IMPLIKASI FILSAFAT ILMU DALAM PENDIDIKAN

A. Filsafat ilmu pendidikan Islam
Untuk memahami Sub bahasan Filsafat ilmu pendidikan Islam ini dapat didekati dari
permasalahan pokok tentang apa itu filsafat, filsafat ilmu, dan pendidikan Islam. Telah diketahui
bahwa filsafat merupakan disiplin dan sistem

pemikiran tentang enam

jenis

persoalan

berhubungan dengan “(1) hal ada, (2) pengetahuan, (3)metode, (4) penyimpulan, (5) moralitas,
dan (6) keindahan. Keenam jenis persoalan ini merupakan materi yang dipelajari, dan kemudian
menjadi bagian utama studi filsafat yang terkenal sebagai metafisika, epistemologi, metodologi,
logika, etika dan estetika”.[1]
Sebagai suatu sistem pemikiran menurut M. Dimyathi maka kegiatan penalaran filosofis
dapat dikatagorikan sebagai kegiatan analisis, pemahaman, diskripsi, penilaian, penafsiran, dan
perekaan.

Kegiatan


penalaran

tersebut

bertujuan

untuk

mencapai

kejelasan,

kecerahan,

keterangan, pembenaran, pengertian dan penyatupaduan. Secara keseluruhan filsafat mempelajari
keenam jenis persoalan tersebut berdasarkan kegiatan penalaran reflektif dan hasil refleksinya
terwujud dalam pengetahuan filsafati.[2]
Pengetahuan filsafati merupakan induk dari Ilmu (science) dan pengetahuan (knowledge)
yang mana keduanya merupakan potensi esensial pada manusia dihasilakan dari proses berpikir.
Berpikir (na>tiq) adalah sebagai karakter khusus yang memisahkan manusia dari hewan dan

makhluk lainya. Oleh karena itu keunggulan manusia dari spesies-spesies lainnya karena ilmu dan
pengetahuannya.
Dalam teologi Islam diyakini bahwa manusia dengan potensi na>tiqmemiliki kemampuan
filosofis dan ilmiah. Potensi inilah yang secara spesifik melahirkan daya Filsafat Ilmu. Filsafat ilmu
adalah segenap pemikiran reflektif terhadap persoalan-persoalan mengenai segala hal yang
menyangkut landasan ilmu maupun hubungan ilmu dengan segala segi dari kehidupan manusia.
Filsafat Ilmu merupakan suatu bidang pengetahuan campuran yang eksistensinya bergantung pada
hubungan timbal balik dan saling mempengaruhi antara filsafat dan ilmu.
Dengan

demikian,

Filsafat

Ilmu

merupakan

satu-satunya


medium

resmi

untuk

memperbincangkan ilmu. Dalam kaitannya dengan ilmu, filsafat tidak lebih dari model pandang
atau perspektif filosofis terhadap ilmu. Karena itu, tidak menawarkan materi-materi ilmiyah, tetapi
sekedar tinjauan filsofis mengenai pengetahuan yang dicapai oleh suatu ilmu. Bidang Filsafat Ilmu
meliputi epistimologi, aksiologi, dan ontologi. Dalam ranah pendidikan Islam, ketiga bidang filsafat
ilmu ini perlu dijadikan landasan filosofis, terutama untuk kepentingan pengokohan dan
pengembangan pendidikan Islam itu sendiri.
Manusia dengan potensi natiqnya mendudukkan sebagai subyek pemikir keilmuan
sekaligus menggambarkan sebagai individu yang secara epistemologi memiliki kerangka berfikir
keilmuan, dan memiliki dunia kemanusiaan obyektif yang berlapis. Lapisan pemikiran obyektif
tersebut menurut Dimyati terwujud dalam dunia human, sebagai salah satu wujud ontologis
manusia. Secara ontologis dunia manusia meliputi keberadaan secara fisik, biotis, psikis,
dan human.

