MAKALAH PENDIDIKAN DAN KEWARGANEGARAAN ILLEG

MAKALAH PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
“ILLEGAL LOGGING”

Disusun oleh :
Nama

: Amanda Wilis W

(011400365)

Arif Budiman

(011400370)

Dwi Hartanto

(011400375)

Erick Maulana

(011400380)


Hengky Fernando

(011400385)

M. Sukron F. H

(011400389)

Nuri Jannati W. E

(011400393)

Prodi

: Teknokimia Nuklir

Semester

: V (lima)


Kelompok

: 4 (empat)

Dosen

: Drs. Ahmad Zubaidi, M.Si

SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NUKLIR
BADAN TENAGA NUKLIR NASIONAL
YOGYAKARTA
2016
Kata Pengantar

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat,
karunia , serta taufik , dan hidayat-Nya kami dapat menyelesaikan makalah tentang “ Illegal
Logging”

ini dengan


baik meskipun banyak kekurangan didalamnya. Dan juga kami

berterimakasih kepada Bapak Drs. Ahmad Zubaidi, M.Si yang telah memberikan tugas ini
kepada kami .
Makalah ini disusun untuk mempelajari masalah yang ditimbulkan sebagai dampak dari
maraknya praktek Illegal Loging yang terjadi di Hutan Indonesia. Kami mengucapkan
terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu sehingga makalah ini dapat diselesaikan
sesuai dengan waktunya. Makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu, kami
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan
penulis pada khususnya

Yogyakarta , 20 November 2016

Penyusun

Daftar Is

Kata Pengantar........................................................................................................... 2

Daftar Isi..................................................................................................................... 3
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................. 4
1. 1. Latar Belakang............................................................................................... 4
1.2

Rumusan Masalah.......................................................................................... 5

1.3

Tujuan Penulisan............................................................................................ 6

BAB II ISI..................................................................................................................... 7
2.1.

Istilah Illegal Logging..................................................................................... 7

2.2.

Faktor Penyebab Terjadinya Illegal Logging..................................................8


2.3.

Dampak Illegal Logging...............................................................................12

2.4.

Peraturan Perundang-Undangan yang Terkait.............................................16

2.5.

Kasus-Kasus Illegal Logging dan Solusinya..................................................19

BAB III PENUTUP....................................................................................................... 24
Daftar Pustaka.......................................................................................................... 25

BAB I
PENDAHULUAN
1. 1. Latar Belakang
Abad 21 merupakan abad di mana umat manusia mengalami evolusi dan kemajuan
yang cukup signifikan di berbagai aspek. Dalam beberapa hal yang dahulunya belum dapat

teratasi, kini telah dapat ditangani dengan berbagai alat modern yang mutakhir. Namun,
sejalan dengan hal tersebut, ada beberapa dampak yang ditimbulkan. Salah satunya dalam
hal pemanfaatan sumber daya alam, khususnya hutan.
Menurut Pasal 1 Ayat (1) Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan, hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi
sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungan,
yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan.
Pemanfaatan dan pengelolaan sektor kehutanan adalah salah satu bagian yang
essensial dalam pengelolaan lingkuan hidup dimana telah menjadi sorotan bukan hanya
nasional, akan tetapi telah menjadi wacana global. Hal ini dapat dilihat dalam Konferensi
Tingkat Tinggi (KTT) Bumi yang diselenggarakan oleh PBB di Rio Jeneiro pada tanggal 3
sampai 14 Juni 1992 yang juga merupakan peringatan 20 tahun Konferensi Stockholm
tahun 1972. Konferensi Tingkat Tinggi Bumi di Rio Jeneiro menghasilkan suatu konsesus
tentang beberapa bidang penting khususnya prinsip-prinsip kehutanan yang tertuang dalam
dokumen dan perjanjian: “Non-Legally Binding Authorotative Statement of Principle for a
Global Condesus on Management, Conservation and Sustainable Development of all Types
of Forest” dan Bab 11 dari Agenda 21 “Combating Deforestion”. Kemudian dalam
pertemuan ketiga dari Komisi Pembangunan Berkelanjutan (CSD-COmmision of
Sustainable Development) disepakati untuk membentuk Intergovermental Panel on Forest
(IPF) untuk melanjutkan dialog dalam kebijakan kehutanan skala global. Prinsip-prinsip

tentang Kehutanan tersebut kemudian dijabarkan dalam UU Kehutanan Indonesia, yaitu
UU No.4 Tahun 1999.

Tak dapat dipungkiri, eksistensi hutan sangatlah essensial dan memiliki bebagai
manfaat baik secara langsung (tangible)ataupun secara tidak langsung (intangible). Secara
langsung, hutan memainkan perannya sebagai tempat penyedian kayu, habitat bagi
berbagai flora dan fauna, dan sebagai lokasi beberapa hasil tambang.
Disamping itu, secara tidak langsung, hutan dapat dijadikan lokasi rekreasi,
perlindungan dan perkembangan biodiversitas, pengaturan tata air, dan pencegahan erosi.
Salah satu masalah yang menjadi dilema dari periode ke periode yang menyangkut
hutan di Indonesia ialah pembalakan liar (illegal logging). Stephan Devenish, ketua Misi
Forest law Enforecment Governance and Trade dari Uni Eropa mengatakan bahwa illegal
logging adalah penyebab utama kerusakan hutan di Indonesia. Nampaknya, illegal logging
merupakan masalah krusial yang sangat sulit untuk diatasi bahkan diminimalisir oleh
negara kita.
Dengan semakin maraknya praktek pembalakan liar, kawasan hutan di Indonesia
telah memasuki fase kritis. Seluruh jenis hutan di Indonesia mengalami pembalakan liar
sekitar 7,2 hektar hutan per menitnya, atau 3,8 juta hektar per tahun.
Tentunya, ini akan mengancam keanekaragaman hayati bahkan dapat menurunkan
level kekayaan biodiversitas di Indonesia serta secara langsung dapat mengganggu

