ASTRID INDI DWISTY ANWAR 051301007

HUBUNGAN ANTARA SELF-EFFICACY DENGAN KECEMASAN BERBICARA DI DEPAN UMUM PADA MAHASISWA FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persyaratan

Ujian Sarjana Psikologi

Oleh

ASTRID INDI DWISTY ANWAR FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

GANJIL, 2009/2010

Hubungan antara Self-efficacy dengan Kecemasan Berbicara Di depan Umum Pada Mahasiswa Fakultas Psikologi Univeristas Sumatera Utara

Astrid Indi Dwisty Anwar dan Rr. Lita Hadiati W.

ABSTRAK

Kecemasan berbicara di depan umum merupakan salah satu ketakutan terbesar yang dialami oleh manusia. Kecemasan ini menghasilkan pengaruh yang negatif terhadap berbagai aspek kehidupan, salah satunya aspek akademis. Penanganan kecemasan antara satu individu dengan individu lainnya dapat berbeda tergantung pada penilaian pribadi individu terhadap kemampuannya yang disebut self-efficacy (Sarafino, 1994). Self-efficacy akan mempengaruhi cara individu dalam bereaksi terhadap situasi yang menekan (Bandura, 1997)

Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat korelasional yang bertujuan untuk mengetahui hubungan antara self-efficacy dengan kecemasan berbicara di depan umum pada mahasiswa.

Sampel penelitian ini adalah 184 orang mahasiswa Fakultas Psikologi USU. Penelitian ini menggunakan dua buah skala sebagai alat ukur, yaitu Skala Self-efficacy dan Skala Kecemasan berbicara di depan umum yang disusun sendiri oleh peneliti dalam bentuk Skala Likert berdasarkan aspek-aspek self-efficacy (Bandura, 1997) dan komponen kecemasan berbicara di depan umum (Rogers, 2004). Skala Self-efficacy nilai reliabilitas (r xx )=0.907 dan terdiri dari 39 aitem, sedangkan Skala Kecemasan Berbicara Di Depan Umum nilai reliabilitas (r xx )=0.948 dan terdiri dari 52 aitem.

Analisa penelitian menggunakan korelasi Pearson Product Moment. Berdasarkan hasil analisa ditemukan bahwa terdapat hubungan negatif antara self- efficacy dengan kecemasan berbicara di depan umum dengan nilai r = -0,670, ρ (0,01). Artinya semakin tinggi self-efficacy mahasiswa maka akan semakin rendah tingkat kecemasannya berbicara di depan umum, dan sebaliknya, semakin rendah self-efficacy mahasiswa maka tingkat kecemasan berbicara di depan umum akan semakin tinggi.

Kata kunci : self-efficacy, kecemasan berbicara di depan umum

Relationship between self-efficacy and public speaking anxiety among students in Psychology Faculty of North Sumatera University

Astrid Indi Dwisty Anwar dan Rr. Lita Hadiati W.

ABSTRACT

Public speaking anxiety is one of greater fear that human faced. This anxiety causes the negative influence for some aspects of life, one of them is academic aspect. The handling of the anxiety is different between one person to others depends on their individual assessment of their ability called self-efficacy (Sarafino, 1994). Self-efficacy will affect their way reacting to pressured situation (Bandura, 1997).

This research is a correlational research that aims to understand the correlation between self-efficacy and public speaking anxiety among student in Faculty of Psychology of Norh Sumatera University.

The subjects of this research were 184 students in Psychology Faculty of North Sumatera University. This research using two scale as a measuring tools, namely Self-efficacy Scale and Public Speaking Anxiety Scale organized by researcher based on the aspects that formed Self-efficacy (Bandura, 1997) and Public Speaking Anxiety (Rogers, 2004). The Self-efficacy Scale has a value of reliability (r xx )=0.907 and consist of 39 items, whereas the Public Speaking Anxiety Scale reliability value is (r xx )=0.948 and consist of 52 items.

The analysed of research data using Pearson Product Moment correlation method. The result showed that there was a negative correlational between self- efficacy and public speaking anxiety with correlation coefficient r = -0,670, ρ (0,01). It means the higher student ’s self-efficacy then their public speaking anxiety level becomes lower, and on the contrary, lower student ’s self-efficacy then they public speaking anxiety level becomes higher.

Keywords : self-efficacy, public speaking anxiety

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, atas ridha-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Adapun judul skripsi ini

adalah ”Hubungan Antara Self-efficacy dengan KecemasanBerbicara di depan umum PadaMahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara ”.

Skripsi ini diajukan untuk memenuhi syarat kelulusan mata kuliah Skripsi di Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara. Tidak dapat disangkal butuh usaha yang keras, kegigihan dan kesabaran untuk menyelesaikannya. Namun disadari, karya ini tidak akan selesai tanpa orang-orang tercinta di sekeliling penulis yang telah mendukung dan membantu.

Terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada :  Keluarga penulis (Ayah, Mama, Bang Andrie, Ananda) yang telah

memberikan dukungan moril dan materil selama penulis menyelesaikan skripsi ini.

 Prof. Dr. Chairul Yoel, Sp.A(K) selaku Dekan Fakultas Psikologi  Ibu Rr. Lita H. Wulandari, S.Psi., Psi, selaku dosen pembimbing skripsi.

Terima kasih yang sebesar-besarnya atas bantuan dan bimbingan yang telah diberikan kepada penulis

 Ibu Dra. Josetta M. R. T., M.Si, selaku dosen pembimbing akademik. Terima kasih yang sebanyak-banyaknya atas kesabaran dan bimbingan, serta dukungannya selama ini.

 Ibu Desvi Yanti Mukhtar, M.Si., Psi, Ibu Filia Dina Anggaraeni, M.Pd., Ibu Sri Supriyantini, S.Psi., Psi, Bang Tarmidi, M.Psi, Psi , kak Fasti Rola,

M.Psi, Psi, dan Kak Dian Ulfa Sari, M.Psi, Psi, selaku dosen Departemen Psikologi Pendidikan.

 Untuk dosen-dosen Psikologi USU atas semua ilmu yang telah diberikan, mudah-mudahan ilmu ini dapat berguna dan dapat diterapkan dengan baik.  Untuk Sevi, Kinan, Roro, Raisa, Enni, Vicky, Mirna, Desti, dan Mitha, yang selalu menemani, memberikan support, masukan, dan memberikan semangat.

