AJARAN SIFAT MELAWAN HUKUM DALAM HUKUM P

AJARAN SIFAT MELAWAN HUKUM
DALAM HUKUM PIDANA
Oleh :
Muhammad Zainal Abidin
Sifat melawan hukum dalam hukum pidana merupakan hal pokok yang harus ada/mutlak
dalam setiap rumusan tindak pidana. Artinya suatu perbuatan baru dapat dikatakan sebagai suatu
tindak pidana apabila terhadap perbuatan itu mengandung sifat melawan hukum, dan oleh karena
sifat melawan hukum ini pula yang menjadikan pelakunya dapat dijatuhi pidana.
Kata melawan hukum adalah kata yang sudah baku digunakan untuk menterjemahkan kata
dari bahasa Belanda onrechtmatige atau wederrechtelijk, atau dari bahasa Inggris unlawful.
Dengan

demikian, onrechmatige atau wederrechtelijk atau unlawfulness dapat

diterjemahkan

sifat melawan hukum atau bersifat melawan hukum. Terminologi wederrechtelijk lebih sering
digunakan dalam bidang hukum pidana, sedangkan onrechtmetige dalam bidang hukum perdata
(Komariah Emong Sapardjaja, 2002 : 90). Sehingga tindak pidana (strafbaar feit) dalam hukum
pidana pada intinya adalah feit yang wederrechtelijk atau perbuatan yang melawan hukum.
Mengenai pengertian wederrechtelijk, para ahli hukum pidana telah memberikan arti yang

berbeda-beda, sehingga oleh G.A. van Hamel, dari pengertian yang berbeda-beda itu kemudian
dikelompokan kepada 2 (dua) kelompok pendapat, yaitu kelompok dengan paham positif dan
kelompok dengan paham negatif. Kelompok dengan paham positif dianut oleh Simons dan
Noyon,

sedangkan

paham

negatif

dianut

oleh

Hoge

Raad.

Simons


mengartikanwederrechtelijk sebagai in strijd met het recht (bertentangan dengan hukum),
sedangkan

Noyon

recht (dengan

mengartikan wederrechtelijk sebagai met

melanggar

hak

orang

lain).

Hoge


Raad

krenking
dengan

van

eens

paham

anders

negatifnya

mengartikan wederrechtelijk sebagai niet steunend op het recht(tidak berdasarkan hukum)
ataupun sebagai zonder bevoegdheid (tanpa hak) (PAF Lamintang, 1997 : 347).
Dari pendapat Simons yang mengartikan wederrechtelijk sebagai in strijd met het recht di
atas, menurut Pompe hal itu mempunyai pengertian yang luas, artinya tidak saja sebagai in strijd
met het wet (bertentangan dengan undang-undang) tetapi juga termasuk ke dalam pengertian

bertentangan dengan peraturan-peraturan yang tidak tertulis. Pemberian pengertian menurut
Pompe di atas sama halnya dengan pemberian pengertian terhadap onrechtmatig dalam Pasal

1365

BW

berdasarkan

arrest

mengartikan onrechtmatig tidak

saja

Hoge

Raad

tanggal


bertentangan

dengan

31

Januari

undang-undang

1919

yang

tetapi

juga

bertentangan dengan hukum yang tidak tertulis berupa perbuatan-perbuatan yang bertentangan

dengan kepatutan (Ibid., 350-351).
Menurut Noyon, apabila ditinjau dari kepustakaan, terdapat 3 (tiga) macam
pengertian wederrechtelijkheid, yaitu

pertama

sebagai in

strijd

met

het

objectief

recht (bertentangan dengan hukum objektif) seperti yang dianut oleh Simons, Zevenbergen,
Pompe, dan van Hattum; kedua sebagai in strijd met het subjectief recht van een
ander (bertentangan dengan hak orang lain) seperti yang dianut oleh Noyon; dan ketiga
sebagai zonder eigen recht (tanpa hak yang ada pada diri sendiri) seperti yang dianut oleh Hoge

Raad. Meskipun Noyon menganut paham in strijd met het subjectief recht van een
ander atau met krenking van eens anders recht, namun demikian Noyon mengatakan bahwa
paham yang memberikan pengertian wederrechtelijheid sebagai in strijd met het objectief
recht adalah yang paling tepat apabila ditinjau dari segi bahasa maupun ditinjau dari segi
sistematikanya (Ibid., 352).
Hazewinkel Suringa dengan mengikuti paham yang dianut oleh Hoge Raad menentang
pendapat yang mengartikan wederrechtelijkheid sebagai in strijd met het objectief recht atau
sebagai in

strijd

met

het

subjectief

recht

van


een

ander. Suringa

berpendapat

bahwa wederrechtelijkheid harus diartikan sebagai zonder eigen recht, karena seperti inilah
penempatannya dalam rumusan tindak pidana dan seperti ini pulalah yang dianut oleh Hoge
Raad

