RKPD 2013

(1)

BAB III

KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN PENDANAAN

3.1. Kondisi Ekonomi Daerah Kondisi ekonomi makro daerah mempunyai peranan penting dalam mendukung laju pembangunan ekonomi. Keberhasilan pembangunan ekonomi banyak ditentukan oleh berbagai faktor seperti laju inflasi, pertumbuhan ekonomi dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Kondisi ekonomi daerah Kabupaten Ponorogo dalam kurun waktu lima tahun terakhir mengalami fluktuasi seiring dengan terjadinya perubahan kondisi sosial politik baik secara nasional maupun regional. Adanya pemilihan anggota DPR, DPRD, pemilihan Presiden, pemilihan kepala daerah, timbulnya berbagai bencana di tanah air mulai gempa bumi, tsunami, tanah longsor, banjir, gunung meletus dan masih adanya terorisme serta gangguan keamanan dan ketertiban berdampak terhadap perekonomian nasional maupun perekonomian daerah.

3.1.1. Kondisi Perekonomian Nasional

Kondisi perekonomian nasional selama kurun waktu tahun 2011, cukup kondusif, hal ini ditandai dengan pertumbuhan ekonomi nasional yang mampu tumbuh sebesar 6,60% yang naik 0,50% dari tahun sebelumnya yang hanya mampu tumbuh sebesar 6,10%. Hal demikian tidak bisa lebih dari kondisi secara Nasional Tahun 2010 akan menjadi tahun "spesial" bagi Indonesia menyambut berlakunya ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA) yang diberlakukan mulai Januari tahun 2010. Perekonomian Indonesia pada tahun 2010 mengalami pertumbuhan sebesar 6,1 persen dibanding tahun 2009. Nilai Produk Domestik Bruto (PDB) atas dasar harga konstan pada tahun 2010 mencapai Rp2.310,7 triliun, sedangkan pada tahun 2009 dan 2008 masing-masing sebesar Rp2.177,7 triliun dan Rp2.082,5 triliun. Bila dilihat berdasarkan harga berlaku, PDB tahun 2010 naik sebesar Rp819,0 triliun, yaitu dari Rp5.603,9 triliun pada tahun 2009 menjadi sebesar Rp6.422,9 triliun pada tahun 2010.

Selama tahun 2010, semua sektor ekonomi mengalami pertumbuhan. Pertumbuhan tertinggi terjadi pada Sektor Pengangkutan dan Komunikasi yang mencapai 13,5 persen, diikuti oleh Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran 8,7 persen, Sektor Konstruksi 7,0 persen, Sektor Jasa-jasa 6,0 persen, Sektor


(2)

Keuangan, Real Estat dan Jasa Perusahaan 5,7 persen, Sektor Listrik, Gas dan Air Bersih 5,3 persen, Sektor Industri Pengolahan 4,5 persen, Sektor Pertambangan dan Penggalian 3,5 persen, dan Sektor Pertanian 2,9 persen. Pertumbuhan PDB tanpa migas pada tahun 2010 mencapai 6,6 persen yang berarti lebih tinggi dari pertumbuhan PDB secara keseluruhan yang besarnya 6,1 persen.

Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran yang mengalami pertumbuhan sebesar 8,7 persen memberikan sumbangan terhadap sumber pertumbuhan terbesar terhadap total pertumbuhan PDB yaitu sebesar 1,5 persen. Selanjutnya diikuti oleh Sektor Pengangkutan dan Komunikasi dan Sektor Industri Pengolahan yang memberikan peranan masing-masing sebesar 1,2 persen.

Perekonomian Indonesia pada Triwulan I-2011 bila dibandingkan dengan triwulan sebelumnya (q-to-q), yang digambarkan oleh PDB atas dasar harga konstan 2000, mengalami peningkatan sebesar 1,5 persen. Peningkatan tersebut terjadi pada Sektor Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan (18,1 persen) dan Sektor Keuangan, Real Estat dan Jasa Perusahaan (2,7 persen). Sektor-sektor yang mengalami penurunan adalah Sektor Konstruksi (minus 3,6 persen), Sektor Pertambangan dan Penggalian (minus 2,0 persen), Sektor Listrik, Gas dan Air Bersih (minus 1,9 persen), Sektor Industri Pengolahan (minus 1,2 persen), Sektor Jasa-jasa (minus 0,4 persen), Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran (minus 0,2 persen), dan Sektor Pengangkutan dan Komunikasi (minus 0,1 persen). Sektor Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan pada Triwulan I-2011 meningkat tajam 18,1 persen terhadap Triwulan IV-2010, sebagai refleksi dari mulai adanya musim panen tanaman padi, dengan kenaikan Subsektor Tanaman Bahan Makanan sebesar 53,6 persen. Subsektor Pertanian lainnya mengalami penurunan masing-masing sebesar minus 19,9 persen untuk Subsektor Tanaman Perkebunan, minus 17,7 persen untuk Subsektor Kehutanan, minus 3,0 persen Subsektor Peternakan dan Hasilhasilnya, dan minus 1,3 persen untuk Subsektor Perikanan.

