PASAR KARBON DAN PERKEMBANGANNYA SERTA I

1

`
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Secara global, permasalahan lingkungan bukan hal yang sama sekali baru. Hanya
saja, ia baru mendapat perhatian serius dihampir semua negara terutama dari
aspek hukum dan kebijakan. Permasalahan lingkungan yang selama ini terjadi
juga tidak hanya menjadi monopoli negara maju atau negara industri, tetapi juga
terjadi di negara-negara berkembang.1 Perubahan iklim merupakan salah satu isu
lingkungan yang besar di dunia, karena akan menimbulkan dampak yang tidak
baik bagi kehidupan manusia.
Perubahan Iklim adalah fenomena global yang disebabkan oleh variabilitas alami
atau sebagai hasil dari. kegiatan manusia itu sendiri dalam melakukan berbagai
aktivitas manusia seperti penggunaan bahan bakar fosil skala besar (batubara,
minyak bumi dan gas alam), perubahan pemanfaatan lahan (pembukaan lahan
untuk penebangan kayu, peternakan dan pertanian), kegiatan alih guna lahan dan
kehutanan, serta konsumerisme.2 Saat pengambilan dan penggunaan sumberdaya
1 Muhammad Akib, Aktualisasi Politik Hukum Lingkungan Dalam Penyelenggaraan Otonomi
Daerah, Bandar Lampung : Universitas Lampung, 2015, hlm, 1.


2 Rumah Iklim.org, Perubahan Iklim, http://rumahiklim.org/masyarakat-adat-dan-perubahaniklim/apa-itu-perubahan-iklim/mengapa-perubahan-iklim-terjadi/

2

ini, gas rumah kaca dilepas secara besar-besaran ke atmosfer karena proses
industri. Gas-gas lain juga dilepaskan, mengotori atmosfir, seperti uap air (H2O),
Methane, N2O dan O3 (ozone). Semua gas-gas ini disebut ”Gas Rumah Kaca”.
Kegiatan tersebut merupakan sumber utama Gas Rumah Kaca (GRK) dan
merupakan faktor terbesar penyebab perubahan iklim, terutama karbondioksida
(CO2) yang kontribusi terbesar berasal dari negara industri. Gas ini memiliki
kemampuan menyerap panas yang berasal dari radiasi matahari yang dipancarkan
kembali oleh bumi. Penyerapan ini telah menyebabkan pemanasan atmosfer atau
kenaikan suhu dan perubahan iklim tersebut. Emisi gas rumah kaca terus
meningkat. Dampaknya tidak hanya lokal tetapi juga ke seluruh dunia. Semakin
banyak emisi, semakin besar perubahan iklim.3
Sejak revolusi industri 250 tahun yang lalu, konsentrasi GRK di atmosfer telah
meningkat dengan laju yang mengkhawatirkan. Pada masa pra industri,
konsentrasi kabondioksida di atmosfer meningkat tajam iklim menyesuaikan diri
terhadap selubung GRK yang lebih tebal dengan pemanasan global pada

permukaan bumi dan pada atmosfer bagian bawah. 4 Badan dunia yang bertugas

3 Rumah Iklim.org, Apa itu perubahan iklim? http://rumahiklim.org/masyarakat-adat-danperubahan-iklim/apa-itu-perubahan-iklim/

4 BreakingNews, http://ahlulbaitindonesia.org/berita/7518/bijak-dan-cerdas-hadapi-tantanganperubahan-iklim-di-indonesia-2/

3

memonitor isu Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) telah
memperkirakan bahwa antara tahun 1750 dan 2005 konsentrasi karbondioksida di
atmosfer meningkat 280 ppm (parts per million) menjadi 379 ppm per tahun dan
sejak saat itu terus meningkat dengan kecepatan 1,9 ppm per tahun. Akibatnya,
pada tahun 2100 nanti suhu global dapat naik antara 1,8 hingga 2,9 derajat (IPCC,
2007). inilah yang meninggalkan kekhawatiran terhadap keberlangsungan bumi.5
Negara-negara harus menindaklanjuti isu lingkungan tersebut agar tidak menjadi
masalah yang akan timbul nantinya. Negara-negara wajib melaksanakan
pengurangan emisi gas rumah kaca, dan negara-negara berkembang secara
inisiatif mengambil aksi pengurangan emisi. Salah satu caranya adalah dengan
meningkatkan kemampuan lahan dan hutan. Karena


lahan dan hutan dapat

menyerap gas rumah kaca. Indonesia merupakan suatu negara yang berpotensi
untuk itu, karena Indonesia merupakan suatu negara yang memiliki hutan tropis.
Indonesia merupakan negara terbesar ketiga yang mempunyai hutan tropis terluas
di dunia dan memiliki peringkat pertama di Asia Fasifik. Luas hutan hujan tropis
Indonesia diperkirakan seluas 1.148.400-an kilometer persegi.6

5 Prabang Setyono , Etika, Moral, Dan Bunuh Diri Lingkungan Dalam Perspektif Ekologi (Solusi
Berbasis Environmental Insight Quotient, Lembaga Pengembangan Pendidikan (LPP) Universitas
Sebelas Maret Surakarta : Jawa Tengah, 2011, hlm 109. http://lpp.uns.ac.id/bukuteks/images
/flippingbook/Etika,%20Moral%20dan%20Bunuh%20Diri%20Lingkungan%20dalam
%20Perspektif%20Ekologi,%20Dr.%20Prabang%20Setyono,%20M.Si/pdf/etika,moral.pdf, hlm,
109.

6
Word Agroforestry Centre Southest Asia, Publication, http://worldagroforestry.org/regions
/southeast_asia/publications?do=view_pub_detail&pub_no=TD0171-12

4


Hutan sebagai gudang karbon dan gudang jasa harus dilestarikan. Hutan dan area
alami memainkan peran sangat penting dalam mempertahankan proses alami.
Hutan merupakan salah satu penampung karbon terbesar sehingga membantu
menjaga daur karbon dan proses alami lainnya berjalan dengan baik dan
membantu mengurangi emisi gas rumah kaca. Namun bagaimana negara-negara
yang tidak mempunyai lahan atau hutan tropis yang cukup ? tentunya akan
menimbulkan masalah karena tidak semua negara memliki lahan atau hutan tropis.
Solusinya adalah melakukan kerjasama dengan negara lain yang tentunya
memiliki hutan tropis yang lebih sehingga dapat membagi karbon terkait
mengatasi masalah pemanasan global tersebut.
Kerjasama tersebut dikukuhkan dan disepakati dalam bentuk perjanjian
Internasional, yaitu pada suatu konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang
bernama United Nations Framework Convention on Climate Change7 (UNFCCC).
Dalam kegiatan UNFCCC, dikenal prinsip Common but Differentiated
Responsibility atau tanggung jawab yang berlaku umum namun berbeda kadarnya.
Prinsip ini mengacu pada kenyataan bahwa negara-negara majulah yang terlebih
dahulu melepaskan gas rumah kaca secara masif ke atmosfer ketika melakukan
pembangunan di negaranya masing-masing.8 Maka setelah manfaat pembangunan


7
UNFCCC : Perjanjian Internasional mengenai perubahan iklim

8
Dewan Nasional Perubahan Iklim, Mari berdagang karbon!, Jakarta : Sekretariat DNPI, 2013

5

itu diperoleh, mereka mempunyai kadar tanggung jawab yang lebih besar untuk
menurunkan emisi gas rumah kaca serta membantu negara berkembang
melakukan mitigasi dan adaptasi. Prinsip ini juga yang sedikit banyak mendasari
pengembangan suatu perdagangan karbon dan pasar karbon dimana pihak-pihak
yang memiliki tanggung jawab untuk mengurangi emisi gas rumah kaca namun
tidak dapat melakukannya sendiri dapat “menyuruh” pihak/negara lain untuk
melakukan itu atas namanya.