 Untuk Teman-teman angkatan 2005 yang selalu memberikan dukungan dan semangat. Semoga segala kebaikan dan pertolongan semuanya mendapatkan berkah

dari Allah SWT. Akhirnya penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, karena keterbatasan ilmu yang penulis miliki. Untuk itu penulis dengan segala kerendahan hati mengharapkan saran dan kritik yang sifatnya membangun dari semua pihak demi kesempurnaan laporan penelitian ini.

Harapan penulis semoga skripsi ini bermanfaat bagi pihak-pihak yang terkait, lingkungan akademik Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara Medan, serta para pembaca pada umumnya. Medan, Desember 2009

Penulis

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1

Jumlah Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara

27 Tabel 2

37 Tabel 3

Blueprint Skala Kecemasan Berbicara di Depan Umum

38 Tabel 4

Blueprint Skala Self-efficacy

Distribusi Aitem-aitem Skala Self-efficacy setelah uji coba

41 Tabel 5

Distribusi Aitem-aitem Skala Self-efficacy pada saat penelitian

42 Tabel 6

Distribusi Aitem-aitem Skala Kecemasan Berbicara di Depan Umum setelah uji coba

43 Tabel 7

Distribusi Aitem-aitem Skala Kecemasan Berbicara di Depan Umum pada saat penelitian

44 Tabel 8

48 Tabel 9

Gambaran Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin

49 Tabel 10

Gambaran Subjek Berdasarkan Usia

50 Tabel 11

Gambaran Subjek Berdasarkan Stambuk

Normalitas Sebaran Variabel Self-efficacy dan Kecemasan berbicara di depan umum

51 Tabel 12

52 Tabel 13

Linearitas Hubungan Kedua Variabel

54 Tabel 14

Korelasi Pearson

55 Tabel 15

Gambaran Skor Empirik dan Hipotetik Self-efficacy

Kategorisasi Data Empirik Self-efficacy

Tabel 16 Gambaran Skor Empirik dan Hipotetik Kecemsan Berbicara di Depan Umum

57 Tabel 17

Kategorisasi Data Empirik Kecemasan Berbicara di Depan Umum

57 Tabel 18

Gambaran Skor Self-efficacy Berdasarkan Jenis Kelamin 58 Tabel 19

58 Tabel 20

Perbedaan Self-efficacy berdasarkan jenis kelamin

Gambaran Skor Kecemasan Berbicara di Depan Umum Berdasarkan Jenis Kelamin

59 Tabel 21

Perbedaan Kecemasan Berbicara di depan umum berdasarkan Jenis Kelamin

59 Tabel 22

Gambaran Skor Kecemasan Berbicara di Depan Umum Berdasarkan Stambuk

60 Tabel 23

Perbedaan Kecemasan Berbicara di Depan Umum Berdasarkan Stambuk

60

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1

Scatter Plot Self-efficacy dan Kecemasan Berbicara di depan umum

52

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dunia pendidikan sangat erat kaitannya dengan komunikasi. Tidak ada perilaku pendidikan yang tidak dilahirkan oleh proses komunikasi, baik komunikasi verbal, nonverbal, maupun komunikasi melalui media pembelajaran. Bidang pendidikan tidak akan bisa berjalan tanpa dukungan komunikasi (Jourdan dalam

Yusuf, 1990). Komunikasi menggambarkan bagaimana seseorang memahami, melihat, mendengar, dan merasakan tentang dirinya (sense of self) serta

bagaimana cara individu tersebut berinteraksi dengan lingkungan, dari mengumpulkan dan mempresentasikan informasi, hingga menyelesaikan konflik. Berbicara, mendengar, dan kemampuan memahami media (media literacy) merupakan tiga elemen dari komunikasi. Seorang mahasiswa diharapkan dapat menjadi pembicara, pendengar, dan pelaku media (media participant) yang kompeten dalam berbagai setting lingkungan, seperti dalam situasi personal dan sosial, di dalam kelas, di tempat kerja, maupun sebagai anggota masyarakat. Di dalam setting kelas pada khususnya, esensi dari proses belajar mengajar adalah komunikasi, yang terdiri dari transaksi verbal dan nonverbal antara dosen dan mahasiswa maupun antar mahasiswa (Connor, 1996).

Elliot, Kratochwill, Littlefield Cook & Travers, (2000) menyatakan bahwa komunikasi memegang peranan dalam pemantapan pembelajaran dan perilaku yang diharapkan, hubungan interpersonal antara guru dengan siswa, dan Elliot, Kratochwill, Littlefield Cook & Travers, (2000) menyatakan bahwa komunikasi memegang peranan dalam pemantapan pembelajaran dan perilaku yang diharapkan, hubungan interpersonal antara guru dengan siswa, dan

Bertanya kepada dosen, mempresentasikan tugas, melakukan diskusi kelompok, merupakan beberapa bentuk komunikasi yang dilakukan oleh mahasiswa di dalam kelas, dimana mahasiswa tidak hanya berinteraksi dengan dosen, tetapi juga dituntut untuk berbicara, mengemukakan pendapat dan ide- idenya secara lisan di depan orang banyak. Demikian halnya pada mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara (USU), dimana sebagai calon psikolog, mahasiswa dituntut untuk memiliki kemampuan berbicara baik dalam situasi personal maupun di depan umum, di samping keahlian mengungkapkan pikirannya secara tertulis. Pada buku Panduan Perkuliahan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara (2008) juga disebutkan bahwa salah satu kompetensi lulusan Sarjana Psikologi USU yang diharapkan adalah mampu berpikir kritis, berkomunikasi lisan dan tulis, kepemimpinan, percaya diri, penelurusan informasi berdasarkan perubahan yg terjadi serta mengembangkan diri sebagai penyelesai masalah. Oleh karena itu, seorang mahasiswa jurusan psikologi seharusnya memiliki kemampuan berbicara di depan umum yang baik.

Demi memenuhi tuntutan tersebut, metode pembelajaran di Fakultas Psikologi USU kebanyakan menggunakan sistem diskusi kelompok dan presentasi Demi memenuhi tuntutan tersebut, metode pembelajaran di Fakultas Psikologi USU kebanyakan menggunakan sistem diskusi kelompok dan presentasi

Burgoon dan Ruffner (dalam Dewi & Andrianto, 2003) menyatakan communication apprehension sebagai suatu reaksi negatif dari individu berupa kecemasan yang dialami individu ketika berkomunikasi, baik komunikasi antar pribadi, komunikasi di depan umum maupun komunikasi masa. McCroskey (dalam Byers dan Weber, 1995) mendefinisikan communication apprehension sebagai tingkat kecemasan individu yang diasosiasikan dengan salah satu komunikasi, baik komunikasi yang nyata ataupun komunikasi yang diharapkan dengan individu lain maupun dengan orang banyak.

