DEMOKRASI DAN KETATANEGARAAN INDONESIA docx
DEMOKRASI DAN KETATANEGARAAN
INDONESIA
By. M.Rifqinizamy Karsayuda
https://rifq1.wordpress.com/perihal/
Abstrak
Ideologi demokrasi yang diklaim oleh berbagai negara sekarang ini kerap kali
ditolak lantaran tak seideal gagasannya di ranah implementatif. Indonesia yang
secara konstitusional menyatakan diri sebagai penganut kedaulatan rakyat, serta
negara hukum menegaskan pengaturan berbagai asas tentang demokrasi dalam
UUD 1945. Tulisan ini, selain menginventarisir diskursus teoritikal soal
demokrasi, juga memperllihatkan betapa secara yuridis ketatanegaraan pilihan
terhadap ideologi ini dianggap paling memungkinkan untuk diterapkan di
Indonesia.
Kata Kunci : Demokrasi, Indonesia, Ketatanegaraan
Abstract
Democracy ideology that is claimed with several countries, is usual not ideal in
practices land. Indonesia as country that people souverignity and rule of law
principles in its constitution ruled democracy principles in UDD 1945. This paper
will be inventerise teoritical discourse about democracy and look in depth the
choice of democracy in Indonesia as possibility choices than other ideology.
Keywords : Democracy, Indonesia, Constitutional
Pendahuluan
Sebagai sebuah ideologi, demokrasi kerap dihadapkan pada dua realita. Di satu
pihak, demokrasi biasanya dijadikan ideologi yang menjadi basis bagi terciptanya
pemerintahan yang aspiratif. Sedangkan di sisi yang lain, demokrasi kerap ditolak,
karena klaim kebenaran yang dipegang demokrasi bersandar pada kebenaran
mayoritas. Bagi para pengkritik demokrasi, kebenaran mayoritas tidak selamanya
menghadirkan kebenaran yang sesungguhnya. Ujung dari kritik terhadap
demokrasi ini biasanya ditunjukkan melalui pelbagai realita penyimpangan
demokrasi di berbagai negara belakangan ini. Realita yang memperlihatkan
ketidaksingkronan antara nilai-nilai demokrasi dengan terciptanya keteraturan di
masyarakat.
Penolakan terhadap demokrasi sesungguhnya berlangsung sejak ribuan tahun
silam, bahkan di masa-masa awal ideologi ini muncul. Arestoteles, seorang filusuf
yang amat masyhur, adalah salah seorang penentangnya. Arestoteles beranggapan
bahwa, demokrasi adalah bentuk pemerosotan sistem pemerintahan.[1]
Oleh Arestoteles, demokrasi disebut sebagai mobocracy atau the rule of mob,
yaitu pemerintahan yang dilakukan oleh massa, yang pada ujungnya hanya akan
melahirkan anarkhisme. Arestoteles nampaknya lebih setuju dengan sistem
pemerintahan yang dikendalikan oleh sekelompok orang terpelajar.[2] Oleh
Aristoteles ini disebut sebagai sistem pemerintahan oligharkhi dalam bentuk yang
positif. Ketika pemerintahan dikendalikan oleh ataupun atas nama rakyat
mayoritas, maka pemrintahan tersebut sukar dikendalikan, demikian argumen
penolakan Arestoteles atas demokrasi.
Meskipun demikian, belakangan hari hampir seluruh negara mengklaim menjadi
negara demokrasi, termasuk Indonesia. Klausula Konstitusi kita yang menyatakan
bahwa “Kedaulatan berada di tangan rakyat” merupakan penerimaan terhadap ide
demokrasi secara tersirat.
Tulisan ini mencoba melihat relasi antara ide demokrasi dengan system
ketatanegaraan yang dibangun di tempat kita, yang secara sederhana dapat
ditelusuri dari pelbagai pengaturannya dalam UUD 1945.
TINJAUAN PUSTAKA
Tafsir Demokrasi
Sebagaimana substansinya, demokrasi secara makro ditafsirkan sebagai
pemeritahan yang berasal dari rakyat sebagaimana asal kata dari demokrasi, yaitu
demos yang berarti rakyat dan cratein yang berarti pemerintahan.[3] Abraham
Lincon dalam pidato inagurasi Presiden-nya menyatakan demokrasi sebagai
pemerintahan yang berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Berdasarkan
tafsir itu, beberapa ilmuwan memberikan kreteria demokrasi, diantaranya
Bringhamm, Arend Liyphard dan Afan Gaffar.
Bringhamm memberikan lima kriteria untuk melihat apakah demokrasi betul-betul
terwujud dalam suatu negara, kelima kriteria tersebut adalah:
1. 1.
The legitimacy of government rest on a claim to represent the desire
of its citizen. that is, the claim of the government to obedience to its laws
is based on the government’s assertion to be doing what they want its to
do.
2. 2.
The organized arrangement that regulated this bargain of legitimacy
is the competitive political election. Leaders are elected at regular
interval, and voters can choose among the alternative candidates.
3. 3.
Most adult can participate in the electoral process, both as voters
and as candidates for important political office.
4. 4.
5. 5.
Citizen voters are secret and not coerced
Citizen and leaders enjoy basic freedom of speech, press, assembly
and organization[4].
Afan Gaffar memberikan kriteria terhadap demokrasi dalam pemahaman empirik,
ada empat kriteria yang diberikannya, yaitu:
1. Akuntabilitas; yakni setiap pejabat publik harus dapat mempertanggung
jawabkan kinerjanya kepada publik (rakyat), termasuk apa saja yang
pernah, sedang dan akan dilakukannya.
2. Adanya rotasi kekuasaan; dalam demokrasi rakyat harus diberikan
kesempatan yang sama dalam memangku suatau amanah rakyat secara
keseluruhan, dengan jalan terjadinya rotasi kekuasaan yang diatur jelas
proses dan temponya.
3. Adanya rekrutmen politik terbuka; yakni jabatan-jabatan yang terdapat
dalam institusi politik, semacam partai politik diperuntukkan untuk semua
orang, tanpa memandang kolutivisme dan nepotisme. Rekrutmen politik
terbuka pada akhirnya akan mengikis oligarkhi politik dalam suatu negara.
4. Adanya penghargaan terhadap hak-hak dasar, seperti hak untuk berbicara,
hak untuk berserikat, hak untuk berkumpul, hak untuk menyuarakan
pendapat lewat media massa dan lain-lain.[5]
Menurut Arend Liyphard ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi suatu negara
yang menganut paham demokrasi, kriteria tersebut adalah:
1. Adanya kebebasan untuk membentuk dan menjadi anggota perkumpulan
2. Adanya kebebasan menyatakan pendapat
3. Ada hak untuk memberikan suara dalam pemungutan suara
4. Ada kesempatan untuk dipilih atau menduduki berbagai jabatan
pemerintahan negara
5. Ada hak bagi para aktivis politik berkampanye untuk memperoleh
dukungan atau suara
6. Terdapat berbagai sumber informasi
7. Ada pemilihan yang bebas dan jujur
8. Semua lembaga yang bertugas merumuskan kebijakan pemerintah, harus
tergantung keinginan rakyat[6].
Menurut Sri Soemantri, jika melihat demokrasi dari pengertian harfiah diatas,
maka hal tersebut tidaklah mungkin diwujudkan, oleh karena adalah mustahil
orang yang berjumlah lebih banyak memerintah orang yang lebih sedikit[7].
Sehingga menurutnya, Aristoteles dalam membicarakan bentuk-bentuk
pemerintahan yang ada dan yang seharusnya berlaku, beranggapan bahwa
demokrasi itu termasuk salah satu bentuk pemerosotan.
Oleh Arestoteles sebagaimana disinggung di pendahuluan tulisan ini, demokrasi
biasa disebut sebagai mobocracy atau the rule of the mob yaitu pemerintahan yang
dilakukan oleh massa, sehingga pada akhirnya akan mendatangkan anarki.
Argumentasi yang dibangun Aristoteles tersebut ada hubungannya dengan teori
siklus pemerintahan yang dikemukakan oleh Polybios.
Ia mengatakan bahwa mula-mula pemerintahan itu berbentuk monarki, tetapi
kemudian karena manusia itu tidak sama sifatnya, maka apabila keturunan rajaraja tersebut yang merintah itu kemudian menggantikan dan memerintah dengan
sewenang-wenang, maka timbullah suatu tirani, dimana raja-raja itu hanay
memperhatikan kepentingannya sendiri-sendiri.