(Ibid.,

353),

sedangkan

Lamintang

mencoba


memberikan

pengertian

terhadap wederrechtelijkheid sebagai “secara tidak sah” (Ibid., 354). Sikap Lamintang ini
menunjukan bahwa ia tidak mau terjebak dalam pola pikir para ahli hukum sebelumnya yang
berusaha memberikan pengertian wederrechtelijkheid secara harfiah dengan mengacu kepada
sinonim dari kata wederrechtelijkheid tersebut. Menurut Lamintang, perkataan “secara tidak sah”
dapat meliputi in strijd met het objectief recht, in strijd met het subjectief recht van een
ander maupun zonder eigen recht (Ibid., 355).
Pengertian lain yang disebutkan dalam KUHP untuk memberikan pengertian terhadap sifat
melawan hukum ini adalah dengan menyebutnya sebagai “tanpa hak” atau “tidak berhak” atau
“tanpa wenang” (zonder daartoe gerichtigd te zijn) sebagaimana dalam pasal 548 dan pasal
549c, “tanpa izin” (zonder verlof) sebagaimana dalam pasal 496 dan pasal 510, “melampaui

kekuasaannya” (met overschrijding van zijne bevoegdheid) sebagaimana dalam pasal 430, dan
dengan menyebut “tanpa memerhatikan cara yang ditentukan dalam peraturan umum” (zonder
inachtneming vande bij algemeene verordening bepaalde vormen) sebagaimana pada pasal 429
(Adami Chazawi, 2002 : 89). Karena bermacam-macam pengertian wederrechtelijk itu maka

Noyon-Langemeyer mengusulkan agar fungsi kata itu hendaknya disesuaikan dengan setiap
delik tanpa secara asasi menghilangkan kesatuan artinya (Andi Hamzah, 2008 : 132).
Sifat melawan hukum merupakan salah satu unsur dari tindak pidana, selain unsur
perbuatan dan akibat serta unsur ancaman pidana. Kedudukan sifat melawan hukum sebagai
salah satu unsur tindak pidana begitu sangat penting, sehingga dikatakan perhatian utama hukum
pidana yaitu perbuatan-perbuatan yang bersifat melawan hukum saja, karena perbuatanperbuatan inilah yang dilarang dan diancam pidana. Menurut Langemeyer, untuk melarang
perbuatan yang tidak bersifat melawan hukum dan yang tidak dipandang keliru, tentunya tidak
masuk akal (Moeljatno, 2008 : 130).
Pendapat yang dikemukakan oleh Langemeyer di atas dipertegas dengan pendapat yang
diberikan oleh Andi Zainal Abidin dan Roeslan Saleh. Menurut Andi Zainal Abidin, salah satu
unsur essensial delik adalah sifat melawan hukum (wederrechtelijkheid) yang dinyatakan dengan
tegas atau tidak di dalam suatu pasal undang-undang pidana, karena alangkah janggalnya kalau
seseorang dipidana yang melakukan perbuatan yang tidak melawan hukum (Andi Zainal Abidin,
2007 : 47), dan Roeslan Saleh mengatakan bahwa dipidananya sesuatu yang tidak melawan
hukum tidak ada artinya (Roeslan Saleh, 1987 : 1). Konklusi yang dapat ditarik dari pendapat di
atas, apabila melekat sifat melawan hukum pada suatu perbuatan maka perbuatan tersebut
menjadi tindak pidana dan dapat dijatuhi pidana, hal ini menunjukan hubungan yang erat antara
sifat melawan hukum perbuatan dengan pertanggungjawaban pidana. Dan oleh karena itu pula,
berhubung setiap tindak pidana harus bersifat melawan hukum, maka pertanggungjawaban juga
diarahkan kepada sifat melawan hukum dari perbuatan tersebut (Chairul Huda, 2006 : 54).

