Untitled Document

(1)

(2)

JURNAL FAKULTAS

PSIKOLOGI UNIVERSITAS

HKBP NOMMENSEN

JURNAL FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS HKBP NOMMENSEN

Volume 1 Nomor 1 September 2015

Faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi belajar: Suatu Studi eksploratif pada mahasiswa Universitas HKBP Nommensen

Asina Christina Rosito, S.Psi, M.Sc

Mengenali Adhd (Attention Deficit Hyperactivity Disorder) Dan Penanganannya Pada Anak Sejak Dini

Ervina Marimbun Rosmaida Siahaan, M.Psi, Psikolog

Orang Tua Sebagai Model Utama Bagi Perilaku Makan Sehat Pada Anak-Anak Nancy Naomi G.P. Aritonang, M.Psi, Psikolog

Pengaruh Kepuasan Kerja terhadap Well-being Karyawan in Pt. Intan Havea Industry, Medan

Nenny Ika Putri Simarmata, M.Psi, Psikolog

Perbedaan Sikap Jemaat Laki-laki dan perempuan Terhadap Efektivitas kepemimpinan pendeta perempuan di gereja batak karo protestan

Karina M. Brahmana, M.Psi, Psikolog

Gambaran Kecerdasan Spiritual (SQ) Mahasiswa Tingkat Akhir Universitas HKBP Nommensen Medan

Togi Fitri Afriani Ambarita, M.Psi, Psikolog

M A J A L A H I L M I A H

F A K U L T A S P S I K O L O G I - U N I V E R S I T A S H K B P N O M M E N S E N

UHN


(3)

JURNAL FAKULTAS PSIKOLOGI

Majalah Ilmiah

Fakultas Psikologi Universitas HKBP Nommensen

Izin Penerbitan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia No. ISSN : 2460-7835

Penerbit : Universitas HKBP Nommensen Penasehat : Rektor, Dr.Ir. Sabam Malau Penanggungjawab : Dekan Fakultas Psikologi, Karina M. Brahmana, M.Psi Mitra Bestari : 1. Prof. Dr. Frieda Simangunsong, M.Ed

2. Drs. Aman Simaremare, MS 3. Prof. Dr. Albiner Siagian

Ketua Dewan Redaksi : Nenny Ika Putri, M.Psi Redaksi Pelaksana : 1. Nancy Naomi Aritonang, M.Psi

2. Hotpascaman Simbolon, M.Psi Anggota Dewan Redaksi : 1. Asina Christina Rosito, S.Psi, M.Sc

2. Togi Fitri A.Ambarita, M.Psi 3. Freddy Butarbutar, M.Psi

4. Ervina Sectioresti, M.Psi

5. Ervina Marimbun Siahaan, M.Psi 6. Karina M.Brahmana, M.Psi

Tata Usaha : 1. KTU, Marisi Pangaribuan, SE 2. Sondang Simanjuntak

Alamat Redaksi : JURNAL PSIKOLOGI

Fakultas Psikologi Universitas HKBP Nommensen Jalan Sutomo No.4A Medan 20234

Sumatera Utara – Medan

Majalah ini terbit dua kali setahun : September dan Maret Biaya langganan satu tahun untuk wilayah Indonesia

Rp. 30.000,- dan US$5 untuk pelanggan luar negeri (tidak termasuk ongkos kirim) Biaya langganan dikirim dengan pos wesel, yang ditujukan kepada Pimpinan Redaksi

Petunjuk penulisan naskah dicantumkan pada halaman dalam Sampul di belakang majalah ini


(4)

JURNAL

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS HKBP NOMMENSEN

DAFTAR ISI

Volume 1, Nomor 1, September 2015 ISSN : 2460-7835

KATA PENGANTAR DAFTAR ISI

Faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi belajar: Suatu Studi eksploratif pada mahasiswa Universitas HKBP Nommensen

Asina Rosito, S.Psi, M.Sc

Mengenali ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder) Dan Penanganannya Pada Anak Sejak Dini

Ervina Marimbun Rosmaida Siahaan, M.Psi, Psikolog

Orang Tua Sebagai Model Utama Bagi Perilaku Makan Sehat Pada Anak-Anak

Nancy Naomi GP Aritonang, M.Psi, Psikolog

Pengaruh Kepuasan Kerja terhadap Well-being Karyawan in Pt. Intan Havea Industry, Medan

Nenny Ika Simarmata, M.Psi, Psikolog

Perbedaan Sikap Jemaat Laki-laki dan perempuan Terhadap Efektivitas kepemimpinan pendeta perempuan di gereja batak karo protestan

Karina M Brahmana, M.Psi, Psikolog

Gambaran Kecerdasan Spiritual (SQ) Mahasiswa Tingkat Akhir Universitas HKBP Nommensen Medan

Togi Fitri Ambarita, M.Psi, Psikolog

1-21

22-32

33-43

44-65

66-78

79-91


(5)

GAMBARAN KECERDASAN SPIRITUAL (SQ) MAHASISWA TINGKAT AKHIR

UNIVERSITAS HKBP NOMMENSEN MEDAN

Togi Fitri Ambarita, M.Psi, Psikolog

ABSTRAK

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif deskriptif yang bertujuan melihat gambaran perkembangan Spiritual Quation (SQ); melalui pengukuran tingkat SQ dengan skala SQ. SQ adalah kecerdasan untuk menghadapi persoalan makna atau value. Pada penelitian ini SQ diukur melalui skala yang dikembangkan peneliti berdasarkan elemen-elemen SQ yang diajukan oleh Zohar dan Marshal. Penelitian diadakan pada Universitas HKBP Nommensen, universitas dengan ciri religiulitas Kristen yang cukup kuat. Penelitian diadakan untuk mengetahui perkembangan SQ pada lingkungan yang tingkat kehidupan religius cukup kuat. Peserta penelitian adalah 173 mahasiswa tingkat akhir Universitas HKBP Nommensen. Hasil pengukuran menunjukkan skor SQ pada mahasiswa tingkat akhir Universitas HKBP Nommensen 95,95 % berada pada kategorisasi tinggi. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kecerdasan spiritual berkembang pada mahasiswa tingkat akhir Universitas HKBP Nommensen.

