MAKALAH DAN PATOFISIOLOGI SISTEM PERNAFASAN

MAKALAH PATOFISILOGI DAN IDK
PATOFISIOLOGI SISTEM PERNAFASAN
“PENYAKIT ASMA”

Disusun oleh :
1. Emil Nur Arifah

(1606067104)

2. Endang Sri Wahyuni

(1606067105)

3. Eni Widiastuti

(1606067106)

4. Erni Wijayanti

(1606067107)


5. Erni Wulandari

(1606067108)

AKADEMI FARMASI INDONESIA
YOGYAKARTA
2018

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur kami panjatkan Kehadirat Allah SWT atas limpahan
Rahmat dan Hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas mata kuliah
Patofisiologi dan IDK dengan judul “PATOFISIOLOGI SISTEM PERNAFASAN :
PENYAKIT ASMA’’ pada waktu yang telah ditentukan. Untuk itu pada kesempatan ini
penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :
1. Dian Ratna Rianti, M.Sc., Apt. yang telah membimbing kami dalam mata kuliah
Patofisiologi dan IDK dan memberikan tugas ini.
2. Agustina Susilowati, M.Farm., Apt. yang telah membimbing kami dalam mata
kuliah Patofisiologi dan IDK.
3. Keluarga dan teman-teman serta pihak lain yang tidak dapat kami sebutkan satu

persatu yang telah membantu proses serta memberikan dukungan dalam
pembuatan makalah ini.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih mempunyai banyak kekurangan. Untuk itu
kritik dan saran yang mebangun dari pembaca sangat dibutuhkan demi peningkatan makalah
dimasa yang akan datang.

Yogyakarta, Juni 2018

Kelompok II/4C

ii

DAFTAR ISI
Halaman Judul ...................................................................................................... i
Kata Pengantar ...................................................................................................... ii
Daftar Isi ............................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 4
A. Latar Belakang .......................................................................................... 4
B. Rumusan Masalah ..................................................................................... 5
C. Tujuan ....................................................................................................... 5

BAB II PEMBAHASAN ...................................................................................... 6
A. Sistem Pernafasan ..................................................................................... 6
B. Definisi Penyakit Asma ............................................................................ 17
C. Penyebab Penyakit Asma ......................................................................... 17
D. Tanda dan Gejala Penyakit Asma ............................................................. 18
E. Patofisiologi Penyakit Asma ..................................................................... 19
F. Mediator yang Terlibat Pada Penyakit Asma ........................................... 22
G. Klasifikasi Penyakit Asma Berdasarkan Penampakan Klinis .................. 24
BAB III PENUTUP .............................................................................................. 26
A. Kesimpulan ............................................................................................... 26
B. Saran ......................................................................................................... 26
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 27

iii

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Asma adalah penyakit inflamasi atau peradangan kronik saluran nafas yang
ditandai adanya mengi, batuk, dan rasa sesak di dada yang berulang dan timbul

terutama pada malam atau menjelang pagi akibat penyumbatan saluran pernafasan.
Penyakit ini masih menjadi masalah kesehatan masyarakat dihampir semua negara di
dunia, diderita oleh anak – anak sampai dewasa dengan derajat penyakit dari ringan
sampai berat, bahkan beberapa kasus dapat menyebabkan kematian. Asma merupakan
penyakit kronis yang sering muncul pada masa kanak – kanak dan usia muda
sehingga dapat menyebabkan kehilangan hari – hari sekolah atau hari kerja produktif
yang berarti, juga menyebabkan gangguan aktifitas sosial, bahkan berpotensi
menganggu pertumbuhan dan perkembangan anak.
Angka kejadian asma bervariasi diberbagai negara, tetapi terlihat kecenderungan
bahwa penderita penyakit ini meningkat jumlahnya, meskipun belakangan ini obat –
obatan asma banyak dikembangkan. National Health Interview Survey di Amerika
Serikat memperkirakan bahwa setidaknya 7,5 juta orang penduduk negeri itu
mengidap bronkhitis kronik, lebih dari 2 juta orang menderita emfisema dan
setidaknya 6,5 juta orang menderita salah satu bentuk asma. Laporan organisasi
kesehatan dunia (WHO)

dalam World Health Report 2000 menyebutkan, lima

penyakit paru utama merupakan 17,4% dari seluruh kematian didunia, masing –
masing terdiri dari infeksi paru 7,2%, PPOK (Penyakit Paru Obstruksi Kronis) 4,8%,

Tuberkulosis 3,0%, Kanker Paru atau Trakea atau Bronkus 2,1%, dan Asma 0,3%.
Saat ini penyakit asma masih menunjukkan prevalensi yang tinggi. Berdasarkan
data dari WHO (2002) dan GINA (2011), diseluruh dunia diperkirakan terdapat 300
4

juta orang menderita asma dan tahun 2025 diperkirakan jumlah pasien asma mencapai
400 juta. Jumlah ini dapat saja lebih besar mengingat asma merupakan penyakit yang
underdiagnosed. Buruknya kualitas udara dan berubahnya pola hidup masyarakat
diperkirakan menjadi penyebab meningkatnya penderita asma. Data dari berbagai
negara menunjukan bahwa prevalensi penyakit asma berkisar antara 1-18% (GINA,
2011).

