KEPEMIMPINAN DALAM ORGANISASI (1). docx

KEPEMIMPINAN DALAM ORGANISASI

Disarikan Kembali oleh Havid Ardi

I used to think that running an organization was equivalent to conducting a symphony orchestra.
But I don’t think that’s quite it; it’s more like jazz. There is more improvisation. — Warren Bennis
A.

Pendahuluan

Melalui organisasi, kita berlatih dan dituntut untuk mampu mengolah diri dengan benar, baik
secara naluriah maupun fitrah, sehingga lahir menjadi pribadi yang memiliki integritas. Sehingga
dengan berorganisasi, kita akan terasah dan terlatih untuk hidup berjamaah atau bekerja sama
dengan orang lain. Nah, dalam kebersamaan dalam organisasi itulah, akan terbentuk secara alami
manusia yang sempurna dalam arti psikologis. Yakni, manusia yang mampu dan tahu kapan
saatnya menempatkan posisi dirinya sebagai individu dan kapan dia harus lebih mementingkan
kepentingan organisasi demi kepentingan bersama.
Namun, berhasil atau tidaknya sebuah organisasi juga sangat ditentukan oleh berbagai komponen
dalam sebuah organisasi. Salah satu komponen penting dan menentukan keberhasilan tersebut
adalah pemimpin. Para pemimpin yang baik itu dibentuk tidak dilahirkan. Jadi, jika ingin dan
mau, kita dapat menjadi seorang pemimpin yang efektif.

Para pemimpin yang baik berkembang melalui sebuah proses yang tiada henti belajar-sendiri,
pendidikan, pelatihan, dan pengalaman (Jago, 1982). Makalah ini dimaksudkan untuk membantu
Anda melalui proses tersebut. Agar mampu menginspirasi anggota Anda ke tingkat yang lebih
tinggi dari kerja sama tim, ada beberapa hal yang harus Anda ketahui, wujudkan dan, lakukan.
Hal ini tidak datang secara alami, tetapi diperoleh melalui kerja terus-menerus dan belajar. Para
pemimpin yang baik terus bekerja dan belajar untuk meningkatkan keterampilan kepemimpinan
mereka, mereka TIDAK beristirahat di kemenangan mereka.
B.

Pengertian Organisasi

Namun sebelum kemana-mana, sebenarnya apakah pengertian organisasi? Secara umum dapat
dikatakan bahwa organisasi merupakan wadah untuk melakukan usaha bersama untuk mencapai
satu tujuan. Sementara definisi menurut para ahli, misalnya, Prof Dr. Sondang P. Siagian,
mengatakan organisasi sebagai setiap bentuk persekutuan antara dua orang atau lebih yang
bekerja bersama serta secara formal terikat dalam rangka pencapaian suatu tujuan yang telah
ditentukan dalam ikatan yang mana terdapat seseorang/beberapa orang yang disebut atasan dan
seorang/sekelompok orang yang disebut dengan bawahan. Dari definisi ini jelas dalam organisasi
terdapat orang-orang yang memiliki hubungan dipimpin dan memimpin dalam mencapai suatu
tujuan yang sama.


Sementara, definisi yang lebih sederhana dan tegas diberikan oleh Prof. Dr. Mr Pradjudi
Armosudiro bahwa organisasi merupakan struktur pembagian kerja dan struktur tata hubungan
kerja antara sekelompok orang pemegang posisi yang bekerjasama secara tertentu untuk
bersama-sama mencapai tujuan tertentu. Definisi ini mempertegas adanya pembagian kerja
dalam kelompok yang tujuan juga mencapai tujuan yang telah disepakati bersama.
Nah, setelah memahami definisi organisasi di atas, dapat kita tarik simpulan bahwa organisasi
merupakan suatu kegiatan yang melibatkan sekelompok orang yang berusaha secara bersamasama dengan suatu struktur kepemimpinan dan pembagian tugas yang jelas dalam upaya
mencapai tujuan bersama. Lantas, apa manfaatnya berorganisasi? Apalagi bagi mahasiswa yang
sedang sibuk-sibuknya kuliah dan menyelesaikan studinya.
Untuk mencapai nikmatnya manfaat berorganisasi itu memang butuh proses yang panjang dan
lama. Tidak bisa kita hanya berorganisasi dalam beberapa bulan lalu lahir sebagai manusia atau
mahasiswa yang memiliki kematangan pribadi seperti yang diuraikan di atas. Oleh karena itu,
kita harus mengetahui bagaimana cara-cara berorganisasi yang baik.
Organisasi yang baik memiliki 5 ciri utama. Yaitu, antara lain: Pertama, organisasi harus
memiliki anggota yang jelas identitas dan kuantitasnya. Setiap organisasi modern tentu menuntut
para anggotanya memiliki KTA (kartu tanda anggota). Maka, tidak dibenarkan istilah ”Romli”
atau “rombongan liar” yang merupakan kumpulan dari ”Talap” alias “anggota gelap” dari sebuah
”OTB” singkatan dari “organisasi tanpa bentuk”.
Kedua, organisasi harus memiliki identitas yang jelas tentang keberadaannya dalam masyarakat.

