KONSOLIDASI TANAH DI INDONESIA Implement (1)

KONSOLIDASI TANAH DI INDONESIA:
Implementasi yang membutuhkan keteguhan hati
--------------------------------------------------------------------Oleh: Oloan Sitorus dan Tonny Pardomuan Purba*
---------------------------------------------------------------------Implementasi Konsolidasi Tanah (KT) sebagai kebijakan pertanahan
partisipatif dalam merestorasi atau mengembangkan wilayah tampaknya
belum mendapat komitmen yang kuat dari otoritas pertanahan. Terkesan ada
kegamangan untuk mengintensifkan pelaksanaan KT, oleh karena praksis KT
selama ini pun belum mencapai hasil yang maksimal, akibat belum
ditindaklanjutinya hasil pelaksanaan KT dengan pembangunan prasarana
jalan dan pembangunan fisik lainnya. Padahal tanahnya sudah disediakan
oleh kegiatan KT itu. Kealpaan tindaklanjut yang diharapkan dari instansi
yang memiliki otoritas dalam pembangunan fisik itu bahkan tidak jarang
sampai lebih dari 5 (lima) tahun setelah diserahkannya sertipikat tanah
kepada peserta KT. Komitmen yang tidak memadai juga tampak ketika
melakukan penataan kembali wilayah yang mengalami kerusakan akibat
tsunami di Aceh. Kerusakan wilayah yang masif, termasuk kerusakan
pertanahan di wilayah itu, dalam kebijakan pertanahan pada umumnya
hanya direspon dengan rekontruksi batas bidang tanah.
Namun, perkembangan terakhir ini tampak sedikit menggembirakan.
Kebangkitan kembali KT sebagai konsep kebijakan pertanahan dapat dilihat
pada beberapa praksis. Di tengah-tengah minimnya pelaksanaan kegiatan

KT, masih ada beberapa keberhasilan yang tampaknya memberi harapan,
seperti KT dalam menyelesaikan sengketa pertanahan di Kota Solo, Jawa
Tengah dan di Desa Perkebunan Sei Bala, Kecamatan Sei Balai, Kabupaten
Asahan, Sumatera Utara serta KT sebagai solusi terhadap kerusakan wilayah
akibat tsunami di salah satu desa di Kota Aceh, Banda Aceh. Success story
di ketiga lokasi pelaksanaan KT itu kiranya dapat dijadikan pelajaran, betapa
konsep KT masih dapat diandalkan untuk menyelesaikan persoalan
penguasaan dan pemilikan tanah yang tidak tertib dan penggunaan tanah
yang tidak teratur serta persoalan minimnya ketersediaan infrastruktur
dalam suatu wilayah karena keterbatasan tanah.
*
* Dr. Oloan Sitorus, S.H., M.S. adalah Staf Pengajar ‘Hukum Agraria’ pada Sekolah Tinggi
Pertanahan Nasional-Badan Pertanahan Nasional R.I., Yogyakarta ‘Kebijakan Agraria’ pada
Program Magister Bisnis IPB, Bogor, dan ‘Konsolidasi Tanah’ pada Program Doktor Ilmu
Hukum USU, Medan. Tonny Pardomuan Purba, S.ST adalah staf Kanwil Badan Pertanahan
Nasional Provinsi Sumatera Utara.

1

Solusi konflik pertanahan

KT yang dilakukan Kelurahan Kadipiro, Kampung Kragilan, di Kota Surakarta,
Jawa Tengah ditujukan untuk mengatasi konflik pertanahan antara okupan
sebanyak 54 Kepala Keluarga (KK) dengan pemegang Hak Milik (HM) atas
tanah sebanyak 16 orang. Okupasi itu berlangsung sejak 1997 dan luas
tanah yang diokupasi adalah 2.300 M2. Okupasi dimungkinkan, oleh karena
pemegang HM secara fisik tidak menguasai dan/atau menggunakan
tanahnya, sehingga para okupan yang umumnya merupakan golongan
ekonomi lemah itu, bahkan telah memiliki bangunan tempat tinggal yang
tidak teratur di atas tanah yang didudukinya. Bangunan-bangunan yang
tidak teratur dan miskin prasarana itu akhirnya menjadi permukiman kumuh.
Namun, dengan dukungan Walikota, instansi terkait lainnya, dan pihak
perbankan, masyarakat yang menduduki tanah milik orang lain itu
memungkinkan untuk diberdayakan.1
Sesuai dengan semangat reforma agararia, konflik pertanahan antara
para okupan dengan para pemilik tanah di atas diselesaikan dengan cara
mediasi. Kedua belah pihak menyadari kekuatan dan kelemahan posisi
masing-masing, sehingga memudahkan untuk mencapai titik temu.
Kesepakatan yang dibangun adalah bahwa tanah konflik tersebut diberikan
kepada para okupan, dengan catatan para okupan memberikan semacam
ganti kerugian (yang sangat kecil) kepada para empunya tanah. Para pemilik