Dengan adanya pihak yang membutuhkan

penurunan emisi dan pihak yang bisa menyuplai penurunan emisi yang
dibutuhkan, terbentuklah pasar dan perdagangan karbon.9


Negara Indonesia termasuk negara yang meratifikasi pejanjian internasional
mengenai perubahan iklim tersebut melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1994
Tentang : Pengesahan United Nations Framework Convention On Climate
Change (Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa Mengenai Perubahan Iklim).
Peluang perdagangan karbon di Indonesia sangatlah besar dengan perhitungan
potensi karbon yang terserap di hutan Indonesia capai 25,773 miliar ton. Potensi
itu belum termasuk karbon yang terdapat di lahan hutan gambut dan lahan kering.
Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) mencatat Indonesia diperkirakan
mampu menyerap 5,5 giga ton CO 2. Karena itu, Indonesia menduduki urutan
kelima di dunia yang berpotensi melakukan suplai 10% kredit karbon dunia.

9
Ibid.

6

Dengan luas hutan lindung sekitar 36,5 juta hektar, nilai penyerapan karbon
Indonesia berkisar US$105 miliar hingga US$114 miliar.10
B. Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah Perkembangan Pasar Karbon ?
2. Bagaimanakah Implementasi Pasar Karbon di Indonesia?
C. Metode Penelitian
Dalam penulisan penelitian ini, penulis menggunakan metode deskriftif dengan
tekhnik pengumpulan data berupa literatur dari berbagai buku, media Internet,
media cetak dan jurnal yang menguraikan tentang apakah yang dimaksud dengan
pasar karbon dan bagaimana perkembangannya, serta bagaimana penerapan pasar
karbon di Indonesia, yang penulis jadikan pedoman dalam penulisan makalah ini.
D. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka yang menjadi tujuan dalam penulisan
makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui bagaimana perkembangan dari Pasar Karbon
2. Untuk mengetahui bagaimana implementasi Pasar Karbon di Indonesia

E. Sistematika Penulisan
Dalam menguraikan penulisan makalah ini, penulis membgi makalah ini menjadi
IV (empat) Bab, dan disetiap bab dibagi lagi menjadi sub-bab.
penulisannya adalah sebagai berikut :
10
Ibid.


sistematika

7

Bab I Pendahuluan, Terdiri dari Latar Belakang, Perumusan masalah, Tujuan
Penulisan, Metode Penulisan dan Sistematika Penulisan.
Bab II Landasan Teori, Bab ini akan membahas pengaturan berupa teori yang
berkaitan dengan perdagangan dan pasar karbon, selain itu juga membahas
tentang bagaimana implementasi pasar karbon di Indonesia.
Bab III Pembahasan, dalam bab ini penulis membahas tentang Pemaparan dari
rangkaian masalah yang dibuat, yaitu: Pertama, bagaimana perkembangan pasar
karbon. Kedua, bagaimana implementasi perdagangan karbon di Indonesia.
Bab V Penutup, yang terdiri dari Keimpulan dari penelitian, saran dari penulis,
serta Daftar Pustaka.

BAB II
LANDASAN TEORI
A. Fokus Bahasan


8

Perubahan Iklim adalah berubahnya kondisi rata-rata iklim dan/atau keragaman
iklim dari satu kurun waktu ke kurun waktu yang lain sebagai akibat dari aktivitas
manusia.11 Perubahan iklim terjadi karena kenaikan suhu atmosfer bumi, atau
yang biasa disebut pemanasan

global (global warming).12 Pemanasan global

menyebabkan keseimbangan sistem iklim terganggu dan mengubah iklim bumi
kita. Pemanasan global adalah meningkatnya suhu rata-rata atmosfer, laut dan
daratan bumi. Penyebab utamanya adalah pembakaran bahan bakar fosil seperti
batu bara, minyak bumi, dan gas alam, yang melepas Gas Rumah Kaca (GRK) ke
udara, yang menyebabkan Efek Rumah Kaca.
Semua negara memiliki tanggung jawab untuk mengurangi emisi gas rumah kaca,
namun banyak negara yang tidak dapat melakukannya sendiri karena negaranegara tersebut tidak mempunyai lahan dan hutan untuk menyerap gas rumah
kaca. Oleh karena itu negara-negara mengadakan kerjasama. Pada tanggal 3
sampai dengan 14 Juni 1992 diadakan konferensi Tingkat Tinggi Bumi di Rio de
Janeiro, Brazil dan menghasilkan komitmen internasional dalam rangka upaya
mencegah meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer dengan

ditandatanganinya United Nations Framework Convention on Climate Change
(UNFCCC). Salah satu capaian penting dalam pelaksanaan konvensi ini adalah
11
Perpres No 46 Tahun 2008 Tentang Dewan Nasional Perubahan Iklim

12
Dewan Nasional Perubahan Iklim, Op.Cit, hlm, 9.

9

dirumuskannya Protokol Kyoto pada tahun 1997. Protokol ini memberikan
kewajiban bagi negara-negara maju untuk menurunkan emisi gas rumah kaca
sebanyak rata-rata 5 persen di bawah aras tahun 1990. Protokol ini mulai berlaku
efektif pada tahun 2005 sedangkan Indonesia meratifikasinya melalui UndangUndang No. 17 Tahun 2004.13
Kegiatan UNFCCC, dikenal prinsip Common but Differentiated Responsibility
atau tanggung jawab yang berlaku umum namun berbeda kadarnya. Prinsip ini
mengacu pada kenyataan bahwa negara-negara majulah yang terlebih dahulu
melepaskan gas rumah kaca secara masif ke atmosfer ketika melakukan
pembangunan di negaranya masing-masing. Prinsip ini juga yang sedikit banyak
mendasari pengembangan pasar karbon dimana pihak-pihak yang memiliki

tanggung jawab untuk mengurangi emisi gas rumah kaca namun tidak dapat
melakukannya sendiri dapat “menyuruh” pihak lain untuk melakukan itu atas
namanya. Dengan adanya pihak yang membutuhkan penurunan emisi dan pihak
yang bisa menyuplai penurunan emisi yang dibutuhkan, terbentuklah pasar dalam
hal ini adalah perdagangan karbon.14

13
Ibid.

14
Dewan Nasional perubahan iklim, Mari berdagang karbon!, Op.Cit, hlm 7

10

Negara Indonesia sebagai salah satu negara yang ikut meratifikasi United Nations
Framework Convention On Climate Change (Konvensi Perserikatan Bangsa
Bangsa Mengenai Perubahan Iklim) dan ikut menandatangani Protocol kyoto
mempunyai kesempatan untuk ikut bergabung dalam perdagangan karbon
tersebut. Peluang perdagangan karbon di Indonesia sangatlah besar dengan
perhitungan potensi karbon yang terserap di hutan Indonesia capai 25,773 miliar
ton. Potensi itu belum termasuk karbon yang terdapat di lahan hutan gambut dan
lahan kering. Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) mencatat Indonesia
diperkirakan mampu menyerap 5,5 giga ton CO 2. Karena itu, Indonesia
menduduki urutan kelima di dunia yang berpotensi melakukan suplai 10% kredit
karbon dunia. Dengan luas hutan lindung sekitar 36,5 juta hektar, nilai penyerapan
karbon Indonesia berkisar US$105 miliar hingga US$114 miliar.15

B. Tinjauan Teoritis
Bumi adalah planet dengan proses alami yang menyediakan lingkungan yang baik
untuk kehidupan manusia, tumbuhan, dan binatang. Sebelum mempelajari iklim
dan mengapa iklim berubah, penting bagi kita untuk meninjau beberapa informasi
dasar tentang bumi dan proses alami yang memungkinkan adanya kehidupan di
bumi. Bumi adalah planet yang dibentuk oleh batuan, mineral, tanah, air, gas, dan
organisme hidup. Tiga bagian utama bumi adalah bagian dalam atau inti,
permukaan bumi, dan atmosfer atau area di atas permukaan bumi.16
15
Ibid.