Artinya, jelas alamat kantornya, aktivitasnya dalam menjalankan roda organisasi. Ada nama,
lambang, dan tujuan organisasi yang termuat dalam AD dan ART dan struktur organisasinya.
Ketiga, organisasi harus memiliki pemimpin serta susunan manajemen yang juga jelas
pembagian tugasnya. Masing-masing bagian, divisi, maupun seksi juga aktif memainkan
perannya. Jadi, sangat ganjil dan dipastikan ”sakit parah” jika organisasi itu yang tampak paling
aktif adalah ketuanya sehingga tampak seperti pertunjukan sirkus ‘one man show’ dalam
manajemen organisasi itu.
Keempat, dalam setiap aktivitas organisasi harus mengacu pada manajemen yang sehat.
Misalnya, ada tiga tahapan dalam menjalankan roda organisasi, yaitu planning (perencanaan),
organization (pengorganisasian), action (pelaksanaan), controling (kontrol), dan evaluation
(penilaian). Kelima tahapan itu selalu dimusyawarahkan dan melibatkan sebanyak mungkin
anggotanya, terutama saat melewati tahap action. Kemudian, dalam manajemen yang juga harus
mendapat perhatian serius adalah administrasi. Surat bernomor, kop surat, dan ciri-ciri
administrasi lainnya yang lazim ada di sebuah organisasi.
Kelima, organisasi harus mendapat tempat di hati masyarakat sekitarnya. Artinya, organisasi itu
dirasakan benar manfaatnya bagi masyarakat. Maka, kegiatan organisasi dituntut untuk
mengakar kepada kebutuhan anggota khususnya, bahkan untuk masyarakat di sekelilingnya.
C.

Kepemimpinan dalam Organisasi


Setelah mengetahui pengertian dan manfaat umum organisasi, selajutnya kita masuk ke bagian
inti dalam makalah ini, yaitu membahas salah satu figur penting organisasi, yaitu pemimpin dan
kempemimpinan dalam organisasi. Sebenarnya, pemimpin dan kepemimpinan merupakan
suatu kesatuan kata yang tidak dapat dipisahkan secara struktural maupun fungsional.
Seperti organisasi, juga terdapat banyak pengertian-pengertian mengenai pemimpin dan
kepemimpinan, antara lain :
o Pemimpin adalah figur sentral yang mempersatukan kelompok
o Brown (1936) berpendapat bahwa pemimpin tidak dapat dipisahkan dari kelompok, akan
tetapi boleh dipandang sebagai suatu posisi dengan potensi tinggi di lapangan. Dalam hal ini,
Krech dan Crutchfield memandang bahwa dengan posisinya yang khusus dalam kelompok,
pemimpin berperan sebagai agen primer untuk penentuan struktur kelompok, suasana kelompok,
tujuan kelompok, ideologi kelompok, dan aktivitas kelompok.
o Leadership is a process by which a person influences others to accomplish an objective and
directs the organization in a way that makes it more cohesive and coherent.
o Northouse’s (2007, p3) definition — Leadership is a process whereby an individual influences
a group of individuals to achieve a common goal.
o Kepemimpinan sebagai suatu kemampuan mengarahkan orang lain untuk memperoleh hasil
yang maksimal dengan friksi sesedikit mungkin dan kerja sama yang besar, kepemimpinan
merupakan kekuatan semangat/moral yang kreatif dan terarah.