Keyword: SQ, religius, mahasiswa tingkat akhir

I. PENDAHULUAN

Konsep spiritual quotion (SQ) merupakan salah satu komponen psikologi yang cukup baru dan pesat perkembangannya saat ini, terutama dikaitkan dengan konteks pengembangan kepribadian, dan pengaplikasiannya di bidang psikologi praktis. Penelitian tentang SQ mulai berkembang pada akhir abad ke dua puluh hingga saat ini. Penemuan terpenting berkaitan dengan SQ yakni ditemukannya organisasi saraf otak yang ketiga oleh Wolf Singer di tahun 1990-an. Dia membuktikan adanya proses saraf dalam otak yang dicurahkan untuk menyatukan dan memberikan makna pada pengalaman kita atau kemampuan ini dikenal sebagai kecerdasan spiritual atau SQ (Zohar dan Marshall, 2000).

Sebelumnya pada awal abad ke dua puluh, IQ menjadi isu besar dalam perkembangan ilmu pengetahuan, dimana kemudian IQ digunakan sebagai indikator untuk pengukuran intelegensia atau pengukuran kapasitas kemampuan kogntif seseorang. Hingga saat ini banyak sekolah-sekolah atau perusahaan-perusahaan menggunakan IQ untuk meramalkan kemampuan


(6)

kognitif seseorang, untuk kebutuhan-kebutuhan tertentu, seperti tes bakat minat atau seleksi. Harapannya dengan IQ yang tinggi orang tersebut akan berfungsi secara maksimal dan sukses dalam pekerjaannya.

Lalu pertengahan 1990-an, Daniel Goleman (1995), memperkenalkan Emotion Quation (EQ), dimana hasil penelitiannya membuktikan bahwa kontribusi kecerdasan intelektual (IQ) terhadap kesuksesan hidup seseorang hanya 20 %, sedangkan 80 % dipengaruhi faktor lainnya, misalnya kecerdasan emosional. Kecerdasan emosional menjelaskan mengenai tingkat kemampuan manusia merespon secara adaptif situasi-situasi yang penuh konflik atau situasi yang menuntut secara emosional. Dimana dengan munculnya EQ, berkembang asumsi-asumsi, baik didunia kerja maupun dunia pendidikan, bahwasanya kemampuan IQ saja tidaklah cukup, haruslah dibarengi kemampuan EQ, agar seorang manusia dapat berfungsi secara optimal.

Zohar dan Marshall, merupakan sepasang suami istri, sebagai tokoh pelopor munculnya kecerdasan spiritual, atau SQ. Sekitar tahun 2000, mereka mengajukan konsep tentang SQ. Mereka mendefinisikan kecerdasan spiritual sebagai rasa moral, kemampuan menyesuaikan aturan yang kaku dibarengi dengan pemahaman dan cinta serta kemampuan setara untuk melihat kapan cinta dan pemahaman sampai pada batasannya, juga memungkinkan kita bergulat dengan ihwal baik dan jahat, membayangkan yang belum terjadi serta mengangkat kita dari kerendahan (Zohar dan Marshall, 2000).

Kehadiran teori kecerdasan spiritual (Spiritual Quotient) turut merubah orientasi pendidikan modern yang selama ini lebih cenderung kepada kecerdasan intelektual (Intellectual

Quotient). Kecerdasan spiritual dianggap sebagai jenis kecerdasan “ketiga” dan kecerdasan

tertinggi (the ultimate intelligence) yang paling menentukan kesuksesan seseorang sekaligus sebagai landasan yang diperlukan untuk memungsikan IQ dan EQ secara efektif. Namun teori kecerdasan spiritual yang dikemukakan oleh Zohar dan Marshall tidak sepenuhnya relevan dengan konsep pendidikan agama, terutama yang berkenaan dengan konsep hubungan SQ dan agama. Menurut pasangan psikolog ini, SQ tidak mesti berhubungan dengan agama. Bahkan ia menegaskan bahwa banyak orang humanis dan ateis memiliki SQ sangat tinggi; sebaliknya banyak orang yang aktif beragama memiliki SQ sangat rendah (Zohar dan Marshall, 2000).

Ronel dan Gan (2008) menjelaskan bahwa istilah spiritualitas memiliki spektrum pemahaman cukup luas, sehingga menghasilkan berbagai pemahaman. Dimana salah satu dimensi spiritual berkaitan dengan keyakinan (faith) akan Tuhan. Dikaitkan dengan keyakinan


(7)

akan Tuhan, Ronel dan Gan menjelaskan bahwa kecerdasan spiritual dapat diartikan sebagai kemampuan untuk memahami dunia dan orang lain, dengan berpusat pada ajaran Tuhan; dan juga berkaitan dengan kemampuan untuk mampu beradaptasi di lingkungan dengan cara yang tepat.

