
Nusantara
merupakan
generasi
dari
peradaban tertinggi
di dunia yang
hilang. Karya ini
banyak diapresiasi
oleh
kalangan
profesional,
akademisi,
dan
pengamat budaya
karena
mampu
menstimulasi
perasaan
nasionalisme
di
kalangan bangsa
Indonesia.
Abad
Kejayaan
Sriwijaya
Majapahit

dan

Kejayaan
kedua
kerajaan
tersebut
sangat
berpengaruh dalam
bidang
maritim
dan agraris di
tingkat
perdagangan
global abad VII –
XVI.
Kerajaan
Sriwijaya menjadi
penguasa
Nusantara dengan
tingkat teknologi
navigasi,
perkapalan yang

3

maju,
serta
jaringan
perdagangan
maritim
yang
terintegrasi dengan
baik.
Jaringan
perdagangan
internasional
Sriwijaya
menjangkau
hingga ke wilayah
Malaka, Borneo,
Sulawesi, Maluku,
Papua,
dan
sebagian
kepulauan Filipina
sehingga
lebih
menyerupai
imperium.
(Hermann Kulke
dalam
Coedes,
2014: 281-313).
Sedangkan
Majapahit
mengalami masa
kejayaannya pada
tahun 1313-1364
dan
merupakan
cikal-bakal
atas
terbentuknya
wilayah Nusantara
oleh Patih Gadjah
Mada.
Tanpa
adanya
Sumpah
Palapa
niscaya
terbentuknya
Nusantara hanya
sekedar
sebuah
wacana tanpa aksi.
Candi
Borobudur
Eksistensi
candi Borobudur
menjadi salah satu
icon
tujuh
keajaiban dunia.
Bangunan
candi
Budha
yang
dibangun
pada
abad IX tersebut
memiliki tingkat
kompleksitas

tinggi
dan
merupakan sebuah
mahakarya tentang
kisah Ramayana.
Borobudur
menjadi bangunan
suci
yang
melambangkan
bagaimana proses
perjalanan ajaran
Budha Mahayana
untuk
mencapai
tahap
menjadi
Budha.
Tingkat
kesulitan, detail,
dan
nilai
sejarahnya
yang
tak terhingga telah
menempatkan
Borobudur sebagai
salah
satu
bangunan
peninggalan
sejarah
dunia
(World
Wonder
Heritages).
Kemegahan
dan
pengakuan
tersebut
mampu
menempatkan
Borobudur sebagai
salah satu wujud
fisik kebudayaan
yang
menjadi
identitas
bangsa
Indonesia
di
kancah di dunia
terkait
dengan
keberadaan lokasi.
Hal
ini
menunjukkan
bahwa Jawa tidak
hanya
sebagai
sebuah
kawasan
geografis namun
telah
menjadi
pusat
dari
peradaban Jawa.
(Rahardjo, 2011).
Adanya peradaban
Jawa
dan
Borobudur dapat

dijadikan sebagai
identitas
bangsa
sekaligus glory of
nation
dalam
rangka
pembentukan
nation
building.
(pembentukan
kebangsaan)
Sejarah dan
Kebudayaan
Nasional dalam
Proses
Terbentuknya
Identitas
Indonesia
merupakan sebuah
negara
yang
multikulturalisme
dengan berbagai
keunikannya dari
sisi
sejarah,
kultural,
dan
budaya
dimana
tercipta
sebuah
melting pot (pusat
pertemuan)
dan
rendezvous
(persinggahan)
entitas
global.
Posisi dan peran
Indonesia di era
merkantilisme
abad XIII – XVIII
menghasilkan
interaksi
sosial
budaya yang intens
dan
massif
sehingga terdapat
pelbagai budaya
yang berkembang
dengan keunikan
masing-masing
yang khas, baik
yang merupakan
budaya
asli
Indonesia maupun
masuknya
pengaruh asing.

