EFEKTIVITAS PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG KAWASAN TANPA ROKOK DI KOTA SINGARAJA.

(1)

SKRIPSI

EFEKTIVITASPELAKSANAAN PERATURAN

DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 1O TAHUN 2011

TENTANG KAWASAN TANPA ROKOK

DIKOTA SINGARAJA

I WAYAN ARSANA RAMA PUTRA NIM.1116051004

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(2)

EFEKTIVITAS PELAKSANAAN PERATURAN

DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 10 TAHUN 2011

TENTANG KAWASAN TANPA ROKOK

DIKOTA SINGARAJA

Skripsi ini dibuat untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Udayana

I WAYAN ARSANA RAMA PUTRA NIM. 1116051004

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(3)

Lembar Persetujuan Pembimbing

SKRIPSI INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL, 14 JANUARI 2016

Pembimbing I

Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, SH.,MH NIP. 19530401 198003 1 004

Pembimbing II

Dr. I Gusti Ayu Putri Kartika, SH.,MH NIP. 19660331 199303 2 003


(4)

SKRIPSI INI TELAH DIUJI PADATANGGAL : 3 MARET 2016

Panitia Penguji Skripsi

Berdasarkan Surat Keputusan Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana Nomor: 0188/UN14.4E/IV/PP/2016 Tanggal: 18 Februari 2016

Ketua : Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, SH., MH ( ) NIP. 19530401 198003 1 004

Sekretaris : Dr. I Gusti Ayu Putri Kartika, SH., MH. ( ) NIP. 19660331 199303 2 003

Anggota : 1. Dr. Made Gde Subha Karma Resen, SH., M.Kn. ( ) NIP. 19830725 200801 1 007

2. Kadek Sarna, SH., M.Kn. ( ) NIP. 19810424 200812 1 002

3. Ni Gusti Ayu Dyah Satyawati, SH., M.Kn., LLM. ( ) NIP. 19820516 200501 2 020


(5)

SURAT PERNYATAAN KEASLIAN

Dengan ini penulis menyatakan bahwa Karya Ilmiah/Penulisan Hukum/Skripsi ini merupakan hasil karya asli penulis, tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi maupun, dan sepanjang pengetahuan penulis juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh penulis lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Apabila Karya Ilmiah/Penulisan Hukum/Skripsi ini terbukti merupakan duplikasi ataupun plagiasi dari hasil karya penulis lain dan/atau dengan sengaja mengajukan karya atau pendapat yang merupakan hasil karya penulis lain, maka penulis bersedia menerima sanksi akademik dan/atau sanksi hukum yang berlaku.

Demikian Surat Pernyataan ini saya buat sebagai pertanggungjawaban ilmiah tanpa ada paksaan maupun tekanan dari pihak manapun juga.

Denpasar, 14 Januari 2016 Yang menyatakan,

(I Wayan Arsana Rama Putra) NIM. 1116051004


(6)

KATA PENGANTAR

Om Swastyastu,

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Ida Shang Hyang Widhi Wasa, karena atas asung kertha wara nugraha-Nya penulis dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah ini yang merupakan tugas dan kewajiban bagi setiap mahasiswa di tingkat terakhir pada Fakultas hukum Universitas Udayana dan sebagai syarat untuk menempuh ujian akhir guna memperoleh gelar Sarjana Hukum. Meskipun pada awalnya terdapat berbagai hambatan dan keraguan dalam proses pembuatannya, namun karena ini adalah kewajiban penulis yang harus diselesaikan sebagai bagian dari pertanggungjawaban, maka sudah menjadi tanggungjawab penulis untuk dapat menyelesaikan karya ilmiah ini dengan sebaik-baiknya. Adapun judulskripsi yang penulis angkat ialahEFEKTIVITAS PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG KAWASAN TANPA ROKOK DI KOTA SINGARAJA.Keberhasilan ini tidak begitu saja dapat diraih tanpa adanya motivasi, baik itu dalam bentuk materiil dan imaterril dari berbagai pihak. Sehingga penulis sampaikan ucapan terimakasih sebesar-besarnya dari hati yang paling dalam kepada :

1. Bapak Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, SH., MH., Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana.

2. Bapak I Ketut Sudiarta, SH., MH., Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Udayana.


(7)

3. Bapak Wayan Bela Siki Layang, SH.,MH., Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Udayana.

4. Bapak I Wayan Suardana, SH., MH., Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Udayana.

5. Bapak A.A Gede Oka Parwata, SH., M.Si., Ketua Program Ekstensi Fakultas Hukum Universitas Udayana.

6. Bapak Dr. Gede Marhaendra Wija Atmadja, SH., M.Hum, Dosen Pembimbing Akademik yang telah memberi banyak motivasi dalam penyusunan skripsi ini.

7. Bapak Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, SH., MH., Dosen Pembimbing I dalam penyusunan skripsi ini, beliau selalu memberikan petunjuk, arahan, motivasi serta meluangkan waktu dan pikiran untuk memberikan bimbingan serta petunjuk dengan penuh kesabaran kepada penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.

8. Ibu Dr. I Gusti Ayu Putri Kartika, SH., MH., Dosen Pembimbing II yang telah memberikan saran serta masukan dalam perbaikan skripsi ini, serta sabar dalam membimbing penulis untuk menyelesaikan penyusunan skripsi ini.

9. Bapak Dr. Made Gde Subha Karma Resen, SH., M.Kn., selaku penguji I, yang telah memberikan masukan saran dan kritik dalam penyempurnaan skripsi ini.

10. Bapak Kadek Sarna, SH., M.Kn., selaku penguji II, yang telah memberikan masukan saran dan kritik dalam penyempurnaan skripsi ini.

11. Ibu Ni Gusti Ayu Dyah Satyawati, SH., M.Kn., LLM., selaku penguji III, yang telah memberikan saran dan kritik dalam penyempurnaan skripsi ini.


(8)

12. Bapak/Ibu Dosen Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Udayana, yang telah memberikan ilmu kepada penulis selama mengikuti studi perkuliahan, serta Bapak/Ibu pegawai administrasi dilingkungan Fakultas Hukum Universitas Udayana, yang telah banyak membantu dalam pengurusan administrasi penulis selama perkuliahan.

13. Bapak Dr. I Gede Suaryawan, MPH, yang telah memberikan informasi, waktu dan kesediaannya sebagai informan dalam penulisan skripsi ini.

14. Ibu Ni Komang Pariwisadi, SKM, yang telah memberikan informasi, waktu dan kesediaannya sebagai informan dalam penulisan skripsi ini.

15. Bapak Drs. I Ketut Arnawa, MAP, yang telah memberikan informasi, waktu dan kesediaannya sebagai informan dalam penulisan skripsi ini.

16. Kedua Orang Tua tercinta, I Wayan Ramayasa dan Ibu Nyoman Rusini serta Adik saya I Made Sanjaya Rama Putra yang telah banyak membantu lewat doa, perhatian, dorongan dan semangat. Peran merekasungguh besar terhadap penulis karena tanpa dukungan, dampingan serta kasih sayang mereka penulis tidak akan bisa menyelesaikan skripsi ini, mereka telah berkorban demi penulis, mereka selalu ada disaat penulis susah ataupun senang, mendidik serta selalu memberi nasehat dan selalu memberikan semangat agar penulis tidak putus asa.

17. Kepada yang tercinta, I Gusti Ayu Ayla Wirani yang tidak hentinya memberikan motivasi, menasehati, serta mendukung memberikan semangat moril kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.


(9)

18. Teman-teman angkatan 2010 dan 2011 di Fakultas Hukum Universitas Udayana yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan nuansa dan warna selama menjalani masa perkuliahan.

Meskipun Skripsi ini sudah selesai, namun di dalamnya masih jauh dari sempurna, hal ini disebabkan karena keterbatasan kemampuan, pengetahuan penulis miliki.Akhirnya dengan segala kerendahan hati, Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak dan semoga skripsi ini dapat diterima serta bermanfaat bagi setiap orang yang membacanya.

Om Shanti, Shanti, Shanti Om

Denpasar, 14 Januari 2016

Penulis


(10)

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL DEPAN

HALAMANSAMPULDALAM ... i

HALAMAN PERSYARATAN GELAR SARJANAHUKUM ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING/PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PENETAPAN PANITIA PENGUJI SKRIPSI ... iv

SURAT PERNYATAANKEASLIAN ... v

HALAMAN KATAPENGANTAR ... vi

HALAMAN DAFTARISI ... x

ABSTRAK ... xiii

ABSTRACT ... xiv

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 6

1.3 Ruang Lingkup Masalah... 6

1.4 Orisinalitas Penelitian ... 6

1.5 Tujuan Penelitian ... 8

a. Tujuan Umum ... 8

b. Tujuan Khusus ... 8

1.6 Manfaat Penelitian ... 9

1.7 Landasan Teoritis ... 10

1.8 Metode Penelitian ... 16

a. Jenis Penelitian ... 16 x


(11)

b. Jenis Pendekatan ... 18

c. Sumber Data ... 19

d. Teknik Pengumpulan Data ... 21

e. Teknik Analisis ... 21

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KOTA SINGARAJA, PEMERINTAH DAERAH, PERATURAN DAERAH, PENEGAKAN HUKUM DAN KAWASAN TANPA ROKOK 2.1 Tinjauan Umum Tentang Kota Singaraja ... 23

2.2 Tinjauan Umum Tentang Pemerintah Daerah ... 25

2.3 Pengertian Peraturan Daerah ... 30

2.4 Pengertian Kawasan Tanpa Rokok (KTR) ... 34

BAB III PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG KAWASAN TANPA ROKOK DI KOTA SINGARAJA 3.1 Tentang Dasar Hukum Pengaturan Penerapan Daerah Kawasan Tanpa Rokok ... 37

