View of MENINJAU KEMBALI PELAKSANAAN EVALUASI PENDIDIKAN DI SEKOLAH

Muhammad Masyhuri

Meninjau Kembali Pelaksanaan Evaluasi Pendidikan di Sekolah

MENINJAU KEMBALI PELAKSANAAN EVALUASI
PENDIDIKAN DI SEKOLAH
Oleh: Muhammad Masyhuri
Dosen Tetap STAI Syarifuddin Lumajang
Abstrak
Beberapa waktu lalu, tepatnya pada pada hari Senin hingga Rabu
tanggal 15-17 April 2014, Kementerian Pendidikan Nasional Republik
Indonesia (Kemendiknas RI) akan melaksanakan ritual tahunan, dimana dalam
pelaksanaanya selalu menjadi pembicaraan diberbagai media masa, baik lokal
maupun nasional, yakni Ujian Nasional (UN) bagi SMA/MA diseluruh
Indonesia. Hal ini bisa dipahami, mengapa berbagai media tersebut begitu
antusias untuk meliput pemberitaan UN tersebut, karena berdasarkan berbagai
pengalaman ditahun sebelumnya,
pelaksanaan UN tersebut banyak
menimbulkan polemik, kritik, intrik, dan serangkain kesibukan yang melibatkan
seluruh komponen masyarakat, mulai dari siswa, orang tua siswa, aparat
kepolisian, guru, pihak perguruan tinggi, dan seterusnya. Berangkat dari

momen ini, tulisan ini bukan ingin mengajak berdiskusi perlu atau tidak perlu
ujian nasional, namun mengajak untuk melihat kembali, dengan mengkaji apa
sebenarnya yang terjadi dalam pelaksanaan ujian tersebut dalam perspektif studi
kebudayaan. Tulisan ini akan menjelaskan; 1. Apa yang dimaksud dengan studi
kebudayaan, 2, juga apa hubungannya dengan permasalahan pendidikan, 3,
Bagaimana studi kebudayaan memandang pelaksanan Ujian disekolah., 4,
Mencari format Ujian di Sekolah di masa datang.

Kata Kunci; Evaluasi pendidikan, Sekolah

29

Tarbiyatuna Vol. 8 No. I Pebruari 2014

Muhammad Masyhuri

Meninjau Kembali Pelaksanaan Evaluasi Pendidikan di Sekolah

Apa itu studi kebudayaan?
Para ahli studi kebudayaan menegasan bahwa studi kebudayaan (cultural

studies) tidak memiliki subyek yang didefiniskan secara jelas dan terang. Ia hanya
berpijak pada pada sebuah gagasan tentang budaya yang sangat luas yang
mencakup segala hal yang digunakan untuk menggaambarkan dan mempelajari
berbagai praktik keseharian manusia (daily life).1 Karena demikian, tidak
mengherankan bila ia berbeda dengan disiplin ilmu-ilmu yang konvensional,
seperti sosiologi filsafat, dan fisika yang masing-masing memiliki suatu wilayah
subyek atau obyek kajian garis-garis batasan cuku jelas. Cultural studies tidak
memiliki subyek studi atau afiliasi disiplin ilmu yang tunggal. Diantara ahli studi
kebudayaan tersebut adalah Stuart Hall yang menyebutkan studi kebudayaan
(cultural studies) adalah “the explanation of the conditions of possibility for the production and
reproduction of subyectivities” atau suatu studi yang yang menjelaskan kondisi yang
memiliki kemungkinan untuk meproduksi dan mereproduksi subyektifitas.
Pemaknaan ini secara sederhana dipahami sebagai suatu pendekatan yang secara
sederhana menjelaskan tentang pengalaman (the discription of experience). 2
Dalam bukunya yang berjudul Cultural Studies and its theoretical Legacies,
Stuart Hall menyatakan bahwa harus ada yang dipertaruhkan dalam cultural studies
dengan persoalan kekuasaan dan politik, dengan kebutuhan akan perubahan dan
representsi kelompok-kelompok social yang terpinggirkan, terutama representasi
yang menyangkut kelaas, gender dan ras. Dengan menggunakan perspektif ini,
dapat disimpulkan bahwa kajian budaya bukanlah bangunan pengetahuan yang

netral, malah menganggap bahwa produksi bangunan pengetahuan adalah tindakaj
politik. Oleh karena itulah, kajian ini merambah seluruh wilayah pengetahuan ia
hanya berfungsi secara bebas meminjam disiplin ilmu social, humaniora, seni. Ia
mengambil teori-teori dari politik, filsafat, linguistic, kritik sastra, psikologi, dan
lain-lain.3