tanah pun menerima tawaran itu oleh karena telah lama meninggalkan
tanah tersebut. Kealpaan penguasaan fisik oleh pemiliknya itulah sebagai
faktor utama yang memungkinkan tanah hak itu diduduki oleh para okupan.
Akhirnya, sebelum tanah yang menjadi objek konflik tersebut diberikan
kepada ke 54 KK okupan, maka tanah tersebut terlebih dahulu dikonsolidasi.
Dengan demikian, sebagian dari luas tanah itu dipotong untuk digunakan
sebagai jalan. Dengan fasilitas jalan tersebut, diharapkan kekumuhan lokasi
permukiman dapat diatasi, karena setiap persil tanah telah mempunyai
jalan. Bahkan, kualitas jalan tersebut sudah diperkeras dengan melakukan
pengkonblokan.
Pelaksanaan KT di atas, menghasilkan beberapa capaian berikut ini.
Pertama, diperoleh 54 bidang tanah yang telah mempunyai fasilitas jalan di
depan setiap kavling. Artinya, luas tanah yang seluas 2.300 M2, yang dimiliki
oleh 16 orang, dijadikan untuk dapat dimiliki 54 orang. Sebagian dari tanah
tersebut sudah dialokasikan bagi pembangunan jalan di depan setiap kavling
tanah yang sudah tertata tersebut. Kedua, tanah permukiman 54 orang
1
Kantor Pertanahan Kota Surakarta, Model Reforma Agraria Perkotaan – bekerjasama
dengan Pemkot, Perbankan dan Swasta.


2

tersebut, selain telah mempunyai fasilitas jalan, juga mempunyai berbagai
fasilitas lingkungan lainnya seperti diperolehnya tanah bagi pembangunan
gedung serba guna seluas 80 M2. Bahkan, gedung serba guna itu juga sudah
selesai dibangun dalam 1 tahun anggaran pelaksanaan kegiatan reforma
agraria dengan pola KT tersebut. Selain itu, ada juga fasilitas saluran air
yang sudah permanen (batu bata), dan tanah untuk pembangunan 10 toilet
(di samping 11 toilet yang sudah ada sebelum KT). Ketiga, terbangunnya
kelompok sosial yang memiliki semangat kebersamaan untuk meningkatkan
pendapatan mereka, seperti 15 orang yang mampu menjahit (garment), 4
kelompok yang berkreasi melalui kegiatan home industry (kue), dan 1 orang
menjadi penjual makanan (nasi liwet). Peningkatan ekonomi peserta KT ini
semula Rp 600.000,-, setelah KT meningkat menjadi Rp 900.000,- per bulan
per KK. Kegiatan garment, home industry, dan usaha penjuaan makanan di
atas dalam birokrasi pertanahan saat ini lebih dikenal masyarakat dengan
istilah access reform. Dengan berbagai tindakan dalam access reform
dimungkinkan bagi masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraannya.
Kehandalan KT sebagai solusi terhadap konflik pertanahan juga dapat
dicermati pada rangkaian pelaksanaan reforma agraria di Desa Perkebunan