keseimbangan alam yang telah tercipta. Menurut estimasi pemerintah, praktek illegal
logging per tahunnya telah membuat negara mengalami defisit sebesar Rp 30 triliun atau
Rp 2,5 triliun per bulannya. Tentunya, angka ini sangatlah fantastis, ditambah lagi kerugian
ini empat kali dari APBN yang telah dianggarkan pemerintah untuk sektor kehutanan.

1.2

Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud illegal logging?
2. Faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya illegal logging?
3. Apa dampak illegal logging?
4. Apa saja peraturan perundang-undangan yang terkait illegal logging?
5. Apa saja contoh kasus terkait dengan illegal logging?
6. Bagaimana solusi terhadap kasus illegal logging?

1.3

Tujuan Penulisan
1. Memahami tentang istilah dari illegal logging
2. Mengetahui faktor yang menyebabkan terjadinya illegal logging

3. Mengetahui dampak dari illegal logging
4. Memahami peraturan perundang-undangan yang terkait dengan illegal logging
5. Mengetahui contoh kasus dari illegal logging
6. Mengetahui solusi terkait kasus illegal logging

BAB II
ISI
2.1.

Istilah Illegal Logging
Pembalakan liar atau penebangan liar adalah kegiatan penebangan,
pengangkutan dan penjualan kayu yang tidak sah atau tidak memiliki izin dari
otoritas setempat. Pembalakan liar dan perdagangan internasional kayu ilegal
adalah masalah utama bagi negara-negara produsen kayu banyak di negara
berkembang. Hal ini menyebabkan kerusakan lingkungan, biaya pemerintah
miliaran dolar pendapatan yang hilang, mempromosikan korupsi, merusak aturan
konflik hukum dan tata pemerintahan yang baik dan dana bersenjata. Hal ini
menghambat pembangunan berkelanjutan di beberapa negara-negara termiskin di
dunia. Negara-negara konsumen berkontribusi masalah ini dengan mengimpor
kayu dan produk kayu tanpa memastikan bahwa mereka secara hukum bersumber.

Dalam beberapa tahun terakhir, bagaimanapun, negara-negara produsen dan
konsumen sama-sama meningkatkan perhatian pembalakan liar.
Sementara dalam Undang-Undang No. 19 Tahun 2004 dan UndangUndang No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan (selanjutnya disebut “UU
Kehutanan”) tidak mendefinisikan secara jelas illegal logging dan hanya
menjabarkan tindakan-tindakan illegal logging. Kategori illegal logging menurut
Pasal 50, antara lain: mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki
kawasan hutan secara tidak sah (ilegal), merambah kawasan hutan, melakukan
penebangan pohon dalam kawasan hutan, membakar hutan, dan lain-lain.
Dimensi dari kegiatan illegal logging, yaitu: (1) perizinan, apabila
kegiatan tersebut tidak ada izinnya atau belum ada izinnya atau izin yang telah
kadaluarsa, (2) praktek, apabila dalam praktek tidak menerapkan logging yang
sesuai peraturan, (3) lokasi, apabila dilakukan pada lokasi diluar izin, menebang
di kawasan konservasi/lindung, atau asal-usul lokasi tidak dapat ditunjukkan, (4)
produksi kayu, apabila kayunya sembarangan jenis (dilindungi), tidak ada batas
diameter, tidak ada identitas asal kayu, tidak ada tanda pengenal perusahaan, (5)
dokumen, apabila tidak ada dokumen sahnya kayu, (6) pelaku, apabila orang-

perorang atau badan usaha tidak memegang izin usaha logging atau melakukan
kegiatan pelanggaran hukum dibidang kehutanan, dan (7) penjualan, apabila pada
saat penjualan tidak ada dokumen maupun ciri fisik kayu atau kayu diseludupkan.


2.2.

Faktor Penyebab Terjadinya Illegal Logging
Pada dasarnya illegal logging merupakan suatu kejahatan yang dapat
disamakan dengan kegiatan pencurian. Beberapa penyebab terjadinya illegal
logging adalah:
a. Masalah Ekonomi
Pada umumnya mata pencarian masyarakat kawasan hutan adalah bertani
dan berkebun. Namun, seiring dengan pesatnya pertumbuhan penduduk, banyak
lahan pertanian dan perkebunan beralih fungsi menjadi permukiman. Hal ini
berkonsekuensi pada semakin berkurangnya lapangan pekerjaan yang kemudian
berdampak pada rendahnya tingkat perekonomian masyarakat. Sudah menjadi
tabiat manusia, kadangkala dalam kondisi terhimpit ekonomi, akal sehat menjadi
tidak berfungsi. Sehingga memiliki tendensi menghalalkan sesuatu walaupun
bertentangan dengan nilai-nilai yang ada di masyarakat. Bagi mereka yang
berdekatan dengan hutan memiliki tendensi untuk nekat menjual kayu hutan.
Mengapa demikian? Karena hal ini yang paling cepat bagi mereka untuk bisa
memenuhi kepulan asap di rumah. Beberapa kasus yang ditemukan oleh petugas
kehutanan ternyata memang masyarakat yang melakukan penebangan kayu
mengaku terpaksa karena tidak ada pilihan lain untuk memenuhi kebutuhan sehari
– hari mereka. Ada pula awalnya adalah hanya mengambil kayu bakar yang
dilakukan oleh ibu-ibu. Namun kemudian menjadi usaha setelah adanya para
cukong kayu sebagai pembeli. Selain itu, banyak juga ditemukan pelakunya
ternyata dari kalangan orang kaya secara materi. Mereka ini biasanya
melakukanya karena faktor keserakahan.