Barkerlihat, Chris. The Sage Dictionary of Cultural Studies. London: Sage Publications Ltd., 2004, hal 79
Stuart Hall, The hard Road to Renewel, (London:verso, 1998), hal.18-25
3 Ziauddin Sad dan Borin van Loon, Mengenal Cultural Studies for Biginer. Jakarta: Mizan, 2000, hal. 35-38

1

2

30

Tarbiyatuna Vol. 8 No. I Pebruari 2014

Muhammad Masyhuri


Meninjau Kembali Pelaksanaan Evaluasi Pendidikan di Sekolah

Tujuan cultural Studies dapat dikatakan bersifat politis dan pendirinya
tidak keberatan disebut sebagai “gerakan politis”. Diawal kemunculannya,
pendekatan filsafat sangat berakar pada kajian ini, yakni berakaitan erat dengan
teori-teori kritis yang berakar pada pemikiran marxis. Cultural studies dapat
dikatakan sebagai

kajian yang secara holistik menggabungkan teori feminis,

sejarah, filsafat, teori sastra, teori media, ekonomi politik yang merupakan
fenomena dalam kajian budaya dari berbagai bentuk masyarakat. Diantara
beberapa karakteristik Cultural studies sebagaimana yang dikemukan oleh Ziaudin
Sardar adalah ia bertujuan untuk mengkaji pokok persoalan sdari segi praktik
kebudayaan

berhubungan

dengan


kekuasaan.

Dengan

bertujuan

untuk

mengungkap hubungan kekuasaan dan mengkaji bangaimana hubungan tersebut
mempengaruhi dan membentuk praktik kebudayaan. Selain itu ia juga berupaya
membongkar dan mendamaikan pengotakan pengetahuan, mengatasi perpecahan
antara bentuki pengetahuan yang tersiran dan yang obyektif. Disamping itu, kajian
ini juga berupaya untuk melibatkan dirinya dengan melakukan evaluasi moral
masyarakat moderndan garis radikal tindakan politik. Tradisi yang dipegang
bukanlah tradisi bebas nilai, melainkan secara tegas berkomitmen untuk
melakukan merekonstruksi sosial dengan melibatkan diri pada kritik politik. Jadi ia
berusaha tidak saja untuk memahami , namun juga bermaksud untuk mengubah
struktur dominasi yang ada dimana-mana, terutama dalam masyarakat kapitalis.4

Kajian kebudayaan dalam pendidikan

Secara teoretik, studi kebudayaan bermula dari munculnya teori kritis
dalam ilmu social yang keberadaanya mengalalami perkembangan mengikuti
dinamika perkembangan masyarakat. Dalam sejarahnya, ketika masyarakat
berkembang menjadi masyarakat industrial sebagaimana terjadi di Eropa Barat,
maka ilmu social pun berkembang, dan perkembangan itu pada awalnya
dipengaruhi oleh positivism, karena demikian, dalam sosiologi pada mulanya

4

Ibid., hal 40-47

31

Tarbiyatuna Vol. 8 No. I Pebruari 2014

Muhammad Masyhuri

Meninjau Kembali Pelaksanaan Evaluasi Pendidikan di Sekolah

dikenal sebagai fisika social karena ingin menerapkan prinsip-prinsip keilmuan

dalam tradisi fisika sebagaimana diobsesikan oleh August Comte. 5
Pada

awal

perkembangannya,

perkembangan

teoretik

tradisional

cenderung bersifat deduktif, dengan mengutamakan ilmu pengetahuan alam dan
matematika. Menurut Horkheimer tujuannya adalah kesatuan dan harmoni dengan
matematika sebagai modelnya. Menurut Horkheimer, teori tradisional merupakan
proyeksi standar kesempurnaan kelompok borjuis bagi pasar kapitalis,
berdampingan dengan hukum penawaran dan permintaan yang dapat
diperhitungkan. Teori tradisional menjadi bagian dari praktik social yang
membentuk kapitalisme dan masyarakat borjuis. Akan tetapi, ketika masyarakat