o Pemimpin adalah individu yang memiliki program/rencana dan bersama anggota kelompok
bergerak untuk mencapai tujuan dengan cara yang pasti.
Dari definisi di atas, jelas bahwa pemimpin merupakan salah satu figur penting yang menentukan
kesuksesan sebuah organisasi. Namun, berikutnya muncul dua pertanyaan yang menjadi
perdebatan mengenai pemimpin. Pertanyaan tersebut adalah: (1) apakah seorang pemimpin
dilahirkan atau ditempa? (2) Apakah efektivitas kepemimpinan seseorang dapat dialihkan dari
satu organisasi ke organisasi yang lain oleh seorang pemimpin yang sama?
Khalayak umum sering meyakini bahwa para pemimpin (leader) dilahirkan bukan ditempa.
Sementara kepemimpinan (leadership) adalah sesuatu yang dipelajari, keterampilan dan
pengetahuan yang diproses oleh pemimpin dapat dipengaruhi oleh atributnya atau miliknya atau
ciri, seperti kepercayaan, nilai, etika karakter, dan. Pengetahuan dan keterampilan berkontribusi
langsung kepada proses kepemimpinan, sedangkan atribut lain memberikan karakteristik tertentu
pada pemimpin yang membuat dia unik.
Untuk menjawab pertanyaan pertama tersebut kita lihat beberapa pendapat terkait. Pertama,
pihak yang berpendapat bahwa “pemimpin itu dilahirkan” melihat bahwa seseorang hanya akan
menjadi pemimpin yang efektif karena dia dilahirkan dengan bakat-bakat kepemimpinannya.
Sementara, kubu yang menyatakan bahwa “pemimpin dibentuk dan ditempa” berpendapat bahwa

efektivitas kepemimpinan seseorang dapat dibentuk dan ditempa. Caranya adalah dengan
memberikan kesempatan luas kepada yang bersangkutan untuk menumbuhkan dan

mengembangkan efektivitas kepemimpinannya melalui berbagai kegiatan pendidikan dan latihan
kepemimpinan.
Terkait dengan perdebatan tersebut, Sondang (1994) menyimpulkan bahwa seseorang hanya akan
menjadi seorang pemimpin yang efektif apabila :


seseorang secara genetika telah memiliki bakat-bakat kepemimpinan,



bakat-bakat tersebut dipupuk dan dikembangkan melalui kesempatan untuk menduduki
jabatan kepemimpinannya,



ditopang oleh pengetahuan teoritikal yang diperoleh melalui pendidikan dan latihan, baik
yang bersifat umum maupun yang menyangkut teori kepemimpinan.

Berikutnya, untuk menjawab pertanyaan kedua dapat dirumuskan dua asumsi yang sudah
barang tentu harus dikaji lebih jauh lagi apakah hal tersebut benar. Asumsi tersebut, yaitu, (1)

keberhasilan seseorang memimpin satu organisasi dengan sendirinya dapat dialihkan kepada
kepemimpinan oleh orang yang sama di organisasi lain, (2) keberhasilan seseorang memimpin
satu organisasi tidak merupakan jaminan keberhasilannya memimpin organisasi lain.
Selanjutnya, setelah mengetahui arti penting pemimpin dan kepemimpinan, kita akan melihat
tipe-tipe kepemimpinan. Kita mengenal beberapa pemimpin besar dunia yang memiliki gaya
kepemimpinan yang berbeda. Secara umum, tipe kepemimpinan itu dapat kita bagi menjadi:
1.
Tipe Otokratik, semua ilmuan yang berusaha memahami segi kepemimpinan otokratik
mengatakan bahwa pemimpin yang tergolong otokratik dipandang sebagai karakteritik yang
negatif.
Dilihat dari persepsinya seorang pemimpin yang otokratik adalah seseorang yang sangat egois.
Seorang pemimpin yang otoriter akan menujukan sikap yang menonjolkan “keakuannya”, antara
lain dalam bentuk :
ü kecenderungan memperlakukan para bawahannya sama dengan alat-alat lain dalam organisasi,
seperti mesin, dan dengan demikian kurang menghargai harkat dan martabat mereka
ü pengutamaan orientasi terhadap pelaksanaan dan penyelesaian tugas tanpa mengkaitkan
pelaksanaan tugas itu dengan kepentingan dan kebutuhan para bawahannya.
ü Pengabaian peranan para bawahan dalam proses pengambilan keputusan.
Dari sikapnya, gaya kepemimpinan yang dipergunakan pemimpin yang otokratik antara lain:
ü menuntut ketaatan penuh dari para bawahannya