Sektor Keuangan, Real Estat dan Jasa Perusahaan (q-to-q) tumbuh sebesar 2,7 persen. Peningkatan di Sektor Keuangan, Real Estat dan Jasa Perusahaan tersebut terutama ditunjang oleh Subsektor Bank yang tumbuh sebesar 4,6 persen. PDB Triwulan I bila dibandingkan dengan triwulan yang sama tahun sebelumnya mencerminkan pertumbuhan PDB selama satu tahun pada Triwulan I (y-on-y). PDB triwulan I-2011 dibandingkan dengan Triwulan I-2010


(3)

meningkat sebesar 6,5 persen, terjadi pada semua sektor. Peringkat terbesar adalah Sektor Pengangkutan dan Komunikasi meningkat sebesar 13,8 persen, diikuti Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran 7,9 persen, Sektor Keuangan, Real Estat dan Jasa Perusahaan 7,3 persen, Sektor Jasajasa 7,0 persen, Sektor Industri Pengolahan 5,0 persen, Sektor Pertambangan dan Penggalian 4,6 persen, Sektor Konstruksi 5,3 persen, Sektor Listrik, Gas dan Air Bersih 4,2 persen, dan Sektor PertanianPeternakan, Kehutanan dan Perikanan 3,4 persen. Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran tumbuh sebesar 7,9 persen merupakan sektor yang memberikan sumber pertumbuhan terbesar (y-on-y) pada perekonomian Indonesia Triwulan I-2011 yaitu sebesar 1,3 persen. PDB Tanpa Migas secara berantai (q-to-q) Triwulan I-2011 dibandingkan Triwulan IV-2010 tumbuh sebesar 1,7 persen. Sementara bila Triwulan I-2011 dibanding triwulan yang sama tahun sebelumnya (y-on-y) tumbuh sebesar 6,9 persen.

3.1.2.

Perkembangan Ekonomi Makro Jawa Timur

Secara komulatif pertumbuhan ekonomi Jawa timur mulai Januari-desember 2011 mengalami perkembangan yang cukup menggembirakan dan mampu melampaui target dan pertumbuhan ekonomi nasional. Perekonomian Jawa Timur mampu tumbuh sebesar 7,22% naik sebesar 0,55% dari tahun 2010 yang mampu tumbuh sebesar 6,67%. Pertumbuhan perekonomian di Jawa timur yang cukup besar ini tidak bisa lepas dari pertumbuhan sebelumnya yang secara kumulatif Januari – Desember tahun 2010, pertumbuhan ekonomi Jawa Timur c-to-c dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2009 mencapai 6,67 persen. Pertumbuhan tertinggi terjadi pada sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar 10,67 persen, selain tumbuh tinggi, ternyata sektor perdagangan, hotel dan restoran menjadi penyumbang sumber pertumbuhan tertinggi, mencapai 3,19 persen (hampir separuh total pertumbuhan ekonomi cto-c). Sektor berikutnya yang juga mengalami pertumbuhan tinggi adalah sektor angkutan dan komunikasi, sektor pertambangan dan penggalian, sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan serta sektor konstruksi dan sektor listrik, gas dan air bersih, yang masing-masing tumbuh sebesar 10,07 persen, 9,18 persen, 7,27 persen, 6,64 persen dan 6,43 persen, dengan kontribusinya terhadap pertumbuhan selama


(4)

Januari – Desember tahun 2010 masing-masing sebesar 0,72 persen, 0,20 persen, 0,39 persen, 0,21 persen dan 0,09 persen.

Sementara sektor industri pengolahan dan sektor pertanian walau hanya mampu tumbuh sebesar 4,35 persen dan 2,13 persen, tetapi keduanya memberikan sumbangan yang besar yakni 1,13 persen dan 0,33 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa tiga sektor ekonomi utama Jawa Timur masih dimotori oleh sektor perdagangan, hotel dan restoran, industri pengolahan dan sektor pertanian, meskipun pada tahun 2010 ini sektor pengangkutan dan komunikasi sumber pertumbuhannya cukup tinggi mencapai 0,72 persen

.

Perkembangan ekonomi Jawa Timur triwulan IV tahun 2010 dibanding triwulan sebelumnya memperlihatkan pertumbuhan yang baik di hampir semua sektor, walaupun pertumbuhan di sektor pertanian mengalami kontraksi akibat pola musiman dan kondisi iklim yang kurang bersahabat. Beberapa fenomena ekonomi yang menggerakkan pertumbuhan ekonomi Jawa Timur antara lain kondisi ekonomi global yang terus membaik, ekonomi domestik nasional cukup stabil, serta keberangkatan Jemaah Haji, Perayaan Lebaran Idul Adha, Natal dan Tahun Baru 2011, disamping penyerapan anggaran akhir tahun oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur dan seluruh Pemerintah Kabupaten/Kota se-Jawa Timur serta pembangunan beberapa infrastruktur jalan tol dan bangunan rumah layak huni untuk fakir miskin. Dengan kondisi perkembangan global dan domestik yang mendukung tersebut membuat kinerja perekonomian Jawa Timur pada triwulan IV tahun 2010 baik secara y-on-y maupun c-to-c tumbuh tinggi, masing-masing sebesar 7,16 persen dan 6,67 persen.

Motor penggerak pertumbuhan ekonomi y-on-y umumnya didominasi oleh sektor non tradable goods, seperti sektor pengangkutan dan komunikasi; sector perdagangan, hotel dan restoran; sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan, yang masing-masing tumbuh sebesar 11,16 persen, 9,74 persen dan 9,00 persen. Disamping tumbuh tinggi, ketiga sektor ini juga memberikan kontribusi yang tinggi terhadap PDRB Jawa Timur, dengan sektor perdagangan, hotel dan restoran berkontribusi sebesar 3,04 persen, sektor pengangkutan dan komunikasi sebesar 0,84 persen, dan sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan sebesar 0,50 persen. Pertumbuhan sektor perdagangan, hotel, dan restoran, sebagian besar didorong oleh perdagangan barang-barang konsumsi baik