16

11

Sebagian gas berpengaruh kuat terhadap iklim. Gas-gas ini menangkap panas di
atmosfer bumi. Walaupun menjadi bagian utama atmosfer, jumlah gas-gas ini
mengalami kenaikan selama 150 tahun terakhir. Kenaikan jumlah gas-gas di
atmosfer inilah yang paling bertanggung jawab atas pemanasan global dan
perubahan iklim. Kegiatan manusia bertanggung jawab atas sebagian besar
kenaikan jumlah gas ini.17
Perubahan Iklim adalah berubahnya kondisi rata-rata iklim dan/atau keragaman
iklim dari satu kurun waktu ke kurun waktu yang lain sebagai akibat dari aktivitas
manusia.18 Para ilmuwan berpendapat perubahan iklim merupakan perubahan pola
cuaca normal di seluruh dunia selama periode waktu yang panjang yang menjadi
tantangan paling serius yang dihadapi dunia di abad 21. Perubahan iklim terjadi
karena kenaikan suhu atmosfer bumi, atau yang biasa disebut pemanasan global
Susan Stone, Conservation International, Perubahan Iklim dan Peran Hutan, 2010, http://
www.conservation.org/publications/documents/redd/CI_Climate_Change_and_the_Role_of_Fores
ts_Bahasa_Manual_Komunitas.pdf, hlm, 13.

17

Ibid.

18

Perpres No 46 Tahun 2008 Tentang Dewan Nasional Perubahan Iklim

12

(global warming).19 Pemanasan global menyebabkan keseimbangan sistem iklim
terganggu dan mengubah iklim bumi kita. Pemanasan global adalah meningkatnya
suhu rata-rata atmosfer, laut dan daratan bumi. Penyebab utamanya adalah
pembakaran bahan bakar fosil seperti batu bara, minyak bumi, dan gas alam, yang
melepas Gas Rumah Kaca (GRK) ke udara, yang menyebabkan Efek Rumah
Kaca, yaitu proses dimana atmosfer memanaskan sebuah planet. Hal ini terjadi
akibat peningkatan jumlah gas ini melebihi kemampuan tumbuhan dan laut untuk
mengabsorpsinya. Seperti kita ketahui, tumbuhan memerlukan CO 2 dalam
aktivitas fotosintesanya.20
CO2 adalah hasil penggabungan karbon (c) dengan oksigen. Penggabungan itu
mengambil 1 bagian karbon dan 2 bagian oksigen (o) untuk membentuk gas CO 2.
Gas ini dihasilkan saat zat karbon bergabung dengan oksigen di udara. Penyebab
utama dari global warming itu sendiri adalah meningkatnya jumlah emisi karbon
akibat penggunaan energi fosil, terutama di sektor industri. Negara industri seperti
Amerika Serikat, China, Australia, Jepang dan Rusia menjadi aktor utama sebagai
penyebabnya. Hal ini disebabkan oleh pola konsumtif dan gaya hidup masyarakat
negara-negara maju tersebut.21
19

Dewan Nasional Perubahan Iklim, Op.Cit, hlm, 9.

20

Prabang Setyono, Op.Cit, hlm, 102.

21

13

Menangani perubahan iklim memerlukan dua jalur tindakan yang dilakukan
bersamaan yakni mitigasi dan adaptasi. Mitigasi bermakna tindakan untuk
memperlambat laju perubahan iklim, sedangkan adaptasi bermakna tindakan
untuk menyesuaikan diri dengan risiko dampak perubahan iklim yang telah atau
mungkin terjadi. Kedua tindakan ini akan meringankan dampak perubahan iklim
bagi kehidupan manusia. Mitigasi Perubahan Iklim adalah usaha pengendalian
untuk mencegah terjadinya perubahan iklim melalui kegiatan yang dapat
menurunkan emisi/meningkatkan penyerapan gas rumah kaca dari berbagai
sumber emisi.22 Berbagai kegiatan dapat digolongkan sebagai mitigasi perubahan
iklim, Salah satu caranya adalah dengan meningkatkan kemampuan lahan dan
hutan. Fungsi hutan disini sebagai penyerap buangan atau emisi yang dikeluarkan
dari aktivitas makhluk hidup secara keseluruhan yakni CO2. Hutan yang menyerap
gas rumah kaca dan menampung karbon terbesar sehingga membantu menjaga
daur karbon dan proses alami lainnya berjalan dengan baik dan membantu
mengurangi emisi gas rumah kaca.
Caranya adalah karbon terus-menerus diserap dari karbon dioksida di udara,
disimpan dalam pohon, tumbuhan atau makhluk hidup lainnya, kemudian
digunakan dan dilepaskan kembali sebagai karbon dioksida ke atmosfer di mana
ia menjadi bagian dari efek gas rumah kaca. Tumbuhan menggunakan energi

Ibid.

22

Perpres No 46 Tahun 2008 Tentang Dewan Nasional Perubahan Iklim

14

surya dari matahari, air, zat hara dan karbon untuk tumbuh. Saat ditanam, pohon
mengambil karbon dari udara agar daun, akar, batang, bunga, dan buahnya dapat
tumbuh. Tumbuhan dan pohon menyimpan karbon dan mengembalikan CO 2 dan
oksigen ke udara melalui respirasi (seperti pernapasan). Saat tumbuhan dan
binatang mati, karbon yang disimpan dalam tubuhnya dikembalikan ke tanah dan
udara. Jadi, karbon terus-menerus bergerak atau mengalir di dalam daur karbon
dengan berbagai cara.23
Semua negara memiliki tanggung jawab untuk mengurangi emisi gas rumah kaca,
namun banyak negara yang tidak dapat melakukannya sendiri karena negaranegara tersebut tidak mempunyai lahan dan hutan untuk menyerap gas rumah
kaca. Oleh karena itu negara-negara mengadakan kerjasama. Pada tanggal 3
sampai dengan 14 Juni 1992 diadakan konferensi Tingkat Tinggi Bumi di Rio de
Janeiro, Brazil dan menghasilkan komitmen internasional dalam rangka upaya
mencegah meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer dengan
ditandatanganinya United Nations Framework Convention on Climate Change
(UNFCCC). Konvensi ini telah di adopsi oleh 195 negara. 24 Salah satu capaian
penting dalam pelaksanaan konvensi ini adalah dirumuskannya Protokol Kyoto
pada tahun 1997. Protokol ini memberikan kewajiban bagi negara-negara maju
untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebanyak rata-rata 5 persen di bawah
23
Susan Stone, Conservation International, Op.Cit, hlm 17.

