Sintesis senyawa 4 asetamidofenil 2 (4 isobutilfenil) propanoat dari 2 (4 isobutilfenil) propanoat dan N (4 hidroksifenil) asetamida
i
SINTESIS SENYAWA 4-ASETAMIDOFENIL 2-(4-ISOBUTILFENIL) PROPANOAT DARI 2-(4-ISOBUTILFENIL) PROPANOAT DAN
N-(4-HIDROKSIFENIL) ASETAMIDA
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)
Program Studi Farmasi
Oleh: Christian Gunawan
NIM : 108114078
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
(2)
(3)
(4)
iv
HALAMAN PERSEMBAHAN
“Thousands of candles can be lighted from a single candle, and the
life of the candle will not be shortened. Happiness never decreases
by being shared” – Buddha
“Nilai tertinggi dari kemuliaan adalah dapat merendahkan hati, nilai tertinggi dari kekayaan adalah gemar beramal, kaidah dalam situasi
kesusahan adalah tau diri, kaidah dalam kemiskinan adalah tiada
keinginan yang berlebihan” – Kong Hu Cu
“Durian berduri karena sedap isinya, kulit manggis pahit karena manis dalamnya. Dibalik
kesulitan, pasti ada kesenangan dan kebahagiaan” - Lao Tzu
Bersama ini, saya persembahakan karya ini kepada:
Buddha, Dhamma, SanghaKeluargaku tercinta
Bapak/Ibu dosen Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Sahabat dan teman-teman seperjuangan
(5)
(6)
(7)
vii
(8)
viii ii i
(9)
ix DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ... v
PRAKATA... vi
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... viii
DAFTAR ISI ... ix
DAFTAR TABEL ... xii
DAFTAR GAMBAR ... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ... xv
INTISARI ... xvi
ABSTRACT... xvii
BAB I. PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
1. Rumusan Masalah ... 5
2. Keaslian Penelitian ... 6
(10)
x
B. Tujuan Penelitian ... 6
BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA ... 7
A. 2-(4-isobutilfenil) propanoat ... 7
B. N-(4-hidroksifenil) asetamida ... 8
C. Esterifikasi Yamaguchi ... 11
D. Analisis Pendahuluan ... 14
1. Pemeriksaan Organoleptis... 14
2. Pemeriksaan Warna dengan FeCl3... 14
3. Pemeriksaan Gas dengan Natrium Bikarbonat (NaHCO3) ... 15
E. Pemurnian dan Pemeriksaan Kemurnian Senyawa Hasil Sintesis.. 16
1. Rekristalisasi ... 16
2. Pemeriksaan Titik Lebur ... 17
3. Kromatografi Lapis Tipis (KLT) ... 17
F. Elusidasi Struktur ... 19
1. Spektrofotometri Inframerah (IR) ... 19
G. Landasan Teori ... 21
H. Hipotesis ... 21
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ... 22
A. Jenis dan Rancangan Penelitian ... 22
B. Definisi Operasional ... 22
C. Bahan Penelitian ... 23
(11)
xi
E. Prosedur Penelitian ... 24
1. Rekristalisasi 2-(4-isobutilfenil) propanoat ... 24
2. Rekritalisasi N-(4-hidroksifenil) asetamida ... 24
3. Sintesis 4-asetamidofenil 2-(4-isobutilfenil) propanoat ... 24
4. Analisis Senyawa Hasil Sintesis ... 26
5. Elusidasi Struktur Senyawa Hasil Sintesis ... 27
F. Analisis Hasil ... 27
1. Perhitungan Rendemen ... 27
2. Analisis Pendahuluan ... 28
3. Pemeriksaan Kemurnian Senyawa Hasil Sintesis... 28
4. Elusidasi Struktur... 28
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 29
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 49
A. Kesimpulan... 49
B. Saran ... 49
DAFTAR PUSTAKA ... 50
LAMPIRAN ... 54
(12)
xii
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel I. Frekuensi inframerah gugus karbonil ... 20
Tabel II. Data organoleptis senyawa hasil sintesis dan starting material .... 35
Tabel III. Data uji warna dengan FeCl3 ... 36
Tabel IV. Data uji gas dengan natrium bikarbonat (NaHCO3) ... 37
Tabel V. Data titik lebur senyawa hasil sintesis dan starting material... 38
Tabel VI. Nilai Rf analisis KLT senyawa hasil sintesis ... 39
Tabel VII. Interpretasi spektra IR derivat 2-(4-isobutilfenil) propanoat ... 42
(13)
xiii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Mekanisme aksi NSAIDs ... 2
Gambar 2. Sturktur kimia ibuprofen ... 4
Gambar 3. Struktur 4-asetamidofenil 2-(4-isobutilfenil) propanoat ... 5
Gambar 4. Potensial elektrostatik asam karboksilat ... 8
Gambar 5. Struktur N-(4-hidroksifenil) asetamida ... 9
Gambar 6. Mekanisme aksi parasetamol ... 10
Gambar 7. Stabilisasi resonansi fenol... 10
Gambar 8. Skema esterifikasi Yamaguchi ... 11
Gambar 9. Derivatisasi asam karboksilat menjadi ahidrida ... 12
Gambar 10. Frekuensi streching IR asam karboksilat dan derivatnya ... 12
Gambar 11. Reaktivitas relatif derivat asam karboksilat... 13
Gambar 12. Reaksi fenol dengan FeCl3... 15
Gambar 13. Reaksi asam karboksilat dengan NaHCO3 ... 15
Gambar 14. Reaksi umum sintesis senyawa 4-asetamidofenil 2-(4-isobutilfenil) propanoat ... 21
Gambar 15. Aktivasi gugus karboksilat 2-(4-isobutilfenil) propanoat ... 29
Gambar 16. Analisis muatan 2-(4-isobutilfenil) propanoat... 30
Gambar 17. Analisis muatan 2-(4-isobutilfenil) propanoat terderivatisasi ... 30
(14)
xiv
Gambar 19. Analisis muatan 4-asetamidofenil 2-(4-isobutilfenil) propanoat. 32
Gambar 20. Analisis muatan etil 2-(4-isobutilfenil) propanoat ... 33
Gambar 21. Mekanisme reaksi derivatisasi 2-(4-isobutilfenil) propanoat ... 34
Gambar 22. Mekanisme reaksi sintesis senyawa 4-asetamidofenil 2-(4-isobutilfenil) propanoat ... 34
Gambar 23. KLT senyawa hasil sintesis pada fase gerak etil asetat... 39
Gambar 24. Spektra IR 2-(4-isobutilfenil) propanoat terderivatisasi ... 40
Gambar 25. Identifikasi gugus fungsi derivat 2-(4-isobutilfenil) propanoat .. 41
Gambar 26. Identifikasi gugus fungsi senyawa target ... 42
Gambar 27. Spektra IR senyawa hasil sintesis... 43
Gambar 28. Resonansi 2-(4-isobutilfenil) propanoat terderivatisasi ... 43
Gambar 29. Resonansi senyawa hasil sintesis ... 43
Gambar 30. Muatan atom karbon alkena rantai samping derivat 2-(4-isobutilfenil propanoat ... 45
Gambar 31. Muatan atom karbon alkena rantai samping senyawa target ... 45
Gambar 32. Ilustrasi vibrasi trans-bending out of plane ... 46
Gambar 33. Ilustrasi vibrasi cis-bending out of plane ... 46
(15)
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Perhitungan rendemen senyawa hasil sintesis ... 54
Lampiran 2. Pembuatan larutan natrium nikarbonat (NaHCO3) 10% b/v... 58
Lampiran 3. Spektra IR 2-(4-isobutilfenil) propanoat... 59
Lampiran 4. Spektra IR N-(4-hidroksifenil) asetamida ... 60
Lampiran 5. Spektra IR derivat 2-(4-isobutilfenil) propanoat ... 61
(16)
xvi INTISARI
2-(4-isobutilfenil) propanoat merupakan suatu analgetika golongan Non Setroidal Anti Inflammatory Drugs (NSAIDs) yang penggunaannya dapat menimbulkan efek samping tukak peptik pada saluran pencernaan. Esterifikasi 2-(isobutilfenil) propanoat dengan N-(hidroksifenil) asetamida membentuk 4-asetamidofenil 2-(4-isobutilfenil) propanoat akan menurunkan efek samping dan meningkatkan efek terapi karena efek sinergis dari penggunaan secara bersamaan.
Metode yang digunakan untuk sintesis senyawa 4-asetamidofenil 2-(4-isobutilfenil) propanoat menggunakan prinsip esterifikasi Yamaguchi. Proses sintesis dilakukan dengan derivatisasi 2-(4-isobutilfenil) propanoat dengan benzoil klorida membentuk benzoil 2-(4-isobutilfenil) propanoat anhidrida yang kemudian akan direaksikan dengan N-(4-hidroksifenil) asetamida menggunakan katalis NaOH/etanol 0,1 N. Analisis senyawa hasil sintesis menggunakan uji warna dengan FeCl3, uji gas dengan NaHCO3, uji titik lebur, uji KLT dengan fase diam silika gel GF254 dan fase gerak etil asetat, serta analisis spektroskopi IR.
Hasil analisis menunjukkan tidak ada perubahan warna menjadi ungu dengan penambahan FeCl3 dan tidak muncul gelembung gas dengan penambahan NaHCO3. Senyawa hasil sintesis didapati tidak melebur hingga suhu 300°C. Hasil uji KLT menunjukkan bahwa senyawa hasil sintesis telah murni. Interpretasi spektra IR menunjukkan adanya serapan gugus amida pada 1635,64 cm-1. Berdasarkan analisis tersebut maka disimpulkan bahwa senyawa hasil sintesis yang terbentuk adalah 4-asetamidofenil 2-(4-isobutilfenil) propanoat.
Kata kunci : Tukak peptik, 4-asetamidofenil 2-(4-isobutilfenil) propanoat, esterifikasi Yamaguchi.
(17)
xvii ABSTRACT
2-(4-isobutylphenyl) propanoic acid is a Non Steroidal Anti Inflammatory Drugs (NSAIDs) that can cause peptic ulcers in the gastrointestinal tract. Esterification of 2-(4-isobutylphenyl) propanoic acid with N-(4-hydroxyohenyl) acetamide to form 4-acetamidophenyl 2-(4-isobutylphenyl) propanoate will reduce the risk of peptic ulcers and deals synergistic effect due to its combination.
The synthesis method of 4-acetamidophenyl 2-(4-isobutylphenyl) propanoate using the principle of Yamaguchi esterification. Synthesis process carried-out by derivatization of 2-(4-isobutylphenyl) propanoic acid with benzoyl chloride to form benzoyl 2-(4-isobutylphenyl) propanoic acid anhydride that will be reacted with N-(4-hydroxyphenyl) acetamide in NaOH/ethanol 0.1 N as a catalyst. Analysis of synthesized compounds using FeCl3 color test, NaHCO3 gas test, melting point test, TLC analysis with silica gel GF254 as stationary phase and ethyl acetate as mobile phase, and IR spectroscopy analysis.
The result showed no color change to purple of FeCl3 test and no gas appear of NaHCO3 test. Synthesized compound was not melted until 300°C. TLC analysis showed that the compound synthesized has already pure. IR interpretation showed absorbtion at 1635.64 cm-1 of amide functional group. Based on the analysis, it is concluded that the synthesized compound is 4-acetamidophenyl 2-(4-isobutylphenyl) propanoate.
Keywords : Peptic ulcers, 4-acetamidophenyl 2-(4-isobutylphenyl) propanoate, Yamaguchi esterification.