Keanekaraga
man
tersebut
menjadikan
Indonesia
kaya
akan
berbagai
kebudayaan.
Wujud kebudayaan
tersebut
dapat
berupa
material
dan imaterial yang
secara
sadar
maupun tidak telah
menjadi
bagian
yang identik dari
masyarakat lokal.
(Grosby,
2011:
57).
Sebagai
contoh
adalah
Ulos, tari Tor-Tor,
Bika
Ambon
menjadi identitas
bagi masyarakat
Sumatera
Utara,
Palembang dengan
makanan
khas
Pempek, atau Bali
dengan tari Kecak,
Sasando sebagai
alat
musik
tradisional
dari
Nusa
Tenggara
Timur dll.
Adanya
pertemuan
kebudayaan
asli
dan
luar
menghasilkan
sebuah
percampuran
budaya
(inkulturasi)
ataupun asimilasi
yang
khas.
Kekhasan
kebudayaan
tersebut
berada
pada tahap lokal,
nasional,
internasional yang
kemudian
dapat
menjadi
kebudayaan

bangsa
dan
sekaligus menjadi
kebudyaan
nasional identitas
kebangsaan
bangsa.
Kamus
ensiklopedia
elektronik
Wikipedia
menerjemahkan
kebudayaan
nasional sebagai
kebudayaan yang
diakui
sebagai
identitas nasional.
Definisi
kebudayaan
nasional
menurut TAP MPR
No.II tahun 1998,
yakni:
“Kebudayaa
n
nasional
yang
berlandaskan
Pancasila ad
alah
perwujudan
cipta, karya
dan
karsa
bangsa Indon
esia dan
merupakan
keseluruhan
daya upaya
manusia
Indonesia
untuk
mengemban
gkan harkat
dan martabat
sebagai
bangsa, serta
diarahkan
untuk
memberikan
wawasan dan
makna pada
pembanguna
n
nasional

dalam
segenap
bidang
kehidupan
bangsa.
Dengan
demikian
Pembanguna
n Nasional
merupakan
pembanguna
n
yang
berbudaya”
Interpretasi
atau
penafsiran
mengenai
kebudayaan
nasional berbedabeda, Ki Hajar
Dewantara
memandang
kebudayaan
nasional
merupakan
“puncak-puncak
kebudayaan
daerah, sedangkan
Koentjaraningrat
menilai
sebagai
“sesuatu yang khas
“yang khas dan
bermutu dari suku
bangsa mana pun
asalnya, asal bisa
mengidentifikasika
n
diri
dan
menimbulkan rasa
bangga”.
Sedyawati
memandang
identitas budaya
bangsa Indonesia
(dalam
makna
“kebudayaan
nasional”
Indonesia)
mempunyai
dua
sisi:
pertama,
segala
sesuatu
yang
diciptakan
dalam konteks ke-

Indonesia-an,
kurang lebih pada
masa pergerakan
nasional
hingga
kini,
kedua,
“puncak-puncak”
kebudayaan yang
diangkat
dari
berbagai
tradisi
suku-suku bangsa
yang
ada
di
Indonesia,
yang
diterima sebagai
milik kita bersama
seluruh bangsa dan
negara Indonesia.
(Sedyawati, 2014).
Meski
demikian
semuanya
merupakan hasil
budi
daya
masyarakat
bangsa,
eksistensinya telah
ada sejak masa
lampau, memiliki
nilai
yang
dibanggakan,
bermuara
pada
lahirnya
konsep
identitas
bangsa
yang
lebih
mengedepankan
ketunggalikaan
(persatuan)
dibanding
kebhinekaan
(keberagaman).

“dangdut is the
music
of
my
coutry” mungkin
benar
adanya
karena meski pun
dangdut
tidak
merupakan ‘benarbenar’
asli
Indonesia karena
terdapat pengaruh
musik dari Arab,
Hindustan,
dan
Melayu
namun
kepopulerannya
dan
besarnya
animo masyarakat
Indonesia,
terutama wilayah
Jawa Timur, telah
melabeli
musik
dangdut
adalah
sebagai
musik
orang Indonesia.
Hal ini terlihat
dalam
sebuah
kompetisi
menyanyi dangdut
di
salah
satu
stasiun
televisi
swasta
dimana
sang
pemenang
akan
diberikan
hadiah
berupa
wisata sekaligus
rekaman/membuat
video klip dangdut
di India
Kontribusi
Pendidikan
Sejarah terhadap
Bangsa