Kemudian diantara kaum bangsawan timbul perasaan tidak puas dan
menggulingkan raja-raja tersebut hingga terjadilah aristokrasi yang sama serta
tidak abadi, maka muncullah oligarkhi, yaitu pemerintahan oleh sekelompok
orang demi kepentingan mereka sendiri.dan pemerintahan yang demikian ini akan
ditentang kembali oleh rakyat yang melahirkan demokrasi.[8]
Sehingga apa yang disebutkan Sri Soemantri diatas dapat dipahami dalam kontek
demokrasi secara formil, atau dalam makna harfiah, Sehingga adalah menarik
untuk melihat demokrasi dari sisi substansinya/isinya. Untuk itu penulis mencoba
mengutip pendapat Robert K. Carr sebagai berikut[9] ;
A further difficulty about divining democracy is that the term is used to describe
both an ideology and an actual governmental mechanism.
people refer to the former when they talk about democratic way of life, and the
letter when the talk about democracy in action. In other words, democracy is both
theory and practice
( Terjemahan bebas ; Suatu hal yang cukup sulit untuk mendifinisikan demokrasi
adalah terjadinya pendiskipsian ganda antara demokrasi sebagai suatu ideologi
dengan demokrasi sebagai suatu mekanisme pemerintahan yang dilakukan secara
aktual.
Masyarakat selalu mengacu pada masa lalu ketika mereka membicarakan
demokrasi, baik sebagai pandangan hidup (ideologi), maupun sebagai aksi. Atau
dalam bahasa lain, demokrasi akan dimaknai (oleh masyarakat) sebagai teori dan
praktek).
Dalam pandangannya, Carr menyatakan bahwa dalam aras praktiknya, demokrasi
bukan hanya dimaknai sebagai sebuah ideologi, melainkan juga sebagai sebuah
praktek yang terjadi dalam masyarakat, terutama mengenai mekanisme
pemerintah dalam menjalankan pemerintahannya.
Dalam kerangka berpikir demikian, relevan untuk melihat demokrasi dari
perspektif ilmu politik, dimana demokrasi dibagi dalam dua pemahaman, yakni;
demokrasi dalam arti normatif dan demokrasi dalam arti empirik[10]. Demokrasi
dalam pemahaman normatif merupakan sesuatu yang ideal untuk diselenggarakan
oleh suatu negara, nilai ideal terhadap demokrasi ini, biasa dapat ditelusuri lewat
konstitusi suatu negara, di Indonesia, demokrasi dalam ranah normatif dapat
dilihat dalam Pasal 1 ayat (2) , maupun Pasal 28 UUD 1945, yang menegaskan;
Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dijalankan berdasarkan Undang-undang
Dasar (Pasal 1 ayat (2) ).
Kemerdekaan bertserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan
tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang (Pasal 28).
Sedangkan dalam pemahaman empirik, demokrasi dilihat sebagai perwujudan
kehidupan politik praktis suatu negara sebagaimana parameter-parameter
demokrasi yang disusun oleh beberapa pakar diatas[11].
Paham demokrasi berdasarkan kreteria-kreteria diatas berdasarkan subjek yang
berdaulat atasnya, dapat dibagi menjadi :
1. demokrasi liberal dan;
2. demokrasi yang berketuhanan.
Membagi demokrasi pada dua pemahaman, liberal dan berketuhanan,
sesungguhnya mengulang kembali diskursus antara teori kedaulatan rakyat
(people sovereignty) dan teori kedaulatan Tuhan (God sovereignty).
Menurut C.S.T Kansil, kedaulatan memiliki tiga karakter, yaitu asli, tertinggi dan
tak dapat dibagi-bagi. Kedaulatan memiliki sifat asli, karena ia bukan berasal dari
kekuasaan lain. Kedaulatan juga merupakan kekuasaan yang tertinggi dan
karenanya ia tidak dapat dibagi-bagi dengan kekuasaan yang lain.[12] Jika sumber
kedaulatan itu adalah rakyat, maka rakyat dianggap sebagai pemilik kekuasaan
tertinggi. Karena rakyat dianggap supreme, maka pemerintahan yang terbentukpun mesti berdasarkan cara-cara tertentu yang meletakkan rakyat sebagai
pembentuknya.
Demokrasi dalam arti liberal biasanya dimaknai mirip dengan logika ini.
Demokrasi semata-mata diletakkan sebagai suatu ideologi yang meletakkan rakyat
di tempat tertinggi piramida kekuasaan. Dengan logika ini pula, segala bentuk
pemerintahan yang terbentuk tanpa mengikutsertakan rakyat dianggap tidak
demokratis. Tidak hanya pada titik itu saja, demokrasi liberal juga menempatkan
rakyat sebagai sumber pembuatan hukum. Hukum yang demokratis adalah hukum
yang dibentuk atas kehendak rakyat, baik secara langsung maupun melalui
perwakilan.
Hampir seluruh penganjur demokrasi mengikuti faham demokrasi liberal ini.
Robert A.Dahl misalnya, ketika membahas tentang keuntungan-keuntungan
demokrasi, ia menyebutkan pelbagai keuntungan yang semuanya menempatkan
rakyat sebagai subjek sekaligus objeknya. Beberapa keuntungan demokrasi yang
dikemukakan Dahl, antara lain ;
a)
Demokrasi menolong mencegah tumbuhnya pemerintahan oleh kaum
otokrat yang kejam dan licik;
b)
Demokrasi menjamin bagi warga negaranya dengan sejumlah hak asasi yang
tidak diberikan dan tidak dapat diberikan oleh sistem yang lain;
c)
Demokrasi membantu rakyat untuk melindungi kepentingan dasarnya;
d) Pemerintahan demokratis dapat memberikan kesempatan sebesar-besarnya
untuk menjalankan tanggung jawab moral;
e)
Pemerintahan yang demokratis dapat membantu lahirnya persamaan tingkat
politik yang relatif sama.[13]
Henry B.Mayo dalam memberikan tafsir demokrasi juga menekankan
pembentukan pemerintahan oleh rakyat. Ia menyatakan : “ A democratic political
system is one in which public policies are made on a majority basis…”[14].
Pertemuan para pakar hukum yang tergabung dalam Commission of Jurist di
Bangkok juga membuat rumusan yang tidak jauh berbeda tentang demokrasi,
yaitu “ a form of government where the citizens exercise the same right”.[15]
Sebaliknya, dalam teori kedaulatan Tuhan, yang diangap memiliki kekuasaan
tertinggi adalah Tuhan. Rakyat atau manusia tetap diberikan otoritas, namun
otoritas yang dimiliki rakyat bukanlah otoritas asli, melainkan pemberian dari
Tuhan berdasarkan wahyu-wahyu-Nya. Dalam ideologi demokrasi, pengaruh teori
kedaulatan Tuhan ini merubah cara berpikir sebagian ahli tentang demokrasi
sebagai implementasi dari kedaulatan rakyat an sich. Disinilah titik awal lahirnya
demokrasi berketuhanan.
Abu A’la Al-Maududi misalnya, dalam bukunya Al-Khilafah Wa Al-Mulk
mengemukanan tesis tentang perkawinan teori kedaulatan Tuhan dan kedaulatan
rakyat yeng menurutnya melahirkan satu sistem teo-demokrasi. Oleh Maududi,
sistem pemerintahan yang mengikutsertakan rakyat adalah sistem terbaik, sebab
selama pemerintahan dipegang oleh kelompok tertentu dan sifatnya tertutup hanya
akan melahirkan ketidak baikan. Maududi bahkan secara tegas mengkritik praktek
di masa-masa kekhalifahan Islam, termasuk kekhilafahan pasca Rasulullah yang
dianggap tidak melibatkan peran masyarakat secara luas[16].
Kendati demikian, oleh Maududi, pemerintahan yang mengikutsertakan rakyat itu
harus tunduk pada hukum Allah sebagai sesuatu yang tertinggi. Tuhan menurut
Maududi, adalah sesuatu yang tunggal, termasuk dalam penciptaan hukum. Dalam
titik inilah, manusia tak punya otoritas untuk menciptakan hukum, kecuali
memberi tafsir atas ketidakjelasan atau kekosongan hukum berdasarkan kondisi
tertentu melalui ijtihad. Inilah yang dimaksud dengan demokrasi berketuhanan.
PEMBAHASAN
Munculnya gagasan mengenai negara hukum (law state), yaitu negara yang
dijalankan berdasarkan hukum yang berlaku, membuat ideologi demokrasi harus
bersentuhan dengan gagasan ini. Sekarang ini, tak ada satu negara-pun yang tak
mengakomodir gagasan negara hukum.