industrial menciptakan struktur yang menindas, muncul reaksi oposisional dan
ilmu social yang berusaha merespon realitas social yang tidak adil itu. Maka
lahirlah perspektif kritis dalam ilmu social, yang diilhami pemikiran Marx dan
Engel.6
Istilah ini dikenal pertama kali pada tahun 1937, setelah kaum akademisi
terkemuka di Eropa pindah ke AS sebagai dampak kemenangan Hitler. Dengan
demikian, teori kritis pada prinsipnya ingin mendobrak kemapanan sebagai akibat
penciptaan struktur social yang tidak adil. Kemudian teori kritis dikenal sebagai
Mazhab Frankfurt yang menawarkan pendekatan multidisipliner untuk teori social
yang menggabungkan perspektif yang bersumber dari ekonomi politik, sosiologi,
teori kebudayaan, filsafat, antropologi, dan sejarah.
Kemudian muncul teori kritis yang diusung oleh pengmbang teori
ketergantungan (dependency theory) yang dipelopori oleh Andre Gunder Frank dan
Fernando Enrique Cardoso. Teori ini menawarkan proposisi teoretis hubungan
pusat metropolis dunia dan pinggiran-satelitnya, pada tingkat global maupun
regional. Bukti sejarah menunjukkan bahwa bagian-bagian yang kurang kaitannya
dengan pusat-pusat metropolis akan dapat mengalami perkembangan ekonomi
Ritzer, George dan Barry Smart. Handbook Teori Sosial. Bandung: Nusa Media, 2002, hal. 275
Kupasan lebih lanjut, lihat Douglas Kellner dalam Teori Sosial Radikal, Yogyakarta: Syarikat, 2003. Kellner
mengingatkan bahwa toeri kritis juga bisa mandek jika tidak ada upaya memperbarui diri, karena itu dalam

buku itu ia menawarkan teori social radikal yang lebih mengacu pada pemikiran Engles.

5

6

32

Tarbiyatuna Vol. 8 No. I Pebruari 2014

Muhammad Masyhuri

Meninjau Kembali Pelaksanaan Evaluasi Pendidikan di Sekolah

yang lebih sehat, dan sebaliknya akan terjadi kondisi yang tidak sehat pada
kawasan-kawasan pinggiran yang mempunyai kaitan dengan pusat. Dalam struktur
hubungan metropolis-satelit itu, maka pusat-pusat metropolis akan berkembang
pesat dengan merugikan bagian-bagian yang makin terbelakang. Jadi singkatnya,
keterbelakangan yang terjadi di negara-negara Amerika Latin dan dunia ketiga
pada umumnya, ada hubungannya dengan kemajuan yang dicapai oleh negaranegara Barat

Meski Marx dan Engles tidak banyak menulis mengenai evalusi pendidikan
secara khusus, tetapi mereka punya kepedulian terhadap masalah pendidikan,
dimana hal ini dimaksudkan untuk mengkaji dan mengevaluasi apakah lulusan
dunia pendidikan masih diperlukan. Pada masa mudanya ia mengatakan bahwa
tanpa pendidikan, kelas buruh dipaksa menjalani kerja yang membosankan serta
kematian, namun dengan pendidikan mereka punya kesempatan menjalani
kehidupan yang lebih baik. Lebih dari itu, padanagan Marx dan Engles terutama
teori materialisme-historisnya telah digunakan untuk merumuskan teori dan
analisis kritis terhadap institusi pendidikan di dalam masyarakat borjuis, dan
kemudian dipakai untuk mengembangkan konsepsi pendidikan alternative yang
sesuai dengan prinsip sosialisme Marxian.7 Sebagai contoh misalnya, Thesis
Feuerbach mengatakan, kondisi social yang berubah menciptakan bentuk
pendidikan baru, sehingga kebangkitan masyarakat kapitalis akan menciptakan
institusi pendidikan yang menghasilkan hubungan, nilai-nilai dan praktek social
yang dominan. Demikian juga, transformasi masyarakat kapitalis dan penciptaan
masyarakat sosialis membutuhkan bentuk pendidikan dan sosialisasi baru.8
Paradigma klasik Marxisme memandang pendidikan memiliki fungsi di
dalam system social hegemonic yang diorganisir untuk melayani kepentingan
pemilik modal. Dengan menggunakan perspektif Marxian pada perkembangan
lebih lanjut muncul generasi penerus yang mencoba memfokuskan pada

pendidikan, dan dikenal sebagai Pedagogi Kritis. Mereka ini meliputi pula yang

7
8

Douglas Kellner, Teori Sosial Radikal, Yogyakarta: Syarikat, 2003, hal. 89
Ibid.