(5)

makanan maupun non makanan, dan restoran, sementara pertumbuhan sektor pengangkutan dan komunikasi sebagian besar didorong oleh subsektor komunikasi dan subsektor angkutan rel, dan pertumbuhan sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan terutama karena subsektor perbankan cukup berhasil dalam menjalankan fungsi intermediarisnya. Meskipun sektor non tradable goods tumbuh cukup baik, tetapi sektor lain khususnya sektor tradable goods juga mengalami pertumbuhan dengan cukup tinggi seperti sektor industri pengolahan sebesar 5,93 persen dengan kontribusi pertumbuhan sebesar 1,58 persen; sektor pertambangan dan penggalian 9,25 persen dengan sumber pertumbuhan 0,22 persen. Sektor pertanian tumbuh sebesar 1,50 persen dengan sumber pertumbuhan sebesar 0,19 persen. Sektor lain juga tumbuh pada tingkat yang relatif tinggi seperti sektor listrik, gas dan air bersih 8,31 persen dengan sumber pertumbuhan 0,11 persen. Sektor konstruksi tumbuh 8,80 persen dengan sumber pertumbuhan 0,29 persen, dan sektor jasa-jasa sebesar 4,08 persen dengan sumber pertumbuhan 0,39 persen. Perkembangan ekonomi Jawa Timur secara q-to-q juga dimotori oleh sektor sektor non tradable goods, sementara sektor pertanian karena pola musiman dan perubahan iklim yang kurang bersahabat membuat pertumbuhannya negatif sebesar 19,37 persen terutama subsektor tanaman bahan makanan, perkebunan, kehutanan dan perikanan, sementara subsektor peternakan tumbuh positif karena penggemukan berat ternak cukup berhasil dalam menyambut perayaan Lebaran Idul Adha. Sektor-sektor non tradable goods sangat dominan pada pertumbuhan ekonomi Jawa Timur q-to-q. Hal ini diduga karena fenomena ekonomi yang telah disebutkan di atas sehingga membuat perkembangan yang cukup nyata di dalam roda ekonomi Jawa Timur, seperti sektor konstruksi tumbuh 3,47 persen dengan sumber pertumbuhan 0,11 persen; sektor perdagangan, hotel dan restoran tumbuh 2,12 persen dengan sumber pertumbuhan 0,66 persen; sektor pengangkutan dan komunikasi tumbuh 3,42 persen dengan sumber pertumbuhan 0,26 persen; sektor keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan tumbuh 3,35 persen dengan sumber pertumbuhan 0,18 persen; dan sektor jasa-jasa tumbuh 3,32 persen dengan sumber pertumbuhan 0,30 persen.


(6)

3.1.3. Perkembangan Perekonomian Eks Karisedenan Madiun

Perekonomian di Wilayah Eks Karesidenan Madiun pada semester I-2010 diproyeksikan mengalami pertumbuhan pada kisaran angka 5,30% - 5,50% (yoy). Pertumbuhan ini lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi Nasional dan Jawa Timur pada periode yang sama yang masing-masing tumbuh sebesar 5,99% (yoy) dan 6,20% (yoy).

Proyeksi pertumbuhan ekonomi Wilayah Eks Karesidenan Madiun dari sisi permintaan yang ditunjukkan berbagai indikator konsumsi dan investasi menunjukkan terjadinya peningkatan. Sementara itu dari sisi penawaran, pertumbuhan ekonomi Wilayah Eks Karesidenan Madiun diperkirakan akan tetap ditopang oleh kinerja sektor-sektor dominan. Kinerja sektor industri pengolahan sebagai salah satu sektor dominan di wilayah Eks Karesidenan Madiun pada semester I-2010 menunjukkan peningkatan. Berdasarkan hasil penelitian oleh Kantor Bank Indonesia Kediri terhadap beberapa pelaku usaha sektor industri pengolahan diperolah informasi bahwa telah terjadi peningkatan permintaan serta peningkatan kapasitas utilisasi perusahaan seiring dengan adanya kegiatan investasi pada periode sebelumnya.

Kinerja sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran (PHR) pada semester I-2010 diperkirakan tumbuh stabil seiring dengan tingginya aktivitas konsumsi masyarakat. Beberapa indikator peningkatan kinerja sektor PHR yaitu kredit perbankan sektor PHR, perkembangan penjualan kendaraan bermotor memberikan konfirmasi adanya peningkatan pada periode ini. Kinerja sektor pertanian pada semester I-2010 diperkirakan akan mengalami perlambatan. Perlambatan kinerja sektor pertanian di Wilayah Eks Karesidenan Madiun tersebut tercermin dari penurunan luas lahan panen sebesar 3,27% (yoy). Tidak optimalnya musim panen pada semester I-2010 dipengaruhi oleh faktor gangguan cuaca yang disebabkan adanya pergeseran musim penghujan. Di sisi lain, adanya kenaikan harga pupuk pada bulan April menyebabkan kenaikan biaya produksi serta terhambatnya distribusi pupuk juga menjadi salah satu penyebab tidak optimalnya musim panen pada periode ini.

Perkembangan harga yang diukur dengan perubahan IHK baik di Kota Madiun, maupun Nasional, pada semester I-2010 mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan semester I-2009. Laju inflasi di Kota Madiun pada semester


(7)

I-2010 masing-masing tercatat sebesar 2,59% (sts) dan 1,99% (sts), sedangkan nasional tercatat 2,42% (sts). Secara tahunan, laju inflasi di Kota Madiun pada semester I-2010 masing-masing tercatat sebesar 5,32% (yoy) dan 4,40% (yoy). Secara komulatif, kenaikan harga tertinggi di Kota Madiun pada semester I-2010 terjadi pada kelompok bahan makanan, kelompok makanan jadi, minuman, rokok dan tembakau, serta kelompok perumahan, air, listrik, gas dan bahan bakar. Tingginya inflasi pada kelompok komoditas tersebut diperkirakan dipicu oleh faktor volatile food.