Sei Balai, Kecamatan Sei Balai, Kabupaten Asahan, Sumatera Utara. Dalam
semangat reforma agraria, KT dilaksanakan untuk menyelesaikan konflik
pertanahan antara PT. PUSKOPAD DAM I Bukit Barisan (di Kabupaten Asahan)
dengan masyarakat. Perusahaan tersebut adalah pemegang Hak Guna
Usaha (HGU) No. 1/Desa Sungai Balai yang akan berakhir tahun 2006. Luas
areal perkebunan PT. PUSKOPAD itu adalah seluas 1.797,4 Ha. Ketika ingin
mengajukan perpanjangan, sebagian di antara areal perkebunan itu, yakni
seluas 568 Ha diklaim oleh masyarakat (355 KK), dengan rincian: 296 Ha
oleh Kelompok Tani Mandiri, dan 272 Ha oleh Kelompok Tani Tenera.
Sengketa itu telah berlangsung hampir 15 tahun. Berbagai upaya
penyelesaian yang melibatkan Pemerintah Daerah setempat, DPRD Tingkat I
Sumatera Utara dan DPR Pusat telah dilakukan, namun belum berhasil.2
Untuk menyelesaikan konflik itulah, maka pihak Kanwil BPN Provinsi
Sumatera Utara mengambil inisiatif untuk melakukan mediasi antara
perusahaan dan masyarakat. Setelah dilakukan dialog, pihak perkebunan
Pusat Koperasi Angkatan Darat (PUSKOPAD) bersedia melepaskan areal yang
dipermasalahkan itu untuk selanjutnya diserahkan kepada Kelompok Tani
Tenera dan Mandiri. Setelah dilepaskan timbul lagi masalah pembagian areal
kepemilikan masing-masing tanah tersebut. Untuk menyelesaikan masalah
2

Ethika Rahmawaty Saragih, Pelaksanaan Reforma Agraria di Kabupaten Langkat
dan Kabupaten Asahan Provinsi Sumatera Utara,
Skripsi pada Program Diploma IV
Pertanahan, Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional, Yogyakarta, 2008, hlm. 98, 102, 103.

3

itu, pihak BPN menawarkan pembagian tanah secara adil dengan cara
melakukan penataan melalui KT Lebih lanjut, dengan pola KT, bidang tanah
akan semuanya ‘menghadap ke jalan’, sehingga semua bidang tanah akan
mempunyai prasarana jalan.
Sesungguhnya, pelaksanaan reforma agraria dengan pola KT di
Kabupaten Asahan ini merupakan kelanjutan dari upaya otoritas pertanahan
untuk menyelesaikan sengketa pertanahan antara PUSKOPAD
dengan
masyarakat penggarap, yang sudah berlangsung sebelum dijadikan sebagai
lokasi reforma agraria. Sebagai hasil mediasi pihak Kanwil BPN Provinsi
Sumatera Utara, akhirnya dikeluarkan Keputusan Kepala BPN No. 11-V.B2005 tanggal 28 Maret 2005 tentang Pemberian Ijin Pelepasan Sebagian Hak
Guna Usaha Atas Tanah Terletak di Kabupaten Asahan. Surat Keputusan itu
berisi peringatan kepada pihak PUSKOPAD agar membuat pernyataan

pelepasan hak tanah yang tidak diperpanjang itu kepada pihak Koperasi
Karya Mandiri seluas 296 Ha dan Koperasi Tenera seluas 272 Ha. Tindak
lanjut dari Keputusan Kepala BPN di atas adalah dibuatnya Surat Pernyataan
Pelepasan Hak No. 550-1738/PH/12/2005 tanggal 28 Oktober 2005. Surat
pernyataan ini ditandatangani oleh pengurus PUSKOPAD di hadapan Kepala
Kantor Pertanahan Kabupaten Asahan. Secara sukarela Pihak PUSKOPAD
melepaskan hak dari tanah yang diklaim itu untuk selanjutnya diberikan
kepada kedua koperasi di atas tanpa diberikan ganti kerugian. Namun
ternyata, permasalahan belum tuntas dengan pelepasan hak itu, sebab
kemudian timbul masalah berkaitan dengan bagaimana cara pembagian
tanah secara adil kepada para petani penggarap. Inti persoalannya adalah
bagaimana membagi 568 Ha tanah garapan kepada 355 KK penggarap yang
tergabung dalam 2 koperasi. Untuk itulah, maka pihak Kanwil BPN Provinsi
Sumatera Utara menawarkan pembagian tanah secara adil dengan cara
penataan kembali sekaligus melengkapi tanah itu dengan prasarana jalan di
semua bidang tanah yang diklaim masyarakat itu, dengan konsep KT dalam
bingkai dan semangat reforma agraria.
Sesuai tahapan pensertipikatan berdasarkan proses KT, sebelum
tanah dijadikan objek KT, maka masyarakat harus melepaskan haknya
terlebih dahulu dengan berita acara pelepasan hak kepada Pemerintah

