BAB III - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Makna Mena Muria bagi Masyarakat Aboru di Pulau Haruku

BAB III Mena Muria di Negeri Aboru

Bab ini akan membahas mengenai hasil penelitian di Aboru. Hasil penelitian ini berisi gambaran umum Negeri Aboru yang meliputi : sejarah terbentuknya Negeri Aboru, keadaan geografis dan batas wilayah, keadaan sosial-budaya, dinamika sosial-ekonomi, dan keadaan pendidikan. Dalam hasil penelitian ini juga akan memaparkan pemahaman orang Aboru terhadap Mena Muria yang merupakan hasil wawancara dengan para tokoh masyarakat, tokoh agama dan tokoh adat di Negeri Aboru terkait dengan pemaknaan masyarakat Aboru tentang Mena Muria.

Dalam bab sebelumnya telah dibahas tentang fungsi bahasa dalam sebuah masyarakat. Bahasa sangat erat kaitannya dengan proses sosialisasi dalam sebuah komunitas. Proses sosialisasi tentu terdapat komunikasi. Bahasa adalah salah satu media komunikasi verbal yang sering digunakan dalam proses sosialisasi. Hal ini memberikan petunjuk bahwa bahasa memegang peranan penting dalam proses sosialisasi. Selain memudahkan dalam proses sosialisasi, bahasa juga membantu mengidentifikasi individu atau kelompok. Bahasa dapat terbagi dalam berbagai rumpun bahasa. Rumpun bahasa mewakili letak geografis suatu

wilayah. Maluku misalnya termasuk dalam rumpun bahasa Austronesia 1 sama halnya dengan wilayah-wilayah di Nusantara. 2 Bahasa-bahasa di Maluku khususnya hanya digunakan dalam

acara-acara tradisional. Sehingga untuk komunikasi sehari-hari bahasa yang digunakan adalah bahasa melayu yang juga masih termasuk dalam rumpun bahasa Austronesia. Anehnya, khusus untuk bahasa-bahasa lokal Maluku Tengah masuk dalam rumpun bahasa Proto-Austranesia.

1 Rumpun bahasa Austronesia adalah sebuah rumpun bahasa yang sangat luas penyebarannya di dunia. Dari Taiwan dan Hawaii di ujung utara sampai Selandia Baru (Aotearoa) di ujung selatan dan dari

Madagaskar di ujung barat sampai Pulau Paskah (Rapanui) di ujung timur 2 R. Z Leirissa dan Djuariah Latuconsina, Sejarah Kebudayaan Maluku ( Jakarta : Ilham Bangun Karya,

Stresseman dan Collins melakukan penelitian di Maluku dan menemukan bahwa bahasa Maluku Tengah masuk dalam rumpun Proto-Autranesia tetapi dengan sub-bahasa

yang khusus yakni sub-bahasa Proto-Maluku. 3 Dalam bahasa Proto-Maluku terdapat 2 pembagian, yakni bagian barat dan bagian timur. Bagian barat mewakili bahasa di pulau Buru

dan Ambalau. Sedangkan bagian timur mewakili bahasa di Pulau Seram, Ambon, Haruku, Saparua dan Nusalaut. Selain berfungsi sebagai alat komunikasi, bahasa di Maluku juga mempunyai nilai historis. Ada begitu banyak peristiwa sejarah yang terjadi di Maluku, yang dituangkan didalam syair menggunakan bahasa lokal. Dua syair yang terkenal yakni Kapata dan Lania. Kapata merujuk pada syair-syair peperangan sedangkan Lania lebih merujuk pada kisah-kisah sedih, pengkhianatan dan duka. Mena Muria merupakan bagian dari rumpun bahasa proto-Maluku karena berasal dari bahasa Seram yang telah diklasifikasikan dalam rumpun bahasa tersebut. Mena Muria bagi orang Alune memiliki arti har fiah “maju tanpa mundur”. Dalam tradisi masyarakat Alune bahasa ini masih digunakan untuk menunjuk pada keadaan sosial masyarakat Alune. 4 Misalnya Sia Mena artinya orang yang dituakan. Orang

Alune tidak menyebutkan Muria tetapi mereka menyebutnya dengan sebutan Muli. Hal ini memperlihatkan ada perbedaan bunyi konsonan “R” dan “L” (huruf mati). Meskipun berbeda

bunyi namun setidaknya memiliki arti yang sama yakni merujuk pada yang “bungsu, kecil, atau yang palin g belakang.”

Ada beragam adat dan budaya dalam masyarakat Pulau Seram (khusus bagi orang Alune) mereka menyebutnya Hatu Mena dan Hatu Muli. 5 Menunjukkan pembagian dan

pemetaan masyarakat Alune di Seram. Bukan saja di Seram pesisir (Maluku Tengah), di daerah Seram Gunung seperti Maraina juga mempunyai penyebutan yang sama tetapi dengan makna yang berbeda. Mena Muria menurut masyarakat Maraina bukan merujuk pada

3 Ibid, 77. 4 Hasil Wawancara dengan Bpk. N.M di Desa Nuruwe Maluku Tengah, 30 April 2017. 5 Ibid.

pemetaan wilayah dan status sosial melainkan merujuk pada sumber daya alam yang ada di Seram. Mena dipahami sebagai bagian dari sumber daya laut dan Muria merujuk pada sumber daya digunung. Dalam pemahaman mereka, dengan sumber daya alam yang banyak maka masyarakat Maluku tidak perlu cemas sehingga muncul istilah Mena Muria menurut

pemahaman orang di Seram Gunung Maraina. 6 Lain halnya dengan masyarakat Maluku Tenggara mempunyai sebutan yang memiliki makna serupa dengan Mena Muria yakni Mena

Mole. Mereka meyakininya sebagai sebuah doa dan keyakinan bahwa pergi dan kembali juga dengan selamat. Begitu juga dengan masyarakat di Aboru, yang mempunyai pemahaman berbeda dengan orang Alune dan orang Maluku Tenggara. Seringkali Mena Muria dipahami secara politis. Dalam teori-teori bahasa ada kaitannya antara bahasa, kekuasaan dan politik. Bagaimana bahasa mempengaruhi masyarakat dan menjadi alat politik dan kekuasaan.

1. Gambaran Umum Negeri Aboru

1.1 Sejarah Negeri Aboru

Aboru berasal dari kata Aman Horui atau Ama Aharu yang berarti negeri baru. 7 Kenapa dinamakan negeri baru? Karena negeri ini baru ada setelah perang Amaika 8 . Sebelum itu

hanya ada negeri-negeri kecil yang menjadi hunian masing-masing marga, misalnya : Aman Iwa negeri marga Sinay, Aman Irai negeri marga Akihari. Dalam bahasa daerah setempat Negeri Aboru disebut dengan nama Lealohi Samasuru. Lea berarti memisahkan atau menggeserkan sedangkan Lohi berarti mengumpulkan atau mempersatukan. Samasuru berarti

6 Wawancara dengan Sekum GPM periode 2015-2020. Wawancara dilakukan pada hari Kamis, 13 April 2017 di Kantor Sekum Sinode GPM. Pada Pukul 11.00 WIT.

7 J. A. Pattikayhatu, Sejarah Negeri dan Jemaat GPM Aboru (12 Mei 1908-12 Mei 2008). ( Maluku : Panitia 100 Tahun Gedung Gereja Bethel Aboru, 2008) 1-2.