Tak ada negara yang diperintah, tanpa hukum yang dijunjung tinggi di negara
tersebut. Di lain pihak, gagasan negara hukum hanya akan dapat terbentuk jika
adanya pemerintahan yang demokratis, sebab hanya pemerintahan yang
demokratis yang mau tunduk pada hukum yang dibuat secara aspiratif. Dari relasi
itu, lahirlah ciri-ciri dari negara hukum dewasa ini, seperti berikut ;
a)
Adanya perlindungan terhadap hak-hak warga negara dalam Konstitusi;
b)
Terdapatnya badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak;
c)
Pemilihan Umum yang bebas;
d)
Kebebasan untuk menyatakn pendapat;
e)
Kebebasan untuk berorganisasi/berserikat dan berkumpul; dan
f)
Adanya pendidikan kewarganegaraan (civic education).[17]
Teori mengenai negara hukum ini, menempatkan konstitusi sebagai hukum
tertinggi dalam suatu negara. Hans Kelsen yang dilanjutkan oleh muridnya Hans
Nawiasky dalam Stafenbau theory menyatakan, konstitusi sebagai gerund norm
atau norma dasar dalam suatu negara. Norma dasar itu sangat bersifat asasi dan
menjadi ruh bagi terbentuknya peraturan perundang-undangan di bawahnya.
Sebagai gerund norm, konstitusi dapat bersifat tertulis dan tak tertulis.[18]
Dalam negara hukum, pelbagai karakter dan sifat demokrasi sebagaimana
dijabarkan di atas dijamin dan diatur dalam konstitusi suatu negara. Pengaturan
nilai-nilai demokrasi dalam konstitusi memberikan petunjuk bahwa demokrasi
dijadikan ruh bagi tata kelola negara tersebut. Dalam konteks inilah lahir negara
yang demokratis berdasarkan konstitusi.
Dalam ranah ke Indonesiaan, pembahasan terkait negara hukum dapat ditelusuri
dari rumusan pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan : Negara Indonesia
adalah negara hukum. Di lain pihak, Indonesia juga meletakkan rakyat sebagai
sesuatu yang paling berdaulat. Hal ini ditegaskan dalam pasal 1 ayat (2) UUD
1945 yang menyatakan : Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan
menurut undang-undang dasar.
Kedua rumusan di atas sekaligus menegaskan bahwa Indonesia adalah negara
hukum yang demokratis berdasarkan konstitusi (UUD 1945) atau dengan kata
lain, negara yang berfaham demokrasi konstitusional.
Di dalam UUD 1945 pasca amandemen terdapat karakter demokrasi yang amat
menonjol dalam sistem ketatanegaraan kita. Karakter-karakter tersebut dapat
ditelusuri dari batang tubuh UUD 1945, yaitu :
1)
Adanya mekanisme pembentukan pemerintahan yang aspiratif melalui
Pemilihan Umum. Hal ini terlihat dalam pengaturan tentang pemilihan Presiden
dan Wakil Presiden (Pasal 6A), pemilihan umum anggota DPR dan DPD (pasal 19
ayat (1) jo pasal 22C ayat (1)), serta pengaturan tentang pemilihan umum yang
dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil (Pasal 22E).
2)
Adanya kemungkinan terjadinya rotasi kekuasaan yang terbuka melalui
mekanisme pemilihan umum yang berlangsung setiap lima tahun sekali (Pasal
22E ayat (1)), dan pembatasan masa jabatan, seperti pembatasan masa jabatan
Presiden dan/atau Wakil Presiden (Pasal 7).
3)
Adanya pembagian kekuasaan yang tegas antara lembaga-lembaga negara
sesuai dengan tugas dan wewenangnya. Penyelenggaraan fungsi eksekutif
dilaksanakan oleh Presiden dan Wakil Presiden, serta dibantu oleh para
menteri(Pasal 4,5,10,11,12,13,14,15,16 dan 17). Pelaksanaan kekuasaan legislatif
dilakukan oleh DPR dan DPD (Pasal 19,20,21,22,22A,22B dan 22C) .
Pelaksanaan kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh Mahkamah Agung beserta
badan peradilan-peradilan di bawahnya dan Mahkamah Konstitusi (Pasal 24).
Pelaksanaan kekuasaan pengawasan/auditif dilakukan oleh BPK (Pasal 23E).
4)
Hadirnya lembaga-lembaga negara penunjang (the supporting organ),
seperti komisi pemilihan umum (Pasal 22E), Bank Sentral (pasal 23 D) dan
Komisi Yudisial (Pasal 24B) dalam menjalankan tugas ketatanegaraan tertentu.
5)
Adanya jaminan kesetaraan hak-hak warga negara dan perlindungan hak
asasi manusia, seperti kesamaan hak dalam pemerintahan, hak untuk menyatakan
pendapat, hak untuk mendapatkan pendidikan, pekerjaan, hak untuk memeluk
agama dan kepercayaan serta hak-hak lainnya (Pasal 27, 28, 29, 30, 31, 32, 33,
34).
Berdasarkan karakter-karakter demokrasi yang terdapat dalam UUD 1945
tersebut, maka negara kesatuan Republik Indonesia adalah negara yang menganut
ideologi demokrasi dengan mengedepankan kedaulatan rakyat sebagai
panglimanya. Ide demokrasi-liberal demikian dianut Indonesia, dikarenakan
beberapa alasan :
1)
Alasan Sosiologis
Secara sosiologis, masyarakat Indonesia terdiri dari ribuan suku, serta ratusan
agama, mulai dari agama-agama resmi yang diakui negara hingga agama-agama
lokal yang dianut oleh komunitas stink tertentu di berbagai wilayah Indonesia.
Keanekaragaman itu, membuat Indonesia tidak mungkin memiliki satu ideologi
tunggal, termasuk dalam merumuskan Konstitusinya. Demokrasi berketuhanan
misalnya, akan sangat sukar diterapkan di Indonesia, sebab tafsir “Tuhan” akan
diterjemahkan beragam oleh beragam komunitas yang ada. Dalam tataran
perumusan sumber hukum, akan ditemukan kesulitan, sebab sumber hukum
“Tuhan” mana yang dapat dipergunakan.
2)
Alasan Politis
Multikultural dan multi-ideologi masyarakat Indonesia membaginya kepada
setidaknya tiga kelompok ideologi, yaitu : Islam, nasionalis dan sekuler. Ketiga
Ideologi itu belakangan mengerucut pada dua kelompok ideologi, Islam dan
Nasionalis.
Kedua kelompok ini semakin mengkristal dalam arena politik Indonesia.
Kalangan nasionalis yang mendapat ikutan dari kalangan sekuler dan kelompok
non-Islam lebih nyaman dengan penggunaan demokrasi-liberal sebagaimana ruh
UUD 1945 di atas. Dan tidak pada tempatnya, kalangan Islam untuk memaksakan
ideologi Islamnya demi tegaknya teo-demokrasi, sementara kesatuan bangsa
adalah jaminannya.
3)
Alasan Historis
Secara historis, digunakan ideologi demokrasi dalam Konstitusi kita terkait
dengan sejarah terbentuknya republik ini di masa lalu. Dalam teori pembentukan
negara, terdapat dua alasan terbentuknya suatu negara.
Pertama : terbentuknya negara berdasarkan kesamaan etnik atau suku. Munculnya
negara atas alasan ini memungkinkan keberlangsungan negara dalam jangka yang
panjang, bahkan dalam beberapa kajian, negara-negara yang telah terpecah dapat
bersatu kembali atas alasan kesamaan etnik ini Hal ini dapat dilihat dari
bersatunya kembali Jerman Barat dan Timur menjadi Konfederasi Jerman, China
dan Hongkong, kedepan mungkin antara Korea Selatan dan Utara.
Kedua : negara terbentuk atas alasan persamaan nasib. Nasib dalam konteks ini
bias dikarenakan adanya persamaan nasib atas keterjajahan oleh bangsa lain,
kemiskinan, keterbelakangan dan lain sebagainya. Indonesia yang sebelum
kemerdekann terdii dari daerah-daerah memiliki kesamaan atas penjajahn yang
berlangsung ratusan tahun. Kesamaan nasib terjajah inilah yang menghimpun
daerah-daerah tersebut menjadi satu kesatuan bernama Indonesia.
Secara teoritis, negara yang terbentuk oleh persamaan nasib rawan dengan
disintegrasi. Salah satu cara agar disintegrasi itu terhindari adalah dengan
membuat banyak konsensus dalam pelbagai perumusan ketatanegaraan. Indonesia
memilih demokrasi –liberal dalam konstitusinya sebagai konsensus
ketatanegaraan untuk menjaga diri dari disintegrasi.
Pilihan para pendiri negara untuk membentuk negara kesatuan di Indonesia juga
dilatar belakangi oleh kekhawatiran akan “retaknya” bangsa ini, jika
menggunakan bentuk federal yang konsekwensinya memberikan ruang amat besar
bagi setiap daerah yang nyata-nyata berbeda dan berpotensi meretas jalannya
masing-masing.
Pilihan membentuk negara menjadi kesatuan dengan tidak begitu banyak memberi
ruang aspirasi kepada daerah belakang dikoreksi pula dengan melahirkan
kebijakan otonomi daerah. Secara filosofis, otonomi daerah adalah bentuk
demokratisasi terhadap daerah dalam pembuatan kebijakannya.