Pada


taraf human ini

dengan

tingkatan-tingakatan

(1)

keimanan,

yang

mengitegrasikan bakat kemanusiaan, (b) pribadi, sebagai pengintegrasi segala aspek jiwa manusia

yang internasional, (c) keakuan, suatu lapis luar kejiwaan yang dinamis, (d) dunia religius, (e) dunia
kebudayaan sebagai ekpresi etis, estetis dan epistemis.[3]
Obyek filsafat tersebut -dalam filsafat pendidikan Islam sebagaimana filsafat pada
umumnya- menerapkan metode kefilsafatan yang lazim dan terbuka. Hanya obyek masing-masing
yang membedakan antara berbagai cabang dan jenis filsafat. Demikian pula hubungan antara

filsafat pendidikan dengan filsafat pendidikan Islam. Jenis pertama menempatkan segala yang ada
sebagai obyek, sementara yang kedua mengkhususkan pendidikan dan yang terakhir lebih khusus
lagi pendidikan Islam. Sedangkan filsafat ilmu pendidikan Islam berarti penerapan metode filsafat
ilmu meliputi ontologi, epistemologi dan aksiologi terhadap keilmuan pendidikan Islam.
Ahmad Tafsir memberi penjelasan tentang perbedaan antara filsafat dan ilmu (sains), dan
filsafat pendidikan Islam. Menurutnya filsafat ialah jenis pengetahuan manusia yang logis saja,
tentang obyek-obyek yang abstrak. Ilmu ialah jenis pengetahuan manusia yang diperoleh dengan
riset terhadap obyek-obyek empiris; benar tidaknya suatu teori ilmu ditentukan oleh logis-tidaknya
dan ada-tidaknya bukti empiris. Adapun filsafat pendidikan Islam adalah kumpulan teori pendidikan
Islam yang hanya dapat dipertanggung jawabkan secara logis dan tidak akan dapat dibuktikan
secara empiris.[4]
Mengaitkan Islam dengan katagori keilmuan, seperti dalam konsep pendidikan, menurut
Mastuhu umumnya berhadapan dengan pengertian Islam sebagai sesuatu yang final. Dalam
katagori ini, Islam dapat dilihat sebagai kekuatan iman dan taqwa, sesuatu yang sudah final.
Sedangkan katagori ilmu memiliki ciri khas berupa perubahan, perkembangan dan tidak mengenal
kebenaran absolut. Semua kebenarannya bersifat relatif.[5]
Baik Filsafat ilmu, filsafat pendidikan dan khususnya lagi filsafat pendidikan Islam sangat
penting untuk dikaji, karena menurut Al-Shayba>ni> setidaknya filsafat pendidikan memiliki
beberapa kegunaan. Diantara manfaat itu ialah (1) dapat menolong perangcang-perangcang
pendidikan dan orang-orang yang melaksanakannya dalam suatu negara untuk membentuk

pemikiran sehat terhadap proses pendidikan, (2) dapat membentuk asas yang dapat ditentukan
pandangan pengkajian yang umum dan yang khusus, (3) sebagai asas terbaik untuk penilaian
pendidikan dalam arti yang menyeluruh, (4) sandaran intelektual yang digunakan untuk membela
tindakan pendidikan, (5) memberi corak dan pribadi khas dan istemewa sesuai dengan prinsip dan
nilai agama Islam.[6]
B. Perspektif Ontologi Pendidikan Islam.
Masalah-masalah

pendidikan

Islam

yang

menjadi

perhatian

ontologi


-menurut

Muhaimin[7]- adalah bahwa dalam penyelenggaraan pendidikan Islam diperlukan pendirian
mengenai pandangan manusia, masyarakat dan dunia. Pertanyaan-pertanyaan ontologis ini
berkisar pada: apa saja potensi yang dimiliki manusia? Dalam Al-Qur’a>n dan Al-H}adi>th
terdapat istilah fit}rah, samakah potensi dengan fit}rah tersebut? Potensi dan atau fit}rah apa dan
dimana yang perlu mendapat prioritas pengembangan dalam pendidikan Islam? Apakah potensi
dan atau fit}rahitu merupakan pembawaan (faktor dasar) yang tidak akan mengalami perubahan,
ataukah ia dapat berkembang melalui lingkungan atau faktor ajar ?