(18)
1 BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Non-Steroidal Anti-Inflamatory Drugs (NSAIDs) merupakan senyawa kimia yang menghambat aktivitas enzim cyclooxigenase (COX-1 dan COX-2) yang berperan dalam produksi prostaglandin seperti yang ditunjukkan pada gambar 1 dibawah ini. Adanya gugus karboksilat akan membentuk interaksi hidrogen dengan residu arginin pada posisi 120 baik pada COX-1 dan COX-2 secara irreversible, sehingga asam arakidonat tidak dapat menempati sisi aktif enzim dan tidak dapat membentuk prostaglandin (Bhagavan, 2002). Cyclooxigenase disebut juga prostaglandin sintase merupakan enzim yang berperan dalam metabolisme asam arakidonat menjadi prostaglandin G2 (PGG2) dan prostaglandin H2 (PGH2) yang merupakan prekursor prostanoid yang memediasi timbulnya rasa nyeri (Tollison, Satterthwaite, and Tollison, 2002).
Terhambatnya sintesis prostaglandin akibat penggunaan NSAIDs akan mengurangi distribusi sel darah putih yang memicu terjadinya peradangan. Selain itu, NSAIDs juga dapat berperan dalam menekan rasa sakit karena dapat menembus sawar darah otak sehingga mencegah prostaglandin dalam memproduksi neuromodulator di sumsum tulang belakang yang dapat menimbulkan rasa sakit (Golan, 2008).
(19)
2
Gambar 1. Mekanisme aksi NSAIDs (Golan, 2008)
Penggunaan NSAIDs sebagai salah satu pilihan terapi juga dapat menimbulkan efek samping seperti tukak peptik. Tukak peptik (Peptic Ulcer Disease) merupakan kerusakan pada mukosa gastrointestinal (GI) yang meluas sampai ke mukosa otot yang terjadi di esofagus, lambung, atau duodenum. Tukak peptik dapat diakibatkan karena dua hal yaitu infeksi bakteri Helicobacter pylori atau karena konsumsi obat golongan anti-inflamasi nonsteroidal (NSAIDs) (Brashers, 2003). Tukak peptik dapat digambarkan seperti erosi atau pengikisan mukosa pada dinding lambung, pilorus, usus halus, dan esofagus. Pengikisan mukosa tersebut hanya terjadi pada saluran gastrointestinal karena ketidakseimbangan asam lambung dan pepsin. Tukak duodeni disebabkan karena sekresi asam lambung yang berlebihan, sedangkan tukak lambung disebabkan karena aktivitas bakteri Helicobacter pylori atau karena konsumsi NSAIDs dalam jangka panjang (Carpenito, 2009).
(20)
3
Tukak peptik atau perdarahan lambung terjadi karena ketidakseimbangan asam lambung dan pepsin dengan mekanisme pertahanan dan perbaikan mukosa. Di Amerika Serikat, prevalensi tukak peptik mencapai angka 350.000 per tahun. Angka kematian disebabkan tukak peptik ialah 6000 penderita per tahun dengan 3000 penderita tukak duodeni dan 3000 lagi penderita tukak lambung. Prevalensi terjadinya tukak peptik pada Indonesia akibat penggunaan NSAIDs pada beberapa penelitian ditemukan berkisar antara 6-15% terutama pada usia 20-50 tahun (Suyono, 2001).
Ibuprofen merupakan suatu NSAIDs derivat asam propionat yang paling sering digunakan sebagai analgesik terutama dalam pengobatan nyeri pada bagian orofacial (Sharav, 2008). Penggunaan ibuprofen menjadi pilihan pertama dalam terapi karena kemungkinan terjadinya efek samping yang paling kecil (Neal, 2010). Walaupun begitu, seperti halnya NSAIDs yang lain, ibuprofen juga dapat menyebabkan perforasi dan perdarahan pada saluran pencernaan dengan rasio 2,9% dalam 1 milyar peresepan (Vane, Botting, and Botting, 1996). Efek samping ibuprofen yang dapat menyebabkan tukak peptik kronis menjadi perhatian utama bagi pasien yang memiliki riwayat penyakit pada saluran pencernaan. Selain itu, penggunaan ibuprofen juga harus diperhatikan pada pasien yang mengkonsumsi alkohol dan merokok yang dapat meningkatkan risiko terjadinya tukak peptik (Aschenbrenner, 2009). NSAIDs menyebabkan kerusakan mukosa saluran cerna melalui dua mekanisme: iritasi topikal dan inhibisi sistemik sintesis prostaglandin. Dilaporkan lebih dari 80% pasien yang menderita tukak peptik akibat konsumsi NSAIDs (Ramakrishnan, Prasannan, and Rajan, 2007).
(21)
4
Gambar 2. Struktur kimia ibuprofen (Myers, 2007)
Gugus karboksilat (-COOH) pada ibuprofen seperti yang ditunjukkan pada gambar 2 dapat menyebabkan perforasi atau perdarahan karena mengiritasi topikal pada mukosa saluran gastrointestinal mengingat sifatnya yang asam. Salah satu bentuk pengembangan untuk menekan efek samping yang ditimbulkan adalah dengan menutup gugus karboksilat pada ibuprofen membentuk ester untuk menekan keasaman. Bentuk ester dari ibuprofen tidak akan menghilangkan efek farmakologisnya karena merupakan suatu prodrug yang akan terhidrolisis secara in vivo membentuk ibuprofen kembali yang mempunyai efek terapetik (Kankanala, Billur, Reddy, Mukkanti, and Pal, 2013). Sintesis ester ibuprofen sebagai prodrug melibatkan reaksi dengan suatu alkohol. Komponen alkohol yang dipilih adalah parasetamol, sehingga ketika prodrug terhidrolisis akan membentuk parasetamol kembali yang aktif secara farmakologis dengan aktivitas sebagai pereda rasa nyeri yang bekerja sinergis dengan ibuprofen dan tidak menimbulkan interaksi dengan ibuprofen.
Parasetamol merupakan suatu alternatif obat analgesik turunan anilina yang memiliki tingkat toleransi tinggi pada pasien yang memiliki gangguan percernaan seperti maag. Akan tetapi penggunaan dalam dosis besar akan mengakibatkan hepatotoksisitas dan nefrotoksisitas (Kankanala dkk, 2013).
(22)
4-5
asetamidofenil 2-(4-isobutilfenil) propanoat merupakan bentuk ester ibuprofen dengan parasetamol akan menekan efek samping dari masing-masing komponen. Didalam tubuh 4-asetamidofenil 2-(4-isobutilfenil) propanoat akan mengalami hidrolisis secara in vivo oleh enzim esterase (Kwoon, 2001). Hidrolisis yang terjadi akan membentuk kembali ibuprofen dan parasetamol yang kombinasi keduanya akan memberikan efek yang sinergis (Torabinejad and Walton, 2009).
Gambar 3. Struktur 4-asetamidofenil 2-(4-isobutilfenil) propanoat Dalam sintesis senyawa target, peneliti menggunakan prinsip dari metode esterifikasi Yamaguchi. Metode esterifikasi Yamaguchi merupakan salah satu metode esterifikasi yang merubah gugus karboksilat pada ibuprofen menjadi gugus anhidrida yang lebih reaktif dibandingkan bentuk asamnya. Derivatisasi ibuprofen menjadi suatu anhidrida menggunakan benzoil klorida dengan katalis piridina. Anhidrida yang terbentuk memiliki reaktivitas yang lebih tinggi dan dapat bereaksi dengan parasetamol menggunakan katalis NaOH/etanol membentuk senyawa target yaitu 4-asetamidofenil 2-(4-isobutilfenil) propanoat.
1. Rumusan Masalah
Dari latar belakang tersebut, permasalahan yang dapat dirumuskan sebagai berikut:
(23)
6
Apakah senyawa 4-asetamidofenil 2-(4-isobutilfenil) propanoat dapat disintesis dari 2-(4-isobutilfenil) propanoat dan N-(4-hidroksifenil) asetamida?
2. Keaslian Penelitian
Sejauh penelusuran yang telah dilakukan oleh peneliti, penelitian berjudul “sintesis senyawa 4-asetamidofenil 2-(4-isobutilfenil) propanoat dari 2-(4-isobutilfenil) propanoat dan N-(4-hidroksifenil) asetamida” belum pernah dilakukan sebelumnya. Penelitian sejenis yang pernah dilakukan adalah “Stable ester and amide conjugates of some NSAIDs as analgesc and antiinflammatory compounds with improved biological activity” oleh Orhan, Burcu, Asli, Nilufer, Yagmur, dan Erden yang dipublikasikan tahun 2011.
3. Manfaat Penelitian
a. Manfaat teoretis yang dapat diperoleh yaitu memberikan informasi terkait sintesis senyawa 4-asetamidofenil isobutilfenil) propanoat dari 2-(4-isobutilfenil) propanoat dan N-(4-hidroksifenil) asetamida.
b. Manfaat metodologis yang dapat diperoleh yaitu memberikan informasi terkait metode dalam sintesis senyawa 4-asetamidofenil 2-(4-isobutilfenil) propanoat dari 2-(4-isobutilfenil) propanoat dan N-(4-hidroksifenil) asetamida.
B. Tujuan Penelitian
Penelitian yang dilakukan ini bertujuan untuk mensintesis 4-asetamidofenil 2-(4-isobutilfenil) propanoat dari 2-(4-isobutilfenil) propanoat dan N-(4-hidroksifenil) asetamida.
(24)
7 BAB II
PENELAAHAN PUSTAKA
A. 2-(4-isobutilfenil) propanoat
Senyawa 2-(4-isobutilfenil) propanoat yang juga dikenal dengan ibuprofen, merupakan NSAIDs turunan asam propionat yang dapat disintesis dengan berbagai macam metode dari iso-butilbenzena dengan asetil klorida, lalu iso-butilbenzofenon yang dihasilkan akan direaksikan dengan natrium sianida yang selanjutnya akan mengalami proses dehidrasi, reduksi, dan hidrolisis membentuk ibuprofen (Vardanyan and Hruby, 2006). NSAIDs turunan asam propionat ini dapat menghambat sintesis prostaglandin karena aktivitasnya sebagai inhibitor enzim siklooksigenase pada bagian periferal enzim. Terjadinya tukak peptik dalam penggunaan NSAIDs turunan asam propionat tidak sebanyak pengunaan NSAIDs golongan lainnya. Penggunaan NSAIDs turunan asam propionat secara oral sangat cepat mengalami absorbsi dalam tubuh. Setelah mengalami absorbsi, 99% dari turunan asam propionat akan terikat lama oleh protein plasma yaitu albumin (Delisa and Walsh, 2005).
Senyawa 2-(4-isobutilfenil) propanoat memiliki rumus molekul C13H18O2 dengan bobot molekul 206,3 g/
mol. Ibuprofen memiliki titik lebur 77°C. Ibuprofen sukar larut dalam air, mudah larut dalam pelarut organik seperti alkohol dan aseton (Myers, 2007). 2-(4-isobutilfenil) propanoat merupakan suatu asam karboksilat alifatis, karena gugusan karboksilat yang tidak terikat langsung
(25)
8
dengan cincin benzena. Asam karboksilat merupakan asam organik dengan tingkat keasaman yang lemah. Berdasarkan gambar 4 dibawah ini, asam karboksilat alifatik dalam bentuk tidak terionisasi memiliki panjang ikatan C-O yang lebih panjang yaitu 0,123 Å dibandingkan C=O dengan panjang ikatan 0,133 Å. Berbeda dalam keadaan terionisasi, panjang ikatan C-O akan ekivalen dengan C=O yaitu 0,128 Å, hal tersebut diakibatkan karena adanya delokalisasi elektron pada gugus karboksilat (Clungston and Rosalind, 2000).