33

Tarbiyatuna Vol. 8 No. I Pebruari 2014

Muhammad Masyhuri

Meninjau Kembali Pelaksanaan Evaluasi Pendidikan di Sekolah

masuk dalam Mazhab Frankfurt, para pengembang Cultural Studies, dan yang
paling berpengaruh adalah Paulo Fraeire yang karyanya dilatarbelakangi kondisi
social, ekonomi, dan politik Amerika Lati.Para perumus Mazhab Frankfurt meski
jarang membahas masalah pendidikan, namun perspektifnya mempunyai
kontribusi penting pada filsafat pendidikan. Adorno, Horkheimer, Marcuse, dan
From terkadang menulis analisis kritis terhadap universitas dan melakukan
intervensi dalam perdebatan pendidikan.9
Melalui apa yang mereka sebut sebagai “industri kebudayaan”, yaitu proses
industrialisasi kebudayaan yang diproduksi secara masal dalam urgensi komersial.
Produk kebudayaan mengalami komodifikasi, standarisasi, dan masifikasi. Dalam
pada itu, institusi pendidikan juga menjadi salah satu pihak yang menciptakan
masyarakat massa yang mengarah pada homogenitas sosial, karena pendidikan
publik mengalami standarisasi, sehingga menjadi ruang yang membosankan.10
Periode berikutnya adalah munculnya cultural studies terutama dipengaruhi oleh
pandangan Gramci tentang hegemoni. Kelompok ini melakukan analisis secara
kritis efek pendidikan dari media massa, musik, dan budaya pop lain terhadap
audiennya, dan juga mengembangkan kritik persekolahan di Inggris. Cultural
Studies juga melakukan kajian terhadap bagaimana sekolah mengintegrasikan kaum
muda ke dalam masyarakat kapitalis, dan bagaimana kaum muda kelas pekerja
melakukan perlawanan terhadap kemapanan. Jadi seperti halnya Mazhab
Frankfurt, Cultural Studies sama-sama dipdirikan dalam semangat transdisipliner
yang melawan pembagian akademik yang sudah mapan dan secara implisit
merevolusionerkan pendidikan universitas.11
Kemudian muncul Paulo Freire,12 salah seorang pengembang Pedagogi
Kritis dan memang sosok Marxian yang memfokuskan diri pada masalah
pendidikan. Ia secara terang-terangan mengkritik lembaga pendidikan dalam
masyarakat kapitalis yang dianggapnya sebagai belenggu. Ia menganjurkan apa
Lihat Ritzer, George dan Barry Smart. Handbook Teori Sosial. Bandung: Nusa Media, 2012
Pembahasan lebih lanjut lihat Ben Agger, Teori-teori Sosial Kritis: Kritik, Penerapan, dan Implikasinya,
Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2006, hal. 64-76
11 Lihat misalnya Barker Chris, 2001, Cultural Studies, Theory and Practices. London: Sage Publication.
12 Freire P, Pedagogy of the Oppressed. New York: Praege. 1986

