MISKONSEPSI PADA OPTIKA GEOMETRI DAN REM

MISKONSEPSI PADA OPTIKA GEOMETRI
DAN REMIDIASINYA

Sutopo
Juruan Fisika FMIPA UM
[email protected]
Abstrak.Melalui studi longitudinal selama tiga tahun terakhir dengan subjek penelitian mencakup mahasiswa S1 dan S2 Pendidikan Fisika serta sejumlah guru Fisika
SMP/SMA ditemukan sejumlah miskonsepsi pada optika geometri. Peper ini menyajikan sejumlah miskonsepsi yang secara teoritis dapat dicegah atau diremidiasi sejak
pendidikan dasar dan menengah.Miskonsepsi yang dimaksud berkaitan dengan (1)
peranan sinar istimewa dalam pembentukan bayangan, (2) sifat bayangan nyata, dan
(3) bayangan maya yang dihasilkan cermin datar. Pengalaman sukses meremidiasi
miskonsepsi tersebut beserta implikasinya pada pembejaran optika geometri di
sekolah juga disajikan.
Abstract. Throughout three years longitudinal study involving undergraduate and
graduate students of physics education program as well as some experienced
physics teachers, there were strong evidences that most respondents held many
misconceptions on the topic of geometrical optics. This paper describes some
misconceptions that should be prevented or remidiated during elementary and
secondary schooling. Those misconceptions deal with (1) the role of primary rays,
(2) properties of a real image, and (3) properties of virtual image produced by plan
mirror. Good practices in remediating the misconceptions and its implication on

teaching geometrical optics in school are also described.
Kata-kata Kunci: optika geometri, miskonsepsi

Dalam konteks membantu siswa
menguasai bahan kajian IPA, teori belajar
konstruktivis mengingatkan para pendidik
bahwa siswa datang ke kelas tidaklah
dengan kepala kosong,tanpa pengetahuan
apapun terkait bahan kajian yang akan
dipelajari. Selain itu, teori belajar konstruktivis juga mengingatkan bahwa pengetahuan baru tidak dapat ditransferkan
begitu saja dari guru ke siswa.Kalaupun
siswa mampu mengungkapkan kembali
pengetahuan baru yang ditransferkan guru,
sangat mungkin ungkapan kata-kata siswa
hanya bersifat hafalan secara tekstual
semata, tanpa pemahaman yang bermakna.Untuk memahami pengetahuan baru
secara bermakna, siswa harus memproses

Salah satu aspek penting dari tujuan
pembelajaran IPA di sekolah adalah agar

siswa memahami bahan kajian (konsep,
prinsip, hukum, teori) secara bermakna
sehingga mampu menerapkannya untuk
menjelaskan fenomena alam dan/atau
teknologi yang dijumpai dalam kehidupan
sehari-hari.Meskipun dewasa ini tujuan
pembelajaran IPA sudah dikembangkan
hingga mencakup aspek-aspek lain seperti
sikap dan kecakapan berfikir ilmiah, penguasaan bahan kajian tetap menjadi
perhatian utama para pendidik IPA. Hal ini
disebabkan karena tanpa pemahaman
bahan kajian yang baik, sangat sulit mengembangkan sikap dan kecakapan berfikir
ilmiahsiswa.

356

Sutopo, Miskonsepsi pada Optika Geometri dan Remidiasinya, 357

sendiri secara mental pengetahuan tersebut
sedemikian rupa bisa bertaut secara sinergis dengan pengetahuan yang sudah dimiliki. Tanpa proses aktif secara mental,

tidaklah mungkin siswa bisa memahami
pengetahuan baru tersebut secara bermakna.
Mengingat bahan kajian IPA adalah
tentang alam sekitar, maka sebelum mempelajari suatu topik IPA secara formal di
kelas, sangat mungkin siswa sudah
memilikipengetahuan sendiri tentang topik
itu, sebagai hasil interaksinya dengan
alam. Pengetahuan awal siswa tersebut
bisa sesuai tetapi juga bisa tidak sesuai
dengan pengetahuan IPA sebagaimana
dimaksud para ilmuwan. Dalam literatur,
prakonsepsi siswa yang salah biasa disebut
miskonsepsi (Hammer, 1996, Hasan et al.
1999, Allen & Coole, 2012) meskipun
beberapa peneliti lebih suka menggunakan
istilah lain seperti prakonsepsi (Clement,
1982), konsepsi common sense (Halloun &
Hestenes, 1985), konsepsi intuitif (Heller
& Finley, 1992), dan konsepsi alternatif
(Dykstra, Boyle, & Monarch, 1992;

Potgieter et al, 2010).
Sejak beberapa dasawarsa terakhir,
banyak pendidik dan peneliti pendidikan
IPA yang menaruh perhatian besar pada
miskonsepsi siswa. Hal ini didasari oleh
keyakinan bahwa miskonsepsi sangat
menghambat perkembangan siswa dalam
belajar IPA (Van Heuvelen, 1991;
Hammer, 1996; Caleon & Subramaniam,
2010). Selain itu, pengetahuan tentang
miskonsepsi siswa merupakan input penting bagi guru dalam merancang pembelajaran yang efektif (Fazio et al., 2008).
Karena itu, banyak ahli berpendapat bahwa
wawasan guru tentang miskonsepsi siswa
merupakan salah satu unsur penting dari
kompetensi guru dalam ranah pedagogical
content
knowledge
(Etkina,
2010,
Loughran & Nilsson, 2012).