Dari berbagai rumusan tindak pidana, Moeljatno menyimpulkan dan membagi unsur
melawan hukum menjadi 2 (dua) macam, yakni melawan hukum yang objektif dan melawan
hukum yang subjektif. Secara ringkas, melawan hukum yang objektif menurut Moeljatno adalah
melawan hukum yang berkaitan dengan perbuatannya sehingga menjadikan perbuatan tersebut
terlarang, apakah melawan hukum dijadikan unsur tersendiri atau tidak. Kemudian Moeljatno
juga mengatakan bahwa apabila sifat pantang dilakukannya perbuatan sudah tampak begitu

wajar maka tidak perlu diadakan unsur tersendiri, yaitu kata-kata yang menunjukan bahwa
perbuatan adalah bertentangan dengan hukum. Namun adakalnya kepantangan dilakukannya
perbuatan tersebut belum cukup jelas dengan unsur-unsur yang ada maka dianggap perlu untuk
menambahkan unsur melawan hukum di dalam rumusan pasal tersebut. Sedangkan melawan
hukum yang subjektif merupakan melawan hukum yang berkaitan dengan segala sesuatu yang
ada dalam diri pelaku, maksudnya adalah suatu perbuatan baru akan menjadi terlarang apabila
adanya niat yang buruk dari pelaku perbuatan tersebut. Sifat melawan hukumnya tidak
dinyatakan dari hal-hal lahir, tetapi digantungkan kepada sikap bathin pelaku (Moeljatno, Op.
Cit. : 67-69).
Ternyata tidak semua ahli hukum pidana yang sependapat bahwa melawan hukum
merupakan unsur mutlak dalam setiap rumusan tindak pidana. Setidaknya Hazewinkel Suringa
dan Pompe yang berpendapat demikian. Menurut Hazewinkel Suringa, unsur melawan hukum
hanya merupakan unsur mutlak suatu tindak pidana jika undang-undang menyebutkan dengan
tegas sebagai unsur tindak pidana bersangkutan, apabila undang-undang tidak menyebutkan
dengan jelas sebagai unsur tindak pidana maka melawan hukum hanya sebagai suatu tanda suatu
tindak pidana (Roeslan Saleh, Op.Cit. : 4). Pompe juga berpendapat bahwa melawan hukum
bukanlah unsur mutlak tindak pidana, melawan hukum merupakan unsur mutlak tindak pidana
bilamana melawan hukum secara tegas disebutkan dalam ketentuan pidana bersangkutan (Ibid.,
5).
Sehubungan dengan adanya pertentangan sikap yang ditunjukan oleh para ahli hukum
pidana di atas, menjadikan penulis terdorong untuk memberikan sikap terhadap kedua pandangan
tersebut. Menurut penulis adalah tepat pendapat pertama yang mengatakan bahwa sifat melawan
hukum adalah sesuatu yang mutlak/harus ada dalam setiap rumusan tindak pidana meskipun
tidak secara eksplisit dinyatakan dalam setiap rumusan tindak pidana, karena sifat melawan
hukum ini yang menentukan adanya kesalahan atau tidak, dan pada akhirnya berkaitan pula
dengan “pertanggungjawaban pidana”.
Ada 2 (dua) konsekuensi apabila berpendapat bahwa melawan hukum merupakan unsur
mutlak setiap delik, yakni pertama, jika unsur melawan hukum tidak disebutkan dalam rumusan
delik maka unsur itu secara diam-diam dianggap ada di dalam delik tersebut, kecuali dapat
dibuktikan sebaliknya oleh terdakwa; dan kedua, jika hakim ragu-ragu dalam menentukan

apakah unsur melawan hukum ada atau tidak, maka dia tidak boleh menetapkan adanya
perbuatan pidana dan oleh karenanya tidak pula boleh dijatuhkan pidana (Ibid.).
Meskipun sifat melawan hukum merupakan unsur mutlak/essesial dari suatu tindak pidana,
namun dalam kenyataannya tidak semua rumusan tindak pidana yang mencantumkan secara
tegas/eksplisit sifat melawan hukum ini sebagai bagian inti dari rumusan tindak pidana
(bestandellen van het delict). Melawan hukum sebagai bestandellen van het delict terlihat dalam
beberapa pasal, yakni Pasal 362, Pasal 368, Pasal 369, Pasal 372, dan Pasal 378. Pasal-pasal lain
dalam KUHP banyak pula yang menjadikan sifat melawan hukum ini sebagai elemen dari tindak
pidana (elementen van het delict) atau tidak secara tegas dinyatakan sebagai unsur dalam
rumusan tindak pidana, namun demikian bukanlah berarti perbuatan yang dimaksudkan dalam
rumusan tindak pidana tersebut tidak memiliki sifat melawan hukum. Hal ini dapat pula diartikan
secara sederhana bahwa suatu tindak pidana sebenarnya merupakan salah satu bentuk tindakan
melawan hukum yang mendapat tempat secara khusus dalam suatu undang-undang hukum
pidana.
Sifat melawan hukum dari suatu tindak pidana adalah bahagian suatu pengertian yang
umum, pembuat undang-undang pidana tidak pernah menyatakan bahagian ini, tetapi selalu
merupakan dugaan (Komariah Emong Sapardjaja, Op.Cit. : 24), oleh karena itu pembuat undangundang tidak perlu selalu mencantumkan sifat melawan hukum dan kesalahan dalam teks
undang-undang, hal itu merupakan syarat umum bagi sifat dapat dipidananya suatu perbuatan
(Ibid). Dengan demikian, dicantumkannya secara tegas atau tidak sifat melawan hukum sebagai
salah satu unsur pada pasal pidana disebabkan oleh beberapa hal, yaitu :
I.