Dari sisi volatile food, tingginya inflasi pada kelompok bahan makanan dipicu oleh kenaikan harga pada komoditas beras, telur ayam ras, daging ayam ras, daging sapi, cabe, bawang merah, bawang putih, serta komoditi sayur-sayuran. Dan kelompok makanan jadi, minuman, rokok dan tembakau dipicu oleh kenaikan komoditas gula pasir dan rokok. Pada kelompok perumahan, air, listrik, gas dan bahan bakar komoditas yang diperkirakan menjadi pemicu inflasi Kota Madiun adalah komoditas sub kelompok bahan bakar rumah tangga (minyak tanah dan tarif PDAM).

Memasuki semester pertama tahun 2010, kegiatan perekonomian di Wilayah Eks Karesidenan Madiun mulai menggeliat dan terus menunjukkan perkembangan positif, sebagaimana tercermin dari hasil Survey Kegiatan Dunia Usaha (SKDU). Kondisi ini turut mendorong peningkatan kinerja perbankan (Bank Umum dan BPR), diantaranya tercermin pada meningkatnya jaringan kantor bank, aset, Dana Pihak Ketiga (DPK) yang berhasil dihimpun, serta kredit yang disalurkan.

Berdasarkan hasil laboran BI kediri bahwa total aset perbankan di Wilayah Eks Karesidenan Madiun posisi semester I-2010 tercatat sebesar Rp. 25,644 triliun. DPK yang berhasil dihimpun perbankan di Wilayah Eks Karesidenan Kediri dan Madiun pada akhir semester I-2010 tercatat sebesar Rp. 22,976 triliun atau meningkat 1,46% dibandingkan dengan semester II-2009 yang tercatat sebesar Rp. 22,647 triliun. Pergerakan DPK yang relatif stabil tersebut dipicu oleh penurunan suku bunga simpanan yang mengikuti tren penurunan BI rate, sehingga terjadi perpindahan dana simpanan (outflow), khususnya untuk simpanan deposito dan giro. Adapun untuk simpanan jenis tabungan justru mengalami peningkatan disebabkan karakteristik nasabah tabungan yang tidak terlalu sensitif terhadap perubahan suku bunga.


(8)

Dibandingkan dengan semester II-2009, kredit yang disalurkan di Wilayah Eks Karesidenan Madiun pada semester I-2010 tercatat tumbuh sebesar 10,46%, yaitu dari sebesar Rp. 15,912 triliun menjadi sebesar Rp. 17,576 triliun. Dari sisi penawaran, relatif tingginya pertumbuhan kredit perbankan pada semester I-2010 tersebut terutama didorong oleh sikap perbankan yang terus memacu ekspansi kreditnya seiring dengan pemulihan ekonomi global yang ditandai mulai menggeliatnya situasi ekonomi baik lokal maupun nasional. Sementara dari sisi permintaan, meningkatnya pertumbuhan kredit antara lain dipicu oleh turunnya suku bunga kredit sebagai respon terhadap penurunan BI rate sebagai suku bunga acuan. Kondisi ini cukup kondusif bagi pelaku usaha untuk lebih menggerakkan sektor riil dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi.

Dari sisi kelembagaan, jumlah bank yang beroperasi di Wilayah Eks Karesidenan Madiun pada semester I-2010 tercatat sebanyak 125 bank, dengan jumlah jaringan kantor sebanyak 1.216 kantor meliputi 904 kantor bank umum (868 kantor bank umum konvensional dan 36 kantor bank umum syariah) dan 312 kantor BPR. Jumlah jaringan kantor bank tersebut meningkat sebesar 0,33% dibandingkan dengan posisi semester II-2009 yang tercatat sebanyak 1.212 kantor. Perekonomian Wilayah Eks Karesidenan Madiun pada semester II-2010 diperkirakan akan kembali mengalami peningkatan dibandingkan dengan semester II-2009. Pertumbuhan ekonomi Wilayah Eks Karesidenan Madiun pada semester II-2010 diperkirakan akan menunjukkan perbaikan dan tumbuh positif dalam rentang 5,50% - 6,00% (yoy). Proyeksi pertumbuhan ekonomi pada semester II-2010 diperkirakan akan lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan ekonomi pada semester II-2009 (4,70%).

Perkembangan inflasi di Wilayah Eks Karesidenan Madiun diperkirakan akan mengalami peningkatan. Untuk Kota Madiun tingkat inflasi semesteran diperkirakan akan berada pada rentang 2,80% - 3,00% (sts). sedangkan tingkat inflasi tahunan Kota Madiun diperkirakan akan berada pada rentang 5,50% - 5,60% (yoy).

Proses penyaluran kredit perbankan di Wilayah Eks Karesidenan Madiun pada semester II-2010 diperkirakan akan mengalami peningkatan sejalan dengan mulai menggeliatnya perekonomian dan kegiatan dunia usaha ditengah pemulihan krisis keuangan global yang berlangsung lebih cepat dari perkiraan semula. Tren penurunan BI Rate sebagai suku bunga acuan pada periode


(9)

sebelumnya diperkirakan akan cenderung stabil pada level 6,50% seiring dengan meningkatnya tekanan inflasi pada semester II-2010. Prospek penghimpunan Dana Pihak Ketiga (DPK) perbankan di Wilayah Eks Karesidenan Madiun pada semester II-2010 diperkirakan akan cenderung stabil. Pergerakan DPK yang relatif stabil tersebut dipicu oleh penurunan suku bunga simpanan yang mengikuti tren penurunan BI Rate, sehingga terjadi perpindahan dana simpanan (outflow), khususnya untuk jenis simpanan deposito dan giro. Kualitas penyaluran kredit perbankan di Wilayah Eks Karesidenan Madiun pada semester II-2010 yang tercermin dari rasio kredit bermasalah / Non Performing Loan (NPL) diperkirakan akan tetap terjaga dibawah target Bank Indonesia Kediri sebesar 5%.