3.2 Efektivitas Pelaksanaan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 10 Tahun 2011 Tentang Kawasan Tanpa Rokok di Kota Singaraja ... 42

BAB IV UPAYA PEMERINTAH KABUPATEN BULELENG DALAM MELAKSANAKAN PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG KAWASAN TANPA ROKOK DI KOTA SINGARAJA 4.1 Faktor – Faktor Yang Menghambat Pelaksanaan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 10 Tahun 2011 Tentang Kawasan Tanpa Rokok di Kota Singaraja ... 49

4.2 Upaya Pemerintah Kabupaten Buleleng Dalam Melaksanakan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 10 tahun 2011 tentang Kawasan Tanpa Rokok di Kota Singaraja ... 62


(12)

BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan ... 71 5.2 Saran ... 73 DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR INFORMAN LAMPIRAN-LAMPIRAN RINGKASAN SKRIPSI


(13)

ABSTRAK

Pemerintah Provinsi Bali membuat kebijakan yang mengatur mengenai perlindungan hak asasi manusia untuk memperoleh lingkungan yang baik dan sehat melalui Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 10 Tahun 2011 Tentang Kawasan Tanpa Rokok.Pelaksanaan Peraturan Daerah di Kota Singaraja masih banyak terjadi pelanggaran di kawasan yang ditetapkan sebagai kawasan tanpa

rokok.Maka dari itu penulis mengambil judul “Efektivitas Pelaksanaan Peraturan

Daerah Provinsi Bali Nomor 10 Tahun 2011 tentang Kawasan Tanpa Rokok di

Kota Singaraja”. Bedasarkan hal tersebut terdapat permasalahan yang diteliti yaitu

bagaimana pelaksanaan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 10 Tahun 2011 Tentang Kawasan Tanpa Rokok di Kota Singaraja dan upaya Pemerintah Kabupaten Buleleng dalam melaksanakan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 10 Tahun 2011 Tentang Kawasan Tanpa Rokok. Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode penelitian hukum empiris. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lemahnya sanksi denda yang dikenakan bagi pelanggar pada Pasal 18 ayat (1), area khusus merokok harus disediakan sehingga masyarakat tidak merokok di sembarang tempat, dan yang paling penting untuk mewujudkan Perda tentang Kawasan Tanpa Rokok yaitu peran masyarakat harus lebih ditingkatkan lagi dengan cara mematuhi dan menaati Perda tentang Kawasan Tanpa Rokok, maka dengan demikian Perda tentang Kawasan Tanpa Rokok bisa terwujud dan setiap orang mendapatkan hak atas lingkungan yang baik, sehat dan bebas dari asap rokok.

KataKunci : Kawasan Tanpa Rokok, Hak Asasi Manusia, Peraturan Daerah, Efektivitas Pelaksanaan.


(14)

ABSTRACT

Bali Provincial Government made a policy governing the protection of human rights to obtain a good and healthy environment through Bali's Provincial Regulation No. 10 Year 2011 on Smoking Area. Effectiveness of regional regulation can not be enforced effectively in Singaraja due to many violations in the area designated as non-smoking area. Thus the authors take the title "Effectiveness of Bali Provincial Regulation No. 10 Year 2011 on Smoking Area in Singaraja". Based on that there are problems studied were the implementation of the Bali Provincial Regulation No. 10 Year 2011 on Smoking Area in Singaraja and the Buleleng Government's efforts in implementing the Bali Provincial Regulation No. 10 Year 2011 on Smoking Area. The method used in this paper is an empirical legal research methods. The results showed that the installation of the sign smoking ban has not been installed as a whole, smoking areas must be provided so that people do not smoke in any place, and that is most important to realize Bylaw on Smoking Area, namely the role of the community should be further enhanced by means adhere to and comply with Regulation on Smoking Area, it is thus Regulation on Smoking Area can be realized and everyone gets the right to a good environment, healthy and free from tobacco smoke.

Keywords: Smoking Area, Human Rights, Regional Regulation, Implementation Effectiveness.


(15)

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan oleh pemerintah. Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, perlindungan terhadap kesehatan sangat jelas diatur dimana dalam ketentuan Pasal 28H ayat (1) disebutkan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.

Dalam perkembangan dewasa ini, masih sering dijumpai pelanggaran – pelanggaran terhadap hak seseorang di bidang kesehatan. Salah satu hal yang sering dijumpai itu adalah pola hidup masyarakat dalam kegiatan merokok, kegiatan merokok sudah menjadi kebiasaan bagi sebagian besar masyarakat Indonesia dan kegiatan ini sangat berdampak negatif bagi perokok itu sendiri maupun bagi orang lain yang terpaksa harus terkena paparan asap rokok.

Menurut World Health Organization (WHO), manusia masih jauh dari kata sadar akan dampak negatif yang juga mematikan akibat tembakau rokok. WHO juga mencatat adanya jumlah kematian yang sangat tinggi sekitar 11.000 orang tewas setiap harinya akibat terkena penyakit dari tembakau. Bahkan tembakau setiap tahunnya menewaskan 4 juta orang di seluruh dunia dan


(16)

2

ironisnya angka tersebut diperkirakan akan meningkat menjadi 10 juta dalam 25tahun mendatang,1

Penyakit berbahaya yang ditimbulkan akibat tembakau rokok ialah impotensi, kemandulan, gangguan janin, enfisema, bronhitis kronis sampai berbagai jenis kanker.Kanker yang dimaksud seperti kanker paru – paru, mulut, tenggorokan, pankreas, kandung kemih, mulut Rahim bahkan leukemia, serta kanker kerdiovaskular dan stroke. Bagi para wanita hamil, merokok tidak hanya menyebabkan kelainan pada fisik, seperti terserang asma, epilepsi, bronhitis dan pneumonia, melainkan juga kelainan psikologis pada anak yang dapat berupa depresi, hiperaktif atau imatur.2

Racun tembakau rokok terbesar dihasilkan oleh asap yang mengepul dari ujung rokok yang sedang dihisap. Sebab asap yang dihasilkan berasal dari pembakaran tembakau yang tidak sempurna.Asap rokok mengandung sejumlah zat yang berbahaya seperti benzene, nikotin, nitrosamin, senyawa amin, aromatik, naftalen, ammonia, oksidan sianida, karbon monoksida benzaprin dan lain-lain. Partikel ini akan menghendap di saluran nafas dan sangat berbahaya bagi tubuh. Endapanasap rokok juga mudah melekat di benda-benda di ruangan dan bisa bertahan sampai lebih dari tiga tahun dengan tetap berbahaya.3

Di sisi lain kegiatan merokok mengakibatkan pencemaran udara dimana hal tersebut merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak asasi manusia dalam

1http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs339/en/, Diakses Pada Tanggal 10 Juli 2015.

2http://www.who.int/tobacco/research/youth/health_effects/en/, Diakses Pada Tanggal 10 Juli 2015.

3Budhi Antariksa, 2015, “Bahaya merokok bagi kesehatan”, http://www.


(17)

3

halmemperoleh lingkungan hidup yang baik dan sehat, di samping itu pencemaranterhadap lingkungan kerap kali mengandung adanya risiko terhadap kesehatan manusia.4 Pada kenyataan sehari – hari di lingkungan masyarakat seorang perokok aktif tidak memperdulikan lingkungan di sekitar ketika dia sedang melakukan kegiatan merokokdan tidak menyadari akan bahaya yang ditimbulkan bagi orang sekitarnya, terutama dalam hal ini adalah bagi seorang perokok pasif.

Selama ini bahaya asap rokok selalu menjadi ancaman bagi perokok pasif, perokok pasif adalah seorang penghirup asap rokok dari orang yang sedang merokok, sebagai perokok pasif dampaknya lebih berbahaya dibandingkan perokok aktif, bahkan bahaya yang harus di tanggung perokok pasif tiga kali lipat dari bahaya perokok aktif.5Berdasarkan data fakta tentang rokok di Indonesia

menurut Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Tjandra Yoga Aditama menyatakan :

1. Jumlah perokok aktif di Indonesia terbanyak ke tiga di dunia setelah China dan India.

2. Prevalensi Perokok: 67,4 %(laki-laki) &4,5%(perempuan) 3. 61,4 juta perokok di Indonesia

4. 97 juta warga Indonesia (non-smoker) terpapar asap rokok orang lain (secondhand smoke)

5. 43 juta anak-anak terpapar asap rokok (secondhand smoke), diantaranya 11,4 juta anak usia 0-4 tahun

6. Lebih dari 200.000 meninggal setiap tahun akibat penyakit berhubungan dengan rokok

7. Tren Kenaikan Anak usia 10-14 tahun yang merokok tahun 1995 dan mengalami peningkatan hingga enam kali lipat pada tahun 2007. Jumlah

4Takdir Rahmadi, 2012, Hukum Lingkungan di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta,

h. 4.

5 Widyastuti Soerojo, 2014, “Perokok Pasif”, http://id.mwikipedia.org/wiki/ istimewa:history/Perokok_pasifdiakses tanggal 19 Februari 2015.


(18)

4

Perokok Anak 1995 sebesar 71.126 anak dan pada tahun 2007 sebesar 426.214 anak.

8. Beban ekonomi makro akibat penggunaan tembakau sebesar Rp.245,41 Triliun Rupiah (2010)6

Untuk mengantisipasi dampak buruk dan bahaya yang disebabkan rokok terhadap kesehatan manusia Pemerintah Daerah mempunyai kewenangan untuk menetapkan Kawasan Tanpa Rokok. Kewenangan pembentukan Kawasan Tanpa Rokok tersebut tercantum pada Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan dalam Pasal 115 ayat (2) yang

menetapkan bahwa “Pemerintah daerah wajib menetapkan kawasan tanpa rokok

di wilayahnya.”