8 Perang Amaika adalah perang yang terjadi sekitar abad 14 di daerah pedalaman bagian Timur pulau Haruku. Kira-kira berjarak 3 KM dari daerah Aboru. Amaika adalah nama tempat yang merupakan pusat

perdagangan yang sangat strategis untuk melakukan proses tukar menukar hasil alam dengan para pedagang dari luar (Tiongkok). Bukan hanya pedagang dari Tiongkok melainkan juga pedagang dari Pulau Banda yang telah memegang kepercayaan Islam. Amaika menjadi salah satu negeri Islam di Pulau Haruku akibat kontak dengan pedagang dari Pulau Banda. Perang diduga terjadi akibat perebutan Negeri Amaika yang memiliki jalur strategis untuk perdagangan.

komunitas masyarakat yang dipisahkan tetapi kemudian dipersatukan yang tak lain adalah ciri khas dari sistem pengelompokan masyarakat Aboru.

Keterpisahan itu dulunya ditandai dengan adanya pemukiman masyarakat yang diberi nama dalam bahasa setempat Aman Irai, Aman Tawari, Aman Mahina, Aman Noi, Aman Ika,

Aman Latu 9 . Tempat atau pemukiman masyarakat yang dulunya dihuni oleh datu-datuk, tetapi kemudian dipersatukan kembali dalam satu pemukiman secara bersama dan

berdampingan yang kemudian disebut Negeri Aboru. Marga yang menjadi orang asli dari Negeri Aboru adalah : Saija, Sinay, Usmany, Nahumury, Teterissa, Akihary, Leuhery, Leuhena, Malawau, Mual, Tuankotta, Manusiwa, Pokomase, Riry, Tepal, Komas, Hendriks, Pattinama, Pattinussa, Lereth, De Fretes, Timisela, dll. Latar belakang sejarah terbentuknya Negeri Aboru seperti yang disebutkan diatas turut mempengaruhi sistem pengelompokan masyarakat. Negeri Aboru dalam pemetaan wilayah Negeri dibagi menjadi enam wilayah, yaitu : Kampong, Haour-Tanital, Negeri Baru, Waekenal, Salele, dan Naira.

Komunitas masyarakat yang ada dalam wilayah ini menunjukkan kekentalan emosional kelompok. Hal ini tergambar dalam konflik internal yang pernah terjadi dalam Negeri Aboru beberapa tahun silam, dalam konflik itu masing-masing kelompok mempertahankan integritas dan eksistensi kelompok. Masyarakat Aboru dikenal sebagai masyarakat yang militan dan militansi. Itu terwujud dalam tindakan dan tutur kata setiap hari, relasi dengan sesama, dan juga dengan lingkungan turut membentuk karakter masyarakat menjadi keras, kasar, panas, tapi ada saat-saat tertentu dimana masyarakat juga bisa bergaul atau berelasi dengan orang dan menyelesaikan masalah dengan kepala dingin. Meskipun demikian ada perbedaan yang sangat mencolok dan cukup tajam dalam pergaulan masyarakat Aboru dimana ada klasifikasi dalam pengelompokan masyarakat yang mana ada kelompok dalam atau anak Negeri (in group) dan kelompok luar atau orang dagang (out group), tetapi ada penghargaan yang tinggi

9 Data Renstra (Rencana Strategis) Jemaat GPM Aboru 2015-2020, Hal. 5 9 Data Renstra (Rencana Strategis) Jemaat GPM Aboru 2015-2020, Hal. 5

Sumber : Dokumentasi Pribadi Gambar (1) Jalan di Aboru Kampong

Sumber : Dokumentasi Pribadi

Gambar (2) Jembatan Aboru Kampong yang menghubungkan jalan menuju Naira

1.2 Keadaan Geografis dan Batas Wilayah Serta Keadaan Wilayah

A. Negeri Aboru secara geografis berbatasan dengan 10 : Sebelah Utara berbatasan dengan Negeri Pelauw

Sebalah Selatan berbatasan dengan Laut Banda

10 Data Statistik Negeri Aboru, Diambil di Kantor desa Negeri Aboru, 3 Mei 2017.

Sebelah Barat berbatasan dengan Negeri Wassu Sebelah Timur berbatasan dengan Negeri Hulaliu

Sumber : Kompasiana Gambar (3) Peta Aboru

Keberadaan menjadikan Negeri Aboru berada dalam teluk yang sangat indah dan dikelilingi oleh hutan yang sangat lebat yang kaya akan rempah-rempah sehingga membentuk letak aboru yang khas. Keberadaan Negeri Aboru yang terletak dalam teluk inilah yang membuat masyarakat dapat melakukan perjalanan dengan angkutan laut meskipun pada musim ombak, karena pelabuhan dalam teluk yang aman dari hantaman ombak. Daratan yang berbukit dan berbatu, dan dialiri oleh enam buah sungai yang membuat Negeri Lealohi Samasuru (Aboru) ini menjadi negeri yang berlimpah dengan air. Posisi yang cukup strategis ini juga memudahkan perjalana ke pulau Saparua yang bisa dilakukan dengan menggunakan angkutan laut pada setiap hari rabu dan sabtu yang adalah hari pasar. Jangkauan ke Ambon dilakukan dengan angkutan laut setiap hari kecuali hari Minggu, jangkauan ke pusat kecamatan yang terletak di Pelauw dilakukan apabila ada keperluan. Dengan menempuh jalur darat meskipun jalur darat kurang memadai karena kondisi jalan yang rusak, begitu juga dengan perjalanan ke pusat Kabupaten di Masohi. Keadaan iklim dan musim yang terjadi selama satu tahun yaitu :

Musim Timur pada bulan Maret-Juli

11 http://www.kompasiana.com/jpapilaya/aboru-basis-rms-republik-maluku- selatan_550b9f80a3331161192e3a88 Diunduh pada tanggal 05 Juli 2017 Pukul 23:08

Musim Pancaroba dari Timur ke Barat pada bulan Agustus Musim Pancaroba dari Barat ke Timur pada bulan Pebruari Musim Barat pada bulan September-Januari

B. Keadaan Penduduk

Negeri Aboru merupakan salah satu Negeri Sarani (Kristen) yang besar di Pulau Haruku. Seluruh penduduk yang bermukim di Aboru sebagai penduduk tetap seluruhnya beragama Kristen. Jumlah jiwa di Negeri Aboru berdasarkan pembagian menurut jenis kelamin adalah sebagai berikut :

Tabel 1. Jumlah Jiwa berdasarkan jenis kelamin No.