Motley (dalam Byers dan Weber, 1995) menegaskan bahwa ketakutan atau kecemasan berbicara di depan umum, mungkin adalah bentuk communication apprehension yang paling umum. Kecemasan berbicara di depan umum dikatakan sebagai salah satu ketakutan terbesar yang dialami oleh warga Amerika. Motley juga menyatakan bahwa sekitar 85 % dari kita mengalami kecemasan yang tidak menyenangkan berkenaan dengan berbicara di depan umum tersebut. Pada 15 % Motley (dalam Byers dan Weber, 1995) menegaskan bahwa ketakutan atau kecemasan berbicara di depan umum, mungkin adalah bentuk communication apprehension yang paling umum. Kecemasan berbicara di depan umum dikatakan sebagai salah satu ketakutan terbesar yang dialami oleh warga Amerika. Motley juga menyatakan bahwa sekitar 85 % dari kita mengalami kecemasan yang tidak menyenangkan berkenaan dengan berbicara di depan umum tersebut. Pada 15 %

Selain itu, Flax (dalam Tilton, 2002) menegaskan bahwa berdasarkan penelitian terakhir, masyarakat Amerika menggolongkan berbicara di depan umum sebagai ketakutan terbesar mereka. Tilton (2002) menambahkan, dalam kenyataannya, banyak individu yang menyatakan lebih takut untuk berbicara di depan umum dibanding ketakutan lainnya seperti kesulitan ekonomi, menderita suatu penyakit, bahkan ketakutan terhadap kematian.

Penelitian mengindikasikan bahwa seseorang yang memiliki tingkat kecemasan berbicara yang tinggi biasanya tidak dianggap secara positif oleh orang lain (McCroskey dalam Byers & Weber, 1995). Mereka dianggap tidak responsif, tidak komunikatif, sulit untuk mengerti, tidak memiliki ketertarikan sosial dan seksual, tidak kompeten, tidak dapat dipercaya, tidak berorientasi pada tugas, tidak suka bergaul, tidak suka menjadi pemimpin dan tidak produktif dalam kehidupan profesionalnya (Merrill; Mulac & Sherman; McCroskey & Richmond, dalam Byers & Weber, 1995). Intinya adalah bahwa kecemasan berbicara menghasilkan pengaruh yang negatif terhadap kehidupan ekonomi, akademis, politik, dan sosial individu (McCroskey dalam Byers & Weber, 1995).

Hal senada juga disampaikan oleh Bandura (1997) bahwa individu yang mengalami kecemasan menunjukkan ketakutan dan perilaku menghindar yang sering mengganggu performansi dalam kehidupan mereka, begitu pula dalam situasi akademis. Lebih lanjut, Elliot, dkk (2000) menyatakan bahwa mahasiswa sering mengalami kecemasan saat akan menghadapi ujian ataupun pada saat harus Hal senada juga disampaikan oleh Bandura (1997) bahwa individu yang mengalami kecemasan menunjukkan ketakutan dan perilaku menghindar yang sering mengganggu performansi dalam kehidupan mereka, begitu pula dalam situasi akademis. Lebih lanjut, Elliot, dkk (2000) menyatakan bahwa mahasiswa sering mengalami kecemasan saat akan menghadapi ujian ataupun pada saat harus

Kecemasan berbicara di depan umum yang terjadi pada diri individu bisa disebabkan oleh berbagai macam hal. Menurut Geist (dalam Gunarsa, 2000) kecemasan tersebut dapat bersumber dari berbagai hal seperti tuntutan sosial yang berlebihan dan tidak mau atau tidak mampu dipenuhi oleh individu yang bersangkutan, standar prestasi individu yang terlalu tinggi dengan kemampuan yang dimilikinya seperti kekurangsiapan untuk menghadapi situasi yang ada, pola berpikir, dan persepsi negatif terhadap situasi atau diri sendiri. Beberapa penelitian bahkan menghubungkan kecemasan berbicara dengan karakteristik individu. MacIntyre dan Thivierge misalnya, mereka menemukan bahwa ciri umum ekstraversi, kestabilan emosi, dan intelektulitas secara signifikan berhubungan dengan kecemasan berbicara di depan umum (dalam Roach, 1999).

Ketika merasa cemas ataupun ketika dihadapkan dengan situasi-situasi yang menekan, individu akan mengalami gejala-gejala fisik maupun psikologis. Nevid, dkk. (1997) menyatakan bahwa kecemasan berbicara di depan umum biasanya ditandai dengan gejala fisik seperti tangan berkeringat, jantung berdetak lebih cepat, dan kaki gemetaran. Gitomer dan Plourde (dalam Boyce, dkk. 2007) menambahkan bahwa mual, berkeringat, lutut lemas, dan mulut kering adalah simptom-simptom yang diasosiasikan dengan ketakutan saat berdiri di hadapan publik.

Di samping itu, kecemasan berbicara di depan umum juga ditandai dengan adanya gejala-gejala psikologis, seperti takut akan melakukan kesalahan, tingkah laku yang tidak tenang, dan tidak dapat berkonsentrasi dengan baik (Matindas, 2003). Individu yang merasa cemas baik secara psikis maupun biologis, dalam dirinya akan terjadi gangguan antisipasi atau harapan pada masa yang akan datang. Keadaan ini ditandai dengan adanya rasa khawatir, gelisah, dan perasaan akan terjadi sesuatu hal yang tidak menyenangkan dan individu menjadi tidak mampu menemukan penyelesaian terhadap masalahnya (Hurlock, 1997).

Penanganan kecemasan antara satu individu dengan individu lainnya dapat berbeda tergantung pada penilaian pribadi individu terhadap kemampuan yang dimilikinya yang disebut dengan self-efficacy (Sarafino, 1994). Bandura (1997) mendefiniskan self-efficacy sebagai keyakinan individu bahwa ia dapat menguasai situasi dan memperoleh hasil yang positif. Penilaian seseorang terhadap self- efficacy memainkan peranan besar dalam hal bagaimana seseorang melakukan pendekatan terhadap berbagai sasaran, tugas, dan tantangan.