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apakah sistem pernafasan?
2. Apakah definisi penyakit asma?
3. Apa penyebab penyakit asma?
4. Bagaimana tanda dan gejala dari penyakit asma?
5. Bagaimana patofisiologi penyakit asma?
6. Apa mediator yang terlibat pada penyakit asma?
7. Bagaimana klasifikasi penyakit asma berdasarkan penampakan klinisnya?


C. TUJUAN
1. Menjelaskan sistem pernafasan pada manusia.
2. Menjelaskan definisi penyakit asma.
3. Menjelaskan penyebab penyakit asma.
4. Menjelaskan tanda dan gejala dari penyakit asma.
5. Menjelaskan patofisiologi penyakit asma.
6. Menjelaskan mediator yang terlibat pada penyakit asma.
7. Menjelaskan klasifikasi penyakit asma berdasarkan penampakan klinis.

5

BAB II
PEMBAHASAN
A. SISTEM PERNAFASAN PADA MANUSIA
Fungsi utama sistem pernafasan adalah pertukaran gas. Dalam proses pertukaran
ini, udara memasuki tubuh pada saat inhalasi (inspirasi); kemudian udara pernafasan
tersebut berjalan sepanjang trakus resporatorius melalui pertukaran antara oksigen dan
karbon dioksida di tingkat jaringan; dan akhirnya karbon dioksida dihembuskan ke
luar pada saak ekshalasi (ekspirasi).

Saluran nafas atas yang terususun atas rongga hidung, mulut, faring, dan laring,
memungkinkan udara mengalir ke dalam paru – paru. Daerah yang bertanggung jawab
atas penghangatan, pelembaban (humidifikasi), serta penyaringan udara dan dengan
demikian melindungi saluran nafas bawah terhadap benda asing.
Saluran nadas bawah terdiri atas trakea, bronkus utama, bronkus sekunder
(percabangan bronkus), bronkiolus dan bronkiolus terminalis. Struktur ini merupakan
ruang hampa anatomik dan hanya berfungsi sebagai lintasan untuk mengalirkan udara
ke dalam serta ke luar paru-paru. Disebelah distal setiap bronkuolus respatorik, duktus
alveolaris, dan sakus alveolaris. Bronkiolus serta duktus berfungsi sebagai salurang
pengahantar, dan alveoli merupakan unit utama pertukaran gas. Pembagian akhie
percabangan beonkus akan membntuk lobulus, unit fungsional paru-paru.

6

Gambar 1. Gambar strukur lobulus paru
Disamping menghangatkan, melembabkan, dan menyaring udara yang dihirup
pada saat inspirasi, saluran nafas bawah melindungi paru-paru melalui beberapa
mekanisme pertahanan. Mekanisme pembersihan meliputi refleks batuk dan sistem
mukosiliaris. Sistem mukosiliaris memproduksi mukus (lendir) yang nemangkap
partikel-partikel asing. Lalu benda asing disapu ke saluran pernadasan atas atau

kemudian mengalami ekspektorasi oleh tonjolan-tonjolan khusus berbentuk jari-jari
tangan, yang dinamakan silia. Gangguan epitelium paru-paru atas sistem mukosi;iaris
dapat menyebabkan malfungsi mekanisme pertahanan sehingga polutan dan iritasi
dapat masuk ke dalam paru-paru dan menyebabkan inflamasi. Saluran nafas bawah
juga memberi perlindungan imunologis dan mengawali respons cedera pulmoner.
Komponen ekternal respirasi (ventilasi atau pernafasan) membawa udara
dihirup tersebt ke dalam saluran pernafasan bawah dan alveoli paru. Kontraksi dan
relaksasi otot-otot respiratorius menggerakkan udara keluar masuk paru-paru.
Ekspirasi normal berjalan secara pasif; otot-otot inspirasi berhenti berkontraksi dan
pengembangan jaringan paru serta dinding dada yang bersifat elastis menyebabkan
otot tersebut berkontraksi kembali. Gerakan ini mengingkatkan tekanan didalam paru7