ü dalam menegakkan disiplin menunjukkan keakuannya
ü bernada keras dalam pemberian perintah atau instruksi
ü menggunakan pendekatan punitif dalam hal terhadinya penyimpangan oleh bawahan.
2.
Tipe Paternalistik, Tipe pemimpin paternalistik hanya terdapat di lingkungan masyarakat
yang bersifat tradisional, umumnya dimasyarakat agraris. Salah satu ciri utama masyarakat
tradisional ialah rasa hormat yang tinggi yang ditujukan oleh para anggota masyarakat kepada
orang tua atau seseorang yang dituakan.
Pemimpin seperti ini kebapakan, sebagai tauladan atau panutan masyarakat. Biasanya tokohtokoh adat, para ulama dan guru. Pemimpin ini sangat mengembangkan sikap kebersamaan.
3.
Tipe Kharismatik, Tidak banyak informasi dari literatur yang ada mengenai kriteria
kepemimpinan yang kharismatik. Memang ada karakteristiknya yang khas yaitu daya tariknya
yang sangat memikat sehingga mampu memperoleh pengikut yang jumlahnya kadang-kadang
sangat besar. Tegasnya seorang pemimpin yang kharismatik adalah seseorang yang dikagumi
oleh banyak pengikut meskipun para pengikut tersebut tidak selalu dapat menjelaskan secara
konkret mengapa orang tersebut dikagumi.
4. Tipe Laissez Faire, Pemimpin ini berpandangan bahwa umumnya organisasi akan berjalan
lancar dengan sendirinya karena para anggota organisasi terdiri dari orang-orang yang sudah
dewasa yang mengetahui apa yang menjadi tujuan organisasi, sasaran-sasaran apa yang ingin

dicapai, tugas apa yang harus ditunaikan oleh masing-masing anggota dan pemimpin tidak
terlalu sering intervensi.
Dari beberapa literatur digambarkan gaya kepemimpinan yang memiliki tipe Laissez Faire
antara lain:
ü pendelegasian wewenang terjadi secara ekstensif
ü pengambilan keputusan diserahkan kepada para pejabat pimpinan yang lebih rendah dan
kepada petugas operasional, kecuali dalam hal-hal tertentu yang nyata-nyata menuntut
keterlibatannya langsung.
ü Status quo organisasional tidak terganggu
ü Penumbuhan dan pengembangan kemampuan berpikir dan bertindak yang inovatif diserahkan
kepada para anggota organisasi yang bersangkutan sendiri.
ü Sepanjang dan selama para anggota organisasi menunjukkan perilaku dan prestasi kerja yang
memadai, intervensi pimpinan dalam organisasi berada pada tingkat yang minimum
5. Tipe Demokratik, Pemimpin yang demokratik biasanya memandang peranannya selaku
koordinator dan integrator dari berbagai unsur dan komponen organisasi. Artinya, tipe pemimpin

demokratik tahu peran dan fungsi dari masing-masing bagian atau komponen dalam
organisasinya. Karakternya antara lain:
ü Menyadari bahwa mau tidak mau organisasi harus disusun sedemikian rupa sehingga
menggambarkan secara jelas aneka ragam tugas dan kegiatan yang tidak bisa tidak harus