Ketika menghadapi tugas yang menekan, dalam hal ini berbicara di depan umum, keyakinan individu terhadap kemampuan mereka (self-efficacy) akan mempengaruhi cara individu dalam bereaksi terhadap situasi yang menekan (Bandura, 1997). Menurut Prakosa (1996) keyakinan terhadap diri sendiri sangat diperlukan oleh pelajar ataupun mahasiswa. Keyakinan ini akan mengarahkan kepada pemilihan tindakan, pengerahan usaha, serta keuletan individu. Keyakinan yang didasari oleh batas-batas kemampuan yang dirasakan akan menuntut kita berperilaku secara mantap dan efektif.

Tingginya self-efficacy yang dimiliki akan memotivasi individu secara kognitif untuk bertindak lebih bertahan dan terarah terutama apabila tujuan yang hendak dicapai merupakan tujuan yang jelas. Tidak mengherankan apabila ditemukan hubungan yang signifikan antara self-efficacy dengan prestasi dan perfomansi individu tersebut (Bandura, 1997).

Lebih lanjut, Bandura (1997) menyatakan bahwa self-efficacy berguna untuk melatih kontrol terhadap stressor, yang berperan penting dalam keterbangkitan kecemasan. Individu yang percaya bahwa mereka mampu mengadakan kontrol terhadap ancaman tidak mengalami keterbangkitan kecemasan yang tinggi. Sebaliknya mereka yang percaya bahwa bahwa mereka tidak dapat mengatur ancaman, mengalami keterbangkitan kecemasan yang tinggi.

Pendapat yang sama dikemukakan juga oleh Feist & Feist (2002), bahwa ketika seseorang mengalami ketakutan yang tinggi, kecemasan yang akut atau tingkat stress yang tinggi, maka biasanya mereka mempunyai self-efficacy yang rendah. Sementara mereka yang memiliki self-efficacy yang tinggi merasa mampu dan yakin terhadap kesuksesan dalam mengatasi rintangan dan menganggap ancaman sebagai suatu tantangan yang tidak perlu dihindari.

Berdasarkan latar belakang di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul hubungan antara self-efficacy dengan kecemasan berbicara di depan umum pada mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.

B. Identifikasi Permasalahan

Rumusan permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini adalah : Apakah terdapat hubungan antara self-efficacy dengan kecemasan berbicara di depan umum pada mahasiswa Fakultas Psikologi USU.

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara self-efficacy dengan kecemasan berbicara di depan umum pada mahasiswa Fakultas Psikologi USU.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini antara lain:

1. Manfaat teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah ilmu, khususnya dalam bidang psikologi pendidikan mengenai hubungan antara sef-efficacy dengan kecemasan berbicara di depan umum pada mahasiswa.

2. Manfaat praktis Adapun manfaat praktis dari penelitian ini adalah:

a. Pihak fakultas dapat mengetahui tingkat self-efficacy dan tingkat kecemasan berbicara di depan umum pada mahasiswa di Fakultas Psikologi USU. Hal ini berguna dalam memberikan pembinaan pada mahasiswa dalam mengembangkan self-efficacy dan mengurangi kecemasan berbicara di depan umum.

b. Penelitian ini berguna sebagai input bagi mahasiswa tentang self-efficacy dan kecemasan berbicara di depan umum, sehingga diharapkan dapat dimanfaatkan dalam pengembangan diri mahasiswa terutama dalam meningkatkan self-efficacy dan mengurangi kecemasan berbicara di depan umum.

E. Sistematika Penulisan

Penelitian ini disajikan dalam beberapa bab dengan sistematika penulisan sebagai berikut: BAB I :

Pendahuluan Bab I terdiri atas latar belakang masalah, identifikasi masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penelitian.

BAB II :

Landasan Teori Bagian II berisi uraian teori yang menjadi acuan dalam pembahasan masalah serta hipotesa. Teori-teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori kecemasan dalam berbicara di depan umum dan teori self-efficacy.

BAB III :

Metode Penelitian Bab III berisi uraian yang menjelaskan tentang identifikasi variabel penelitian, definisi operasional, populasi dan metode pengambilan sampel, instrumen/alat ukur yang digunakan, validitas dan reliabilitas alat ukur, prosedur pelaksanaan penelitian dan metode Metode Penelitian Bab III berisi uraian yang menjelaskan tentang identifikasi variabel penelitian, definisi operasional, populasi dan metode pengambilan sampel, instrumen/alat ukur yang digunakan, validitas dan reliabilitas alat ukur, prosedur pelaksanaan penelitian dan metode

BAB IV :

Analisa dan Interpretasi Data Bab IV berisi uraian gambaran subjek penelitian, hasil penelitian, dan deskripsi data penelitian.

BAB V :

Kesimpulan, Diskusi, dan Saran Bab V berisi uraian mengenai kesimpulan hasil penelitian, serta saran metodologis dan praktis.

BAB II LANDASAN TEORI

A. Kecemasan Berbicara Di Depan Umum

1. Pengertian kecemasan berbicara di depan umum

Dalam kamus istilah psikologi, Chaplin (2000) mendefinisikan kecemasan sebagai perasaan campuran berisi ketakutan dan keprihatinan mengenai rasa-rasa mendatang tanpa sebab khusus untuk ketakutan tersebut. Daradjat (1969) menjelaskan kecemasan sebagai manifestasi dari berbagai proses emosi yang bercampur baur, yang terjadi ketika orang sedang mengalami tekanan perasaan (frustasi) dan pertentangan batin (konflik). Ada beberapa jenis rasa cemas, yaitu cemas akibat mengetahui ada bahaya yang mengancam dirinya, rasa cemas berupa penyakit yang dapat mempengaruhi keseluruhan diri pribadi. Selanjutnya, rasa cemas karena perasaan berdosa atau bersalah yang nantinya dapat menyertai gangguan jiwa.

Sementara itu, menurut Lazarus (1976) kecemasan mempunyai dua arti, yaitu:

a. Kecemasan sebagai respon, digambarkan sebagai suatu pengalaman yang dirasakan tidak menyenangakan serta diikuti dengan suasana gelisah, bingung, khawatir dan takut. Bentuk kecemasan ini dibedakan menjadi dua, yaitu:

(1) State anxiety, merupakan gejala kecemasan yang sifatnya tidak menetap pada diri individu ketika dihadapkan pada situasi tertentu, gejala ini akan tampak selama situasi tersebut masih ada.