Wujud dari
kebudayaan dapat
direpresentasikan
dalam berbagai hal
contohnya: rumah,
upacara,
pernikahan,
pakaian
adat,
kulinari, bahasa,
seni sastra, tarian,
lagu,
maupun
musik. Ungkapan
grup vokal PProject
bahwa

Keberadaan
aneka jenis budaya
di negeri yang
maha kaya akan
kebudayaan
ini
menunjukkan
bahwa Indonesia
merupakan bangsa
yang besar dan
sangat
relevan

5

dengan semboyan
“Bhineka Tunggal
Ika”.
Namun
keanekaragaman
tersebut tentunya
juga
harus
didukung dengan
adanya
sumber
sejarah
sebagai
upaya penelusuran
jejak dan juga
sekaligus penjaga
memori
kolektif
agar terus hidup
dan dapat difahami
serta dilestarikan
oleh
generasi
seterusnya terlebih
lagi
di
dunia
internasional
dikenal
hukum
positif
sehingga
bukti
tertulis
merupakan
hal
yang
tak
terbantahkan.
Sejarah
sebagai
ilmu
humaniora
memiliki
peran
yang sangat krusial
dan bila boleh
diumpamakan
bagaikan senjata
pemusnah massal
apabila
disalahgunakan
oleh pemiliknya.
Sebaliknya sejarah
akan
mampu
menjadi
sebuah
kekuatan
maha
dahsyat
bila
mampu
memanfaatkannya
sebagaimana
slogan berbahasa
Latin,
historia
magistra
vitae,
sejarah
adalah
ilmu
kehidupan
(Budiawan dalam

Lewis,
2009:
pengantar).
Sejarah tidak
hanya sebuah ilmu
yang mempelajari
masa
lampau
belaka karena di
dalam
sejarah
terkandung sebuah
hukum “challange
and respons” –
meminjam istilah
Arnold
Toybeedimana terkandung
hukum
sebabakibat. Apa yang
terjadi hari ini
tidak
dapat
dilepaskan dari apa
yang telah terjadi
di masa lampau
dan apa yang akan
terjadi di masa
mendatang tidak
terlepas dari apa
yang tengah terjadi
saat ini sehingga
kita sebagai pelaku
sejarah memahami
bagaimana
kesinambungan
yang terjadi.
Sejarah
memang
tidak
mampu
menghadirkan
masa
lampau
dengan berbagai
kebenaran absolut
karena
telah
terpisahkan oleh
ruang dan waktu,
namun
sejarah
mampu
merekonstruksi
mozaik
masa
lampau sehingga
menghasilkan
sebuah
realitas
kebenaran relatif
melalui
metode
dan
pendekatan

multidimensional.
Seluruh peristiwa
sejarah yang telah
terjadi
maupun
yang akan terjadi
di dunia ini akan
dapat difahami dan
diprediksi dengan
mengedepankan
konsep
tersebut
(verstehen).
Tanpa
adanya
pemahaman
sejarah
yang
memadai
akan
berimplikasi
terhadap
munculnya
gerakan
atau
pandangan yang
bersifat
chauvinime,
radikalisme, atau
pun separatisme.
Disinilah
pentingnya peran
sejarah, terutama
bagi
kalangan
pendidik.yang
merupakan corong
dari transfer ilmu,
nilai, dan karakter
terhadap peserta
didik.
Meraka
merupakan
kalangan
yang
berinteraksi
langsung dengan
peserta
didik.
Filosofi
“ing
ngarso
sung
tulada, ing madya
mangun karsa, tut
wuri handayani”,
sebagai pedoman
guru yang artinya:
“di depan memberi
teladan, di tengah
menyemangati,
dan
mengiringi
dari
belakang

sambil
memberi
kekuatan”.
Soerang
pendidik
harus
mampu
menciptakan
sistem belajar dan
mengajar
yang
berkarakter namun
menarik
minat
peserta
didik
dalam
kontek
pembentukan
nasionalisme,
antara lain dengan
cara:
pertama,
menetapkan
sejumlah
pokok
substansi
bahan
ajar yang relevan
dengan
tujuan
“memperkuat
bangsa”,
kedua,
menetapkan
metode
penyampaian dan
porsi
substansi
yang
sesuai
dengan jalur dan
jenjang
yang
diberikan, ketiga,
pencarian sumber
informasi dengan
tema yang sesuai,
dan
keempat,
menyusun
himpunan data ke
dalam
kemasan
yang kreatif dan
inovatif. (Prasetyo,
2015)
Pokok
pembelajaran
sejarah
yakni
kehadirannya
menumbuhkemban
gkan
kesadaran
budaya, kesadaran
sejarah,
dan
nasionalisme
adalah:

1. Sejarah
Indonesia
dilihat
dari
perkembangan
berbagai
subjek
seperti:sosialp
olitik,kebuday
aan, teknologi,
kesenian dll
2. Sistem
kebudayaan
pada berbagai
satuan sosial
3. Tantangantantangan
pembangunan
bangsa
dan
negara
di
masa
yang
akan datang
4. Penerapan
nilai dari suatu
proses sejarah
sebagai
implemetasi
pembentukan
karakter
bangsa
Capaian dari
penerapan
dari
pembelajaran
tersebut
adalah
bagaimana siswa
mampu
dibekali
secara
kognitif,
afektif,
dan
psikomotorik.
Pendekatan
kognitif
adalah
bagaimana siswa
mampu
berfikir
kritis
dan
mengasah
intelektual
terhadap
pemahaman
perjalanan sejarah
bangsa Indonesia
dari
masa
prasejarah hingga
saat ini, afektif

agar siswa mampu
memliki
rasa,
emosi, sistem nilai,
dan sikap dalam
sejarah,
dan
psikomotirik agar
siswa
mampu
memiliki
visi
pandangan hidup
yang
diterapkan
dalam kehidupan
sehari-hari.
Diharapakan para
peserta
didik
tersebut
dapat
menjadi
agen
perubahan (agent
of change) dan
virus positif di
masyarakat,
terutama
terkait
dengan bagaimana
upaya pelestarian
situs dan artefak
bersejarah. Meraka
dapat
menjadi
agen
yang
mengedukasi
dalam
proses
gerakan
cinta
sejarah
untuk
memasyarakatkan
sejarah sehingga
masyarakat
menyadari bahwa
sejarah merupakan
bagian dari hidup
manusia.
Simpulan
Pepatah “tak
keneral maka tak
sayang”
bila
dikorelasikan
dengan pandangan
siswa
atau
masyarakat
berbanding lurus
dengan
realitas
kekinian. Perasaan
acuh tak acuh atau
ketidaktahuan

inilah
yang
menstimulus dan
mengakumulasi
ketidakhadiran
rasa
sense
of
belonging
(rasa
memiliki). Sejarah
bagaikan
dianaktirikan
dibanding
ilmuilmu lain yang
dianggap
lebih
populer
dan
menjamin
masa
depan,
seperti
kedokteran,
hukum, ekonomi,
teknik, atau ilmu
pengetahuan alam.
Sejarah
sebagai
rumpun ilmu sosial
humaniora kurang
mendapat tempat
dalam
perpektif
khalayak.
Ironis ketika
sebuah
kebudayaan kita
diambil
atau
diklaim pihak luar,
sebagai
contoh
klaim
Malaysia
terhadap
tari
Pendet Bali, Reog
Ponorogo,
dan
tempe, masyarakat
hanya
bersikap
‘merengek’
dan
mencari dukungan
dari kalangan ahli
sejarah / pendidik
sejarah sehingga
terkesan
dibutuhkan ketika
terjadi kontroversi.
Soekarno
telah
mengingatkan kita
generasi
muda
dengan tagline Jas
merah,
jangan
sekali-sekali