dilakukan demi tercapainya tujuan.
ü Melihat kecenderungan adanya pembagian peranan sesuai dengan tingkatnya.
ü Memperlakukan manusia dengan cara yang manusiawi dan menjunjung harkat dan martabat
manusia
ü Seorang pemimpin demokratik disegani bukannya ditakuti.
Lantas dari sekian banyak tipe dan gaya kepemimpinan di atas, tipe manakah yang paling ideal
diterapkan dalam sebuah organisasi (seperti organisasi mahasiswa)? Secara umum pemimpin dan
kepemimpinan yang ideal memiliki beberapa indikator, yaitu pemimpin yang memiliki:
o Pengetahuan Umum yang luas, semakin tinggi kedudukan seseorang dalam hirarki
kepemimpinan organisasi, ia semakin dituntut untuk mampu berpikir dan bertindak secara
generalis.
o Kemampuan Bertumbuh dan Berkembang
o Sikap yang Inkuisitif atau rasa ingin tahu, merupakan suatu sikap yang mencerminkan dua
hal: pertama, tidak merasa puas dengan tingkat pengetahuan yang dimiliki; kedua, kemauan dan
keinginan untuk mencari dan menemukan hal-hal baru.
o Kemampuan Analitik, efektifitas kepemimpinan seseorang tidak lagi pada kemampuannya
melaksanakan kegiatan yang bersifat teknis operasional, namun kemampuan untuk berpikir. Cara
dan kemampuan berpikir yang integralistik, strategik dan berorientasi pada pemecahan masalah.
o Daya Ingat yang Kuat, pemimpin harus mempunyai kemampuan inteletual yang berada di
atas kemampuan rata-rata orang-orang yang dipimpinnya, salah satu bentuk kemampuan

intelektual adalah daya ingat yang kuat.
o Kapasitas Integratif, pemimpin harus menjadi seorang integrator dan memiliki pandangan
holistik mengenai organisasi.
o Keterampilan Berkomunikasi secara Efektif, fungsi komunikasi dalam organisasi antara lain :
fungsi motivasi, fungsi ekspresi emosi, fungsi penyampaian informasi dan fungsi pengawasan.
o Keterampilan Mendidik, memiliki kemampuan menggunakan kesempatan untuk
meningkatkan kemampuan bawahan, mengubah sikap dan perilakunya dan meningkatkan
dedikasinya kepada organisasi.

o Rasionalitas, semakin tinggi kedudukan manajerial seseorang semakin besar pula tuntutan
kepadanya untuk membuktikan kemampuannya untuk berpikir. Hasil pemikiran itu akan terasa
dampaknya tidak hanya dalam organisasi, akan tetapi juga dalam hubungan organisasi dengan
pihak-pihak yang berkepentingan di luar organisasi tersebut.
o Objektivitas, pemimpin diharapkan dan bahkan dituntut berperan sebagai bapak dan
penasehat bagi para bawahannya. Salah satu kunci keberhasilan seorang pemimpin dalam
mengemudikan organisasi terletak pada kemampuannya bertindak secara objektif.
o Pragmatisme, dalam kehidupan organisasional, sikap yang pragmatis biasanya terwujud
dalam bentuk sebagai berikut : pertama, kemampuan menentukan tujuan dan sasaran yang
berada dalam jangkauan kemampuan untuk mencapainya yang berarti menetapkan tujuan dan
sasaran yang realistik tanpa melupakan idealisme. Kedua, menerima kenyataan apabila dalam
perjalanan hidup tidak selalu meraih hasil yang diharapkan.
o Kemampuan Menentukan Prioritas, biasanya yang menjadi titik tolak strategik organisasional
adalah “SWOT”.
o Kemampuan Membedakan hal yang Urgen dan yang Penting
o Naluri yang Tepat, kemampuannya untuk memilih waktu yang tepat untuk melakukan atau
tidak melakukan sesuatu.
o Rasa Kohesi yang tinggi, :senasib sepenanggungan”, keterikan satu sama lain.
o Rasa Relevansi yang tinggi, pemimpin tersebut mampu berpikir dan bertindak sehingga halhal yang dikerjakannya mempunyai relevansi tinggi dan langsung dengan usaha pencapaian
tujuan dan berbagai sasaran organisasi.
o Keteladanan, seseorang yang dinilai pantas dijadikan sebagai panutan dan teladan dalam
sikap, tindak-tanduk dan perilaku.
o Menjadi Pendengar yang Baik
o Adaptabilitas, kepemimpinan selalu bersifat situasional, kondisonal, temporal dan spatial.
o Fleksibilitas, mampu melakukan perubahan dalam cara berpikir, cara bertindak, sikap dan
perilaku agar sesuai dengan tuntutan situasi dan kondisi tertentu yang dihadapi tanpa
mengorbankan prinsip-prinsip hidup yang dianut oleh seseorang.
o Ketegasan
o Keberanian
o Orientasi Masa Depan

o Sikap yang Antisipatif dan Proaktif
D.