1.Bilamana dari rumusan undang-undang, perbuatan yang tercantum sudah sedemikian
wajar sifat melawan hukumnya sehingga tidak perlu dinyatakan secara eksplisit,

II.

2.Perbuatan melawan hukum berarti bahwa perbuatan seseorang melanggar atau
bertentangan dengan kaidah materiil yang berlaku baginya oleh karena itu dengan
sendirinya berarti bahwa memidana orang yang tidak melakukan perbuatan pidana
adalah onzining atau tidak masuk akal, sifat melawan hukumnya perbuatan merupakan salah
satu syarat pemidanaan (Andi Zainal Abidin, 1987 : 269-270).
Alasan lain juga tercermin dalam keterangan risalah penjelasan KUHP Belanda yang

menyebutkan adanya kekhawatiran bagi pembentuk undang-undang bahwa jika tidak dimuatnya
unsur melawan hukum dalam rumusan tindak pidana, maka akan dapat dipidana pula perbuatan

lain yang sama, namun tidak bersifat melawan hukum karena pelakunya berhak untuk
melakukan perbuatan itu. Hal ini akan menyebabkan dipidananya orang yang melakukan
perbuatan yang sama yang tidak bersifat melawan hukum (Adami Chazawi, Op.Cit. : 88).
Maksud yang sama juga dikemukakan oleh Schaffmeister, bahwa ditambahkannya perkataan
“melawan hukum” sebagai salah satu unsur dalam rumusan delik dimaksudkan untuk membatasi
ruang lingkup rumusan delik yang dibuat terlalu luas. Hanya jika suatu perilaku yang secara
formal dapat dirumuskan dalam ruang lingkup rumusan delik, namun secara umum sebenarnya
bukan merupakan perbuatan pidana, maka syarat “melawan hukum” dijadikan satu bagian dari
rumusan delik (Chairul Huda, Op.Cit. : 50).
Sekaitan dengan dicantumkannya dengan tegas atau tidak “melawan hukum” sebagai unsur
dalam rumusan pasal-pasal pidana, agaknya perlu pula diperhatikan pendapat dari Mahrus Ali
(Mahrus Ali, 2011 : 90) yang membagi unsur melawan hukum tersebut menjadi 2 (dua), yaitu
melawan hukum umum dan melawan hukum khusus. Menurutnya unsur melawan hukum umum
merupakan syarat umum dapat dipidana suatu perbuatan karena di dalam setiap rumusan tindak
pidana pasti mengandung unsur melawan hukum, sedangkan melawan hukum khusus adalah kata
“melawan hukum” dicantumkan dalam rumusan pasal tindak pidana. Melawan hukum umum
yang dimaksudkan oleh Mahrus Ali di atas menurut penulis memiliki makna yang sama ketika
sifat melawan hukum tersebut sebagai elementen van het delict, dan melawan hukum khusus
menjadi sama maknanya ketika sifat melawan hukum tersebut sebagai bestandellen van het
delict.
Dalam praktik peradilan, apabila melawan hukum sebagai bestandellen van het delict atau
secara eksplisit dinyatakan dalam rumusan tindak pidana, maka penuntut umum harus
mencantumkan dan menguraikannya di dalam dakwaan dan kemudian membuktikannya di
persidangan. Ketidakmampuan penuntut umum untuk membuktikan unsur melawan hukum ini
maka konsekuensinya adalah terdakwa harus dibebaskan dari dakwaan penuntut umum
(vrijspraak). Berbeda dengan kedudukan melawan hukum sebagai elementen van het
delict. Meskipun tidak secara eksplisit dinyatakan dalam rumusan tindak pidana namun melawan
hukum sebagai elementen van het delict disyaratakan harus ada dalam setiap tindak pidana.
Dalam praktiknya, penuntut umum dalam hal ini tidak perlu mencantumkan dan menguraikannya
dalam surat dakwaan dan tidak ada pula kewajiban untuk membuktikannya di persidangan,
melainkan terdakwa-lah yang berusaha untuk membuktikan bahwa perbuatan yang dilakukannya