Secara yuridis, terminologi otonomi daerah diatur dalam pasal 1 ayat (5) UU
No.32 Tahun 2004, yaitu :
“otonomi daerah adalah hak, kekuasaan, dan kewajiban daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.
Dalam rangka menjalankan otonomi daerah tersebut, setiap daerah memiliki
kekuasaan dalam berbagai bidang, kecuali yang menjadi kekuasaan pemerintah
pusat. Kekuasaan pemerintah pusat tersebut ditegaskan dalam pasal 10 ayat (3)
UU Nomor 32 tahun 2004, yaitu meliputi kekuasaan dalam bidang :
a. politik luar negeri
b. pertahanan
c. keamanan
d. peradilan
e. moneter dan fiskal, dan;
f. agama
Berdasarkan aturan di atas, otonomi daerah jelas memberikan kekuasaan yang
sangat besar kepada setiap daerah. Menurut Jimly Asshiddiqie, otonomi daerah di
Indonesia dilihat dari pembagian kekuasaan antara pemerintah daerah dengan
pemerintah pusat tidak jauh berbeda dengan di negara yang menganut bentuk
federal[19]. Hal ini dilandaskan pada teori kekuasaan residu (sisa) atau residual
power di suatu negara. Di negara-negara federal umumnya, kekuasaan sisa berada
di pemerintahan federal (pusat), sementara kekuasaan yang proporsinya lebih
banyak justru berada di negara-negara bagian[20].
Jika konsekwen menerapkan asas dan pembagian kewenangan otonomi
sebagaimana diatur dalam Konstitusi dan pelbagai peraturan perundangundangan, termasuk UU No.32 Tahun 2004 sebagaimana disebutkan di atas, maka
banyak sekali urusan pemerintahan yang berada di daerah. Sekali lagi ini adalah
bagian dari bentuk demokratisasi secara konstitusional dalam pembagian
kekuasaan pusat dan daerah di Inonesia
Sayangnya, selain enam urusan pemerintahan yang masih menjadi hak pemerintah
pusat, berbagai urusan yang semetinya diserahkan kepada daerah juga masih
diurusi oleh pusat, baik seluruhnya maupun sebagian. Penyanderaan itu dilakukan
dengan membuat regulasi turunan dibawah UU dalam bentuk PP. PP yang
dimaksudkan melakukan penyanderaan itu ialah PP Nomor 38 Tahun 2007
tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah
Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.
Dalam PP tersebut, urusan pemerintahan dibagi atas dua jenis, yaitu : urusan yang
sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah, serta urusan yang dibagi bersama
antar tingkatan dan/atau susunan pemerintahan. Pasal 2 ayat (4) PP No.38 Tahun
2007 tersebut dinyatakan terdapat 31 urusan yang menadi urusan pemerintahan
(pusat). Sedangkan urusan yang dibagi bersama dengan pemerintahan daerah
terdiri dari urusan wajib dan urusan pilihan.
Beberapa contoh, otonomi yang semestinya menjadi domain urusan daerah,
namun masih tersandera di tangan pusat adalah, Tersanderanya otonomi politik
melalui sistem kepartaian yang bersifat nasional, otonomi pendidikan melalui
standarisasi dan pengaturan kurikulum nasional, otonomi dalam bidang
pengelolaan sumber daya alam melalui perizinan dan pembagian royalti yang
tidak proporsional dan pelbagai ranah otonomi lainnya yang nyatanya masih
dikuasai pusat adalah potret pelaksanaan otonomi daerah setengah hati sekarang
ini.[21]
Penutup
Demokrasi sebagai sebuah ideologi nyatanya mendasari kehidupan ketatanegaraan
Indonesia, sebagaimana termaktub dalam klausula Konstitusi republik Indonesia.
Sebagai sebuah ideologi, demokrasi memiliki nilai-nilai yang selalu dapat
disesuaikan dengan pelbagai sistem ketatanegaraan yang tersedia. Demokrasi
sesungguhnya dapat tumbuh dalam sistem pemerintahan presidensial,
parlementer, bahkan khilafah dalam pengertian tertentu. Ia juga dapat menembus
batas bentuk negara, seperti kesatuan, federal, maupun konfederal.
Bahan Bacaan
Abu A’la Al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan, terjemahan, Penerbit
Mizan, Jakarta, 1993.
Afan Gaffar, Politik Indonesia : Transisi Menuju Demokrasi, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta, 2002.
Arend Liyphard, Democracies, Yale University, USA, 1984.
Finer, S.E.et.al,. Comparing Constitutions. Oxford: Clarendon Press.1995.
Henry B. Mayo, An Introduction to Democratic Theory, Oxford University
Press, New York, 1960.
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid I, Konstitusi
Press, Jakarta, 2006.
Jimly Asshiddiqie, Reformasi Hukum Nasional. Makalah Seminar
Kelompok Kerja Nasional Reformasi Hukum Menuju Masyarakat
Madani. Jakarta: Sekretariat Negara, 1999.
M.Rifqinizamy Karsayuda, Memaksimalkan Ruang Otonomi Berbahan
Lokal, Makalah yang disampaikan dalam diskusi terbatas bertajuk
“IDENTITAS LOKAL DALAM BINGKAI OTONOMI DAERAH (Studi
Kasus Manajemen Ilahiyah di Kabupaten Tanah Bumbu)” yang
diselenggarakan oleh Lembaga Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan
(LK3) bekerjasama dengan The Wahid Institute di Hotel Arum
Banjarmasin, 20 Juni 2009.
M.Rifqinizamy Karsayuda, Pilkada : Perspektif Hukum Tata Negara, Total
Media, Yogyakarta, 2006.
Miriam Budiharjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Mandiri,
Jakarta, 1983.
S.F.Marbun dkk, Dimensi-Dimensi Pemikiran Hukum Administrasi
Negara, UII Press, Yogyakarta, 2002.
Robert A. Dahl, On Democracy , edisi terjemahan, Yayasan Obor
Indonesia, Jakarta, 2001.
Sri Soemantri, Tentang Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD 1945,
Alumni, Bandung, 1973.
[1] Sri Soemantri, Tentang Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD 1945,
Alumni, Bandung, 1973, hlm 1.
[2] M.Rifqinizamy Karsayuda, Pilkada : Perspektif Hukum Tata Negara, Total
Media, Yogyakarta, 2006, hlm 12.
[3] Miriam Budiharjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Mandiri,
Jakarta, 1983, hlm 50.
[4] Afan Gaffar, Politik Indonesia : Transisi Menuju Demokrasi, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2002, hlm 6.
[5] Ibid, hlm 7-9.
[6] Arend Liyphard, Democracies, Yale University, USA, 1984, hal 10.
[7] Sri Soemantri, Op.Cit.
[8] Sri Soemantri, Op.Cit, hlm 2.
[9] Robert K.Carr, American Democracy in theory and practice dalam Ibid.
[10] Afan Gaffar,Op.Cit, hlm 3
[11] Ibid, hlm 4
[12] S.F.Marbun dkk, Dimensi-Dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara,
UII Press, Yogyakarta, 2002, hlm 26.
[13] Robert A. Dahl, On Democracy , edisi terjemahan, Yayasan Obor Indonesia,
Jakarta, 2001, hlm 84-85.
[14] Henry B. Mayo, An Introduction to Democratic Theory, Oxford University
Press, New York, 1960, hlm 70.
[15] Miriam, Op.Cit, hlm 61
[16] Abu A’la Al-Maududi, Al-Khilafah Wal-Mulk yang diterjemahkan menjadi
Khilafah dan Kerajaan, Penerbit Mizan, 1993, hlm 15-35.
[17] Miriam, Op.Cit, hlm 38.
[18] Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid I, Konstitusi
Press, Jakarta, 2006, hlm 200.
[19] Jimly Asshiddiqie. 1999. Reformasi Hukum Nasional. Makalah Seminar
Kelompok Kerja Nasional Reformasi Hukum Menuju Masyarakat Madani.
Jakarta: Sekretariat Negara. hlm 12.
[20] Finer, S.E.et.al,.1995. Comparing Constitutions. Oxford: Clarendon Press.
hlm 134.
[21] M.Rifqinizamy Karsayuda, Memaksimalkan Ruang Otonomi Berbahan
Lokal, Makalah yang disampaikan dalam diskusi terbatas bertajuk “IDENTITAS
LOKAL DALAM BINGKAI OTONOMI DAERAH (Studi Kasus Manajemen
Ilahiyah di Kabupaten Tanah Bumbu)” yang diselenggarakan oleh Lembaga
Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan (LK3) bekerjasama dengan The Wahid
Institute di Hotel Arum Banjarmasin, 20 Juni 2009.