Sebagian besar penelitian miskonsepsi difokuskan untuk mengidentifikasi
miskonsepsi siswa di berbagai cabang IPA.
Sebagian
lainnya
diarahkan
untuk
mengembangkan instrumen dan teknik
mengenali miskonsepsi (Allen & Coole,
2012, Potgieter et al, 2010, Caleon &
Subramaniam, 2010), atau untuk mengembangkan strategi mengatasi miskonsepsi
(Lee et al., 2003; Duit & Treagust, 2003;
Parker, 2006; Merhar, Planinsic, & Cepic,
2009; Leinonen, Asikainen, & Hirvonen,
2013). Dari aspek jenis, penelitian miskonsepsi sudah cukup memadai. Namun,
dari aspek jenis topik yang dikaji, sebagian
besar penelitian miskonsepsi terfokus pada
topic gaya dan gerak. Masih sedikit penelitian miskonsepsi dalam bidang optika,
khususnya optika geometri.
Optika geometri merupakan cabang

IPA yang mempelajari perilaku cahaya
melalui pendekatan sinar dengan menerapkan prinsip-prinsip geometri. Dalam
optika geometri, cahaya direpresentasikan
sebagai sinar, yaitu garis-garis lurus yang
digambar mengikuti arah perambatan
cahaya. Objek kajiannya berkaitan dengan
peristiwa perambatan, pemantulan, dan
pembiasan cahaya. Pemahaman yang baik
tentang perambatan cahaya dan bagaimana
cahaya berinteraksi dengan objek-objek
lain sangat diperlukan dalam memahami
fenomena sehari-hari yang berkaitan
dengan cahaya dan berbagai tekhnologi
yang dikembangkan berdasarkan prinsipprinsip pemantulan dan pembiasan cahaya.
Beberapa pendidik mengklaim bahwa
pengetahuan tentang cahaya dan interaksinya dengan benda lain sangat diperlukan
dalam mempelajari cabang-cabang sains
lainnya (Goldberg & McDermott, 1986,
1987). Namun demikian, konsep-konsep
dasar optika geometri ternyata cukup sulit

dipahami siswa, bahkan oleh mahasiswa di
tingkat perguruan tinggi. Karena itu, di-

358, J-TEQIP, Tahun V, Nomor 2, November 2014

perlukan perencanaan yang cermat dalam
pembelajaran optika geometri.
Penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar mahasiswa mengalami kesulitan yang serius tentang konsekuensi dari
sifat cahaya yang merambat lurus dalam
suatu medium kemudian memantul
dan/atau membias jika menjumpai medium
lain (Goldberg & McDermott, 1986,1987;
Wosilait, Heron, Shaffer, & McDermott,
1998).Beberapa temuan para peneliti
tersebut disarikan sebagai berikut. Sebagian besar siswa tidak mampu menjelaskan
terjadinya bayangan pada kamera lubang
jarum (pinhole camera), bahkan jarang ada
siswa yang mampu memprediksi apa yang
akan terjadi pada layar yang ditempatkan
di belakang lubang kecil yang dihadapkan

padasuatu benda. Terkait dengan pembentukan bayangan pada cermin datar, sebagian besar siswa mengalami kesulitan
mengkaitkan prinsip-prinsip optika geometri dengan terjadinya bayangan tersebut.
Sebagian besar siswa juga berpendapat
bahwa posisi bayangan pada cermin datar
bergantung pada posisi pengamat. Terkait
dengan pembentukan bayangan pada lensa
positif dan cermin cekung, sebagian besar
siswa mengalami kesulitan mentransfer
diagram pembentukan bayangan menjadi
set up percobaan real yang melibatkan
penyusunan letak benda, lensa/cermin, dan
layar. Daftar kesulitan tersebut juga sering
penulis jumpai pada mahasiswa tahun
pertama, bahkan juga pada sejumlah guru
yang telah memiliki pengalaman mengajar
cukup lama.
Pengalaman penulis berinteraksi
dengan mahasiswa, khususnya mahasiswa
calon guru Fisika, menunjukkan banyak
mahasiswa yang mengalami miskonsepsi

terkait topik-topik fisika yang justru sudah
dipelajari sejak sekolah dasar.Topik-topik
pada gaya dan gerak serta cahaya dan
penglihatan merupakan topik yang paling
banyak terjadi miskonsepsi. Pada topik

gerak dan gaya, minskonsepsi yang paling
umum dan paling sulit diremidiasi adalah
tentang konsep percepatan. Miskonsepsi
tersebut adalah (1) percepatan negatif selalu dipikirkan memperlambat gerak sedangkan percepatan positif selalu mempercepat
gerak, (2) percepatan sebanding dengan
kecepatan, semakin cepat gerak benda
semakin besar percepatannya, dan sebaliknya (Sutopo, et al., 2012; Sutopo &
Waldrip, 2014).Terkait topik cahaya dan
penglihatan, penulis juga menemukan
banyak miskonsepsi, baik pada mahasiswa
maupun guru. Beberapa miskonsepsi tersebut akan dipaparkan lebih rinci dalam
artikel ini.
Miskonsepsi yang dipaparkan pada
artikel ini merupakan miskonsepsi yang

terutama disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan factual responden yang mestinya dapat diperoleh ketika di jenjang
pendidikan dasar dan menengah. Strategi
untuk menyembuhkan miskonsepsi juga
dipaparkan. Dengan demikian, diharapkan
tulisan ini dapat memberikan inspirasi bagi
para pembaca, khususnya para guru IPA,
dalam merancang pembelajaran optika
geometri.
METODE
Miskonsepsi yang dipaparkan pada
tulisan ini diperoleh melalui serangkaian
studi longitudinal (Creswell, 2012: 379)
dengan pendekatan kualitatif yang dilakukan selama tiga tahun, mulai tahun
2012 s.d 2014. Responden terdiri atas
mahasiswa S1 Pendidikan Fisika UM peserta matakuliah Fisika Dasar dan Kapita
Selekta Fisika Sekolah, mahasiswa S2
Pendidikan Fisika, dan guru peserta PLPG
Rayon UM.
Data diperoleh melalui observasi
selama kegiatan diskusi dalam rangka

memecahkan soal-soal konseptual sebagaimana disajikan pada bagian berikutnya,
Hasil dan Pembahasan.Kegiatan remidiasi