paru hingga diatas tekanan atmosfer sehingga terjadi aliran udara dari paru-paru ke
dalam atmosfer.
Paru-paru dewasa diperkirakan mengandung 300 juta alveoli. Setiap alveoli
dipasok oleh banyak pembuluh kapiler. Untuk mencapai lumen kapiler, oksigen harus
melewati membran kapiler alveoli. Alveoli paru memfasilitasi pertukaran gas melalui
difusi, pelintasan molekul-molekul gas melalui membran respiratorius. Dalam proses
difusi, oksigen masuk kedalam darah dan karbon dioksida yang merupakan produk
sampingan metabolisme sel akan keluar dari dalam darah serta dibuang melalui

saluran nafas.
Darah yang beredar membawa oksigen ke sel-sel tubuh untuk keperluan
metabolisme dan mengangkut zat-zat limbah metabolik serta karbon dioksida dari
jaringan kembali ke dalam paru-paru. Ketika darah bersih (yang mengandung
oksigen) mencapai pembuluh kapiler jaringan, oksigen berdifusi dari darah kedalam
sel jarena gradien tekanan oksigen. Jumlah oksigen yang tersedia bagi sel bergantung
pada konsentrasi hemoglobin (pembawa oksigen yang utama) didalam darah, aliran
darah setempat, kandungan oksigen arteri dan curah jantung.
Karena peredaran darah berlangsung terus menerus, karbon dioksida dalam
kondisi yang normal tidak pernah menumpuk dalam jaringan tubuhm karbon dioksida
yang dihasilkan selama respirasi sel akan berdifusi dalam jaringan ke pembuluh
kapiler regional san diangkut oleh sirkulasi vena sistemik. Ketika karbon dioksida
mencapai kapiler alveolaris, gas ini akan berdifusi ke dalam alveoli yang tekanan
parsial kabon dioksidanya (PaCO2) lebih rendah. Karbon dioksida dikeluarkan dari
alveoli pada saat ekspirasi.
Untuk pertukaran gas yang efektif, ventilasi dan perfusi pada tingkat alveoler
harus sangat cocok dengan rasio ventilasi terhadap perfusi disebut rasio V/Q.

8


Ketidakcocokan V/Q dapat terjadi karena disfungsi ventilasi-perfusi atau perubahan
makanik paru. Pertukaran gas paling evektif bergantung pada hubungan antara
vnetilasi dan perfusi yang diungkapkan lewat rasio V/Q. Diagram dibawah
memperlihatkan apa yang terjadi pada rasio V/Q yang normal dan abnormal.

Kalau rasio V/Q cocok, darah kotor dari Kalau rasio V/Q rendah, sirkulasi pulmoner
sistem vena akan kembali ke ventrikel adekuat tetapi tidak terdapat cukup oksigen
kanan dan kemudian melalui arteri untuk difusi yang normal (yang dilukiskan
pulmonalis memasuki paru-pari dengan dengan adanya halangan pada ventilasi).
membawa karbon dioksia. Pembuluh Bagian
arteri

bercabang

menjadi

darah

yang


mengalir

melalui

kapiler pembuluh darah paru tidak mengalami

alveoler tempat pertukaran gas terjadi

oksigenasi.

Gambar 2. Vertilasi dan perfusi normal

Gambar 3. Ventilasi yang tidak adekuat

Kalau

rasio

V/Q

tinggi,

(shunt)
ventilasi Silent unit

menunjukkan

tidak

adan

berjalan normal tetapi alveoli menurun ventilasi dan perfusi pada daerah paru
atau tidak terdapat (dilukiskan dengan (yang dilukiskan dengan adanya halangan
adanya

halangan

Keadaan

ini

perfusi,
gangguan

terjadi

seperti
yang

pada

perfusi). pada perfusi dan ventilasi). Bagian darah

karena

emboli

paru

menurunkan

defek yang mengalir melalui pemuluh darh paru
atau tidak mengalami oksigenasi.
curah

jantung.

9

Gambar 4. Perfusi yang tidak adekuat
(dead space ventilation)

Gambar 5. Ventilasi dan perfusi yang tidak
adekuat (silent unit)

Gambar 6. Keterangan gambar
Jumlah udara yang membawa oksigen dan mencapai paru-paru bergantukng
pada volime dan kapasitas paru, kelenturan serta resistensinya terhadap aliran udara.
Perubahan keleturan dapat terjadi pada paru dan atau dinding dada. Kerusakan serabut
elastik paru yang terjadi pada sindrom gawat nafas dewasa (adult respiratori distress
syndrome) akan menurunkan kelenturan paru. Paru-paru menjadi kaku sehingga
pasien sulit bernafas. Membran kapiler alveolaris dapat pula tertekan sehingga terkadi
hipoksia. Kelenturan dinding dada dipengaruhi oleh gangguan yang menyebabkan
deformitas toraks, spasme otot, dan distensi abdomen.
Respirasi juga dikendalikan secara neurolohis oleh medula oblongata pers
lateralis pada batang otak. Impuls berjalan disepanjang nervus fewnikus dibawah
untuk mencapai diafragma dan kemudian disepanjang nervus interkostalis yang