b. Pola kemitraan yang dibangun pemerintah dengan masyarakat.
Selama ini masyarakat hanya diarahkan untuk menjaga dan memelihara
hutan tanpa memikirkan bagaimana agar keberadaan hutan juga memiliki
kontribusi dalam meningkatkan kesejahteraan mereka. Bahkan lebih ekstrim lagi
masyarakat bukanya diberdayakan tetapi diperdaya. Banyak pula programprogram pengembangan ekonomi yang dilakukan, namun sayangnya tidak
didasarkan pada potensi yang dimiliki masyarakat. Sehingga program-program
yang dicanangkan menjadi sia-sia.
c. Perkembangan Teknologi
Evolusi teknologi yang pesat mendorong kemampuan orang untuk
mengeksploitasi hutan khususnya untuk illegal logging semakin mudah dilakukan,
karena dengan berkembangnya teknologi untuk menebang pohon tidak
memerlukan waktu yang lama sebab alat-alatnya semakin canggih.
d. Budaya
Yang dimaksud di sini adalah kebiasaan – kebiasaan yang dilakukan oleh
masyarakat di dalam memperlakukan hutan yang berkonsekuensi pada
terancamnya eksistensi hutan. Misalnya saja, ada keyakinan pada masyarakat
tertentu bahwa jika membangun masjid atau tempat-tempat umum lainya bahan –
bahan kayunya harus diambilkan dari hutan yang disertai dengan ritual-rutual
tertentu. Ada pula kebiasaan-kebiasaan secara turun-temurun yang sudah tertanam
pada masyarakat tertentu yang kemudian menjadi kebiasaan yang sangat sulit
untuk dihentikan. Misalnya kebiasaan mengambil kayu dihutan yang dilakukan
mulai dari orang tua kemudian diikuti oleh anak-anaknya secara turun-temurun.
Dalam prakteknya, para pelaku kadangkala menggunakan cara-cara licik. Agar
terhindar dari hukum, biasanyapohon kayu terlebih dahulu dibuka kulitnya agar
cepat mati. Ada pula disuntikkan racun pada pohon kayu.

Sebenarnya faktor budaya ini berkaitan dengan memudarnya nilai – nilai
“kearifan lokal”. Dalam kehidupan sehari-harinya, masyarakat kawasan hutan
sebagai mahluk berbudaya berkebutuhan untuk mengekpresikan budayanya. Bagi
mereka, hutan merupakn tempat sekaligus sebagai sarana terbaik penyelenggaraan
ritual. Oleh karenanya, banyak ritual-ritual keselamatan yang penyelenggaraanya
dikaitkan dengan keberadaan hutan. Kondisi ini kemudian akan mendorong
masyarakat untuk menjaga dan memelihara hutan. Namun, kondisi saat ini nilainilai lokal sudah hampir hilang, tidak lagi diterapkan. Sehingga orang masuk
hutan secara serampangan tanpa tata krama dan merusaknya.
e. Penegakan Hukum
Disinyalir bahwa masih terjadi konspirasi antara pelaku illegal logging
dengan aparat. Hal ini dibuktikan dengan masih berkeliaranya para pelaku illegal
logging. Masih ada ditemukan Saw Mill yang tidak berizin tetap beroperasi.
Pengakuan oknum pemilik Saw Mill, leluasanya dia mengoperasikan mesinnya
karena aparat juga mendapatkan jatah dari hasilnya.
Pasalnya keputusan pengadilan untuk kasus illegal logging belum
maksimal tidak menimbulkan efek jera. Idealnya suatu kejahatan akan berkurang
ketika hukuman yang diberikan dapat menimbulkan efek jera. Kondisi sekarang,
hukuman

bagi

terdakwa

kasus-kasus

kejahatan

illegal

logging

belum

memuncukan efek jera tersebut, sehingga orang lainnya tidak takut untuk
melakukan hal (kejahatan) yang sama.

f. Penjagaan dan pengawasan aparatur masih belum berjalan dengan baik
Hal ini di karenakan tidak seimbangnya jumlah personil aparat dengan
jumlah hutan di Indonesia. Penyebab lain adalah adanya pengawas yang masih
melakukan kerja sama dengan pelaku illegal logging yang hasilnya pasti akan
semakin parah dari kondisi sebelumnya.