Gambar 4. Potensial elektrostatik asam karboksilat (Clungston and Rosalind, 2000)
B. N-(4-hidroksifenil) asetamida
Senyawa N-(4-hidroksifenil) asetamida yang juga dikenal dengan parasetamol atau asetaminofen, dapat digunakan sebagai analgesik ataupun antipiretik pada pasien yang memiliki gangguan pada lambung karena sifatnya yang tidak iritatif pada mukosa dinding lambung. Parasetamol tidak memiliki aktivitas antiinflamasi karena afinitasnya dengan enzim siklooksigenase yang rendah (Clark, Finkel, and Whalen, 2011). Parasetamol biasa dikombinasikan
(26)
9
dengan beberapa NSAIDs untuk suatu tujuan terapi karena kombinasi keduanya akan memiliki onset dan efektivitas yang lebih baik daripada penggunaan parasetamol saja (Mirzayan, 2006). Senyawa N-(4-hidroksifenil) asetamida memiliki rumus molekul C8H9NO2 dengan bobot molekul 151,16 g/mol. Parasetamol murni berupa serbuk kristal berwarna putih, tidak berbau, berasa pahit, memiliki titik lebur 170°C. 1 gram parasetamol larut dalam 70 mL air dingin, 20 mL air panas, 10 mL alkohol, 50 mL kloroform, 40 mL gliserin, dan sedikit larut dalam eter (Remington, 2006).
Gambar 5. Struktur N-(4-hidorksifenil) asetamida (Remington, 2006) Parasetamol dapat memberikan efek analgesik yang lebih baik jika penggunaannya dikombinasikan dengan NSAIDs karena aktivitasnya dapat berikatan dengan asam arakidonat yang merupakan substrat untuk membentuk prostaglandin sehingga tidak dapat menempati sisi aktif enzim siklooksigenase seperti ditunjukkan pada gambar 6. Disamping itu, adanya NSAIDs seperti ibuprofen akan berikatan dengan sisi aktif enzim siklooksigenase sehingga enzim tidak dapat merubah asam arakidonat menjadi prostaglandin yang merupakan mediator timbulnya rasa nyeri (Lemke and Williams, 2012).
(27)
10
Gambar 6. Mekanisme aksi parasetamol (Lemke and Williams, 2012) Parasetamol merupakan suatu senyawa fenolik karena pada strukturnya terdapat gugusan hidroksil (-OH) yang terikat langsung pada suatu cincin benzena. Dalam reaksinya, fenol tidak dapat teresterifikasi dengan asam asetat. Suasana basa akan membuat fenol terionisasi, dimana ion fenoksida yang terbentuk lebih reaktif fan dapat menyerang komponen elektrofilik yang ada. Berbeda dengan suatu ion alkoksida, ion fenoksida dapat menstabilkan diri melalui resonansi yang ditunjukkan pada gambar 7 (Murray, 1997).
(28)
11
C. Esterifikasi Yamaguchi
Metode Yamaguchi merupakan suatu metode esterifikasi yang merubah asam karboksilat menjadi suatu anhidrida dengan suatu asil klorida. Seperti ditunjukkan pada gambar 8, derivatisai asam karboksilat dibantu dengan penggunaan basa amina yang akan men-deprotonasi asam karboksilat. Anhidrida yang terbentuk akan direaksikan dengan dimethylaminopyridine (DMAP) sebagai acylating agent yang akan membentuk acyl pyridinium dengan melepaskan suatu asam karboksilat aromatis. Penambahan alkohol pada tahap selanjutnya akan bereaksi dengan acyl pyridinium membentuk ester yang diinginkan (Li and Corey, 2007).
Gambar 8. Skema esterifikasi Yamaguchi (Dhimitruka and Lucia, 2005) Esterifikasi Yamaguchi menggunakan reagen khas Yamaguchi yang tidak lain adalah 2,4,6-trichlorobenzoyl chloride dengan katalis trietilamin (TEA) dalam derivatisasi asam karboksilat menjadi suatu anhidrida (Dhimitruka and Lucia, 2005). Reagen Yamaguchi tersebut dapat diganti dengan suatu asil klorida lain yang lebih mudah didapat seperti benzoyl chloride. Mekanisme dari pembentukan anhidrida adalah dengan membuat asam karboksilat sebagai
(29)
12
nukleofil dan dilanjutkan dengan eliminasi klorida pada asil klorida yang digunakan. Asam karboksilat akan bersifat sebagai nukleofil jika dikondisikan dalam suasana basa (Starkey, 2012).
Gambar 9. Derivatisasi asam karboksilat menjadi anhidrida (Starkey, 2012) Derivatisasi gugus karboksilat pada 2-(4-isobutilfenil) propanoat menjadi suatu anhidrida akan meningkatkan reaktivitas sehingga substitusi nukleofilik oleh N-(4-hidroksifenil) asetamida membentuk suatu ester akan lebih efektif. Tingkat reaktivitas gugus pergi ditentukan oleh besarnya delokalisasi elektron terhadap gugusan karbonil disebelahnya. Besarnya delokalisasi elektron yang terjadi dapat ditentukan melalui pengukuran tingkat streching gugusan karbonil dengan bantuan infra merah (Clayden, Greeves, and Warren, 2012).
Gambar 10. Frekuensi streching IR asam karboksilat dan derivatnya (Clayden dkk, 2012)
Kekuatan streching berdasarkan pengukuran infra merah digunakan untuk menentukan kekuatan ikatan heteroatom terhadap suatu karbonil. Semakin besar frekuensi streching maka akan semakin lemah kekuatan ikatan heteroatom
(30)
13
dengan karbonil, sehingga merupakan leaving group yang baik (Clayden dkk, 2012). Kekuatan leaving group juga dipengaruhi oleh perbedaan elektronegatifitas, dimana semakin besar perbedaan elektronegativitas antara heteroatom dengan karbonil maka atom C pada gugusan karbonil akan semakin bersifat elektrofil (E+) sehingga substitusi nukleofilik oleh alkohol membentuk ester menjadi semakin efektif (Starkey, 2012). Berdasarkan gambar 11 terlihat bahwa gugus pergi pada anhidrida lebih baik daripada suatu asam karboksilat.
Gambar 11. Reaktivitas relatif derivat asam karboksilat (Starkey, 2012) Derivatisasi ibuprofen menjadi suatu anhidrida dengan benzoil klorida disebut dengan benzoilasi. Reaksi benzoilasi dilakukan pada suasana basa dan biasa disebut dengan reaksi Schotten Baumann (Sethi, 2006). Prosedur sintesis dari metode Yamaguchi adalah dengan mencampurkan asam karboksilat dengan 2,4,6-trichlorobenzoyl chloride (1 equivalen) dan trietilamin (TEA) (1 equivalen) yang diaduk pada suhu ruangan selama 20 menit. Penyaringan dan pengeringan menggunakan gas nitrogen digunakan untuk mengisolasi anhidrida yang terbentuk. Anhidrida yang terbentuk kemudian dilarutkan dan dicampur dengan komponen alkohol (1-2 equivalen) dan DMAP (2-4 equivalen) untuk mendapatkan ester yang dikehendaki (Otera and Nishikido, 2009).
(31)
14
E. Analisis Pendahuluan
Analisis pendahuluan merupakan analisis untuk mengetahui karakteristik dari senyawa hasil reaksi. Analisis pendahuluan yang dilakukan antara lain:
1. Pemeriksaan Organoleptis
Organoleptis didefinisikan sebagai suatu hal yang dapat dirasakan oleh satu atau lebih indra manusia. Pemeriksaan organoleptik menggunakan indra penciuman, perasa, sentuhan, dan penglihatan (Bart, 2006). Pemeriksaan organoleptik dapat digunakan untuk menarik kesimpulan awal menggunakan indra manusia, dimana karakter yang dievaluasi meliputi: warna, bau, rasa, ukuran, bentuk, dan beberapa hal khusus seperti tekstur (Kokate, Purohit, and Gokhale, 2009).
2. Pemeriksaan Warna dengan FeCl3
Uji kualitatif berdasarkan perubahan warna padatan dapat digunakan untuk pemeriksaan apakah molekul target sudah terbentuk dan telah bersih dari N-(4-hidroksifenil) asetamida. Pemeriksaan warna yang dilakukan didasarkan atas reaksi pembentukan kompleks antara N-(4-hidroksifenil) asetamida yang merupakan senyawa fenolik dengan FeCl3. Reaksi antara senyawa fenolik yang akan bereaksi dengan FeCl3 akan membentuk kompleks berwarna ungu sampai biru, hijau bahkan merah tergantung dari struktur senyawa fenolik yang bereaksi seperti ditunjukkan pada gambar 12 (Sagar, 2009).
(32)
15
Gambar 12. Reaksi fenol dengan FeCl3 (Sagar, 1996)
Suatu senyawa kompleks dapat berwarna karena adanya transisi elektron dari ion pusat akibat adanya ligan. Fe3+ merupakan ion logam transisi trivalen dengan orbital molekul paramagnetik. Bentuk orbital molekul dari Fe3+ adalah oktahedral yang kompleks ikatannya melibatkan ikatan sigma atau ikatan pi dengan ligan (Sahoo, Nayak, Samantarai, and Pujapanda, 2012).
3. Pemeriksaan Gas dengan Natrium Bikarbonat (NaHCO3)
Uji kualitatif menggunakan NaHCO3 digunakan untuk identifikasi apakah molekul target sudah terbentuk dan telah bersih dari 2-(4-isobutilfenil) propanoat. Gas yang terbentuk didasarkan atas reaksi effervesen antara NaHCO3 dengan 2-(4-isobutilfenil) propanoat yang merupakan suatu asam karboksilat seperti ditunjukkan pada gambar 13. Pengujian ini spesifik untuk 2-(4-isobutilfenil) propanoat, NaHCO3 tidak bereaksi dengan N-(4-hidroksifenil) asetamida karena tetapan disosiasi senyawa fenolik lebih rendah sekitar 10-10 dibandingkan dengan asam karboksilat sekitar 10-6 sampai 10-5 (Sethi, 2006).
Gambar 13. Reaksi asam karboksilat dengan NaHCO3 (Ahluwalia and Dhingra, 2004).
(33)
16
Pengujian asam karboksilat dilakukan pada kondisi bebas alkohol, jika alkohol digunakan sebagai pelarut maka perlu dilakukan uji pelarut sebagai kontrol (Ahluwalia and Dhingra, 2004). Dalam pengujian penyusun tidak melarutkan 2-(4-isobutifenil) propanoat. Pengujian dilakukan langsung pada serbuk kristal 2-(4-isobutilfenil) propanoat dibandingkan dengan senyawa hasil sintesis.
F. Pemurnian dan Pemeriksaan Kemurnian Senyawa Hasil Sintesis
1. Rekristalisasi
Rekristalisasi merupakan salah satu metode pemurnian yang sangat efektif. Metode ini digunakan untuk memisahkan suatu senyawa yang terlarut dalam sistem yang tidak murni dengan cara didinginkan pada suhu ruangan. Ketika pendinginan, senyawa tersebut akan mengkristal keluar dari sistem larutan dimana pengotor lainnya terlarut dalam sistem. Rekristalisasi harus menggunakan pelarut yang tepat karena proses ini didasarkan atas tingkat keterlarutan senyawa pada suhu pelarut yang digunakan (Bansal, 2003).
Rekristalisasi suatu padatan merupakan teknik yang umum dilakukan dalam pemurnian. Padatan dilarutkan dengan pelarut yang sesuai pada suhu dimana zat yang diinginkan terlarut didalam sistem, dan dengan adanya pendinginan maka zat terlarut akan kembali mengkristal. Proses rekristalisasi tidak dapat menjamin kemurnian terhadap suatu senyawa, sehingga perlu dilakukan decoloration dengan activated carbon untuk menghilangkan
(34)
17
pengotor berwarna (jika perlu) dan filtrasi untuk menghilangkan pengotor yang tidak terlarut didalam sistem (Gilbert and Martin, 2010).