Sumber : Statistik Desa Aboru 2012

C. Keadaan Sosial-Budaya

Kebudayaan merupakan sesuatu yang sangat melekat dan berpengaruh dalam kehidupan masyarakat, hal ini memberi suatu hakikat nilai yang bertumpu atau bertaut erat dengan nilai masyarakat itu secara umum. Kebudayaan juga merupakan warisan berharga

tete-nene moyang 12 yang lalu menjadi tradisi terhadap peradaban hidup manusia atau masyarakat juga kelompok tertentu yang mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Di

Aboru ada lima Soa 13 , yaitu :

12 Tete Nene Moyang adalah sebutan bagi para leluhur atau nenek moyang. Biasanya istilah tete nene moyang dipahami sebagai roh para leluhur dan orang-orang tua. Keberadaan tete nene moyang biasanya

mendiami tempat-tempat tertentu. Misalnya, rumah adat atau pohon-pohon besar. 13 Soa adalah gabungan dari beberapa mata rumah atau klan tempat dimana masyarakat dalam

komunitas negeri adat berasal. Soa digunakan pada sekitar tahun 1500an saat bangsa penjajah (Portugis) masuk ke Maluku. Para budak atau pekerja mendirikan benteng yang disebut Soa untuk mempertahankan klan mereka. Di dalam soa mereka menjalankan aktivitas keseharian seperti biasanya, anggota soa biasanya adalah mereka yang masih mempunyai hubungan keluarga atau pertalian darah. Dalam perkembangannya Soa sudah lebih dari sekedar benteng pertahanan namun tempat dimana komunitas negeri adat berasal. Kumpulan

1. Soa Salahitu yang terdiri dari mata rumah atau marga : Saija, Leuhery, dan Pokomase

2. Soa Pelauw yang terdiri dari mata rumah atau marga : Akihary, Tuankotta, Manusiwa

3. Soa Rissa yang terdiri dari mata rumah atau marga : Sinay

4. Soa Hura yang terdiri dari mata rumah atau marga : Nahumury, Malawauw, Teterissa, Mual, Riry, Leuhena

5. Soa Patti yang terdiri dari mata rumah atau marga : Usmany

Aboru sama halnya dengan Negeri-Negeri lain di Lease yang masih melestarikan nilai- nilai adat yang diwariskan dari leluhur (tete nene moyang), Aboru juga adalah sebuah Negeri

adat dan termasuk dalam persekutuan adat Pata Siwa (Uli Siwa) 14 . Beberapa adat dan tradisi yang masih dijumpai dapat dicatat, yaitu :

1. Adat dan tradisi perkawinan yang mengandung nilai persatuan dalam ikatan hidup bersama suami dan istri.

2. Adat dan tradisi pengangkatan raja. Calon raja diberi mata rumah raja harus dikukuhkan dahulu secara adat dirumah adat Baileo, sebelum dilantik oleh Bupati dan pengukuhan di Gereja.

3. Tradisi tolong menolong atau Masohi dalam pekerjaan pembangunan fisik seperti pembangunan rumah tinggal dan pekerjaan ini tidak dikenakan biaya.

beberapa Soa akan membentuk sebuah Negeri atau Kampung. Nama-nama soa biasanya diidentikan dengan pembagian tugas dalam komunitas.

14 Secara etimologi Pata (sama dengan Uli) berarti kumpulan atau kelompok, Siwa berarti sembilan. Sebutan Pata Siwa biasanya digunakan juga dengan istilah Pata Lima atau kelompok lima. Pata Siwa Pata Lima

merujuk pada pengelompokan negeri-negeri di Maluku yang memiliki sistem adat yang sama. Pata Siwa Pata Lima berasal dari bahasa atau istilah asli (indigenous language) Maluku, keduanya berarti kelompok (grouping) atau bagian (division). Kata Pata sering digunakan dalam pergaulan masyarakat Maluku sehari-hari, yang mengandung arti bagian, misalnya: “sagu salempeng di-pata dua ” (artinya: Sagu satu buah dibagi dua). Pata

Siwa Pata Lima tidak terlepas dari cerita-cerita rakyat Maluku yang terbentuk di Seram (Pulau Ibu) yang diyakini sebagai asal muasal orang Maluku Tengah dan sekitarnya. Dalam pembagian sub-kelompok Pata Siwa terbagi lagi menjadi Pata Siwa hitam dan Pata Siwa putih. Pembagian kelompok dan sub-kelompok terdiri dari orang-orang atau klan yang merasa berasal dari satu keturunan. Gabungan Pata Siwa dan Pata Lima disebut sebagai Siwalima yaitu kelompok yang lebih besar gabungan dari hampir seluruh Negeri adat di Maluku yang termasuk dalam kelompok Pata Siwa dan Pata Lima.

4. 16 Adat dan tradisi Pela , Negeri Aboru mempunyai Pela dan Gandong dengan Negeri Booi di Pulau Saparua, Kariu di Pulau Haruku dan Hualoi (Islam) di Pulau Seram.

Bentuk persekutuan Pela ini sangat keras dan terikat oleh hukum adat yang ketat.

5. Upacara adat di rumah adat Baileo : Asariaman yang seperti upacara pelantikan raja, penyerahan harta kawin, musyawarah atau rapat Saniri 17 besar, dan upacara adat

lainnya. Selain itu, ada kebiasaan yang telah lama dilakukan dan masih dipertahankan yaitu bayat utang orang mati, kegiatan ini dilaksanakan pada saat ada orang Aboru yang meninggal. Semua masyarakat akan membantu dalam bentuk memberikan sumbangan uang secara sukarela. Sumbangan ini diberikan pada hari minggu setelah kematian dan besaran jumlahnya tergantung kerelaan keluarga tersebut. Sumbangan tersebut akan dicatat oleh pihak keluarga yang berduka sehingga bila kemudian hari ada keluarga yang tercatat mengalami kedukaan maka keluarga tersebut wajib membayar utang sesuai dengan besaran jumlah yang demikian. Ini adalah bentuk solidaritas masyarakat untuk membantu sesama yang berduka. Namun realita ini mengungkapkan bahwa solidaritas menopang keluarga yang berduka tidak nyata dalam ibadah pemakan ataupun ibadah penghiburan. Hanya sedikit saja orang yang mau datang dan beribadah

15 Pela adalah suatu sistem hubungan sosial yang dikenal dalam masyarakat Maluku berupa suatu perjanjian hubungan antara satu negeri (sebutan untuk kampung atau desa) dengan negeri lainnya, yang

biasanya berada di pulau lain dan kadang juga menganut agama lain di Maluku (Bahasa Ambon: Tapele Tanjong). Biasanya satu negeri memiliki paling tidak satu atau dua Pela yang berbeda jenisnya. Sistem perjanjian pela ini diperkirakan telah dikenal atau telah ada sebagai bagian kearifan lokal masyarakat Maluku sebelum masa kedatangan bangsa-bangsa Eropa, terutama Portugis dan Belanda; dan digunakan untuk memperkuat pertahanan terhadap penyerangan bangsa Eropa yang pada waktu itu melakukan upaya monopoli rempah-rempah.

16 Gandong adalah sistem hubungan sosial yang berupa kekerabatan antar Negeri (Kampung adat). Kekerabatan antar Negeri ini diyakini telah ada pada zaman dahulu kala saat nenek moyang turun dari gunung

di Pulau Seram untuk mencari tempat tinggal yang aman. Biasanya akan menempati pulau-pulau atau daerah- daerah baru yang belum disentuh oleh orang lain. Ditempat baru tersebut mereka akan berpisah dengan saudara mereka yang lain dan masing-masing mulai beranak cucu ditempatnya sendiri. setelah beranak cucu sekian banyak mereka mulai membentuk klan-klan yang nantinya akan membentuk negeri (desa atau perkampungan).