Sutopo, Miskonsepsi pada Optika Geometri dan Remidiasinya, 359

yang disajikan di setiap paparan miskonsepsi merupakan rekonstruksi dari
pengalaman sukses (good practices) selama pembelajaran.Validasi temuan dilakukan melalui teknik member checking
(Creswell, 2012: 259) yang dilakukan
secara informal selama pembelajaran.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berikut disajikan beberapa miskonsepsi terkait topik optika geometri beserta kegiatan remidiasi yang telah
dilakukan. Sebagaimana telah disinggung,
tidak semua miskonsepsi yang ditemukan
selama tiga tahun studi longitudinal tersebut diuraikan di sini. Hanya miskonsepsi
yang secara teoretis dapat dihindari sejak
di jenjang pendidikan dasar dan menengah
saja yang dipaparkan. Beberapa miskonsepsi tersebut dipaparkan ke dalam tiga
bagian, yaitu (1) miskonsepsi terkait peranan sinar-sinar istimewa dalam pembentukan bayangan, (2) miskonsepsi
terkait konsep bayangan nyata, dan (3)
miskonsepsi terkait bayangan yang
dihasilkan cermin datar (cermin rias).
Miskonsepsi Terkait Peranan Sinar Istimewa dalam Pembentukan Bayangan
Jarang ditemukan responden yang
mengalami kesulitan berarti dalam melukis
pembentukan bayangan pada lensa maupun
cermin,khususnya pada pembentukan
bayangan nyata oleh lensa positif atau oleh
cermin cekung. Pada umumnya responden
menggunakan dua atau tiga sinar istimewa
untuk menyelesaikan tugas tersebut.
Namun demikian, jika kepada mereka diajukan beberapa pertanyaan lanjutan,
segera tampak bahwa pengetahuan mereka
sebenarnya masih sebatas pengetahuan
prosedural, itupun masih jauh dari lengkap.
Berdasarkan argumentasi yang mereka
ajukan dalam mendukung setiap pendapatnya, tampak bahwa mereka belum
memiliki pemahaman yang bermakna

tentang prinsip-prinsip optika geometri
yang mereka gunakan. Beberapa indikasi
tentang itu antara lainditunjukkan oleh
bukti-bukti berikut.
Dalam melukis pembentukan bayangan, sebagian besar responden menggambar sinar datang tidak berpangkal di
titik benda, melainkan mulai dari belakang
benda seperti dicontohkan pada Gambar
1.Ini menunjukkan bahwa mereka tidak
memahami benar apa yang dilakukannya
tersebut. Jika ditanya dari mana asal sinar
cahaya yang menuju lensa tersebut,
umumnya mereka menjawab “dari benda”.
Jika ditanya lebih lanjut mengapa sinar
datang tidak digambar berpangkal di titik
benda, jawaban yang sering muncul adalah
“karena bendanya bukan sumber cahaya,
dan sinar yang digambar tersebut merupakan sinar yang dipantulkan oleh benda”.
Mereka baru menyadari kesalahannya
ketika dikejar dengan pertanyaan “jika
benar demikian, mengapa sinar tersebut
tidak berbelok ketika mengenai benda?”
Ketidaktepatan lain yang sering dijumpai
adalah sinar-sinar bias digambarkan
berhenti di titik bayangan seperti ditunjukkan pada Gambar 1. Ketidaktepatan
dalam melukiskan sinar-sinar tersebut
dapat diperbaiki dengan meminta responden menggambarkan sinar-sinar datang
jika bendanya merupakan sumber cahaya,
misalnya lilin yang menyala.

+

Gambar 1. Diagram Pembentukan Bayangan yang Sering Ditunjukkan Responden

Sebagian besar responden berpikir
bahwa bayangan hanya dihasilkan oleh
sinar-sinar istimewa saja. Sinar-sinar lainnya dipikirkan tidak berkontribusi dalam

360, J-TEQIP, Tahun V, Nomor 2, November 2014

pembentukan bayangan, bahkan tidak bisa
menghasilkan bayangan. Artinya, jika dua
dari tiga sinar istimewa tersebut dihalangi
menembus lensa, maka tidak mungkin terbentuk bayangan. Model mental atau pola
pikir tersebut terungkap ketika responden

diminta menjawabpertanyaan konseptual
seperti pada Gambar 2. Sebagian besar
responden memilih jawaban A dan
sebagian lainnya memilih B atau C. Sangat
jarang responden yang memilih jawaban
yang benar (D).

Layar

Sebatang lilin yang menyala ditempatkan di depan lensa positif sehingga pada layar yang
ditempatkan di belakang lensa terbentuk bayangan nyala lilin yang tajam dan terbalik. Jika lebih dari
separoh bagian bawah lensa kemudian ditutup dengan karton sehingga sinar 2 dan 3 tidak dapat
masuk ke lensa, apa yang teramati di layar?

A. Tidak lagi terdapat bayangan nyala lilin, hanya terdapat telau cahaya yang bentuknya tidak bisa
dikaitkan dengan nyala lilin.
B. Masih terdapat bayangan nyala lilin, tetapi hanya bagian ujung saja yang tampak.
C. Masih terdapat bayangan nyala lilin, tetapi ujung bawahnya terpotong.
D. Masih terdapat bayangan nyala lilin secara lengkap, tetapi lebih redup daripada sebelum lensa
ditutup.
Gambar 2.Pertanyaan Konseptual Untuk Mengungkap PemahamanResponden Tentang
Pembentukan Bayangan Nyata