Agama Kristen adalah sebuah kepercayaan monoteistik yang berdasar pada ajaran, hidup, sengsara, wafat, dan kebangkitan Yesus Kristus menurut Perjanjian Baru. Agama ini meyakini Yesus Kristus adalah Tuhan dan Mesias yang diramalkan dalam Perjanjian Lama, juruselamat bagi seluruh umat manusia, yang menebus manusia dari dosa. Pengikutnya beribadah di gereja dan Kitab Sucinya adalah Alkitab. (wikipedia.org/wiki/Kekristenan). Prinsip cinta kasih menjadi dasar ajaran kristen dimana hukum utama dari cinta kasih adalah mengasihi Tuhan dan mengasihi sesama manusia. Bentuk dari mengasihi Tuhan adalah mengutamakan Tuhan dalam setiap segi kehidupan yakni rajin beribadah ke gereja, berdoa dan bersekutu dengan teman seiman. Bentuk mengasihi sesama manusia yakni memiliki kepedulian terhadap orang lain, memperhatikan kesejahteraan orang lain, memperhatikan orang lain seperti diri sendiri (Simon dan Danes, 2000)

Meskipun seorang rajin ke gereja, membaca alkitab atau mengikuti kegiatan-kegiatan religius, namun nilai-nilai agama belum tentu dipahami dan melekat dalam diri orang tersebut. Dimana dalam SQ, penekanan lebih kepada unsur pembentukan nilai dalam diri manusia tersebut, atau bagaimana individu mampu memberikan makna pada setiap peristiwa dalam hidupnya sehingga hidupnya lebih bernilai. Dengan demikian perkembangan SQ bisa saja tidak sejalan dengan status keagamaan seseorang atau dengan kata lain seorang yang beragama belum tentu memiliki SQ yang baik.

Dalam ajaran Kristen, para umatnya sesungguhnya memilik nabi-nabi yang sangat cerdas secara spiritual, seperti yusuf, rasul Paulus, dll; selain Tuhan Yesus tentunya. Sesungguhnaya melalui tokoh-tokoh ini, umat Kristen diharapkan memiliki kualitas religiulitas seperti mereka atau dengan kata lain diharapkan juga mampu mengembangkan spiritual question (Siahaan 2013).

Universitas HKBP Nommensen (UHN) merupakan salah satu universitas swasta terbesar di kota Medan, Sumatera Utara. Universitas ini sudah cukup tua dan cukup dikenal oleh masyarakat Medan, sebagai universitas kristen terbesar di Sumatera Utara. Para mahasiswa mayoritas menganut Agama Kristen. Universitas ini milik dari Yayasan HKBP, sebuah gereja


(8)

Kristen kesukuan di daerah Sumatera Utara. Nama Nommensen diambil dari seorang misionaris yang menyebarkan agama Kristen di daerah Silindung, yang memiliki peran besar dalam berkembangnya gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP).

Dengan demikian mahasiswa di UHN, cukup homogen karakteristiknya yakni umumnya bersuku batak dan terutama memeluk agama Kristen. Disamping itu dalam kehidupan masyarakat Suku Batak, ajaran Kristen sangat kuat melekat dan mempengaruhi perilaku dan kehidupan mereka sehari-hari.

Sebagai universitas dengan kecirikhasan religiulitas Kristen, kurikulum yang dikembangkan fakultas-fakultas di UHN memiliki muatan beberapa ajaran Kristen, yang tidak diajarkan pada universitas bersifat nasional pada umumnya, seperti Etika Kristen, Agama Kristen. Disamping itu kegiatan religiulitas diadakan secara rutin, misalnya adanya kebaktian pagi setiap hari yang bisa diikuit dosen, pegawai dan mahasiswa. Ditingkat fakultas, mahasiswa terlibat kegiatan pendalamanan alkitab;, dan berkembang berbagai organisasi kemahasiswaan yang bersifat kristiani. Kegiatan religius diadakan mulai tingkat universitas maupun fakultas.

Disamping itu ornamen-ornamen yang memberikan ciri khas Kristen cukup identik dilingkungan universitas, seperti ada salib digantung di setiap dinding ruangan kantor dan beberapa hiasan dinding yang berisi kutipan-kutipan alkitab. Disamping itu ada rutinitas membawa doa secara kristiani sebelum dan sesudah mulai perkuliahan. Dengan demikian dapat dirasakan lingkungan yang sarat dengan nilai kristiani di UHN.

Dalam sebuah penelitian dari Universitas Sains Louis yang dijelaskan dalam bukunya Faktor-faktor yang terlupakan dalam Kesehatan Jiwa, bahwa orang-orang yang paling tidak seminggu sekali ke gereja akan paling sedikit mengalami gangguan kejiwaan (dalam Kuhsari, 2012). Menurut Murthadha Mutahahari (dalam Kuhsari 2012) bahwa beribadah dan berdoa

adalah penyembuh batin kita, ucapnya “Bila olah raga penting untuk kesehatan kita, dan jika air

penting untuk disediakan di rumah, maka begitupula halnya dengan ibadah dan doa”. Dengan

demikian kegiatan religius berpotensi berkembangnya kecerdasan spiritual, terutama jika proses pemahaman nilai berkembang dalam diri seseorang, bukan sekedar mengikuti rutinitas ibadah saja.

Dengan demikian selama kuliah di universitas HKBP Nommensen mahasiswa/I sarat akan penanaman nilai-nilai religiulitas kristiani. Meskipun perkembangan SQ tidak berkaitan langsung dengan status keagamaan yang dimiliki seseorang, namun menjadi menarik untuk


(9)

mengetahui sejauhmana perkembangan SQ pada sekelompok orang yang hidup dalam lingkungan yang cukup kuat penanaman nilai religiulitas. Dengan situasi demikian peneliti ingin mengetahui mengenai perkembangan SQ pada mahasiswa/I Universitas HKBP Nommensen, yang hampir kurang lebih 4 tahun belajar di universitas yang cukup kuat ajaran-ajaran dan nilai-nilai kristiani.

Dengan latar belakang demikian maka peneliti tertarik melakukan penelitian dengan judul gambaran tingkat SQ pada mahasiswa tingkat akhir Universitas HKBP Nommensen.