Lebih luas lagi apa hakekat budaya yang perlu diwariskan dari satu generasi ke generasi
berikutnya? Ataukah hanya ajaran dan nilai Islam sebagaimana terwujut dalam realitas sejarah
umat Islam yang perlu diwariskan kepada generasi berikutnya? Inilah aspek ontologis yang perlu
mendapat penegasan.
C. Perspektif Epistemologi Pendidikan Islam
Analisis epistemologis tentang pendidikan Islam terkait dengan landasan dan metode
pendidikan Islam. Kegiatan pendidikan tertuju pada manusia, dan oleh karenaya menyentuh filsafat
tentang

manusia. Kegiatan


pendidikan

adalah

kegiatan

mengubah

manusia

sehingga

mengembangkan hakikat kemanusiaan. Kegiatan pendidikan dilakukan terhadap manusia dan oleh
manusia, yang bertujuan mengembangkan potensi kemanusiaan, dan hal ini dapat terjadi jika
manusia memang “animal educandum, educabile, dan educans”.
Epistemologis bahwa manusia adalah animal educandum, educabile dan educans tersebut
merupakan hasil analisis Langeveld, seorang Paedagog Belanda. Analisis fenomenologis tentang
manusia sebagai sasaran tindak mendidik ini menegakkan paedagogik (ilmu pendidikan) sebagai
disiplin ilmu pengetahuan yang patut dipertimbangkan. Paedagogik sebagai ilmu pengetahuan

melukiskan bahan pengetahuan pendidikan yang bermanfaat untuk melakukan pengajaran ilmu
pengetahuan di sekolah.
Analisis epistemologis dan metode fenomenologi tentang kegiatan pendidikan –menurut
Dimyati- telah melahirkan paedagogik sebagai ilmu yang otonom. Sedangkan analisis epistemologi
dengan pragmatismenya melahirkan philosophy of education sebagai cabang filsafat khusus.
Secara analisis pragmatis, kegiatan pendidikan dipandang sebagai bagian integral kebudayaan;
dalam hal ini kegiatan pendidikan dipandang sebagai penerapan pandangan filsafat manusia
terhadap anak manusia.[8]Implikasinya, dapat diilustrasikan jika manusia dipandang sebagai
makhluk rasional, maka kegiatan pendidikan terhadap manusia adalah membuat manusia menjadi
makhluk yang mampu menggunakan dan mengembangkan akalnya untuk memecahkan masalahmasalah kebudayaan manusia.
Jelaslah bahwa telaah lengkap atas tindakan manusia dalam fenomena pendidikan
melampaui kawasan ilmiah dan memerlukan analisis yang mandiri atas data pedagogi (pendidikan
anak) dan data andragogi (pendidikan orang dewasa). Adapun data itu mencakup fakta (das sein)
dan nilai (das sollen) serta jalinan antara keduanya. Data faktual tidak berasal dari ilmu lain tetapi
dari objek yang dihadapi (fenomena) yang ditelaah Ilmuwan itu (pedagogi dan andragogi) secara
empiris. Begitu pula data nilai yang normatif tidak berasal dari filsafat tertentu melainkan dari
pengalaman atas manusia secara hakiki. Itu sebabnya pedagogi dan andragogi memerlukan
jalinan antara telaah ilmiah dan telaah filsafat.
Sebaliknya ilmu pendidikan khususnya pedagogik adalah ilmu yang menyusun teori dan
konsep pendidikan. Oleh sebab itu setiap pendidik tidak boleh ragu-ragu atau menyerah kepada

keragu-raguan prinsipil. Hal ini serupa dengan ilmu praktis lainnya yang mikro dan makro. Seperti
kedokteran, ekonomi, politik dan hukum. Oleh karena itu pedagogik (dan telaah pendidikan mikro)
serta pedagogik praktis dan andragogi (dan telaah pendidikan makro) bukanlah filsafat pendidikan