tidak bersifat melawan hukum. Ketika melawan hukum yang menjadielementen van het
delict tidak ditemui pada perbuatan yang didakwakan maka konsekuensinya terdakwa harus
dilepaskan dari segala tuntutan (onslag van alle rechtsvervolging).
Praktik peradilan yang membedakan putusan sekaitan dengan melawan hukum
sebagai bestandellen van het delict dan sebagai elementen van het delict ditanggapai berbeda
oleh

Chairul

Huda.

Dengan

melihat

dari

teori

pemisahan

tindak

pidana

dengan

pertanggungjawaban pidana, Chairul Huda mengemukakan bahwa praktik peradilan yang
demikian tidak dapat dipertahankan. Menurutnya apabila Terdakwa tidak terbukti melakukan
tindak pidana, baik ketika salah satu unsur tindak pidana yang didakwakan tidak terbukti
(termasuk perkataan melawan hukum yang disebutkan secara tegas) maupun ketika tindak
pidana yang didakwakan tersebut terbukti tetapi dipandang tidak bersifat melawan hukum
(melawan hukum menjadi unsur diam-diam) maka terdakwa harus diputus bebas. Tidak perlu
dibedakan tidak terbuktinya tindak pidana karena bagian inti “melawan hukum” tidak terbukti,
dan tindak pidana yang dipandang tidak bersifat melawan hukum, atau tidak perlu dipandang
“melawan

hukum”

sebagai bestandellen

van

het

delict atau

“melawan

hukum”

sebagai elementen van het delict (Chairul Huda, Op.Cit. : 52).
Dalam literatur ilmu hukum pidana, ajaran sifat melawan hukum dikenal 2 (dua) paham
yang

mendasarinya,

wederrechtelijkheid)

yaitu
dan

paham

paham

ajaran

ajaran

sifat

sifat

melawan

melawan

hukum

hukum

formil

materiil

(formele
(materiele

wederrechtelijkheid). Lahirnya kedua paham ajaran sifat melawan hukum ini sebagai bentuk
perbedaan pendapat di kalangan para ahli hukum pidana, dan sampai saat ini masih menjadi
perdebatan dan selalu menjadi bahan diskusi yang belum selesai.
Dari beberapa literatur hukum pidana, sepertinya para ahli hukum pidana telah bersepakat
dalam memberikan arti dan makna terhadap kedua ajaran sifat melawan hukum ini. Perbedaan
diantara keduanya terletak pada parameter yang digunakan. Dalam ajaran sifat melawan hukum
formil menggunakan parameter bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, sedangkan
ajaran sifat melawan hukum materil menggunakan parameter bertentangan dengan nilai
kepatutan dan keadilan masyarakat.
Menurut ajaran sifat melawan hukum formil, apabila suatu perbuatan telah mencocoki
semua unsur yang termuat dalam rumusan tindak pidana maka perbuatan tersebut adalah tindak
pidana. Jika ada alasan-alasan pembenar maka alasan-alasan tersebut harus juga disebutkan