dalam hal ini BPN. Setelah itu, lokasi tersebut ditegaskan menjadi tanah
negara sebagai obyek KT Pertanian berdasarkan Keputusan Kepala Kanwil
BPN Provinsi Sumatera Utara No. 410.616 tanggal 5 April 2007 tentang
Penegasan Tanah Negara Sebagai Objek Konsolidasi Tanah Pertanian.
Sesudah ditegaskan, Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Asahan membuat
Surat Keputusan Pemberian Hak Milik kepada para peserta KT. Selanjutnya,

4

SK tersebut didaftarkan untuk memperoleh sertipikat sebagai bukti
kepemilikan tanah.
Upaya pemberian access reform pada pelaksanaan KT dalam bingkai
dan semangat reforma agraria di lokasi ini direncanakan dalam bentuk
bantuan dari pihak perbankan (BRI) untuk permodalan; sedangkan
pemasaran produksi dilakukan dengan harapan dukungan dari PT. Bakrie
Sumatera Plantation (BSP) yang berkedudukan di Kisaran. Kesediaan
dukungan itu dikonkritkan dalam suatu nota kesepahaman kerjasama (MOU).
Dalam pelaksanaannya, BRI dapat memberikan bantuan pinjaman Rp
5.000.000,- bagi tanah seluas 1 Ha dan Rp 10.000.000,- bagi tanah yang
seluas 2 Ha. Sayangnya, kerjasama dengan BSP belum berjalan

sebagaimana mestinya.3
Restorasi kerusakan wilayah
KT yang dilaksanakan sebagai upaya untuk merestorasi kerusakan wilayah
akibat tsunami terdapat di Desa Lambung, Kecamatan Meuraxa, Kota Aceh,
Banda Aceh. Desa ini merupakan salah satu desa (gampong) yang memiliki
letak sangat strategis di antara desa-desa lain karena letaknya yang
menghubungkan keseluruhan gampong dalam Kecamatan Meuraxa. Istilah
‘Lambung’ dapat diartikan sebagai sebuah kapal yang memiliki lambung
yang terletak pada bagian bawah kapal yang selalu tenggelam di bawah
permukaan air, sehingga kebanyakan masyarakat menyebutnya daerah
“Lambung”. Posisi letak geografis tersebut menyebabkan jika musim hujan
datang, Desa Lambung selalu tergenang (menjadi tampungan air hujan)
karena drainase tidak tertata dengan baik. Apalagi letaknya berada di bawah
permukaan jalan.4
Selain masalah ketergenangan tersebut, kondisi permukiman tidak
tertata dengan baik. Jika masuk ke dalam gampong, umumnya berupa jalan
setapak (lorong-lorong kecil) dengan kondisi berliku-liku, sehingga terkesan
kumuh. Kalaupun ada, akses/jalan terbatas pada rumah warga besar-besar
(banyak bangunan permanen). Bahkan terdapat pengalaman menyedihkan,
yakni ketika warga-masyarakat membawa jenazah yang akan dikebumikan

terpaksa melewati pinggiran rumah-rumah warga (melipir) karena sempitnya
gang/jalan waktu itu (sebelum gempa bumi dan tsunami). Tegasnya, tidak
semua rumah memiliki akses yang memadai.5
3
Ibid. hlm. 102-103
4
Letak Desa Lambangu memang berada di bawah permukaan jalan, yakni Jl. Iskandar
Muda, Banda Aceh.
5
Geuchiek adalah pimpinan gampong. Dalam sistem pemerintahan, disebut Kepala
Desa.