10

terdapat diantara tulang-tulang iga (kosta). Frekuensi dan kedalaman pernafasan
dikontrol dengan cara serupa.
Pusat apneustatik dan pneumotaksik dalam pons pada daerah mesensefalon
(midbrain) memengaruhi pola pernafasan. Stimulasi pusat apneustik pontinus inferior
akan menimbulkan tarikan nafas inspiratorik yang kuat dan bergantian dengan
ekspirasi lemah. Pola ini tidak terjadi pada nervus vagus masih utuh. Pusat
apneustatik secara kontinue mengeksitasi pusat inspirasi dalam medula oblongata dan
dengan cara demikian memfasilitasi inspirasi. Sinyal dari pusat pneumotaksik dan
implan aferen dari nervus vagus menghambat pusat apneustatik dan “memastikan”
inspirasi.
Disamping itu, kemoreseptoe akan bereaksi terhadap konsentrasi ion hidrogen
darah arterial (pH), PaCO2, dan tekanan parsial oksigen arterial (PaO 2). Kemoreseptor
sentral bereaksi secara tidal langsung terhadap darah arteri dengan mengindera
perubahan pada pH cairan serebrospinal. PaCO2 juga membantu meregukasu vebtilasi
debgan memengaruhi pH cairan serebrospinal. Jika nilai PaCO2 tinggi. Frekuensi
respirasi akan meningkat; jika nilai PaCO2 rendah, frekuensi respirasi menurun.
Informasi dari kemoreseptor perifer dalam glomus keratikus dan badan aorta juga
responsif terhadap penurunan PaO2 dan nilai pH. Salah satu diantara kedua perubahan
ini mengakhibatkan peningkatan dorongan untuk bernafas dalam hitungan menit.
Manifestasi patofisiologi penyakit pernafasan dapat berasal dari atelektasis,
bronkkiektaksis, sianosis, dan hipoksemia.
1. Atelektasis
Atelektasis terjadi kalau sakus alveolaris atau seluruh segmen paru tidak
mengembang seutuhnya sehingga terdapat kolaps paru yang bersifat parsial
ataupun total. Fenomena ini membuat bagian tertentu paru tidak bisa melakukan

11

pertukaran gas sehingga darah kotor mengalir tanpa berubah melalui bagian atau
regio tersebut dan menyebabkan hipoksia. Atelektasis dapat bersifat kronis atau
akut dan umumya terjadi pada pasien yang menjalani pembedahan toraks atau
abdomen bagian atas. Ada dua penyebab utama kolaps paru yang terjadi karena
atelektasis; atelektasis absorpsi, yang terjadi sekunder karena obstruksi bronkus
atau bronkiolus, dan atelektasis kompresi.
 Atelektasis absorpsi
Oklusi bronkus yang menghalangi aliran masuk udara ke dalam alveoli
disebelah distal obstruksi dapat menyebabkan atelektasis absorpsi, yaitu
udara yang ada didalam a;veoli akan diserapsecara berangsur kedalam
aliran darah dan akhirnya terjadi kolaps paru. Keadaan ini dapat terjadi
karena obstruksi intrinsik atau ekstrinsik bronkus. Penyebab intrinsik yang
paling sering ditemukan adalah retensi sekret atau eksudat yang
membentuk sumbatan mukus. Gangguan seperti penyakit kistik fibrinosis,
bronkitis kronis, atau pneumonia akan meningkatkan resiko atelektasis
absorpsi. Atelektasis ekstrinsik bronkus bisanya timbul karena okulasi
yang disebabkan oleh benda asing, karsinoma bronkogenik, dan jaringan
parut.
 Atelektasis kompresi
Atelektasis kompresi terjadi karena eksternal yang mendorong udara
keluar dari dalam paru dan membuat paru menjadi kolaps. Keadaan ini
dapat tejadi karena insisi bedah pada abdomen bagian atas, graktur iga,
nyeri pleuritik dada, pemasangan pembalut dada yang terlalu ketat, dan
obesitas (yang menaikkan diafragma serta mengurangi tidal volume).
Situasi ini akan membuat paru tidak dapat mengembang penuh atau
12

membuat pasien merasa sakit ketika harus menarik nafas yang dalam
sehingga terjadi atelektasis kompresi sebagai akhibatnya.
2. Bronkiektasis
Bronkiektasis ditandai oleh dilatasi kronis bronkus yang abnormal serta
destruksi