2. Pemeriksaan Titik Lebur
Titik lebur suatu senyawa didefinisikan sebagai temperatur dimana padatan dan cairan berada pada titik kesetimbangan. Pada kondisi kesetimbangan, temperatur pada sistem tidak berubah tetapi terjadi penyerapan kalor (Ramanathan, 2006). Pemeriksaan titik lebur sangatlah penting dalam identifikasi senyawa organik. Titik lebur suatu padatan ditentukan pada saat pertama padatan tersebut mulai meleleh. Titik lebur juga menunjukkan kemurnian suatu senyawa. Titik lebur senyawa yang akurat dapat ditentukan dengan menggunakan termometer terkalibrasi (Ahluwalia and Dhingra, 2004).
Rentang titik lebur menjadi kriteria dalam penentuan kemurnian suatu senyawa. Umumnya, suatu senyawa dikatakan murni apabila mempunyai rentang titik lebur yang tidak melebihi 2°C (MacKenzie, 1967). Rentang titik lebur dihitung dari temperatur awal ketika padatan mulai meleleh hingga semua sampel padatan meleleh semua. Tingkat kemurnian senyawa dilihat dari rentang titik leburnya, jika memiliki rentang titik lebur yang sangat tajam yaitu tidak lebih dari 2°C maka senyawa tersebut murni (Ramanathan, 2006).
3. Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
Kromatografi Lapis Tipis (KLT) adalah suatu metode analisis dimana komponen fase gerak akan melewati fase diam sehingga campuran substansi yang terdapat didalamnya akan terpisah. Teknik Kromatografi Lapis Tipis
(35)
18
(KLT) mulai diperkenalkan pada tahun 1956 oleh E.Stahl, arti dari KLT itu sendiri adalah pemisahan kromatografi yang terjadi pada suatu layer tipis yang terdapat komponen padatan dan material pendukung yang disebut dengan fase diam (Leach, 2007). Kromatografi Lapis Tipis (KLT) merupakan suatu teknik pemisahan campuran senyawa yang mudah dan tidak mahal. Teknik kromatografi ini biasa digunakan untuk memisahkan campuran senyawa analgesik dengan menggunakan fase diam silika berfluoresensi dengan menggunakan deteksi sinar UV (Pavia, Lampman, Kriz, and Engel, 2010).
Posisi atau bercak substrat (spot) pada lapisan Kromatografi Lapis Tipis (KLT) dapat dideskripsikan sebagai retardation factor (Rf). Nilai retardation factor (Rf) dihitung dari jarak titik tengah bercak dari titik awal, dengan nilai retardation factor (Rf) selalu < 1 (Leach, 2007). Komponen fase diam yang digunakan dalam penelitian ini adalah silika gel. Silika gel disiapkan melalui presipitasi larutan sodium silicate (Na2SiO3). Lempeng KLT dengan silika gel sebagai fase diam memiliki rata-rata ukuran pori antara 4-12 nm, dengan konsentrasi gugus hidroksi (-OH) pada permukaan sekitar 8 µmol/m2, atau sama dengan 5 gugus hidroksi (-OH) setiap mm2. Gypsum, pati, dan bahan pengikat organik biasa digunakan sebagai campuuran silika gel sebagai material pendukung (Spangenberg, Poole, and Weins, 2011).
Fase gerak yang digunakan dalam penelitian ini adalah etil asetat. Penggunaan etil asetat didasarkan karena dapat memberikan resolusi pemisahan yang bagus dalam memisahkan 2-(4-isobutilfenil) propanoat dan N-(4-hidroksifenil) asetamida. Rf teoritis dengan fase gerak etil asetat dan fase
(36)
19
diam silika gel GF 254 untuk 2-(4-isobutilfenil) propanoat yaitu 0,57 dan untuk N-(4-hidroksifenil) asetamida yaitu 0,32 (Moffat, David, and Brian, 2011).
F. Elusidasi Struktur
Elusidasi stuktur merupakan teknik analisis suatu struktur senyawa. Tahapan ini digunakan untuk identifikasi struktur senyawa hasil sintesis. Data yang diperoleh dari elusidasi yang ditambah dengan berbagai macam uji kualitatif yang dilakukan peneliti akan dapat menentukan struktur senyawa tersebut.
1. Spektrofotometri Inframerah (IR)
Spektrofotometri inframerah adalah teknik analisis spektrofotometri tercepat dan termurah yang digunakan dalam kimia organik. Sampel dapat berupa padatan, cairan, atau gas, dan dapat diukur dalam larutan dengan KBr atau minyak mineral, kemudian spektra diperoleh dalam beberapa menit. Identifikasi spektra inframerah menunjukkan gugus fungsi dari senyawa yang dianalisis (Pavia dkk, 2010). Sampel yang akan dianalisis menggunakan spektroskopi inframerah diletakkan pada material pendukung. Material standar yang biasa digunakan sebagai material pendukung adalah kalium bromida (KBr) dan barium fluorida (BaF2). Banyak material lain yang dapat digunakan sebagai material pendukung, kalium bromida (KBr) merupakan material pendukung yang biasa digunakan karena harganya yang relatif murah dan dapat menyerap radiasi inframerah daerah tengah. Penggunaan kalium bromida (KBr) sebagai material pendukung dapat memberikan informasi transmisi inframerah dari 40.000 - 400 cm-1 (Derrick, Stulik, and Landry, 1999).
(37)
20
Gugus karbonil dapat diidentifikasi berdasarkan spektra inframerah yang diperoleh, dimana serapan pada frekuensi yang berbeda menunjukan gugus fungsi yang berbeda pula:
Tabel I. Frekuensi Inframerah Gugus Karbonil (Cotes, 2000)
Frekuensi (cm-1) Gugus fungsional
1610-1550 Garam asam karboksilat
1680-1630 Amida
1690-1675 Kuinon atau keton terkonjugasi
1725-1700 Asam karboksilat
1725-1705 Keton
1740-1725 Adehida
1750-1725 Ester
1735 Lakton cincin segi enam
1760-1740 Alkil karbonat
1815-1770 Asil halida
1820-1775 Aril karbonat
1850-1800 / 1790-1740 Anhidrida asam rantai terbuka 1870-1820 / 1800-1775 Anhidrida cincin segi lima
2100-1800 Metal karbonil
Pada penelitian ini dilakukan derivatisasi 2-(4-isobutilfenil) propanoat menjadi anhidrida dengan benzoil klorida. Sehingga interpretasi pita absorbsi spesifik untuk indetifikasi terletak pada ester benzoat dengan daerah absorbsi 1730 – 1715 cm-1, spesifikasi untuk anhidrida asiklik terkonjugasi terletak pada daerah 1775 – 1720 cm-1. Sementara untuk senyawa target, interpretasi pita absorbsi untuk identifikasi terletak pada adanya gugusan amida pada N-(4-hidroksifenil) asetamida. Pita absorbsi gugusan amida tumpang tindih dengan gugusan karbonil yaitu pada daerah sekitar 1640 cm-1 (Silverstein, Francis, and David, 2005).
(38)
21
G. Landasan Teori
Esterifikasi merupakan reaksi antara suatu alkohol dengan asam karboksilat. Metode esterifikasi yang digunakan berdasarkan prinsip esterifikasi Yamaguchi yaitu dengan derivatisasi asam karboksilat menjadi anhidrida. Derivatisasi 2-(4-isobutilfenil) propanoat menggunakan benzoil klorida dengan katalis piridina akan membentuk benzoil 2-(4-isobutilfenil) propanoat anhidrat yang bertujuan untuk meningkatkan elektrofilisitas gugusan karbonil. benzoil 2-(4-isobutilfenil) propanoat anhidrat yang terbentuk akan direaksikan dengan N-(4-hidroksifenil) asetamida yang merupakan senyawa golongan alkohol. Reaksi antara N-(4-hidroksifenil) asetamida dengan derivat 2-(4-isobutilfenil) propanoat berlangsung dalam suasana basa menggunakan katalis natrium hidroksida (NaOH) dalam etanol membentuk 4-asetamidofenil 2-(4-isobutilfenil) propanoat.
Gambar 14. Reaksi umum sintesis senyawa 4-asetamidofenil 2-(4-isobutilfenil) propanoat
H. Hipotesis
Senyawa 4-asetamidofenil 2-(4-isobutilfenil) propanoat dapat disintesis dari 2-(4-isobutilfenil) propanoat dan N-(4-hidroksifenil) asetamida.
(39)
22 BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis dan Rancangan Penelitian
Penelitian yang berjudul “Sintesis senyawa 4-asetamidofenil 2-(4-isobutilfenil) propanoat dari 2-(4-2-(4-isobutilfenil) propanoat dan N-(4-hidroksifenil) asetamida” merupakan penelitian non-eksperimental deskriptif non analitik karena pada penelitian ini tidak diberikan perlakuan pada subjek uji dan hanya dipaparkan peristiwa yang terjadi sehingga tidak terdapat hubungan sebab akibat didalamnya.
B. Definisi Operasional
1. Starting Material merupakan bahan awal yang digunakan dalam proses sintesis 4-asetamidofenil 2-(4-isobutilfenil) propanoat. Starting material yang digunakan dalam penelitian yaitu 2-(4-isobutilfenil) propanoat dan N-(4-hidroksifenil) asetamida.
2. Katalis adalah suatu senyawa yang digunakan dalam reaksi kimia yang berfungsi mempercepat suatu reaksi dengan menurunkan energi aktivasinya. 3. Molekul target adalah molekul yang menjadi target dan diharapkan terbentuk
dari suatu proses sintesis. Senyawa yang diharapkan terbentuk adalah senyawa 4-asetamidofenil 2-(4-isobutilfenil) propanoat.
(40)
23
4. Penimbangan hingga bobot tetap adalah berat pada penimbangan setelah zat dikeringkan selama satu jam tidak berbeda lebih dari 0,5 mg/gram dari berat zat pada penimbangan sebelumnya.
5. Rendemen senyawa hasil sintesis merupakan perbandingan antara jumlah senyawa yang diperoleh dari hasil sintesis (aktual) dibandingkan dengan jumlah senyawa yang didapatkan secara teoritis.
C. Bahan Penelitian
Bahan-bahan yang digunakan antara lain: N-(4-hidroksifenil) asetamida (pharmaceutical grade, Bratachem), 2-(4-isobutilfenil) propanoat (technical grade, Bratachem), piridin (p.a., Merck), benzoil klorida (p.a., Merck), natrium hidroksida (p.a., Merck), etanol absolut (p.a., Merck), tetrahidrofuran (p.a., Merck), toluena (p.a., Merck), aquadest (Laboratorium Kimia Organik Universitas Sanata Dharma), etil asetat (p.a., Merck), aseton (p.a., Merck).
D. Alat Penelitian
Alat-alat yang digunakan meliputi: Neraca analitik (Mextler PM 100), oven (Memmert Oven Model 400), pendingin alihn, alat-alat gelas, alat pengukur titik lebur/melting point tester (MP70, Mettler Tolledo), sendok, galssfirn, kertas saring, mikropipet, chamber kaca, lampu UV254, oven, lempeng KLT, baskom, spektrometer IR (IR Shimadzu Prestige-21),
(41)
24
E. Prosedur Penelitian 1.Rekritalisasi 2-(4-isobutilfenil) propanoat
2-(4-isobutilfenil) propanoat ditimbang 10 gram menggunakan alas kertas timbang. Dilarutkan dengan 80 mL etanol 96% dan diaduk menggunakan magnetic stirer pada suhu ± 60°C selama 15 menit. Kemudian disaring menggunakan corong Buchner dan pompa vakum yang telah dihangatkan. Filtrat didinginkan dalam kulkas selama 24 jam. Kristal yang terbentuk disaring kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu ± 40°C selama 24 jam.
2. Rekristalisasi N-(4-hidroksifenil) asetamida
N-(4-hidroksifenil) asetamida dilarutkan hingga jenuh dalam etanol 96% sebanyak 80 mL. Kemudian disaring menggunakan corong Buchner dan pompa vakum. Filtrat didinginkan dalam kulkas selama 24 jam. Kristal yang terbentuk disaring kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu ± 40°C selama 24 jam.