5

Gempa bumi yang diiringi tsunami yang sangat dahsyat pada tanggal
26 Desember 2004 mengakibatkan Desa Lambung kehilangan penduduk
sebanyak 1.037 jiwa dari 1368 jiwa penduduk sebelum tsunami 6. Berarti
hanya tersisa 331 jiwa yang masih hidup. Selain korban jiwa, Desa Lambung
juga mengalami kehancuran fisik rumah warga dan semua fasilitas umum
(meunasah, TPA, sarana air bersih, pelayanan kesehatan, dan sebagainya)

yang amat dahsyat. Semua fasilitas umum itu rata dengan tanah. 7 Desa
Lambung menjadi kawasan yang ”mati”.
Dalam sektor perumahan dan permukiman, dampak bencana tentu
juga sangat luar biasa. Hampir semua warga Desa Lambung kehilangan
tempat tinggal.8 Sesungguhnya, pasca tsunami tersebut berbagai institusi
berencana untuk membantu pembangunan kembali perumahan warga.
Hanya saja bantuan pembangunan perumahan oleh berbagai institusi
tersebut akhirnya batal, karena masyarakat menghendaki dilakukan
penataan desa terlebih dahulu. Dalam 1 (satu) bulan setelah tsunami, tidak
boleh ada orang luar yang membersihkan puing atau reruntuhan bangunan,
dengan maksud menghindari hilangnya batas-batas pemilikan tanah.9
Kerasnya pendirian masyarakat, agar tidak langsung membangun
permukiman, sebelum dilakukan penataan desa, karena suatu alasan bahwa
mereka berusaha untuk mempunyai perumahan dan permukiman yang baik,
dengan fasilitas lingkungan yang memadai, serta memungkinkan untuk
cepat menyelamatkan diri jika suatu ketika bencana alam datang lagi.
Penataan desa yang dimaksud akan dilakukan dengan KT (land
consolidation).
Pelaksanaan KT di Desa Lambung pada hakikatnya dilakukan dalam
2 (dua) tahap, yakni: (a) tahap perencanaan dan sosialisasi kegiatan; dan (b)
tahap pembuatan block plan dan desain KT serta penerapannya di lapangan.
6
Gampong Lambung, Profil Gampong Lambung Kecamatan Meuraxa, Kota Banda
Aceh, 2009, hlm. 1
7
Kecuali 1 (satu) bangunan rumah yang masih tersisa, namun tidak bisa digunakan
lagi. Bangunan rumah yang sudah rusak itu dibiarkan menjadi semacam monumen, untuk
mengingatkan kedahsyatan tsunami 26 Desember 2004.
8
Tentu, disamping itu orang-orang yang kehilangan anggota keluarga, maupun
kehilangan/kerugian material dan fisik lainnya.
9
Sebagai contoh dikatakan oleh Geuchiek, bekas sekolah (SMP 15) yang berada
dekat/di pinggir jalan raya yang berencana untuk dibego oleh Diknas, dilarang oleh warga.
Bahkan warga membuat surat kepada Walikota untuk mengingatkan bahwa jika tidak mau
menghentikan pekerjaan pembangunan kembali sekolah di lokasi semula, peralatan bego
dimaksud akan dibakar massa. Agar rencana penataan gampong terealisasi, disepakati
bahwa setiap bantuan harus sepengetahuan dan seijin Geuchiek setempat. Bantuan
pertama yang diperoleh dalam upaya penataan desa (gampong) adalah berupa
pembangunan barak, meunasah, dan fasilitas permukiman sementara serta supai air bersih
dan kebutuhan rumah tangga.