24
Kusnandar Prijadikusuma, Tesis, Posisi Indonesia dalam perdagangan karbon, http://lib.ui.
ac.id/file?file=digital/20316617-T31930-Posisi%20indonesia.pdf, hlm, 2.

15

aras tahun 1990. Protokol ini mulai berlaku efektif pada tahun 2005 sedangkan
Indonesia meratifikasinya melalui Undang-Undang No. 17 Tahun 2004.25
Kegiatan UNFCCC, dikenal prinsip Common but Differentiated Responsibility
atau tanggung jawab yang berlaku umum namun berbeda kadarnya. Prinsip ini
mengacu pada kenyataan bahwa negara-negara majulah yang terlebih dahulu
melepaskan gas rumah kaca secara masif ke atmosfer ketika melakukan
pembangunan di negaranya masing-masing. Maka setelah manfaat pembangunan
itu diperoleh, mereka mempunyai kadar tanggung jawab yang lebih besar untuk
menurunkan emisi gas rumah kaca serta membantu negara berkembang
melakukan mitigasi dan adaptasi. Prinsip ini juga yang sedikit banyak mendasari
pengembangan pasar karbon dimana pihak-pihak yang memiliki tanggung jawab
untuk mengurangi emisi gas rumah kaca namun tidak dapat melakukan-nya
sendiri dapat “menyuruh” pihak lain untuk melakukan itu atas namanya. Dengan
adanya pihak yang membutuhkan penurunan emisi dan pihak yang bisa menyuplai
penurunan emisi yang dibutuhkan, terbentuklah pasar dalam hal ini adalah
perdagangan karbon.26

25

Ibid.

26

Dewan Nasional perubahan iklim, Mari berdagang karbon!, Op.Cit, hlm 7

16

Perdagangan karbon adalah kegiatan jual beli sertifikat pengurangan emisi karbon
dari kegiatan mitigasi perubahan iklim.27 Perdagangan karbon adalah suatu
instrumen ekonomi yang berfungsi sebagai sarana pelaksanaan kebijakan (policy
tool) untuk memberikan insentif bagi kegiatan mitigasi perubahan iklim.28
Perdagangan karbon berarti adanya hak dan kewajiban para pihak, dimana negara
yang berhutan tropis diminta untuk menjaga hutannya untuk menyerap pemanasan
global dan negara-negara industri membayar kepada negara-negara berhutan
tropis yang mempertahankan hutannya tersebut. Pasar Karbon adalah akibat
daripada perdagangan tersebut.
Negara Indonesia termasuk negara yang meratifikasi pejanjian internasional
mengenai perubahan iklim tersebut melalui Undang-Undang No. 6 Tahun 1994
Tentang : Pengesahan United Nations Framework Convention On Climate
Change (Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa Mengenai Perubahan Iklim).
Untuk menindaklanjuti tujuan dari UNFCCC agar mencapai tujuan tersebut dalm
hal ini mengurangi emisi gas rumah kaca, diperlukan perjanjian tambahan. Dalam
konferensi negara-negara peserta (Conference of the parties/COP) UNFCCC
ketiga pada tahun 1907 di kyoto, dibentuklah Protokol Kyoto (Kyoto Protocol)
sebagai perangkat tersebut.

27

Perpres No 46 Tahun 2008 Tentang Dewan Nasional Perubahan Iklim

28

Ibid.

17

Protocol kyoto memberikan dasar bagi negara-negara industri penghasil emisi gas
rumah kaca (yang dikelompokkan dalam perjanjian sebagai negara-negara Annex
I) untuk mengurangi keseluruhan emisi gas rumah kaca masing-masing pada
tahun 2012 kurang lebih 5 persen dari emisi 1990. Selain upaya sendiri dari
masing-masing negara, Protocol kyoto juga menghasilkan tiga mekanisme
kerjasama yang berbasis pasar, yaitu Join Implementation (JI), Emissions Trading
(ET), dan Clean Development Mechanism (CDM). 29
Indonesia sebagai salah satu negara yang meratifikasi UNFCCC dan sebagai salah
satu negara berkembang juga ikut menandatangani Protocol kyoto, dan telah
meratifikasinya melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun
2004 Tentang Pengesahan Kyoto Protocol To The United Nations Framework
C'onvention on Climate Change (Protokol Kyoto Atas Konvensi Kerangka Kerja
Perserikatan

Bangsa-Bangsa Tentang

Perubahan

Iklim).

Dengan

begitu

pemerintah Indonesia telah membuka peluang untuk ikut serta dalam perdagangan
karbon Internasional melalui mekanisme CDM, karena Indonesia termasuk dalam
kategori negara berkembang. Potensi proyek CDM yang dapat dilakukan untuk
mengurangi emisi gas rumah kaca di Indonesia, dapat dilihat dalam panduan yang
dibuat oleh Institute for global enviromental strategies (IGES), yang dibagi ke
dalam sektor energi, industri, dan transportasi; serta sektor kehutanan. 30 Untuk
29

UNFCCC, “The mechanism under the kyoto /protocol:, the Join Implementation (JI), Emissions
Trading (ET), dan Clean Development Mechanism (CDM), http://unfccc.int/kyoto_protocol
/mechanism/items/1673.php

30

Kusnandar Prijadiksuma, Op.Cit, hlm 5.

18

menjalankan CDM diperlukan sistem kelembagaan di tingkat nasional, maka
pemerintah Indonesia kemudian membentuk kelembagaan di tingkat nasional,
yaitu Lembaga Otoritas Nasional CDM (DNA) untuk mewakili kepentingan
nasional Indonesia, yaitu Komite Nasional Mekanisme Pembangunan Bersih
(Komnas MPB) yang bergerak dibawah koordinasi Kementrian Lingkungan
Hidup pada bulan juli 2005.31
Sektor energi memberikan sumbangan besar tak hanya untuk menggerakkan
ekonomi nasional, tapi juga dalam menyumbangkan pendapatan langsung dari
penjualan produk-produk energi, khususnya bahan bakar fosil. Ekspor minyak
bumi, gas bumi dan batubara merupakan sumber utama pendapatan pemerintah
sejak lebih 3 dekade yang lalu. Indonesia juga adalah negara agraris, mempunyai
hutan–hutan tropis serta garis pantai yang terpanjang di dunia, sehingga
perubahan iklim yang akan berpengaruh terhadap pemanasaan global merupakan
masalah yang menjadi perhatian Indonesia.32
Peluang perdagangan karbon di Indonesia sangatlah besar dengan perhitungan
potensi karbon yang terserap di hutan Indonesia capai 25,773 miliar ton. Potensi
itu belum termasuk karbon yang terdapat di lahan hutan gambut dan lahan kering.
Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) mencatat Indonesia diperkirakan
mampu menyerap 5,5 giga ton CO 2. Karena itu, Indonesia menduduki urutan
31

Komnas MPB, http://pasarkarbon.dnpi.go.id/web/index.php/komnasmpb.html

32

Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi, Indonesia Produsen Emisi Karbon Dunia,
2015, http://www.bappebti.go.id/id/edu/articles/detail/2997.html

19

kelima di dunia yang berpotensi melakukan suplai 10% kredit karbon dunia.
Dengan luas hutan lindung sekitar 36,5 juta hektar, nilai penyerapan karbon
Indonesia berkisar US$105 miliar hingga US$114 miliar.33

BAB III
PEMBAHASAN
A. Perkembangan Pasar Karbon
1. Pengertian Pasar Karbon
Makna istilah “pasar karbon” sebenarnya sedikit salah kaprah dan mudah
memicu kesalahpahaman. Contohnya, masih banyak masyarakat yang
mengira karbon yang menjadi komoditas pasar dimaksud adalah arang
(charcoal) dan bukan karbon dioksida (CO2). Faktanya, bahkan karbon
dioksida pun bukan satu-satunya komoditas yang diperdagangkan dalam
suatu

pasar

karbon.