Berdasarkan kewenangan yang diperoleh dari Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan pada ketentuan Pasal 115 ayat(2),Pemerintah Provinsi Bali membentuk Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 10 Tahun 2011 Tentang Kawasan Tanpa Rokok, selanjutnya disebut dengan Perda Provinsi Bali tentang KTR. Dalam Perda Provinsi Bali tentang KTR pada Pasal 2 yang

termasuk sebagai kawasan tanpa rokok meliputi “fasilitas pelayanan kesehatan,

tempat proses belajar mengajar, tempat anak bermain, tempat ibadah, angkutan

umum, tempat kerja, tempat umum dan tempat lain yang ditetapkan“.

Penegakan Perda Provinsi Bali tentang KTR ini terus digalakkan Pemerintah Provinsi di 9 (Sembilan) kabupaten yang ada di Bali, salah satunya adalah di Kabupaten Buleleng yaitu di Kota Singaraja. Kota Singaraja merupakan wilayah administratif dari Kabupaten Buleleng, sebagai daerah administratif Kota

6 Gabriel Abdi Susanto, 2013, “8 Fakta Tentang Rokok di Indonesia” http://m.liputan6.com/health/read/601141/8-fakta-tentang-rokok-di-indonesia di akses tanggal 24 februari 2015.


(19)

5

Singaraja menjadi salah satu percontohan bagi daerah – daerah yang ada di Kabupaten Buleleng dalam menerapkan Perda Provinsi Bali tentang KTR. Kawasan tanpa rokok di Kota Singaraja meliputi :

a. fasilitas pelayanan kesehatan. b. tempat proses belajar mengajar. c. tempat anak bermain.

d. tempat ibadah. e. angkutan umum. f. tempat kerja. g. tempat umum.

h. tempat lain yang ditetapkan.

Perda Provinsi Bali tentang KTR sudah berlaku selama 4 (empat) tahun.Namun kenyataannya masih banyak pelanggaran – pelanggaran ditemukan pada kawasan – kawasan yang ditetapkan sebagai kawasan tanpa rokok di Kota Singaraja.Berkaitan dengan hal tersebut penulis mengidentifikasi bahwa dalam penerapannya Perda Provinsi Bali Nomor 10 tahun 2011 mengenai Kawasan Tanpa Rokok inimasih menimbulkan kesenjangan antara Das sollen (norma yang di cita-citakan) dan Das sein (kenyataan di masyarakat).

Maka dari itu, melihat uraian latar belakang masalah tersebut, penulis mengangkat skripsi dengan judul “EFEKTIVITASPELAKSANAAN PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 10 TAHUN 2011


(20)

6

1.2. Rumusan Masalah

Bertitik tolak dari uraian latar belakang tersebut, ada beberapa permasalahan yang perlu diteliti, sebagai berikut :

1. Bagaimana pelaksanaan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 10 Tahun 2011 Tentang Kawasan Tanpa Rokok diKota Singaraja?

2. Bagaimana Upaya Pemerintah Kabupaten Buleleng dalam melaksanakan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 10 Tahun 2011 Tentang Kawasan Tanpa Rokok di Kota Singaraja?

1.3 Ruang Lingkup Masalah

Ruang Lingkup Penelitian merupakan bingkai penelitian, yang menggambarkan batas penelitian, mempersempit permasalahan, dan mengatasi area penelitian.7 Untuk lebih terarahnya dan mencapai tujuan yang dikehendaki, pembahasan dan penelitian akan dibatasi sesuai ruang lingkup masalah yang akan dibahas maka ruang lingkup dari permasalahan ini hanya membatasi mengenai pelaksanaan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 10 Tahun 2011 tentang Kawasan Tanpa Rokok diKota Singaraja.

1.4. Orisinalitas Penelitian

Orisinalitas adalah suatu syarat dalam penulisan penelitian yang digunakan untuk menuliskan penelitian – penelitian terdahulu yang sejenis dan menjelaskan perbedaan penelitian terdahulunya. Dalam hal ini penulis wajib memakai minimal 2 (dua) penelitian pembeda, adapun 2 (dua) pembeda dalam penelitian ini adalah:

7 Bambang Sunggono, 2010, Metedologi Penelitian Hukum, Raja Grafindo


(21)

7

1. Judul Skripsi :

Agenda Setting Rancangan Peraturan Daerah Kota Yogyakarta tentang Kawasan Tanpa Rokok.

Penulis :

Diena Tiara Sari (Mahasiswi Program Sarjana Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada, tahun 2014).

Rumusan Masalah :

1. Bagaimana tahap-tahap dan dinamika pada agenda setting

Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Kota Yogyakarta tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR)?

2. Siapa saja aktor yang terlibat dalam setiap tahapan agenda setting

dan bagaimana hubungan di antara para aktor tersebut, khususnya pada Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Kota Yogyakarta tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR) dan bagaimana hubungan antara aktor- aktor tersebut?

3. Apa kepentingan dari setiap aktor yang terlibat dalam setiap tahapan agenda setting Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Kota Yogyakarta tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR)?

2. Judul Skripsi :

Proses Formulasi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di Kelurahan Keparakan, Kecamatan Mergangsan, Yogyakarta.


(22)

8

Penulis :

Diena Tiara Sari (Mahasiswi Program Sarjana Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada, tahun 2014).

Rumusan Masalah :

1. Bagaimana proses formulasi kebijakan kawasan tanpa rokok di Kelurahan Keparakan, Kecamatan Mergangsan, Kota Yogyakarta?

2. Bagaimana peran aktor dalam perumusan kebijakan KTR di

Kelurahan Keparakan, Kecamatan Mergangsan, Kota Yogyakarta?

1.5 Tujuan Penelitian

Tujuan Penelitian ini meliputi tujuan umum dan tujuan khusus : 1.5.1 Tujuan Umum

Adapun tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengkaji dengan menganalisis bagaimana efektivitas pelaksanaan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 10 Tahun 2011 tentang Kawasan Tanpa Rokok diKota Singaraja, mengingat pentingnya jaminan perlindungan hukum terhadap hak asasi manusia khususnya dalam memperoleh lingkungan hidup yang baik dan sehat serta bebas dari asap rokok.

1.5.2 Tujuan Khusus

a. Agar dapat mengetahui dan memahami pelaksanaan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 10 Tahun 2011 tentang Kawasan Tanpa Rokok di Kota Singaraja.


(23)

9

b. Agar dapat mengetahui dan memahami upayaPemerintah Daerah Kabupaten Buleleng dalam meningkatkan pelaksanaan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 10 Tahun 2011 tentang Kawasan Tanpa Rokok di Kota Singaraja.

1.6. Manfaat Penelitian

Manfaat peneltian dari skripsi ini dibedakan atas manfaat praktis yaitu sebagai berikut :

1.6.1 Manfaat Teoritis

Penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pikiran dalam bidang Ilmu Hukum khususnya berkait dengan bidang Hukum Administrasi Negara.

1.6.2 Manfaat Praktis

a. Manfaat praktis bagi pemerintah adalah terlaksananya penyampaian informasi mengenai adanya aturan – aturan dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 10 Tahun 2011 tentang Kawasan Tanpa Rokok. b. Dapat mengetahui pelaksanaan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor

10 Tahun 20111 tentang Kawasan Tanpa Rokok di Kota Singaraja c. Dapat mengetahui upaya Pemerintah Daerah Kabupaten Buleleng

dalam meningkatkan pelaksanaan peraturan daerah.

d. Manfaat Praktis bagi masyarakat adalah dapat memberikan suatu informasi yang bermanfaat baik berupa masukan maupun sumbangan pemikiran bagi pihak – pihak yang berkepentingan dengan kegiatan dan bidangkesehatan.


(24)

10

1.7 LandasanTeoritis

Dalam penelitian ini akan digunakan teori – teori, konsep – konsep, maupun pandangan – pandangan para pakar yang berpengaruh sebagai landasan pemikiran penelitian,yaitu :

1) Teori Efektivitas

Kata efektif berasal dari bahasa inggris yaitu effective yang berarti berhasil atau sesuatu yang dilakukan berhasil dengan baik.Kamus ilmiah populer mendefinisikan efektivitas sebagai ketetapan penggunaan, hasil guna atau menunjang tujuan. Selain itu efektivitas juga merupakan suatu gambaran tingkat keberhasilan atau keunggulan dalam mencapai sasaran yang telah ditetapkan dan adanya keterkaitan atara nilai – nilai bervariasi.

Ketika kita ingin mengetahui sejauh mana efektivitas dari hukum, maka kita pertama –tama harus dapat mengukur sejauh mana aturan hukum itu ditaati oleh sebagian target yang menjadi sasaran ketaatannya, kita akan mengatakan bahwa aturan hukum yang bersangkutan adalah efektif, namun demikian sekalipun dapat dikatakan aturan yang ditaati itu efektif, tetapi kita masih tetap dapat mempertanyakan lebih jauh derajat efektivitasnya.8

8 Achmad Ali, 2009, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan

(Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang – Undang (Legisprudence), Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h.375.