Dirilis pada Jurnal Cita Hukum, Fakultas Hukum Unlam, Desember 2010
INDONESIA
By. M.Rifqinizamy Karsayuda
https://rifq1.wordpress.com/perihal/
Abstrak
Ideologi demokrasi yang diklaim oleh berbagai negara sekarang ini kerap kali
ditolak lantaran tak seideal gagasannya di ranah implementatif. Indonesia yang
secara konstitusional menyatakan diri sebagai penganut kedaulatan rakyat, serta
negara hukum menegaskan pengaturan berbagai asas tentang demokrasi dalam
UUD 1945. Tulisan ini, selain menginventarisir diskursus teoritikal soal
demokrasi, juga memperllihatkan betapa secara yuridis ketatanegaraan pilihan
terhadap ideologi ini dianggap paling memungkinkan untuk diterapkan di
Indonesia.
Kata Kunci : Demokrasi, Indonesia, Ketatanegaraan
Abstract
Democracy ideology that is claimed with several countries, is usual not ideal in
practices land. Indonesia as country that people souverignity and rule of law
principles in its constitution ruled democracy principles in UDD 1945. This paper
will be inventerise teoritical discourse about democracy and look in depth the
choice of democracy in Indonesia as possibility choices than other ideology.
Keywords : Democracy, Indonesia, Constitutional
Pendahuluan
Sebagai sebuah ideologi, demokrasi kerap dihadapkan pada dua realita. Di satu
pihak, demokrasi biasanya dijadikan ideologi yang menjadi basis bagi terciptanya
pemerintahan yang aspiratif. Sedangkan di sisi yang lain, demokrasi kerap ditolak,
karena klaim kebenaran yang dipegang demokrasi bersandar pada kebenaran
mayoritas. Bagi para pengkritik demokrasi, kebenaran mayoritas tidak selamanya
menghadirkan kebenaran yang sesungguhnya. Ujung dari kritik terhadap
demokrasi ini biasanya ditunjukkan melalui pelbagai realita penyimpangan
demokrasi di berbagai negara belakangan ini. Realita yang memperlihatkan
ketidaksingkronan antara nilai-nilai demokrasi dengan terciptanya keteraturan di
masyarakat.
Penolakan terhadap demokrasi sesungguhnya berlangsung sejak ribuan tahun
silam, bahkan di masa-masa awal ideologi ini muncul. Arestoteles, seorang filusuf
yang amat masyhur, adalah salah seorang penentangnya. Arestoteles beranggapan
bahwa, demokrasi adalah bentuk pemerosotan sistem pemerintahan.[1]
Oleh Arestoteles, demokrasi disebut sebagai mobocracy atau the rule of mob,
yaitu pemerintahan yang dilakukan oleh massa, yang pada ujungnya hanya akan
melahirkan anarkhisme. Arestoteles nampaknya lebih setuju dengan sistem
pemerintahan yang dikendalikan oleh sekelompok orang terpelajar.[2] Oleh
Aristoteles ini disebut sebagai sistem pemerintahan oligharkhi dalam bentuk yang
positif. Ketika pemerintahan dikendalikan oleh ataupun atas nama rakyat
mayoritas, maka pemrintahan tersebut sukar dikendalikan, demikian argumen
penolakan Arestoteles atas demokrasi.
Meskipun demikian, belakangan hari hampir seluruh negara mengklaim menjadi
negara demokrasi, termasuk Indonesia. Klausula Konstitusi kita yang menyatakan
bahwa “Kedaulatan berada di tangan rakyat” merupakan penerimaan terhadap ide
demokrasi secara tersirat.
Tulisan ini mencoba melihat relasi antara ide demokrasi dengan system
ketatanegaraan yang dibangun di tempat kita, yang secara sederhana dapat
ditelusuri dari pelbagai pengaturannya dalam UUD 1945.
TINJAUAN PUSTAKA
Tafsir Demokrasi
Sebagaimana substansinya, demokrasi secara makro ditafsirkan sebagai
pemeritahan yang berasal dari rakyat sebagaimana asal kata dari demokrasi, yaitu
demos yang berarti rakyat dan cratein yang berarti pemerintahan.[3] Abraham
Lincon dalam pidato inagurasi Presiden-nya menyatakan demokrasi sebagai
pemerintahan yang berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Berdasarkan
tafsir itu, beberapa ilmuwan memberikan kreteria demokrasi, diantaranya
Bringhamm, Arend Liyphard dan Afan Gaffar.
Bringhamm memberikan lima kriteria untuk melihat apakah demokrasi betul-betul
terwujud dalam suatu negara, kelima kriteria tersebut adalah:
1. 1.
The legitimacy of government rest on a claim to represent the desire
of its citizen. that is, the claim of the government to obedience to its laws
is based on the government’s assertion to be doing what they want its to
do.
2. 2.
The organized arrangement that regulated this bargain of legitimacy
is the competitive political election. Leaders are elected at regular
interval, and voters can choose among the alternative candidates.
3. 3.
Most adult can participate in the electoral process, both as voters
and as candidates for important political office.
4. 4.
5. 5.
Citizen voters are secret and not coerced
Citizen and leaders enjoy basic freedom of speech, press, assembly
and organization[4].
Afan Gaffar memberikan kriteria terhadap demokrasi dalam pemahaman empirik,
ada empat kriteria yang diberikannya, yaitu:
1. Akuntabilitas; yakni setiap pejabat publik harus dapat mempertanggung
jawabkan kinerjanya kepada publik (rakyat), termasuk apa saja yang
pernah, sedang dan akan dilakukannya.
2. Adanya rotasi kekuasaan; dalam demokrasi rakyat harus diberikan
kesempatan yang sama dalam memangku suatau amanah rakyat secara
keseluruhan, dengan jalan terjadinya rotasi kekuasaan yang diatur jelas
proses dan temponya.
3. Adanya rekrutmen politik terbuka; yakni jabatan-jabatan yang terdapat
dalam institusi politik, semacam partai politik diperuntukkan untuk semua
orang, tanpa memandang kolutivisme dan nepotisme. Rekrutmen politik
terbuka pada akhirnya akan mengikis oligarkhi politik dalam suatu negara.
4. Adanya penghargaan terhadap hak-hak dasar, seperti hak untuk berbicara,
hak untuk berserikat, hak untuk berkumpul, hak untuk menyuarakan
pendapat lewat media massa dan lain-lain.[5]
Menurut Arend Liyphard ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi suatu negara
yang menganut paham demokrasi, kriteria tersebut adalah:
1. Adanya kebebasan untuk membentuk dan menjadi anggota perkumpulan
2. Adanya kebebasan menyatakan pendapat
3. Ada hak untuk memberikan suara dalam pemungutan suara
4. Ada kesempatan untuk dipilih atau menduduki berbagai jabatan
pemerintahan negara
5. Ada hak bagi para aktivis politik berkampanye untuk memperoleh
dukungan atau suara
6. Terdapat berbagai sumber informasi
7. Ada pemilihan yang bebas dan jujur
8. Semua lembaga yang bertugas merumuskan kebijakan pemerintah, harus
tergantung keinginan rakyat[6].
Menurut Sri Soemantri, jika melihat demokrasi dari pengertian harfiah diatas,
maka hal tersebut tidaklah mungkin diwujudkan, oleh karena adalah mustahil
orang yang berjumlah lebih banyak memerintah orang yang lebih sedikit[7].
Sehingga menurutnya, Aristoteles dalam membicarakan bentuk-bentuk
pemerintahan yang ada dan yang seharusnya berlaku, beranggapan bahwa
demokrasi itu termasuk salah satu bentuk pemerosotan.
Oleh Arestoteles sebagaimana disinggung di pendahuluan tulisan ini, demokrasi
biasa disebut sebagai mobocracy atau the rule of the mob yaitu pemerintahan yang
dilakukan oleh massa, sehingga pada akhirnya akan mendatangkan anarki.
Argumentasi yang dibangun Aristoteles tersebut ada hubungannya dengan teori
siklus pemerintahan yang dikemukakan oleh Polybios.
Ia mengatakan bahwa mula-mula pemerintahan itu berbentuk monarki, tetapi
kemudian karena manusia itu tidak sama sifatnya, maka apabila keturunan rajaraja tersebut yang merintah itu kemudian menggantikan dan memerintah dengan
sewenang-wenang, maka timbullah suatu tirani, dimana raja-raja itu hanay
memperhatikan kepentingannya sendiri-sendiri.