Pada umumnya responden juga
mengalami kesulitan ketika diminta menggambarkan arah sinar bias dari sinar-sinar
yang tidak termasuk sinar istimewa, meskipun sinar tersebut dibuat dari benda yang
bayangannya sudah diberikan. Sebagai
contoh, jika pada diagram di Gambar 2
ditambahkan sebarang sinar ke-4, mereka
tidak dapatmenggambarkan sinar biasnya.
Hal ini menunjukkan bahwa pengetahuan
respondenterkaitfenomena pembentukan
bayangan masih belum lengkap.
Miskonsepsi tentang pembentukan
bayangan tersebut biasanya dapat diremidiasi dengan menghadirkan fenomena
nyata. Fenomena tersebut mudah sekali
direalisasikan melalui percobaan sederhana
sebagai berikut. Mula-mula hasilkan bayangan nyata dari lilin dan tangkap bayangan itu dengan layar. Kemudian tutuplah sebagian besar lensa dengan karton/
kertas tebal dan minta siswa mengamati

apa yang terjadi pada layar. Untuk memberikan kesan yang lebih mendalam, mulamula tutuplah sebagian kecil tepi lensa
kemudian secara bertahap perluaslah bagian lensa yang ditutup tersebut. Dengan
percobaan itu, responden dapat mengamati
sendiri bahwa pada layar tetap terjadi
bayangan yang utuh tetapi lebih redup
dibandingkan dengan sebelum lensa
ditutup; semakin banyak bagian lensa yang
ditutup semakin redup bayangan yang
dihasilkan.
Setelah mengamati sendiri bahwa
bayangan tetap terbentuk meskipun sebagian besar lensa ditutup, responden diminta
menjelaskan apa peran sinar istimewa
dalam pembentukan bayangan. Melalui
pertanyaan-pertanyaan penuntun, responden dapat mengkonstruksi pemahaman
baru yang lebih baik sebagai berikut.(1)
Dalam pelukisan bayangan, peran sinar
istimewa hanyalah untuk membantu men-

Sutopo, Miskonsepsi pada Optika Geometri dan Remidiasinya, 361

duga di mana letak bayangan yang dihasilkan lensa. (2) Bayangan dibentuk oleh
semua sinar dari benda yang mengenai
lensa, tidak hanya oleh tiga sinar istimewa
saja. Konsekuensinya, selama masih ada
sinar yang mengenai lensa, maka bayangan
tetap terbentuk. (3) Jika letak bayangan
sudah diketahui, maka semua sinar akan
dibiaskan menuju titik bayangan tersebut.
Dengan prinsip-prinsip baru yang telah
dibangun tersebut, pada umumnya responden mampu menjelaskan mengapa bayangan tetap terjadi meskipun sebagian besar
permukaan lensa ditutup. Selain itu, responden dengan percaya diri mampu menunjukkan arah sinar bias dari sinar-sinar
yang tidak termasuk sinar istimewa.
Miskonsepsi Terkait Sifat-Sifat
Bayangan Nyata
Pada umumnya siswa yang sudah
mempelajari optika mampu mendeskripsikan perbedaan antara bayangan nyata
dan bayangan maya.Sebagian besar responden pada penelitian ini sudah memiliki
pemahaman yang benar bahwa bayangan
yang dihasilkan cermin rias dan kaca spion
termasuk bayangan maya, sedangkan
bayangan yang dapat ditangkap dengan

layar, baik yang dihasilkan oleh lensa
maupun cermin, termasuk bayangan
nyata.Namun demikian, ada sebagian
responden yang berpandangan sebaliknya.
Bagi responden kelompok ini, bayangan
yang dihasilkan cermin rias adalah nyata
sebab bayangan tersebut secara nyata dapat
dilihat keberadaannya. Sebaliknya, bayangan oleh lensa positif adalah bayangan
maya sebab untuk melihatnya harus digunakan layar; tanpa bantuan layar bayangan
tersebut tidak terlihat.
Konsepsi bahwa bayangan nyata
dapat ditangkap dengan layar adalah
konsepsi yang benar. Namun demikian, penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian
besar responden yang sudah memiliki
pemahaman benar tersebut juga memiliki
pemahaman yang salah tentang sifat
bayangan nyata, yaitu hanya dapat diamati
dengan bantuan layar. Miskonsepsi seperti
itu banyak terjadi pada mahasiswa S1 dan
S2, bahkan di kalangan para guru fisika
yang sudah memiliki pengalaman mengajar yang cukup lama.
Cara yang biasa penulis gunakan
untuk mengungkap miskonsepsi tersebut
adalah dengan mengajukan pertanyaan
konseptualseperti pada Gambar 3.

Seorang siswa ingin mengamati bayangan nyata dari lilin yang ditempatkan di depan
lensa positif. Secara teoretis, sifat dan letak bayangan tersebut dapat diduga dengan
menggunakan diagram sinar seperti pada gambar.

Tanpa menggunakan layar, siswa tadi ingin mengamati bayangan lilin dengan cara
menempatkan matanya di tiga posisi A, B, dan C seperti di gambar. Cara mana yang
akan berhasil?
(A) Cara A
(B) Cara B
(C) Cara C
(D) Semuanya bisa berhasil
(E) Tidak satupun yang akan berhasil, sebab bayangan nyata hanya dapat dilihat
dengan bantuan layar.
Gambar 3. Pertanyaan Konseptual Tentang Sifat Bayangan Nyata

362, J-TEQIP, Tahun V, Nomor 2, November 2014

Dalam berbagai kesempatan mengajukan pertanyaan tersebut ke berbagai
kelompok responden, penulis selalu mendapati bahwa hampir semua responden
memilih jawaban E. Alasan yang paling
sering muncul adalah bayangan nyata
hanya dapat dilihat dengan bantuan layar.
Sebagian lainnya beralasan karena hanya
bayangan maya yang dapat dilihat langsung oleh mata. Ada juga responden yang
memilih D dengan argumen bahwa “bayangan nyata meneruskan cahaya dari
lensa ke segala arah sehingga bayangan itu
dapat diamati dari berbagai posisi, baik
dengan bantuanatau tanpa bantuan layar;
fungsi layar hanyalah untuk lebih memperjelas saja”. Hanya sebagian kecil
responden yang memilih jawaban benar B.
Itupun dengan alasan yang seringkali
kurang tepat, misalnya “mata tidak membedakan bayangan nyata dan maya
sehingga kedua jenis bayangan itu dapat
diamati tanpa atau dengan bantuan layar”,
atau alasan lain yang bersifat taulotogik
(berputar-putar), misalnya, “bayangan
nyata memang dapat ditangkap oleh layar,
namun bukan berarti tidak dapat dilihat
tanpa bantuan layar”.
Miskonsepsi tersebut dapat diremidiasi dengan cara memfasilitasi responden
agar dapat menguji sendiri kebenaran
jawabannya melalui percobaan. Percobaan
yang dimaksud adalah sebagai berikut.
Pertama, lilin yang sudah dinyalakan ditempatkan di depan lensa positif pada jarak
yang lebih jauh dari jarak fokusnya.
Selanjutnya, dengan mengatur posisi layar
dapat ditemukan bayangan nyata, terbalik,
dan paling tajam.Kedua, responden diminta berjongkok di belakang layar sambil
mengarahkan pandangannya ke posisi
bayangan tadi. Setelah itu, layar disingkirkan dan peserta dipandu agar dapat
melihatsendiri bayangan lilin tadi. Dengan
mengamati telau cahaya yang jatuh di
wajah pengamat, pengamat dapat dipandu