17 lembaga adat yang berperan mengayomi adat istiadat dan hukum adat. Saniri berperan membantu Raja atau Kepala Desan dalam menyelesaikan setiap perselisihan di lingkup negeri atau dusun. Saniri Negeri

beranggotakan sekelompok orang yang terdiri dari kepala-kepala soa yakni kepala dari beberapa marga atau fam (sebutan bagi sistem kekeluargaan di Maluku yang pada umumnya berdasarkan garis keturunan ayah) yang telah ditentukan secara turun temurun, pemuda, keamanan yang kerap berfungsi sebagai pihak yang dimintai nasehat atau masukan dalam penyelesaian suatu kasus/sengketa.

malah terkesan muka merah dan muka putih. Ini menunjukkan bahwa pemahaman terhadap rasa solidaritas “membayar utang” supaya nanti dibalas. Dan karena itu masih sangat diperlukan pembinaan untuk mengubah pola pikir masyarakat dalam

mengembangkan sikap solider. Selanjutnya budaya lain yakni sasi 18 masih dipertahankan oleh masyarakat Aboru guna menjaga kelestarian hasil bumi khususnya

tanaman kelapa. Namun seiring waktu makna sasi mengalami pergesaeran yang signifikan. Kini orang tidak lagi menghargai budaya tersebut, terlihat bahwa sekalipun kelapa sementara berada di masa sasi tetap saja di konsumsi untuk kebutuhan keluarga. Pemberlakuan sasi itu sendiri dilatar belakangi oleh beragam pemahaman, ada yang menganggap sasi kelapa hanya berlaku bagi pohon kelapa di dusun, di ewang, di hutan tetapi yang dipinggiran rumah tidak. Tidak adanya sanksi yang berat dan penerapan bentuk sasi yang tepat memungkinkan penyimpangan ini terus berlangsung. Peran pemerintah untuk menjaga kelestarian budaya sasi dirasa sangat lemah sehingga masyarakat bisa menyimpang dengan seenaknya. Terkesan tanggung jawab ini hanya menjadi tanggung jawab gereja.

18 Sasi dapat diartikan sebagai larangan untuk mengambil hasil sumberdaya alam tertentu sebagai upaya pelestarian demi menjaga mutu dan populasi sumberdaya hayati (hewani maupun nabati) alam

tersebut. Karena peraturan-peraturan dalam pelaksanaan larangan ini juga menyangkut pengaturan hubungan manusia dengan alam dan antar manusia dalam wilayah yang dikenakan larangan tersebut, maka sasi, pada hakikatnya, juga merupakan suatu upaya untuk memelihara tata-krama hidup bermasyarakat, termasuk upaya ke arah pemerataan pembagian atau pendapatan dari hasil sumberdaya alam sekitar kepada seluruh warga/penduduk setempat. Saat ini, sasi memang lebih cenderung bersifat HUKUM ADAT bukan tradisi, dimana sasi digunakan sebagai cara mengambil kebijakan dalam pengambilan hasil laut dan hasil pertanian. Namun, secara umum, sasi berlaku di masayarakat sebagai bentuk etika tradisional. Sasi tidak berhubungan dengan ritus kelahiran, perkawinan, kematian dan pewarisan, melainkan lebih cenderung bersifat tabu dan kewajiban setiap individu dan masyarakat dalam mengelola sumber daya alam yang dimiliki. Seperti yang kita tahu, bahwa taboo atau tabu berfungsi untuk menjaga kestabilan hidup masyarakat. Tabu seringkali dikaitkan dengan sesuatu yang terlarang, karena akan mengakibatkan dampak buruk bagi orang yang melanggar tabu

Sumber : Dokumentasi Pribadi Gambar (4) Baileo Sariaman Rumah adat Aboru

Sumber : Dokumentasi Janeman Nahumury Gambar (5) Gereja Induk di Aboru

D. Dinamika Sosial-Budaya

Relasi pela atau gandong Aboru dengan dua Negeri Kristen yakni Negeri Kariu dan Negeri Booi (Maluku Tengah) dan Negeri Hualoi (Seram Bagian Barat) sangat erat dikalangan keempat Negeri, ini adalah kearifan lokal yang terus menerus dipertahankan dari generasi ke generasi. Relasi ini sangat baik sehingga dalam kegiatan bersama yang berkaitan dengan pemerintah Negeri maupun dengan pelayanan gereja, ketiga Negeri ini selalu terlibat Relasi pela atau gandong Aboru dengan dua Negeri Kristen yakni Negeri Kariu dan Negeri Booi (Maluku Tengah) dan Negeri Hualoi (Seram Bagian Barat) sangat erat dikalangan keempat Negeri, ini adalah kearifan lokal yang terus menerus dipertahankan dari generasi ke generasi. Relasi ini sangat baik sehingga dalam kegiatan bersama yang berkaitan dengan pemerintah Negeri maupun dengan pelayanan gereja, ketiga Negeri ini selalu terlibat

ke generasi. Terkait dengan bahasa daerah memang hampir hilang. Hanya beberapa orang tua saja yang dapat menggunakannya. Mereka-mereka ini adalah tokoh adat di Negeri yang selalu menjadi juru bicara pada acara-acara adat di Baileo maupun dirumah warga. Bahasa daerah adalah media untuk mengkomunikasikan kekhasan atau ciri khas daerah.

Tradisi lain yang sampai kini dilakukan adalah pakaloi, yaitu suatu tradisi yang bermakna tolong menolong untuk memikul kayu guna membangun rumah. Pakaloi biasanya terjadi di minggu subuh, namun saat ini telah mengalami perubahan sesuai kesepakatan tiga batu tungku (Pemerintah adat, Gereja, dan Pendidikan) yakni tidak lagi di hari minggu tetapi di hari-hari lainnya. Perubahan ini disebabkan karena setelah pakaloi orang tidak lagi beribadah minggu. Hal ini kontras dengan perilaku para leluhur yang setelah memikul kayu mereka menyempatkan diri untuk beribadah.

E. Keadaan Sosial-Ekonomi

Data di bawah ini menunjukkan bahwa di dalam Negeri Aboru terdapat 51 orang PNS, 392 orang petani, 31 orang nelayan, 33 orang wirausaha, 10 orang pensiun, 12 orang peternak dengan demikian maka mata pencaharian pokok kebanyakan warga Aboru adalah petani. Pertanian yang digeluti masih terfokus untuk konsumsi sehari-hari, kalaupun itu produktif hanyalah dalam volume kecil dan waktu tertentu saja.

Tabel 2. Pekerjaan Pokok atau Mata Pencaharian No.

Tempat

PNS

Petani Nelayan Wirausaha

Pensiun Peternak

1 Naira

19 Data Renstra..., 18-19

4 Negeri Baru

Sumber : Statistik Negeri Aboru 2015

F. Keadaan Pendidikan

Tabel. 3. Keadaan Sarana Fisik Pendidikan No.

Keadaan Sarana Pendidikan

Sumber : Data Base Jemaat GPM Aboru 2015

Di Negeri Aboru terdapat 2 PAUD yang proses pendidikannya satu PAUD masih dilakukan di rumah warga dan satu lainnya meminjam ruangan SMP, belum ada gedung yang representatif untuk pengembangan pendidikan ini. Untuk menunjang keuangan PAUD maka dilakukan secara swadaya dari orangtua murid. Ada satu TK yaitu TK Bethel Aboru. TK ini milik gereja (YPPK), yang pengelolaannya oleh gereja. Tiga SD yaitu : SD Negeri 1 Aboru, SD Negeri 2 Aboru dan SD Negeri 3 Aboru yang bangunan fisik sekolah dibangun dan direhab oleh pemerintah. Satu SMP yaitu SMP Negeri 4 Pulau Haruku dan 1 SMA yaitu SMA Negeri 3 Pulau Haruku. Kondisi gedung SD Negeri 1 dan 2 cukup baik, namun SD Negeri 3 kondisinya sangat memprihatinkan. Ada beberapa gedung yang sudah rusak berat dan tidak dapat dipergunakan lagi. Hal yang lain adalah bahwa masih diperlukannya sarana prasarana penunjang pendidikan yang cukup banyak. Hal ini pun terjadi pada SMP Negeri 4

Pulau Haruku. Beberapa gedung sekolah yang sudah rusak sama sekali dan butuh perbaikan. SMA Negeri 3 Pulau Haruku, kondisi gedungnya masih baik bahkan sangat terawat.