dinding

bronkus,

dan

dapat

terjadi

di

seluruh

percabangan

trakeobronkial. Bronkiektasis dapat terbatas pada satu segmen atau pada satu
lobus saja. Kelainan ini biasanya bersifat bilateral dan meliputi segmen basiler
lobus paru sebelah bawah.
Ada tiga bentuk bronkiektasis: silindris, fusidormis (varikosa), dan sakuler
(kistik). Pada bronkiektasis silindrism biasanya bronkiolus mengalami dilatasi
yang simetris, sedagkan pada bronkiektasis fusiformis terdapat deformitas
bronkiolus. Pada bronkiektasis sakuler, bronkus yang besar dapat melebar dan
berbentuk seperti balon. Ketiganya terjadi karena keadaan yang berikatan dengan
kerusakan berulang pada dinding bronkus disertai klirens mukosiliaris abnormal,
yang menyebabkan kerusakan pada jaringan oenyangga didekat saluran nafas
tersebut. Keadaan tersebut meliputi :
 Kistik fibrosis
 Gangguan imun (agamaglobulinemia)
 Infeksi saluran nafas rekuren oleh bakteri tanpa mendapat pengobatan
yang memadai (tuberkolosis)
 Komplikasi penyakit campak, penumonia, pertusis, atau infuenza
 Obstruksi (akhibat benda asing, tumor, atau stenosis) disertai infeksi yang
rekuren
 Inhalasi gas yang korosif atau aspirasi cairan lambung yang berulang
kedalam paru-paru
13

 Anomali kongenital, seperti bronkomalasia, bronkiektasis kongenital, dan
sindrom Kartagener (yang terjadi atas bronkiektasis, sinusitis, serta
dekstrokardia)
 Gangguan langka seperti sindrim immotilitas silia

Gambar 7. Bentuk bronkiektasis
Pada pasien-pasien bronkiektasis, sputum akan menumpuk di dalam
bronkus yang mengalami dilatasi dan menimbulkan infesi sekunder yang ditandai
oleh inflamasi serta akumulasi leukosit. Debris tambahan akan berkumpul di
dalamnya dan menyumbat bronkus. Peningkatan tekanan dakhibat retensi sekresi
ini akan menimbulkan cedera mukosa.
3. Sianosis
Sianosis meupakan perubahan warna kulir dan membran mukosa menjadi
kebiruan. Pada sebagian besar orang yang berkulit cerah, warna kebiruan pada
dasar kuku dan bibir dapat terdeteksi dengan mudah. Sianosis sentral
menunjukkan penurunan saturasi oksigen yang terikat hemoglobin dalam darah

14

dan bentuk sianosis ini terlihat paling jelas pada membran mukosa pipi serta bibir.
Sianosis perifer merupakan keadaan pelambatan aliran darah pada jari-jari tangan
dan kaki, yangg paling jelas terlihat jika kita memeriksa daerah dasar kuku.
Sianosis dapat terjadi karena desaturasi oksigen dalam hemoglobin atau
penurunan kadar hemoglobin. Kalau terdapat 5 gram hemoglobin yang mengalami
desaturasi maka sianosis akan terjadi sekalipun jumlah oksigen cukup ataupun
kurang. Keadaan yang mengakibatkan sianosis meliputi penurunan oksigenase
darah arteri (yang ditunjukkan oleh PaO2 yang rendah), shunt paru atau jantung
dari kanan ke kiri, penurunan curah jantung, rasa cemas, dan lingkungan yang
bersuhu dingin.
Seseorang yang tidak menunjukkan gejala sianosis belum tentu memiliki
oksigenasi yang adekuat. Oksigenasi jaringan yang tidak adekuat dapat terjadi
pada anemia berat dengan kadar hemoglobin tidak memadai. Keadaan ini juga
terjadi pada keracunan karbon monoksida dengan hemoglobin meningkat karbon
monoksida sebagai pengganti oksigen. Walaupun pada pemeriksaan tidak
ditemukan gejala sianosis, namun oksigenasi tidak adekuat.
Pasien lain mungkin tampak sianosis meskipun oksigenasi adekuat, seperti
pada polisitemia, yaitu peningkatan jumlah sel darah merah secara abnormal.
Karena kadar hemoglobin meningkat dan oksigenasi terjadi dengan kecepatan
normal, pasien masih bisa ditemukan dengan gejala sianosis.
Sianosis merupakan keadaan yang ditemukan pada pemeriksaan pasien dan
harus diinterpretasi dalam kaitannya dengan patofisiologi yang mendasari.
Diagnosis oksigenasi yang tidak adekuat dapat dipastikan melalui pemeriksaan
analisis gas darah arteri dan pengukuran PaO2.