mengarahkan posisinya hingga berhasil
menemukan bayangan tadi. Kuncinya adalah: mata pengamat harus terkena berkas
cahaya dari lilin. Dengan cara itu, responden yakin bahwa bayangan tersebut
dapat ditangkap dengan mata tanpa
bantuan layar.
Eksplorasi fenomena dikembangkan
dengan meminta responden menggeser
posisinya mendekati lensa secara perlahan
sambil tetap mengamati bayangan tersebut.
Responden diminta mendeskripsikan hasil
pengamatannya ketika posisinya tepat di
posisi layar sebelum disingkirkan, juga
ketika posisinya lebih dekat lagi ke lensa.
Melalui eksplorasi ini responden menemukan pengetahuan-pengetahuan faktual
baru sebagai berikut. (1) Ketika mata tepat
di posisi bayangan atau sangat dekat
dengan posisi bayangan maka bayangan itu
justru tidak kelihatan jelas (tampak sangat
besar sehingga tidak jelas batas tepinya).
(2) Ketika mata lebih dekat lagi ke lensa,
maka yang didapati adalah nyala lilin yang
tampak tegak dan lebih besar, tidak
terbalik seperti yang didapatkan ketika
mata jauh dari lensa.
Pengetahuan-pengetahuan
faktual
yang telah dieksplorasi melalui percobaan
tersebut selanjutnya digunakan sebagai
bahan diskusi untuk memperkuat pemahaman responden tentang prinsip melihat.
Pertama, untuk dapat melihat suatu benda
harus ada cahaya dari benda tersebut yang
mengenai mata, baik langsung maupun
tidak langsung.Jika dalam perjalanannya
sampai ke mata,cahaya dari sisi benda
yang berbeda mengalami persilangan,
seperti yang teramati ketika mata jauh dari
lensa, maka benda kelihatan terbalik.
Sebaliknya, jika dalam perjalannya tadi
kedua sinar tersebut tidak mengalami
persilangan, seperti yang teramati ketika
mata sangat dekat ke lensa, maka benda
kelihatan tegak seperti aslinya. Kedua, jika
benda sangat dekat dengan mata, seperti

Sutopo, Miskonsepsi pada Optika Geometri dan Remidiasinya, 363

yang ditemukan ketika posisi mata sangat
dekat dengan posisi bayangan, maka benda
tersebut tidak terlihat dengan jelas.
Pengetahuan faktual terakhir tersebut digunakan untuk memperkuat pemahaman
responden tentang konsep titik dekat
penglihatan (punctum proximum).
Untuk memperkuat pemahaman
responden tentang prinsip-prinsip optika

geometri pada pembentukan bayangan,
responden diminta menerapkan pengetahuannya untuk menilai benar-tidaknya
suatu diagram pembentukan bayangan
sebagaimana disajikan pada Gambar 4.
Pertanyaan tersebut terbukti mampu
meningkatkan pemahaman responden
tentang pembentukan bayangan.

Manakah diagram pembentukan bayangan berikut yang kurang tepat? Berikan alasannya.

(2)

(1)

O

(3)

I

(4)

Gambar 4. Pertanyaan Konseptual Tentang Pembentukan Bayangan Pada Lensa Positif

Ada hal menarik yang terungkap
pada penelitian ini. Meskipun mahasiswa
sudah membuktikan sendiri bahwa bayangan nyata dapat dilihat tanpa bantuan
layar, sebagian mahasiswa belum mampu
menerapkan prinsip tersebut pada situasi
lain. Ketika dihadapkan pada pertanyaan
berikut, sebagian mahasiswa tidak mampu
menjawabnya dengan baik.
Seorang mahasiswa melakukan percobaan lensa positif di ruang yang
cukup terang. Mula-mula ia menempatkan lilin yang menyala di depan
lensa dan ia mendapati adanya bayangan tajam yang tertangkap pada
layar. Kemudian, ia mematikan lilin
itu dan mendapati bahwa di layar
tidak lagi terjadi bayangan. Apakah
berarti lensa positif tidak dapat
membentuk bayangan dari batang
lilin tersebut?Jika ya (tidak terjadi
bayangan) jelaskan mengapa. Jika
tidak (tetap terjadi bayangan)

jelaskan bagaimana cara mengamatinya.
Ada mahasiswa yang berpendapat
bahwa bayangan tetap terjadi, namun
bersifat maya sehingga tidak lagi tampak
di layar. Ini menunjukkan bahwa mahasiswa tersebut masih belum mampu meremidiasi miskonsepsinya bahwa bayangan
nyata harus tampak di layar. Mahasiswa
tersebut juga tidak menggunakan prinsip
optika geometri dalam argumentasinya.
Ketika ditanya apakah posisi pangkal lilin
berubah mendekati lensa sehingga bayangannya menjadi maya, mahasiswa tersebut dengan tegas menjawab tidak. Ketika
diminta melukiskan bayangannya, dengan
lancar dapat menemukan bahwa bayangannya bersifat nyata dan dalam posisi
yang sama dengan saat nyala lilin belum
dimatikan. Selanjutnya, ketika diminta
menjelaskan cara mengamati bayangan

364, J-TEQIP, Tahun V, Nomor 2, November 2014

tersebut, mahasiswa tadi baru menyadari
bahwa bayangan itu dapat diamati langsung dari posisi di belakang layar, setelah
layar dibuang.
Miskonsepsi Terkait Sifat Bayangan
Maya Pada cermin Rias
Sebagian besar mahasiswa berpendapat bahwa posisi bayangan yang
dihasilkan cermin rias (cermin datar)

bergantung pada posisi pengamat.Hal
serupajuga terjadi pada responden guru.
Berdasarkan fenomena tersebut dapatlah
diduga bahwa sebagian besar siswa SMPSMA juga memiliki miskonsepsi seperti
itu.Pertanyaan konseptual yang biasa
penulis gunakan untuk mengungkap
miskonsepsi tersebut disajikan pada
Gambar 5.