Tabel 4. Jumlah Tamatan berdasarkan jenjang pendidikan Jenjang Pendidikan SD

S2 S3 Jumlah

SMP

SMA

D1-D3 S1

Sumber : Data Base Jemaat Aboru 2015

Data ini menunjukkan ada 629 orang tamatan SD, 197 Orang tamatan SMP, 346 orang tamatan SMA dan yang sederajat (STM, PGA, SPG), 44 orang tamatan D1-D3, 26 orang tamatan S1 dan 1 orang tamatan S2.

2. Pemahaman Orang Aboru tentang Mena Muria

Mena Muria telah ada sejak lama dalam kehidupan masyarakat Maluku umumnya. Asal usul kata Mena Muria tidak terlepas dari sejarah dan asal usul orang Maluku bahwa dari Pulau Seram-lah semuanya berasal. Orang-orang di Pulau Seram diyakini merupakan peradaban yang paling tua bagi orang Maluku, khususnya Maluku Tengah dan sekitarnya.

Sehingga pemahaman mengenai kata Mena Muria dianggap berasal dari Pulau Seram. 20 Secara Etimologi Mena berarti “Di depan” Muria berarti “Di belakang”. Sehingga ketika

dipadankan akan membentuk kata Mena Muria “Depan Belakang Siap”. Mena Muria dipahami dengan berbagai pandangan yang berbeda dalam masyarakat Maluku. Orang Aboru yang mendiami Pulau Haruku mempunyai pemahaman yang berbeda dengan orang di Pulau

Seram mengenai Mena Muria. 21

Bagi masyarakat Aboru Mena Muria bukan hanya memiliki makna harafiah depan belakang siap 22 , sama seperti pemahaman masyarakat di Maluku pada umumnya melainkan

mempunyai arti “Yang didepan (biasanya yang dituakan, yang dihormati atau yang memiliki

20 Hasil Wawancara dengan Bpk. N.M di Desa Nuruwe Maluku Tengah, 30 April 2017. 21 Hasil Wawancara dengan Bpk. E.S di Aboru, 3 Mei 2017 22 Hasil Wawancara dengan Bpk. E.S di Aboru, 3 Mei 2017 20 Hasil Wawancara dengan Bpk. N.M di Desa Nuruwe Maluku Tengah, 30 April 2017. 21 Hasil Wawancara dengan Bpk. E.S di Aboru, 3 Mei 2017 22 Hasil Wawancara dengan Bpk. E.S di Aboru, 3 Mei 2017

kata Mena Muria yang seperti memiliki unsur magis dan pengaruh yang kuat bagi masyarakat Aboru.

Selain memiliki arti yang demikian Mena Muria juga diintepretasikan “sekali maju maka maju terus” menurut beberapa tokoh adat dan tokoh masyarakat Negeri Aboru. 24

Berbeda dengan pemahaman masyarakat Nuruwe di Pulau Seram Maluku Tengah yang merupakan komunitas masyarakat pengguna bahasa Alune yang mengatakan bahwa Mena Muria adalah bahasa asli mereka. Orang aboru meyakini bahwa bahasa Mena Muria muncul

ketika kepala alifuru 25 turun dari gunung Hu’Ur Walu. Mereka meyakini orang alifuru adalah salah satu suku asli Maluku yang diyakini bukan hanya berasal dari pulau Seram (Pulau

ibu/Nusa Ina) tetapi berasal juga dari pulau Haruku (pulau bapa/ Nusa Ama). 26 Dibawah kepemimpinan kepala Alifuru yang diyakini oleh orang Aboru berdiam di gunung Hu’Ur

Walu, orang-orang dibawa keluar dari gunung untuk mendiami tempat didaerah pesisir. Orang-orang yang keluar dari gunung meyakini bahwa ada tempat tinggal lain selain gunung

Hu’ur Walu yang bisa ditempati dengan sumber daya alam yang cukup bagi keberlangsungan hidup mereka.

23 Hasil Wawancara dengan Bpk B.M di Aboru, 4 Mei 2017 24 Hasil Wawancara dengan Bpk E.S, Bpk. B.M, Bpk. O.U di Aboru, 5 Mei 2017

25 Kepala Alifuru adalah pemimpin Suku Alifuru. Alifuru adalah suku asli di Maluku yang mendiami wilayah Pulau Seram. Alifuru berasal dari bahasa Belanda Alfuren yang digunakan untuk menyebut pribumi

non-muslim. Suku Alifuru masih ada sampai saat ini, hidup di pedalaman Pulau Seram. Tak jarang mereka turun ke perkampungan warga untuk melakukan transaksi jual beli.

26 Hasil Wawancara dengan Bpk. B.M, di Aboru, 4 Mei 2017.

Ketika melakukan perjalanan menuju ke pesisir sang kepala Alifuru yang menjadi pemimpin didepan untuk memastikan jalan yang akan dilalui oleh kelompoknya aman dari bahaya. Ia harus memantau keadaan kelompoknya yang tidak berjumlah sedikit. Formasi kelompok disusun kepala alifuru di depan, diikuti oleh kelompoknya (biasanya terdiri dari wanita dan anak-anak juga yang sudah lanjut usia) sedangkan para lelaki akan berjaga di belakang kelompok dan samping kiri kanan. Hal ini dilakukan untuk menghindari ancaman yang datang tiba-tiba yang bisa saja menyerang kelompok. Sehingga orang-orang yang memiliki keberanian dan mampu bela diri ditempatkan disisi belakang dan samping kelompok yang akan bermigrasi ke pesisir. Dalam perjalanan, untuk memastikan semuanya aman maka pemimpin di depan atau kepala Alifuru akan berteriak Mena (dalam hal ini artinya jalan yang didepan yang akan dilalui kelompoknya telah aman). Teriakan tersebut akan dibalas Muria oleh orang-orang dibelakang untuk memastikan bahwa kelompok akan menuju ke depan, sementara di bagian belakang aman tidak ada gangguan. Teriakan ini dimaksudkan karena saat melakukan migrasi, mereka berjalan dalam kelompok yang besar. Untuk menghemat waktu mereka melakukannya dengan cara diteriakan.

Selain karena mereka berjalan dengan kelompok yang besar mereka juga berhadapan dengan medan yang sulit. Gaya komunikasi berteriak dipengaruhi oleh kondisi geografis mereka. Perjalanan dari Gunung ke pesisir akan melewati tebing-tebing yang curam, jurang, sungai-sungai besar dan hutan yang lebat. Kondisi seperti ini tidak memungkinkan orang

berkomunikasi dengan suara yang pelan tetapi harus lantang dan tegas. 27 Setelah sampai ke pesisir, kelompok tadi akan berpencar mencari tempat-tempat yang aman dan mulai

membangun perkampungan. Tidak sedikit yang membuat perahu untuk pergi ke pulau lainnya yang berdekatan dengan Pulau Haruku. Ada yang ke Saparua sampai ke Pulau Seram dan Pulau Ambon. Setelah kelompok mendapat tempat tinggal di daerah pesisir, maka

27 Hasil Wawancara dengan Bpk. B.M, di Aboru, 4 Mei 2017.

pemimpin akan kembali ke gunung untuk tinggal disana dengan beberapa orang yang memilih mempertahankan daerah mereka di gunung.