Perekonomian di Wilayah Eks Karesidenan Kediri dan Madiun pada semester I-2010 diproyeksikan mengalami pertumbuhan pada kisaran angka 5,30% - 5,50% (yoy). Pertumbuhan ini lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi Nasional dan Jawa Timur pada periode yang sama yang masing-masing tumbuh sebesar 5,99% (yoy) dan 6,20% (yoy).

Sebagaimana telah diperkirakan sebelumnya baik secara nasional maupun regional (Jawa Timur) sampai dengan semester I-2010, pertumbuhan ekonomi dari sisi permintaan didorong oleh peningkatan aktivitas investasi dan perdagangan luar negeri (ekspor-impor). Peningkatan aktivitas investasi swasta terlihat dari berbagai indikator antara lain meliputi pertumbuhan impor barang modal, pertumbuhan kredit investasi, dan keyakinan produsen akan prospek ekonomi pasca krisis yang cukup positif. Di sisi lain, seiring dengan perbaikan ekonomi global telah berdampak pada meningkatnya kinerja perdagangan luar negeri Jawa Timur yang semakin baik sehingga mengalami surplus pada neraca perdagangannya.

Dari sisi penawaran, pertumbuhan ekonomi pada semester I/2010 didukung oleh peningkatan kinerja pada sektor-sektor utama yaitu sektor Industri Pengolahan, dan sektor Perdagangan, Hotel, dan Restoran (PHR). Sedangkan, sektor Pertanian menunjukkan perlambatan sebagai akibat penundaan masa tanam sebagai akibat tidak menentunya kondisi cuaca. Peningkatan kinerja sektor Industri Pengolahan pada semseter ini adalah sejalan dengan telah pulihnya permintaan di pasar domestik maupun luar negeri. Sementara itu, untuk sektor PHR diperkirakan disebabkan oleh tingginya permintaan bertepatan dengan musim


(10)

liburan sekolah, sehingga berdampak pula pada peningkatan arus perdagangan dan tingkat hunian hotel.\

Perekonomian Kota/Kabupaten di Wilayah Eks Karesidenan Madiun pada semester I/2010 diproyeksikan tumbuh sebesar 5,30% - 5,50% (yoy), lebih tinggi dibandingkan semester sama tahun sebelumnya yang tumbuh sebesar 4,47 %. Dari sisi permintaan, pertumbuhan ekonomi Wilayah Eks Karesidenan Madiun pada semester I/2010 diperkirakan ditopang oleh aktivitas konsumsi dan investasi. Aktivitas konsumsi masyarakat pada semester I/2010 diperkirakan mengalami peningkatan dengan adanya momen tahun ajaran baru serta liburan sekolah. Sedangkan dari aktivitas investasi, sebagaimana hasil liaison diperkirakan disebabkan adanya realisasi investasi oleh sektor swasta pada semester ini. Sementara itu, realisasi anggaran pemerintah daerah pada semester I/2010 diperkirakan masih akan melanjutkan tren periode tahun-tahun sebelumnya, yang baru merealisasikan anggarannya pada semester II/2010. Namun dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, beberapa daerah Kota/Kabupaten telah menunjukkan kemajuan dalam mengelola/merealisasikan anggarannya.

Proyeksi pertumbuhan ekonomi Wilayah Eks Karesidenan Madiun dari sisi permintaan yang ditunjukkan berbagai indikator konsumsi dan investasi menunjukkan terjadinya peningkatan dan mengkonfirmasi pertumbuhan ekonomi di wilayah ini, antara lain adalah perkembangan realisasi kredit konsumsi oleh perbankan dan jumlah transfer dana (remitansi) Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Kredit perbankan untuk tujuan pada semester I/2010 tumbuh relatif tinggi, yaitu 29,26% (yoy). Sedangkan remintasi TKI yang merupakan salah satu indikator konsumsi karena sebagian besar penggunaannya untuk konsumsi masyarakat pada semester I/2010 juga menunjukkan peningkatan. Berdasarkan nominalnya, remintasi TKI pada semester I/2010 meningkat sebesar 56,54% (yoy), sedangkan berdasarkan volume (jumlah lembar) transaksinya terjadi peningkatan sebesar 108,15% (yoy).

Sementara itu dari sisi penawaran, pertumbuhan ekonomi Wilayah Eks Madiun diperkirakan akan tetap ditopang oleh kinerja sektor-sektor dominan. Kinerja sektor industri pengolahan sebagai salah satu sektor dominan di Wilayah Eks Karesidenan Madiun pada semester I/2010 menunjukkan peningkatan. Berdasarkan hasil survey Kantor Bank Indonesia Kediri terhadap beberapa pelaku usaha sektor industri pengolahan diperoleh informasi bahwa telah terjadi


(11)

peningkatan permintaan serta peningkatan kapasitas utilisasi perusahaan seiring dengan adanya kegiatan investasi pada periode sebelumnya. Faktor musiman yaitu datangnya musim giling tebu di beberapa pabrik gula di Wilayah Eks Karesidenan Madiun diperkirakan juga menjadi salah satu faktor pendorong peningkatan aktivitas sektor industri. Indikator aktivitas sektor industri diantaranya adalah tingkat konsumsi listrik sektor industri mengkonfirmasi terjadinya peningkatan aktivitas sektor ini. Sementara itu, kredit perbankan untuk sektor industri pengolahan pada periode ini juga menunjukkan peningkatan. Peningkatan ini terutama terjadi pada akhir semester I/2010 seiring dengan siklus pembelian bahan baku oleh perusahaan. Kredit perbankan yang digunakan untuk membiayai sektor industri pada semester I/2010 meningkat sebesar 12,39% (yoy). Sedangkan tingkat konsumsi listrik sekor industri di Wilayah Eks Karesidenan Madiun mengalami kenaikan sebesar 27,18% (yoy). Secara umum aktivitas sektor industri pengolahan pada semester I/2010 diperkirakan akan meningkat.