yang terbatas menggunakan atau menerapkan telaah aliran filsafat normative yang bersumber
dari filsafat tertentu. Yang lebih diperlukan ialah penerapan metode filsafat yang radikal dalam
menelaah hakikat peserta didik sebagai manusia seutuhnya dan sebagainya.
Dalam hal epistemologi -menurut Muhaimin- pertanyaan-pertanyaan yang dikembangkan
adalah menyangkut hal-hal berikut: untuk mengembangkan potensi dasar manusia serta
mewariskan budaya dan interaksi antara potensi dan budaya tersebut, apa saja isi kurikulum
pendidikan Islam yang perlu didikkan? Dengan menggunakan metode apa pendidikan Islam itu
dapat dijalankan? Siapa yang berhak mendidik dan didik dalam pendidikan Islam? Apakah semua
yang ada di alam semesta ini, ataukah hanya manusia saja, atau hanya Muslim saja yang dapat
mendidik dalam pendidikan Islam?.[9]
Pertanyaan-pertanyaan diatas mengarah pada upaya pengembangan pendidikan Islam
yang secara mendasar berkaitan dengan persoalan dasar dan sekaligus metodologis. Oleh karena
itu jika subtansi pendidikan Islam merupakan paradigma ilmu, menurut Abdul Munir Mulkhan
maka problem epistemologis dan metodologis pemikiran Islam adalah juga merupakan problem
pendidikan Islam.[10]
Untuk


menjawab

permasalahan-permasalahan

epistemologis

seperti

dikemukakan

Muhaimin diatas, maka sangat berhubungan dengan landasan/ dasar dan metode pendidikan
dalam islam. Oleh karenanya, pembahasan berikut menjelaskan landasan dan metode tersebut.
Untuk mencapai tujuan-tujuan pendidikan Islam yang telah ditetapkan, maka diperlukan
landasan pendidikan. Pendidikan Islam dengan karakteristiknya agama juga menjadikan dasardasar agama sebagai landasan pendidikannya. Menurut Darajat bahwa pendidikan Islam
berlandaskan pada tiga hal berikut: Al-Qur’a>n, , Al-Sunnah dan Ijtiha>d. [11] Al-Nahlawi
sependapat bahwa Al-Qur’a>n, dan al-Sunnah sebagai asas pokok pendidikan Islam. [12] Karena
nyata sekali bahwa dimasa rasul dan sahabat pendidikan sangat tergantung dengan ajaran AlQur’a>n, . Terlebih ketika ‘Aishah menegaskan, sesungguhnya akhlak rasul itu adalah Al-Qur’a>n.
Hal ini seperti penjelasan ayat berikut:

Artinya: Dan tiadalah yang diucapkan itu (Al-Qur’a>n) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu
tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).[13]
Demikian pula, al-Sunnah juga sebagai asas pendidikan Islam, karena ia menjelaskan AlQur’a>n. Penjelasan ini diantaranya terdapat pada ayat berikut:

Artinya: Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur’a>n, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang
telah diturunkan kepada mereka] dan supaya mereka memikirkan.[14]
Yalja>n dalam nukilan Djumransyah menyatakan bahwa asas pendidikan Islam terdiri dari
Al-Qur’a>n, dan sunnah yang diperluas dengan ijma>’, qiya>s, mas}a>lih al-Mursalah, shadh alDhari>’ah, ‘urf dan istih}sa>n.

[15] Hal

ini sejalan dengan pendapat Sa’i>d Isma>’i>l bahwa

asas pendidikan Islam meliputi Al-Qur’a>n, sunnah, qaul sahabat, mas}alih} al-Mursalah, urf, dan
pemikiran Islam.[16]
Adapun pembahasan tentang metode pendidikan islam, secara umum perhatian para
ulama klasik telah tertuju pada upaya tersebut. Hal ini terbukti dengan munculnya pemikir-pemikir