II. METODOLOGI PENELITIAN

2.1. Karakteristik Subjek Dan Teknik Sampling

Populasi dalam penelitian ini adalah mahasiswa universitas HKBP Nommensen, tingkat akhir. Yang termasuk mahasiswa tingkat akhir adalah minimal tingkat 4 (semester 7). Karakteristik sampel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mahasiswa/i Universitas HKBP Nommensen, minimal semester 7

2. Agama Kristen

Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan cara non random. Yang dipilih menjadi sampel penelitian adalah orang-orang yang dijumpai yang sesuai dengan karakteristik penelitian, jadi tidak semua individu dalam populasi memperoleh peluang untuk menjadi sampel. Ini disebut dengan teknik incidental (Hadi, 2004).

2.2. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian dilakukan dengan menggunakan skala psikologi yakni skala SQ yang dikembangkan peneliti berdasarkan elemen-elemen SQ yang diajukan oleh Zohar dan Marshal (2000). Perhitungan validitas dilakukan dengan menghitung daya diskriminasi item,

dimana aitem-aitem pada skala memiliki daya diskriminasi antara 0,25 – 0,60. Perhitungan

reliabilitas menggunakan Cronbach dimana relliabilitas skala yakni 0.795. Perhitungan validitas dan reliabilitas ini dilakukan dengan menggunakan program SPSS for windows.

2.3. Metode analisis data

Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah Statistik Deskriptif. Statistik deskriptif adalah statistik yang digunakan untuk menganalisa data dengan cara mendeskripsikan


(10)

atau menggambarkan data yang telah terkumpul sebagaimana adanya tanpa bermaksud membuat kesimpulan yang berlaku untuk umum atau generalisasi (Sugiyono, 2004). Statistik deskriptif mencakup distribusi frekuensi beserta bagian-bagiannya, yang merupakan hasil dari nilai rata-rata, median, modus, kuartil, persentasi dan sebagainya (Sudjana,1992).

III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Gambaran Subjek Penelitian

Sampel dalam penelitian ini adalah 173 orang mahasiswa tingkat akhir, yakni telah mengikuti perkuliahan minimal 7 semester. Keseluruhan peserta beragama Kristen. Kisaran usia

yakni 20 – 26 tahun. Berasal dari beberapa Fakultas yakni FKIP, Fakultas Ekonomi, Fakultas

Hukum, Fakultas Psikologi, Fakultas Bahasa dan Seni, Fakultas Peternakan dan Fakultas Teknik. Sebagian besar sampel penelitian adalah mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP), yakni sebesar 55%. Subjek penelitian terdiri dari 2 angkatan yakni 2010 dan 2011, dimana mayoritas angkatan 2011 yakni sebanyak 94, 74 %. Subjek penelitian mayoritas adalah perempuan yakni 74,27 %, sedangkan laki-laki hanya 25,73%. Subjek penelitian mayoritas bersuku batak yakni 94, 75 %. Dimana suku batak ini terdiri dari beberapa jenis seperti suku Batak Toba, Simalungun, Karo dan Pakpak. Sementara itu 2,92 % dari suku Nias, dan 2,33 % suku lainnya. Dengan demikian karakteristik sampel penelitian tampaknya lebih homogen.


(11)

Hasil Utama

Tabel berikut merupakan hasil penelitian:

Tabel. 1. Sebaran Skor SQ Berdasarkan Kategorisasi

Kategori Rendah (18 - 61)

Kategori Sedang (62 – 64)

Kategori Tinggi (65 – 108)

Total Jumlah

Jumlah % Jumlah % Jumlah %

2 1,16 5 2,89 166 95,95 173

Skor tingkat kecerdasan spiritual mahasiswa tingkat akhir Universitas HKBP Nommensen 95,95 % berada pada kategori tinggi, yakni 166 orang dari 173 sampel memperoleh skor SQ berkisar

65 – 108. Sementara untuk kategori sedang, hanya 5 orang atau 2, 89 %, dan untuk kategori

rendah berjumlah dua orang (1,16 %). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kecerdasan spiritual berkembang pada mahasiswa tingkat akhir Universitas HKBP Nommensen.

3.2. Hasil Tambahan

Ada dua orang mahasiswa yang skor Spiritual quation (SQ) kategori rendah; dimana satu orang adalah mahasiswa Fakultas Psikologi dan satu orang lainnya mahasiswa Fakultas Hukum. Dan untuk kategori sedang ada 5 orang, yakni 2 orang mahasiswa Fakultas Hukum, 2 orang mahasiswa Fakultas Psikologi dan satu orang mahasiswa Fakultas Bahasa dan Seni. Untuk kategori tinggi terdapat 166 orang yang tersebar di 8 fakultas (tabel 2), dimana skor tertinggi yang diperoleh adalah 103.

Tabel. 2. Sebaran Skor Kategori Tinggi Berdasarkan Fakultas

No Fakultas Kategori Tinggi Total

65 – 79 80 – 94 95 – 103

1 FKIP 21 64 9 95

2 Fakultas Ekonomi 1 12 1 14

3 Fakultas Hukum 12 14 5 31

4 Fakultas Psikologi 8 10 2 20

5 Fakultas Bahasa dan Seni 1 3 0 4

6 Fakultas Peternakan 0 2 0 2

7 Teknik 1 0 0 1


(12)

Dari tabulasi skor tabel 2, skor SQ yang tertinggi lebih banyak diperoleh mahasiswa FKIP, yakni ada 9 orang dari total 17 mahasiswa dengan skor paling tinggi. Dimana skor mahasiswa FKIP 100% berada pada kategori tinggi. Dengan demikian tampaknya pada mahasiswa FKIP kecerdasan spiritual cenderung lebih berkembang.