Kemudian diantara kaum bangsawan timbul perasaan tidak puas dan
menggulingkan raja-raja tersebut hingga terjadilah aristokrasi yang sama serta
tidak abadi, maka muncullah oligarkhi, yaitu pemerintahan oleh sekelompok
orang demi kepentingan mereka sendiri.dan pemerintahan yang demikian ini akan
ditentang kembali oleh rakyat yang melahirkan demokrasi.[8]
Sehingga apa yang disebutkan Sri Soemantri diatas dapat dipahami dalam kontek
demokrasi secara formil, atau dalam makna harfiah, Sehingga adalah menarik
untuk melihat demokrasi dari sisi substansinya/isinya. Untuk itu penulis mencoba
mengutip pendapat Robert K. Carr sebagai berikut[9] ;
A further difficulty about divining democracy is that the term is used to describe
both an ideology and an actual governmental mechanism.
people refer to the former when they talk about democratic way of life, and the
letter when the talk about democracy in action. In other words, democracy is both
theory and practice
( Terjemahan bebas ; Suatu hal yang cukup sulit untuk mendifinisikan demokrasi
adalah terjadinya pendiskipsian ganda antara demokrasi sebagai suatu ideologi
dengan demokrasi sebagai suatu mekanisme pemerintahan yang dilakukan secara
aktual.
Masyarakat selalu mengacu pada masa lalu ketika mereka membicarakan
demokrasi, baik sebagai pandangan hidup (ideologi), maupun sebagai aksi. Atau
dalam bahasa lain, demokrasi akan dimaknai (oleh masyarakat) sebagai teori dan
praktek).
Dalam pandangannya, Carr menyatakan bahwa dalam aras praktiknya, demokrasi
bukan hanya dimaknai sebagai sebuah ideologi, melainkan juga sebagai sebuah
praktek yang terjadi dalam masyarakat, terutama mengenai mekanisme
pemerintah dalam menjalankan pemerintahannya.
Dalam kerangka berpikir demikian, relevan untuk melihat demokrasi dari
perspektif ilmu politik, dimana demokrasi dibagi dalam dua pemahaman, yakni;
demokrasi dalam arti normatif dan demokrasi dalam arti empirik[10]. Demokrasi
dalam pemahaman normatif merupakan sesuatu yang ideal untuk diselenggarakan
oleh suatu negara, nilai ideal terhadap demokrasi ini, biasa dapat ditelusuri lewat
konstitusi suatu negara, di Indonesia, demokrasi dalam ranah normatif dapat
dilihat dalam Pasal 1 ayat (2) , maupun Pasal 28 UUD 1945, yang menegaskan;
Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dijalankan berdasarkan Undang-undang
Dasar (Pasal 1 ayat (2) ).
Kemerdekaan bertserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan
tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang (Pasal 28).
Sedangkan dalam pemahaman empirik, demokrasi dilihat sebagai perwujudan
kehidupan politik praktis suatu negara sebagaimana parameter-parameter
demokrasi yang disusun oleh beberapa pakar diatas[11].
Paham demokrasi berdasarkan kreteria-kreteria diatas berdasarkan subjek yang
berdaulat atasnya, dapat dibagi menjadi :
1. demokrasi liberal dan;
2. demokrasi yang berketuhanan.
Membagi demokrasi pada dua pemahaman, liberal dan berketuhanan,
sesungguhnya mengulang kembali diskursus antara teori kedaulatan rakyat
(people sovereignty) dan teori kedaulatan Tuhan (God sovereignty).
Menurut C.S.T Kansil, kedaulatan memiliki tiga karakter, yaitu asli, tertinggi dan
tak dapat dibagi-bagi. Kedaulatan memiliki sifat asli, karena ia bukan berasal dari
kekuasaan lain. Kedaulatan juga merupakan kekuasaan yang tertinggi dan
karenanya ia tidak dapat dibagi-bagi dengan kekuasaan yang lain.[12] Jika sumber
kedaulatan itu adalah rakyat, maka rakyat dianggap sebagai pemilik kekuasaan
tertinggi. Karena rakyat dianggap supreme, maka pemerintahan yang terbentukpun mesti berdasarkan cara-cara tertentu yang meletakkan rakyat sebagai
pembentuknya.
Demokrasi dalam arti liberal biasanya dimaknai mirip dengan logika ini.
Demokrasi semata-mata diletakkan sebagai suatu ideologi yang meletakkan rakyat
di tempat tertinggi piramida kekuasaan. Dengan logika ini pula, segala bentuk
pemerintahan yang terbentuk tanpa mengikutsertakan rakyat dianggap tidak
demokratis. Tidak hanya pada titik itu saja, demokrasi liberal juga menempatkan
rakyat sebagai sumber pembuatan hukum. Hukum yang demokratis adalah hukum
yang dibentuk atas kehendak rakyat, baik secara langsung maupun melalui
perwakilan.
Hampir seluruh penganjur demokrasi mengikuti faham demokrasi liberal ini.
Robert A.Dahl misalnya, ketika membahas tentang keuntungan-keuntungan
demokrasi, ia menyebutkan pelbagai keuntungan yang semuanya menempatkan
rakyat sebagai subjek sekaligus objeknya. Beberapa keuntungan demokrasi yang
dikemukakan Dahl, antara lain ;
a)
Demokrasi menolong mencegah tumbuhnya pemerintahan oleh kaum
otokrat yang kejam dan licik;
b)
Demokrasi menjamin bagi warga negaranya dengan sejumlah hak asasi yang
tidak diberikan dan tidak dapat diberikan oleh sistem yang lain;
c)
Demokrasi membantu rakyat untuk melindungi kepentingan dasarnya;
d) Pemerintahan demokratis dapat memberikan kesempatan sebesar-besarnya
untuk menjalankan tanggung jawab moral;
e)
Pemerintahan yang demokratis dapat membantu lahirnya persamaan tingkat
politik yang relatif sama.[13]
Henry B.Mayo dalam memberikan tafsir demokrasi juga menekankan
pembentukan pemerintahan oleh rakyat. Ia menyatakan : “ A democratic political
system is one in which public policies are made on a majority basis…”[14].
Pertemuan para pakar hukum yang tergabung dalam Commission of Jurist di
Bangkok juga membuat rumusan yang tidak jauh berbeda tentang demokrasi,
yaitu “ a form of government where the citizens exercise the same right”.[15]
Sebaliknya, dalam teori kedaulatan Tuhan, yang diangap memiliki kekuasaan
tertinggi adalah Tuhan. Rakyat atau manusia tetap diberikan otoritas, namun
otoritas yang dimiliki rakyat bukanlah otoritas asli, melainkan pemberian dari
Tuhan berdasarkan wahyu-wahyu-Nya. Dalam ideologi demokrasi, pengaruh teori
kedaulatan Tuhan ini merubah cara berpikir sebagian ahli tentang demokrasi
sebagai implementasi dari kedaulatan rakyat an sich. Disinilah titik awal lahirnya
demokrasi berketuhanan.
Abu A’la Al-Maududi misalnya, dalam bukunya Al-Khilafah Wa Al-Mulk
mengemukanan tesis tentang perkawinan teori kedaulatan Tuhan dan kedaulatan
rakyat yeng menurutnya melahirkan satu sistem teo-demokrasi. Oleh Maududi,
sistem pemerintahan yang mengikutsertakan rakyat adalah sistem terbaik, sebab
selama pemerintahan dipegang oleh kelompok tertentu dan sifatnya tertutup hanya
akan melahirkan ketidak baikan. Maududi bahkan secara tegas mengkritik praktek
di masa-masa kekhalifahan Islam, termasuk kekhilafahan pasca Rasulullah yang
dianggap tidak melibatkan peran masyarakat secara luas[16].
Kendati demikian, oleh Maududi, pemerintahan yang mengikutsertakan rakyat itu
harus tunduk pada hukum Allah sebagai sesuatu yang tertinggi. Tuhan menurut
Maududi, adalah sesuatu yang tunggal, termasuk dalam penciptaan hukum. Dalam
titik inilah, manusia tak punya otoritas untuk menciptakan hukum, kecuali
memberi tafsir atas ketidakjelasan atau kekosongan hukum berdasarkan kondisi
tertentu melalui ijtihad. Inilah yang dimaksud dengan demokrasi berketuhanan.
PEMBAHASAN
Munculnya gagasan mengenai negara hukum (law state), yaitu negara yang
dijalankan berdasarkan hukum yang berlaku, membuat ideologi demokrasi harus
bersentuhan dengan gagasan ini. Sekarang ini, tak ada satu negara-pun yang tak
mengakomodir gagasan negara hukum.