pendidikan. Menurut Abd al-Ghani> ‘Abu>d mereka ini secara preodik dimulai dari Shahnun
(Wafat 240 H), Muhammad Ibn Shahnun (wafat 256 H), Al-Ajari ( 360 H), Al-Khawarizmi (377 H), AlQabisi (403 H), Ibn Jazzar Al-Qairawani (395 H), Ibn Afif (420 H), Ibn Abd Al-Barr (423 H), Al-Ghazali
(505 H), Al-Zanuji (591 H), Ibn Jama’ah (733 H), Ibn Al-Hajj Al-Abdari (737 H), Al-Maghrawi (902 H),
Ibn Hajar Al-Haithami (947 H), ditambah para pemikir kontemporer lainya seperti Burhan Al-Ddin
Al-Aqsharani, Al-Qathmuni, Al-‘Amuli, Abi Yahya Zakariya Al-Ansari, dll. [17]
Mereka ini menurut Abu>d tergolong pemikir pendidikan murni dari islam, termasuk Ibn
Khaldun (732-808 H). Disisi lain Abu>d menggolongkan pemikir (pendidikan) islam yang
terpengaruh dengan model filsafat Yunani, diantaranya Ibn Sina (370-428 H) dan Ibn Maskawaih
(325-421 H).[18]
Para pemikir pendidikan muslim tersebut mewariskan khzanah pemikirannya dalam kitabkitab pendidikan. Diantaranya yang relevan dengan pendidikan anak; Ta’lim al-Sibyan wa ahkam
al-Mu’alimin (Al-Qabisi), ayyuha al-Walad (Al-Ghazali), adab al-Mua’alimin (Ibn Sahnun),Ta’lim alMuta’alim (Al-Zanuji),

[19] Tahrir

Al-Maqal fi adab wa ahkam wa fawaid yahtaj ilaiha muaddib al-

Athfal (Ibn Hajar Al-Haithami), Jami’ Bayan Al-‘Ilm (Ibn abd Al-Bar),[20] Siyasat al-Shibyan wa
tadbirihim(Ibn Jazzar al-Qairawani), Jami’ Jawami’ Al-Ihtishar (Al-Maghrawi),Tadhkirat al-Sami’ wa
al-Mutakallim fi adab al-Alim wa al-Muta’allim(Ibn Jama’ah).[21]
Kitab-kitab tersebut secara umum menjelaskan bagaimana pendidikan islam dilakukan.
Sayangnya kitab-kitab tersebut banyak yang tidak ditemukan. Adapun dalam hal metode
(Tariqah) pendidikan, menurut Ibn Taimiyah yang dinukil oleh Majid Arsan Kailani ada dua yaitu
pertama; tariqah ‘ilmiah yakni berhubungan dengan bangunan penyampaian ilmu mencakup
media pengajaran, kurikulum dan keseimbangan antara teoritis dan praktis. Cara (Uslub) yang
digunakan

dengan uslub

hikmah,

al-Mauidah

Hasanah

dan

jadal

al-Hasan. Kedua:tariqah

iradah yakni metode untuk mendorong beramal yaitu dengan cara memahami Al-Qur’an,
bersedekah, meninggalkan perbuatan keji, dan ibadah.[22]
Al-Nahla>wi> menjelaskan tuju model (uslub) pendidikan. Pertama: model pendidikan
dengan materi percakapan dari qur’an dan hadith (Al-Tarbiyah bi al-hiwar al-Qur’ani wa alNabawi). Kedua:

model

cerita

dari

Qur’an

dan

Hadith.

Ketiga:

model

perumpamaan (Al-

Amthal). Keempat: model memberi contoh (Qudwah). Kelima: model latihan dan pembiasaan(alMumarathah). Keenam: model nasehat. Ketuju: model memotivasi dan menakuti (Targhib wa
Tarhib).[23]
Al-Abrash i> menawarkan sepuluh metode pengajaran (Tariqat Al-Tadris) ialah istiqra’iyah
(inductive),

qiyasiyah

(deductive),

muhadarah(ceramah), hiwariyah (percakapan), tanqibiyah (penugasan), I’jab (appreciation), ibtikar
(creation), tadrib (drill), dirasat al-irshadiyah (supervised study) dan ikhtibar (testing). [24]

D. Perspektif Aksiologi Pendidikan Islam.
Dalam bidang aksiologi, masalah etika yang mempelajari tentang kebaikan ditinjau dari
kesusilaan, sangat prinsip dalam pendidikan Islam. Hal ini terjadi karena kebaikan budi pekerti