(25)

11

Berbicara mengenai efektivitas hukum, Soerjono Soekanto sebagaimana di kutip dalam Siswanto Sunarso berpendapat tentang pengaruh hukum, yaitu sebagai berikut :

Salah satu fungsi hukum baik sebagai sikap tindak atau perilaku teratur adalah membimbing perilaku manusia. Masalah pengaruh hukum tidak hanya terbatas pada timbulnya ketaatan atau kepatuhan hukum, tetapi mencakup efek total dari hukum terhadap sikap atau perilaku baik yang bersifat positif maupun negatif.9

Berkaitan dengan hal tersebut di atas, Friedman sebagaimana dikutip dalam Siswanto Sunarso mengemukakan bahwa :

“pengaruh hukum terhadap sikap tindak atau perilaku dapat

diklasifikasikan sebagai ketaatan (Compliance), ketidaktaatan atau penyimpangan (deviance), dan pengelakan (evasion). Konsep – konsep ketaatan, ketidaktaatan atau penyimpangan, dan pengelakan sebenarnya berkaitan dengan hukum yang berisikan larangan atau suruhan. Bilamana hukum tersebut berisikan kebolehan, perlu dipergunakan konsep – konsep lain, yakni penggunaan (use), tidak menggunakan (nonuse), dan penyalahgunaan (misuse), hal tersebut adalah lazim

di bidang hukum perikatan.”10

Efektivitas hukum menurut Scolars sebagaimana dikutip oleh friedman dalam Siswanto Sunarso diakui bahwa “pada umumnya dapat dikelompokkan dalam teori tentang perilaku hukum ialah aktualisasi kegiatan hukum.11

Selanjutnya Siswanto Sunarso mengemukakan bahwa “efektivitas penegakan hukum amat berkaitan erat dengan efektivitas hukum. Agar hukum itu efektif, maka diperlukan aparat penegak hukum untuk menegakkan sanksi tersebut.Suatu

9 Soerjono Soekanto, 1988, Efektivitas Hukum dan Peranan Sanksi, Ramadja

Karya Bandung, dikutip dari Siswanto Sunarso, 2011, Penegakan Hukum Psikotropika

Dalam Kajian Sosiologi Hukum,(selanjutnya disingkat Soerjono Soekanto I),Cet.IV, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.88.

10Ibid, h.89. 11Ibid.


(26)

12

sanksi yang dapat diaktualisasikan kepada masyarakat dalam bentuk ketaatan (compliance), dengan kondisi tersebut menunjukkan adanya indikator bahwa hukum tersebut adalah efektif”.12

2) Teori Penegakan Hukum

Secara umum penegakan hukum dapat diartikan sebagai tindakan menerapkan perangkat sarana hukum tertentu untuk memaksakan sanksi hukum guna menjamin penataan terhadap ketentuan yang ditetapkan. Menurut Satjipto Rahardjo, “penegakan hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan – keinginan hukum (yaitu pikiran – pikiran badan pembuat undang – undang yang dirumuskan dalam peraturan –peraturan hukum) menjadi kenyataan”.13

Menurut Soerjono Soekanto dalam bukunya yang berjudul penegakan hukum, menyebutkan bahwa :14

Suatu penegakan hukum dapat dilakukan dengan baik dan mantap bukan hanya dilihat dari jumlah peraturan yang tertulis yang telah dikeluarkan dan luas bidang suatu kehidupan masyarakat karena hal itu akan mewujudkan penegakan hukum secara formal saja, namun dalam segi materialnya lebih hukum itu sendiri, karena tanpa kegiatan tersebut kesulitan besar akan dihadapi disamping biaya social yang sangat besar. Penegakan hukum (law enforcement) dalam arti luas mencakup kegiatan untuk melaksanakan dan menerapkan hukum serta melakukan tindakan hukum terhadap pelanggaran atau penyimpangan hukum yang dilakukan oleh subyek

12Ibid.

13 Satjipto Rahardjo, 1996, Masalah Penegakan Hukum, Sinar Baru, Bandung, h.

24.

14Soerjono Soekanto, 1983,Penegakan Hukum, Binacipta, Bandung, (selanjutnya


(27)

13

hukum.Penegakan hukum mencakup pula segala aktivitas yang dimaksud agar hukum sebagai perangkat kaidah normatif yang mengatur dan mengikat para subjek hukum dalam segala aspek kehidupan masyarakat dan bernegara benar – benar ditaati dan sunguh – sunguh dijalankan sebagaimana mestinya.

Secara umum, sebagaimana dikemukakan oleh Soerjono Soekanto, faktor– faktor yang mempengaruhi dalam penegakan hukum ada 5 macam antara lain :15

1. Faktor hukum atau norma hukum yang berlaku;

2. Faktor penegakan hukum, yakni pihak – pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum;

3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum;

4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan;

5. Faktor kebudayaan, yang sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karya manusia dalam pergaulan hidup;

Faktor – faktor tersebut saling berkaitan satu sama lain, sebab merupakan bagian dari penegakan hukum, juga merupakan tolak ukur dari efektivitas berlakunya undang – undang atau peraturan. Dari kelima faktor tersebut dapat dikaji berdasarkan Teori Sistem hukum dari Lawrence M. Friedman. Teori Sistem Hukum dari sistem kemasyarakatan, maka hukum mencakup tiga komponen yaitu :16

a. Legal substance (subtansi hukum) : merupakan aturan – aturan, norma-norma dan pola tingkah laku nyata manusia yang berada dalam sistem itu termasuk produk yang dihasilkan oleh orang yang berada di dalam sistem hukum itu, mencakup keputusan yang mereka keluarkan atau aturan baru yang merela susun.

15Ibid, h 30.

16Lawrence M. Friedman, 1969, The Legal System; A Social Science Perspektif,


(28)

14

b. Legal structure (struktur hukum) : merupakan kerangka, bagian yang tetap bertahan, bagian yang memberikan semacam bentuk dan batasan terhadap keseluruhan instansi – instansi penegak hukum antara lain ; institusi atau penegak hukum seperti advokat, polisi, jaksa dan hakim. c. Legal culture (budaya hukum) : merupakan suasana pikiran sistem dan

kekuatan social yang menentukan bagaimana hukum itu digunakan, dihindari atau disalah gunakan oleh masyarakat.

Sebagai daerah otonom, pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota, berwenang untuk membuat peraturan daerah dan peraturan kepala daerah, guna menyelenggarakan urusan otonomi daerah dan tugas pembantuan. Peraturan daerah ditetapkan oleh kepala daerah, setelah mendapat persetujuan bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Dalam menegakan Peraturan Daerah,Pemerintah Daerah wajib menyebarluaskan Peraturan Daerah tersebut yang telah diundangkan dalam berita daerah.

Untuk menegakkan peraturan daerah tersebut, dibentuk Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) yang bertugas dalam membantu kepala daerah untuk menegakkan Peraturan Daerah dan penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat.17

Anggota Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) dapat diangkat sebagai penyidik pegawai negeri sipil dan penyelidikan, serta penuntutan terhadap pelanggaran atas ketentuan Peraturan Daerah dilakukan oleh pejabat penyidik dan penuntut umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang – undangan. Maka dari itu peran Satpol PP sangat penting dalam penyelenggaraan penegakan hukum

17 Siswanto Sunarno, 2009, Hukum Pemerintah Daerah di Indonesia, Sinar


(29)

15

Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 10 Tahun 2011 Tentang Kawasan Tanpa Rokok.

Dalam menegakkan Peraturan Daerah dapat juga ditunjuk pejabat lain yang diberi tugas untuk melakukan penyidikan terhadap pelanggaran selama berdasarkan pada ketentuan peraturan daerah tersebut.18

Teori penegakan hukum dalam kaitannya dengan pembahasan skripsi ini adalah penegakan hukum terhadap masyarakat yang melanggar ketentuan larangan dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 10 tahun 2011 tentang Kawasan Tanpa Rokok.

3) Teori Kesadaran Hukum

Kesadaran hukum tidaklah lepas dari ketaatan hukum, dan kesadaran hukum yang baik adalah ketaatan hukum.Pernyataan kesadaran hukum disandingkan sebagai awal dari ketaatan hukum itu sendiri.

Sosiologi hukum sangat berperan dalam upaya sosialisasi hukum demi untuk meningkatkan kesadaran hukum yang positif, baik dari warga masyarakat secara keseluruhan maupun dari kalangan penegak hukum. Sebagaimana diketahui bahwa kesadaran hukum ada dua macam :

a. Kesadaran hukum positif, identik dengan ‘ketaatan hukum’.

b. Kesadaran hukum negatif, identik dengan ‘ketidaktaatan hukum’.19 Hukum berbeda dengan ilmu yang lain dalam kehidupan manusia, hukum berbeda dengan ilmu seni, dan profesionalis lainya, struktur hukum pada dasarnya berbasis pada kewajiban dan komitmen. Kewajiban moral untuk mentaati dan

18Ibid.


(30)

16

peranan peraturan membentuk karakteristik masyarakat. Didalam kenyataannya kesadaran hukum tidaklah sama dengan kesadaran sosial lainnya, memenuhi ketaatan hukum harus didasari dari kesadaran hukum yang timbul dari diri masyarakat. Tidaklah berlebihan bila ketaatan dalam hukum cenderung dipaksakan akibat kesadaran yang tidak ada masyarakat itu sendiri.

Selanjutnyta Menurut Soerjono Soekanto ada empat idikator kesadaran hukum, yaitu :

a. Pengetahuan tentang hukum. b. Pemahaman tentang hukum. c. Sikap terhadap hukum; dan d. Perilaku hukum.20

Teori kesadaran hukum dalam kaitannya dengan pelaksanaan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 10 Tahun 2011 tentang Kawasan Tanpa Rokok adalah bila mana masyarakat dapat taat dan patuh terhadap peraturan yang mengatur kawasan tanpa rokok dan faktor apa saja yang dapat mempengaruhi masyarakat terhadap ketaatan hukum yang berlaku dan mengatur kawasan tanpa rokok itu sendiri.

1.8 Metode Penelitian

Sebagai karya ilmiah yang baik, tentulah menggunakan suatu metode tertentu di dalam pendekatan dan penyelesaian masalahnya, karena metode bertujuan untuk memenuhi syarat sebagai suatu skripsi yang di pertanggungjawabkan.