secara tegas dalam undang-undang (Komariah Emong Sapardjaja, Op.Cit. : 25). Artinya suatu
perbuatan tidak bisa dianggap bersifat melawan hukum apabila perbuatan tersebut tidak secara
eksplisit dirumuskan dalam undang-undang sebagai perbuatan pidana, sekalipun perbuatan
tersebut sangat merugikan masyarakat, dan ukuran untuk menentukan suatu perbuatan tersebut
bersifat melawan hukum atau tidak adalah undang-undang (Mahrus Ali, Op.Cit. : 92).
Menurut Tongat sebagaimana dikutip oleh Mahrus Ali, di dalam ajaran sifat melawan
hukum formil terkandung 2 (dua) pemahaman. Pertama, dalam ajaran sifat melawan hukum
formil, suatu perbuatan dikatakan melawan hukum ketika perbuatan tersebut sudah dirumuskan
dalam undang-undang sebagai perbuatan yang diancam pidana. Menurut ajaran ini perbuatan
yang dianggap bersifat melawan hukum hanyalah perbuatan-perbuatan yang secara formil telah
dirumuskan dalam undang-undang sebagai perbuatan pidana. Kedua, hal yang dapat menghapus
sifat melawan hukumnya perbuatan hanyalah undang-undang, artinya hanya undang-undang
yang dapat menghapuskan sifat melawan hukum perbuatan yang dirumuskan dalam undangundang (Ibid).
Menurut ajaran sifat melawan hukum materiil, bahwa di samping memenuhi syarat-syarat
formil, yaitu mencocoki semua unsur yang tercantum dalam rumusan delik, perbuatan itu benarbenar harus dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak patut atau tercela. Karena
itu pula alasan ini mengakui alasan-alasan pembenar di luar undang-undang. Dengan perkataan
lain, alasan pembenar dapat berada pada hukum yang tidak tertulis (Komariah Emong
Sapardjaja,Loc.Cit). Berkaitan dengan sifat melawan hukum materiil ini, Sudarto berpendapat
bahwa suatu perbuatan itu melawan hukum atau tidak, tidak hanya yang terdapat dalam undangundang (yang tertulis saja), akan tetapi harus dilihat berlakunya asas-asas hukum yang tidak
tertulis. Jadi menurut ajaran ini melawan hukum sama bertentangan dengan undang-undang
(hukum tertulis) dan juga bertentangan dengan hukum yang tidak tertulis termasuk tata susila
dan sebagainya (Sudarto, 1990 : 78). Apabila diperhatikan, sifat melawan hukum materiil pada
suatu perbuatan menunjukan bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan keadilan, terlepas
apakah perbuatan diancam pidana dalam suatu undang-undang atau tidak, jadi yang benar-benar
dirasakan oleh masyarakat sebagai bertentangan dengan rasa keadilan (Ibid. : 56).
Menurut loebby Loqman, ukuran untuk mengatakan suatu perbuatan melawan hukum
secara materiil bukan didasarkan pada ada atau tidaknya ketentuan dalam suatu undang-undang,
akan tetapi ditinjau dari nilai yang ada dalam masyarakat. Pandangan yang menitikberatkan

melawan hukum secara formil cenderung melihatnya dari sisi objek atau perbuatan melawan
pelaku. Artinya, apabila perbuatannya telah cocok dengan rumusan delik pidana yang
didakwakan, maka tidaklah perlu diuji apakah perbuatan itu melawan hukum secara materiil atau
tidak. Sebaliknya secara materil merupakan pandangan yang menitikberatkan melawan hukum
dari segi subjek atau pelaku. Dari sisi ini, apabila perbuatan telah cocok dengan rumusan tindak
pidana yang didakwakan, maka tindakan selanjutnya adalah perlu dibuktikan ada atau tidaknya
perbuatan melawan hukum secara materiil dari sisi pelaku (Loebby Loqman, 1991 : 25).
Berkaitan dengan pembedaan antara melawan hukum secara formil dan materiil ini, Pompe
memberikan pendapat yang berbeda dan pendapatnya ini menurut Roeslan Saleh agak aneh.
Menurut Pompe, apabila unsur melawan hukum tidak disebutkan dalam rumusan delik maka
dikatakan melawan hukum secara formil dan dikatakan melawan hukum secara materil apabila
melawan hukum disebutkan dalam rumusan delik (Roeslan Saleh, Op.Cit. : 11). Hal ini berkaitan
pula dengan pendapat Pompe sebelumnya yang mengatakan bahwa sifat melawan hukum
bukanlah unsur mutlak tindak pidana kecuali kalau dinyatakan tegas dalam rumusan undangundang.
Keberadaan ajaran sifat melawan hukum secara formil tidak menjadi persoalan karena ini
secara eksplisit menjadi unsur dari suatu pasal, sehingga untuk menentukan apakah seseorang itu
melakukan sesuatu yang melawan hukum atau tidak, cukup apabila orang itu melihat apakah
perbuatan itu telah memenuhi semua unsur yang terdapat dalam rumusan delik atau tidak.
Persoalan dan perdebatan muncul dengan keberadaan ajaran sifat melawan hukum materiil. Hal
ni dikarenakan di Indonesia berkembang pula hukum yang tidak tertulis, yaitu hukum adat yang
memungkinkan sifat melawan hukum tersebut ada dan terdapat dalam masyarakat.
Vermunt dengan mengambil pendapat dari Von Lizt mengemukakan bahwa sifat melawan
hukum materiil adalah pelanggaran terhadap kepentingan-kepentingan sosial yang dilindungi
oleh norma-norma hukum perorangan atau masyarakat, termasuk perusakan atau membahayakan
suatu kepentingan hukum (Komariah Emong Sapardjaja, Op.Cit. : 28). Norma hukum yang
dimaksudkan Vermunt bukanlah semata perintah-perintah paksa, tetapi tuntutan tata tertib yang
ada dalam suatu lingkungan masyarakat yang sesuai dengan pandangan orang-orang dalam
lingkungan hukum yang sama itu dan oleh karena itu mempunyai hak atas penataan dari anggota
warganya (Ibid. : 30).