9

10

34

Tarbiyatuna Vol. 8 No. I Pebruari 2014

Muhammad Masyhuri

Meninjau Kembali Pelaksanaan Evaluasi Pendidikan di Sekolah

yang ia sebut sebagai pendidikan yang membebaskan. Melalui karyanya, The
Pedagogy of the Oppressed, ia menunjukan bahwa pendidikan di bawah bendera
kapitalis tidak ubahnya seperti bank, dimana murid dianggap seperti tempat
penyimpanan ibarat deposito, sebuah praktek penddikan yang mematikan dayadaya imajinasi dan kreasi. Pendidikan seperti itu hanya menghasilkan penurut,
karena murid hanya dianggap sebagai bejana-bejana kosong yang harus diisi
menurut kehendak sistem pendidikan yang sudah menjadi pesanan kepentingan
kapitalis. Pendidikan bukan merupakan ruang yang merdeka, tetap penuh rekayasa
sistematis yang menjadi murid sebagai obyek pasar. Freire menyerukan pendidikan
yang membebaskan dengan relasi yang setara, dialogis, dan partisipatoris. Dengan
semangat revolusioner Marxis, ia mengembangkan pedagogi kaum tertindas yang
akan melahirkan subyek revolusioner, yang diberdayakan untuk menghilangkan
berbagai bentuk penindasan dan menciptakan tatanan sosial yang lebih demokratis
dan adil.
Pelaksanaan ujian disekolah dalam realitas obyektif
Berdasarkan rumusan pemaknaan yang dikemukakan oleh Stuart Hall
sebelumnya, yang mengaskan bahwa pendekatan studi kebudayaan mencoba
menjelaskan tentang pengalaman (the discription of experience) terhadap suatu
peristiwa tertentu, maka pembahasan tentang pelaksanaan ujian di sekolah saat ini
juga akan dideskripsikan berdasarkan pemaknaan tersebut.
Berhubungan dengan perkembangan dunia pendidikan saat ini, Kari Facer,
salah seorang Profesor pendidikan di Institute Kajian ilmu social di Universitas
Manchester Metropolitan New York megaskan bahwa pelaksanaan pendidikan
saat ini sudah tidak tidak mampu menjawab kebutuhan masa depan anak didiknya,
hal ini didasarkan pada ketidakmampuan lembaga pendidikan dalam merespon
perubahan sosial yang ditandai dengan pesatnya kemunculan teknologi informasi
yang sudah maju, sementara lembaga pendidikan yang ada tidak mampu
mengimbangi perubahan tersebut. Ketidakmampuan lembaga pendidikan dalam
merespon dinamika perubahan sosial ini menunjukkan lemahnya evaluasi yang

35

Tarbiyatuna Vol. 8 No. I Pebruari 2014

Muhammad Masyhuri

Meninjau Kembali Pelaksanaan Evaluasi Pendidikan di Sekolah

digunakan sehingga out-put dari lembaga pendidikan tesebut tidak sesuai dengan
apa yang diharapkan.
Realitas ketidakmampun dalam merespon perubahan ini bisa kita tinjau
dalam system ujian yang ada dalam dunia pendidikan kita, misalnya pada tahun
1980-an bahkan, ketika seseroang bersekolah dan bahkan juga kuliah di perguruan
tinggi, bahan pelajaran jumlahnya masih terbatas. Keterbatasan itu tidak saja
dialami oleh para siswa, tetapi juga oleh guru atau dosen. Para guru hanya
memiliki satu atau dua buah buku. Tugas guru adalah menjelaskan isi buku
tersebut dari awal hingga akhir. Kadangkala penjelasan itu diulang-ulang untuk
menyesuaikan waktu yang tersedia. Tidak mungkin guru harus menghentikan
pelajaran dengan alasan bahannya habis. Sementara mencari bahan lain tidak
mungkin, oleh karena ketika itu memang tidak ada yang lain.
Dalam keadaan seperti digambarkan itu, maka pelaksanaan ujian untuk
mengetahui seberapa jauh para siswa menguasai bahan pelajaran yang telah
diajarkan, guru membuatkan pertanyaan yang jawabnya dapat diperoleh dari bukubuku yang dimaksudkan itu. Agar tidak nyontek dalam ujian, maka para murid
dilarang membawa buku atau catatan-catatan ke dalam kelas. Murid harus hafal
atau setidaknya mengenali seluruh isi buku pelajaran itu.
Selain itu, pada waktu ujian, para siswa dilarang bekerjasama atau saling
menyontek. Maka setiap ujian para guru bertindak sebagai pengawas ujian. Para
siswa

harus mengerjakan soal-soal ujian sendiri-sendiri. Bagi mereka yang

menguasai buku yang diajarkan akan lulus dan demikian pula sebaliknya. Oleh
karena itu, sebelum ujian dilaksanakan, sudah menjadi terbiasa, guru menunjukkan
bahan-bahan ujian atau buku yang akan diujikan.
Sekarang ini keadaannya

sudah berubah. Buku-buku pelajaran sudah

membanjir dan sangat mudah didapatkan. Bahkan tidak sedikit sekolah yang
menyediakan buku-buku pelajaran dimaksud. Selain itu, ukuran buku-buku juga
semakin tebal, dimana kita sering menjumpai anak-anak yang semakin tinggi
jenjangnya, maka tas sekolahnya semakin besar ukurannya. Buku-buku yang harus