1.8.1 Jenis Penelitian


(31)

17

Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip – prinsip hukum, maupun doktrin – doktrin hukum guna menjawab isuhukum yang dihadapi.21 Dalam penelitian hukum dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu penelitian hukum normatif dan penelitian hukum empiris :22

1. Penelitian hukum normatif adalah suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya. Logika keilmuan yang ajeg dalam penelitian hukum normatif dibangun berdasarkan disiplin ilmiah dan cara – cara kerja hukum normatif, yaitu hukum yang objeknya hukum itu sendiri.23

2. Penelitian hukum empiris adalah istilah dari penelitian hukum sosiologis pada penelitian sosiologis, hukum di konsepkan sebagai pranata sosial yang secara riil dikaitkan dengan variabel – variabel sosial yang lain. Apabila hukum sebagai gejala sosial yang empiris sifatnya, dikaji sebagai variabel bebas/sebab (independent variable) yang menimbulkan pengaruh dan akibat pada berbagai kehidupan sosial, kajian itu merupakan kajian hukum yang sosiologis (socio-legal research).24

Jenis penelitian yang digunakan oleh penulis adalah penelitian hukum empiris.Menurut Soerjono Soekanto penelitian hukum empiris atau sosiologis terdiri dari penelitian terhadap hukum identifikasi hukum (tidak tertulis) dan

21 Peter Mahmud Marzuki, 2008, Penelitian Hukum, Cetakan ke IV, Kencana

Prenada Media Group, Jakarta, h. 35.

22 Bambang Waluyo, 2002, Penelitian Hukum dan Praktek, Cetakan III, Sinar

Grafika, Jakarta, h. 13.

23 Johnny Ibrahim, 2005, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, Cetakan

Pertama, Bayumedia Publishing, Malang, h. 57.

24Amiruddin dan H. Zainal Asikin, 2010, Pengantar Metode Penelitian Hukum,


(32)

18

penelitian terhadap efektivitas hukum.25 Sehingga penulis mengkaji bagaimanakah efektivitas pelaksanaan dari Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 10 Tahun 2011 tentang Kawasan Tanpa Rokok ini dalam penerapannya di masyarakat.Penelitian hukum empiris menurut sifatnya dapat dibedakan menjadi:

1. Penelitian yang bersifat Eksploratif (Penjajahan atau penjelajahan). 2. Penelitian yang bersifat Deskriptif.

3. Penelitian yang bersifat Eksplanatoris.

Dalam hal ini penulis menggunakan penelitian yang bersifat dekriptif. Sifat deskriptif ini pada penelitian secara umum, termasuk pula dalam penelitian ilmu hukum, bertujuan menggambarkan secara tepat sifat – sifat suatu individu, keadaan gejala atau kelompok tertentu atau untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara gejala yang satu dengan gejala lainnya di dalam masyarakat.

Penelitian ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran atau data yang di peroleh, digunakan untuk menelitiapakah Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 10 Tahun 2011 tentang Kawasan Tanpa Rokok sudah terlaksana sesuai ketentuan yang di muat dalam Peraturan Daerah tersebut atau tidak.

1.8.2 Jenis Pendekatan.

Penelitian hukum umumnya mengenal 7 (tujuh) jenis pendekatan yakni : 1. Pendekatan Kasus (The Case Approach).

2. Pendekatan Perundang – Undangan (The Statute Approach).

3. Pendekatan Fakta (The Fact Approach)

4. Pendekatan Analisis Konsep Hukum (Analitical & Conseptual Approach).

5. Pendekatan Frasa (Words & Phrase Approach).

25 Soerjono Soekanto, 2007, Pengantar Penelitian Hukum, Cetakan ke III,


(33)

19

6. Pendekatan Sejarah (Historical Approach).

7. Pendekatan Perbandingan (Comparative Approach).

Jenis pendekatan penelitian hukum yang digunakan adalah Pendekatan Perundang – Undangan (The Statue Approach) dan Pendekatan Fakta (The Fact Approach).Pendekatan Perundang – Undangan (The Statue Approach) yang artinya adalah dilakukan dengan menelaah semua undang – undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang di tangani.26Pendekatan Fakta (The Fact Approach)yang artinya bahwa pendekatan yang di lakukan berdasarkan fakta – fakta yang terjadi di lapangan yang ada kaitannya dengan permasalahan isu hukum yang sedang di tangani.

1.8.3 Sumber Data.

Adapun sumber data yang digunakan dalam penulisan hukum empiris ada 2 (dua) jenis yaitu :

1. Data Primer adalah data-data yang di peroleh langsung dalam penelitian di lapangan berupa data wawancara (interview) para informandari instansi yang berwenang mengawasi pelaksanaan Peraturan Daerah Provinsi Bali tentang Kawasan Tanpa Rokok.

2. Data Skunder adalah data yang di peroleh dari data kepustakaan (Library Research) yaitu dimana data – data atau bahan penulisan ini di peroleh dari literatur – literatur dan peraturan Perundang – undangan yang ada kaitannya dengan masalah. Mengenai data skunder ini berdasarkan kekuatan mengikat dari isinya dapat dibagi menjadi 3 (tiga):


(34)

20

a. Data Primer, yaitu data yang isinya mengikat dan dikeluarkan oleh pemerintah, seperti berbagai peraturan perundang – undangan, putusan pengadilan, traktat dan lain – lain. Dalam penelitian ini, peraturan perundang – undangan yang digunakan adalah :

 Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.  Undang – Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi

Manusia.

 Undang – Undang No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukkan Peraturan Perundang-undangan.

 Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara.

 Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan.

 Peraturan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Dalam Negeri No. 7 Tahun 2011 tentang Pedoman Pelaksanaan Kawasan Tanpa Rokok.

 Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 10 Tahun 2011 Tentang Kawasan Tanpa Rokok.

 Peraturan Gubernur Provinsi Bali Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Pelaksanaan Kawasan Tanpa Rokok.


(35)

21

b. Data Skunder yaitu bahan yang isinya membahas bahan primer, seperti buku, artikel, laporan penelitiandan berbagai karya tulis ilmiah lainnya.

c. Data Tersier yaitu bahan – bahan yang bersifat menunjang bahan primer dan skunder, seperti kamus, buku pegangan dan lain – lain.

1.8.4 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan bahan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah adalah dengan teknik studi dokumen dan teknik wawancara

(interview).Teknik Studi Dokumen merupakan teknik awal yang digunakan dalam setiap penelitian ilmu hukum, baikdalam penelitian hukum normatifmaupun dalam penelitian empiris, karena meskipun aspeknya berbeda namun keduanya adalah penelitian ilmu hukum yang selalu bertolak dari premis normatif. Studi dokumen dilakukan atas bahan – bahan hukum yang relevan dengan permasalahan penelitian.27

Menurut M. Mochtar, teknik wawancara adalah teknik atau metode memperoleh informasi untuk tujuan penelitian dengan cara melakukan tanya jawab serta langsung (tatap muka), antara pewawancara dengan responden. Selain

27Fakultas hukum, 2013, Pedoman Pendidikan Fakultas Hukum Universitas


(36)

22

dengan cara tatap muka wawancara dapat dilakukan secara tidak langsung dengan telepon atau surat.28

Dalam pengumpulan data melalui studi kepustakaan atau library research, teknik yang digunakan adalah membaca, menganalisa literatur – literatur yang terkait dengan masalah yang diteliti sehingga nantinya akan di tarik sebuah kesimpulan terhadap data tersebut.

1.8.5 Teknik Analisis

Penelitian hukum empiris dikenal dengan model – model analisis seperti analisis kualitatif dan analisis kuantitatif. Dalam analisis data ini, penulis menggunakan analisis data kualitatif karena dilihat sifat dari penelitiannya berupa deskriptif dan disajikan secara deskriptif kualitatif, dengan menggambarkan secara lengkap sebagaimana adanya tentang aspek – aspek yang berkaitan dengan masalah yang dibahas yaitu mengenai Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 10 Tahun 2011 tentang Kawasan tanpa Rokok sehingga dapat diperoleh suatu kebenaran dan suatu kesimpulan.

28 M. Mochtar, 1998, Pengantar Metodelogi Penelitian, Sinar Karya Dharma IIP,


(37)

23

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG KOTA SINGARAJA, PEMERINTAH DAERAH, PERATURAN DAERAH, DAN KAWASAN TANPA

ROKOK

1.1 Tinjauan Umum Tentang Kota Singaraja

Kota Singaraja merupakan wilayah administratif dari Kabupaten Buleleng, Kabupaten Buleleng adalah bagian dari Daerah Pemerintah Provinsi Bali yang terletakdi belahan utara Pulau Bali yang dibatasi oleh Kabupaten Jembrana di bagian Barat, Tabanan, Badung dan Bangli dibagian Selatan, sedangkan di sebelah Timurnya dibatasi oleh Kabupaten Karangasem dan di sebelah utaranya adalah Laut Jawa.1

Provinsi Bali merupakan daerah otonom yang mempunyai batas – batas wilayah, yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat dengan sendiri, dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, melaksanakan wewenang, kewajiban dan tanggungjawabnya serta kuasa peraturan perundang – undangan yang lebih tinggi dapat menetapkan kebijakan daerah.

Berkaitan dengan hal tersebut kebijakan yang dirumuskan antara lain yaitu peraturan daerah, peraturan kepala daerah dan ketentuan lainnya, salah satu peraturan daerah yang ditetapkan oleh Pemerintah Provinsi Bali adalah Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 10 tahun 2011 tentang Kawasan Tanpa Rokok, sebagai bagian dari pemerintahan Provinsi Bali Kabupaten Buleleng wajib

1http://bulelengkab.go.iddi akses pada tanggal 14 januari 2016.


(38)

24

menerapkan Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2011 tentang Kawasan Tanpa Rokok di wilayahnya, salah satunya adalah di Kota Singaraja.