Dalam beberapa waktu mereka akan turun dari gunung untuk memastikan keadaan di pesisir aman atau ketika mereka sedang membutuhkan pertolongan dari orang pesisir. Mena Muria dianggap sebagai kata khas atau bisa diartikan juga salam khas orang Maluku tempo dulu. Mena Muria tidak selalu diucapkan dalam keseharian masyarakat Aboru. Mena Muria bukan hanya digunakan saat melakukan migrasi dari gunung ke pesisir, namun pada saat kondisi tertentu yang melibatkan kelompok yang cukup besar. Misalnya, pada saat perang.

Perang antar kelompok sering terjadi pada zaman dulu dengan berbagai macam motif. 28 Perang biasanya dipicu karena perebutan tempat tinggal, perebutan lahan dan lain

sebagainya. Dalam berperang antar kelompok akan melibatkan banyak orang. Untuk memobilisasi massa yang ikut perang maka teriakan Mena Muria dilantangkan. Dalam hal ini berarti orang dalam kelompok siap untuk berperang. Jika kemenangan berhasil diraih maka pekikan Mena Muria akan lebih gaung diperdengarkan sebagai tanda kami maju berperang dan kemenangan mengikuti kami.

Pengucapan Mena Muria memiliki khazanah yang berbeda pada setiap konteksnya. Misalnya pada saat melakukan migrasi, Mena Muria adalah seruan untuk menginformasikan kepada kelompok bahwa perjalanan mereka aman, jalur-jalur migrasi bebas dari ancaman. Mena Muria dalam kepentingannya sebagai pekikan dalam perang juga berbeda. Mena Muria ketika persiapan perang dan selama peperangan berlangsung adalah sebagai aba-aba atau penanda bahwa siap untuk berperang. Mena Muria diucapkan ketika menang perang pun memiliki dimensi yang berbeda, saat memenangkan perang maka Mena Muria diucapkan sebagai sebuah rasa syukur serta rasa semangat yang harus dibagikan kepada orang lain dalam komunitas. Zaman dulu Mena Muria diucapkan beriringan, Mena diucapkan oleh

28 Hasil Wawancara dengan Bpk J.P, di Rumahtiga, 8 Mei 2017.

pemimpin kemudian Muria diucapkan oleh pengikut atau rakyat. Mena Muria kemudian menjadi kata yang sangat disakralkan karena digunakan pada momen tertentu pada zaman dulu. Sejauh ini yang dipahami masyarakat Aboru di Pulau Haruku, Mena Muria pada zaman dulu diucapkan pada saat melakukan perang dan melakukan migrasi.

Dulu Mena Muria telah dianggap sebagai salam atau seruan yang sakral dalam komunitas masyarakat Maluku umumnya. Berbeda halnya dengan pemaknaan Mena Muria pada masa sekarang. Pada Tahun 1950 terjadi gejolak sosial politik di Maluku dengan

munculnya sebuah organisasi separatis Republik Maluku Selatan di Indonesia. 29 RMS dengan menggunakan semboyan Mena Muria pada atributnya telah menggeser makna kultural Mena

Muria . Dewasa ini, orang-orang Maluku umumnya dan orang-orang Aboru khususnya sangat berhati-hati ketika mengucapkan Mena Muria. Sudah tidak ada lagi nuansa kultural dalam kata ini. Ketika berbicara mengenai Mena Muria ada kesan traumatik yang sangat mendalam bagi orang Aboru. Hal ini terkait dengan ditangkapnya beberapa orang Aboru pada tahun 2007 ketika terlibat dalam kasus upacara Hari Keluarga Nasional tahun 2007 silam.

Akibatnya pelabelan yang diberikan kepada orang Aboru terkesan menghakimi dan terstigma bahwa seluruh orang Aboru terkait dengan organisasi seperatis. Telah terjadi perubahan makna Mena Muria dalam pemahaman masyarakat Aboru. Mena Muria bukan lagi dipahami secara harafiah sebagaimana adanya, namun selalu disisipi muatan-muatan politik. Mena Muria dipahami sebagai sebagai seruan untuk perjuangan, namun perjuangan yang dimaksudkan adalah perjuangan yang berhubungan dengan gerakan-gerakan sosial- politik. Pemahaman tentang Mena Muria tidak terlepas dari berbagai perspektif. Perbedaan perspektif mengenai makna Mena Muria terjadi dalam komunitas masyarakat Aboru.

29 Hasil Wawancara dengan Bpk. S.W, di Ambon, 9 Mei 2017

Beberapa orang mengklaim bahwa Mena Muria adalah sesuatu yang dijanjikan kepada masyarakat Aboru yang akan menjadi agen perubahan sosial-politik. Karena sifatnya yang magis dan memiliki nuansa spiritual (diyakini memiliki kekuatan) maka orang-orang Aboru

harus melakukan perjuangan ketika Mena Muria telah dikumandangkan. 30 Kata Mena Muria adalah kata yang sakral yang tidak terlepas dari masyarakat Maluku terlebih orang Aboru. 31

Belakangan Mena Muria selalu dipahami sebagai kata perjuangan terhadap Republik Maluku Selatan. Namun sebenarnya Mena Muria ini sangat sakral, mengandung sebuah rasa hormat dan tanggung jawab besar ketika mengatakan kata ini. Tidak ada batasan untuk menggunakan kata Mena Muria. Dalam hal apapun tetap dapat dikatakan secara bebas tanpa ada unsur politik. Sangat disayangkan apabila warisan budaya ini disalah artikan.

Memang pada kenyataannya Mena Muria telah melekat dalam kehidupan orang Maluku seperti momok yang menakutkan. Takut apabila diucapkan maka akan dianggap sebagai para pejuang gerakan separatis. Anggapan-anggapan Mena Muria terkait dengan RMS dan Mena Muria sungguh sangat disayangkan. Mena Muria adalah seruan untuk mengajak atau memberikan semangat kepada sesama orang Maluku dan membangkitkan rasa

persatuan. 32 Namun tidak dipungkiri bahwa sejak kecil pelabelan terhadap Mena Muria sebagai hal yang sangat terlarang telah diwariskan turun tumurun yang akhirnya membuat

ketakutan dalam masyarakat Maluku. Pelekatan identitas orang Aboru yang mengucapkan Mena Muria adalah simpatisan yang terlibat dalam perjuangan gerakan sosial-politik tetapi kenyataannya tidak demikian. Mena Muria telah diberi arti baru yang berbeda dengan Mena Muria sebelum tahun 1950.

Nilai-nilai kultural tidak ada pada kata Mena Muria melainkan unsur politik. Bahkan untuk mengucapkan kata yang menjadi identitas masyarakat Maluku ini pun dilakukan secara

30 Hasil Wawancara dengan Bpk E.S, Bpk. B.M, Bpk. O.U di Aboru, 5 Mei 2017 31 Hasil Wawancara dengan Bpk. F.N, di Rumahtiga, 8 Mei 2017 32 Hasil Wawancara dengan Ibu IL, di Aboru, 5 Mei 2017 30 Hasil Wawancara dengan Bpk E.S, Bpk. B.M, Bpk. O.U di Aboru, 5 Mei 2017 31 Hasil Wawancara dengan Bpk. F.N, di Rumahtiga, 8 Mei 2017 32 Hasil Wawancara dengan Ibu IL, di Aboru, 5 Mei 2017

pihak yang berwajib. 33 Segala gerak-gerik orang Aboru telah menjadi perhatian semua kalangan.