Kinerja sektor PHR pada semester I/2010 diperkirakan tumbuh stabil seiring dengan tingginya aktivitas konsumsi masyarakat. Beberapa indikator peningkatan kinerja sektor PHR yaitu kredit perbankan sekor PHR, perkembangan penjualan kendaraan bermotor memberikan konfirmasi adanya peningkatan pada periode ini. Pada semester I/2010 kredit perbankan sektor PHR tercatat tumbuh sebesar 1,75% (yoy), sedangkan volume penjualan kendaraan bermotor (mobil dan motor) di Wilayah Eks Karesidenan Madiun tercatat tumbuh sebesar 13,03% (yoy). Secara umum, kinerja sektor PHR diproyeksikan akan mengalami peningkatan. Kinerja sektor pertanian pada semester I/2010 diperkirakan akan mengalami perlambatan. Perlambatan kinerja sektor pertanian di Wilayah Eks Karesidenan Madiun tersebut tercermin dari penurunan luas lahan panen sebesar 3,27% (yoy). Tidak optimalnya musim panen pada semester I/2010 dipengaruhi oleh faktor gangguan cuaca yang disebabkan adanya pergeseran musim penghujan. Di sisi lain, adanya kenaikan harga pupuk pada bulan April menyebabkan kenaikan biaya produksi serta terhambatnya distribusi pupuk juga menjadi salah satu penyebab tidak optimalnya musim panen pada priode ini. Hal ini juga terlihat dari perkembangan pembiayaan perbankan untuk sektor pertanian pada semester I/2010 tercatat mengalami penurunan sebesar 19,93% (yoy). Secara umum, kinerja sektor pertanian di Wilayah Eks Karesidenan Madiun pada semester I/2010 diproyeksikan akan cenderung mengalami perlambatan.


(12)

Perkembangan harga secara umum (inflasi) di Wilayah Eks Karesidenan Madiun dapat digambarkan dengan perubahan Indeks Harga Konsumen (IHK). Perkembangan harga yang diukur dengan perubahan IHK baik di Kota Madiun, maupun Nasional, pada semester I/2010 mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan semester I/2009. Peningkatan tingkat inflasi baik yang terjadi di wilayah regional dan Nasional masih lebih rendah dibandingkan tingkat inflasi yang terjadi pada tahun 2008. Laju inflasi di Kota Madiun pada semester I/2010 pada masing-masing tercatat sebesar 2,59% (sts) dan 1,99% (sts), sedangkan nasional tercatat 2,42% (sts). Per semester, laju inflasi Kota Madiun lebih rendah dibandingkan dengan inflasi nasional. Secara umum, besaran Indeks Harga Konsumen (IHK) di Kota Madiun lebih tinggi dibandingkan Nasional. Kondisi ini mencerminkan bahwa tingkat harga di Kota Madiun lebih tinggi dibandingkan Nasional, dengan laju kenaikan harga yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan laju kenaikan harga Nasional.

Kredit yang disalurkan oleh bank umum di Wilayah Eks Karesidenan Madiun pada semester I/2010 tercatat sebesar Rp 16,37 triliun atau meningkat sebesar Rp 1,5 triliun (10,27%) dibandingkan dengan semester II/2009. Peningkatan ini sejalan dengan mulai menggeliatnya perekonomian dan kegiatan dunia usaha di tengah pemulihan krisis keuangan global yang berlangsung lebih cepat dari perkiraan semula. Relatif stabilnya BI-Rate sebagai suku bunga acuan pada angka 6,5% selama beberapa bulan mulai disikapi perbankan dengan menurunkan suku bunga kredit, meski penurunan tersebut masih dapat lebih dioptimalkan lagi, terutama untuk bank-bank milik pemerintah.

Sementara itu, peningkatan kredit pada semester I/2010 terjadi untuk semua jenis penggunaan, dengan peningkatan tertinggi terjadi pada kredit investasi (22,44%), disusul kredit konsumsi dan modal kerja masing-masing sebesar 16,27% dan 5,57%. Apabila dibandingkan dengan semester I/2009, posisi kredit yang disalurkan pada semester I/2010 mengalami peningkatan sebesar 21,46% (yoy). Peningkatan tertinggi terjadi pada kredit investasi (42,09%), disusul kredit konsumsi (29,26%) dan kredit modal kerja (14,87%). Melihat perkembangkan realisasi kredit dari perbankan sampai dengan semester I/2010, target kredit sampai akhir tahun 2010 sebesar 17%-20% diperkirakan dapat tercapai. Namun demikian, tetap harus dicermati agar tetap dalam koridor pencapaian rencana, yaitu untuk membiayai sektor produktif, dan sejalan dengan peningkatan di sisi


(13)

suplai perekonomian. Hal ini ditempuh untuk memastikan agar peningkatan di sisi permintaan dapat diimbangi sisi penawaran secara memadai sehingga tidak menimbulkan tekanan inflasi yang berlebihan.

Kredit yang disalurkan oleh bank umum di Wilayah Eks Karesidenan Madiun digunakan untuk membiayai sektor-sektor produktif, antara lain untuk keperluan modal kerja sebesar Rp 9,65 triliun (59%) dan investasi sebesar Rp 1,74 triliun (11%). Sementara untuk keperluan konsumsi tercatat sebesar Rp 4,98 triliun (30%).

Berdasarkan pangsa kredit persektor ekonominya, kredit yang disalurkan oleh bank umum di Wilayah Eks Karesidenan Madiun sebagian besar terserap ke sektor lain-lain yang pangsanya terhadap total kredit mencapai 40 %. Sementara itu, sektor lain yang menyerap kredit bank umum cukup besar pada semester I/2010 adalah sektor Perdagangan, Hotel, dan Restoran (PHR) dan sektor industri pengolahan masing-masing sebesar 34% dan 11%.