36

Tarbiyatuna Vol. 8 No. I Pebruari 2014

Muhammad Masyhuri

Meninjau Kembali Pelaksanaan Evaluasi Pendidikan di Sekolah

dipelajari dan dihafal isinya semakin banyak jumlahnya. Hal lainnya lagi yang perlu
diperhatikan bahwa, dengan kemajuan teknologi informasi, maka

menjadikan

bahan pelajaran bisa diperoleh dari berbagai media, seperti internet, website,
google dan lain-lain. Sekarang ini, anak-anak atau para siswa sudah terbiasa
mendapatkan makalah, tulisan ilmiah, dan lain-lain melalui internet. Informasis
menjadi membanjir dan bisa diperoleh di mana-mana. Oleh karena itu, kalau para
guru masih mengharuskan siswanya untuk menghafal bahan pelajaran
sebagaiomana dilakukan oleh para guru zaman dahulu, maka kiranya sudah tidak
relevan lagi dengan zamannya.13
Demikian pula, kalau cara mengukur kemampuan siswa masih sama
dengan cara yang dilakukan oleh guru ketika belum mengenal internet, website,
google, facebook, twitter dan lain-lain, maka sudah tidak relevan lagi. Munculnya
kritik tajam dari masyarakat tentang pelaksanaan ujian nasional, bisa jadi juga
disebabkan oleh pandangan seperti itu.

Dalam keadaan seperti sekarang ini,

membebani murid agar menghafalkan bahan pelajaran yang sedemikian banyak,
sementara guru dan bahkan kepala sekolahnya sendiri sudah tidak mampu
menghafalkannya, maka cara itu perlu dikaji ulang. Dengan mengkaji lebih lanjut
tentang cara baru dalam mengajar dan termasuk menguji para murid pada setiap
jenjang pendidikan. Terjadinya kasus-kasus penyimpangan ujian dengan berbagai
bentuknya, bisa jadi disebabkan oleh cara ujian itu sudah tidak sesuai lagi dengan
keadaan zamannya. Jika pandangan ini benar, maka sebenarnya ketika terjadi
saling menyontek, bahkan terjadi nyontek massal, bukan karena murid-muridnya
yang salah, melainkan karena para guru juga para ahli evaluasi pendidikan, tidak
bisa mengikuti tuntutan zaman ini. Atau setidak-tidaknya, hiruk pikuk perubahan
zaman yang ditandai dengan membanjirnya informasi selama ini tidak dikenali
secara baik oleh para guru dan juga para ahli pendidikan.
Persoalan tersebut bukan sederhana, oleh karena menyangkut masa depan
anak-anak. Jika pendidikan dilakukan dengan cara salah atau kurang tepat, maka

13 Kenyataan ini sama dengan apa yang ditulis oleh Keri Facer, Learning Future, Education technology and Social
Change; Canada: Routledge, 2011, hal. 9-11

37

Tarbiyatuna Vol. 8 No. I Pebruari 2014

Muhammad Masyhuri

Meninjau Kembali Pelaksanaan Evaluasi Pendidikan di Sekolah

kita telah gagal dalam mengantarkan generasi muda menyiapkan masa depannya.
Pendidikan bukan untuk para orang dewasa, melainkan untuk anak-anak atau
generasi mendatang yang akan menjalaninya. Kita tidak boleh membebani atau
melakukan hal yang salah dalam pendidikan. Jangan sampai mereka menanggung
beban sebagai akibat kesalahan guru atau para penangung jawab pendidikan saat
ini.
Menugasi para siswa menghafal semua buku yang dikarang oleh
pengarangnya, yang belum tentu

mereka

merupakan tindakan yang berlebih-lebihan.

masih menghafalnya, adalah
Hal penting lagi yang perlu

dipertimbangkan adalah, apakah hafalan itu memang diperlukan oleh para siswa di
masa depannya. Keadaan sekarang sudah jauh berubah dari zaman dulu, sehingga
semestinya juga menuntut cara-cara berbeda dalam mengajar, dan tidak terkecuali
adalah cara mengevaluasinya. Persoalan tersebut kiranya bukan perupakan hal
mudah dan ringan.