Dalam

pasar

karbon,

yang

diperdagangkan

sesungguhnya adalah hak atas emisi gas rumah kaca dalam satuan setaraton-CO2 (ton CO2 equivalent).34 Hak di sini dapat berupa hak untuk
melepaskan gas rumah kaca ataupun hak atas penurunan emisi gas rumah
33

Ibid.

20

kaca. Sedangkan jenis gas rumah kaca yang dapat diperdagangkan dalam
pasar karbon umumnya ada enam jenis gas rumah kaca yang tercantum
dalam Protokol Kyoto35, yang meliputi:
a) karbon dioksida (CO2),
b) metana (CH4),
c) nitrat oksida (N2O),
d) hidrofluorokarbon (HFCs),
e) perfluorocarbons (PFCs), dan
f) sulfur heksafluorida (SF6).
Keenam jenis gas rumah kaca ini mempunyai potensi penyebab pemanasan
global yang berbeda-beda. Karbon dioksida, walaupun konsentrasinya
paling tinggi di atmosfer, ternyata adalah gas rumah kaca dengan potensi
penyebab pemanasan global terendah di antara keenam jenis gas tersebut
sehingga menjadi angka acuan untuk indeks daya penyebab pemanasan
global yang disebut Global Warming Potential (GWP).
Pasar karbon adalah kumpulan kebutuhan/keinginan terhadap hak atas emisi
gas rumah kaca dalam satuan setara-ton-CO2 (ton CO2q.). Selain pasar
karbon, ada juga istilah “perdagangan karbon”. Kedua istilah ini seringkali
34

Dewan Nasional Perubahan Iklim, Op.Cit, Hlm, 15

35

UNFCC, http://unfccc.int/kyoto_protocol/items/2830.php

21

tertukar dalam penggunaannya. Di dalam Peraturan Presiden No. 46 tahun
2008 tentang Dewan Nasional Perubahan Iklim, perdagangan karbon
didefinisikan sebagai “kegiatan jual beli sertifikat pengurangan emisi
karbon dari kegiatan mitigasi perubahan iklim”. 36 Terlihat perbedaan yang
jelas antara istilah “pasar karbon” dan “perdagangan karbon” dimana pasar
(market) adalah penyebab bagi perdagangan.
2. Sejarah Pasar Karbon
Pasar karbon bukanlah sistem yang pertama kali melakukan perdagangan
emisi. Bukti sukses pertama penerapan konsep perdagangan emisi untuk
perlindungan lingkungan adalah di Amerika Serikat pada tahun 1980-an.
Perdagangan emisi ini diterapkan dalam rangka menghapus timbal dari
bahan bakar kendaraan. Amerika Serikat kemudian menerapkan program
perdagangan emisi sulfurdioksida (SO2) yang dilakukan US Environmental
Protection Agency (US EPA).37 Program ini bertujuan mengurangi
terjadinya hujan asam (acid rain) dengan memberikan kewajiban
pengurangan emisi SO2. Program inilah yang menjadi bukti kesuksesan
penerapan perda-gangan emisi dalam skala besar. Dalam program ini,
pembangkit-pembangkit listrik di atas 25 MW diberikan batas maksimum
36

Pasal 1 Point 6 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 46 Tahun 2008 Tentang Dewan
Nasional Perubahan Iklim

37

Enviromental Protection Agency (EPA), www.epa.gov/climatechange/EPAactivities.html

22

untuk emisi SO2 yang boleh dilepaskan. Operator pembangkit listrik yang
tidak mampu atau merasa biaya pengurangan emisi SO 2 terlalu mahal dapat
membeli unit pengurangan emisi SO2 yang telah disertifikasi dari operator
pembangkit listrik yang bisa mengurangi banyak emisi SO 2 dengan biaya
yang lebih rendah. Program ini sangat sukses sehingga emisi SO 2 dapat
dikurangi lebih cepat dan lebih murah dari perkiraan sebelumnya. Sampai
saat ini ditulis, volume perdagangan yang tercatat telah melebihi 12 juta ton
SO2 dengan nilai perdagangan diperkirakan telah lebih dari 4 miliar dollar
AS.38 Hasil seperti inilah yang diharapkan dari pasar karbon yaitu emisi gas
rumah kaca dapat dikurangi dengan lebih cepat dan lebih murah sehingga
laju pemanasan global dapat diredam dengan biaya seefisien mungkin.
Dalam hal penerapan mekanisme pasar karbon untuk

penanggulangan

perubahan iklim, Konferensi tingkat tinggi (KTT) Bumi (Earth summit)
tentang Lingkungan dan Pembangunan yang dikenal dengan nama United
Nations Conference on Environment and Development (UNCED) di Rio de
Janeiro, Brasil, bulan juni 1992 para pemimpin dunia sepakat untuk
mengadopsi Konvensi Kerangka Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
tentang Perubahan Iklim (United Nations Framework Convention On
Climate Change, UNFCCC).39 Tujuan utama konvensi ini adalah untuk
38

Dewan Nasional Perubahan Iklim, Op.Cit, Hlm. 27.

39

Achmad Abdi Amsir, Dkk, Jurnal, Kebijakan Lingkungan Pemerintah Indonesia Pasca Ratifikasi
Protokol Kyoto (Sebuah Kajian Tentang Kebijakan Kelembagaan Dalam Implementasi Program
Clean Development Mechanism (CDM) Di Indonesia, http://pasca.unhas.ac.id/jurnal/fi
les/7198d7043cd814063377147d9ce25b01.pdf

23

menstabilkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) ke atmosfer pada tingkat
tertentu sehingga tidak membahayakan sistem iklim bumi. UNFCCC adalah
tonggak yang penting. Di bawah UNFCCC, Negara-negara diijinkan untuk
menggunakan sistem perdagangan untuk membantu mereka memenuhi
target pengurangan emisi.40
Negosiasi demi negosiasi melalui berbagai Konferensi Para Pihak
(Conference of Parties, CoP) Konvensi Perubahan Iklim telah dilaksanakan,
hingga akhirnya pada CoP-3 tahun 1997 di Kyoto sebuah tata cara
penurunan emisi GRK yang kemudian dikenal dengan nama Protokol
Kyoto. Melalui protokol ini target penurunan emisi oleh Negara-negara
industri telah dijadwalkan dan akan dilaksanakan melalui mekanisme yang
transparan. Semua pihak anggota protokol juga dapat mengawasi pelaporan
dan penataannya yang diatur di dalam protokol. Bahkan melalui lembaga
tertinggi protokol yaitu Konferensi Para Pihak Konvensi yang merupakan
pertemuan Para Pihak Protokol (Conference Of Parties To The Convention
Serving AS Meeting Of Parties To The Protocol, CoP/MoP) mereka juga
dapat menentukan tindakan yang harus diambil jika salah satu pihak tidak
menaati (non-compliance) ketentuan yang ada.41