manusia menjadi sasaran utama pendidikan Islam dan karenanya selalu dipertimbangkan dalam
perumusan tujuan pendidikan Islam. Nabi Muh}ammad sendiri diutus untuk misi utama
memperbaiki dan menyempurnakan kemuliaan dan kebaikan akhlak umat manusia.
Disamping itu pendidikan sebagai fenomena kehidupan sosial, kultural dan keagamaan,
tidak dapat lepas dari sistem nilai tersebut. Dalam masalah etika yang mempelajari tentang
hakekat keindahan, juga menjadi sasaran pendidikan Islam, karena keindahan merupakan
kebutuhan manusia dan melekat pada setiap ciptaan Allah. Tuhan sendiri Maha Indah dan
menyukai keindahan.
Disamping itu pendidikan Islam sebagai fenomena kehidupan sosial, kulturan dan seni
tidak dapat lepas dari sistem nilai keindahan tersebut. Dalam mendidik ada unsur seni, terlihat
dalam pengungkapan bahasa, tutur kata dan prilaku yang baik dan indah.
Unsur seni mendidik ini dibangun atas asumsi bahwa dalam diri manusia ada aspek-aspek
lahiriah, psikologis dan rohaniah. Hal ini mengisyaratkan bahwa manusia dalam fenomena
pendidikan adalah paduan antara manusia sebagai fakta dan manusia sebagai nilai. Tiap manusia
memiliki nilai tertentu sehingga situasi pendidikan memiliki bobot nilai individual, sosial dan bobot
moral.
Itu sebabnya pendidikan dalam prakteknya adalah fakta empiris yang syarat nilai dan
interaksi manusia dalam pendidikan tidak hanya timbal balik dalam arti komunikasi dua arah
melainkan harus lebih tinggi mencapai tingkat manusiawi. Untuk mencapai tingkat manusiawi
itulah pada intinya pendidikan bergerak menjadi agen pembebasan dari kebodohan untuk
mewujutkan nilai peradaban manusiawi.

[1] The Liang Gie, Suatu Konsepsi Kearah Penertiban Bidang Filsafat (Yogyakarta: Karya Kencana,
1977), 11.

[2] M. Dimyati, Dilema Pendidikan Ilmu Pengetahuan (Malang : IPTI, 2001), 1.
[3] M. Dimyati, Keilmuan Pendidikan Sekolah Dasar: Problem Paradigma Teoritis dan Orientasi
Praktis Dilematis (Malang: IPTPI, 2002), 5.

[4] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Islam dalam Perspektif Islam (Bandung: Remaja Rosda Karya,
2000), 14.
[5] Mastuhu, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), 18.
[6] ‘Umar Muhammad Al-T{aumi> Al-Shayba>ni>, Falsafah Pendidikan Islam, ter. Hasan
Langgulung (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), 30.
[7] Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam: di Sekolah, Madarasah dan
Perguruan Tinggi ( Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), 65.
[8] M. Dimyati, Dilema Pendidikan, 16.
[9] Muhaimin, Pengembangan Kurikulum, 66.
[10] Abdul Munir Mulkhan, Paradigma Intelektual Muslim: Pengantar Filsafat Pendidikan Islam dan
Dakwah (Yogyakarta: SIPRES, 1993), 213.
[11] Zakiyah Darajat, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), 17
[12] Abd al-Rahma>n al-Nahla>wi>, Us}u>l al-Tarbiyah a-Isla>miyah wa asa>libiha> fi-Albait wa
al-Mujtama’ (Mesir:Da>r al-Fikr, 1988), 28.
[13] Al-Qur’a>n, 53: 3-4.
[14] Al-Qur’a>n, 16: 44.

[15] Djumbransyah Indar, Filsafat Pendidikan Islam, (Surabaya: Usaha Nasional, 1992), 40.
[16] Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Husna,
1980), 189.
[17] Abd al-Ghani> ‘Abu>d, Alfikr al-Tarbawi Ind Al-Ghaza>li>, (Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1982), 35.
[18] Ibid., 36.
[19] Ahmad Fuad Al-Ahwani, Al-Tarbiyah Fi Al-Islam ( tp. Dar Al-Ma’arif: tt), 55-56.
[20] Abu>d, Alfikr al-Tarbawi, 45.
[21] Ibid., 231-234.
[22] Majid ‘Arsan Kailani, Alfikr Al-Tarbawi Ind Ibn Taimiyah (Madinah: Maktabat Dar Al-Turath, 1986), 145-156.
[23] Al-Nahla>wi>, Us}u>l al-Tarbiyah, 184.
[24] Al-Abrash i>, Ruh Al-Tarbiyah wa Al-Ta’lim (Aleppo: Dar Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyah, tt), 271-314.