(2) Trait anxiety, kecemasan yang tidak tampak langsung dalam tingkah laku tetapi dapat dilihat frekuensi dan intensitas keadaan kecemasan individu sepanjang waktu, merupakan kecemasan yang sifatnya menetap pada diri individu dan timbul dari pengalaman yang tidak menyenangkan pada awal kehidupan. Kecemasan tersebut berhubungan dengan kepribadian individu yang merupakan disposisi pada individu untuk menjadi cemas.

b. Kecemasan sebagai intervening variable, disini kecemasan lebih mempunyai arti sebagai motivating solution, artinya situasi kecemasan tersebut dapat mendorong individu agar dapat mengatasi masalah. Sementara itu, Nevid, dkk. (1997) menganggap kecemasan sebagai suatu

keadaan takut atau perasaan tidak enak yang disebabkan oleh banyak hal seperti kesehatan individu, hubungan sosial, ketika hendak menjalankan ujian sekolah, masalah pekerjaan, hubungan internal dan lingkungan sekitar. Lebih lanjut, Hudaniah dan Dayakisni (2003) menyatakan bahwa pada umumnya kecemasan berwujud ketakutan kognitif, keterbangkitan syaraf fisiologis dan suatu pengalaman subjektif dari ketegangan atau kegugupan. Beberapa individu juga mengalami perasaan tidak nyaman dengan kehadiran orang lain, biasanya disertai dengan perasaan malu yang ditandai dengan kekakuan, hambatan dan kecenderungan untuk menghindari interaksi sosial. Keadaan individu yang seperti ini dianggap mengalami kecemasan sosial.

Salah satu bentuk kecemasan yang sering terjadi adalah kecemasan dalam hal berkomunikasi. Burgoon dan Ruffner (dalam Dewi & Andrianto, 2003) mendefinisikan communication apprehension sebagai suatu reaksi negatif dari individu berupa kecemasan yang dialami individu ketika berkomunikasi, baik komunikasi antar pribadi, komunikasi di depan umum maupun komunikasi masa. Pada penelitian kali ini penulis akan menekankan pada kecemasan berbicara di depan umum.

Selanjutnya, McCroskey (1984) menyebutkan ada empat jenis Communication Apprehension (CA), yaitu CA as a trait, CA in generalized context, CA with generalized people, CA as a state. Kecemasan berbicara di depan umum termasuk dalam jenis CA in generalized context, dimana individu mengalami kecemasan berbicara saat berada pada satu situasi tertentu, tapi tidak pada situasi lainnya.

McCroskey menambahkan, beberapa individu mengalami kecemasan hanya pada kondisi tertentu, maksudnya ada tipe general dari kondisi komunikasi yang menimbulkan kecemasan, yaitu komunikator. Penekanannya adalah bahwa fenomena kecemasan berbicara di depan umum berpusat pada pembicara. Konteks yang paling banyak ditemui adalah berbicara di depan umum (Public Speaking), misalnya memberikan pidato, presentasi di depan kelas, pada saat pertemuan atau meeting . Individu akan mengalami kecemasan ketika mulai membayangkan sampai berlangsungnya pengalaman berbicara di depan umum.

Sejalan dengan itu, Beaty (Opt & Loffredo, 2000) juga menyebut kecemasan berbi cara di depan umum dengan istilah “communication apprehension”. Beaty Sejalan dengan itu, Beaty (Opt & Loffredo, 2000) juga menyebut kecemasan berbi cara di depan umum dengan istilah “communication apprehension”. Beaty

Terdapat perbedaan antara berbicara di depan umum dengan pembicaraan biasa, pada konteks pembicaraan biasa individu merasa aman untuk menyampaikan pikiran-pikirannya. Bagian yang tidak dapat dipisahkan dari pembicaraan biasa adalah adanya proses memberi dan menerima, proses komunikasi dua arah (dialog). Berbeda dengan berbicara di depan umum, begitu individu mulai berbicara di depan umum, secara otomatis individu tersebut menjadi pemimpin dan memegang kendali penuh dari banyak orang. Proses komunikasi berubah menjadi satu arah (monolog). Ketakutan dan kecemasan berbicara di depan umum ditandai dengan perasaan gelisah dan perasaan tertekan (Rogers, 2004).

Dari penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kecemasan berbicara di depan umum adalah suatu keadaaan tidak nyaman yang sifatnya tidak menetap pada diri individu, baik ketika membayangkan maupun pada saat berbicara di depan orang banyak. Hal ini akan ditandai dengan reaksi fisik dan psikologis.

2. Komponen kecemasan berbicara di depan umum

Rogers (2004) membagi komponen kecemasan berbicara di depan umum menjadi tiga, yaitu :

a. Komponen fisik yang biasanya dirasakan jauh sebelum memulai pembicaraan. Gejala fisik tersebut dapat berbeda setiap orangnya. Beberapa a. Komponen fisik yang biasanya dirasakan jauh sebelum memulai pembicaraan. Gejala fisik tersebut dapat berbeda setiap orangnya. Beberapa

b. Komponen proses mental, misalnya : sering mengulang kata atau kalimat, hilang ingatan secara tiba-tiba sehingga sulit untuk mengingat fakta secara tepat dan melupakan hal-hal yang sangat penting. Selain itu juga tersumbatnya pikiran sehingga membuat individu yang sedang berbicara tidak tahu apa yang harus diucapkan selanjutnya.

c. Komponen emosional, yang termasuk dalam komponen emosional adalah adanya rasa tidak mampu, rasa takut yang biasa muncul sebelum individu tampil dan rasa kehilangan kendali. Biasanya secara mendadak muncul rasa tidak berdaya seperti anak yang tidak mampu mengatasi masalah, munculnya rasa panik dan rasa malu setelah berakhirnya pembicaraan. Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bawah komponen

kecemasan berbicara di depan umum terdiri dari komponen fisik, komponen proses mental, dan komponen emosional.

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecemasan berbicara di depan umum

Kecemasan berbicara di depan umum dipengaruhi oleh berbagai macam hal. Beberapa penelitian menghubungkan kecemasan berbicara dengan karakteristik kepribadian individu. MacIntyre dan Thivierge (dalam Roach, 1999) misalnya, menemukan bahwa ciri umum ekstraversi, kestabilan emosi, dan intelektualitas Kecemasan berbicara di depan umum dipengaruhi oleh berbagai macam hal. Beberapa penelitian menghubungkan kecemasan berbicara dengan karakteristik kepribadian individu. MacIntyre dan Thivierge (dalam Roach, 1999) misalnya, menemukan bahwa ciri umum ekstraversi, kestabilan emosi, dan intelektualitas

Rogers (2004) meyakini bahwa yang sangat berpengaruh terhadap kecemasan berbicara di depan umum adalah pola pikir yang keliru. Seseorang yang hendak berbicara di depan umum berpikir bahwa dirinya sedang “diadili”, merasa bahwa penampilan dan gerak-gerik dan ucapannya sedang menjadi perhatian banyak orang. Sama halnya dengan pendapat Rahayu, dkk (2004) yang menyatakan bahwa kecemasan berbicara di depan umum bukan disebabkan oleh ketidakmampuan individu, tetapi disebabkan pada pikiran-pikirannya yang negatif dan tidak rasional. Hasil penelitiannya yang dilakukan pada mahasiswa Universitas Islam Negeri Malang juga menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara pola pikir positif dengan kecemasan berbicara di depan umum. Maksudnya semakin tinggi pola pikir positif seseorang maka semakin rendah kecemasan berbicara di depan umum, sebaliknya semakin rendah pola pikir positifnya maka semakin tinggi kecemasan berbicara di depan umum.