Pemimpin Visioner

Kepemimpinan visioner, adalah pola kepemimpinan yang ditujukan untuk memberi arti pada
kerja dan usaha yang perlu dilakukan bersama-sama oleh para anggota perusahaan dengan cara
memberi arahan dan makna pada kerja dan usaha yang dilakukan berdasarkan visi yang jelas
(Diana Kartanegara, 2003).
Kepemimpinan Visioner memerlukan kompetensi tertentu. Pemimipin visioner setidaknya harus
memiliki empat kompetensi kunci sebagaimana dikemukakan oleh Burt Nanus (1992), yaitu:
o memiliki kemampuan untuk berkomunikasi secara efektif dengan komponen lainnya dalam
organisasi. Hal ini membutuhkan pemimpin untuk menghasilkan “guidance, encouragement,
and motivation.”
o memahami lingkungan luar dan memiliki kemampuan bereaksi secara tepat atas segala
ancaman dan peluang.
o memegang peran penting dalam membentuk dan mempengaruhi praktek organisasi, prosedur,
produk dan jasa. Mempertahankan kesempurnaan pelayanan, sejalan dengan mempersiapkan dan
memandu jalan organisasi ke masa depan (successfully achieved vision).
o memiliki atau mengembangkan peluang untuk mengantisipasi masa depan.
Sementara, Barbara Brown mengajukan 10 kompetensi yang harus dimiliki oleh pemimpin
visioner, yaitu:
o Visualizing. Pemimpin visioner mempunyai gambaran yang jelas tentang apa yang hendak
dicapai dan mempunyai gambaran yang jelas kapan hal itu akan dapat dicapai.
o Futuristic Thinking. Pemimpin visioner tidak hanya memikirkan di mana posisi bisnis pada
saat ini, tetapi lebih memikirkan di mana posisi yang diinginkan pada masa yang akan datang.
o Showing Foresight. Pemimpin visioner adalah perencana yang dapat memperkirakan masa
depan. Dalam membuat rencana tidak hanya mempertimbangkan apa yang ingin dilakukan,
tetapi mempertimbangkan teknologi, prosedur, organisasi dan faktor lain yang mungkin dapat
mempengaruhi rencana.
o Proactive Planning. Pemimpin visioner menetapkan sasaran dan strategi yang spesifik untuk
mencapai sasaran tersebut. Pemimpin visioner mampu mengantisipasi atau mempertimbangkan
rintangan potensial dan mengembangkan rencana darurat untuk menanggulangi rintangan itu
o Creative Thinking. Dalam menghadapi tantangan pemimpin visioner berusaha mencari
alternatif jalan keluar yang baru dengan memperhatikan isu, peluang dan masalah. Pemimpin
visioner akan berkata “If it ain’t broke, BREAK IT!”.