Mencari format baru Ujian di Sekolah
Beberapa waktu yang lalu, muncul berbagai perdebatan diberbagai media
masa tentang persoalan ujian Nasional yang sudah tidak lagi relevan untuk saat
ini, meski demikian, hal ini direspon oleh Menteri pendidikan yang mengatakan
bahwa untuk memenuhi ketentuan undang-undang, maka ujian nasional masih
perlu dan tetap akan dilaksanakan, akan tetapi format ujian yang sudah ada itu
akan ditinjau kembali.14 Format baru yang dimaksudkan itu seperti apa bentuknya,
juga masih belum dijelaskan. Intinya dalam statemen itu, bahwa ujian nasional
masih dianggap perlu untuk mengevaluasi secara nasional prestasi yang dihasilkan
dari penyelenggaraan pendidikan bangsa ini.
Lulusan dunia pendidikan indentik dengan profesi atau pekerjaan tertentu
yang biasa ia lakukan. Berkaitan dengan ini, seminggu yang lalu, berbagai media

14

Sindoonline.com, diakses tanggal 13 maret 2014

38

Tarbiyatuna Vol. 8 No. I Pebruari 2014

Muhammad Masyhuri

Meninjau Kembali Pelaksanaan Evaluasi Pendidikan di Sekolah

masa diberitakan terdapat salah satu TKW Indonesia, Sutinah, yang akan dihukum
gantung karena telah membunuh majikannya. Atas peristiwa ini, muncul berbagai
protes dan demo serta dukungan moral untuk TKW asal Jawa barat tersebut.
Meski media masa telah memberitakan banyaknya pendeitaan para TKW kita,
namun tetap saja TKW Indonesia masih tidak bisa terbendung membanjiri
berbagai Negara timur tengah. Melihat banyaknya calon TKW yang terus
diberitakan dalam media masa tersebut, menegaskan bahwa rendahnya mutu hasil
pendidikan itu sebenarnya dengan mudah dapat diketahui.
Saya pernah mendapatkan pengalaman disaat saya melakukan perjalanan
untuk menunaikan Umroh ke Makkah di Saudi Arabia pada tahun 2011. Ketika
itu, saya bersama beberapa teman mengunjugi salah satu teman yang sakit di
rumah sakit. Rumah sakit tersebut, menurut penglihatan saya, ukurannya sangat
besar, sehingga menampung ratusan perawat dan dokter. Umumnya para pegawai
tersebut berasal dari India dan Phiilipina. Anehnya, tidak ada satupun di antara
mereka itu yang berasal dari Indonesia.
Melihat kenyataan itu, dalam kesempatan berdialog dengan salah satu
pegawa dirumah sakit tersebut, saya mencoba menanyakan, mengapa tidak ada di
antara pegawainya, yang berasal dari Indonesia. Saya berargumentasi, bahwa
tenaga kerja dari Indonesia lebih sesuai dengan masyarakat Saudi, karena memiliki
kesamaan agama. Pertanyaan saya tersebut dijawab dengan pertanyaan yang
menyakitkan, yaitu apakah tenaga kerja dari Indonesia mampu berbahasa Arab.
Atas jawaban itu saya bertanya balik lagi, apakah tenaga kerja dari Pilipina juga
bisa berbahasa Arab. Pertanyaan itu dijawab, bahwa orang philipina, sekalipun
tidak berbahasa Arab, mereka bisa berbahasa Inggris. Selain itu, biasanya mereka
mau belajar bahasa Arab.
Dialog sederhana di muka, lagi-lagi kiranya sudah bisa dijadikan bahan evaluasi
terhadap hasil pendidikan di tanah air ini. Jika yang dimaui oleh pemerintah adalah
gambaran umum tentang hasil pendidikan, maka tanpa ujian nasional pun
sebenarnya sudah bisa diketahui. Tanpa diberikan soal ujian Bahasa Inggris