Pada bukunya yang berjudul “Human Communication”, Burgoon dan Ruffner (dalam Dewi & Andrianto, 2003) menyebutkan adanya satu faktor yang

menyebabkan kecemasan berbicara di depan umum, yaitu kurangnya pengalaman atau adanya pengalaman yang tidak menyenangkan yang dirasakan individu. Hal ini mengakibatkan individu cenderung mempunyai pikiran dan perasaan yang menyebabkan kecemasan berbicara di depan umum, yaitu kurangnya pengalaman atau adanya pengalaman yang tidak menyenangkan yang dirasakan individu. Hal ini mengakibatkan individu cenderung mempunyai pikiran dan perasaan yang

Faktor lain yang mempengaruhi kecemasan berbicara di depan umum adalah citra raga individu (Triana, 2005). Hasil penelitian yang dilakukan pada mahasisiwa Universitas Islam Indonesia menunjukkan bahwa semakin positif citra raga individu maka semakin rendah kecemasannya dalam berbicara di depan umum. Sebaliknya semakin negatif citra raga individu, maka kecemasan berbicara di depan umum semakin tinggi.

Sejalan dengan penelitian Triana (2005), Matindas (2003) memandang keyakinan atau kepercayaan diri seseorang sangat berpengaruh terhadap kecemasannya berbicara di depan umum. Ketidakyakinan yang muncul dalam bentuk rasa takut atau cemas menandakan adanya ketegangan yang sangat besar dalam dirinya. Ketegangan inilah yang menyebabkan tersumbatnya memori atau terganggunya kemampuan mengingat, keluar keringat dingin, dan jantung berdebar.

Menurut Geist (dalam Gunarsa, 2000) kecemasan tersebut dapat bersumber dari berbagai hal seperti tuntutan sosial yang berlebihan dan tidak mau atau tidak mampu dipenuhi oleh individu yang bersangkutan, standar prestasi individu yang terlalu tinggi dengan kemampuan yang dimilikinya seperti kekurangsiapan untuk menghadapi situasi yang ada, pola berpikir, dan persepsi negatif terhadap situasi atau diri sendiri.

Selain faktor-faktor di atas, perbedaan jenis kelamin juga telah menjadi fokus dalam beberapa penelitian mengenai kecemasan berbicara di depan umum. Elliot dan Chong (2004) menyebutkan bahwa perbedaan jenis kelamin merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kecemasan berbicara di depan umum dimana wanita memiliki tingkat kecemasan berbicara yang lebih tinggi dibandingkan dengan pria.

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kecemasan berbicara di depan umum antara lain adalah pola pikir yang keliru, pengalaman individu, citra diri individu, jenis kelamin, dan keyakinan atau kepercayaan diri seseorang.

B. Self-Efficacy

1. Pengertian self-efficacy

Self-efficacy adalah keyakinan yang dipegang seseorang tentang kemampuannya dan juga hasil yang akan ia peroleh dari kerja kerasnya mempengaruhi cara mereka berperilaku (Bandura, 1977). Dalam teori sosial kognitif, Bandura (1986) menyatakan bahwa self-efficacy ini membantu seseorang dalam menentukan pilihan, usaha mereka untuk maju, kegigihan dan ketekunan yang mereka tunjukkan dalam menghadapi kesulitan, dan derajat kecemasan atau ketenangan yang mereka alami saat mereka mempertahankan tugas-tugas yang mencakupi kehidupan mereka. Selanjutnya, Bandura (1997) menambahkan bahwa self-efficacy merupakan keyakinan individu bahwa ia dapat menguasai situasi dan memperoleh hasil yang positif. Di samping itu, Schultz (1994) mendefinisikan Self-efficacy adalah keyakinan yang dipegang seseorang tentang kemampuannya dan juga hasil yang akan ia peroleh dari kerja kerasnya mempengaruhi cara mereka berperilaku (Bandura, 1977). Dalam teori sosial kognitif, Bandura (1986) menyatakan bahwa self-efficacy ini membantu seseorang dalam menentukan pilihan, usaha mereka untuk maju, kegigihan dan ketekunan yang mereka tunjukkan dalam menghadapi kesulitan, dan derajat kecemasan atau ketenangan yang mereka alami saat mereka mempertahankan tugas-tugas yang mencakupi kehidupan mereka. Selanjutnya, Bandura (1997) menambahkan bahwa self-efficacy merupakan keyakinan individu bahwa ia dapat menguasai situasi dan memperoleh hasil yang positif. Di samping itu, Schultz (1994) mendefinisikan

Baron dan Byrne (2000) mengemukakan bahwa self-efficacy merupakan penilaian individu terhadap kemampuan atau kompetensinya untuk melakukan suatu tugas, mencapai suatu tujuan, dan menghasilkan sesuatu. Sedangkan, Feist & Feist (2002) menyatakan bahwa self-efficacy adalah keyakinan individu bahwa mereka memiliki kemampuan dalam mengadakan kontrol terhadapa pekerjaan mereka terhadap peristiwa lingkungan mereka sendiri.

Berdasarkan definisi-definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa self-efficacy merupakan keyakinan atau kepercayaan individu terhadap kemampuan yang dimilikinya dalam melaksanakan dan menyelesaikan tugas-tugas yang ia hadapi, sehingga mampu mengatasi rintangan dan mencapai tujuan yang diharapkannya.

2. Klasifikasi self-efficacy

Secara garis besar, self-efficacy terbagi atas dua bentuk yaitu self-efficacy yang tinggi dan self-efficacy yang rendah. Dalam mengerjakan suatu tugas, individu yang memiliki self-efficacy yang tinggi akan cenderung memilih terlibat langsung, sementara individu yang memiliki self-efficacy rendah cenderung menghindari tugas tersebut.