Sebaran skor SQ jika ditinjau dari jenis kelamin, menunjukkan bahwa untuk 2 orang termasuk kategori rendah, satu orang berjenis kelamin perempuan dan satu orang berjenis kelamin laki-laki. Sementara untuk kategori sedang, 3 orang berjenis kelamin laki-laki dan 2 orang berjenis kelamin wanita. Pada tabel berikut ini dapat dilihat sebaran skor IQ untuk kategori tinggi, berdasarkan jenis kelamin.

Tabel. 3. Sebaran Skor Kategori Tinggi Berdasarkan Jenis Kelamin

No Jenis Kelamin Kategori Tinggi Total

65 - 79 80 – 94 95 – 103

1 Wanita 29 86 12 127

2 Laki-laki 15 19 5 39

Total 44 105 17 166

Untuk kategori tinggi, baik pada jenis kelamin wanita dan pria, paling banyak skor

bekisar pada angka 80 – 94, yakni 86 orang dan 19 orang. Dimana baik jenis kelamin wanita

maupun laki-laki beberapa mahasiswa memperoleh skor sangat tinggi berkisar 95 – 103.

IV.KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN 4.1. Kesimpulan

Kesimpulan dari penelitian ini antara lain:

1. Berkembangnya Kecerdasaran spiritual pada mahasiswa tingkat akhir Universitas HKBP

Nommensen.

2. Karakteristik subjek penelitian termasuk homogen.

3. Kecenderungan perkembangan Kecerdasan Spiritual pada mahasiswa FKIP lebih tinggi


(13)

4.2. Diskusi

Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa berkembangnya kecerdasan spiritual pada mahasiswa tingkat akhir Universitas HKBP Nommensen. SQ tampaknya berkembang cukup kuat diantara mahasiswa tingkat akhir Universitas HKBP Nommensen tampak dari skor SQ mahasiswa 95,95% berada pada kategori tinggi yakni 65 - 108. Sesuai dengan latar belakang dilakukan penelitian ini yakni untuk melihat sejauhmana tingkat perkembangan kecerdasan spiritual dilingkungan yang cukup kuat penanaman nilai-nilai religiulitas, maka hasilnya menunjukkan bahwa kecerdasan spiritual berkembang dilingkungan yang penanaman nilai riligius cukup kuat.

Zohar dan Marshall (2001) menjelaskan bahwa kecerdasan spiritual lebih berkaitan dengan pencerahan jiwa. Orang yang memiliki kecerdasan spiritual tinggi mampu memaknai hidup dengan memberi makna positif pada setiap peristiwa, masalah bahkan penderitaan yang dialaminya. Sikap memberikan makna positif terhadap masalah atau rintangan yang dialami dalam kehidupan, ditampilkan subjek penelitian melalui respon-respon sebagai berikut:

- Masih mampu bersikap optimis saat berada dalam situasi yang kurang menguntungkan.

- Mampu memandang kesulitan sebagai kesempatan untuk membentuk pribadi yang lebih

kuat.

- Sikap yang tidak setuju untuk memandang rintangan sebagai hambatan.

Ronel dan Gan (2008) menjelaskan kecerdasan spiritual, memiliki dimensi yang berkaitan dengan keyakinan (faith) terhadap Tuhan. Dimana kunci untuk memahami kecerdasan spiritual ditekankan pada usaha untuk memahami bagaimana proses kecerdasan spiritual tersebut muncul, lalu bagaimana perkembangannya. Dari hasil penelitian-penelitian, menunjukkan bahwa pembentukan kecerdasan spiritual berkaitan dengan perkembangan faktor-faktor tertentu atau aspek psikologis lainnya. Dimana faktor-faktor tersebut, terbentuk melalui beberapa tahapan perkembangan. Salah satu factor atau aspeknya yakni aspek moralitas, yang merupakan attribute penting dari kecerdasan spiritual; faktor ini berkembang melalui beberapa tahapan, seperti yang dijelaskan teori Kohlberg. Begitu juga untuk kemampuan memaafkan (forgiveness) dan perilaku

menolong (altruistic behavior); dimana kecerdasan spiritual merupakan “bahan dasar” untuk

pembentukan kedua kemampuan tersebut. Agar kemampuan memaafkan dan perilaku menolong terbentuk maka dibutuhkan pemahaman spiritual yang baik dan kemampuan untuk memfungsikan pemahaman spiritual tersebut secara tepat. Aspek yang berkaitan dengan


(14)

kecerdasan spiritual lainnya yakni keyakinan (faith), dimana aspek ini merupakan aspek yang paling utama dari spiritualitas atau kecerdasan spiritual. Semua apek-aspek tersebut berkembang dan terbentuk dalam diri manusia melalui serangkaian tahapan perkembangan. Begitu juga perkembangan spiritual tersebut melalui serangkaian tahapan perkembangan. Dengan demikian kecerdasan spiritual dibangun melalui akumulasi dari berbagai bentuk pengalaman-pengalaman spiritual yang dialami oleh manusia. Jika semakin sering seseorang mengalami pengalaman spiritual maka kecerdasan spiritual semakin terbentuk.