Para tetua di Aboru mengatakan sekarang di Aboru tidak lagi menggunakan semboyan Mena Muria 34 baik dalam acara adat maupun tari-tarian. Tari-tarian yang biasanya dilakukan

saat menyambut tamu kehormatan, tari-tarian dalam rangka acara adat dan lain sebagainya tidak lagi diiringi dengan pekikan Mena Muria. Biasa dalam tarian khas Maluku yang sering diperagakan oleh orang-orang di Maluku Tengah dan sekitarnya seperti tarian cakelele yang begitu khas dengan nuansa peperangan, pekikan Mena Muria bahkan tidak diucapkan akibat rasa khawatir akan disalah tafsirkan oleh kebanyakan orang. Biasa dalam tarian perang itu akan diteriakan Mena Muria dan Lawamena Haulala untuk membangkitkan semangat para penari. Tarian cakalele dilakukan oleh para lelaki secara berkelompok dengan membawa parang (senjata khas Maluku) dan salawaku (perisai) tidak lupa juga mengunakan kain berang berwarna merah yang melambangkan keberanian. Para penari akan ditato dengan tinta non-permanen berbagai simbol khas daerah Maluku, mereka juga melumuri badan dengan arang agar terlihat hitam. Dalam barisan tarian, gerakan-gerakan perang diperagakan. Tak

33 Hasil Wawancara dengan Bpk. B.M, Di Aboru, 4 Mei 2017. 34 Hasil Wawancara dengan Bpk E.S, di Aboru, 3 Mei 2017 33 Hasil Wawancara dengan Bpk. B.M, Di Aboru, 4 Mei 2017. 34 Hasil Wawancara dengan Bpk E.S, di Aboru, 3 Mei 2017

Mereka memekikan suara tanpa teriakan Mena Muria didalamnya. Mena Muria dianggap terlalu sensitif di daerah Maluku umumnya dan di Aboru khususnya. Sebagian besar masyarakat Aboru akan sangat berhati-hati ketika mengatakan Mena Muria. Mereka telah melihat sendiri bagaimana tindakan aparat terhadap segala bentuk gerakan-gerakan sosial politik dalam usaha separatisme. Kesadaran terhadap Mena Muria yang adalah warisan budaya ada dalam benak mereka, tetapi telah lama mereka hidup dalam suatu doktrin politis bahwa Mena Muria adalah seruan untuk melakukan perlawanan serta salam khas yang biasanya diucapkan oleh para anggota dan simpatisan RMS ketika bertemu satu sama lain. Mena Muria yang dipahami secara kontemporer inilah yang selalu menjadi perhatian aparat keamanan juga menjadi perhatian publik. Bagaimana cara RMS mengenali sesamanya

pejuangnya adalah dengan mengatakan Mena Muria. 35

Mena Muria sangat khas dalam memberikan semangat, keyakinan, doktrin terhadap hal-hal yang berkaitan dengan gerakan sosial-politik. Mena Muria bukan hanya dekat dengan masyarakat Aboru, Mena Muria juga telah lama hidup dalam tradisi orang-orang di Maluku Tengah seperti di Pulau Saparua dan Pulau Seram. Namun dalam kaitannya dengan gerakan sosial politik di Maluku, Aboru selalu dikaitkan didalamnya. Orang Aboru telah hidup lama dengan identitas yang demikian. Pada akhirnya mereka juga memiliki pelabelan terhadap diri mereka sendiri seperti yang telah diidentitaskan orang pada umumnya. Bukan saja Mena Muria , melainkan hal-hal lain yang berkaitan dengan RMS mereka simpan dengan keyakinan bahwa suatu saat akan terjadi perubahan sosial politik oleh gerakan-gerakan yang dilakukan.

35 Hasil Wawancara dengan Bpk. S.M, di Ambon, 9 Mei 2017

Sumber : Dokumentasi Pribadi

Gambar (6) Hiasan dinding di Rumah Salah Seorang Warga Aboru, yang memiliki

unsur empat warna bendera RMS yakni (Merah, Putih, Biru dan Hijau)

Mena Muria dan berbagai hal lainnya yang berkaitan dengan atribut RMS akan dipandang sebagai sesuatu yang sangat tabu untuk dibicarakan. Tabu dibicarakan didepan umum tetapi untuk berbicara secara diam-diam dalam komunitas tertentu sering dilakukan. Mena Muria secara kontemporer banyak ditafisirkan. Penafsiran makna Mena Muria yang terkesan bebas dan secara liar ini pada ujungnya akan merujuk pada gerakan-gerakan sosial politik. Mena Muria sebagai salam khas dan semboyan RMS tersirat dalam aktivitas komunikatif yang dilakukan. Sebagai contoh saat penumpasan RMS di Ambon berakhir keadaan ekonomi di Ambon tidak stabil. Ada sebagian tentara pejuang RMS yang menyerahkan diri, ada yang masih bergerilya bersama kelompoknya dan ada juga yang lari ke Belanda menggunaka kapal sambil melakukan teriakan “Mena Muria!! Merdeka” dari atas kapal diiringi lambaian lenso (saputangan) putih sebagai tanda perpisahan. 36

Mena Muria yang diteriakan diatas kapal bermakna “kami pergi (ke Belanda) namun perjuangan kami tidak selesai sampai disini ”. Atau juga dapat dipahami sebagai mereka yang

36 Hasil Wawancara dengan Bpk. F.U di Aboru, 4 Mei 2017 36 Hasil Wawancara dengan Bpk. F.U di Aboru, 4 Mei 2017

membawanya ke Ambon dan seterusnya ke Jakarta untuk diadili. 37 Saat itu para penari perempuan menggunakan kebaya putih dengan saputangan putih menari di pinggir pantai

meratapi kepergian Soumokil dengan lambaian tangan dan dibalas oleh Soumokil, “Mena Muria !!”.

Mena Muria dalam hal ini mempunya nuansa yang juga berbeda. Yakni Mena Muria yang bermakna perjuangan belum berakhir. Maka itu tidak dapat ditafsirkan makna Mena Muria kontemporer dengan satu acuan. Karena Mena Muria yang kontemporer dan politis ini banyak sekali melahirkan tafsiran-tafsiran sesuai konteks. Masyarakat Aboru adalah

penduduk yang homogen, dengan kepercayaan kristiani yang sangat kuat. 38 Cerita-cerita mengenai Mena Muria juga dipahami adalah sebagai bentuk perintah Tuhan. Mena Muria

sering dikaitkan dengan Alfa dan Omega, yang awal dan yang akhir. Mena Muria juga dipahami sebagai sebuah keyakinan yang teguh terhadap penyertaan yang Ilahi. Penyertaan yang Ilahi itu ada dalam suatu pemaha man “pergi (Mena) dan kembali (Muria) dengan diberkati. Ada begitu banyak tafsir simbolis yang terkandung dalam Mena Muria. Masyarakat tidak lagi kembali pada aspek epistemik Mena Muria, tetapi lebih mengaitkan dengan nuansa etnis-religius maupun etnis-politis. Namun yang masih diyakini adalah Mena Muria adalah ungkapan pesan yang dapat ditafsirkan secara bebas.

37 Hasil Wawancara dengan Bpk. N.M di desa Nuruwe, 30 April 2017 38 Hasil Wawancara dengan Bpk. B.M, Di Aboru, 4 Mei 2017.