40

UNFCCC, http://unfccc.int/essential_background/convention/items/6036.php

41

Achmad Abdi Amsi, Loc.Cit

24

Pada prinsipnya, sebuah Negara dapat mengalokasikan ijin kepada setiap
perusahaan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dengan jumlah tertentu.
Dalam mencapai tujuannya, konvensi ini merumuskan Protokol Kyoto pada
tahun 1997. Protokol ini memperbolehkan penerapan tiga macam
mekanisme Fleksibel alias perdagangan karbon sebagai berikut:
a) Perdagangan emisi (Emission Trading), dimana sesama negara maju
dapat berjual beli emisi gas rumah kaca.
b) Implementasi bersama (Joint Implementation), dimana beberapa
negara maju dapat bersama-sama mengembangkan kegiatan mitigasi
perubahan iklim yang berlokasi di negara maju dan hasil penurunan
emisinya dibagi sesuai kesepakatan.42
c) Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Development Mechanism),
dimana negara maju dapat mendanai/membeli hasil penurunan emisi
gas rumah kaca dari proyek yang ber-lokasi di negara berkembang.
CDM merupakan mekanisme pencapaian target pengurangan emisi
gas rumah kaca di negara maju dengan melibatkan negara
berkembang. Mekanisme ini memungkinkan negara maju untuk
mencapai sebagian keharusan pengurangan emisi melalui proyek di
negara berkembang yang dapat mengurangi emisi atau CO2 dari
atmosfir. Saat ini negara-negara berkembang tidak memiliki
kewajiban untuk mengurangi emisi gas rumah kaca yang mereka
hasilkan. Akan tetapi mereka dapat berpartisipasi secara sukarela
dalam pengurangan emisi global dengan menjadi tuan rumah bagi

42

UNFCC, Joint Implementation,
ementation/items/1674.php

http://unfccc.int/kyoto_protocol/mechanisms/joint_impl

25

proyek pelaksanaan CDM. CDM adalah salah satu mekanisme dari
Protokol Kyoto yang mengatur negara maju (Annex I) dalam
upayanya menurunkan emisi gas rumah kaca. Mekanisme CDM ini
merupakan satu-satunya mekanisme yang terdapat pada Protokol
Kyoto

yang

mengikutsertakan

negara

berkembang.

Melalui

mekanisme CDM ini, diharapkan akan memungkinkan adanya
tranfer teknologi dari negara maju ke negara berkembang.43
Sebelum Protokol Kyoto berlaku efektif pada tahun 2005, setelah Rusia
menggenapkan jumlah ratifikasi yang disyaratkan, beberapa negara maju
telah mencoba menerapkan pasar karbon dengan salah satu tujuannya adalah
untuk mempersiapkan diri memenuhi kewajiban protokol tersebut. Denmark
mulai menerapkan pasar karbon secara sukarela pada tahun 2001, disusul
Inggris setahun kemudian. Dalam program-program ini, industri-industri
yang tergabung “berjanji” untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Untuk
memenuhi janji tersebut secara kolektif, mereka diperbolehkan untuk
melakukan perdagangan karbon.44

43

Ragil Susanto, eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Hambatan Implementasi Program
Aforestation/Reforestation Clean Development Mechanism (A/R CDM) di Sekaroh, Jerowaru,
Nusa Tenggara Barat, 2014, http://ejournal.hi.fisip-unmul.ac.id/site/wp-content/uploads/2014
/07/eJurnal%20Skripsi%20(07-15-14-06-05-55).pdf
44

Dewan Nasional Perubahan Iklim, Op.Cit, Hlm, 28

26

Program-program ini menjadi sarana pembelajaran bagi Eropa yang pada
tahun 2005 kemudian mulai menerapkan pasar karbon Uni Eropa, European
Union Emission Trading System (EU ETS), yang diikuti oleh 28 negaranegara Uni Eropa ditambah Liechenstein, Norwegia, dan Islandia. Sampai
saat ini, EU ETS masih merupakan pasar karbon terbesar di dunia dan
menjadi

acuan

bagi

negara-negara

lain

yang

telah

atau

akan

mengembangkan pasar karbon.45
3. Perkembangan Pasar Karbon
Beberapa tahun terakhir, inisiatif pengembangan pasar karbon baru terus
dilakukan

di

seluruh

dunia.

Banyak

negara

telah

atau

sedang

mengembangkan pasar karbon, tidak terkecuali negara-negara berkembang
seperti China, Korea Selatan, Afrika Selatan, dan lain-lain.
Memang sampai pada perundingan UNFCCC pada tahun 2012 di Doha,
belum ada kesepakatan di tingkat global mengenai kerangka pasar karbon
yang akan diimplementasikan pasca 2012, terutama untuk kerangka pasar
wajib, tapi hal ini tidak menghalangi banyak negara untuk mengembangkan
pasar karbon baik dalam konteks nasional maupun multinasional.
Beberapa hal di bawah ini adalah perkembangan terbaru dan kemungkinan
akan pembentukan pasar karbon pasca 2012 :46
45

Ibid
46

Ibid , Hlm. 64-65

27

a) CDM, terdapat beberapa perubahan. EU-ETS hanya akan menerima
kredit karbon dari proyek-proyek tunggal CDM dari negara
berkembang apabila proyek tersebut terdaftar sebelum tahun 2013,
tapi pasar EU-ETS masih terbuka untuk kredit karbon CDM dari
negara miskin/LDC (Least Developed Countries). Pada tahun 2011
disetujui masuknya jenis proyek CCS (Carbon Capture and
Storage) sebagai salah satu jenis proyek CDM.
b) Pasar karbon sukarela masih tetap akan berjalan seperti semula,
dengan perkiraan akan ada peningkatan signiÀkan atas jumlah
kredit karbon dari negara berkembang yang tidak dapat masuk ke
sistem EU-ETS.
c) NAMAs Crediting, yang merupakan bagian dari Nationally
Appropriate Mitigation Actions, sejak awal tahun 2010 menjadi
salah satu topik yang banyak dibicarakan oleh berbagai negara untuk dikembangkan. Sebagai bagian dari komitmen pengurangan
emisi, NAMAs Crediting diharapkan dapat menjadi salah satu alternatif pembiayaan dari pasar karbon untuk pengurangan emisi
nasional. Tetapi NAMAs Crediting belum dapat didefinisikan secara pasti dan disepakati karena belum semua negara telah menggolongkan pembiayaan kegiatan mitigasi ke pembiayaan sendiri
atau ke NAMAs Crediting.
d) Perdagangan karbon bilateral, yang paling dikenal adalah proposal
Joint Crediting Mechanism (JCM) dari pemerintah Jepang kepada
pemerintah Indonesia dan beberapa negara berkembang lain.
Diharapkan perdagangan karbon bilateral ini akan menjadi alternatif
pemenuhan kewajiban negara maju, terutama Jepang, dengan lebih
cepat, lebih fleksibel, dan biaya transaksi yang lebih murah
dibandingkan dengan CDM.
e) Domestic carbon market atau pasar karbon berdasarkan cakupan
area transaksi dalam batas wilayah/negara. Melalui pasar karbon
domestik, yang umumnya merupakan pasar karbon sukarela,
diharapkan pembiyaan mitigasi di level nasional/sub nasional dapat