g. Kesenjangan ketersediaan bahan baku
Terdapat kesenjangan penyediaan bahan baku kayu bulat untuk
kepentingan industri dan kebutuhan domestik yang mencapai sekitar 37 juta m 3
per tahun telah mendorong terjadinya penebangan kayu secara liar. Disamping itu
terdapat permintaan kayu dari luar negeri, yang mengakibatkan terjadinya
penyelundupan kayu daam jumlah besar. Dibukanya kran ekspor kayu bulat
menyebabkan sulinya mendeteksi aliran kayu illegal lintas batas.
h. Kelembagaan
Sistem pengusahaan melalui HPH telah membuka celah-celah dilakukannya
penebangan liar, disamping lemahnya pengawasan instansi kehutanan. Selain itu
penebangan hutan melalui pemberian hak penebangan hutan skala kecil oleh daerah
telah menimbulkan peningkatan fragmentasi hutan.
i. Masih adanya peredaran kayu yang tidak menggunakan dokumen dan atau tidak
sesuai dengan dokumen.
Illegal logging tidak hanya terjadi di segmen hulu yaitu penebangan didalam
kawasan hutan dan tidak memiliki izin, namun juga terjadi di segmen peredaran.
Hasil hutan kayu (dan non kayu) harus memiliki dokumen peredaran ketika
diangkut dari hulu ke hilir yang disebut juga dengan Surat Keterangan Sahnya Hasil
Hutan (SKSHH). Dokumen-dokumen tersebut antarat lain (1) Surat Keterangan
Sahnya Kayu Bulat (SKSKB), (2) Faktur Angkutan Kayu Bulat (FA-KB), dan (3)
Faktur Angkutan Hasil Hutan bukan Kayu (FA-HHBK).
Modus illegal logging yang terjadi pada segmen peredaran antara lain:
 Kayu tidak dilengkapi dengan dokumen Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan
(SKSHH).
 Kayu dilengkapi dengan dokumen palsu
 Muatan kayu secara fisik di kapal/ truk tidak sesuai dengan yang tertera didalam
dokumen SKSHH.

 SKSHH digunakan berulang-ulang (dicabut dari pos kehutanan atau lembar I
dan II dokumen SKSHH tidak dicantumkan masa berlaku dan identitas alat
angkutnya)
j. Masih beroperasinya panglong dan industri kayu (primer/lanjutan) yang menerima
kayu illegal.
Maraknya illegal logging juga dipengaruhi oleh masih terbukanya pasar
untuk menjual kayu-kayu hasil kegiatan illegal logging. Hingga sekarang
barangkali belum ada sistem yang benar-benar tepat dan mampu menangkal
industri-industri primer maupun lanjutan untuk tidak menerima kayu-kayu dari
aktifitas illegal logging. Belum maksimalnya sistem pembinaan dan pengawasan
terhadap panglong dan industri kayu merupakan penyebab utama dari hal ini.

2.3.

Dampak Illegal Logging
Penebangan liar berkontribusi terhadap deforestasi dan dengan ekstensi
pemanasan global, menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati dan
merongrong aturan hukum. Kegiatan-kegiatan ilegal merusak pengelolaan hutan
yang bertanggung jawab, mendorong korupsi dan penghindaran pajak dan
mengurangi pendapatan negara-negara produsen, lebih lanjut membatasi sumber
daya

negara-negara

produsen

dapat

berinvestasi

dalam

pembangunan

berkelanjutan. Penebangan liar memiliki implikasi ekonomi dan sosial yang serius
bagi masyarakat miskin dan kurang beruntung. Selain itu, perdagangan ilegal
sumber daya hutan merusak keamanan internasional, dan sering dikaitkan dengan
korupsi, pencucian uang, kejahatan terorganisir, pelanggaran hak asasi manusia
dan, dalam beberapa kasus, konflik kekerasan. Di sektor kehutanan, impor murah
dari kayu ilegal dan hasil hutan, bersama dengan ketidaksesuaian dari beberapa
pelaku ekonomi dengan standar sosial dan lingkungan dasar, mengguncang pasar
internasional. Ini persaingan yang tidak sehat mempengaruhi perusahaanperusahaan Eropa, terutama perusahaan kecil dan menengah yang berperilaku
secara bertanggung jawab dan siap untuk bermain dengan aturan yang adil.

Brow (1993) menegaskan bahwa kerugian ekonomi pada rusaknya
ligkungan hidup yang paling menonjol adalah penggundulan liar (Ilegal logging),
sedang menurut Sptephe Deveni dari Forest law Enforcemen Governance and
trade (FLEGT) mengatakan bahwa illegal logging adalah penyebab utama
kerusakan hutan di Indonesia dan menjadi masalah serius di dunia.
Penebangan

liar

(Illegal

logging)

telah

menimbulkan

masalah

multidimensi yang berhubungan dengan aspek ekonomi, sosial , budaya
lingkungan. Hal ini merupakan konskwensi logis dari fungsi hutan yang pada
hakekatnya adalah sebuah ekosistem yang di dalamnya mengandung fungsi dasar,
yaitu fungsi produksi (ekonomi), fungsi lingkungan (ekologi), serta fungsi sosial.
Dilihat dari aspek sosial, penebangan liar (illegal logging) menimbulkan
konflik seperti konflik hak atas tanah, konflik kewenangan mengelola hutan
antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta masyarakat setempat. Aspek
budaya kegantungan masyarkat terhadap hutan, penghormatan terhadap hutan
yang masih dianggap nilai magic juga ikut terpangaruh oleh praktek-praktek
illegal logging yang pada akhirnya merubah perspektip dan prilaku masyarakat
adat setempat terhadap hutan.
Dampak kerusakan ekologi (lingkungan) akibat penebangan liar (illegal
logging) bagi lingkungan dan hutan adalah bencana alam, kerusakan flora dan
fauna dan punahnya spesias langka. Prinsip pelestraian hutan sebagaiman di
indikasikan oleh ketiga fungsi pokok tersebut, merupakan satu kesatuan yang
tidak terpisahkan antara satu dengan lainnya. Oleh karena itu pemanfatan dan
pelastarian sumber daya hutan perlu dilakukan melalui suatu sistem pengelolaan
yang dapat menjaga serta meningkatkan fungsi dan perananya bagi kepentingan
generasi masa kini maupun generasi dimasa yang mendatang.
Di Indonesia sendiri penebangan hutan secara ilegal sangat berdampak
terhadap keadaan ekosistem. Penebangan memberi dampak yang sangat
merugikan masyarakat sekitar, bahkan masyarakat dunia. Kerugian yang
diakibatkan oleh kerusakan hutan tidak hanya kerusakan secara nilai ekonomi,
akan tetapi juga mengakibatkan hilangnya nyawa yang tidak ternilai harganya.
Adapun dampak-dampak Illegal Logging di Indonesia sebagai berikut.