Individu yang memiliki self-efficacy yang tinggi cenderung mengerjakan suatu tugas tertentu, sekalipun tugas-tugas tersebut merupakan tugas yang sulit. Mereka tidak memandang tugas sebagai suatu ancaman yang harus mereka hindari. Selain itu, mereka mengembangkan minat intrinsik dan ketertarikan yang Individu yang memiliki self-efficacy yang tinggi cenderung mengerjakan suatu tugas tertentu, sekalipun tugas-tugas tersebut merupakan tugas yang sulit. Mereka tidak memandang tugas sebagai suatu ancaman yang harus mereka hindari. Selain itu, mereka mengembangkan minat intrinsik dan ketertarikan yang

Individu yang memiliki self-efficacy tinggi menganggap kegagalan sebagai akibat dari kurangnya usaha yang keras, pengetahuan, dan keterampilan. Individu yang ragu akan kemampuan mereka (self-efficacy yang rendah) akan menjauhi tugas-tugas yang sulit karena tugas tersebut dipandang sebagai ancaman bagi mereka. Individu seperti ini memiliki aspirasi yang rendah serta komitmen yang rendah dalam mencapai tujuan yang mereka pilih atau mereka tetapkan. Ketika menghadapi tugas-tugas yang sulit, mereka sibuk memikirkan kekurangan- kekurangan diri mereka, gangguan-gangguan yang mereka hadapi, dan semua hasil yang dapat merugikan mereka. Individu yang memiliki self-efficacy yang rendah tidak berpikir tentang bagaimana cara yang baik dalam menghadapi tugas- tugas yang sulit. Saat menghadapi tugas yang sulit, mereka mengurangi usaha- usaha mereka dan cepat menyerah. Mereka juga lamban dalam membenahi ataupun mendapatkan kembali self-efficacy mereka ketika menghadapi kegagalan (Bandura, 1997).

Dari hal-hal di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa individu yang memiliki self-efficacy tinggi memiliki ciri-ciri sebagai berikut :

a. Dapat menangani secara efektif situasi yang mereka hadapi.

b. Yakin terhadap kesuksesan dalam mengatasi rintangan.

c. Ancaman dipandang sebagai suatu tantangan yang tidak perlu dihindari.

d. Gigih dalam berusaha.

e. Percaya pada kemampuan diri yang dimiliki.

f. Hanya sedikit menampakkan keragu-raguan.

g. Suka mencari situasi baru. Individu yang memiliki self-efficacy rendah memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

a. Lamban dalam membenahi atau mendapatkan kembali self-efficacy ketika menghadapi kegagalan.

b. Tidak yakin dapat menghadapi rintangan.

c. Ancaman dipandang sebagai sesuatu yang harus dihindari.

d. Mengurangi usaha dan cepat menyerah.

e. Ragu pada kemampuan diri yang dimiliki.

f. Tidak suka mencari situasi baru.

g. Aspirasi dan komitmen pada tugas lemah.

3. Tahap perkembangan self-efficacy

Bandura (1997) menyatakan bahwa self-efficacy berkembang secara teratur. Bayi mulai mengembangkan self-efficacy sebagai usaha untuk melatih pengaruh lingkungan fisik dan sosial. Mereka mulai mengerti dan belajar mengenai kemampuan dirinya, kecakapan fisik, kemampuan sosial, dan kecakapan berbahasa yang hampir secara konstan digunakan dan ditujukan pada lingkungan. Awal dari pertumbuhan self-efficacy dipusatkan pada orang tua kemudian dipengaruhi oleh saudara kandung, teman sebaya, dan orang dewasa lainnya.

Self-efficacy pada masa dewasa meliputi penyesuaian pada masalah perkawinan dan peningkatan karir. Sedangkan self-efficacy pada masa lanjut usia, sulit terbentuk sebab pada masa ini terjadi penurunan mental dan fisik, pensiun kerja, dan penarikan diri dari lingkungan sosial.

Berdasarkan hal di atas dapat diambil kesimpulan bahwa tahap perkembangan self-efficacy dimulai dari masa bayi, kemudian berkembang hingga masa dewasa sampai pada masa lanjut usia.

4. Faktor-faktor yang mempengaruhi self-efficacy

Bandura (1997) menyatakan bahwa faktor-faktor yang dapat mempengaruhi self-efficacy pada diri individu antara lain :

a. Budaya Budaya mempengaruhi self-efficacy melalui nilai (values), kepercayaan (beliefs), dan proses pengaturan diri (self-regulatory process) yang berfungsi sebagai sumber penilaian self-efficacy dan juga sebagai konsekuensi dari keyakinan akan self-efficacy.

b. Gender Perbedaan gender juga berpengaruh terhadap self-efficacy. Hal ini dapat dilihat dari penelitian Bandura (1997) yang menyatakan bahwa wanita lebih efikasinya yang tinggi dalam mengelola perannya. Wanita yang memiliki peran selain sebagai ibu rumah tangga, juga sebagai wanita karir akan memiliki self-efficacy yang tinggi dibandingkan dengan pria yang bekerja.

c. Sifat dari tugas yang dihadapi

Derajat kompleksitas dari kesulitan tugas yang dihadapi oleh individu akan mempengaruhi penilaian individu tersebut terhadap kemampuan dirinya sendiri. Semakin kompleks suatu tugas yang dihadapi oleh individu maka akan semakin rendah individu tersebut menilai kemampuannya. Sebaliknya, jika individu dihadapkan pada tugas yang mudah dan sederhana maka akan semakin tinggi individu tersebut menilai kemampuannya.

d. Insentif eksternal Faktor lain yang dapat mempengaruhi self-efficacy individu adalah insentif yang diperolehnya. Bandura menyatakan bahwa salah satu faktor yang dapat meningkatkan self-efficacy adalah competent contingens incentive, yaitu insentif yang diberikan oleh orang lain yang merefleksikan keberhasilan seseorang.

e. Status atau peran individu dalam lingkungan Individu yang memiliki status yang lebih tinggi akan memperoleh derajat kontrol yang lebih besar sehingga self-efficacy yang dimilikinya juga tinggi. Sedangkan individu yang memiliki status yang lebih rendah akan memiliki kontrol yang lebih kecil sehingga self-efficacy yang dimilikinya juga rendah.