3. Sintesis 4-asetamidofenil 2-(4-isobutilfenil) propanoat
a. Pembuatan larutan NaOH/etanol 0,1 N
Pelet NaOH ditimbang 800,0 mg menggunakan alas gelas arloji kemudian dilarutkan dengan sedikit etanol absolut. Dituang kedalam labu ukur 200 mL, ditambahkan etanol absolut hingga tanda lalu dilakukan penggojokan untuk mempercepat kelarutan kelarutan pellet NaOH.
(42)
25
b. Derivatisasi 2-(4-isobutilfenil) propanoat
Kristal 2-(4-isobutilfenil) propanoat ditimbang lebih kurang 825,12 mg (4 mmol) menggunakan alas kertas timbang. Dituang ke dalam labu alas datar lalu dilarutkan dalam 10 mL tetrahidrofuran (THF) dengan bantuan 420 µL piridin. Diaduk menggunakan magnetic stirer selama 10 menit pada suhu ruangan. Ditambahkan 512 µL benzoil klorida, kemudian dilanjutkan pengadukan selama 20 menit pada suhu ruangan.
c. Sintesis senyawa target
Endapan yang terbentuk hasil derivatisasi 2-(4-isobutilfenil) propanoat dipisahkan dari sistem cairan dengan cara didekantir. Pada tempat lain, kristal N-(4-hidrosifenil) asetamida sebanyak 604,64 mg (4 mmol) dilarutkan menggunakan 40 mL NaOH/etanol 0,1 N. Larutan dimasukkan ke dalam labu alas datar tersebut, lalu dilanjutkan pengadukan selama 24 jam pada suhu ruangan. Padatan yang terbentuk disaring menggunakan kertas saring yang telah dijenuhkan dengan etanol. Padatan kemudian dicuci dengan etanol dan dilakukan analisis KLT pada etanol pencuci untuk mengetahui kemurnian senyawa hasil sintesis. Pencucian dengan etanol dilakukan kembali jika senyawa hasil sintesis belum murni dari starting material. Padatan yang telah murni kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu ± 40°C hingga bobot tetap dan dihitung rendemennya, dilakukan replikasi sebanyak tiga kali dan dihitung rendemen hasil sintesis yang diperoleh.
(43)
26 4. Analisis Senyawa Hasil Sintesis
a. Uji organoleptis
Dilakukan pengamatan bentuk, warna, dan bau dari senyawa hasil dan dibandingkan dengan starting material yang digunakan.
b. Uji warna dengan FeCl3
Sejumlah kecil senyawa hasil sintesis ditempatkan dalam cawan arloji, lalu diteteskan FeCl3 dan diamati ada tidaknya perubahan warna yang terjadi. Hasil pengujian dibandingkan dengan pengujian pada N-(4-hidrosifenil) asetamida.
c. Uji gas dengan natrium bikarbonat (NaHCO3)
Sejumlah kecil senyawa hasil sintesis ditempatkan dalam tabung reaksi, lalu ditambahkan ± 5 mL larutan natrium bikarbonat 10 % b/v dan diamati ada tidaknya gelembung gas yang muncul. Hasil pengujian dibandingkan dengan pengujian pada 2-(4-isobutilfenil) propanoat.
d. Uji titik lebur
Sejumlah kecil senyawa hasil sintesis diisikan kedalam electrothermal capillary tubes, dimasukkan dalam alat pengukur titik lebur, diamati peleburan kristalnya dan dicatat suhu waktu pertama kali melebur hingga kristal melebur semua. Hasil pengukuran kemudian dibandingkan dengan hasil pengukuran titik lebur pada starting material yang digunakan.
(44)
27 e. Uji Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
Senyawa hasil sintesis dan starting material dilarutkan dalam etanol. Masing-masing larutan tersebut ditotolkan pada lempeng silika gel GF254 sebanyak 3 µL menggunakan pipa kapiler. Lempeng silika yang akan digunakan diaktifkan terlebih dahulu pada suhu 110°C selama 30 menit. Elusi dilakukan dengan fase gerak etil asetat (100%) dengan jarak elusi 10 cm. Bercak diamati dibawah sinar UV 254 nm, lalu dihitung nilai Rf untuk masing-masing bercak.
5. Elusidasi Struktur Senyawa Hasil Sintesis a. Spektrofotometri IR
Senyawa hasil sintesis sebanyak ± 0,5-1 mg dicampur dengan ± 10 mg KBr hingga homogen. Campuran tersebut kemudian dikempa menjadi tablet. Cahaya inframerah kemudian dilewatkan pada cuplikan. Cahaya tersebut akan dipecah menjadi frekuensi individunya oleh monokromator. Intensitas relatif dari individu tersebut terukur pada detektor hingga didapat spektra inframerah senyawa yang bersangkutan.
F. Analisis Hasil 1. Perhitungan Rendemen
Perhitungan rendemen senyawa hasil sintesis yang telah dimurnikan dengan membandingkan bobot tetap senyawa hasil sintesis dengan bobot teoritis.
(45)
28
% rendemen =
x 100%
2. Analisis Pendahuluan
Analisis pendahuluan senyawa hasil sintesis didasarkan pada data organoleptis, uji warna dengan FeCl3, dan uji gas dengan natrium bikarbonat (NaHCO3).
3. Pemeriksaan Kemurnian Senyawa Hasil Sintesis
Analisis kemurnian senyawa dilakukan didasarkan pada data uji titik leleh dan uji kromatografi lapis tipis (KLT).
4. Elusidasi Struktur
Elusidasi struktur dari senyawa hasil sintesis didasarkan pada data spektra inframerah.
(46)
29 BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Sintesis 4-asetamidofenil 2-(4-isobutilfenil) propanoat
Sintesis 4-asetamidofenil isobutilfenil) propanoat dari 2-(4-isobutilfenil) propanoat dan N-(4-hidroksifenil) asetamida didasarkan atas prinsip reaksi esterifikasi Yamaguchi, yaitu dengan melakukan derivatisasi 2-(4-isobutilfenil) propanoat yang merupakan suatu asam karboksilat menjadi anhidrida untuk meningkatkan reaktivitas atom C karbonil (C=O). Peneliti melakukan derivatisasi karena N-(4-hidroksifenil) asetamida sulit untuk bereaksi dengan 2-(4-isobutilfenil) propanoat mengingat reaktivitas 2-(4-isobutilfenil) propanoat yang lemah.
Gambar 15. Aktivasi gugus karboksilat 2-(4-isobutilfenil) propanoat Suatu anhidrida lebih reaktif dibandingkan asam karboksilat karena elektrofilisitas atom C pada C karbonil (C=O) yang lebih besar pada anhidrida dibandingkan asam karboksilat. Berdasarkan analisis muatan (charge) menggunakan MarvinSketch 5.2.5.1, didapatkan bahwa muatan atom C pada C karbonil (C=O) anhidrida memiliki muatan sebesar 0,19 sedangkan pada asam
(47)
30
karboksilat sebesar 0,15. Elektrofilisitas yang semakin besar akan memudahkan esterifikasi oleh N-(4-hidroksifenil) asetamida membentuk senyawa target.
Gambar 16. Analisis muatan 2-(4-isobutilfenil) propanoat
Gambar 17. Analisis muatan 2-(4-isobutilfenil) propanoat terderivatiasi Anhidrida yang terbentuk akan segera mengendap didalam pelarut yang digunakan (THF). Tetrahidrofuran (THF) digunakan sebagai pelarut karena sifatnya yang inert atau tidak menimbulkan reaksi samping dengan benzoil klorida dan 2-(4-isobutilfenil) propanoat yang digunakan. Endapan yang terbentuk kemudian dipisahkan dari sistem dengan cara dekantasi. Pemisahan endapan tidak menggunakan teknik filtrasi karena sifat anhidrida yang higroskopis, sehingga tidak adanya tetrahidrofuran (THF) yang melapisi padatan akan menyebabkan padatan kontak dengan udara lembab yang akan membuat endapan melebur dan meresap kedalam kertas saring.
(48)
31
Proses sintesis dilanjutkan dengan menambahkan N-(4-hidroksifenil) asetamida yang dilarutkan dalan NaOH/etanol 0,1 M. Larutan tersebut kemudian dicampurkan dengan derivat 2-(4-isobutilfenil) propanoat yang telah bebas dari pelarut (THF). Penggunaan katalis basa (NaOH) dalam proses sintesis akan mengionisasi gugus fenolik pada N-(4-hidroksifenil) asetamida menjadi ion fenoksida sehingga lebih reaktif karena adanya kelebihan pasangan elektron bebas.
Gambar 18. Aktivasi N-(4-hidroksifenil) asetamida
Pemilihan NaOH sebagai katalis reaksi juga disebabkan karena esterifikasi dalam suasana basa akan memberikan banyak keuntungan dibandingkan esterifikasi dalam suasana asam, diantaranya waktu reaksi yang lebih singkat dan dapat berlangsung pada temperatur dan tekanan yang rendah. Mengingat senyawa target berupa ester yang rentan mengalami hidrolisis karena adanya air, pelarut yang digunakan untuk melarutkan NaOH adalah etanol. Etanol digunakan karena dapat melarutkan derivat 2-(4-isobutilfenil) propanoat dan N-(4-hidroksifenil) asetamida. Pemilihan etanol sebagai pelarut juga disebabkan karena kemampuan solvolytic yang lebih kecil dibandingkan air. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ryu, Lee, dan Oh tahun 2005 didapatkan bahwa
(49)
32
konstanta laju solvolisis dari air lebih besar dibandingkan etanol pada temperatur yang sama.
Proses sintesis dilakukan selama 24 jam pada suhu ruangan dan disimpan didalam kulkas selama 24 jam untuk mengoptimalkan endapan yang didapat karena pada dasarnya kelarutan suatu senyawa akan berkurang pada suhu rendah. Endapan yang terbentuk kemudian disaring dan dicuci menggunakan etanol untuk memurnikan senyawa hasil sintesis dari N-(4-hidroksifenil) asetamida. Rata-rata rendemen hasil sintesis yang didapatkan sedikit, yaitu sekitar 15,8 %. Hal tersebut disebabkan karena perbedaan muatan C karbonil (C=O) dengan substituen pada anhidrida lebih kecil dibandingkan dengan senyawa target.
Gambar 19. Analisis muatan 4-asetamidofenil 2-(4-isobutilfenil) propanoat Perbedaan muatan pada senyawa target menunjukkan 0,43 (gambar 19), sedangkan perbedaan muatan pada derivat 2-(4-isobutilfenil) propanoat menunjukkan 0,38 (gambar 17). Semakin besar perbedaan muatan maka senyawa tersebut akan semakin tidak stabil karena kemampuan leaving group yang semakin besar. Oleh karena itu, substitusi oleh N-(4-hidroksifenil) asetamida menjadi sulit berlangsung karena perbedaan muatan yang lebih besar pada senyawa target.
(50)
33
Sedikitnya rendemen yang didapatkan juga diakibatkan adanya stabiliasi resonansi ion fenoksida pada N-(4-hidroksifenil) asetamida. Suatu anhidrida dapat bereaksi dengan senyawa fenolik membentuk suatu ester walaupun reaktifitas fenolik yang sangat lemah. Adanya stabilisasi resonansi elektron bebas pada atom O yang disebarkan pada cincin benzena akan menurunkan nukleofilisitas N-(4-hidroksifenil) asetamida.