Pertama, dampak yang sudah mulai terasa sekarang ini adalah pada saat
musim hujan wilayah Indonesia sering dilanda banjir dan tanah longsor. Menurut
kompas, pada tahun 2007 Indonesia telah mengalami 236 kali banjir di 136
kabupaten dan 26 propinsi, disamping itu juga terjadi 111 kejadian longsor di 48
kabupaten dan 13 propinsi. Banjir dan tanah longsor di Indonesia telah memakan
korban harta dan jiwa yang sangat besar. Kerusakan lingkungan yang paling
terlihat yaitu di daerah Sumatera yang baru saja dilanda banjir badang dan tanah
longsong sangat parah.
Bahkan tidak sedikit masyarakat yang kehilangan harta benda, rumah, dan
sanak saudara mereka akibat banjir dan tanah longsor. Bahkan menurut Kompas,
di Indonesia terdapat 19 propinsi yang lahan sawahnya terendam banjir dan
263.071 hektar sawah terendam dan gagal panen.
Banjir dan tanah longsor ini terjadi akibat dari Illegal Logging di
Indonesia. Hutan yang tersisa sudah tidak mampu lagi menyerap air hujan yang
turun dalam curah yang besar, dan pada akhirnya banjir menyerang pemukiman
penduduk. Para pembalak liar hidup di tempat yang mewah, sedangkan
masyarakat yang hidup di daerah dekat hutan dan tidak melakukan Illegal
Logging hidup miskin dan menjadi korban atas perbuatan biadap para pembalak
liar. Hal ini merupakan ketidakadilan sosial yang sangat menyakitkan masyarakat.
Kedua, Illegal Logging juga mengakibatkan berkurangnya sumber mata
air di daerah perhutanan. Pohon-pohon di hutan yang biasanya menjadi penyerap
air untuk menyediakan sumber mata air untuk kepentingan masyarakat setempat,
sekarang habis dilalap para pembalak liar. Hal ini mengakibatkan masyarakat di
daerah sekitar hutan kekurangan air bersih dan air untuk irigasi. Menurut kompas,
pada tahun 2007 ini tercatat 78 kejadian kekeringan yang tersebar di 11 propinsi
dan 36 kabupaten.
Ketiga, semakin berkurangnya lapisan tanah yang subur. Lapisan tanah
yang subur sering terbawa arus banjir yang melanda Indonesia. Akibatnya tanah
yang subur semakin berkurang. Jadi secara tidak langsung Illegal Logging juga
menyebabkan hilangnya lapisan tanah yang subur di daerah pegunungan dan
daerah sekitar hutan.

Keempat, Illegal Logging juga membawa dampak musnahnya berbagai
fauna dan flora, erosi, konflik di kalangan masyarakat, devaluasi harga kayu,
hilangnya mata pencaharian, dan rendahnya pendapatan negara dan daerah dari
sektor kehutanan, kecuali pemasukan dari pelelangan atas kayu sitaan dan kayu
temuan oleh pihak terkait. Hingga tahun 2005, setiap tahun negara dirugikan Rp
50,42 triliun dari penebangan liar dan sekitar 50 persen terkait dengan
penyelundupan kayu ke luar negeri.
Semakin langkanya orang utan juga merupakan dampak dari adanya
Illegal Logging yang semakin marak di Indonesia. Krisis ekonomi tergabung
dengan bencana-bencana alam dan Illegal Logging oleh manusia membawa orang
utan semakin terancam punah. Selama 20 puluh tahun belakangan ini kira-kira
80% hutan tempat orang utan tinggal sudah hilang. Pada waktu kebakaran hutan
tahun 1997-1998 kurang lebih sepertiga dari jumlah orang utan liar dikorbankan
juga. Tinggal kira-kira 12.000 sampai 15.000 ekor orang utan di pulau Borneo
(dibandingkan dengan 20.000 pada tahun 1996), dan kira-kira 4.000 sampai 6.000
di Sumatra (dibandingkan dengan 10.000 pada tahun 1996). Menurut taksiran
para ahli, orang utan liar bisa menjadi punah dalam jangka waktu sepuluh tahun
lagi. Untuk kesekian kalinya masyarakat dan flora fauna yang tidak bersalah
menjadi korban Illegal Logging. Ini akan menjadi pelajaran yang berharga bagi
pemerintah dan masyarakat agar ikut aktif dalam mengatasi masalah Illegal
Logging di Indonesia.
Kelima, dampak yang paling kompleks dari adanya Illegal Logging ini
adalah global warming yang sekarang sedang mengancam dunia dalam kekalutan
dan ketakutan yang mendalam. Bahkan di Indonesia juga telah megalami dampak
global warming yang dimulai dengan adanya tsunami pada tahun 2004 di Aceh
yang menewaskan ratusan ribu orang di Indonesia dan negara-negara tetangga.
Global warming membawa dampak seringnya terjadi bencana alam di
Indonesia, seperti angin puyuh, seringnya terjadi ombak yang tinggi, dan sulitnya
memprediksi cuaca yang mengakibatkan para petani yang merupakan mayoritas
penduduk di Indonesia sering mengalami gagal panen. Global warming juga
mengakibatkan semakin tingginya suhu dunia, sehingga es di kutub mencair yang

mengakibatkan pulau-pulau di dunia akan semakin hilang terendan air laut yang
semakin tinggi volumenya. Global warming terjadi oleh efek rumah kaca dan
kurangnya daerah resapan CO2 seperi hutan. Hutan di Indonesia yang menjadi
paru-paru dunia telah hancur oleh ulah para pembalak liar, maka untuk itu kita
harus bersama-sama membangun hutan kita kembali dan memusnahkan para
pembalak liar yang berupaya menghancurkan dunia.

