BUDAYA PEMILU DAN TATA PEMERINTAHAN SEBA

BUDAYA PEMILU DAN TATA PEMERINTAHAN
SEBAGAI BENTUK DEMOKRASI
oleh Arya Wirawan Maulana, 1111113000091

Demokrasi berasal dari bahasa Yunani (demokratia) "kekuasaan rakyat"
yang terbentuk dari (dêmos) "rakyat" dan (kratos) "kekuatan" atau "kekuasaan".
Demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang semua warga negaranya memiliki hak
setara dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka.
Demokrasi mengizinkan warga negara berpartisipasi baik secara langsung atau
melalui perwakilan dalam perumusan, pengembangan, dan pembuatan hukum.
Secara filosofis, konstitusional dan sosiologis demokrasi dipahami sesuatu tentang
masyarakat.
Menurut Robert A. Dahl, demokrasi adalah satu sistem politik yang
memberi peluang kepada rakyat jelata membuat keputusan-keputusan secara umum
dan menekankan responsifitas pemerintah terhadap preferensi warga negaranya
yang setara secara politis sebagai sifat dasar demokrasi.1 Sedangkan menurut
Abraham Lincoln, demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan di mana kekuasaan
politik tertinggi (supreme political authority) dan kedaulatan (soverignity) ada di
tangan rakyat yang berhak untuk memerintah.2
Pemahaman demokrasi ini telah dipahami secara universal di mana
demokrasi tidak lagi dipahami dari segi substantifnya saja dengan memberikan apa

yang menjadi hak-hak rakyat, namun juga dilihat dari segi proseduralnya, yaitu
bagaimana mekanisme penyampaian hak-hak tersebut. Dengan demikian,
demokrasi tidak berarti rakyat sendiri yang harus menyampaikan hak-haknya
tersebut, tetapi juga dapat mewakilkannya kepada pihak lain melalui suatu
mekanisme tertentu. Oleh karena itu cukup beralasan jika kemudian demokrasi

1
2

George Sorensen, Demokrasi dan Demokratisasi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), h. 14.
Ibid.

diartikan sebagai government by the people, either directly or through
representative.3

Julia Paley mengemukakan demokrasi merupakan perjuangan terusmenerus untuk mewujudkan tatanan sosial yang mengupayakan musyawarah logis,
mempromosikan partisipasi publik dalam pengambilan keputusan secara adil dan
merata, mendistribusikan kekuatan politik serta memfasilitasi keikutsertaan budaya
didalamnya.4 Sementara itu, Benedict dan Mead menggambarkan pemahaman atas
demokrasi dalam makna lintas budaya (crosscultural meaning), yaitu apa yang

dikenal dengan dari, oleh dan untuk masyarakat, yang pada dasarnya memberikan
suara pada masyarakat untuk menyuarakan kepentingan mereka sendiri.5
Seperti yang dikatakan di atas adalah tentang sebuah pengetahuan dasar
mengenai demokrasi, dan pengetahuan tersebut banyak digunakan di negara-negara
di dunia ini sebagai sebuah sistem pemerintahan. Di Indonesia sendiri juga
termasuk yang menggunakan sistem demokrasi dalam menjalankan roda
pemerintahan.

Seperti

yang

dijelaskan

di

atas

bahwasanya


demokrasi

merupakansuatu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, dalam arti
rakyat memiliki kebebasan dalam menentukan hak-haknya sebagai warga negara,
termasuk dalam dipimpin atau memimpin. Sehingga terdapat beberapa indikator
demokrasi di Indonesia, salah satunya adalah pemilihan umum (pemilu).
Di dalam sebuah sistem demokrasi, pemilu menjadi kunci terciptanya
demokrasi. Tidak ada demokrasi tanpa diikuti pemilu. Pemilu merupakan wujud
yang paling nyata dari demokrasi. Pemilihan umum merupakan sarana untuk
mewujudkan kedaulatan rakyat dalam rangka keikutsertaan rakyat dalam
penyelenggaraan pemerintahan Negara seperti yang tercantum dalam UndangUndang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum. Selain
itu, pemilu adalah suatu kegiatan yang sering diidentikan sebagai sebuah pesta
demokrasi. Dikatakan demikian karena dalam pemilu masyarkat secara individu
Hasbi U ar, Paradig a Baru De okrasi di I do esia: Pe dekata terhadap Pe ilu
DPR/DPRD , Jurnal Innovatio, Vol.VII No.14 (Juli-September 2008), h. 318.
4
Julia Paley, Toward an Anthropology of Democracy , Annual Review of Anthropology, Vol. 31
(2002): h. 469-470.
5
Richard Handler, Ruth Benedict, Margaret Mead, and the Growth of American Anthropology ,

The Journal of American History, Vol. 71 No. 2 (September 1984): h. 365-366.