Dari pengertian sifat melawan hukum dan pembagiannya di atas, maka dapat dinyatakan
bahwa sifat melawan hukum memiliki 4 (empat) makna.Pertama, sifat melawan hukum diartikan
syarat umum dapat dipidananya suatu perbuatan sebagaimana definisi perbuatan pidana yakni
kelakukan manusia yang termasuk dalam rumusan delik, bersifat melawan hukum dan dapat
dicela; kedua, kata melawan hukum dicantumkan dalam rumusan delik, dengan demikian sifat
melawan hukum merupakan syarat tertulis untuk dapat dipidananya suatu perbuatan; ketiga, sifat
melawan hukum formil mengandung arti semua unsur dari rumusan delik telah terpenuhi;
dan keempat, sifat melawan hukum materiil mengandung 2 (dua) pandangan, pertama dari sudut
perbuatannya yang mengandung arti melanggar atau membahayakan kepentingan hukum yang
hendak dilindungi oleh pembuat undang-undang dalam rumusan delik, dan kedua dari sudut
sumber hukumnya, dimana sifat melawan hukum mengandung pertentangan dengan asas
kepatutan,

keadilan,

dan

hukum

yang

hidup

di

masyarakat

(Eddy

OS

Hiariej, www.unisosdem.com).
Menurut Moeljatno, apabila mengikuti pandangan yang materiil, maka perbedaannya
dengan pandangan yang formil adalah :
I.

1.Mengakui adanya pengecualian/penghapusan dari sifat melawan hukumnya perbuatan
menurut hukum yang tertulis dan yang tidak tertulis, sedangkan pandangan yang formal
hanya mengakui pengecualian yang tersebut dalam undang-undang saja, misalnya Pasal 49
tentang pembelaan terpaksa (noodweer).

II.

2.Sifat melawan hukum adalah unsur mutlak dari tiap perbuatan pidana, juga bagi yang
dalam rumusannya tidak menyebut unsur-unsur tersebut, sedang bagi pandangan yang
formal sifat tersebut tidak selalu menjadi unsur dari perbuatan pidana. Hanya jika dalam
rumusan

delik

disebutkan

dengan

nyata-nyata

barulah

menjadi

unsur

delik

(Moeljatno, Op.Cit. : 144).
Ajaran sifat melawan hukum materiil berkaitan pula dengan 2 (dua) fungsi yang dianutnya,
yaitu fungsi negatif dan fungsi positif. Sifat melawan hukum secara materiil dalam fungsinya
yang negatif dijadikan sebagai alasan penghapus pidana dari suatu perbuatan di luar undangundang, maksudnya perbuatan yang telah dinyatakan terlarang oleh undang-undang namun
perbuatan tersebut dapat dikecualikan oleh hukum yang tidak tertulis sehingga perbuatan
tersebut tidak menjadi tindak pidana.

Sehubungan dengan pembuktian unsur melawan hukum secara materiil, patut diperhatikan
bahwa penerapan ajaran sifat melawan hukum materiil itu senantiasa tidak boleh melebihi syarat
yang telah ditentukan melalui fungsi negatif saja. Penerapan fungsi negatif dari ajaran sifat
melawan hukum materiil erat kaitannya dengan masalah pertanggungjawaban pidana, dimana
seseorang dilepaskan dari segala tuntutan hukum apabila perbuatannya tidak melawan hukum
secara materiil, sekalipun perbuatan itu melawan hukum secara formil (Elwi Danil, 2011 : 144).
Ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang negatif merupakan jawaban dalam
bidang hukum pidana untuk memberikan keadilan yang tidak dapat diberikan oleh pembuat
undang-undang hanya dengan mencantumkan alasan-alasan pembenar dalam undang-undangnya
sendiri. Ajaran ini setidak-tidaknya memberikan kebebasan kepada hakim untuk menemukan
hukum