2.4.

Peraturan Perundang-Undangan yang Terkait
Untuk peristilahan, setidaknya ada dua peraturan perundangan yang
menyebut Illegal logging sebagai penebangan kayu Ilegal yaitu Inpres Nomor 5
tahun 2001 Tentang Pemberantasan penebangan kayu illegal (illegal logging) Dan
peredaran hasil hutan illegal di kawasan ekosistem Leuser dan taman nasional
tanjung puting dan Inpres Nomor 4 Tahun 2005 Tentang Pemberantasan
Penebangan Kayu Secara Ilegal Di Kawasan Hutan Dan Peredarannya Di Seluruh
Wilayah Republik Indonesia. Untuk memudahkan, dalam makalah ini akan
digunakan istilah penebangan kayu illegal (PKI).
Sebagai disampaikan diatas, aturan tentang Illegal logging tidak terdapat
pada satu aturan perundangan saja. Dalam proses penelusuran ditemukan sekitar
150 peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan dan undang-undang
terkait yang mengatur mengenai illegal logging,diantaranya :
UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya.
UU No. 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan dan Tumbuhan.
UU No. 23 Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup.
UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
PP No. 28 Tahun 1985 tentang Perlindungan Hutan.
PP No. 13 Tahun 1994 tentang Perburuan Satwa Buru.

PP No. 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian
Alam.
PP No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.
PP No. 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar.
Dengan menggunakan pendekatan fungsi hutan berdasarkan UU 41 Tahun
1999 Tentang kehutanan (UUK), dimana hutan dikelompokkan dalam tiga fungsi
yaitu fungsi konserfasi, fungsi lindung dan fungsi produksi. Termasuk kedalam
fungsi konserfasi, terdapat hutan suaka alam, kawasan pelestarian alam dan taman
buru . Maka aturan tentang PKI itu tersebar pada aturan kehutanan dalam lingkup
konserfasi, lindung dan produksi.
Inpres Inpres Nomor 4 Tahun 2005 Tentang Pemberantasan Penebangan
Kayu Secara Ilegal Di Kawasan Hutan Dan Peredarannya Di Seluruh Wilayah
Republik Indonesia menginstruksikan kepada para pejabat terkait untuk
melakukan percepatan pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di kawasan
hutan dan peredarannya di seluruh wilayah Republik Indonesia, melalui
penindakan terhadap setiap orang atau badan yang melakukan kegiatan:
Menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan kayu yang berasal
dari kawasan hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang.
Menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan,
atau memiliki dan menggunakan hasil hutan kayu yang diketahui atau patut
diduga berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah.
Mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan kayu yang tidak dilengkapi
bersama-sama

dengan

surat

keterangan

sahnya

hasil

hutan

kayu.

Membawa alat-alat berat dan atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga
akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan tanpa izin
pejabat yang berwenang.
Membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong atau
membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang.

Bagan sederhana ini menggambarkan konstruksi logika aturan logging di
Indonesia. Pada prinsipnya setiap penebangan kayu baik oleh swasta ataupun oleh
masyarakat haruslah berdasarkan ijin yang diberikan oleh aparat yang berwenang,
yang akan memberikan hak penebangan. Penebangan yang dilakukan tanpa
adanya ijin akan menghasilkan kayu (log) yang ilegal dan pelakunya dapat
dihukum pidana dan denda.
Tetapi setelah memperoleh hak menebang dari aparat yang berwenang, si
penerima ijin tidaklah dapat sesuka hatinya untuk menebang, mengangkut dan
memasarkan kayu-kayu yang ada dalam areal ijinnya. Kayu yang dihasilkan tanpa
mengikuti ketentuan tata niaga kayu akan berstatus kayu Ilegal sama dengan kayu
yang dihasilkan dalam penebangan tanpa ijin. Namun demikian, kegiatan
penebangan yang dilakukan tanpa mengikuti aturan tata niaga kayu nyaris luput
dari penindakan seperti pada tindak pidana PKI. Akibatnya penyimpanganpenyimpangan yang dilakukan perusahaan-perusahaan yang mendapat hak
menebang hampir-hampir luput dari perhatian. Titik tekan pemberantasan PKI
hanyalah pada tindakan-tindakan orang-orang yang menebang kayu tanpa ijin.
Definisi sementara bagi kayu legal adalah; “ Kayu disebut sah jika
kebenaran asal kayu, ijin penebangan, sistem dan prosedur penebangan,
administrasi dan dokumentasi angkutan, pengolahan, dan perdagangan atau
pemindah-tanganannya dapat dibuktikan memenuhi semua persyaratan legal yang
berlaku. Penyusunan pengertian kayu legal ini berada dalam lingkup kegiatan
FLEGT.
Apabila melihat modus operandi (praktek atau cara-cara) dari kegiatan
penebangan secara tidak sah (illegal logging) maka tindak pidana tersebut dapat
dikategorikan telah menjadi rangkaian atau gabungan dari beberapa tindak pidana,
atau tindak pidana berlapis. Beberapa tindak pidana tersebut antara lain:
Kejahatan terhadap keamanan Negara.
Kejahatan terhadap melakukan kewajiban dan hak kenegaraan.
Kejahatan yang membahayakan keamanan umum.
Pencurian.