Seorang siswa mengamati bayangan suatu benda pada
cermin datar.Ketika berada di posisi P, siswa tersebut
melihat bayangan benda berada di posisi C. Di mana
posisi bayangan jika siswa tersebut pindah ke posisi Q?

P

Q

Gambar 5. Pertanyaan Konseptual Tentang Bayangan Maya pada Cermin Datar

Jawaban responden pada umumnya
mengumpul pada pilihan B, C, dan D.
Sebagian besar memilih jawaban C
(kunci), namun banyak juga yang memilih
jawaban B atau D. Responden yang memilih jawaban D pada umumnya beralasan
bahwa bayangan pada cermin selalu mengikuti pengamat sehingga selalu tampak di
depan pengamat. Sementara itu, responden
yang memilih jawaban B beralasan bahwa
mata biasa melihat secara lurus.
Miskonsepsi tersebut biasanya dapat
diremidiasi dengan meminta responden
melalukan pengamatan yang cermat dilanjutkan dengan tugas membuat diagram
pembentukan
bayangan
berdasarkan
hukum pemantulan cahaya, yaitu besarnya
sudut pantul selalu sama dengan besarnya
sudut datang. Remidiasi melalui pengamatan terbukti efektif menyadarkan responden
akan miskonsepsinya. Namun demikian,
ketika diminta membuat diagram pembentukan bayangannya, pada umumnya
mereka mengalami kesulitan.Kesulitan
yang sering muncul adalah dalam memilih/
menentukan sinar datang. Ketika bantuan

telah diberikan, kesulitan lain yang muncul
adalah dalam menentukan letak bayangan
karena sinar-sinar pantul yang digunakan
tidak berpotongan. Fakta menunjukkan
bahwa siswa yang mengalami kesulitan
melukis bayangan cenderung memiliki
miskonsepsi yang kokoh dan sulit
diremidiasi.
Penyebab Timbulnya miskonsepsi
Berdasarkan hasil interaksi dengan
para responden yang mengalami miskonsepsi sebagaimana yang telah dipaparkan,
ditemukan beberapa penyebab terjadinya
miskonsepsi tersebut.Pertama, keterbatasan
pengetahuan faktual tentang fenomena
terkait. Miskonsepsi seperti (1) bayangan
nyata hanya dapat dilihat dengan bantuan
layar, (2) bayangan yang dihasilkan lensa
akan hilang/rusak jika sebagian besar
permukaan lensa ditutup, dan (3) posisi
bayangan pada cermin datar bergantung
pada posisi pengamat, muncul akibat
keterbatasan pengetahuan faktual tersebut.
Kedua, pengalaman sukses menerapkan pengetahuan prosedural meskipun

Sutopo, Miskonsepsi pada Optika Geometri dan Remidiasinya, 365

tidak disertai dengan pemahaman yang
baik tentang konsep yang mendasari
prosedur tersebut. Sebagaimana telah diuraikan, sebagian besar responden dapat
melukiskandan mendeskripsikan sifat-sifat
bayangan yang dihasilkan lensa dengan
menggunakan sifat-sifat tiga sinar istimewa. Dalam menyelesaikan tugas-tugas
terkait dengan pembentukan bayangan,
proses berfikir responden terfokus pada
upaya menentukan sinar mana dari ketiga
sinar istimewa tersebut yang cocok dengan
persoalan yang dipecahkan.Begitu sinarsinar yang diperlukan telah berhasil ditemukan, maka tugas berikutnya dapat
diselesaikan dengan mudah.Pengalaman
sukses dengan frekuensi yang cukup tinggi
tersebut telah mengantarkan siswa pada
suatu prinsip bahwa untuk melukis
bayangan pada lensa harus digunakan
minimal dua dari tiga sinar istimewa
tersebut. Prinsip tersebut pada gilirannya
berubah menjadikonsepsi bahwa bayangan
padalensa merupakan hasil perpotongan
sinar bias, atau perpanjangannya, dari
sinar-sinar istimewa.Konsepsi itulah yang
melahirkan miskonsepsi “tidak akan
terbentuk bayangan jika sebagian besar
permukaan lensa ditutup“.
Ketiga, kesalahan menginterpretasikan informasi diperkuat dengan
kecenderungan berfikir implikasi yang
tidak tepat. Munculnya miskonsepsi “bayangan nyata hanya dapat dilihat dengan
bantuan layar” juga didukung oleh faktor
ini.Informasi asli yang diterima kemudian
dihafalkan adalah “bayangan nyata dapat
ditangkap layar, sedangkan bayangan
maya tidak dapat ditangkap layar”. Selanjutnya, atribut “dapat ditangkap layar”
tersebut secara operasional bergeser
menjadi “karena dapat ditangkap layar,
maka untuk mengamati bayangan nyata
dapat dilakukan dengan menggunakan
layar”. Definisi operasional tersebut pada
perjalanannya berubah menjadi miskon-