Dibandingkan dengan semester II/2009, peningkatan kredit tertinggi pada semester I/2010 terjadi pada sektor Jasa Sosial sebesar 335,62%, kemudian diikuti sektor lain-lain (45,24%) dan sektor pertambangan (14,52%). Tingginya pertumbuhan kredit untuk sektor Jasa Sosial disebabkan meningkatnya permintaan kredit multiguna untuk para pegawai seiring dengan meningkatnya kebutuhan memasuki tahun ajaran baru anak sekolah serta menjelang bulan Ramadhan dan Idul Fitri.

Berdasarkan pangsa kredit perwilayah, Kota/Kabupaten Kediri memiliki pangsa pasar tertinggi (35,21%) terhadap totdal kredit di Wilayah Eks Karesidenan Madiun. Sedangkan terendah di Kabupaten Trenggalek (3,35%). Dibandingkan semester II/2009,tingkat pertumbuhan kredit bank umum semester I/2010 di Wilayah Eks Karesidenan Madiun, Kabupaten Pacitan memiliki peringkat yang relatif lebih baik dibandingkan dengan daerah lain, yaitu sebesar 19,04%. Sebagian besar kredit yang disalurkan bank umum di Wilayah Eks Karesidenan Madiun pada semester I-2010, yaitu sebesar 87,42% digunakan untuk membiayai sektor UMKM. Posisi kredit UMKM pada semester I-2010, tercatat sebesar Rp. 14,31 triliun atau mengalami pertumbuhan sebesar 9,81% dibandingkan dengan semester II-2009 yang tercatat sebesar Rp. 13,03 triliun. Sementara itu, dibandingkan dengan semester I-2009 terjadi peningkatan sebesar 21,66% (yoy). Peningkatan kredit kepada UMKM tersebut antara lain didorong karakteristik


(14)

UMKM yang selama ini dinilai lebih tahan terhadap guncangan krisis dan didukung dengan komitmen perbankan untuk terus meningkatkan pembiayaan bagi pemberdayaan sektor tersebut.

Berdasarkan skala usaha yang dibiayai, sebagian besar kredit UMKM disalurkan kepada usaha mikro dengan plafon sampai dengan Rp. 50 juta yang pada semester I-2010 penyalurannya mencapai Rp. 5,80 triliun (41%), sedangkan kredit kepada usaha kecil dengan plafon > Rp. 50 juta sampai dengan Rp. 500 juta mencapai Rp. 5,80 triliun (40%). Hal ini menunjukkan bahwa usaha mikro dan kecil menjadi pasar yang potensial dan diminati oleh perbankan.

Meski dalam perkembangannya kredit UMKM di Wilayah Eks Karesidenan Madiun terus meningkat, namun dalam prakteknya ekspansi penyaluran kredit UMKM masih saja terkendala beberapa persoalan mendasar, antara lain seperti pemenuhan aspek administratif berupa kelengkapan perijinan usaha dan aspek legalitas jaminan (collateral) yang belum memenuhi persyaratan perbankan. Mengingat pentingnya peranan UMKM bagi perekonomian, terutama di Wilayah Eks Karesidenan Madiun, maka UMKM yang bersifat feasible namun kesulitan untuk memperoleh akses kredit perbankan yang disebabkan belum terpenuhinya persyaratan baku perbankan perlu mendapat perhatian bersama.

3.2. Arah Kebijakan Ekonomi Daerah

Arah kebijakan ekonomi daerah adalah mewujudkan ekonomi daerah yang mencakup peningkatan perekonomian kabupaten yang tangguh, sehat dan berkeadilan dalam rangka meningkatkan pendapatan masyarakat, menciptakan lapangan kerja dan kesempatan berusaha. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa setiap peningkatan kegiatan ekonomi akan berpengaruh pada peningkatan lapangan kerja dan kesempatan berusaha yg pada akhirnya akan mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Maknanya bahwa setiap potensi ekonomi yang dimiliki harus dimanfaatkan secara optimal dengan memperhatikan peluang-peluang yg ada guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun demikian melihat prediksi satu tahun yang akan datang, ternyata prosentasi kenaikan belanja lebih besar dari pada kenaikan pendapatan. Oleh karena itu beberapa langkah harus dilakukan dalam upaya membiayai pelaksanaan kegiatan pemerintahan. Dalam hal APBD diperkirakan defisit, maka pembiayaan pembangunan dapat didanai dengan sisa lebih perhitungan anggaran tahun lalu, transfer dari dana cadangan, hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan, namun demikian, kebijakan pembiayaan


(15)

pembangunan melalui hutang harus memenuhi syarat yaitu hutang tersebut dipergunakan untuk investasi dan/atau mempunyai dampak yang luas terhadap kepentingan masyarakat. Disamping itu, kebijakan umum anggaran tahunan diarahkan untuk memantapkan landasan ekonomi daerah yang mandiri dijiwai nilai-nilai religius berbasis pertanian yang tangguh yang mengarah pada agrobisnis dan agroindustri untuk mewujudkan kota Ponorogo sebagai Kota Metropolitan yang berbasis Pertanian (Agropolitan) melalui :

a. Perlindungan dan peningkatan kualitas kehidupan masyarakat dalam bentuk

pemantapan kehidupan beragama, pelayanan dasar, pendidikan, penyediaan fasilitas kesehatan, fasilitas sosial, dan fasilitas umum yang layak dengan memprioritaskan pada golongan masyarakat miskin.

b. Mendorong pertumbuhan ekonomi secara adil dan merata dengan prioritas pada bidang pertanian yang didukung perdagangan dan jasa sebagai tulang punggung perkonomian daerah dengan memacu wilayah pengembangan.