15

4. Hipoksemia
Hipoksemia merupakan penurunan oksigenasi dalam darah arteri yang
dibuktikan melalui penurunan PaO2 pada pemeriksaan gas darah arteri. Keadaan
hipoksemia terjadi karena perubahan respirasi, sedangkan hipoksia merupakan
penurunan oksigenasi jaringan pada tingkat seluler yang dapat disebabkan oleh
keadaan-keadaan yang mengenai sistem tubuh lain tetapi tidak ada berkaitan
dengan perubahan faal paru. Curah jantung yang rendah atau keracubab sianida
dapat menyebabkan hipoksia dan perubahan respirasi. Hipoksia dapat terjadi pada
bagia tubuh manapun. Jika hipoksia terjadi dalam darah, keadaan ini dinamakan
hipoksemia. Hipoksemia dapat menimbulkan hipoksia jaringan.
Hipoksemia dapat terjadi karena penurunan kandungan oksigen dalam udara
yang dihirup pada saat inspirasi, hipoventilasi, kelainan difusi, rasio V/Q yang
abnormal dan shunt pulmoner dari kanan ke kiri. Mekanisme fisiologis bagi setiap
penyebab hipoksemia amat bervariasi.
Tabel 1. Penyebab utama hipoksemia dan faktor yang menimbulkan hipoksemia
Penyebab utama
Penurunan oksigen
dihirup saat inspirasi
Hipoventilasi

Faktor yang mengkontribusi
yang Tempat tingii, inhalasi gas dengan kandungan
oksigen yang rendah atau bernafas dalam ruangan
tertutup
Pusat respirasi tidak terstimulasi dengan tepat
(seperti pada keadaan oversedasi, overdosis, atau
kerusakan neurologi), penyakit paru obstruktif
menahun
kapiler Emfisema, keadaan yang menimbulkan fibrosis,
atau edema paru
ventilasi Penyakit asma, bronkitis kronis, atau pneumonia

Kelainan
difusi
alveoli
Ketidakcocokan
perfusi
Shunting (permintasan)

Sindrom gawat nafas dewasa, sindrom distres
pernafasan idiopatik pada bayi baru lahir atau
atelektasis

16

B. DEFINISI ASMA
Asma (bronkial) merupakan gangguan inflamasi pada jalan nafas yang ditandai
oleh obstruksi aliran udara nafas dan respon jalan nafas yang belebihan terhadap
berbagai bentuk rangsangan. Obstruksi jalan nafas yang menyebar luas tetapi
bervariasi ini disebabkan oleh bronkospasme, edema mukosa jalan nafas dan
peningkatan produksi mukus (lendir) disertai penyumbatan (plugging) serta
remodelling jalan nafas. Penyakit ini merupakan salah stu bentuk penyakit paru
obstruktif menahun (PPOM), yaitu penyakit paru jangka paru jangka panjang yang
ditandai oleh peningkatan resistensi jalan nafas; bentuk lain PPOM meliputi bronkitis
kronis dan emfisema.

C. PENYEBAB ASMA
Alergen ekstrisik meliputi :
 Polen ( tepung sari bunga)
 Bulu binatang
 Debu rumah atau kapang
 Bantal kapuk atau bulu
 Zat aditif pangan yang mengandung sulfit
 Zat lain yang menimbulkan sensitisasi
Alergen intrinsik meliputi :
 Iritan
 Stres emosi
 Kelelahan
 Perubahan endokrin
 Perubahan suhu
17

 Perubahan kelembaban
 Pajanan asap yang berbahaya
 Kecemasan
 Batuk atau tertawa
 Faktor genetik

D. TANDA DAN GEJALA ASMA
Asma ekstrinsik biasanya disertai gejala dan tanda klinis atopi (alergi tipe 1
yang diantarai IgE), seperti ekzema serta rinitis alergika. Umumnya bentuk serangan
asma ini timbul setelah terjadi infeksi saluran nafas yang berat, khususnya pada pasien
dewasa. Serangan asma akut diawali secara dramatis disertai lebih dari satu gejala
berat dengan awitan bersamaan dan kemudian secara berangsur akan terjadi
peningkatan kegawatan nafas (respiratory distress). Asma yang terjadi disertai gejala
sianosis, konfusi, serta letargi meunjukan awitan status asmatikus dan gagal nafas
yang bisa membawa kematian.
Tanda dan gejala asma meliputi :
 Dipsnea mendadak, mengi dan rasa berat pada dada
 Batuk – batuk dengan sputum yang kental, jernih, ataupun kuning.
 Takipnea, bersamaan dengan otot – otot respirasi aksesorius
 Denyut nadi yang cepat
 Pengeluaran keringan (persipirasi) yang banyak
 Lapangan paru yang hipersonor pada perkusi
 Bunyi nafas yang berkurang