Gambar 20. Analisis muatan etil 2-(4-isobutilfenil) propanoat
Penggunaan etanol sebagai pelarut tidak berpengaruh terhadap banyaknya rendemen yang didapat walaupun etanol juga memungkinkan untuk bereaksi dengan anhidrida membentuk ester yang lain. Berdasarkan gambar 20, perbedaan muatan antara atom C karbonil (C=O) dengan substituen yang lebih besar yaitu 0,58 dibandingkan senyawa target yaitu 0,43 sehingga etanol akan semakin sulit untuk bereaksi dengan derivat 2-(4-isobutilfenil) propanoat dibandingkan N-(4-hidroksifenil) asetamida. Selain itu, terjadinya reaksi samping membentuk etil 2-(4-isobutilfenil) propanoat justru memudahkan substitusi oleh N-(4-hidroksifenil) asetamida membentuk senyawa target mengingat perbedaan muatan etil 2-(4-isobutilfenil) propanoat yang lebih besar dibandingkan senyawa target.
(51)
34
Gambar 21. Mekanisme reaksi derivatisasi 2-(4-isobutilfenil) propanoat
Gambar 22. Mekanisme reaksi sintesis senyawa 4-asetamidofenil 2-(4-isobutilfenil) propanoat
(52)
35
B. Analisis Senyawa Hasil Sintesis 1. Uji organoleptis
Hasil pemeriksaan organoleptis meliputi bentuk, warna, dan bau senyawa hasil sintesis dibandingkan dengan starting material, yaitu 2-(4-isobutilfenil) propanoat dan N-(4-hidroksifenil) asetamida ditunjukkan pada tabel II.
Tabel II. Data organoleptis senyawa hasil sintesis dan starting material Pemerian N-(4-hidroksifenil)
asetamida
2-(4-isobutilfenil) propanoat
Senyawa hasil sintesis
Gambar
Bentuk Serbuk kristal Serbuk kristal Serbuk
Warna Putih Putih Putih
Bau Tidak berbau Tidak berbau Tidak berbau Dari hasil pemeriksaan, didapatkan bahwa senyawa hasil sintesis memiliki profil organoleptis yang sama dengan starting material dalam hal warna dan bau. Sehingga berdasarkan pemeriksaan organoleptis belum dapat disimpulkan bahwa senyawa hasil sintesis telah terbentuk karena memiliki profil organoleptis yang sama dengan starting material.
2. Uji warna dengan FeCl3
Uji warna menggunakan FeCl3 dilakukan kepada senyawa hasil sintesis dibandingkan dengan N-(4-hidroksifenil) asetamida. Perubahan warna yang terjadi didasarkan atas reaksi antara FeCl3 dengan N-(4-hidroksifenil) asetamida
(53)
36
yang merupakan senyawa fenolik membentuk kompleks warna berwarna ungu. Hasil uji ditunjukkan pada tabel III.
Tabel III. Data uji warna dengan FeCl3 Keterangan N-(4-hidroksifenil)
asetamida Senyawa hasil sintesis
Sebelum penambahan FeCl3
Setelah penambahan FeCl3
Warna Ungu kehitaman Kuning
Berdasarkan hasil pengujian, dapat disimpulkan bahwa senyawa hasil sintesis telah murni dari N-(4-hidroksifenil) asetamida karena tidak terjadi perubahan warna menjadi ungu kehitaman seperti yang terlihat pada N-(4-hidroksifenil) asetamida. Selain itu, tidak terjadinya perubahan warna menjadi ungu menunjukkan bahwa senyawa hasil sintesis bukan merupakan N-(4-hidroksifenil) asetamida dan tidak terdapat gugus fenolik.
3. Uji gas dengan natrium bikarbonat (NaHCO3)
Uji gas menggunakan NaHCO3 dilakukan kepada senyawa hasil sintesis dibandingkan dengan 2-(4-isobutilfenil) propanoat. Terbentuknya gas yang
(54)
37
muncul didasarkan atas reaksi antara NaHCO3 dengan 2-(4-isobutilfenil) propanoat yang merupakan suatu asam karboksilat melepaskan gas CO2. Hasil pengujian ditunjukkan pada tabel IV.
Tabel IV. Data uji gas dengan natrium bikarbonat (NaHCO3) Keterangan 2-(4-isobutilfenil)
propanoat Senyawa hasil sintesis
Gambar
Pengamatan Terdapat buih gas CO2 Tidak muncul gas CO2 Berdasarkan hasil pengujian, dapat disimpulkan bahwa senyawa hasil sintesis telah murni dari 2-(4-isobutilfenil) propanoat karena tidak terjadi muncul gelembung gas CO2 seperti yang terjadi pada 2-(4-isobutilfenil) propanoat. Selain itu, tidak munculnya buih atau gas CO2 menunjukkan bahwa senyawa hasil sintesis bukan merupakan 2-(4-isobutilfenil) propanoat dan tidak terdapat gugus karboksil.
4. Uji titik lebur
Pengujian titik lebur dilakukan terhadap senyawa hasil sintesis. Pengujian titik lebur dilakukan mulai dari suhu 40°C - 300°C untuk replikasi I, II, dan III senyawa hasil sintesis. Berdasarkan hasil pengujian, diperoleh titik lebur senyawa senyawa hasil sintesis dan starting material seperti pada tabel V berikut.
(55)
38
Tabel V. Data titik lebur senyawa hasil sintesis dan starting material
Senyawa Titik lebur
N-(4-hidroksifenil) asetamida 170°C 2-(4-isobutilfenil) propanoat 77°C Replikasi I senyawa hasil sintesis - Replikasi II senyawa hasil sintesis - Replikasi III senyawa hasil sintesis -
Dari hasil pengujian, dapat ditarik kesimpulan bahwa senyawa hasil sintesis sudah bukan starting material yaitu N-(4-hidroksifenil) asetamida dan 2-(4-isobutilfenil) propanoat dan memiliki titik lebur lebih dari 300°C.
5. Uji kromatografi lapis tipis (KLT)
Uji dengan kromatografi lapis tipis (KLT) bertujuan untuk identifikasi kualitatif apakah senyawa hasil sintesis telah. Senyawa hasil sintesis ditotolkan pada plat KLT silika gel GF254 bersama dengan starting material yaitu N-(4-hidroksifenil) asetamida dan 2-(4-isobutilfenil) propanoat lalu dielusikan menggunakan fase gerak etil asetat. Pelarut yang digunakan adalah etanol baik untuk starting material dan senyawa hasil sintesis. Parameter yang digunakan adalah Rf untuk masing-masing bercak senyawa yang ditotolkan. Rf merupakan perbandingan jarak bercak dengan jarak elusi dari titik awal penotolan. Jika hasil elusi menunjukkan adanya perbedaan nilai Rf maka dapat dikatakan bahwa senyawa hasil sintesis telah terbentuk. Uji Kromatografi Lapis Tipis (KLT) juga dapat digunakan untuk identifikasi kemurnian dari senyawa hasil sintesis dengan meliihat ada tidaknya bercak dengan Rf yang sama pada starting material. Berikut hasil analisis Kromatografi Lapis Tipis (KLT) dan data Rf ditunjukkan dengan gambar dan tabel dibawah ini.
(56)
39
Gambar 23. KLT senyawa hasil sintesis pada fase gerak etil asetat Keterangan :
Fase diam : silika gel GF254 Jarak elusi : 10 cm Fase gerak : etil asetat Deteksi : UV 254 nm
Tabel VI. Nilai Rf analisis KLT senyawa hasil sintesis
Bercak Senyawa Rf
IBU 2-(4-isobutilfenil) propanoat 0,62
PCT N-(4-hidroksifenil) asetamida 0,40
R-I Pelarut replikasi I senyawa hasil sintesis - R-II Pelarut replikasi II senyawa hasil sintesis - R-III Pelarut replikasi III senyawa hasil sintesis -
Berdasarkan hasil analisis KLT, didapatkan bahwa totolan starting material menghasilkan bercak tunggal dibawah sinar UV 254 nm. Sementara pada senyawa hasil sintesis tidak didapatkan bercak, sehingga dapat disimpulkan bahwa senyawa hasil sintesis telah murni dari starting material dan bukan merupakan starting material. Tidak adanya bercak pada senyawa hasil sintesis
(57)
40
disebabkan karena senyawa hasil sintesis tidak terlarut dalam etanol, sehingga analisis KLT digunakan untuk mengetahui kemurnian dari senyawa hasil sintesis mengingat 2-(4-isobutilfenil) propanoat dan N-(4-hidroksifenil) asetamida sebagai starting material larut dalam etanol.
C. Elusidasi Struktur Senyawa Hasil Sintesis
1. Spektrofotometri infra merah 2-(4-isobutilfenil) propanoat terderivatisasi Spektrofotometri infra merah digunakan untuk mengetahui gugus fungsional yang terdapat dalam senyawa uji. Setiap senyawa memiliki spektra IR yang berbeda karena transisi elektron yang terjadi akan terkait dengan perubahan vibrasi didalam molekul. Untuk memastikan apakah derivatisasi 2-(4-isobutilfenil) propanoat telah berlangsung, maka penyusun melakukan analisis terhadap anhidrida yang terbentuk dan ditunjukkan pada gambar dibawah ini.
(58)
41
Spektra IR yang diperoleh menunjukkan adanya pita representatif dengan gugus-gugus fungsi yang terdapat pada struktur derivat 2-(4-isobutilfenil) propanoat. Gugus aromatik ditunjukkan dengan adanya serapan disebelah kiri 3000 cm-1 yaitu pada 3055,24 cm-1. Gugus gem-dimetil ditunjukkan dengan adanya serapan doublet dengan intensitas yang hampir sama pada daerah sekitar 1385-1380 cm-1 yaitu 1381,03 cm-1 dengan intensitas 30,74 dan 1319,31 cm-1 dengan intensitas 30,78. Gugus C-H alkana ditunjukkan dengan adanya serapan pada daerah 3000-2840 cm-1 yaitu pada 2924,09 cm-1. Gugus C-H alkena ditunjukkan dengan adanya serapan pada daerah didekat 1416 cm-1 (
scissoring in-plane) yaitu 1458,18 cm-1, serapan pada daerah 970 cm-1 dan 650 cm-1 (trans-bending out of plane) yaitu 948,98 cm-1 dan 671,23 cm-1 serta serapan pada daerah sekitar 700 cm-1
(cis-bending out of plane) yaitu 779,24 cm-1. Gugus ester ditunjukkan dengan adanya serapan kuat pada daerah 1300 – 1000 cm-1 yaitu pada 1080,14 cm-1.
Gambar 25. Identifikasi gugus fungsi derivat 2-(4-isobutilfenil) propanoat Spesifik untuk senyawa derivat 2-(4-isobutilfenil) propanoat adanya gugus ester benzoat yang tumpang tindih dengan anhidrida asiklik terkonjugasi
(59)
42
yaitu adanya serapan pada daerah 1775-1720 cm-1 yang ditunjukkan pada 1720,50 cm-1. Berikut interpretasi spektra infra merah derivat 2-(4-isobutilfenil) propanoat:
Tabel VII. Interpretasi spektra IR derivat 2-(4-isobutilfenil) propanoat
Gugus fungsional Bilangan
gelombang (cm-1) Intensitas
Gugus aromatik 3055,24 Medium, melebar
Gugus C-H alkana 2924,09 Medium, tajam
Gugus anhidrida asiklik terkonjugasi 1720,50 Lemah, tajam Gugus C-H alkena (scissoring in-plane) 1458,18 Lemah, tajam
Gugus gem-dimetil 1381,03 Lemah, tajam
1319,31 Lemah, tajam
Gugus ester (C-O) 1080,14 Medium, melebar
Gugus C-H alkena (trans –bending out of plane)
948,98 Lemah, tajam 671,23 Lemah, tajam Gugus C-H alkena (cis –bending out of
plane) 779,24 Lemah, tajam
(Silverstein dkk, 2005). 2. Spektrofotometri infra merah senyawa hasil sintesis
Spektra IR yang diperoleh menunjukkan adanya pita representatif dengan gugus-gugus fungsi yang terdapat pada struktur senyawa hasil sintesis. Gugus fungsional spesifik yang menunjukkan apakah senyawa hasil sintesis telah terbentuk adalah adanya gugusan amida yang tidak terdapat pada derivat 2-(4-isobutilfenil) propanoat.