sepsi “bayangan nyata hanya dapat dilihat
dengan bantuan layar” karena untuk
mengamati bayangan nyata diperlukan
bantuan layar.
Keempat, memperoleh pengetahuan
yang salah. Sebagian besar mahasiswa
yang mengalami miskonsepsi menyatakan
bahwa pengetahuan yang mereka peroleh
di sekolah memang seperti itu. Artinya,
miskonsepsi itu terwariskan dari guru.
Banyak penelitian yang menunjukkan
bahwa guru merupakan salah satu penyebab munculnya miskonsepsi (OganBekiroglu, 2007).
KESIMPULAN DAN SARAN
Telah terjadi beberapa miskonsepsi
pada sebagian besar mahasiswa dan guru
terkait prinsip-prinsip optika geometri.
Beberapa miskonspi tersebut berkaitan
dengan (1) peranan sinar-sinar istimewa
dalam pembentukan bayangan, (2) konsep
bayangan nyata, dan (3) bayangan yang
dihasilkan cermin datar (cermin rias).
Semua miskonsepsi yang ditemukan pada
studi ini terkait dengan topik yang sudah
dipelajari sejak di jenjang pendidikan
dasar.Sebagian besar miskonsepsi timbul
akibat keterbatasan pengetahuan faktual
dan pengetahuan konseptual yang dimiliki
responden.
Mengingat miskonsepsi tersebut
dapat dicegah atau diremidiasi sejak dini,
maka untuk mencegah terjadinya miskonsepsi tersebut pada siswa lain, berikut
dikemukakan beberapa hal pokok yang
perlu diupayakan dalam pembejaran optika
geometri di jenjang pendidikan dasar dan
menengah.
Pertama, perlunya memfasilitasi siswa untuk mengeksplorasi sebanyak mungkin pengetahuan faktual. Peran utama guru
dalam hal ini adalah memfasilitasi siswa,
baik dalam wujud penyediaan peralatan
maupun dalam bentuk pemberian arahan,
pertanyaan, atau tantangan. Fenomena-

366, J-TEQIP, Tahun V, Nomor 2, November 2014

fenomena yang dipaparkan pada tulisan ini
semuanya dapat dieksplorasi di semua
jenjang pendidikan, bahkan sejak di
sekolah dasar. Jika siswa telah memiliki
sejumlah pengetahuan faktual tentang halhal yang telah diuraikan di tulisan ini, kecil
kemungkinanterjadi berbagai miskonsepsi
sebagaimana yang telah diungkapkan.
Kedua, selain memberikan fasilitas,
penting bagi guru untuk mengecek atau
memverifikasi kevalidan data atau fakta
yang dikemukakan siswa. Memastikan
kevalidan fakta merupakan kunci dalam
kerja ilmiah, sebab hanya dengan data
yang validlah kebenaran suatu teori dapat
diuji. Juga hanya berdasarkan data yang
valid para ilmuwan mengembangkan teori.
Kevalidan suatu fakta dapat diuji dengan
melakukan pengamatan ulang atau
mempersilakan siswa lain menguji kebenarannya dengan prosedur yang sama.
Ketiga, aspek kebahasaan juga
merupakan hal penting yang perlu diperhatikan guru.Banyak istilah dalam IPA
yang tidak sepenuhnya semakna dengan
penggunaan sehari-hari. Sebagai contoh,
kata maya dan nyata pada frase “bayangan
nyata” dan “bayangan maya” memiliki
makna yang sedikit berbeda dengan makna
umum sehari-hari. Sebagaimana telah
disinggung, ada siswa yang berpendapat

bahwa bayangan nyata adalah bayangan
yang dapat diindra secara langsung, sedangkan bayangan maya adalah bayangan
yang tidak langsung dapat dilihat.Oleh
karena pemahaman kebahasaan seperti itu,
siswa tersebut bersikeras menyatakan
bahwa bayangan yang dihasilkan cermin
rias termasuk bayangan nyata, sedangkan
bayangan yang harus diamati dengan
menggunakan bantuan layar adalah bayangan maya. Contoh lain terkait dengan
topik optika adalah kata “normal”, yang
muncul pada frase “garis normal” dalam
hukum pembiasan cahaya. Penulis pernah
menjumpai siswa yang memaknai kata
normal tersebut sebagai “yang seharusnya”
atau “lawan dari tidak wajar”. Dia memaknai garis normal pada pembiasan
cahaya sebagai garis lurus yang dibuat
dengan memperpanjang sinar datang,
karena sinar itulah yang “seharusnya” ada
jika cahaya tidak dibiaskan. Tidak tertutup
kemungkinan bahwa di antara siswa kita
juga ada yang berpikiran seperti itu.Selain
dapat menyebabkan miskonsepsi (Parker,
2006) miskomunikasi akibat ketidaksamaan makna suatu kata juga sering berkontribusi pada ketidakvalidan dalam
mendeskripsikan suatu fakta.Oleh karena
itu, aspek kebahasaan merupakan aspek
yang sangat penting diperhatikan guru.

DAFTAR RUJUKAN
Allen, M. & Coole, H. (2012).
Experimenter Confirmation Bias
and the Correction of Science
Misconceptions. Journal of Science
Teacher Education, 23, 387–405.
Caleon, I. & Subramaniam, R. (2010).
Development and Application of a
Three-Tier Diagnostic Test to Assess
Secondary Students’ Understanding
of Waves. International Journal of
Science Education, 32, 939–961.
Clement,
J.
(1982).
Strudents’
preconceptions in introductory

mecahnics. American Journal of
Physics, 50, 66-71.
Creswell, J.W. (2012). Educational
research: Planning, conducting, and
evaluating
quantitative
and
qualitative research 4th ed. Boston,
MA: Pearson Education, Inc.
Duit, R., & Treagust, D. (2003).
Conceptual change: A powerful
framework for improving science
teaching and learning. International
Journal of Science Education, 25,
671–688.