18

E. PATOFISIOLOGI ASMA
Ada dua pengaruh genetik yang ditemukan pada penyakit asma, yaitu
kemampuan seseorang untuk mengalami asma (atropi) dan kecenderungan untuk
mengalami hepereaktivitas jalan nafas yang bergantung pada atropi. Lokasi
kromosom 11 yang berikatan dengan atropi mengandung gen abnormal yang
mengode bagian reseptor imunoglobin (Ig)E. Faktor – faktor lingkungan berinteraksi
dengan fakor – fakltor keturunan untuk menimbulkan reaksi asmatik yang disertai
brokospasme.
Pada asma, dinding bronkus mengadakan reaksi yang berlebihan terhadap
berbagai rangasangan sehingga terjadi spasme otot polos yang periodik dan
menimbulkan konstruksi jalan nafas berat. Antibofi IgE yang melekan pada sel – sel
mast yang mengandung histamin dan pada reseptor membran sel akan memulai
aserangan asma intrinsik. Ketika terpajan suatu antigen, seperti polen, antibodi IgE
akan berikatan dengan antigen ini.
Pada pajanan selanjutnya dengan antigen tersebut, sel – sel mast mengalami
degranulasi dan melepaskan mediator. Sel – sel mast dalam jaringan interstisial paru
akan terangsang untuk melepaskan histamin dan leukotrien. Histamin terikat pada
tempat – tempat reseptor dalam bronkus yang besar tempat substansi ini menyebabkan
pembengkakan pada otot polos. Membran mukosa mengalami inflamasi, iritasi, dan
pembengkakan. Pasien dapat mengalami dispnea, ekspirasi yang memanjang dan
frekuensi respirasi yang meningkatkan.
Leukotrien melekat pada tempat reseptor dalam bronkus yang lebih kecil dan
menyebabkan pembengkakan lokal otot polos. Leukotrien juga menyebabkan
prostaglandin berimigrasi melalui aliran darah ke dalam paru – paru dan dalam organ

19

ini, prostaglandin meningkatkan efek kerja histamin. Bunyi mengi (wheezing) dapat
terdengar pada saat batuk – semakin tinggi nadanya, semakin sempit lumen bronkus.
Histamin menstimulasi membran mukosa yang menyekresi mukus secara berlebihan
dan selanjutnya membuat lumen bronkus menjadi sempit. Sel – sel goblet menyekresi
mukus yang sangat lengket dan sulit dibatukkan keluar sehingga pasien semakin
batuk, memperdengarkan bunyi ronki serta mengi bernada tinggi dan mengalami
distres pernafasan yang bertambah berat. Selanjutnya edema mukosa dan sekret yang
kental dan menyumbat jalan napas.
Pada saat inspirasi lumen bronkus yang sempit masih dapat sedikit
mengembang sehingga udara masih dapat masuk kedalam alveoli. Pada saat
ekspirasai peningkatan tekanan intratorakal menyebabkan penutupan total lumen
bronkus. Udara bisa masuk, tetapi tidak bisa keluar. Dada pasien akan mengembang
dan menyerupai tong sehingga diberi nama dada tong (barrel ches) sementara pada
perkusi dada, didapat bunyi hipersonor (hiperesonan).
Mukus akan mengisi dasar paru dan menghalangi ventilasi alveoli. Darah
dipintas kedalam alveoli pada bagian paru yang lain tetapi pemintasan ini masih tidak
mampu mengimbangi penurunan ventilasi.
Hiperventilasi dipicu oleh reseptor paru – paru untuk meningkatkan volume
paru dan disebabkan oleh udara yang terperangkap serta obstruksi jalan nafas.
Tekanan gas intrapleural serta alveoler meningkat dan peningkatan ini menyebabkan
penurunan perfusi pada alveoli paru. Peningkatan tekanan gas alveoler, penurunan
ventilasi dan perfusi mengakibatkan rasio ventilasi – perfusi tidak merata dan tidak
cocok diberbagai segmen paru.
Hipoksia memicu hiperventilasi melalui stimulasi pusat pernafasan yang
selanjutnya akan menurunkan tekanan parsial karbon dioksida arteri (PaCO 2) dan

20

meningkatkan pH sehingga terjadi alkalosis respiratori. Seiring semakin berat
obstruksi jalan nafas, semakin banyak pula alveoli paru yang tersumbat. Ventilasi
serta perfusi tetap tidak ade kuat dan terjadilah retensi karbon dioksida. Akhibatnya
akan timbul asidosis respiratori dan akhirnya pasien mengalami gagal nafas.

21

F. MEDIATOR YANG TERLIBAT PADA PENYAKIT ASMA
Pada asma, terjadia reaksi jalan napas dan bronkospasme yang berlebihan.
Ilustrasi ini memperlihatkan proses perjalanan serangan asma.

Gambar 8. Histamin (H) melekat pada tempat reseptor dalam bronkus besar sehinga
terjadi pembengkakan otot polos.

Gambar 9. Leukotrien (L) melekat pada tempat reseptor dalam bronkus kecil dan
menyebabkan pembengkakakn otot polos ditempat tersebut. Leukotrien juga
22

menyebabkan migrasi prostaglandin melalui aliran darah kedalam paru – paru dan
disini, leukotrien meningkatkan kerja histamin.