28

diperoleh dari pasar karbon. Negara yang saat ini tengah
mengembangkan jenis pasar karbon ini antara lain adalah Jepang,
Korea Selatan, China, Thailand, Mexico, dan Indonesia.
Selain berbagai alternatif pengembangan jenis pasar karbon di atas, secara
global hampir semua negara di dunia sependapat bahwa mitigasi perubahan
iklim harus semakin luas dilakukan dan pasar karbon adalah salah satu
jenis

pembiayaan

yang

selama

ini

terbukti

berhasil

untuk

di

implementasikan. Ke depan, pasar karbon juga banyak di harapkan bukan
saja untuk difungsikan sebagai alternatif pembiayaan perubahan iklim, tapi
juga untuk memberikan manfaat-manfaat sebagai berikut:47
a) Meningkatkan efesiensi energi dan efesiensi pembiayaan, khususnya untuk pembangunan rendah karbon di tingkat domestik
b) Mempercepat pengembangan energi terbarukan
c) Menggalang dana untuk konservasi lingkungan dan sumber daya
alam
d) Meningkatkan peran serta swasta dan industri dalam mitigasi
perubahan iklim nasional
e) Menjadi motor penggerak ekonomi domestik.
Karena itulah pasar karbon saat ini menjadi alternatif instrumen ekonomi
yang sangat menarik dalam pelaksanaan pembangunan. Berbagai negara
maju maupun berkembang bahkan mengandalkan pasar karbon sebagai alat
kebijakan untuk meningkatkan efesiensi ekonomi dan menciptakan
lapangan kerja.

47

Ibid

29

Dalam tatanan global Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB), diskusi tentang
pasar karbon dilakukan dalam forum UNFCCC khususnya forum
perundingan tahunan Conference of the Parties (CoP). Perundingan dalam
COP mencakup berbagai isu perubahan iklim, termasuk pasar karbon.
Perundingan

pasar karbon terutama

ditujukan untuk

menemukan

kesepahaman dan pengertian bersama terhadap pengembangan pasar
karbon sebagai bagian dari mekanisme pembiayaan dan mitigasi perubahan iklim. Tapi seperti perundingan UNFCCC lainnya, perundingan
tidak pernah berjalan mudah. Persiapan untuk mekanisme pasar baru
setelah era Protokol Kyoto misalnya, dimulai pada CoP 13 di Bali tahun
2007, dan sampai sekarang masih belum mencapai bentuk yang disepakati
dalam perundingan.
Sebagian besar negara berkembang mendukung perundingan tentang pasar
karbon ini, meski pada beberapa pokok bahasan setiap negara mempunyai
posisi berbeda pada dasarnya tetap mendukung. Sedangkan negara-negara
maju, mulai dari negara-negara Eropa, Jepang, Australia, Selandia Baru,
umumnya mendukung upaya pengembangan pasar karbon. Tetapi tentu
tidak semua negara mempunyai posisi yang sama. Negara-negara seperti
Bolivia dan kadang juga Venezuela, tidak terlalu setuju bahkan seringkali
menentang pengembangan pasar karbon internasional. Bahkan Bolivia juga
mengusulkan adanya pendekatan ketiga, NMA (Non Market-based
Approaches), sebagai pengimbang inisiatif-inisiatif baru yang jauh lebih
memihak pasar. Posisi dari negara-negara kepulauan kecil yang tergabung
dalam AoSIS (Alliance of Small Islands and States) juga terbilang unik.
Dalam banyak kesempatan, meskipun sebagian besar dari mereka sangat
mendukung pengembangan pasar karbon, tapi mereka juga peduli pada
kedetilan proses dan mekanisme pasar yang akan dibangun.
Hal-hal di atas adalah yang menjadikan perundingan berjalan berlarut
sampai bertahun-tahun. Disamping itu, hal mendasar yang menjadikan
perundingan berlarut juga karena proses pengambilan keputusan-nya.

30

UNFCCC tidak mengenal mekanisme voting, jadi setiap pengambilan
keputusan harus diambil dalam suara bulat. Prinsip “Nothing is agreed
until everything is agreed”, menjadikan keputusan tidak bisa diambil kalau
satu saja negara tidak setuju, sedang semua yang lain setuju.
B. Penerapan Pasar Karbon di Indonesia
Kesalahpahaman masyarakat umum dan pemangku kepentingan tentang pasar
karbon, kerumitan sistemnya, dan tuntutan transparansi dalam setiap tahapannya
menjadikan pasar karbon masih menjadi pilihan alat pembangunan rendah karbon
yang terakhir. Meskipun demikian, Pemerintah Indonesia menyadari arti penting
pasar karbon ini dalam rencana pembangunan rendah karbon, mengingat
manfaatnya dalam peningkatan efesiensi, investasi, jumlah lapangan kerja, tingkat
alih teknologi, dan manfaat dampingannya dalam meningkatkan pembangunan
berkelanjutan dan menjaga mutu lingkungan. Posisi Indonesia dalam forum
perundingan Conference of the Parties (CoP) adalah mendukung setiap upaya
pengembangan mekanisme pasar karbon di tingkat
dilakukan dalam format di bawah Protokol

internasional, baik yang

Kyoto maupun tidak. Indonesia

percaya bahwa pasar karbon adalah salah satu jenis mekanisme yang efektif dalam
pembiayaan mitigasi perubahan iklim.
Perumusan mekanisme dan kebijakan pasar karbon di Indonesia

kemudian

dimandatkan oleh pemerintah kepada DNPI yang

tertuang dalam Peraturan

Presiden Nomor 46 tahun 2008 tentang Dewan

Nasional Perubahan Iklim

(DNPI). Indonesia sendiri akan tetap melanjutkan perdagangan karbon melalui
CDM terutama untuk proyek-proyek yang sudah terdaftar di

UNFCCC,

berpartisipasi dalam pengembangan skema-skema baru dan sekaligus mencoba
mengembangkan pasar karbon di dalam negeri sebagai salah satu alternatif untuk
tetap mengembangkan proyek pengurangan emisi gas rumah kaca dengan
pembiayaan pasar. Alternatif lainnya adalah meningkatkan minat pihak-pihak
Indonesia untuk berpartisipasi dalam pasar karbon sukarela internasional yang
selama ini sudah berjalan meski dengan peminat terbatas. Manfaat pasar karbon
diharapkan dapat mendukung pencapaian komitmen Indonesia untuk menurunkan

31

emisi gas rumah kaca. Rencana Aksi Nasional tentang Penurunan Emisi Gas
Rumah Kaca (RAN-GRK) telah disetujui Presiden pada tahun 2011 lalu lengkap
dengan daftar kegiatan yang mungkin dapat dilakukan dan perkiraan hasil
penurunan emisinya. Dengan demikian, pengembangan pemanfaatan pasar karbon
di Indonesia harus diselaraskan dengan target nasional pengurangan emisi, baik
RAN-GRK maupun perkembangan-perkembangan terkini dalam UNFCCC.
DNPI menerapkan strategi pengembangan pasar karbon dalam tiga jalur yang
dapat saling terkait, dengan tujuan untuk menciptakan kemampuan

nasional

dalam memanfaatkan pasar karbon secara optimal bagi pembangunan Indonesia
yang rendah karbon dan adaptif terhadap perubahan iklim. Ketiga jalur tersebut
digambarkan sebagai berikut:48
1.