6

Pada tahap pertama, dilakukan perencanaan dan sosialisasi kegiatan
oleh Bank Dunia melalui Program ReKompak, yang bertugas mendampingi
pembangunan rumah pada Oktober-Desember 2005. Pada tahap ini, ada
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang berniat membangun rumah,
tanpa sebelumnya melakukan penataan desa. Akan tetapi, sebagaimana
dikemukakan di atas, pimpinan desa dan perangkatnya, beserta sebagian
warga desa melarang untuk pembangunan rumah tersebut, sebelum
dilakukan penataan desa. Penataan desa/gampong secara menyeluruh
dimaksudkan agar kondisi lingkungan tidak seperti sebelum tsunami.
Penataan desa/gampong tersebut didasarkan pada hasil musyawarah yang
disepakati oleh warga pasca tsunami. Inti kesepakatan adalah dilakukannya
pembuatan/penataan jalan dan drainase sebelum dilakukan pembangunan
rumah. Secara formal persetujuan pemilik tanah untuk mengikuti KT dibuat
dalam surat pernyataan.10
Tahap kedua, adalah fase pembuatan block plan, desain KT serta
penerapannya di lapangan. Pembuatan block plan dan desain KT adalah
pekerjaan teknis yang pada umumnya tidak berbeda dengan KT pada
umumnya. Hal menarik adalah ketika menerapkan KT tersebut di lapangan,
sebab ditemukan hal nonteknis yang harus diakomodasi, seperti pemindahan
makam para leluhur masyarakat. Awalnya masyarakat tidak mau melakukan
pemindahan, namun dengan keteladanan Kepala Desa yang mencontohkan
lebih dahulu pelaksanaan pemindahan makam keluarganya, akhirnya
masyarakat juga mengikuti keteladanan Kepala Desa tersebut.11

10
Untuk memperoleh persetujuan dari masyarakat, berbagai sugesti positif dilakukan
oleh Geuchiek, termasuk dengan memanfaatkan dimensi sosial masyarakat Aceh yang pekat
dengan nilai-nilai keagamaan. Pada suatu kesempatan sosialisasi Geuchiek secara verbal
bertutur: “tanah yang kita miliki bukan dari pembelian, bukan dari hasil bekerja keras kita,
melainkan merupakan warisan dari orang tua. Kalau saya dan pemilik tanah lainnya mau
menyumbang untuk jalan dan bangunan fasilitas lainnya serta untuk sedekah bagi pemilik
tanah yang luasnya kurang dari 100 meter, maka sesungguhnya yang melakukan sedekah
atau yang menyumbang adalah orang tua kita, leluhur kita. Sumbangan tanah ini berarti
untuk memberikan pahala (yang mendapatkan pahala kebaikannya) bagi orang tua yang
sudah meninggal atau para leluhur.”
11
Perhatikan pula, News Letter Korrexa, Edisi 04/VIII-1/06, hlm. 3 yang antara lain
menyatakan: “… satu hal yang mungkin dapat kita contoh dari Lambung adalah kesadaran
masyarakatnya, mereka bersedia merelakan lahannya untuk ditata ulang bahkan sebagian
lahan mereka diambil untuk pembangunan jalan tanpa ganti rugi, bahkan letak kapling
bangunan mereka yang juga berubah tidak dipermasalahkan.” Mengapa masyarakata Desa
Lambung hampir semua menyatakan kesediaannya untuk ditata dengan Konsolidasi Tanah?
Selanjutnya Korrexa menuturkan: “Mereka berpikir demikian karena masyarakat merasa
bahwa tanah Desa Lambung saat ini bukan tanah mereka, melainkan tanah orang tua
mereka terdahulu, sehingga apa yang mereka sumbangkan untuk pembangunan desa ini
dianggap sebagai amal ibadah untuk orang tua mereka yang mewariskan tanah untuk
warga di Desa Lambung ini.”