Secara geografis Kota Singaraja terletak di 8o3’40” - 8o23’00” LS dan 144o25’55” - 155o27’28” BT, luas seluruh wilayah Kota Singaraja adalah 27,89 km2 pada tahun 2002 yang terdiri dari lahan sawah seluas 844,15 km2, tegal/huma seluas 464,46 km2, perkebunan seluas 121 km2, pekarangan seluas 1063,46 km2, kuburan seluas 6,61 km2 dan lain lain seluas 216,09 km2. Jumlah penduduk

Kota Singaraja berdasarkan dari statistik Kabupaten Buleleng 2003 berjumlah 82.527 jiwa dengan kepadatan 3.200 jiwa/km2 dan rata – rata pertumbuhan penduduknya mencapai 1,01% per tahun.2

Secara administratif Kota Singaraja terbagi menjadi 18 (delapan belas) Kelurahan dan 1 (satu) Desa, yaitu Kelurahan Banyuasri, Kelurahan Kaliuntu, Kelurahan Kampung Anyar, Kelurahan Kampung Bugis, Kelurahan Kampung Kajanan, Kelurahan Kampung Baru, Kelurahan Banjar Bali, Kelurahan Banjar Jawa, Kelurahan Banyuning, Kelurahan Astina, Kelurahan Kendran, Kelurahan Singaraja, Kelurahan Liligundi, Kelurahan Paket Agung, Kelurahan Banjar Tegal, Kelurahan Beratan, Kelurahan Penarukan, Kelurahan Sukasada, dan Desa Baktiseraga.3

Kota Singaraja sebagai daerah administratif, atau daerah lingkungan kerja perangkat pemerintah yang menyelenggarakan tugas pemerintahan umum di Kabupaten Buleleng, terdapat berbagai instansi pemerintahan yang ada

2http://www.bulelengkab.go.id di akses tanggal 8 oktober 2015.

3http://www.bulelengkab.go.id/index.php/selayang/2/Kondisi-Fisik di akses tanggal 8 oktober 2015.


(39)

25

danterpusat di Kota Singaraja, dengan total keseluruhan 26 (dua puluh enam) kantor instansi yaitu ;

“Dinas Kebersihan dan Pertamanan, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Dinas Kehutanan dan Perkebunan, Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, Dinas Kesehatan, Dinas Komunikasi dan Informatika, Dinas Koperasi, Perdagangan dan Perindustrian, Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Pendapatan, Dinas Pendidikan, Dinas Perhubungan, Dinas Perikanan dan Kelautan, Dinas Pertanian dan Peternakan, Dinas Sosial, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Badan Keluarga Berencana dan Pemerdayaan Perempuan, Badan Kepegawaian Daerah, Badan Kesatuan Bangsa dan Politik, Badan lingkungan Hidup, Badan Pelayanan Perijinan Terpadu, Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa, Badan Penanggulangan Bencana Daerah, Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, Inspektorat, dan Satuan Polisi

Pamong Praja”.4

1.2 Tinjauan Umum Tentang Pemerintah Daerah

Pemerintah dan pemerintahan merupakan hal yang berbeda, Pemerintah adalah lembaga atau badan – badan politik yang mempunyai fungsi melakukan upaya untuk mencapai tujuan Negara sedangkan pemerintahan adalah semua kegiatan lembaga atau badan publik dalam menjalankan fungsinya untuk mencapai tujuan Negara. Dari pengertian tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa pemerintah pada hakikatnya adalah aspek statis, sedangkan pemerintahan adalah aspek dinamisnya.Selanjutnya Emaya menyebutkan bahwa dalam pemerintahan dapat dibedakan dalam pengertian luas dan dalam pengertian sempit, pengertian luas adalah segala kegiatan badan publik yang meliputi kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif dalam usaha mencapai tujuan

4http://www.bulelengkab.go.id/index.php/instansi/21/Dinas di akses tanggal 8 Oktober 2015.


(40)

26

Negara.Dalam arti sempit pemerintahan adalah segala kegiatan publik yang meliputi kekuasaan eksekutif.5

Indonesia adalah Negara kepulauan yang seluruh daerahnya merupakan daerah otonom yang mendapat pengakuan oleh Negara. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 18 ayat (1) Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia

dinyatakan bahwa “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah –

daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota yang tiap – tiap provinsi, kabupaten dan kota itu, mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan Undang – Undang.

Berdasarkan Pasal 1 angka 8 Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2014

tentang Pemerintahan Daerah menyatakan bahwa, “Desentralisasi adalah

penyerahan urusan pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom

berdasarkan Asas Otonomi.” Pada sistem pemerintahan yang terbaru tidak lagi

menerapkan sistem pemerintahan sentralisasi, melainkan sistem otonomi daerah yang memberikan wewenang kepada pemerintahan daerah untuk mengambil kebijakan.Kelebihan sistem ini adalah sebagaian keputusan atau kebijakan yang ada di daerah dapat diputuskan di daerah tanpa campur tangan pemerintah pusat.6

Berdasarkan Pasal 1 angka 2 Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan bahwa, “Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan

5 Jazim Hamidi dan Mustafa Lutfi, 2010, Education Antara Realita Politik dan Implementasi Hukumnya, Gramedia Pustaka Umum, Jakarta, h. 138.

6 Khairul Ikhwan Damanik, et. Al., 2010, Otonomi Daerah, Etnonasionalisme,


(41)

27

prinsip otonomi seluas – luasnya dalam prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang – Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 “Otonomi daerah adalah hak, wewenang dan

kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Negara

Kesatuan Republik Indonesia”.

Pembagian urusan pemerintahan di Indonesia, pada hakikatnya dibagi dalam kategori, yakni urusan pemerintahan yang dikelola oleh pemerintah pusat (pemerintah), urusan pemerintah yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah provinsi, urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten/kota.

Urusan pemerintahan yang menjadi urusan pemerintah, meliputi :7

1. Politik luar negeri; 2. Pertahanan; 3. Keamanan; 4. Yustisi;

5. Moneter dan fiscal nasional; 6. Agama;

Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan, pemerintah menyelenggarakan sendiri, atau dapat melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada perangkat pemerintahan atau wakil pemerintahan di daerah atau dapat menugaskan kepada pemerintah daerah dan/atau pemerintahan desa.Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah daerah, terdiri atas urusan wajib dan urusan pilihan.Urusan wajib, artinya penyelenggaraan

7 Siswanto Sunarno, 2009, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, Sinar


(42)

28

pemerintahan yang berpedoman pada standar pelayanan minimal, dilaksanakan bertahap dan ditetapkan oleh pemerintah. Adapun untuk urusan pemerintahan yang bersifat pilihan, baik untuk pemerintahan daerah provinsi dan pemerintahan daerah kabupaten/kota, meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan.8

Daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah, yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri, berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik indonesia. Berdasarkan rumusan tersebut, dalam daerah otonom terdapat unsur-unsur sebagai berikut:9

a. Unsur (elemen) batas wilayah. Sebagai kesatuan masyarakat hukum batas suatu wilayah adalah sangat menentukan untuk kepastian hukum bagi pemerintah dan masyarakat dalam melakukan interaksi hukum, misalnya dalam penetapan kewajiban tertentu sebagai warga masyarakat seta pemenuhan hak-hak masyarakat terhadap fungsi pelayanan umum pemerintahan dan peneingkatan kesejahteraan secara luas kepada masyarakat setempat. Di sisi lain, batas wilayah ini snagat penting apabila ada sengketa hukum yang menyangkut wilayah perbatasan antar daerah. Dengan perkataan lain, dapat dinyatakan bahwa suatu daerah harus mempunyai wilayah dengan batas-batas yang jelas sehingga dapat dibedakan antara daerah yang satu dengan daerah lainnya.

b. Unsur (elemen) pemerintahan.Eksistensi pemerintahan di daerah, didasarkan atas legitimasi undang-undang yang memberikan kewenangan kepada pemerintahan daerah, untuk menjalankan urusan pemerintahan yang berwenang mengatur berdasrkan kreativitasnya sendiri. Elemen pemerintahan daerah adalah meliputi pemerintahan daerah dan lembaga DPRD sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.

c. Unsur masyarakat.Masyarakat sebagai elemen pemerintahan daerah merupakan kesatuan masyarakat hukum, baik gemeinscahft maupun

8Ibid, h. 35. 9Ibid, h. 6.


(43)

29

gesselscahft jelas mempunyai tradisi, kebiasaan, dan adat istiadat yang turut mewarnai sistem pemerintahan daerah, mulai dari bentuk cara berpikir, bertindak, dan kebisasaan tertentu dalam kehidupan masyarakat. Bentuk-bentuk partisipatif budaya masyarakat antara lain gotong royong, permusyawaratan, cara menyatakan pendapat dan pikiran yang menunjang pembangunan daerah untuk meningkatkan kesejahteraan melalui pelayanan pemerintahan.

Konsep pemikiran tentang otonomi daerah, mengandung pemaknaan terhadap eksistensi otonomi tersebut terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah.Pemikiran pertama, bahwa prinsip otonomi daerah dengan menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya.Artinya seluas-luasnya mengandung makna bahwa daerah diberikan kewenangan membuat kebijakan daerah, untuk memberikan pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan untuk peningkatan kesejahteraan rakyat.10

Pemikiran kedua, bahwa prinsip otonomi daerah dengan menggunakan prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab. Prinsip otonomi nyata adalah suatu prinsip bahwa untuk menangani urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang, dan kewajiban yang senyatanya telah ada, serta berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan yang telah ada, serta berpotensi untuk tumbuh, hidup, dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah. Dengan demikian, isi dan jenis otonomi bagi setiap daerah tidak selalu sama dengan daerah lainnya. Adapun otonomi yang bertanggung jawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi, yang pada dasarnya untuk


(44)

30

memberdayakan daerah temasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian utama dari tujuan nasional.11

1.3 Pengertian Peraturan Daerah

Kabupaten Buleleng sebagai daerah otonom memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerah, berupa usrusan-urusan pemerintahan yang diserahkan secara luas oleh Pemerintah Pusat sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Kewenangan pemerintah daerah selanjutnya diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Kabupaten/Kota.