3

memiliki hak memilih dan dipilih. Pemilu dewasa ini menjadi paramenter dalam
mengukur demokratis tidaknya sebuah negara.
Pemilu dewasa ini dapat dikatakan sebuah aktifitas politik di mana pemilu
merupakan lembaga sekaligus juga praktis politik yang memungkinkan
terbentuknya sebuah pemerintahan perwakilan.6 Sementara itu aktifitas politik
merupakan kegiatan ataupun usaha untuk mencapai tujuan politik. Di dalam proses
pemilu saat ini banyak aktifitas politik yang terjadi, salah satunya politik simbolis
yang ada di tengah-tengah masyarakat. Menurut Geertz, semua masyarakat
disuguhkan oleh berbagai political of symbolism (politik simbol). Politik simbol
merupakan suatu tindakan untuk mempresentasikan gejala sosial yang diwujudkan
dalam simbol yang merefleksikan makna politik tertentu. Sementara itu simbol
dapar di artikan sebagai objek, tindakan, peristiwa, sifat atau hubungan yang dapat
berperan sebagai wahana suatu konsepsi.7
Pemilu adalah salah satu ciri yang harus ada pada negara demokrasi.8
Dengan demikian pemilu merupakan sarana yang penting untuk rakyat dalam
kehidupan bernegara, yaitu dengan jalan memilih wakil-wakilnya yang pada

gilirannya akan mengendalikan roda pemerintahan. Hasil pemilihan umum yang
diselengarakan dalam suasana keterbukaan dengan kebebasan berpendapat dan
kebebasan berserikat, dianggap mencerminkan dengan cukup akurat aspirasi dan
partisipasi masyarakat.9
Demokrasi diharapkan mampu menciptakan tata pemerintahan yang baik
(Good Governance) berupa peningkatan akuntabilitas pemerintahan, partisipasi

masyarakat yang lebih besar dalam pembuatan dan kontrol kebijakan, serta efisiensi
dan efektivitas pelayanan dan pembangunan.10 Antara demokrasi dan tata kelola
pemerintahan adalah dua hal yang sangat penting untuk diaplikasikan dalam sebuah
negara. Tentunya demokrasi merupakan model pemerintahan serta sistem yang baik

6

Syamsuddin Haris, Menggugat Politik Orde Baru (Jakarta: Grafiti Press, 1998), h. 49.
Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures (New York: Basic Books, 1973), h. 312.
8
Hasbi U ar, Paradig a Baru De okrasi di I do esia: Pe dekata terhadap Pe ilu
DPR/DPRD , Jurnal Innovatio, Vol.VII No.14 (Juli-September 2008), h. 315.
9

Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 461.
10
Sedarmayanti, Good Governance (Kepemerintahan Yang Baik) Dalam Rangka Otonomi Daerah
(Bandung: PT. Mandar Maju, 2003), h.13.

7

bagi sebuah negara, terutama bagi Indonesia. Sementara itu, tata kelola
pemerintahan memiliki peran sebagai penyempurna bagi adanya demokrasi yang
baik tersebut. Tata kelola pemerintahan dapat memberikan solusi bagi masalah
dalam setiap negara agar sebuah negara agar menjadi kuat dan maju. Tidak hanya
negara, dunia pun akan berubah apabila negara mengaitkan demokrasi dan tata
kelola pemerintahan dalam berbagai upaya dan permasalahan ketatanegaraan.11
Demokrasi dan tata kelola pemerintahan yang baik adalah unsur-unsur
penting untuk menciptakan sebuah perubahan positif bagi negara.12 Melalui tata
kelola pemerintahan yang baik dan melalui pemerintahan yang bersih, kompeten,
serta responsif. Demokrasi dapat menyelesaikan konflik separatis, mencapai
pertumbuhan ekonomi, memajukan penegakan keadilan, mendorong dinamika
sosial dan meningkatkan ketertiban umum.13 Tata pemerintah yang seperti inilah
yang menjadikan demokrasi menjadi berarti dan berfungsi.


11

Ibid., h. 18.
Pidato Susilo Bambang Yudhoyono, Jakarta, 23 Oktober 2005.
13
Ibid.

12