Tak ada negara yang diperintah, tanpa hukum yang dijunjung tinggi di negara
tersebut. Di lain pihak, gagasan negara hukum hanya akan dapat terbentuk jika
adanya pemerintahan yang demokratis, sebab hanya pemerintahan yang
demokratis yang mau tunduk pada hukum yang dibuat secara aspiratif. Dari relasi
itu, lahirlah ciri-ciri dari negara hukum dewasa ini, seperti berikut ;
a)
Adanya perlindungan terhadap hak-hak warga negara dalam Konstitusi;
b)
Terdapatnya badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak;
c)
Pemilihan Umum yang bebas;
d)
Kebebasan untuk menyatakn pendapat;
e)
Kebebasan untuk berorganisasi/berserikat dan berkumpul; dan
f)
Adanya pendidikan kewarganegaraan (civic education).[17]
Teori mengenai negara hukum ini, menempatkan konstitusi sebagai hukum
tertinggi dalam suatu negara. Hans Kelsen yang dilanjutkan oleh muridnya Hans
Nawiasky dalam Stafenbau theory menyatakan, konstitusi sebagai gerund norm
atau norma dasar dalam suatu negara. Norma dasar itu sangat bersifat asasi dan
menjadi ruh bagi terbentuknya peraturan perundang-undangan di bawahnya.
Sebagai gerund norm, konstitusi dapat bersifat tertulis dan tak tertulis.[18]
Dalam negara hukum, pelbagai karakter dan sifat demokrasi sebagaimana
dijabarkan di atas dijamin dan diatur dalam konstitusi suatu negara. Pengaturan
nilai-nilai demokrasi dalam konstitusi memberikan petunjuk bahwa demokrasi
dijadikan ruh bagi tata kelola negara tersebut. Dalam konteks inilah lahir negara
yang demokratis berdasarkan konstitusi.
Dalam ranah ke Indonesiaan, pembahasan terkait negara hukum dapat ditelusuri
dari rumusan pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan : Negara Indonesia
adalah negara hukum. Di lain pihak, Indonesia juga meletakkan rakyat sebagai
sesuatu yang paling berdaulat. Hal ini ditegaskan dalam pasal 1 ayat (2) UUD
1945 yang menyatakan : Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan
menurut undang-undang dasar.
Kedua rumusan di atas sekaligus menegaskan bahwa Indonesia adalah negara
hukum yang demokratis berdasarkan konstitusi (UUD 1945) atau dengan kata
lain, negara yang berfaham demokrasi konstitusional.
Di dalam UUD 1945 pasca amandemen terdapat karakter demokrasi yang amat
menonjol dalam sistem ketatanegaraan kita. Karakter-karakter tersebut dapat
ditelusuri dari batang tubuh UUD 1945, yaitu :
1)
Adanya mekanisme pembentukan pemerintahan yang aspiratif melalui
Pemilihan Umum. Hal ini terlihat dalam pengaturan tentang pemilihan Presiden
dan Wakil Presiden (Pasal 6A), pemilihan umum anggota DPR dan DPD (pasal 19
ayat (1) jo pasal 22C ayat (1)), serta pengaturan tentang pemilihan umum yang
dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil (Pasal 22E).
2)
Adanya kemungkinan terjadinya rotasi kekuasaan yang terbuka melalui
mekanisme pemilihan umum yang berlangsung setiap lima tahun sekali (Pasal
22E ayat (1)), dan pembatasan masa jabatan, seperti pembatasan masa jabatan
Presiden dan/atau Wakil Presiden (Pasal 7).
3)
Adanya pembagian kekuasaan yang tegas antara lembaga-lembaga negara
sesuai dengan tugas dan wewenangnya. Penyelenggaraan fungsi eksekutif
dilaksanakan oleh Presiden dan Wakil Presiden, serta dibantu oleh para
menteri(Pasal 4,5,10,11,12,13,14,15,16 dan 17). Pelaksanaan kekuasaan legislatif
dilakukan oleh DPR dan DPD (Pasal 19,20,21,22,22A,22B dan 22C) .
Pelaksanaan kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh Mahkamah Agung beserta
badan peradilan-peradilan di bawahnya dan Mahkamah Konstitusi (Pasal 24).
Pelaksanaan kekuasaan pengawasan/auditif dilakukan oleh BPK (Pasal 23E).
4)
Hadirnya lembaga-lembaga negara penunjang (the supporting organ),
seperti komisi pemilihan umum (Pasal 22E), Bank Sentral (pasal 23 D) dan
Komisi Yudisial (Pasal 24B) dalam menjalankan tugas ketatanegaraan tertentu.
5)
Adanya jaminan kesetaraan hak-hak warga negara dan perlindungan hak
asasi manusia, seperti kesamaan hak dalam pemerintahan, hak untuk menyatakan
pendapat, hak untuk mendapatkan pendidikan, pekerjaan, hak untuk memeluk
agama dan kepercayaan serta hak-hak lainnya (Pasal 27, 28, 29, 30, 31, 32, 33,
34).
Berdasarkan karakter-karakter demokrasi yang terdapat dalam UUD 1945
tersebut, maka negara kesatuan Republik Indonesia adalah negara yang menganut
ideologi demokrasi dengan mengedepankan kedaulatan rakyat sebagai
panglimanya. Ide demokrasi-liberal demikian dianut Indonesia, dikarenakan
beberapa alasan :
1)
Alasan Sosiologis
Secara sosiologis, masyarakat Indonesia terdiri dari ribuan suku, serta ratusan
agama, mulai dari agama-agama resmi yang diakui negara hingga agama-agama
lokal yang dianut oleh komunitas stink tertentu di berbagai wilayah Indonesia.
Keanekaragaman itu, membuat Indonesia tidak mungkin memiliki satu ideologi
tunggal, termasuk dalam merumuskan Konstitusinya. Demokrasi berketuhanan
misalnya, akan sangat sukar diterapkan di Indonesia, sebab tafsir “Tuhan” akan
diterjemahkan beragam oleh beragam komunitas yang ada. Dalam tataran
perumusan sumber hukum, akan ditemukan kesulitan, sebab sumber hukum
“Tuhan” mana yang dapat dipergunakan.
2)
Alasan Politis
Multikultural dan multi-ideologi masyarakat Indonesia membaginya kepada
setidaknya tiga kelompok ideologi, yaitu : Islam, nasionalis dan sekuler. Ketiga
Ideologi itu belakangan mengerucut pada dua kelompok ideologi, Islam dan
Nasionalis.
Kedua kelompok ini semakin mengkristal dalam arena politik Indonesia.
Kalangan nasionalis yang mendapat ikutan dari kalangan sekuler dan kelompok
non-Islam lebih nyaman dengan penggunaan demokrasi-liberal sebagaimana ruh
UUD 1945 di atas. Dan tidak pada tempatnya, kalangan Islam untuk memaksakan
ideologi Islamnya demi tegaknya teo-demokrasi, sementara kesatuan bangsa
adalah jaminannya.
3)
Alasan Historis
Secara historis, digunakan ideologi demokrasi dalam Konstitusi kita terkait
dengan sejarah terbentuknya republik ini di masa lalu. Dalam teori pembentukan
negara, terdapat dua alasan terbentuknya suatu negara.
Pertama : terbentuknya negara berdasarkan kesamaan etnik atau suku. Munculnya
negara atas alasan ini memungkinkan keberlangsungan negara dalam jangka yang
panjang, bahkan dalam beberapa kajian, negara-negara yang telah terpecah dapat
bersatu kembali atas alasan kesamaan etnik ini Hal ini dapat dilihat dari
bersatunya kembali Jerman Barat dan Timur menjadi Konfederasi Jerman, China
dan Hongkong, kedepan mungkin antara Korea Selatan dan Utara.
Kedua : negara terbentuk atas alasan persamaan nasib. Nasib dalam konteks ini
bias dikarenakan adanya persamaan nasib atas keterjajahan oleh bangsa lain,
kemiskinan, keterbelakangan dan lain sebagainya. Indonesia yang sebelum
kemerdekann terdii dari daerah-daerah memiliki kesamaan atas penjajahn yang
berlangsung ratusan tahun. Kesamaan nasib terjajah inilah yang menghimpun
daerah-daerah tersebut menjadi satu kesatuan bernama Indonesia.
Secara teoritis, negara yang terbentuk oleh persamaan nasib rawan dengan
disintegrasi. Salah satu cara agar disintegrasi itu terhindari adalah dengan
membuat banyak konsensus dalam pelbagai perumusan ketatanegaraan. Indonesia
memilih demokrasi –liberal dalam konstitusinya sebagai konsensus
ketatanegaraan untuk menjaga diri dari disintegrasi.
Pilihan para pendiri negara untuk membentuk negara kesatuan di Indonesia juga
dilatar belakangi oleh kekhawatiran akan “retaknya” bangsa ini, jika
menggunakan bentuk federal yang konsekwensinya memberikan ruang amat besar
bagi setiap daerah yang nyata-nyata berbeda dan berpotensi meretas jalannya
masing-masing.
Pilihan membentuk negara menjadi kesatuan dengan tidak begitu banyak memberi
ruang aspirasi kepada daerah belakang dikoreksi pula dengan melahirkan
kebijakan otonomi daerah. Secara filosofis, otonomi daerah adalah bentuk
demokratisasi terhadap daerah dalam pembuatan kebijakannya.