Alasan bahwa tindak pidana illegal logging dapat disebut sebagai
kejahatan berlapis karena kejahatan tersebut bukan hanya semata-mata
menyangkut ditebangnya sebuah pohon secara tidak sah dan melawan hukum.
Akan tetapi juga menyebabkan negara menjadi tidak aman dengan munculnya
keresahan masyarakat, tidak dilaksanakannya kewajiban melakukan perlindungan
hutan namun justru melakukan tindakan merusak, termasuk menurunnya daya
dukung lingkungan, rusaknya ekosistem dan hancurnya sistem kehidupan
masyarakat lokal yang tidak dapat dipisahkan dengan hutan itu sendiri. Illegal
logging juga dapat disebut sebagai kejahatan terhadap hak-hak asasi manusia,
terhadap lingkungan dan terhadap hutan itu sendiri.

2.5.

Kasus-Kasus Illegal Logging dan Solusinya
a. Kasus Pertama
Kejahatan illegal logging terus terjadi di Aceh. Bahkan, kegiatan yang
merusak lingkungan tersebut, tidak hanya melibatkan masyarakat, tapi juga
oknum pemerintah yang seharusnya menangkap pelaku.
Efendi Isma, Juru Bicara Koalisi Peduli Hutan Aceh (KPHA), Selasa
(17/11/15) mengatakan, KPHA sejak Januari hingga Oktober 2015, =dan
menemukan 345 kasus. Efendi mengatakan, dari 345 kasus tersebut, 245
pembalakan liar terjadi di areal penggunaan lain (APL) dan 95 titik berada di
hutan lindung dan hutan produksi.
Para pelakuada yang perorangan, kelompok, atau badan usaha tertentu.
Dalam beberapa kasus, ada keterlibatan pemuka masyarakat dan oknum
pemerintah. “KPHA meminta aparat penegak hukum dan Dinas Kehutanan Aceh
untuk melakukan tindakan. Pendataan alat penebang kayu, review perizinan,
penertiban kendaraan pengangkut, penyusunan regulasi, dan edukasi kepada
masyarakat harus dilakukan.”

MenurutEfendi, kondisi hutan di Aceh saat inikritis. Luasannya terus
berkurang karena pembukaan untuk perkebunan, pertambangan, pembukaanjalan,
terlebih pembalakan liar. “Berkaca pada investigasi KPHA 2014, ada 287 titik
pembukaanhutan, 69 pembalakan liar, 47 kasus kebakaran hutan yang
mengakibatkan terjadinya 23 titik bencana. Ini belumtermasuk 62 kasus
perdagangan dan penguasaan satwa dilindungi.”
http://www.mongabay.co.id/2015/11/18/tahun-2015-kpha-temukan-345-kasusillegal-logging-di-aceh/
Analisa :
Kasus illegal logging di areal penggunaan lain, hutan lindung, dan hutang
sumber semata-mata terjadi karena faktor ekonomi. Badan usaha tertentu memilih
jalur illegal logging karena biaya pengurusan izin menebang dari tempat yang
seharusnya membutuhkan biaya yang mahal. Dengan melakukan illegal logging
keuntungan yang didapat akan jauh lebih banyak dibanding dengan pengurusan
izin terlebih dahulu. Terbangun nya stigma masyarakat akan kesulitan pengurusan
izin terhadap pemerintah setempat untuk badan dan kegiatan usaha nya pun
menjadi salah satu faktor penyumbang terjadi nya ilegal logging. Pihak
pemerintah yang turut ikut campur dalam kejahatan ini pun terdorong oleh alasan
ekonomi. Karena kurang nya pendapatan dari gaji pokok pegawai negri sipil maka
beberapa oknum dalam pemerintahan mencari penghasilan sampingan yang jauh
lebih menguntungkan. Para pemilik badan usaha berkompromi dengan oknum
pemerintah untuk menutupi kejahatan nya dengan membayar oknum tersebut jika
terlanjut mengetahui kegiatan illegal yang dilakukan oleh badan usaha tersebut.
Solusi :
Pemerintah harus melakukan audit pada kinerja dari tiap pegawai yang
bertugas pada bidang perizinan, sehingga kerja dari pemerintah akan terbebas dari
korupsi dan pungutan liar. Korupsi dan pungutan liar dapat membuat badan usaha
yang berniat jujur untuk mengambil jalur lain yang lebih mudah.