Zohar dan Marshall (2005) juga menjelaskan bahwa kecerdasan spiritual juga merupakan kecerdasan moral kita, yang memberi sebuah kemampuan bawaan untuk membedakan yang benar dan salah. Jika dikaitkan dengan perkembangan moral, hal ini berkaitan dengan tahapan pascakonvensional, yang diajukan Kohlberg. Pada tahap pascakonvensional individu mengenali konflik antara standar moral dan membuat penilaian mereka sendiri berdasarkan prinsip kebenaran, kejujuran dan keadilan (dalam Papalia, 2014). Banyak individu yang tidak mencapai tingkat tahap pascakonvensional, jika pernah mencapainya; umumnya pada dewasa awal. Kohlberg (dalam Papalia, 2014) menjelaskan bahwa perkembangan penalaran moral adalah sebuah proses berkelanjutan, dimana jika dikaitkan dengan usia, tampaknya hubungannya tidak selalu linier dengan tingkat usia seseorang. Kohlberg menjelaskan ada banyak factor yang mempengaruhi proses pembentukan moral, misalnya pergaulan (proses sosialisasi), orang tua dan terutama berkaitan dengan aspek kepribadian seseorang. Berkaitan dengan hal tersebut dalam penelitin ini juga ditemukan skor spiritual quotient dimana usia yang lebih tua tidak menunjukkan kecenderungan skor yang lebih tinggi. Skor spiritual quation untuk usia 24 tahun tidak lebih tinggi dari usia rentang 21-23 tahun. Bahkan beberapa orang di usia rentang 21-23 tahun memiliki skor spiritual quotient yang lebih tinggi dari usia 24 tahun. Ronel dan Gan (2008) menjelaskan bahwa perkembangan spiritual terutama didasarkan berapa sering seseorang mengalami pengalaman-pengalaman spiritual, sehingga pengalaman tersebut nantinya mempengaruhi beberapa aspek dalam kepribadian, lalu pemahaman-pemahaman terhadap pengalaman spiritual tersebut kemudian membentuk kecerdasan spiritual. Tampaknya tingginya kecerdasan spiritual pada mahasiswa tingkat akhir Universitas HKBP Nommensen, berkaitan dengan lingkungan kampus yang cukup religius, dimana kegiatan dan lingkungan yang demikian memicu tumbuhnya pemahamanan dan pemaknaan nilai-nilai spiritual. Namun hal ini masih perlu dikaji lebih mendalam pada penelitian selanjutnya.


(15)

Zohar dan Marshall (2001) juga menjelaskan bahwa spiritual tidak harus dikaitkan dengan kedekatan seseorang dengan aspek ketuhanan, sebab seorang humanis atau atheis pun dapat memliki spiritual tinggi. Dengan demikian akan lebih menarik untuk meneliti kecerdasan spiritual di lingkungan yang jenis religiulitas lebih bervariatif atau dilingkungan yang lebih beragam agama/aliran kepercayaan, tidak didominasi satu bentuk aliran/agama tertentu. Dengan demikian akan diperolehnya data yang lebih mendalam dalam mengkaji perkembangan kecerdasaran spiritual.

Disamping itu, karakteristik subjek penelitian termasuk cukup homogen, yakni 74 % berjenis kelamin wanita, 94,29 % suku batak, 94,79% angkatan 2011. Dengan demikian adalah wajar hasil yang diperoleh tidak menunjukkan suatu variasi yang cukup berarti. Harapannya dengan melibatkan subjek penelitian yang karakteristiknya lebih variatif maka kecerdasan spiritual bisa dikaji dengan lebih kaya.

4.3. Saran

1. Penelitian selanjutnya

Dibutuhkan penelitian-penelitian lebih lanjut tentang kecerdasan spiritual, antara lain berkaitan dengan sebagai berikut:

- Meneliti kecerdasan spiritual dengan sampel yang lebih banyak dan variatif

- Meneliti tingkat pertumbuhan kecerdasan spiritual pada komunitas/kelompok tertentu

- Meneliti kecerdasan spiritual dengan mengkaji lebih mendalam proses

perkembangannya.

2. Saran Praktis (Mahasiswa Tingkat Akhir)

Berdasarkan hasil penelitian, memelihara lingkungan yang menanamkan nilai-nilai religius dapat meningkatkan potensi berkembangnya kecerdasan spiritual. Mahasiswa tingkat akhir, sebagai manusia dewasa tahap awal, dimana bagian dari tugas perkembangan berkaitan dengan pembentukan tingkat moralitas yang matang maka ada baiknya agar menciptakan dan memelihara lingkungan religius dalam kehidupannya sehari agar menunjang terbentuknya spiritual.


(16)

Azwar, (1999). Penyusunan Skala Psikologi, Jogjakarta : Pustaka Pelajar.

Agustin, A.G. (2002). Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosional dan Spiritual; ESQ,

Jakarta: Arga.

Blais. (2007). Praktik keperawatan profesional konsep perspektif, Edisi 4, Jakarta: EGC

Goleman, D, (1995). Emotional Intelligen, USA; Bantam Books

Sutrisno, Hadi. (2004). Metodologi Penelitian, Jogjakarta: Andi

Kerlinger F.N. (1999), Asas-asas penelitian behavioral, Jogjakarta; Gajah Mada University

Press

Kuhsari, I.H., (2012) Al-Qur’an dan Tekanan Jiwa, Jakarta: Sadra Press

Lisda R (2012), Pengaruh Kecerdasan Intelektual, Kecerdasan Emosi dan Kecerdasan

Spiritual Terhadap Kinerja Karyawan, Majalah Ilmiah INFORMATiKA Vol. 3 No. 1,

Januari 2012

Notoadmodjo, Soekidjo. (2003). Pendidikan dan perilaku kesehatan, Jakarta: Rineka Cipta

Papalia, D.E, dan Feldman, R. D., (2014). Menyelami Perkembangan Manusia, jilid 2, edisi ke

12; Jakarta; Salemba Humanika

Ronel, N. & Gan, R. (2008) The Experience Spirtiual Intelligence, The Journal of

Transpersonal Psychology, 2008, Vol. 40, No. 1

Siahaan, R R. (2013). Spiritual. Tabloid Reformata Edisi 168 Oktober, By Yayasan Pelayanan

Media Antiokhia (YAPAMA)

Simon & Christopher, D. (2000) Masalah Moral Sosial Aktual Dalam Perspektif Iman Kristen,

Kanisius Jogjakarta

Sudjana. (1992). Metoda Statistika, edisi kelima Bandung,Tarsito

Sugiyono. (2009). Metode Penelitian Bisnis (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan

R&D).Bandung: Alfabeta.