39

Tarbiyatuna Vol. 8 No. I Pebruari 2014

Muhammad Masyhuri

Meninjau Kembali Pelaksanaan Evaluasi Pendidikan di Sekolah

misalnya, sebenarnya sudah ditahui, bahwa kemampuan Bahasa Inngris siswa
lulusan sekolah menengah, bahkan juga perguruan tinggi selama ini masih lemah.
Mungkin di Indonesia baru beberapa sekolah saja yang berhasil membisakan
bahasa asing bagi para siswanya. Pada umumnya masih gagal.
Apabila demikian itu halnya, maka sebenarnya yang diperlukan terhadap
pendidikan bangsa ini adalah peningkatan kualitas. Sementara ini yang dilakukan
hanyalah sebatas memperbaiki aspek yang kurang substantive dan hanya bersifat
formal. Pemerintah membuat standar pendidikan, menyelenggarakan ujian
nasional, peningkatan kualitas guru dengan meningkatkan ijazah, tanpa diikuti
oleh kualitas yang memadai dan sejenisnya. Memang, ijazah para guru berhasil
ditingkatkan, tetapi belum tentu ilmunya bertambah, karena peningkatan ijazah
tersebut juga hanya dilakukan secara formal, misalnya dengan dual mode, yang
pelaksanaan program itu hanya menargetkan selesai, bukan peningkatan kualitas
hasil pendidikan yang sebenarnya dibutuhkan.
Mengetahui hasil pendidikan yang masih rendah kualitasnya seperti itu,
mestinya pemerintah perlu segera mengambil keputusan yang bersifat mendasar,
radikal dan bahkan kalau perlu revolusioner. Misalnya untuk menyesuaikan
dengan tuntutan global, maka harus ada gerakan bersama memperbaiki
kemampuan berbahasa asing, Inggris dan Arab. Gerakan itu dijadikan tema dan
atau jargon

yang menjadi gerakan besar yang diikuti oleh seluruh lembaga

pendidikan di negeri ini.
Melalui kebijakan tersebut

maka ditargetkan bahwa lulusan jenjang

pendidikan sekolah menengah misalnya,

harus menguasai salah satu Bahasa

Asing. Ujiannya tidak boleh dilakukan secara formal, tetapi harus dilakukan secara
sungguh-sungguh. Kalau perlu, misalnya kepala sekolah dan para gurunya pun
ikut diuji. Jika kepala sekolah dan guru tidak lulus, maka muridnya juga dianggap
tidak lulus. Kebijakan ini menjadikan lahirnya gerakan belajar bersama untuk
meningkatkan kualitas.

40

Tarbiyatuna Vol. 8 No. I Pebruari 2014

Muhammad Masyhuri

Meninjau Kembali Pelaksanaan Evaluasi Pendidikan di Sekolah

Gambaran sederhana ini kiranya bisa diperdalam, dan dijadikan sebagai format
baru ujian nasional. Bahwa dalam evaluasi itu yang diuji bukan saja muridnya,
tetapi juga kepala sekolah dan para guru-gurunya. Tingkat kualitas kepala sekolah
dan guru sebenarnya lebih tepat dijadikan tolok ukur kemajuan institusi
pendidikan yang dipimpinnya. Sebab pada hakekatnya mereka itulah yang
diharapkan akan melahirkan kualitas itu. Dengan demikian, maka akan tampak
mana institusi pendidikan yang dikelola secara serius dan atau yang

hanya

berorientasi untuk memenuhi ketentuan formal, tetapi tidak menyentuh hakekat
pendidikan yang sebenarnya.

Referensi
Barker, Chris. The Sage Dictionary of Cultural Studies. London: Sage Publications Ltd.,
2004.
Barker Chris, 2001, Cultural Studies, Theory and Practices. London: Sage Publication.
Ben Agger, Teori-teori Sosial Kritis: Kritik, Penerapan, dan Implikasinya, Yogyakarta:
Kreasi Wacana, 2006
Freire P, Pedagogy of the Oppressed. New York: Praeger, 1986
Ritzer, George dan Barry Smart. Handbook Teori Sosial. Bandung: Nusa Media,
2012.
Ben Agger, 2006, Teori-teori Sosial Kritis: Kritik, Penerapan, dan Implikasinya,
Yogyakarta: Kreasi Wacana,.
Keri Facer, Learning Future, Education technology and Social Change; Canada:
Routledge, 2011
Sindoonline.com, diakses tanggal 13 maret 2014
Stuart Hall, The hard Road to Renewel, (London:verso, 1998), hal.18-25
Ziauddin Sad dan Borin van Loon, Mengenal Cultural Studies for Biginer. Jakarta: Mizan,
2000

41

Tarbiyatuna Vol. 8 No. I Pebruari 2014