Badan usaha yang bergerak di bidang penyediaan kayu harus
mempertimbangkan dampak lingkungan dari pekerjaan nya. Dengan terbangun
nya kesadaran lingkungan maka badan usaha akan melakukan penebangan pada
area yang seharusnya yang sudah ditentukan oleh pemerintah setempat. Pemilik
badan usaha juga seharusnya melakukan pemeriksaan pada pegawainya karena
biasanya ilegal logging tidak dilakukan karena perintah atasan melainkan karena
kelalaian salah satu bagian dalam pelaku dalam proses penyediaan kayu yang
memilih jalur lebih mudah untuk memuaskan permintaan atasan nya.
b. Kasus Kedua (Kayu gelondong)
Sebelumnya, pada 30 Oktober 2015, tim gabungan dari Polres dan Dinas
Kehutanan Kabupaten Aceh Timur menyita 133 kayu gelondongan yang di curi
dari hutan lindung di Kecamatan Simpang Jernih, Kabupaten Aceh Timur.
Kasat Reskrim Polres Aceh Timur, AKP Budi Nasuha mengatakan, tim
gabungan telah sepekan mengintai kegiatan tersebut. Namun, saat penangkapan,
tim tidak menemukan pemiliknya. “Jumlah kayu yang disita adalah 133 kayu
gelondongan. Kayu hasil pembalakan ini, akan dibawa ke Aceh Timur melalui
sungai Aceh Tamiang.”
Budi

menjelaskan,

133

batangkayuberbagaijenistanpapemilikitu,

ditemukan di beberapalokasi di hutan pedalaman Aceh Timur. Antara lain di
Gampong Alur Semerut, Gampong Batu Sumbang, dan Gampong Bedari,
Kecamatan Simpang Jernih. Bila dibelah jumlahnya bisa puluhan kubik.”
Kecamatan Simpang Jernih merupakan salah satu kecamatan di Aceh
Timur yang paling banyak terjadi illegal logging. Selain karena letaknya yang
berbatasan langsung dengan hutan lindung, juga karena kayu bisa dihanyutkan
melalui sungai yang langsung masuk ke Kabupaten Aceh Tamiang. Sebagian
besar pelaku merupakan warga Kabupaten Aceh Tamiang. Mereka masuk lewat
jalur sungai,”ujar Budi.

Luasan hutan di Aceh sekitar 3.562 juta hektar atau 62,75 persen dari
luasan Aceh. Rinciannya, hutan konservasi 1.057.942 hektar, hutan lindung seluas
1.790.256 hektar, dan hutan produksi 714.083 hektar.
Dari jumlah tersebut, hasil hitungan Walhi Aceh menunjukkan,
masyarakat Aceh membutuhkan 1,3 juta meter kubik kayu per tahun. Namun, dari
kebutuhan tersebut hanya sebagian kecil yang diperoleh secara sah. Sebagian
besar kayu yang beredar di pasaran merupakan kayu hasil pembalakan. “Kayukayu tersebut dijual bebas di sejumlah panglong kayu di Aceh, tanpa ada
pemeriksaan dari aparat penegak hukum atau dari Dinas Kehutanan,” kata M
Nur, Direktur Walhi Aceh.
Analisis :
Dilihat dari pernyataan direktur walhi aceh, penebangan liar pada kasus ini
didorong oleh faktor kebutuhan kayu yang besar dengan tingkat produktifitas
penyedia yang masih kurang memadai. Terkendala dalam waktu perizinan dan
sulit nya birokrasi membuat badan usaha penyedia kayu melakukan ilegal logging
demi mempercepat proses penghasilan kayu dan memperbanyak produksi.
Masalah terkait distribusi juga mendorong penyedia kayu untuk melakukan illegal
loging. Terbukti dari hasil illegal loging yang dikirim melalui aliran sungai.
Distribusi dalam hal ini kemungkinan mendapat kendala pada hal ekonomi yang
terlampau mahal, sehingga harga kayu akan meningkat jauh lebih mahal dari yang
seharusnya jika memakai jalur distribusi yang legal dengan cara penebangan yang
legal.
Solusi :
Dalam hal ini pemerintah dan prodsen kayu harus bersinergis demi
memenuhi kebutuhan kayu penduduk setempat. Masalah infrastruktur juga dapat
menyelesaikan permasalah distribusi kayu.

BAB III
PENUTUP
1. Illegal logging merupakan kegiatan penebangan hutan tanpa izin resmi dari pemerintah
setempat pada tempat yang seharusnya ataupun tidak seharusnya.
2. Faktor ekonomi dan ketidak percayaan badan usaha pada pemerintah setempat
merupakan faktor utama pendorong illegal logging
3. Illegal logging dapat berdampak pada rusaknya ekosistem, hilangnya flora dan fauna
yang dilindungi, dan merugikan rakyat dan pemerintah
4. Pasal 1 ayat (1) Undang-undang nomor 41 tahun 1999 dan UU No.4 Tahun 1999 tentang
kehutanan Indonesia
5. Contoh kasus yang dijabarkan adalah terlibatnya pemerintah dalam kegiatan illegal
logging pada tempat-tempat yang tidak seharusnya dan terjadinya distribusi yang tidak
seharusnya pada penebangan liar
6. Solusi dari kasus ini adalah terbentuknya sinergi antar kedua belah pihak yaitu
pemerintah dan badan usaha produsen kayu, juga pemeriksaan periodik terhadap pihak
masing-masing

Daftar Pustaka
http://www.mongabay.co.id/2015/11/18/tahun-2015-kpha-temukan-345-kasus-illegallogging-di-aceh/
Mulida Hayati. 2011. Penegakan Hukum Bagi Pelaku Illegal Logging dan
implementasinya terhadap Pelestarian Lingkungan Hidup, Jurnal Hukum Vol. 18 No. 1
Fakultas Hukum Universitas Palangkaraya, Yogyakarta. hlm. 51.
Laporan teknis no.11 November 2011, Review tenteng illegel logging sebagai ancaman
terhadap sumber daya hutan dan impelemntasi kegiatan pengurangan Emisi dan
Deforestasi dan Degradasi (REDD) di Indonesia.