7

Selama
penyelesaian
administrasi
pertanahan
berjalan,
dimungkinkan pula berlangsungnya pekerjaan konstruksi, seperti:
pembuatan badan jalan, penimbunan genangan jalan, dan pembuatan
saluran/drainase oleh Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR);
pengerasan jalan dengan aspal, pembangunan fasilitas umum seperti
sekolah TK, SD, SMP, dan SMA oleh RCTI Peduli; pembangunan fasilitas sosial
seperti Puskesmas (1 gedung) oleh Bulan Sabit; pembangunan 1 (satu)
escape building oleh JICS; dan penghijauan desa oleh Dinas Kehutanan dan
BRR.12 Pekerjaan konstruksi lainnya adalah pembangunan rumah warga
berdasarkan atas bantuan/hibah dari Bank
Dunia (MDF) yang
pembangunannya dilakukan oleh masyarakat dan diawasai atau didampingi
oleh Re-Kompak dari P2KP.13
Dengan demikian, KT di areal bencana tsunami tersebut
menghasilkan administrasi pertanahan yang tertib kembali, dan
pembangunan fisik yang dilengkapi dengan berbagai fasilitas infrastruktur
jalan, fasilitas sosial dan fasilitas umum lainnya sebagaimana dikemukakan
di atas. Dengan KT, kebijakan pertanahan dapat dilaksanakan secara tuntas
dan pembangunan fisik di atas lokasi KT pun dapat diarahkan dan
dikondisikan untuk segera dibangun kembali, setelah dituntaskan penataan
kembali aspek pertanahannya. Bahkan dalam pelaksanaan KT di lokasi
bencana tsunami tersebut, pembangunan fisik dalam hal tertentu, dapat
dilakukan bersamaan dengan penataan aspek pertanahan.
Memetik pelajalaran dari ketiga pelaksanaan
KT sebagai konsep pertanahan partisipatif mampu dikembangkan sebagai
instrumen kebijakan untuk menyelesaikan konflik pertanahan, sarana untuk
menyediakan kembali berbagai infrastruktur pertanahan yang rusak atau
hilang pada lokasi bencana tsunami, dan ruang untuk mendorong otoritas
pembangunan fisik wilayah segera menyelesaikan pembangunan fisiknya di
atas tanah yang sudah ditata oleh KT.
Pelaksanaaan KT di ketiga lokasi di atas, kiranya sejalan dengan
gagasan untuk mulai mengintensifkan pengelolaan pertanahan yang
12

Rambat Sakwan, Laporan Pelaksanaan Konsolidasi Tanah Desa Lambung
Kecamatan Meuraksa Banda Aceh, Tim ReKompak, 2006, hlm. 12
13
Rumah-rumah yang dibangun semuanya rumah tipe 36 standar, hanya saja karena
kondisi gampung sering banjir (dan berada pada ketinggian 0,5 meter di atas permukaan
laut) maka sesuai dengan permintaan masyarakat semuanya rumah berada di atas fondasi
yang telah dinaikkan/ditinggikan sekitar 1 meter dari permukaan tanah semula (lihat
Gambar 6). Sebelum dan setelah tsunami kondisi gampong banyak tergenang air serta
bertujuan agar jika terjadi banjir di musim hujan rumah-rumah tidak tergenang lagi, selain
itu untuk mengantisipasi agar rumah-rumah tidak tergenang/kebanjiran juga sudah
dibuatkannya saluran pembuangan air/draenase yang cukup baik dan memadai.