o Taking Risks. Pemimpin visioner berani mengambil resiko, dan menganggap kegagalan
sebagai peluang bukan kemunduran.
o Process alignment. Pemimpin visioner mengetahui bagaimana cara menghubungkan sasaran
dirinya dengan sasaran organisasi. Ia dapat dengan segera menselaraskan tugas dan pekerjaan
setiap departemen pada seluruh organisasi.
o Coalition building. Pemimpin visioner menyadari bahwa dalam rangka mencapai sasara
dirinya, dia harus menciptakan hubungan yang harmonis baik ke dalam maupun ke luar
organisasi. Dia aktif mencari peluang untuk bekerjasama dengan berbagai macam individu,
departemen dan golongan tertentu.
o Continuous Learning. Pemimpin visioner harus mampu dengan teratur mengambil bagian
dalam pelatihan dan berbagai jenis pengembanganlainnya, baik di dalam maupun di luar
organisasi. Pemimpin visioner mampu menguji setiap interaksi, negatif atau positif, sehingga
mampu mempelajari situasi. Pemimpin visioner mampu mengejar peluang untuk bekerjasama
dan mengambil bagian dalam proyek yang dapat memperluas pengetahuan, memberikan
tantangan berpikir dan mengembangkan imajinasi.
o Embracing Change. Pemimpin visioner mengetahui bahwa perubahan adalah suatu bagian
yang penting bagi pertumbuhan dan pengembangan. Ketika ditemukan perubahan yang tidak
diinginkan atau tidak diantisipasi, pemimpin visioner dengan aktif menyelidiki jalan yang dapat
memberikan manfaat pada perubahan tersebut.
Selanjutnya, Burt Nanus (1992), mengungkapkan ada empat peran yang harus dimainkan oleh
pemimpin visioner dalam melaksanakan kepemimpinannya, yaitu:
o Peran penentu arah (direction setter). Peran ini merupakan peran di mana seorang pemimpin
menyajikan suatu visi, meyakinkan gambaran atau target untuk suatu organisasi, guna diraih
pada masa depan, dan melibatkan orang-orang dari “get-go.” Hal ini bagi para ahli dalam studi
dan praktek kepemimpinan merupakan esensi dari kepemimpinan. Sebagai penentu arah, seorang
pemimpin menyampaikan visi, mengkomunikasikannya, memotivasi pekerja dan rekan, serta
meyakinkan orang bahwa apa yang dilakukan merupakan hal yang benar, dan mendukung
partisipasi pada seluruh tingkat dan pada seluruh tahap usaha menuju masa depan.
o Agen perubahan (agent of change). Agen perubahan merupakan peran penting kedua dari
seorang pemimpin visioner. Dalam konteks perubahan, lingkungan eksternal adalah pusat.
Ekonomi, sosial, teknologi, dan perubahan politis terjadi secara terus-menerus, beberapa
berlangsung secara dramatis dan yang lainnya berlangsung dengan perlahan. Tentu saja,
kebutuhan pelanggan dan pilihan berubah sebagaimana halnya perubahan keinginan para
stakeholders. Para pemimpin yang efektif harus secara konstan menyesuaikan terhadap
perubahan ini dan berpikir ke depan tentang perubahan potensial dan yang dapat dirubah. Hal ini
menjamin bahwa pemimpin disediakan untuk seluruh situasi atau peristiwa-peristiwa yang dapat
mengancam kesuksesan organisasi saat ini, dan yang paling penting masa depan. Akhirnya,
fleksibilitas dan resiko yang dihitung pengambilan adalah juga penting lingkungan yang berubah.

o Juru bicara (spokesperson). Memperoleh “pesan” ke luar, dan juga berbicara, boleh dikatakan
merupakan suatu bagian penting dari memimpikan masa depan suatu organisasi. Seorang
pemimpin efektif adalah juga seseorang yang mengetahui dan menghargai segala bentuk
komunikasi tersedia, guna menjelaskan dan membangun dukungan untuk suatu visi masa depan.
Pemimpin, sebagai juru bicara untuk visi, harus mengkomunikasikan suatu pesan yang mengikat
semua orang agar melibatkan diri dan menyentuh visi organisasi-secara internal dan secara
eksternal. Visi yang disampaikan harus “bermanfaat, menarik, dan menumbulkan kegairahan
tentang masa depan organisasi.”
o Pelatih (coach). Pemimpin visioner yang efektif harus menjadi pelatih yang baik. Dengan ini
berarti bahwa seorang pemimpin harus menggunakan kerjasama kelompok untuk mencapai visi
yang dinyatakan. Seorang pemimpin mengoptimalkan kemampuan seluruh “pemain” untuk
bekerja sama, mengkoordinir aktivitas atau usaha mereka, ke arah “pencapaian kemenangan,”
atau menuju pencapaian suatu visi organisasi. Pemimpin, sebagai pelatih, menjaga pekerja untuk
memusatkan pada realisasi visi dengan pengarahan, memberi harapan, dan membangun
kepercayaan di antara pemain yang penting bagi organisasi dan visinya untuk masa depan.
Dalam beberapa kasus, hal tersebut dapat dibantah bahwa pemimpin sebagai pelatih, lebih tepat
untuk ditunjuk sebagai “player-coach.”
E.