dalam

rangka

menafsirkan

arti

sifat

melawan

hukum

(Komariah

Emong

Sapardjaja, Op.Cit. : 69).
Penerapan ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsi negatif yang dijadikan
sebagai alasan penghapus pidana di luar undang-undang lahir dari praktik peradilan, dan untuk
pertama kalinya diterapkan dalam Arrest Hoge Raad tanggal 20 Februari 1933 dalam kasus
Dokter Hewan dari Kota Huizen, yang kemudian dikenal dengan Vee –arts Arrest. Dalam kasus
tersebut seorang Dokter Hewan mencampurkan sapi-sapi yang sakit ke dalam kandang sapi-sapi
yang sehat, yang menurut Pasal 82 Veewet dilarang dan diancam dengan pidana penjara selama 1
(satu) tahun. Alasan bagi Dokter Hewan tersebut melakukan perbuatannya adalah untuk
kepentingan sapi dan pemiliknya sendiri. Menurut pertimbangan dari segi ilmu yang dimilikinya,
bahwa sapi-sapi yang sehat pada akhirnya pasti akan terkena penyakit juga. Oleh karena pada
saat itu sapi-sapi yang sehat belum mengeluarkan air susu maka lebih baik sapi-sapi tersebut
tertular penyakit terlebih dahulu dari pada tertular setelah mengeluarkan air susu. Pada peradilan
tingkat banding, Gerechtschof Amsterdam menjatuhkan pidana kepada Dokter Hewan dengan
alasan bahwa apa yang dikemukakan oleh Dokter Hewan merupakan penjelasan tentang apa
yang mendorong untuk berbuat demikian, dan tidak merupakan perkecualian yang dapat
meniadakan pidana. Pada tingkat kasasi, Hoge Raad berpendapat bahwa dengan adanya undangundang tentang Pendidikan Dokter Hewan, maka pemeliharaan kesehatan hewan dan siapa yang
boleh menjalankan pekerjaan dokter hewan telah diatur, dengan demikian telah ada petunjuk
bahwa Dokter Hewan tidak akan melanggar ketentuan undang-undang apabila ia berbuat dengan
ilmu yang dimilikinya (Adami Chazawi, Op. Cit. :67-68).

Vee –arts Arrest inilah yang semula diajukan oleh para ahli hukum pidana yang
berpandangan materiil, dengan alasan meskipun perbuatan pelaku telah memenuhi rumusan delik
serta tidak ada suatu pengecualian di dalam undang-undang, maka tidak selalu pelaku harus
dijatuhi hukuman apabila memang terbukti perbuatan pelaku tidak mengandung melawan hukum
secara materiil. Perbuatan Dokter Hewan yang telah dilepaskan dari segala tuntutan hukum itu
merupakan alasan pembenar dari suatu pengecualian di luar undang-undang yang berasal dari
hukum yang tidak tertulis. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa fungsi negatif dari sifat
melawan hukum materiil berusaha memberikan suatu pandangan yang lebih konstruktif sebagai
reaksi dari pandangan formil, dengan menyatakan bahwa tidaklah selalu pelaku dihukum
meskipun perbuatannya memenuhi rumusan delik.
Sifat melawan hukum materiil dalam fungsi positif merupakan kebalikan dari sifatnya yang
negatif. Fungsi positif dijadikan sebagai alasan untuk mempidana suatu perbuatan meskipun
sebelumnya perbuatan tersebut tidak dilarang oleh undang-undang namun dipandang tercela dan
mengganggu rasa keadilan masyarakat. Dengan kata lain, setiap perbuatan yang dianggap atau
dipandang tercela oleh masyarakat merupakan perbuatan melawan hukum secara materiil. Dapat
pula dikatakan bahwa diterapkannya sifat melawan hukum materiil dalam fungsi positif berarti
memberikan wewenang kepada hakim untuk melaksanakan fungsi legislasi dengan melakukan
kriminalisasi terhadap suatu perbuatan.
Sebahagian besar para ahli hukum pidana, baik kalangan akademisi maupun kalangan
praktisi sampai pada saat ini berpendapat agar ajaran sifat melawan hukum materiil tidak
dipergunakan dalam fungsi yang positif. Penerapan fungsi positif ajaran sifat melawan hukum
materiil selama ini dianggap bertentangan dengan asas legalitas sebagai suatu asas fundamental
negara hukum dan merupakan soko gurunya hukum pidana. Oleh karena itu penolakan terhadap
asas legalitas sebagai suatu asas dalam lapangan hukum pidana adalah bertentangan dengan
dengan makna hukum pidana itu sendiri (Elwi Danil, Op.Cit. : 150).