8

berbasis wilayah (fisik dan sosial).14 Dengan pendekatan yang berbasis
wilayah ini akan lebih memungkinkan penyusunan program pertanahan yang
dapat mewujudkan tanah bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat. Sebab
dengan pengelolaan pertanahan yang berdasarkan kewilayahan (fisik dan
sosial) akan dapat ditangkap realitasi sosial dan akan dapat dibangun suatu
konsep
pertanahan
yang
lebih
komprehensif,
sehingga
mampu
mengakomodasi berbagai persoalan lebih variatif. Dengan demikian, bentukbentuk kegiatan yang dilakukan dalam rangka penyelesaian berbagai
masalah di lokasi pelaksanaan KT tidak berhenti pada tindakan rehabilitasi
dan rekonstruksi fisik semata, melainkan terus berlangsung berkelanjutan
dalam rangka memenuhi kebutuhan dasar masyarakat untuk pada akhirnya
meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Kebijakan pertanahan sesuai amanah konstitusi itu, memang
bukanlah sekedar melaksanakan administrasi pertanahan dalam arti sempit,
yang merasa selesai setelah melakukan legalisasi hubungan tenurial. Lebih
daripada itu, kebijakan pertanahan harus mengkondisikan keberadaan tanah
yang dimiliki masyarakat dapat meningkatkan kesejahteraannya. Tindak
lanjut berbagai kegiatan access reform, tentulah bukan domein otoritas
pertanahan. Namun, membangun atmosfir atau kondisi awal untuk
melakukan berbagai kegiatan ekonomi misalnya, di atas tanah yang ditata
dengan kegiatan pertanahan seperti KT, yang ditujukan untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat dapat diperankan oleh otoritas pertanahan.
Membangun atmosfir atau kondisi awal inilah yang oleh sebagian aparatus
pertanahan masih dipandang sebagai ”something beyond the call of duty”.
Oleh karena itu upaya penyadaran bahwa legalisasi hubungan
tenurial bukanlah tugas akhir pertanahan, kiranya masih perlu terus
dibangkitkan mengingat selama pemerintahan Orde Baru, otoritas
pertanahan secara sadar atau tidak sadar telah direduksi untuk sekedar
melakukan administrasi pertanahan. Otoritas pertanahan seakan kehilangan
ide, gagasan, dan kreativitas untuk mengkondisikan peningkatan
kesejahteraan rakyat melalui tanah yang dimilikinya. Namun, kesadaran
tentang pentingnya membangun berbagai kegiatan yang dapat
meningkatkan kesejahteraan masyarakat di atas tanahnya semakin disadari
oleh BPN RI yang dibentuk dan dikembangkan berdasarkan Perpres No. 10
Tahun 2006 jo Peraturan Kepala BPN RI No. 3 Tahun 2006. Oleh karena di
dalam struktur BPN RI yang baru, mulai dari otoritas pertanahan pusat,
provinsi, dan kabupaten kota, telah secara khusus dibentuk bagian dari
struktur organisasi yang menangani pemberdayaan masyarakat. Langkah
14
Perhatikan Pidato Kepala Badan Pertanahan Nasional R.I, pada perayaan UUPA Tahun
2009.

9

awal sebagai indikasi peningkatan keteguhan hati jajaran pertanahan sudah
tampak jelas dalam kebijakan pertanahan pasca Perpres No. 10 Tahun 2006.
Dalam pada itu, agar pada tataran implementasi kesungguhan BPN RI itu
membuahkan hasil yang optimal, kiranya diskusi yang mendalam dan
koordinasi yang intensif pada jajaran internal pertanahan, seperti antara
otoritas penataan pertanahan dan pemberdayaan masyarakat harus terus
dibangun. Gagasan yang kuat dan komitmen yang teguh di jajaran internal
otoritas pertanahan akan memperluas resonansi pentingnya kebijakan
pertanahan yang ditujukan pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Gema
kebijakan
pertanahan
yang
bertumpu
pada
upaya
peningkatan
kesejahteraan masyarakat itu perlu terus disuarakan agar tercipta melek
agraria yang meluas pada seluruh komponen bangsa. Bukankah critical mass
penting dicapai untuk mengimplementasikan suatu kebijakan?
Yogyakarta, 2 Oktober 2011

Daftar Pustaka
Badan Pertanahan Nasional R.I, 2009,Pidato Kepala Badan Pertanahan Nasional R.I Pada
Perayaan UUPA Tahun 2009.
Gampong Lambung, 2009, Profil Gampong Lambung Kecamatan Meuraxa, Kota Banda
Aceh.
Kantor Pertanahan Kota Surakarta, 2008, Model Reforma Agraria Perkotaan –
bekerjasama dengan Pemkot, Perbankan dan Swasta. Bahan Kuliah Umum di STPN,
Yogyakarta.
Saragih, Ethika Rahmawaty, 2008, Pelaksanaan Reforma Agraria di Kabupaten Langkat
dan Kabupaten Asahan Provinsi Sumatera Utara,
Skripsi pada Program Diploma IV
Pertanahan, Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional, Yogyakarta.
Sakwan, Rambat, 2006, Laporan Pelaksanaan
Kecamatan Meuraksa Banda Aceh, Tim ReKompak.

Konsolidasi

Tanah

Desa

Lambung

Sitorus, Oloan, 2008, Reforma Agraria di Indonesia (Konsep Dasar dan Implementasi,
Makalah ini dipresentasikan pada Workshop ”Permasalahan Tanah di Kabupaten Simalungun
Tahun Anggaran 2008”, pada tanggal 3 Desember 2008, di Hotel Inna, Parapat, Kabupaten
Simalungun, Provinsi Sumatera Utara.

10