Integritas dan Sikap-sikap Negatif dalam Organisasi

Sebagian besar kita ingin jadi pemimpin. Namun, dalam memimpin, satu hal penting ditekankan
adalah kepemimpinan tidak hanya menyangkut organisasi, namun dimulai dari lingkup yang
terkecil yaitu diri kita sendiri. Kepemimpinan dalam diri pribadi dapat dilatih dengan memiliki
integritas yang tinggi.
Integritas dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti “mutu, sifat, atau keadaan yg
menunjukkan kesatuan yg utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan yg memancarkan
kewibawaan; kejujuran.” Kesatuan dalam hal ini berarti adanya konsistensi antara apa yang kita
katakan dengan apa yang kita perbuat. Sekilas, integritas terlihat sepele, namun menurut John C.
Maxwell, integritas adalah faktor kepemimpinan yang paling penting. Hal ini terbukti dari
bobroknya bangsa Indonesia pada masa orde baru karena kurangnya integritas yang berujung
pada KKN meskipun pemimpinnya cakap dalam berpolitik dan bernegara.
Integritas bukanlah apa yang kita lakukan melainkan lebih banyak siapa diri kita. Siapa diri kita
ini bisa terus menerus diperbaiki, baik dengan menetapkan nilai-nilai dan norma-norma yang
sesuai bagi diri kita sendiri. Dan pada akhirnya siapa diri kita akan menentukan apa yang kita
lakukan.
Ketika kita menganut suatu nilai misalnya kejujuran maka kita akan memilih untuk tetap jujur
pada waktu ujian ketimbang mencoba untuk bertanya kepada teman. Perbuatan jujur ini akan
membawa keuntungan bagi diri kita sendiri keuntungan pertama adalah kita merasa puas dengan
hasil ujian yang kita kerjakan, dan keuntungan kedua adalah teman-teman yang lain akan
percaya kepada kita. Kepercayaan merupakan harga yang sangat mahal dan hal inilah yang
membuat seseorang menjadi seorang pemimpin.

Hal yang sulit dalam integritas kepemimpinan adalah ketika terjadi perbedaan nilai, norma
ataupun kepentingan. Masalah ini sering terjadi pada seorang mahasiswa yang menganut nilai
kejujuran dan setia kawan. Tentunya kedua nilai ini akan bertentangan ketika melihat ada teman
yang tidak bisa mengerjakan ujian dan mahasiswa tersebut merasa tergerak untuk membantu
dengan alasan kesetiaan, namun takut membantu dengan alasan kejujuran. Pada kasus ini
tentunya kita harus bisa memilah kapan menggunakan suatu nilai/norma dan kapan tidak
menggunakannya. Kesetian kawan tentunya tidak dilihat pada saat ujian saja, melainkan dalam
bersosialisasi sehari-hari dan pada saat ujian merupakan momentum paling tepat untuk menguji
kejujuran kita
Lebih lanjut, dalam suatu organisasi terdapat beberapa sikap yang perlu dihindari. Sikap ini
merupakan bagian perwujudan integritas pribadi yang tidak baik yang berkembang dalam suatu
organisasi. Sikap-sikap yang perlu dihindari tersebut antara lain:
o Salah paham dalam menerima dan menafisrkan pesan.
o Prosedur hubungan dalam organisasi tidak diikuti dengan benar. Misalnya, arahan dari pihak
atasan langsung ke level paling bawah, tanpa mengambil peranan pihak tengah (middle level)
dalam organisasi.
o Kurangnya komitmen penuh dalam kerja organisasi. Aturan organisasi tidak dipahami dan
dihayati pleh anggota organisasi.
o Adanya kepentingan pribadi. Organisasi dipergunakan untuk memperoleh keuntungan pribadi.
o Permasalahan yang tidak kunjung selesai, sehingga tidak muncul kondisi organisasi yang
nyaman.
o Tidak adanya pembagian kerja dan juga pembagian keuntungan yang adil..
Keretakan dalam organisasi dapat menumbuhkan citra negatif, dengan permasalah yang saling
terkait, antara lain :
o Keretakan hubungan antara anggota organisasi.
o Perselisihan yang terus berlarut-larut dan suasana organisasi yang muram.
o Wujud sikap mementingkan diri sendiri.
o Produktivitas organisasi merosot.
o Ketidakstabilan organisasi akibat dari retaknya hubungan.
o Penyalahgunaan kekuasaan, mementingkan diri sendiri
F.

EPILOG

Akhir kata penulis berharap kita semua dapat menjadi pemimpin yang memiliki integritas yang
tinggi. Jika kita bisa menjadi pemimpin dalam lingkup yang kecil misalnya diri kita, maka kita
akan bisa menjadi pemimpin dalam lingkup yang lebih besar seperti suatu organisasi
kemahasiswaan. Jika seseorang tidak bisa memimpin hal kecil, maka orang tersebut tidak akan
bisa memimpian hal yang besar