(60)
43
Gambar 27. Spektra IR Senyawa Hasil Sintesis (pelet KBr)
Gugus karbonil terdapat pada daerah 1850 – 1650 cm-1 yang ditunjukkan pada 1851,66 cm-1. Intensitas gugus karbonil dari senyawa hasil sintesis tidak kuat seperti derivat 2-(4-isobutilfenil) propanoat disebabkan karena adanya gugus pendonor elektron disamping gugus karbonil yang memicu terjadinya resonansi sehingga intensitasnya berkurang.
Gambar 28. Resonansi derivat 2-(4-isobutilfenil) propanoat
(61)
44
Berdasarkan gambar 29, dapat dilihat bahwa pada senyawa target terjadi resonansi C karbonil (C=O) pada gugus ester dan amida yang menutup vibrasi gugus karbonil sehingga memiliki intensitas yang rendah. Berbeda dengan derivat 2-(4-isobutilfenil) propanoat, pada gambar 28 ditunjukkan bahwa efek resonansi hanya terjadi pada salah satu gugus karbonil (C=O) sehingga gugus karbonil yang lain memberikan intensitas yang kuat. Gugus ester terdapat dengan serapan kuat pada daerah 1300 – 1000 cm-1 yang ditunjukkan pada 1056,99 cm-1. Gugus gem-dimetil ditunjukkan oleh serapan doublet dengan intensitas yang hampir sama pada daerah sekitar 1385-1380 cm-1 yaitu 1381,03 cm-1 dengan intensitas 30,941 dan 1319,31 cm-1 dengan intensitas 32,222. Gugus C-H alkana ditunjukkan dengan serapan pada daerah 3000-2840 cm-1 yaitu pada 2924,09 cm-1. Gugus C-H alkena ditunjukkan dengan serapan pada daerah didekat 970 cm-1 dan 650 cm-1 (trans-out of plane) yaitu 1018,41 cm-1 dan 671,23 cm-1. Interpretasi spesifik untuk senyawa hasil sintesis adalah adanya pita absorbsi gugus amida sekunder yang terletak pada daerah sekitar 1640 cm-1 dan ditunjukkan pada 1635,64 cm-1.
Tabel VIII. Interpretasi spektra IR senyawa hasil sintesis
Gugus fungsional Bilangan
gelombang (cm-1) Intensitas
Gugus C-H alkana 2924,09 Medium, tajam
Gugus karbonil (C=O) 1851,66 Lemah, melebar
Gugus amida sekunder 1635,64 Lemah, melebar
Gugus gem-dimetil 1381,03 Lemah, tajam
1319,31 Lemah, tajam
Gugus ester (C-O) 1056,99 Medium, melebar
Gugus C-H alkena (trans –bending out of plane)
1018,41 Medium, melebar 671,23 Lemah, melebar
(62)
45
Berdasarkan analisis spektra IR antara derivat 2-(4-isobutilfenil) propanoat dengan senyawa hasil sintesis didapatkan adanya serapan gugus gem-dimetil yang merupakan bagian dari rantai starting material 2-(4-isobutilfenil) propanoat sehingga perbedaan serapan yang muncul karena perbedaan rantai samping dimana pada derivat 2-(4-isobutilfenil) propanoat adalah asam benzoat sedangkan pada senyawa target adalah N-(4-hidroksifenil) asetamida. Perbedaan yang muncul dari spektra derivat 2-(4-isobutilfenil) propanoat dan senyawa hasil sintesis ditunjukkan adanya serapan C-H alkena scissoring in-plane dan C-H alkena cis-bending out plane pada derivat 2-(4-isobutilfenil) propanoat sedangkan pada senyawa hasil sintesis tidak ada.
Gambar 30. Muatan atom karbon alkena rantai samping derivat 2-(4-isobutilfenil) propanoat
(63)
46
Hal tersebut disebabkan karena adanya perbedaan muatan atom karbon alkena pada rantai samping derivat 2-(4-isobutilfenil) propanoat dengan senyawa target seperti yang ditunjukkan pada gambar 30 dan gambar 31. Berdasarkan gambar 30, ditunjukkan bahwa muatan atom C alkena pada derivat 2-(4-isobutilfenil) propanoat berselang-seling bermuatan positif dan negatif karena cincin benzena terikat dengan gugus penarik elektron yang mengakibatkan atom C pada posisi meta (m) bermuatan negatif sedangkan pada posisi orto (o) dan para (p) bermuatan positif. Sementara pada gambar 31 menunjukkan semua atom C pada senyawa target bermuatan negatif karena kedua substituen pada cincin benzena bersifat pendonor elektron sehingga posisi orto (o) dari masing-masing substituen bermuatan negatif.
Gambar 32. Ilustrasi vibrasi trans-bending out of plane
(64)
47
Muatan pada atom yang sama akan menunjukkan besarnya gaya dipol-dipol yang muncul dimana kutub yang berbeda (positif dan negatif) akan menunjukkan gaya tarik menarik sehingga energi ikatan antar atom besar (stabil). Kutub muatan yang sama antar atom C alkena pada senyawa target membuat energi ikatan antar atom C semakin kecil, sehingga untuk stabilisasi ikatan molekul memposisikan atom H pada ikatan H-C=C-H pada posisi trans sehingga vibrasi C-H bending out of plane yang terjadi pada gugus alkena senyawa target hanya trans-bending out of plane dan tidak ditemukan pita vibrasi cis-bending out of plane seperti pada derivat 2-(4-isobutilfenil) propanoat seperti ilustrasi yang ditunjukkan pada gambar 32 dan 33.
Perbedaan muatan juga menggambarkan tidak adanya pita vibrasi scissoring in-plane pada senyawa target. Vibrasi scissoring in-plane pada senyawa target akan memperkecil jarak antar atom C alkena sehingga energi tolak-menolak antar atom C akan semakin besar (molekul tidak stabil) mengingat kutub muatan yang sama antar atom C alkena tersebut. Ilustrasi vibrasi scissoring in-plane ditunjukkan oleh gambar 34 dibawah ini.
(65)
48
Spektra IR baik pada derivat 2-(4-isobutilfenil) propanoat dan senyawa target menunjukkan adanya vibrasi pada daerah 3400 cm-1 yang merupakan daerah serapan gugus hidroksi (–OH). Gugus hidroksi tersebut bukan berasal dari struktur senyawa yang diidentifikasi melainkan dari uap air yang terjerap karena teknik preparasi sampel yang dilakukan menggunakan pelet kalium bromida (KBr) mengingat sifat KBr yang higroskopis. Berdasarkan analisis spektra IR tersebut maka disimpulkan bahwa sudah terjadi reaksi antara derivat 2-(4-isobutilfenil) propanoat dengan N-(4-hidroksifenil) asetamida dan senyawa hasil sintesis bukanlah starting material yang diduga adalah 4-asetamidofenil 2-(4-isobutilfenil) propanoat.
(66)
49 BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Senyawa hasil sintesis merupakan senyawa yang berbeda dari starting material yaitu N-(4-hidroksifenil) asetamida dan 2-(4-isobutilfenil) propanoat yang diduga adalah 4-asetamidofenil 2-(4-isobutilfenil) propanoat dengan rendemen sebesar 15,8 %.
B. Saran
Perlu dilakukan elusidasi struktur lebih lanjut untuk mengetahui kebeneran struktur dari senyawa hasil sintesis yang diperoleh.
(67)
50
DAFTAR PUSTAKA
Ahluwalia, V.K. and Dhingra, S., 2004, Comprehensive Practical Organic Chemistry, Universities Press, India, pp. 12, 19.
Aschenbrenner, D.S., 2009, Drug Therapy in Nursing, 3rd Edition, Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia, p. 412.
Bansal, R.K., 2003, A Textbook of Organic Chemistry, 4th Edition, New Age International Publishers, Dehli, India, pp. 116, 385.
Bart, J.C.J., 2006, Polymer Additive Analytics : Industrial Practice and Case Studies, Firenze University Press, Italy, p. 219.
Bhagavan, N.V., 2002, Medical Biochemistry, Academic Press, London, p. 393. Brashers, V.L., 2003, Aplikasi Klinis Fisiologis, edisi 2, Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta, p. 213.
Carpenito, L.J., 2009, Nursing Care Plans and Documentation, 5th Edition, Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia, p. 206.
Clark, M.A., Finkel, R. and Whalen, J.A.K., 2011, Pharmacology, 5th Edition, Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia, pp. 537-538.
Clayden, J., Greeves, N. and Warren, S., 2012, Organic Chemistry, 2nd Edition, Oxford University Press, New York, pp. 206-207.
Clungston, M. and Rosalind, F., 2000, Advanced Chemistry, Oxford University Press, New York, pp. 474-475.
Coates, J., 2000, Interpretation of Infrared Spectra, A Practical Approach, John Wiley & Sons, Chichester, pp. 7, 13.
Delisa, J.A. and Walsh, N.E., 2005, Physical Medicine and Rehabilitation, Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia, p. 362.
Derrick, M.R., Stulik, D. and Landry, J.M., 1999, Infrared Spectroscopy in Conservation Science, The Getty Conservation Institute, USA, pp. 46-48. Dhimitruka, I. and Lucia, J.S., 2005, Investigation of The Yamaguchi
Esterofication Mechanism. Synthesis Lux-S Enzyme Inhibitor Using an Improved Esterifation Method, Department of Chemistry, Avenue, Detroit, Michigan, pp. 47-50.
Gilbert, J.C. and Martin, S.F., 2010, Experimental Organic Chemistry: A Miniscale and Microscale Approach, 5th Edition, Cengange Learning, Boston, USA, pp. 94-95.
(68)
51
Golan, D.E., 2008, Principles of Pharmacology : The Pathophysiologic Basis of Drug Therapy, Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia, pp. 274-275, 814-815.
Kamilati, N., 2006, Mengenal Kimia, Yudhistira Ghalia Indonesia, Jakarta, p. 70. Kankanala, K., Billur, R., Reddy, V.R., Mukkanti, K. and Pal, S., 2013,
TFAA-H3PO4 mediated rapid and single-step synthesis of mutual prodrugs of
paracetamol and NSAIDs, Green Chemistry Letters and Reviews, Taylor & Francis, pp. 421-424.
Klein, D.R., 2011, Organic Chemistry As a Second Languange, John Wiley & Sons, USA, p. 77.
Kokate, C.K., Purohit, A.P. and Gokhale, S.B., 2009, Pharmacognosy, Nirali Prakashan, Mumbai, p. 6.3.
Kwoon, Y., 2001, Handbook of Essential Pharmacokinetics, Pharmacodynamics, and Drug Metabolism for Industrial Scientists, Springer, Charlottesville, p. 122.
Larkin, P., 2011, Infrared and Raman Spectroscopy : Principles and Spectral Interpretation, Elseiver, USA, pp. 213-214.
Leach, R.G., 2007, Applied Thin-Layer Chromatography, 2nd Edition, WILEY-VCH Verlag GmbH & Co.KgaA, Weinheim, Germany, pp. 1, 4-5.
Lemke, T.L. and Williams, D.A., 2012, Foye’s Principles of Medicinal
Chemistry, Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia, p. 998.
Li, J.J. and Corey, E.J., 2007, Name Reactions of Functional Group Transformation, John Wiley & Sons, Philadelphia, p. 545.
MacKenzie, 1967, Experimental Organic Chemistry, 3th Edition, Pretice-Hall, Inc., Englewood Cliffs, New Jersey, p. 20.
Masterton, W.L., Hurley, C.N. and Neth, E.J., 2011, Chemistry : Principles and Reactions, 7th Edition, Cengange Learning, USA, p. 305.
Mirzayan, R., 2006, Cartilage Injury in Athlete, Thieme, New York, p. 81.