Sutopo, Miskonsepsi pada Optika Geometri dan Remidiasinya, 367

Dykstra, D. I. Jr., Boyle, C. F., &
Monarch, I. A. (1992). Studying
conceptual change in learning
physics. Science Education, 76,
615–652.
Etkina, E. (2010). Pedagogical content
knowledge and preparation of hight
school physics teachers. Physical
Review
Special
Topic-Physics
Education Research.6, 020110.
Fazio, C., Guastella, I; Sperandeo-Mineo,
R.M. & Tarantino, G. (2008).
Modelling
mechanical
wave
propagation:
guidelines
and
experimentation of a teachinglearning sequence. International
Journal of Science Education, 30,
1491–1530.
Goldberg, F. & McDermott, L. (1986).
Student difficulties in understanding
image formation by a plane mirror.
The Physics Teacher, 472–480.
Goldberg, F. & McDermott, L. (1987). An
investigation of student understanding of the real image formed by
a converging lens or concave
mirror. American Journal of
Physics, 55, 108–119.
Halloun, I. A., & Hestenes, D. (1985). The
initial knowledge state of college
physics students. American Journal
of Physics, 55, 1043-1055.
Hammer, D. (1996). More than
misconceptions: Multiple perspectives on student knowledge and
reasoning, and an appropriate role
for education research. American
Journal of Physics,64, 1316–1325.
Hasan, S., Bagayoko, D., & Kelley, E. L.
(1999). Misconceptions and the
certainty of response index (CRI).
Physics Education, 34,294–299.
Heller, P., & Finley, F. (1992). Variable
uses of alternative conceptions: A
case study in current electricity.

Journal of Research in Science
Teaching, 29,259–275.
Lee, G. et al. (2003). Development of an
Instrument for Measuring Cognitive
Conflict in Secondary-Level Science
Classes. Journal of Research In
Science Teaching, 40, 585–603.
Leinonen,R.,Asikainen,
M.A.,
&
Hirvonen, P.E. (2013). Overcoming
students’ misconceptions concerning
thermal physics with the aid of hints
and peer interaction during a
lecture course. Physical Review
Special Topics - Physics Education
Research9, 020112.
Merhar, V.K., Planinsic, G, & Cepic, M.
(2009). Sketching graphs: An
efficient way of probing students’
conceptions.European Journal of
Physics, 30 (2009) 163–175.
Nilsson, P. & Loughran, J. (2012).
Exploring the development of preservice science elementary teachers’
pedagogical content knowledge.
Journal
of
Science
Teacher
Education, 23, 699–721.
Ogan-Bekiroglu, F. (2007). Effects of
model-based teaching on pre-service
physics teachers' conceptions of the
moon, moon phases, and other lunar
phenomena. International Journal of
Science Education, 29, 555–593.
Parker, J. (2006). Exploring the impact of
varying degrees of cognitive conflict
in the generation of both subject and
pedagogical knowledge as primary
trainee teachers learn about shadow
formation. International Journal of
Science Education, 28, 1545 –1577.
Parker, J. (2006). Exploring the impact of
varying degrees of cognitive conflict
in the generation of both subject and
pedagogical knowledge as primary
trainee teachers learn about shadow
formation. International journal of
Science Education, 28, 545–1577.

368, J-TEQIP, Tahun V, Nomor 2, November 2014

Potgieter, M. , Esther,M. , Estelle, G., &
Elsie, V. (2010). Confidence versus
performance as an indicator of the
presence of alternative conceptions
and inadequate problem-solving
skills in mechanics.International
Journal of Science Education, 32,
1407 –1429.
Sutopo & Waldrip, B. (2014). Impact of a
representational
approach
on
students’ reasoning and conceptual
understaning in leraning mechanics.
International Journal of Science and
Mathematics Education, 12, 741–
765.
Sutopo, Liliasari, Waldrip, B., & Rusdiana,
D. (2012). Impact of a representtational approach on the improvement of students’ understaning of
acceleration. Jurnal Pendidikan
Fisika Indonesia, 8, 161-173.

Van Heuvelen, A. (1991). Learning to
think like a physicist: A review of
research-based instructional strategies.
American Journal of
Physics.59, 891–897.
Wosilait, K., Heron, P., Shaffer , P. &
McDermott, L. (1998). Development
and assessment of a research-based
tutorial on light and shadow.
American Journal of Physics, 66,
906-913.

Dokumen yang terkait

PENGARUH PEMBERIAN SEDUHAN BIJI PEPAYA (Carica Papaya L) TERHADAP PENURUNAN BERAT BADAN PADA TIKUS PUTIH JANTAN (Rattus norvegicus strain wistar) YANG DIBERI DIET TINGGI LEMAK

23 199 21

KEPEKAAN ESCHERICHIA COLI UROPATOGENIK TERHADAP ANTIBIOTIK PADA PASIEN INFEKSI SALURAN KEMIH DI RSU Dr. SAIFUL ANWAR MALANG (PERIODE JANUARI-DESEMBER 2008)

2 106 1

ANALISIS KOMPARATIF PENDAPATAN DAN EFISIENSI ANTARA BERAS POLES MEDIUM DENGAN BERAS POLES SUPER DI UD. PUTRA TEMU REJEKI (Studi Kasus di Desa Belung Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang)

23 307 16

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

MANAJEMEN PEMROGRAMAN PADA STASIUN RADIO SWASTA (Studi Deskriptif Program Acara Garus di Radio VIS FM Banyuwangi)

29 282 2

ANALISIS PROSPEKTIF SEBAGAI ALAT PERENCANAAN LABA PADA PT MUSTIKA RATU Tbk

273 1263 22

PENERIMAAN ATLET SILAT TENTANG ADEGAN PENCAK SILAT INDONESIA PADA FILM THE RAID REDEMPTION (STUDI RESEPSI PADA IKATAN PENCAK SILAT INDONESIA MALANG)

43 322 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PEMAKNAAN BERITA PERKEMBANGAN KOMODITI BERJANGKA PADA PROGRAM ACARA KABAR PASAR DI TV ONE (Analisis Resepsi Pada Karyawan PT Victory International Futures Malang)

18 209 45

STRATEGI KOMUNIKASI POLITIK PARTAI POLITIK PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH TAHUN 2012 DI KOTA BATU (Studi Kasus Tim Pemenangan Pemilu Eddy Rumpoko-Punjul Santoso)

119 459 25