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pemaknaan Mena Muria

Perkembangan mengenai pemaknaan Mena Muria bagi orang Aboru di Pulau Haruku tidak terlepas dari berbagai faktor. Menurut narasumber 39 , sedikitnya ada empat faktor yang

urut mempengaruhi pemaknaan Mena Muria antara lain : Faktor pendidikan, faktor sosial- budaya, faktor politik dan faktor kesejarahan.

1. Faktor Pendidikan.

Dalam masyarakat, pendidikan sangat berkaitan erat dengan pengetahuan. Pendidikan bisa saja mempengaruhi individu maupun kelompok dalam masyarakat. Di Aboru, faktor pendidikan sangat terlihat jelas memberikan pengaruh yang sangat signifikan bagi pemahaman orang Aboru terhadap Mena Muria. Pengetahuan yang didapatkan secara formal disekolah dapat menstimulasi pemikiran masyarakat untuk lebih berpikir kritis. Pelajaran yang didapatkan secara formal tidak memberikan ruang bagi kebudayaan. Dalam pelajaran muatan lokal tidak diberikan pengetahuan tentang bahasa daerah atau sejarah lokal masyarakat. Selain itu, tingkat minat belajar rata-rata masyarakat Aboru di Pulau Haruku hanya sebatas sekolah menengah atas. Berbeda dengan masyarakat Aboru yang ada diperantuan yang memilih untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Masyarakat Aboru yang tinggal dan menetap di Pulau Haruku sebagaian besar memilih untuk tidak melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi melainkan mencari pekerjaan sebagai nelayan, petani atau pengemudi speed boat sebagai transportasi dari Aboru ke pusat kota di Ambon. Karena tuntutan hidup yang begitu besar sehingga mau tidak mau mereka akan memilih bekerja membantu perekonomian keluarga dibandingkan pergi ke Ambon untuk menempuh

39 Hasil Wawancara dengan Ibu T.L, di Aboru, 2 Mei 2017, Bpk. B.M, Bpk. O.U, Bpk, E.S di kediaman masing-masing pada tanggal 3, 4, dan 8 Mei 2017.

pendidikan yang lebih tinggi. Dari sekian banyak penduduk di Aboru dengan usia produktivitas 16-30 tahun, kurang dari separuh yang memilih untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi yang diharapkan mampu memberikan ruang berpikir yang lebih baik bagi generasi muda Aboru. Kesulitan ekonomi juga menjadi faktor penentu terhambatnya proses pendidikan anak-anak muda di Aboru untuk ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Kebanyakan masyarakat Aboru yang bekerja sebagai petani dan nelayan tidak memiliki penghasilan yang cukup untuk menyekolahkan anak-anak mereka ke perguruan tinggi. Menurut salah satu narasumber BM, bukan hanya masalah ekonomi yang menghambat perkembangan pengetahuan. Tetapi dari pemerintah sendiri yang tidak mempunya program bahasa daerah yang diajarkan di lembaga pendidikan formal. Akibatnya untuk mempertahankan bahasa- bahasa daerah sebagai identitas lokal masyarakat tidak bisa dilakukan. Hal ini juga turut dipengaruhi oleh terbatasnya tenaga pengajar yang memiliki kemampuan muatan lokal dalam hal ini bahasa daerah.

2. Faktor Sosial-Budaya

Pemahaman Mena Muria bagi masyarakat Aboru juga tidak terlepas dari faktor sosial- budaya. Keadaan sosial di Aboru sangat dipengaruhi oleh bekas kolonialisasi yang menyisakan berbagai pengaruh yang cukup besar. Pengaruh kolonial sangat terasa mengikis kebudayaan yang ada di Aboru. Aboru sangat terkenal dengan komunitas masyarakat yang memiliki ikatan sosial yang sangat kuat. Pakaloi adalah salah satu bentuk solidaritas yang dimiliki oleh masyarakat Aboru. Pakaloi berarti saling

membantu sesama 40 . Biasanya Pakaloi dilakukan secara gotong royong ketika salah satu warga Aboru membutuhkan bantuan. Secara spontan langsung dilakukan tanpa

` 40 Hasil Wawancara dengan Bpk. B.M di Aboru, 4 Mei 2017 ` 40 Hasil Wawancara dengan Bpk. B.M di Aboru, 4 Mei 2017

falsafah hidup yang dipegang kuat teguh ini tidak sejalan dengan kesadaran akan bahasa yang hampir hilang. Kedatangan bangsa kolonial ke Aboru membuat pola komunikasi dalam masyarakat yang didominasi oleh bangsa kolonial merubah tatanan bahasa yang ada. Orang-orang Aboru jarang menggunakan bahasa asli, sebagai gantinya mereka melakukan komunikasi dengan menggunakan bahasa melayu-ambon yang lebih dimengerti oleh bangsa kolonial. Keterikatan masyarakat Maluku pada umumnya dan masyarakat Aboru pada khususnya dengan bangsa penjajah dalam hal ini bangsa Belanda sangat terjalin erat. Bahkan ketika pemulangan bangsa Belanda ke tanah asal mereka banyak orang Aboru yang diikutkan serta sebagai anak angkat, saudara bahkan sebagai pasangan suami atau istri. Karena hubungan-hubungan inilah maka kebanyakan orang Aboru dewasa ini sangat mengidentikan diri sebagai bagian

dari orang-orang Belanda. 42

41 Ibid 42 Hasil Wawancara dengan Ibu I.L di Aboru, 5 Mei 2017

3. Faktor Politik

Dokumen yang terkait

Revolusi Hijau dan Kerusakan Lingkungan (Tinjauan Ekoteologi terhadap Pandangan Masyarakat Desa Kotabes, Kecamatan Amarasi- NTT tentang Pengaruh Revolusi Hijau dalam Bertani) TESIS Diajukan kepada Program Studi: Magister Sosiologi Agama, Fakultas: Teologi

0 0 14

2. IDENTITAS SOSIAL BAGI MASYARAKAT KARO DIASPORA 2.1. Pendahuluan. - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Rakut Si Telu: Studi Sosiologis terhadap Rakut Si Telu sebagai Identitas Sosial bagi Masyarakat Karo Diaspora Yogyakarta

0 0 22

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Rakut Si Telu: Studi Sosiologis terhadap Rakut Si Telu sebagai Identitas Sosial bagi Masyarakat Karo Diaspora Yogyakarta

0 0 45

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Rakut Si Telu: Studi Sosiologis terhadap Rakut Si Telu sebagai Identitas Sosial bagi Masyarakat Karo Diaspora Yogyakarta

0 1 37

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Permasalahan Psikososial Warga Binaan Dikaji dari Perspektif Konseling Masyarakat

0 0 8

2.1. Pemahaman Tentang Konseling Masyarakat - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Permasalahan Psikososial Warga Binaan Dikaji dari Perspektif Konseling Masyarakat

0 0 15

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Permasalahan Psikososial Warga Binaan Dikaji dari Perspektif Konseling Masyarakat

0 1 22

4.1. Permasalahan Psikosoial Warga Binaan Di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Kalabahi-Alor Di Kaji Dari Perspektif Konseling Masyarakat - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Permasalahan Psikososial Warga Binaan Dikaji dari Pers

0 0 8

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Makna Mena Muria bagi Masyarakat Aboru di Pulau Haruku

0 0 12

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Makna Mena Muria bagi Masyarakat Aboru di Pulau Haruku

0 0 18