Pasar Karbon Multilateral
Perkembangan perundingan perubahan iklim di tingkat UNFCCC maupun
dalam berbagai inisiatif internasional yang mulai muncul mengharuskan
Indonesia untuk melakukan antisipasi

pengembangan instrumen pasar

karbon multilateral. Selain terlibat aktif dalam pengembangan dan
penyiapan instrumen pasar karbon multilateral yang baru, Indonesia juga
tetap memanfaatkan skema CDM,

terutama sebagai pembanding

(benchmark) bagi pasar karbon yang dikembangkan. Dalam kegiatan
pengembangan pasar karbon multilateral Indonesia bergabung dalam
kerjasama multilateral yang digagas Bank Dunia (The World Bank)
bertajuk Partnership for Market Readiness (PMR) dan diikuti oleh 13
negara donor dan 16 negara pengimplementasi (implementing countries).
Kerjasama ini menarik dan unik karena setiap negara pengimplementasi
diberi kebebasan dalam mempersiapkan diri untuk menghadapi pasar
48

Ibid , Hlm. 71-79

32

karbon pasca 2012 dan dilakukan serangkaian kegiatan pengembangan
kapasitas serta pertukaran informasi antar negara peserta untuk mencapai
kesiapan dan kesepahaman yang lebih baik.
Sebagai salah satu negara pengimplementasi, Indonesia telah melakukan
pemaparan rencana pembangunan kesiapan pasar karbon multilateral
melalui pengembangan instrumen teknis dan kebijakan. Pada proposal
yang telah disusun dan dipresentasikan di Barcelona, Spanyol, pada bulan
Mei 2013, Indonesia mengajukan beberapa rencana yang disetujui oleh
Partnership Assembly, yaitu:
a) Pengembangan

rencana

nasional

yang

komprehensif

pembiayaan berbasis pasar (market based instrument

untuk

initiative).

Rencana nasional ini diharapkan akan menjadi rencana induk
pengembangan pembiayaan berbasis pasar yang terintegrasi dengan
pembangunan rendah karbon di Indonesia.
b) Pembangunan sistem MRV emisi GRK untuk sektor industri padat
energi dengan pilot sistem MRV di sub sektor semen. Sub sektor
semen dipilih karena merupakan yang paling siap di Indonesia baik
dari sisi kebijakan maupun teknis serta dapat menjadi contoh bagi sub
sektor industri lain. Kewajiban menu-runkan emisi bagi industri
semen yang diamanatkan salah satu Peraturan Menteri Perindustrian
juga diharapkan bisa menjadi pendorong pengembangan pasar karbon
domestik.
c) Pembangunan sistem MRV emisi GRK untuk sektor pembang-kitan
listrik dengan pilot sistem MRV di sistem interkoneksi Jawa-MaduraBali (Jamali), jaringan listrik terbesar di Indonesia dengan jenis
pembangkit paling beragam. Sektor kelistrikan juga merupakan sektor
dengan pertumbuhan emisi tertinggi di Indonesia dan dapat
dikembangkan menjadi salah satu sektor utama penunjang pasar
karbon di masa depan.

33

Selain inisiatif yang dilakukan dengan Bank Dunia melalui PMR, In-donesia juga
aktif dalam negosiasi UNFCCC, khususnya untuk pengembangan pasar karbon
dalam perumusan kerangka perjanjian perubahan iklim yang mengikat para pihak
peserta konvensi pasca Protokol Kyoto. Pada dasarnya, Indonesia sangat
mendukung sega-la upaya pengembangan pasar karbon dalam konteks
pengurangan emisi gas rumah kaca secara global.
2. Pasar Karbon Bilateral dan Regional
Pengembangan pasar karbon bilateral dan regional di Indonesia terutama
dilakukan sebagai upaya mempercepat implementasi pembangunan rendah
karbon secara nasional dan mengantisipasi prediksi akan berkurangnya
pembiayaan berbasis pasar sejak berakh-irnya komitmen pertama dari
Protokol Kyoto dan belum terbangunnya pasar karbon multilateral yang
lebih Áeksibel dan bisa diikuti semua negara.
Di bawah ini adalah inisiatif-inisiatif pengembangan pasar karbon bilateral
dan regional yang dikembangkan di Indonesia :
a) Joint Crediting Mechanism (JCM)
Kerjasama bilateral perdagangan karbon dengan Jepang. Sejak tahun 2010 Jepang telah menawarkan kerjasama dengan Indonesia
dan beberapa negara lain untuk melakukan perdagangan karbon
antarnegara secara bilateral. Selain

untuk

perdagangan karbon,

kerjasama ini juga didasari kepentingan investasi dan perdagan-gan
antara Indonesia dan Jepang melalui proyek-proyek rendah karbon.
Sebagai negara maju, Jepang berkomitmen untuk menurunkan emisi
gas rumah kacanya (GRK) sampai dengan level 25% di bawah tahun
1990 pada tahun 2020. Target tersebut akan dicapai melalui kegiatan
pengurangan emisi di dalam negeri dan melalui proyek pengurangan
emisi yang dibiayai oleh pemerintah dan sektor swasta Jepang
namun dilakukan di luar negeri, khususnya di negara-negara
berkembang, melalui mekanisme JCM.

34

Pilihan bekerja sama dengan negara berkembang adalah yang terbaik
bagi Jepang karena ia tidak meletakkan komitmen untuk Protokol
Kyoto sehingga tidak dapat mempergunakan CDM, sedangkan biaya yang dibutuhkan untuk pengurangan emisi di dalam negeri
sangat tinggi.

Jepang akan mendapatkan kredit karbon dari

pengurangan emisi dengan cara menanamkan investasi atau membeli
pengurangan emisi, sedangkan Indonesia akan mendapatkan
investasi, trans-fer teknologi, dan kemungkinan pembagian kredit
karbon dari proyek. Pembagian kepemilikan kredit karbon dari
proyek akan sangat tergantung dari jenis dan besaran modal yang
ditanamkan serta kesepakatan kedua belah pihak.
Perjanjian kerjasama bilateral untuk implementasi JCM yang tel-ah
ditandatangani oleh kedua negara pada bulan

Agustus 2013,

mempunyai implikasi bahwa JCM kemudian akan dikembangkan
secara bersama dalam kerangka pembangunan rendah karbon dan
perdagangan karbon antar kedua negara. Mekanisme JCM adalah
kerjasama bilateral yang
lingkungan

mengedepankan investasi ber-wawasan

untuk mendukung

pembangunan rendah karbon.

Mekanisme ini akan menjadi insentif bagi perusahaan-perusahaan
Jepang untuk meningkatkan investasi dalam kegia-tan rendah karbon
di Indonesia. Pemerintah Jepang diuntungkan karena sebagian dari
hasil penurunan emisi GRK di proyek-proyek investasi di Indonesia
akan dapat diklaim sebagai penurunan emi-si negaranya. Indonesia
juga mendapatkan manfaat yang besar, baik manfaat ekonomi
maupun lingkungan, dari kerjasama JCM tersebut. Lebih jauh, JCM
yang kemudian dimaksudkan untuk menjadi mekanisme offsetting
internasional, menyebabkan Indonesia dan Jepang, juga beberapa
negara yang mempunyai perjanjian yang serupa dengan Jepang, akan
mempunyai posisi yang sama di perundingan internasional untuk
perubahan iklim, sehingga akhirnya JCM ini benar-benar menjadi
mekanisme internasional yang diakui UNFCCC.

35

b) Kerjasama dalam kawasan Asia Pasifik
Indonesia juga aktif terlibat dalam kerjasama antar kawasan di Asia
Pasifik. Forum yang pertama kali diinisiasi oleh Selandia Baru dan
kemudian diikuti oleh lebih dari 15 negara di Asia Pasifik ini
bertujuan untuk menciptakan kerjasama jangka panjang dalam
pembangunan pasar karbon yang terintegrasi dalam kawasan.
Kerjasama yang kemudian disebut Asia Pacific Carbon Market
Roundtable (APCMR) kemudian