Suyanto, M. (2006). 15 rahasia mengubah kegagalan menjadi kesuksesan dengan kecerdasan

spiritual, Yogjakarta: Penerbit Andi

Taylor. (1997). Fundamentals of nursing : The Art and Science of Nursing Care, Philadelphia:

Lippincot


(17)

Zohar dan Marshall (2000). SQ, memanfaatkan kecerdasan spiritual dalam berpikir

integralistik dan holistik untuk memaknai kehidupan, Bandung: Mizan

Zohar dan Marshall (2004), Spiritual Capital; Memberdayakan SQ didunia bisnis, Bandung:

Mizan


(18)

(1)

4.2. Diskusi

Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa berkembangnya kecerdasan spiritual pada mahasiswa tingkat akhir Universitas HKBP Nommensen. SQ tampaknya berkembang cukup kuat diantara mahasiswa tingkat akhir Universitas HKBP Nommensen tampak dari skor SQ mahasiswa 95,95% berada pada kategori tinggi yakni 65 - 108. Sesuai dengan latar belakang dilakukan penelitian ini yakni untuk melihat sejauhmana tingkat perkembangan kecerdasan spiritual dilingkungan yang cukup kuat penanaman nilai-nilai religiulitas, maka hasilnya menunjukkan bahwa kecerdasan spiritual berkembang dilingkungan yang penanaman nilai riligius cukup kuat.

Zohar dan Marshall (2001) menjelaskan bahwa kecerdasan spiritual lebih berkaitan dengan pencerahan jiwa. Orang yang memiliki kecerdasan spiritual tinggi mampu memaknai hidup dengan memberi makna positif pada setiap peristiwa, masalah bahkan penderitaan yang dialaminya. Sikap memberikan makna positif terhadap masalah atau rintangan yang dialami dalam kehidupan, ditampilkan subjek penelitian melalui respon-respon sebagai berikut:

- Masih mampu bersikap optimis saat berada dalam situasi yang kurang menguntungkan. - Mampu memandang kesulitan sebagai kesempatan untuk membentuk pribadi yang lebih

kuat.

- Sikap yang tidak setuju untuk memandang rintangan sebagai hambatan.

Ronel dan Gan (2008) menjelaskan kecerdasan spiritual, memiliki dimensi yang berkaitan dengan keyakinan (faith) terhadap Tuhan. Dimana kunci untuk memahami kecerdasan spiritual ditekankan pada usaha untuk memahami bagaimana proses kecerdasan spiritual tersebut muncul, lalu bagaimana perkembangannya. Dari hasil penelitian-penelitian, menunjukkan bahwa pembentukan kecerdasan spiritual berkaitan dengan perkembangan faktor-faktor tertentu atau aspek psikologis lainnya. Dimana faktor-faktor tersebut, terbentuk melalui beberapa tahapan perkembangan. Salah satu factor atau aspeknya yakni aspek moralitas, yang merupakan attribute penting dari kecerdasan spiritual; faktor ini berkembang melalui beberapa tahapan, seperti yang dijelaskan teori Kohlberg. Begitu juga untuk kemampuan memaafkan (forgiveness) dan perilaku menolong (altruistic behavior); dimana kecerdasan spiritual merupakan “bahan dasar” untuk pembentukan kedua kemampuan tersebut. Agar kemampuan memaafkan dan perilaku menolong terbentuk maka dibutuhkan pemahaman spiritual yang baik dan kemampuan untuk memfungsikan pemahaman spiritual tersebut secara tepat. Aspek yang berkaitan dengan


(2)

kecerdasan spiritual lainnya yakni keyakinan (faith), dimana aspek ini merupakan aspek yang paling utama dari spiritualitas atau kecerdasan spiritual. Semua apek-aspek tersebut berkembang dan terbentuk dalam diri manusia melalui serangkaian tahapan perkembangan. Begitu juga perkembangan spiritual tersebut melalui serangkaian tahapan perkembangan. Dengan demikian kecerdasan spiritual dibangun melalui akumulasi dari berbagai bentuk pengalaman-pengalaman spiritual yang dialami oleh manusia. Jika semakin sering seseorang mengalami pengalaman spiritual maka kecerdasan spiritual semakin terbentuk.

Zohar dan Marshall (2005) juga menjelaskan bahwa kecerdasan spiritual juga merupakan kecerdasan moral kita, yang memberi sebuah kemampuan bawaan untuk membedakan yang benar dan salah. Jika dikaitkan dengan perkembangan moral, hal ini berkaitan dengan tahapan pascakonvensional, yang diajukan Kohlberg. Pada tahap pascakonvensional individu mengenali konflik antara standar moral dan membuat penilaian mereka sendiri berdasarkan prinsip kebenaran, kejujuran dan keadilan (dalam Papalia, 2014). Banyak individu yang tidak mencapai tingkat tahap pascakonvensional, jika pernah mencapainya; umumnya pada dewasa awal. Kohlberg (dalam Papalia, 2014) menjelaskan bahwa perkembangan penalaran moral adalah sebuah proses berkelanjutan, dimana jika dikaitkan dengan usia, tampaknya hubungannya tidak selalu linier dengan tingkat usia seseorang. Kohlberg menjelaskan ada banyak factor yang mempengaruhi proses pembentukan moral, misalnya pergaulan (proses sosialisasi), orang tua dan terutama berkaitan dengan aspek kepribadian seseorang. Berkaitan dengan hal tersebut dalam penelitin ini juga ditemukan skor spiritual quotient dimana usia yang lebih tua tidak menunjukkan kecenderungan skor yang lebih tinggi. Skor spiritual quation untuk usia 24 tahun tidak lebih tinggi dari usia rentang 21-23 tahun. Bahkan beberapa orang di usia rentang 21-23 tahun memiliki skor spiritual quotient yang lebih tinggi dari usia 24 tahun. Ronel dan Gan (2008) menjelaskan bahwa perkembangan spiritual terutama didasarkan berapa sering seseorang mengalami pengalaman-pengalaman spiritual, sehingga pengalaman tersebut nantinya mempengaruhi beberapa aspek dalam kepribadian, lalu pemahaman-pemahaman terhadap pengalaman spiritual tersebut kemudian membentuk kecerdasan spiritual. Tampaknya tingginya kecerdasan spiritual pada mahasiswa tingkat akhir Universitas HKBP Nommensen, berkaitan dengan lingkungan kampus yang cukup religius, dimana kegiatan dan lingkungan yang demikian memicu tumbuhnya pemahamanan dan pemaknaan nilai-nilai spiritual. Namun hal ini masih perlu dikaji lebih mendalam pada penelitian selanjutnya.