Dalam ketentuan Pasal 1 angka 5 Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota menyatakan bahwa,

“Urusan pemerintahan adalah fungsi-fungsi pemerintahan yang menjadi hak dan kewajiban setiap tingkatan dan/atau susunan pemerintahan untuk mengatur dan mengurus fungsi-fungsi tersebut yang menjadi kewenangannya dalam rangka

melindungi, melayani, memberdayakan, dan menyejahterakan masyarakat”.

Sesuai dengan ketentuan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah diatur urusan pemerintahan konkuren sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) yang menjadi kewenangan daerah terdiri atas urusan pemerintahan wajib dan urusan pilihan, Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 10 Tahun 2011 tentang Kawasan Tanpa Rokok merupakan urusan


(45)

31

pemerintahan wajib karena berkaitan dengan pelayanan dasar yaitu mengenai kesehatan, pelayanan dasar diatur pada Pasal 12 yang menetapkan bahwa :

(1) Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) meliputi:

a. Pendidikan; b. Kesehatan;

c. Pekerjaan umum dan penataan ruang;

d. Perumahan rakyat dan kawasan permukiman;

e. Ketentraman, ketertiban umum, dan perlindungan masyarakat; dan f. Sosial;

(2) Urusan Pemerintahan Wajib yang tidak berkaitan dengan Pelayanan Dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) meliputi: a. Tenaga kerja;

b. Pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak; c. Pangan;

d. Pertahanan;

e. Lingkungan hidup;

f. Admisistrasi kependudukan dan pencatatan sipil; g. Pemberdayaan masyarakat dan Desa;

h. Pengendalian penduduk dan keluarga berencana; i. Perhubungan;

j. Komunikasi dan informatika;

k. Koperasi, usaha kecil dan menengah; l. Penanaman modal

m. Kepemudaan dan olah raga; n. Statistik;

o. Persandian; p. Kebudayaan; q. Perpustakaan; dan r. Kearsipan.

(3) Urusan pemerintahan pilihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) meliputi:

a. Kelautan dan perikanan; b. Pariwisata;

c. Pertanian; d. Kehutanan;

e. Energi dan sumber daya mineral; f. Perdagangan;

g. Perindustrian; dan h. Transmigrasi.

Dalam pelaksanaan peraturan daerah juga harus sesuai dengan hierarki peraturan perundang-undangan menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011


(46)

32

tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang dalam Paal 7 ayat (1) menyebutkan sebagai berikut:

(1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas: a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; d. Peraturan Pemerintah;

e. Peraturan Presiden;

f. Peraturan Daerah Provinsi; dan g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Dari penjelasan di atas, maka peraturan daerah menjadi sangatlah penting sebagai dasar bagi pemerintah daerah dalam menjalankan roda

pemerintahannya.Berdasarkan pendapat dari Irawan Soejito “Peraturan Daerah

merupakan suatu keputusan yang sifatnya umum dan dimaksudkan berlaku lama serta mempunyai kekuatan hukum yang mengikat setiap penduduk di daerah

hukum tersebut”.12

Pengertian atau definisi peraturan daerah menurut Deddy Supriady Bratakusumah dan Dadang Solihin adalah peraturan yang ditetapkan oleh Kepala Daerah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyar Daerah.13

Selanjutnya Deddy Supriady Bratakusumah dan Dadang Solihin mengemukakan:

1. Kepala daerah menetapkan peraturan daerah dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

2. Peraturan daerah hanya ditandatangani oleh kepala daeah dan tidak ditandatangani serta Pimpinan DPRD, karena DPRD bukan merupakan bagian dari peraturan daerah.

12 Irawan Soejito, 1983, Teknik Membuat Peraturan Daerah, PT. Bima Aksara,

Jakarta, h. 9.

13 Deddy Supriady Bratakusumah dan Dadang Solihin, 2003, Otonomi


(47)

33

3. Peraturan daerah tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum, peraturan daerah lain dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

4. Peraturan daerah dapat memuat ketentuan tentang pembebanan biaya paksaan penegakan hukum, seluruhnya atau sebagian kepada pelanggar.

5. Peraturan daerah dapat memuat ancaman pidana kurungan paling lama enam bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp.5.000.000,00 (lima juta rupiah) dengan atau tidak merampas barang tertentu untuk daerah, kecuali jika ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan.

6. Peraturan daerah dan keputusan kepala daerah yang mengatur diundangkan dengan menempatkannya dalam lembaran daerah.14

Pengertian mengenai peraturan daerah kabupaten/kota terdapat dalam Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, “Peraturan Daerah Kabupaten/Kota adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah Kabupaten/Kota dengan persetujuan bersama Bupati/Walikota”.

Mengenai materi muatan dalam peraturan daerah diatur dalam Pasal 14 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menyebutkan bahwa, “Materi muatan Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota berisi materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi khusus daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut Peraturan

Perundang-undangan yang lebih tinggi”.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yaitu Pasal 236 menjelaskan bahwa:

(1) Untuk menyelenggarakan Otonomi Daerah dan Tugas Pembantuan, Daerah membentuk Perda.


(48)

34

(2) Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk oleh DPRD dengan persetujuan bersama kepala daerah.

(3) Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat materi muatan: a. Penyelenggaraan Otonomi Daerah dan Tugas Pembantuan; dan b. Penjabaran lebih lanjut ketentuan peraturan perundang-undangan

yang lebih tinggi.

(4) Selain materi muatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) Perda dapat memuat materi muatan lokal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Seperti yang telah dikemukakan bahwa peraturan daerah tersebut merupakan peraturan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan persetujuan bersama Kepala Daerah dan memuat materi muatan berupa penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, serta memuat materi muatan lokal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

1.4 Pengertian Kawasan Tanpa Rokok (KTR)

Pembangunan di bidang kesehatan merupakan salah satu upaya pembangunaan nasional yang ditujukan guna tercapainya kesadaran, kemauan dan kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap penduduk, agar dapat diwujudkan derajat kesehatan yang optimal. Untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat, diselenggarakan berbagai upaya kesehatan dimana salah satu upaya dimaksud adalah pengamanan zat adiktif sebagaimana diatur dalam Pasal 113 Undang – Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

Rokok mengandung zat adiktif yang sangat berbahaya bagi kesehatan manusia. Zat adiktif adalah zat yang jika dikonsumsi manusia akan menimbulkan adiksi atau ketagihan dan dapat menimbulkan berbagai penyakit seperti penyakit paru obstruktif kronik, penyakit jantung, stroke, kanker paru, kanker mulut, kelainan kehamilan dan janin, dan impotensi. Rokok merupakan hasil olahan


(49)

35

tembakau terbungkus termasuk cerutu atau bentuk lainnya yang dihasilkan dari tanaman Nicotiana Tabacum, Nicotiana Rustica dan spesies lainnya tau sintesisnya yang mengandung nikotin dan tar dengan atau tanpa bahan tambahan.

Berdasarkan Perda Provinsi Bali tentang KTR, pada bagian penjelasan umum, dijelaskan bahwa asap rokok tidak hanya membahayakan perokok, tetapi juga membahayakan orang lain di sekitar perokok (Perokok Pasif). Asap rokok mengandung ribuan zat kimia atau komponen asap juga disebut sebagai emisi asap, komponen asap yang paling luas dikenal adalah tar, nikotin, dan karbon monoksida (CO), selain zat – zat tersebut hingga saat ini lebih dari 7,000 zat kimia telah diketahui terkandung dalam asap rokok.15Komponen asapinilah sebagian besar yang menyebabkan penyakit terkait dengan merokok.

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 3 yang dimaksud dengan kawasan

tanpa rokok yang selanjutnya disebut KTR adalah “ruangan atau area yang

dinyatakan dilarang untuk kegiatan merokok atau kegiatan memproduksi, menjual, mengiklankan, dan/atau mempromosikan produk tembakau”. Adapun kawasan yang dimaksud dalam kategori KTR diatur dalam Pasal 2 Perda Provinsi Bali tentang KTR meliputi : Fasilitas pelayanan kesehatan, Tempat proses belajar mengajar, Tempat anak bermain, tempat ibadah, Angkutan umum, Tempat kerja, Tempat umum, dan Tempat lain yang ditetapkan.

Kawasan Tanpa Rokok merupakan tanggung jawab seluruh komponen bangsa baik itu pemerintah, individu, masyarakat dan lembaga non pemerintah, hal ini berhubungan dengan perlindungan terhadap hak – hak generasi sekarang

15URL:http://www.sampoerna.com/id_id/our_products/pages/what_is_in_ cigarette_smoke.aspx, Diakses Pada Tanggal 12 Agustus 2015.


(50)

36

maupun generasi yang akan datang dan lingkungan hidup yang sehat bebas dari asap rokok. Komitmen bersama akan berpengaruh terhadap keberhasilan kawasan tanpa rokok.

Adapun tujuan penetapan kawasan rokok sebagaimana dimuat dalam buku pedoman penetapan Kawasan Tanpa Rokok yang diterbitkan oleh Kementrian Kesehatan Republik Indonesia antara lain untuk menurunkan angka kesakitan dan/atau angka kematian dengan cara mengubah perilaku masyarakat untuk hidup sehat, meningkatkan produktivitas kerja yang optimal, mewujudkan kualitas udara yang sehat dan bersih, bebas dari asap rokok, menurunkan angka perokok dan mencegah perokok pemula, mewujudkan generasi muda yang sehat. Dan selain itu manfaat penetapan kawasan tanpa rokok merupakan upaya perlindungan untuk masyarakat terhadap resiko ancaman gangguan kesehatan karena lingkungan tercemar asap rokok.16Penetapan kawasan tanpa rokok ini perlu diselenggarakan pada tempat – tempat yang ditetapkan sebagai KTR dalam Pasal 2 Perda Provinsi Bali tentang KTR.