Moffat, A.C., David, M.O. and Brian, W., 2011, Clarke’s Analysis of Drugs and
Poisons, Pharmaceutical Press, London, pp. 1510, 1856.
Murray, P.R.S., 1997, Principles of Organic: A Modern and Comprehensive Text for Schools and Colleges, 2nd Edition, Dah Hua Printing Press, Hong Kong, pp. 185-186.
Myers, R.L., 2007, The 100 Most Important Chemical Compounds, Greenwood Publishing Group, USA, p. 150.
(69)
52
Neal, M.J., 2010, Medical Pharmacology at a Glance, 6th Edition, John Wiley & Sons, Hoboken, New Jersey, p. 70.
Orhan, M., Burcu, Asli, D., Nulifer, Yagmur, G. and Erden, 2010, Stable Ester and Amide Conjugates of Some NSAIDs as Analgesic and Antiinflammatory Compounds with Improved Biological Activity, Turk J Chem, Tubitak, Turkey, pp. 427-439.
Otera, J. and Nishikido, J., 2009, Esterification Methods, Reactions, and Applications, John Wiley and Sons, Philadelphia, p. 128.
Pavia, D.L., Lampman, G.M., Kriz, G.S. and Engel, R.G., 2010, A Small Scale Approach to Organic Laboratory Techniques, 3rd Edition, Brooks/Cole Cengange Learning, USA, pp. 46, 69, 114.
Ramakrishnan, S., Prasannan, K.G. and Rajan, R., 2007, Textbook of Medical Biochemistry, 3rd Edition, Orient Longman, New Delhi, p. 130.
Ramanathan, E., 2006, AIEE Chemistry, Sura College of Competition, Anna Nagar, Chennai, p. 316.
Remington, J.P., 2006, Remington : The Science And Practice of Pharmacy, 21st Edition, Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia, p. 1541.
Ryu, Z.H., Lee, Y.H. and Oh, Y., 2005, Stoichiometric Effects. Correlation of Rates of Solvolysis of Isoprophenyl Chloroformate, Vol.26, No.11, Department of Chemistry, Dong-Eui University, Korea, p. 1764.
Sahoo, B., Nayak, N.C., Samantaray, A. and Pujapanda, P.K.,2012, Inorganic Chemistry, PHI Learning Pvt, Dehli, p. 628.
Sagar, R., 1996, Together With Chemistry, Rachna Sagar Pvt, New Dehli, p. 268. Sagar, R., 2009, Essential Chemistry, Virat Bhavan, Mukherjee Nagar
Commercial Complex, Dehli, p. 11.35.
Sastroamidjojo, H., 1991, Spektroskopi, 2nd Edition, Liberty, Yogyakarta, Indonesia, pp. 82-84.
Sharav, Y., 2008, Orofacial Pain and Headache, Elsevier Health Sciences, China, pp. 364-365.
Sheti, A., 2006, Systematic Lab Experiments in Organic Chemistry, New Age International Publisher, New Dehli, pp. 189, 619.
Singh, O.V. and Haevey, S.P., 2009, Sustainable Biotechnology: Sources of Renewable Energy, Springer, USA, p. 50.
(70)
53
Silvestein, R.M., Francis, X.W. and David, J.K., 2005, Spectrometric Identification of Organic Compounds, John Wiley & Sons, USA, pp. 99 – 100.
Spangenberg, B., Poole, C.F. and Weins, C., 2011, Quantitative Thin-Layer Chromatography, Springer, New York, p. 63.
Starkey, L.S., 2012, Introduction to Strategies for Organic Synthesis, John Wiley and Sons, Philadelphia, pp. 122, 124.
Stuart, B., 2004, Infrared Spectroscopy: Fundamentals ad Applications, John Wiley and Sons, Philadelphia, p. 27.
Sun, X., 2013, Organic Mechanism : Reactions, Methodology, and Biological Applications, John Wiley & Sons, New Jersey, Canada, p. 327.
Suyono, 2001, Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II, Edisi III, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, p. 92.
Tollison, C.D., Satterthwaite, J.R. and Tollison, J.W., 2002, Practical Pain Management, 3rd Edition, Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia, USA, p. 245.
Torabinejad, M. and Walton, R.E., 2009, Endodontics : Principles and Practice, Elsevier Health Sciences, China, p. 154.
Vane, S.J., Botting, J. and Botting, R., 1996, Improved Non-Steroidal Anti-Inflammatory Drugs - COX-2 Enzyme Inhibitors, Kluwer Academic Publishers and William Harvey Press, USA, p. 8.
Vardanyan, R. and Hruby, V., 2006, Synthesis of Essential Drugs, Elseiver, Amsterdam, Netherlands, p. 44.
(71)
54 LAMPIRAN
Lampiran 1. Perhitungan rendemen senyawa hasil sintesis
4 mmol 4 mmol
4 mmol 4 mmol BM senyawa hasil sintesis = 339,43 g/mol
Pembuatan NaOH 0,1 N
Penimbangan pellet NaOH
Berat gelas arloji : 79,829 gram Berat gelas arloji + NaOH : 80,794 gram Berat gelas arloji + sisa : 79,829 gram Berat NaOH : 0,965 gram
M =
=
= 0,024 x 5 = 0,12 M ~ 0,12 N
Volume yang diperlukan =
=
(72)
55
Penimbangan N-(4-hidroksifenil) asetamida
Penimbangan Replikasi I Replikasi II Replikasi III Berat kertas 0,421 gram 0,412 gram 0,418 gram Berat kertas + isi 1,025 gram 1,017 gram 1,023 gram Berat kertas + sisa 0,423 gram 0,412 gram 0,418 gram Berat senyawa 0,602 gram 0,605 gram 0,605 gram
Penimbangan 2-(4-isobutilfenil) propanoat
Penimbangan Replikasi I Replikasi II Replikasi III Berat kertas 0,429 gram 0,432 gram 0,413 gram Berat kertas + isi 1,338 gram 1,341 gram 1,322 gram Berat kertas + sisa 0,429 gram 0,432 gram 0,414 gram Berat senyawa 0,909 gram 0,909 gram 0,908 gram
Perhitungan Bobot Teoritis
Replikasi I
mol anhidrida = mol 2-(4-isobutilfenil) propanoat =
=
=
4,406 x 10-3 mol = 4,406 mmol
mol N-(4-hidroksifenil) asetamida =
=
=
3,983x 10-3 mol = 3,983 mmol
m : 4,406 mmol 3,983 mmol - r : 3,983 mmol 3,983 mmol 3,983 mmol
a : 0,423 mmol - 3,983 mmol
(73)
56
Replikasi II
mol anhidrida = mol 2-(4-isobutilfenil) propanoat =
=
=
4,406 x 10-3 mol = 4,406 mmol
mol N-(4-hidroksifenil) asetamida =
=
=
4,002x 10-3 mol = 4,002 mmol
m : 4,406 mmol 4,002 mmol - r : 4,002 mmol 4,002 mmol 4,002 mmol
a : 0,404 mmol - 4,002 mmol
Bobot teoritis = mmol x BM = 4,002 mmol x 339,43 mg/mmol = 1358,40 mg
Replikasi III
mol anhidrida = mol 2-(4-isobutilfenil) propanoat =
=
=
4,402 x 10-3 mol = 4,402 mmol
mol N-(4-hidroksifenil) asetamida =
=
=
4,002x 10-3 mol = 4,002 mmol
m : 4,402 mmol 4,002 mmol - r : 4,002 mmol 4,002 mmol 4,002 mmol
a : 0,400 mmol - 4,002 mmol
(74)
57
Bobot Penimbangan dan Rendemen Hasil Sintesis
Penimbangan Kertas Saring (105°C)
Penimbangan Replikasi I Replikasi II Replikasi III Pengeringan 1 jam 0,5232 gram 0,5762 gram 0,5537 gram Pengeringan 2 jam 0,4889 gram 0,5366 gram 0,5154 gram Pengeringan 3 jam 0,4885 gram 0,5362 gram 0,5151 gram
Penimbangan Senyawa Hasil Sintesis (40°C)
Penimbangan Replikasi I Replikasi II Replikasi III Pengeringan 24 jam 0,7023 gram 0,7389 gram 0,7449 gram
24 + 1 jam 0,7011 gram 0,7379 gram 0,7438 gram 24 + 2 jam 0,7007 gram 0,7377 gram 0,7434 gram Berat Senyawa Target 212,2 mg 201,5 mg 228,3 mg
Rendemen 15,695 % 14,833 % 16,806 %
(75)
58
Lampiran 2. Pembuatan larutan natrium bikarbonat (NaHCO3) 10% b/v
Penimbangan NaHCO3
Berat gelas arloji : 75,856 gram Berat gelas arloji + NaHCO3 : 85,861 gram Berat gelas arloji + sisa : 75,856 gram Berat NaHCO3 : 10,005 gram
Kemudian dilarutkan dengan sedikit aquadest dan tuang dalam labu ukur 100 mL, add dengan quadest hinggga tanda.
Kadar NaHCO3 =
x 100%
=
x 100%= 10,005 %
b/ v
(76)
59
(77)
60
(78)
61
(79)
62 Lampiran 6. Spektra IR senyawa hasil sintesis
(1)
58
Lampiran 2. Pembuatan larutan natrium bikarbonat (NaHCO3) 10% b/v
Penimbangan NaHCO3
Berat gelas arloji : 75,856 gram Berat gelas arloji + NaHCO3 : 85,861 gram
Berat gelas arloji + sisa : 75,856 gram Berat NaHCO3 : 10,005 gram
Kemudian dilarutkan dengan sedikit aquadest dan tuang dalam labu ukur 100 mL, add dengan quadest hinggga tanda.
Kadar NaHCO3 =
x 100%
=
x 100%= 10,005 %
b/ v
(2)
59
(3)
60
(4)
61
(5)
62
(6)
63
BIOGRAFI PENULIS
Penulis lahir di Purworejo pada tanggal 24 Juli 1992. Penulis memiliki seorang ayah yang bernama Robert Gunawan dan seorang ibu yang bernama Tsin Giun Chen. Penulis telah menyelesaikan pendidikan di TK Maria Purworejo pada tahun 1997 sampai dengan 1999, SD Maria Purworejo pada tahun 1999 sampai dengan 2004, SMP N 2 Purworejo pada tahun 2004 sampai dengan 2007, SMA N 1 Purworejo pada tahun 2007 sampai dengan 2010, dan Strata 1 Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta pada tahun 2010 sampai dengan 2013.
Penulis memiliki pengalaman kerja sebagai asisten dosen praktikum Kimia Dasar pada tahun 2011, Kimia Analisis pada tahun 2012, Farmakognosi Fitokimia I pada tahun 2012, Kimia Organik pada tahun 2013, Analisis Farmasi pada tahun 2013, Validasi Metode Analisis pada tahun 2013, dan Farmakologi Toksikologi pada tahun 2013.
Tidak hanya sebagai asisten dosen, penulis pernah mengikuti Olimpiade Nasional Matematika, Fisika, Kimia, dan Biologi bagi Mahasiswa Perguruan Tinggi (ONMIPA-PT) Tingkat Wilayah pada bidang Kimia yang dilaksanakan di Kopertis Wilayah V. Dalam kompetisi tersebut penulis menjadi Juara III pada tanggal 11-12 April 2012, dan Juara I pada tanggal 29-30 April 2013.
Selain dibidang akademik, penulis juga aktif dalam organisasi. Penulis pernah menjabat sebagai Wakil Ketua Umum periode 2010-2011 dan Ketua Umum periode 2011-2012 dalam Komunitas Mahasiswa Buddhis Kong Hu Cu (KMBK) Dharma Virya Universitas Sanata Dharma. Penulis juga pernah menjabat sebagai Divisi Kesejahteraan Mahasiswa Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas (BEMF) Farmasi periode 2010-2011, dan berbagai kepanitiaan lainnya.