(3)

Zohar dan Marshall (2001) juga menjelaskan bahwa spiritual tidak harus dikaitkan dengan kedekatan seseorang dengan aspek ketuhanan, sebab seorang humanis atau atheis pun dapat memliki spiritual tinggi. Dengan demikian akan lebih menarik untuk meneliti kecerdasan spiritual di lingkungan yang jenis religiulitas lebih bervariatif atau dilingkungan yang lebih beragam agama/aliran kepercayaan, tidak didominasi satu bentuk aliran/agama tertentu. Dengan demikian akan diperolehnya data yang lebih mendalam dalam mengkaji perkembangan kecerdasaran spiritual.

Disamping itu, karakteristik subjek penelitian termasuk cukup homogen, yakni 74 % berjenis kelamin wanita, 94,29 % suku batak, 94,79% angkatan 2011. Dengan demikian adalah wajar hasil yang diperoleh tidak menunjukkan suatu variasi yang cukup berarti. Harapannya dengan melibatkan subjek penelitian yang karakteristiknya lebih variatif maka kecerdasan spiritual bisa dikaji dengan lebih kaya.

4.3. Saran

1. Penelitian selanjutnya

Dibutuhkan penelitian-penelitian lebih lanjut tentang kecerdasan spiritual, antara lain berkaitan dengan sebagai berikut:

- Meneliti kecerdasan spiritual dengan sampel yang lebih banyak dan variatif

- Meneliti tingkat pertumbuhan kecerdasan spiritual pada komunitas/kelompok tertentu - Meneliti kecerdasan spiritual dengan mengkaji lebih mendalam proses

perkembangannya.

2. Saran Praktis (Mahasiswa Tingkat Akhir)

Berdasarkan hasil penelitian, memelihara lingkungan yang menanamkan nilai-nilai religius dapat meningkatkan potensi berkembangnya kecerdasan spiritual. Mahasiswa tingkat akhir, sebagai manusia dewasa tahap awal, dimana bagian dari tugas perkembangan berkaitan dengan pembentukan tingkat moralitas yang matang maka ada baiknya agar menciptakan dan memelihara lingkungan religius dalam kehidupannya sehari agar menunjang terbentuknya spiritual.


(4)

Azwar, (1999). Penyusunan Skala Psikologi, Jogjakarta : Pustaka Pelajar.

Agustin, A.G. (2002). Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosional dan Spiritual; ESQ, Jakarta: Arga.

Blais. (2007). Praktik keperawatan profesional konsep perspektif, Edisi 4, Jakarta: EGC Goleman, D, (1995). Emotional Intelligen, USA; Bantam Books

Sutrisno, Hadi. (2004). Metodologi Penelitian, Jogjakarta: Andi

Kerlinger F.N. (1999), Asas-asas penelitian behavioral, Jogjakarta; Gajah Mada University Press

Kuhsari, I.H., (2012) Al-Qur’an dan Tekanan Jiwa, Jakarta: Sadra Press

Lisda R (2012), Pengaruh Kecerdasan Intelektual, Kecerdasan Emosi dan Kecerdasan Spiritual Terhadap Kinerja Karyawan, Majalah Ilmiah INFORMATiKA Vol. 3 No. 1, Januari 2012

Notoadmodjo, Soekidjo. (2003). Pendidikan dan perilaku kesehatan, Jakarta: Rineka Cipta Papalia, D.E, dan Feldman, R. D., (2014). Menyelami Perkembangan Manusia, jilid 2, edisi ke

12; Jakarta; Salemba Humanika

Ronel, N. & Gan, R. (2008) The Experience Spirtiual Intelligence, The Journal of Transpersonal Psychology, 2008, Vol. 40, No. 1

Siahaan, R R. (2013). Spiritual. Tabloid Reformata Edisi 168 Oktober, By Yayasan Pelayanan Media Antiokhia (YAPAMA)

Simon & Christopher, D. (2000) Masalah Moral Sosial Aktual Dalam Perspektif Iman Kristen, Kanisius Jogjakarta

Sudjana. (1992). Metoda Statistika, edisi kelima Bandung,Tarsito

Sugiyono. (2009). Metode Penelitian Bisnis (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D).Bandung: Alfabeta.

Suyanto, M. (2006). 15 rahasia mengubah kegagalan menjadi kesuksesan dengan kecerdasan spiritual, Yogjakarta: Penerbit Andi

Taylor. (1997). Fundamentals of nursing : The Art and Science of Nursing Care, Philadelphia: Lippincot


(5)

Zohar dan Marshall (2000). SQ, memanfaatkan kecerdasan spiritual dalam berpikir integralistik dan holistik untuk memaknai kehidupan, Bandung: Mizan

Zohar dan Marshall (2004), Spiritual Capital; Memberdayakan SQ didunia bisnis, Bandung: Mizan


(6)