16Kementrian Kesehatan, 2011, Pedoman Pengembangan Kawasan Tanpa


(1)

pemerintahan wajib karena berkaitan dengan pelayanan dasar yaitu mengenai kesehatan, pelayanan dasar diatur pada Pasal 12 yang menetapkan bahwa :

(1) Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) meliputi:

a. Pendidikan; b. Kesehatan;

c. Pekerjaan umum dan penataan ruang;

d. Perumahan rakyat dan kawasan permukiman;

e. Ketentraman, ketertiban umum, dan perlindungan masyarakat; dan f. Sosial;

(2) Urusan Pemerintahan Wajib yang tidak berkaitan dengan Pelayanan Dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) meliputi: a. Tenaga kerja;

b. Pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak; c. Pangan;

d. Pertahanan;

e. Lingkungan hidup;

f. Admisistrasi kependudukan dan pencatatan sipil; g. Pemberdayaan masyarakat dan Desa;

h. Pengendalian penduduk dan keluarga berencana; i. Perhubungan;

j. Komunikasi dan informatika;

k. Koperasi, usaha kecil dan menengah; l. Penanaman modal

m. Kepemudaan dan olah raga; n. Statistik;

o. Persandian; p. Kebudayaan; q. Perpustakaan; dan r. Kearsipan.

(3) Urusan pemerintahan pilihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) meliputi:

a. Kelautan dan perikanan; b. Pariwisata;

c. Pertanian; d. Kehutanan;

e. Energi dan sumber daya mineral; f. Perdagangan;

g. Perindustrian; dan h. Transmigrasi.

Dalam pelaksanaan peraturan daerah juga harus sesuai dengan hierarki peraturan perundang-undangan menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011


(2)

tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang dalam Paal 7 ayat (1) menyebutkan sebagai berikut:

(1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas: a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; d. Peraturan Pemerintah;

e. Peraturan Presiden;

f. Peraturan Daerah Provinsi; dan g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Dari penjelasan di atas, maka peraturan daerah menjadi sangatlah penting sebagai dasar bagi pemerintah daerah dalam menjalankan roda pemerintahannya.Berdasarkan pendapat dari Irawan Soejito “Peraturan Daerah merupakan suatu keputusan yang sifatnya umum dan dimaksudkan berlaku lama serta mempunyai kekuatan hukum yang mengikat setiap penduduk di daerah

hukum tersebut”.12

Pengertian atau definisi peraturan daerah menurut Deddy Supriady Bratakusumah dan Dadang Solihin adalah peraturan yang ditetapkan oleh Kepala Daerah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyar Daerah.13

Selanjutnya Deddy Supriady Bratakusumah dan Dadang Solihin mengemukakan:

1. Kepala daerah menetapkan peraturan daerah dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

2. Peraturan daerah hanya ditandatangani oleh kepala daeah dan tidak ditandatangani serta Pimpinan DPRD, karena DPRD bukan merupakan bagian dari peraturan daerah.

12 Irawan Soejito, 1983, Teknik Membuat Peraturan Daerah, PT. Bima Aksara, Jakarta, h. 9.

13 Deddy Supriady Bratakusumah dan Dadang Solihin, 2003, Otonomi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, PT. Gramedia Pustaka Umum, Jakarta, h. 391.


(3)

3. Peraturan daerah tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum, peraturan daerah lain dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

4. Peraturan daerah dapat memuat ketentuan tentang pembebanan biaya paksaan penegakan hukum, seluruhnya atau sebagian kepada pelanggar.

5. Peraturan daerah dapat memuat ancaman pidana kurungan paling lama enam bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp.5.000.000,00 (lima juta rupiah) dengan atau tidak merampas barang tertentu untuk daerah, kecuali jika ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan.

6. Peraturan daerah dan keputusan kepala daerah yang mengatur diundangkan dengan menempatkannya dalam lembaran daerah.14 Pengertian mengenai peraturan daerah kabupaten/kota terdapat dalam Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, “Peraturan Daerah Kabupaten/Kota adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dengan persetujuan bersama Bupati/Walikota”.

Mengenai materi muatan dalam peraturan daerah diatur dalam Pasal 14 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menyebutkan bahwa, “Materi muatan Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota berisi materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi khusus daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi”.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yaitu Pasal 236 menjelaskan bahwa:

(1) Untuk menyelenggarakan Otonomi Daerah dan Tugas Pembantuan, Daerah membentuk Perda.

14Ibid, h. 19.


(4)

(2) Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk oleh DPRD dengan persetujuan bersama kepala daerah.

(3) Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat materi muatan: a. Penyelenggaraan Otonomi Daerah dan Tugas Pembantuan; dan b. Penjabaran lebih lanjut ketentuan peraturan perundang-undangan

yang lebih tinggi.

(4) Selain materi muatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) Perda dapat memuat materi muatan lokal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Seperti yang telah dikemukakan bahwa peraturan daerah tersebut merupakan peraturan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan persetujuan bersama Kepala Daerah dan memuat materi muatan berupa penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, serta memuat materi muatan lokal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

1.4 Pengertian Kawasan Tanpa Rokok (KTR)

Pembangunan di bidang kesehatan merupakan salah satu upaya pembangunaan nasional yang ditujukan guna tercapainya kesadaran, kemauan dan kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap penduduk, agar dapat diwujudkan derajat kesehatan yang optimal. Untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat, diselenggarakan berbagai upaya kesehatan dimana salah satu upaya dimaksud adalah pengamanan zat adiktif sebagaimana diatur dalam Pasal 113 Undang – Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

Rokok mengandung zat adiktif yang sangat berbahaya bagi kesehatan manusia. Zat adiktif adalah zat yang jika dikonsumsi manusia akan menimbulkan adiksi atau ketagihan dan dapat menimbulkan berbagai penyakit seperti penyakit paru obstruktif kronik, penyakit jantung, stroke, kanker paru, kanker mulut, kelainan kehamilan dan janin, dan impotensi. Rokok merupakan hasil olahan


(5)

tembakau terbungkus termasuk cerutu atau bentuk lainnya yang dihasilkan dari tanaman Nicotiana Tabacum, Nicotiana Rustica dan spesies lainnya tau sintesisnya yang mengandung nikotin dan tar dengan atau tanpa bahan tambahan.

Berdasarkan Perda Provinsi Bali tentang KTR, pada bagian penjelasan umum, dijelaskan bahwa asap rokok tidak hanya membahayakan perokok, tetapi juga membahayakan orang lain di sekitar perokok (Perokok Pasif). Asap rokok mengandung ribuan zat kimia atau komponen asap juga disebut sebagai emisi asap, komponen asap yang paling luas dikenal adalah tar, nikotin, dan karbon monoksida (CO), selain zat – zat tersebut hingga saat ini lebih dari 7,000 zat kimia telah diketahui terkandung dalam asap rokok.15Komponen asapinilah sebagian besar yang menyebabkan penyakit terkait dengan merokok.

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 3 yang dimaksud dengan kawasan tanpa rokok yang selanjutnya disebut KTR adalah “ruangan atau area yang dinyatakan dilarang untuk kegiatan merokok atau kegiatan memproduksi, menjual, mengiklankan, dan/atau mempromosikan produk tembakau”. Adapun kawasan yang dimaksud dalam kategori KTR diatur dalam Pasal 2 Perda Provinsi Bali tentang KTR meliputi : Fasilitas pelayanan kesehatan, Tempat proses belajar mengajar, Tempat anak bermain, tempat ibadah, Angkutan umum, Tempat kerja, Tempat umum, dan Tempat lain yang ditetapkan.

Kawasan Tanpa Rokok merupakan tanggung jawab seluruh komponen bangsa baik itu pemerintah, individu, masyarakat dan lembaga non pemerintah, hal ini berhubungan dengan perlindungan terhadap hak – hak generasi sekarang

15URL:http://www.sampoerna.com/id_id/our_products/pages/what_is_in_ cigarette_smoke.aspx, Diakses Pada Tanggal 12 Agustus 2015.


(6)

maupun generasi yang akan datang dan lingkungan hidup yang sehat bebas dari asap rokok. Komitmen bersama akan berpengaruh terhadap keberhasilan kawasan tanpa rokok.

Adapun tujuan penetapan kawasan rokok sebagaimana dimuat dalam buku pedoman penetapan Kawasan Tanpa Rokok yang diterbitkan oleh Kementrian Kesehatan Republik Indonesia antara lain untuk menurunkan angka kesakitan dan/atau angka kematian dengan cara mengubah perilaku masyarakat untuk hidup sehat, meningkatkan produktivitas kerja yang optimal, mewujudkan kualitas udara yang sehat dan bersih, bebas dari asap rokok, menurunkan angka perokok dan mencegah perokok pemula, mewujudkan generasi muda yang sehat. Dan selain itu manfaat penetapan kawasan tanpa rokok merupakan upaya perlindungan untuk masyarakat terhadap resiko ancaman gangguan kesehatan karena lingkungan tercemar asap rokok.16Penetapan kawasan tanpa rokok ini perlu diselenggarakan pada tempat – tempat yang ditetapkan sebagai KTR dalam Pasal 2 Perda Provinsi Bali tentang KTR.

16Kementrian Kesehatan, 2011, Pedoman Pengembangan Kawasan Tanpa Rokok, Pusat Promosi Kesehatan, Jakarta, h. 16 – 17.