Secara yuridis, terminologi otonomi daerah diatur dalam pasal 1 ayat (5) UU
No.32 Tahun 2004, yaitu :
“otonomi daerah adalah hak, kekuasaan, dan kewajiban daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.
Dalam rangka menjalankan otonomi daerah tersebut, setiap daerah memiliki
kekuasaan dalam berbagai bidang, kecuali yang menjadi kekuasaan pemerintah
pusat. Kekuasaan pemerintah pusat tersebut ditegaskan dalam pasal 10 ayat (3)
UU Nomor 32 tahun 2004, yaitu meliputi kekuasaan dalam bidang :
a. politik luar negeri
b. pertahanan
c. keamanan
d. peradilan
e. moneter dan fiskal, dan;
f. agama
Berdasarkan aturan di atas, otonomi daerah jelas memberikan kekuasaan yang
sangat besar kepada setiap daerah. Menurut Jimly Asshiddiqie, otonomi daerah di
Indonesia dilihat dari pembagian kekuasaan antara pemerintah daerah dengan
pemerintah pusat tidak jauh berbeda dengan di negara yang menganut bentuk
federal[19]. Hal ini dilandaskan pada teori kekuasaan residu (sisa) atau residual
power di suatu negara. Di negara-negara federal umumnya, kekuasaan sisa berada
di pemerintahan federal (pusat), sementara kekuasaan yang proporsinya lebih
banyak justru berada di negara-negara bagian[20].
Jika konsekwen menerapkan asas dan pembagian kewenangan otonomi
sebagaimana diatur dalam Konstitusi dan pelbagai peraturan perundangundangan, termasuk UU No.32 Tahun 2004 sebagaimana disebutkan di atas, maka
banyak sekali urusan pemerintahan yang berada di daerah. Sekali lagi ini adalah
bagian dari bentuk demokratisasi secara konstitusional dalam pembagian
kekuasaan pusat dan daerah di Inonesia
Sayangnya, selain enam urusan pemerintahan yang masih menjadi hak pemerintah
pusat, berbagai urusan yang semetinya diserahkan kepada daerah juga masih
diurusi oleh pusat, baik seluruhnya maupun sebagian. Penyanderaan itu dilakukan
dengan membuat regulasi turunan dibawah UU dalam bentuk PP. PP yang
dimaksudkan melakukan penyanderaan itu ialah PP Nomor 38 Tahun 2007
tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah
Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.
Dalam PP tersebut, urusan pemerintahan dibagi atas dua jenis, yaitu : urusan yang
sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah, serta urusan yang dibagi bersama
antar tingkatan dan/atau susunan pemerintahan. Pasal 2 ayat (4) PP No.38 Tahun
2007 tersebut dinyatakan terdapat 31 urusan yang menadi urusan pemerintahan
(pusat). Sedangkan urusan yang dibagi bersama dengan pemerintahan daerah
terdiri dari urusan wajib dan urusan pilihan.
Beberapa contoh, otonomi yang semestinya menjadi domain urusan daerah,
namun masih tersandera di tangan pusat adalah, Tersanderanya otonomi politik
melalui sistem kepartaian yang bersifat nasional, otonomi pendidikan melalui
standarisasi dan pengaturan kurikulum nasional, otonomi dalam bidang
pengelolaan sumber daya alam melalui perizinan dan pembagian royalti yang
tidak proporsional dan pelbagai ranah otonomi lainnya yang nyatanya masih
dikuasai pusat adalah potret pelaksanaan otonomi daerah setengah hati sekarang
ini.[21]
Penutup
Demokrasi sebagai sebuah ideologi nyatanya mendasari kehidupan ketatanegaraan
Indonesia, sebagaimana termaktub dalam klausula Konstitusi republik Indonesia.
Sebagai sebuah ideologi, demokrasi memiliki nilai-nilai yang selalu dapat
disesuaikan dengan pelbagai sistem ketatanegaraan yang tersedia. Demokrasi
sesungguhnya dapat tumbuh dalam sistem pemerintahan presidensial,
parlementer, bahkan khilafah dalam pengertian tertentu. Ia juga dapat menembus
batas bentuk negara, seperti kesatuan, federal, maupun konfederal.
Bahan Bacaan
Abu A’la Al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan, terjemahan, Penerbit
Mizan, Jakarta, 1993.
Afan Gaffar, Politik Indonesia : Transisi Menuju Demokrasi, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta, 2002.
Arend Liyphard, Democracies, Yale University, USA, 1984.
Finer, S.E.et.al,. Comparing Constitutions. Oxford: Clarendon Press.1995.
Henry B. Mayo, An Introduction to Democratic Theory, Oxford University
Press, New York, 1960.
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid I, Konstitusi
Press, Jakarta, 2006.
Jimly Asshiddiqie, Reformasi Hukum Nasional. Makalah Seminar
Kelompok Kerja Nasional Reformasi Hukum Menuju Masyarakat
Madani. Jakarta: Sekretariat Negara, 1999.
M.Rifqinizamy Karsayuda, Memaksimalkan Ruang Otonomi Berbahan
Lokal, Makalah yang disampaikan dalam diskusi terbatas bertajuk
“IDENTITAS LOKAL DALAM BINGKAI OTONOMI DAERAH (Studi
Kasus Manajemen Ilahiyah di Kabupaten Tanah Bumbu)” yang
diselenggarakan oleh Lembaga Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan
(LK3) bekerjasama dengan The Wahid Institute di Hotel Arum
Banjarmasin, 20 Juni 2009.
M.Rifqinizamy Karsayuda, Pilkada : Perspektif Hukum Tata Negara, Total
Media, Yogyakarta, 2006.
Miriam Budiharjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Mandiri,
Jakarta, 1983.
S.F.Marbun dkk, Dimensi-Dimensi Pemikiran Hukum Administrasi
Negara, UII Press, Yogyakarta, 2002.
Robert A. Dahl, On Democracy , edisi terjemahan, Yayasan Obor
Indonesia, Jakarta, 2001.
Sri Soemantri, Tentang Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD 1945,
Alumni, Bandung, 1973.
[1] Sri Soemantri, Tentang Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD 1945,
Alumni, Bandung, 1973, hlm 1.
[2] M.Rifqinizamy Karsayuda, Pilkada : Perspektif Hukum Tata Negara, Total
Media, Yogyakarta, 2006, hlm 12.
[3] Miriam Budiharjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Mandiri,
Jakarta, 1983, hlm 50.
[4] Afan Gaffar, Politik Indonesia : Transisi Menuju Demokrasi, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2002, hlm 6.
[5] Ibid, hlm 7-9.
[6] Arend Liyphard, Democracies, Yale University, USA, 1984, hal 10.
[7] Sri Soemantri, Op.Cit.
[8] Sri Soemantri, Op.Cit, hlm 2.
[9] Robert K.Carr, American Democracy in theory and practice dalam Ibid.
[10] Afan Gaffar,Op.Cit, hlm 3
[11] Ibid, hlm 4
[12] S.F.Marbun dkk, Dimensi-Dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara,
UII Press, Yogyakarta, 2002, hlm 26.
[13] Robert A. Dahl, On Democracy , edisi terjemahan, Yayasan Obor Indonesia,
Jakarta, 2001, hlm 84-85.
[14] Henry B. Mayo, An Introduction to Democratic Theory, Oxford University
Press, New York, 1960, hlm 70.
[15] Miriam, Op.Cit, hlm 61
[16] Abu A’la Al-Maududi, Al-Khilafah Wal-Mulk yang diterjemahkan menjadi
Khilafah dan Kerajaan, Penerbit Mizan, 1993, hlm 15-35.
[17] Miriam, Op.Cit, hlm 38.
[18] Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid I, Konstitusi
Press, Jakarta, 2006, hlm 200.
[19] Jimly Asshiddiqie. 1999. Reformasi Hukum Nasional. Makalah Seminar
Kelompok Kerja Nasional Reformasi Hukum Menuju Masyarakat Madani.
Jakarta: Sekretariat Negara. hlm 12.
[20] Finer, S.E.et.al,.1995. Comparing Constitutions. Oxford: Clarendon Press.
hlm 134.
[21] M.Rifqinizamy Karsayuda, Memaksimalkan Ruang Otonomi Berbahan
Lokal, Makalah yang disampaikan dalam diskusi terbatas bertajuk “IDENTITAS
LOKAL DALAM BINGKAI OTONOMI DAERAH (Studi Kasus Manajemen
Ilahiyah di Kabupaten Tanah Bumbu)” yang diselenggarakan oleh Lembaga
Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan (LK3) bekerjasama dengan The Wahid
Institute di Hotel Arum Banjarmasin, 20 Juni 2009.
Dirilis pada Jurnal Cita Hukum, Fakultas Hukum Unlam, Desember 2010