7

meninggalkan
sejarah
karena
bangsa yang besar
adalah bangsa yang
menghargai sejarah
bangsanya.
Kehidupan negara
Islandia di masa
silam
merupakan
salah satu negara
termiskin di dunia
namun
sekarang
mereka
mampu
menjadi
negara
dengan
tingkat
pendapat per kapita
tertinggi di Eropa.
Dengan adanya visi
dan misi yang sama
tentang sejarah maka
tidak
mustahil
bangsa
Indonesia
akan
mencapai
milestone (capaian)
yang gemilang di
masa
mendatang
agar
mendapat
kehidupan
yang
lebih baik. Sudah
saatnya kita memulai
dari diri sendiri
untuk
kemudian
terbiasa melakukan
hal yang luar biasa
sehingga
karya
monumental
bersejarah kita dapat
dinikmati
oleh
generasi
penerus
yang akan datang.
Tentu kita tidak ini
mengalami
kehilangan
jejak
sejarah
nenek
moyang
kita
sebagaimana bangsa
Aborigin yang hanya
menjadi
figuran
dalam
sejarah
nasional Australia.
Apabila ini dibiarkan
maka apa yang
dikatakan
oleh

Collapse
oleh
Diamond
Jared
niscaya
hanya
tinggal
menunggu
waktu.

DAFTAR
PUSTAKA
Bachtiar,
Harsja
W.
dkk.
2009. Raden
Saleh, Anak
Belanda,
Mooi Indië,
dan
Nasionalism
e.
Depok:
Komunitas
Bambu.
Coedes,
George
dkk (eds.),
2014.
Kedatuan
Sriwijaya:
Kajian
Sumber
Prasasti dan
Arkeologi.
Komunitas
Bambu:
Depok.
Cote,

Joost dan
Loes
Westerbeek
(ed.), 2004.
Recalling
the Indies:
Kebudayaan
Kolonial dan
Identitas
Poskolonial.
Yogyakarta:
Syaria.

Diamond, Jared.
2014.
Collapse:

Runtuhnya
Peradaban
Dunia,
Gramedia:
Jakarta.
Furnivall,J.S.
2009.
Hindia
Belanda:
Studi
tentang
Ekonomi
Majemuk,
terj.
Samsudin
Berlian.
Jakarta:
Freedom
Institute.
Grosby,
Steven.
2011.
Sejarah
Nasionalism
e: Asal-usul
Bangsa dan
Tanah Air.
Pustaka
Pelajar:
Yogyakarta.
Kartodirdjo,
Sartono.
Modernisasi
dalam
Perspektif
Sejarah.
1978.
Yogyakarta:
Jurusan
Sejarah Fak.
Sastra dan
Kebudayaan
UGM.
Koetjaraningrat,
Pengantar
Ilmu
Antropologi.
Rineka
Cipta:
Jakarta.

makalah
dipresentasik
an
pada
seminar
“Mengungka
p
Potensi
Tinggalan
Jenggala
dalam
Rangka
Menelusuri
Hari
Jadi
Sidoarjo”,
Kamis,
23
April 2015
di
UPT
Museum
Mpu
Tantular
Sidoarjo

Lewis,
Bernard.
Sejarah
Diingat,
Ditemukan
Kembali,
Ditemuciptakan.
Ombak:
Yogyakarta,
2009.
Rahardjo,
Supratikno.
2011.
Peradaban
Jawa: Dari
Mataram
Kuna
sampai
Majapahit
Akhir.
Depok:
Komunitas
Bambu.
Santos,
Arysio.
2010.
Atlantis The
Lost
Continent
Finally
Found.
Jakarta:
Ufuk Press.
Sedyawati,
Edy.
2014.
Kebudayaan
Nusantara:
Dari Keris
Tor-tor
sampai
Industri
Budaya.
Depok:
Komunitas
Bambu.
Soekarno. 2015.
“Kebudayaa
n
(Jaman)
Jenggala”,

Thompson, Paul.
2012. Suara
dari Masa
Silam Teori
dan Metode
Sejarah
Lisan.
Ombak:
Yogyakarta.
Yudi

Prasetyo,
2015.
“Metode
Pembelajara
n
Kratif
Inovatif bagi
Siswa”,
makalah
dipresentasik
an
dalam
seminar
“Menelusuri
Jejak
Perkembang
an Islam di
Nusantara”
tanggal 2325
Maret
2015, Dinas
Kebudayaan
dan

Pariwisata
Jawa Timur
Sumber internet:
http://id.wikipedia.
org/wiki/Bud
aya_Indonesi
a,
diakses
pada
23
April 2015,
pukul. 20.00
WIB