Gambar 10. Histamin menstimulasi membran mukosa untuk menyekresi mukus
secara berlebihan dan selanjutnya menimbulkan penyempitan lumen bronkus. Pada
saat inspirasi, lumen bronkus yang sempit masih dapat sedikit mengembang, namun
pada saat ekspirasi, peningkatan tekanan intratorakal menyebabkan penutupan total
lumen bronkus.

23

Gambar 11. Mukus mengisi paru bagian bawah (basis pulmoner) dan menghambat
ventilasi alveoler. Darah akan dipintas ke alveoli pada bagian paru yang lain. Tetapi
tidak bisa mengimbang penurunan ventilasi.
G. KALSIFIKASI

PENBYAKIT

ASMA

BERDASARKAN

PENAMPAKAN

KLINIS
Pada tahun 1997, National Heart, Lung and Blood Institure pada National
Institute of Health mengidentifikasikan 4 tingkat intensitas asma berdasarkan
frekuensi timbulnya gejala serta eksaserbasi, efeknya pada tingkat aktivitas, dan hasil
pemeriksaan faal paru, keempat tingkat level atau intensitas adalah : intermiten
ringan, persisten ringan, persisten sedang dan persisten berat.
1. Gambaran klinis pada penyakit asma intermiten ringan
 Keluhan dan gejala asma terjadi kurang dari dua kali perminggu
 Pasien tampak asimtomatik disertai PEF (peak ekspiratori flow) normal
diantara serangan akserbasi
 Akserbasi singkat (selama beberapa jam hingga beberapa hari) dengan
intensitas bervariasi
 Keluhan dan gejala pada malam hari terjadi kurang dari dua kali perbulan
 Hasil pemerikasaan faal paru memperlihatkan FEV atau PEF melebihi
80% nilai normal; PEF dapat bervariasi dengan kisaran kurang dari 20%
2. Gambaran klinis pada penyakit asma persisten ringan
 Keluhan dan gejala asma terjadi lebih dari dua kali perminggu tetap kurang
dari satu kali perhari; akserbasi dapat memengaruhi aktifitas pasien
 Keluhan dan gejala pada malam hari terjadi lebih dari dua kali perbulan
 Hasil pemeriksaan faal paru memperlihatkan FEV atau PEF yasng
melebihi 80% nilai normal; PEF dapat bervariasi dengan kisaran 20%-30%
3. Gambaran klinis pada penyakit asma intermiten sedang
24

 Keluhan dan gejala asma terjadi tiap hari
 Aksaserbasi terjadi lebih dari dua kali perminggu dan dapat berlangsung
berhari – hari; aksaserbasi memengaruhi aktifitas pasien
 Terapi bronkodilator digunakan setiap hari
 Keluhan dan gejala pada malam hari terjadi lebih dari satu kali perminggu
 Hasil pemeriksaan faal paru memperlihatkan FEV atau PEF sebesar 60%80% nilai normal; PEF dapat bervariasi dengan kisaran melebihi 30%
4. Gambaran klinis pada penyakit asma intermiten berat
 Keluhan dan gejala asma terjadi secara terus menerus
 Aksaserbasi sering terjadi dan membatasi aktifitas pasien
 Keluhan dan gejala pada malam hari sering terjadi
 Hasil pemeriksaan faal paru memperlihatkan FEV atau PEF kurang dari
60% nilai normal; PEF dapat bervariasi dengan kisaran melebihi 30%

25

BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Sistem pernafasan adalah sistem organ yang digunakan untuk pertukaran gas.
Proses bernafas dilakukan dengan memasukkan udara kedalam tubuh (inspirasi) dan
menghembuskan karbon dioksida ke luar tubuh (ekspirasi). Asma adalah salah satu
gangguan sistem pernafasan. Asma adalah suatu penyakit kronik (menahun) yang
menyerang saluran pernafasan (bronchiale) pada paru dimana terdapat peradangan
(inflamasi) dinding rongga bronchial sehingga mengakibatkan penyempitan saluran
nafas yang akhirnya seseorang mengalami sesak nafas. Penyakit asma ditandai
dengan batuk pada pagi, siang dan malam hari, sesak nafas dan nafasnya tersengal,
bunyi saat bernafas, rasa tertekan pada dada, dan gangguan tidur karena batuk dan
sesak nafas
B. SARAN
Dengan beberapa uraian tentang sistem pernafasan, penyakit asma, tanda dan
gejala, patofisiologi penyakit asma diharapkan dapat menambah wawasan bagi
pembaca dan juga bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari.

26

DAFTAR PUSTAKA

Kemenkes, RI. 2014. INFODATIN Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI
Asma. Jakarta : Kemenkes RI.
Mayer., Welsh dan Kowalak. 2011. Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta : ECG

27