f. Informasi tentang kemampuan diri Individu akan memiliki self-efficacy tinggi, jika ia memperoleh informasi positif mengenai dirinya, sementara individu akan memiliki self-efficacy yang rendah, jika ia memperoleh informasi negatif mengenai dirinya. Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang

dapat mempengaruhi self-efficacy adalah budaya, gender, sifat dari tugas yang dapat mempengaruhi self-efficacy adalah budaya, gender, sifat dari tugas yang

5. Aspek-aspek self-efficacy

Menurut Bandura (1997) terdapat tiga aspek dari self-efficacy pada diri manusia, yaitu :

a. Tingkatan (Level) Adanya perbedaan self-efficacy yang dihayati oleh masing-masing individu mungkin dikarenakan perbedaan tuntutan yang dihadapi. Tuntutan tugas merepresentasikan bermacam-macam tingkat kesulitan atau kesukaran untuk mencapai perfomansi optimal. Jika halangan untuk mencapai tuntutan itu sedikit, maka aktivitas lebih mudah untuk dilakukan, sehingga kemudian individu akan memiliki self-efficacy yang tinggi.

b. Keadaan Umum ( Generality) Individu mungkin akan menilai diri merasa yakin melalui bermacam-macam aktivitas atau hanya dalam daerah fungsi tertentu. Keadaan umum bervariasi dalam jumlah dari dimensi yang berbeda-beda, diantaranya tingkat kesamaan aktivitas, perasaan dimana kemampuan ditunjukkan (tingkah laku, kognitif, afektif), ciri kualitatif situasi, dan karakteristik individu menuju kepada siapa perilaku itu ditujukan. Pengukuran berhubungan dengan daerah aktivitas dan konteks situasi yang menampakkan pola dan tingkat generality yang paling mendasar berkisar tentang apa yang individu susun pada kehidupan mereka.

c. Kekuatan (Strength) Pengalaman memiliki pengaruh terhadap self-efficacy yang diyakini seseorang. Pengalaman yang lemah akan melemahkan keyakinannya pula. Individu yang memiliki keyakinan kuat terhadap kemampuan mereka akan teguh dalam berusaha untuk mengenyampingkan kesulitan yang dihadapi. Berdasarkan hal-hal di atas, maka dapat disimpulkan bahwa tiga aspek self-

efficacy yaitu level (tingkat kesulitan tugas), generality (keadaan umum suatu tugas), dan strength (kekuatan atau keyakinan seseorang dalam menyelesaikan tugas) .

C. Mahasiswa

1. Pengertian mahasiswa

Mahasiswa adalah peserta didik yang terdaftar dan belajar pada perguruan tinggi tertentu (Basir, 1992). Menurut Winkel (1997) masa mahasiswa meliputi rentang umur 18/19 tahun sampai 24/25 tahun. Rentang umur mahasiswa ini masih dapat dibagi atas periode 18/19 tahun sampai 20/21 tahun, yaitu mahasiswa dari semester 1 sampai dengan semester IV, dan periode 21/22 tahun sampai 24/25 tahun, yaitu mahasiswa semester V sampai dengan semester VIII.

2. Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara

Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara adalah mereka yang terdaftar dan belajar di Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara. Dalam buku Panduan Perkuliahan Program Studi Strata 1 (S-1) Fakultas Psikologi

Universitas Sumatera Utara (2008) ditegaskan bahwa kompetensi lulusan Sarjana Psikologi Universitas Sumatera Utara yang diharapkan adalah :

a. Mampu menguasai konsep-konsep umum, perspektif umum, hasil-hasil penelitian empiris, dan sebagainya dalam bidang psikologi

b. Mampu menguasai penelitian dasar, memiliki keterampilan wawancara, observasi, desain penelitian mengenai skala, alat ukut psikologi dan sejenisnya, dan mampu melakukan analisis baik dalam bentuk metode kuantitatif maupun kualitatif

c. Mampu menguasai prinsip psikodiagnostik dasar serta mampu melakukan pengamatan secara obyektif dan sistematis mengenai bakat, minat, dan kepribadian

d. Mampu melakukan intervensi dalam bidang non klinis dan pelatihan

e. Mampu membangun hubungan yang konstruktif supaya memiliki keterampilan dan menjaga hubungan interpersonal dan mengkomunikaskan apa yang dimiliki

f. Mampu beretika dalam memberikan pelayanan kepada individu dan kelompok, memahami perbedaan dan tidak membeda-bedakan

g. Mampu berpikir kritis, berkomunikasi lisan dan tulis, kepemimpinan, percaya diri, penelusuran informasi berdasarkan perubahan yang terjadi serta mengembangkan diri sebagai penyelesai masalah. Jumlah mahasiswa Fakultas Psikologi USU saat ini mencapai 515 orang yang

terdiri dari dari angkatan 2003 sampai dengan 2009. Perincian jumlah mahasiswa Fakultas Psikologi USU digambarkan dalam tabel 1 berikut:

Tabel 1. Jumlah Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara

Dari pemaparan di atas disebutkan bahwa seorang lulusan Sarjana Psikologi Universitas Sumatera Utara yang diharapkan salah satunya adalah yang mampu berpikir kritis, berkomunikasi lisan dan tulis, kepemimpinan, percaya diri, penelusuran informasi berdasarkan perubahan yang terjadi serta mengembangkan diri sebagai penyelesai masalah. Oleh karena itu, seorang mahasiswa jurusan psikologi diharapkan memiliki kemampuan berbicara di depan umum yang baik.

D. Hubungan Antara Self-Efficacy Dengan Kecemasan Berbicara Di Depan Umum Pada Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara

Sebagai calon lulusan Sarjana Psikologi Universitas Sumatera Utara dan sebagai calon psikolog, setiap mahasiswa diharapkan mampu berkomunikasi secara lisan maupun tulisan, baik dalam komunikasi antar pribadi, komunikasi di depan umum maupun komunikasi masa. Demi memenuhi harapan tersebut,

metode pembelajaran di Fakultas Psikologi USU kebanyakan menggunakan sistem diskusi kelompok dan presentasi guna membiasakan mahasiswa berbicara di depan umum. Namun, tidak jarang mahasiswa merasa cemas untuk mengungkapkan pikirannya secara lisan, baik pada saat diskusi kelompok, bertanya pada dosen, maupun ketika harus berbicara di depan kelas saat mempresentasikan tugas. Dalam hal penanganan kecemasan ini, antara satu individu dengan individu lainnya dapat berbeda tergantung pada penilaian pribadi individu terhadap kemampuan yang dimilikinya yang disebut dengan self-efficacy (Sarafino, 1994)