c. Meminimalisasikan gejolak fluktuasi ekonomi dengan memberikan bantuan dan proteksi kepada masyarakat miskin agar tetap mampu mencukupi kebutuhan dasar

minimumnya.

d. Mengembangan ekonomi kerakyatan melalui peningkatan kesempatan berusaha, optimalisasi potensi ekonomi lokal, pemberdayaan usaha sektor informal, Koperasi dan UKM serta keadilan kesempatan untuk berusaha dalam iklim yang kondusif.

e. Meningkatkan iklim investasi guna mendorong agar dapat mengurangi hambatan-hambatan baik yang berkaitan dengan ketenagakerjaan, permodalan, infrastruktur, kelembagaan serta kepastian dan keamanan berinvestasi.

f. Mengoptimalkan pendapatan melalui intensifikasi, ekstensifikasi dan diversivikasi sumber-sumber pendapatan tanpa membebani masyarakat.

g. Mengoptimalkan pengelolaan Asset dan kekayaan daerah agar dapat memberikan nilai tambah bagi pendapatan daerah, melalui profesionalisme manajemen.

h. Menumbuh kembangkan iklim yang sehat di BUMD sehingga mampu memberikan kontribusi optimal bagi pendapatan daerah termasuk mendirikan BUMD dan/atau perusahaan milik Pemerintah daerah yang profitable.

i. Mengembangkan iklim kondusif bagi peningkatan swadaya melalui pola/skema kemitraan baik antara pemerintah daerah dengan masyarakat, pemerintah daerah dengan swasta atau masyarakat dengan swasta.

j. Perekonomian Kabupaten Ponorogo diarahkan untuk mewujudkan struktur perekonomian kabupaten yang kokoh dimana sektor Pertanian (Agrobisnis dan


(16)

agroindustri) menjadi basis aktivitas perekonomian yang didukung oleh aktivitas perekonomian lainnya seperti perdagangan dan jasa-jasa.

j. Setiap pengeluatan daerah harus mendasarkan pada, standar analisa belanja, standar harga, tolok ukur kinerja, dan standar pelayanan minimal serta memperhatikan prinsip efisiensi dan efektifitas.

3.3 Arah Kebijakan Keuangan Daerah

Di era desentralisasi dan otonomi daerah, Kebijakan pengelolaan keuangan daerah ditekankan pada prinsip keadilan, kepatuhan dan manfaat sebagai konsekuensi hubungan keuangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah.

Pengelolaan keuangan daerah meliputi keseluruhan kegiatan perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban, dan pengawasan keuangan daerah. Pengelolaan keuangan daerah secara umum mengacu pada paket reformasi keuangan negara, yang dituangkan dalam beberapa peraturan perundang-undangan, yaitu Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintah.

Sebagai subsistem dari pengelolaan keuangan negara dan merupakan kewenangan pemerintah daerah, pelaksanaan pengelolaan keuangan daerah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini telah dijabarkan secara lebih rinci dan teknis dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.

Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 memuat berbagai kebijakan terkait perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, dan pertanggungjawaban keuangan daerah. Pengaturan pada aspek perencanaan diarahkan agar seluruh proses penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) semaksimal mungkin dapat menunjukkan latar belakang pengambilan keputusan dalam penetapan arah kebijakan umum, skala prioritas dan


(17)

penetapan alokasi, serta distribusi sumber daya dengan melibatkan partisipasi masyarakat. Dengan demikian, APBD dapat dipandang sebagai instrumen kebijakan fiskal bagi pemerintah daerah untuk melaksanakan pembangunan di daerah. Artinya, dengan APBD tersebut, paling tidak, pemerintah daerah bisa mempengaruhi seluruh kegiatan perekonomian daerah dengan melibatkan partisipasi masyarakat. Selain itu, APBD juga dapat dipandang sebagai dokumen politik dan dokumen ekonomi. Sebagai dokumen politik, APBD akan menjelaskan siapa-siapa atau sektor-sektor apa saja yang menerima bagian terbesar dari pengeluaran pemerintah daerah, serta siapa-siapa yang menanggung beban pembiayaan pemerintah daerah. Sebagai dokumen ekonomi, APBD menjelaskan seberapa besar alokasi penerimaan dan pengeluaran pemerintah daerah yang digunakan mempengaruhi pencapaian target-target pembangunan.

Mengingat begitu strategisnya peran APBD dalam konstelasi pembangunan daerah, maka keseluruhan proses penetapan APBD ini dirasa perlu diatur dalam perundang-undangan, yang diharapkan dapat mengharmoniskan pengelolaan keuangan daerah, baik antara pemerintah daerah dan Pemerintah Pusat, serta antara pemerintah daerah dan DPRD, ataupun antara pemerintahan daerah dan masyarakat. Dengan demikian, daerah dapat mewujudkan pengelolaan keuangan secara efektif dan efisien, serta dapat mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik, berdasarkan tiga pilar utama, yaitu transparansi, akuntabilitas, dan partisipatif.

Dalam perkembangan terakhir, isu-isu strategis tentang penerimaan daerah (pendapatan daerah) dan pengeluaran daerah (belanja daerah) adalah berkaitan dengan bagaimana meningkatkan ruang gerak fiskal (fiscal space) pemerintah daerah, sehingga meningkatkan kapabilitas penerimaan daerah sebagai salah satu sumber pembiayaan pembangunan. Selain itu dari sisi pengeluaran adalah bagaimana meningkatkan kondisi pengeluaran daerah (belanja daerah) untuk pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan layanan dasar lainnya.

Semuanya itu akan sangat dipengaruhi oleh pola hubungan transaksi antara lembaga eksekutif dan legislatif dalam menentukan APBD, serta kondisi ekonomi sebagai faktor internal, dan dipengaruhi juga oleh faktor eksternal, yaitu kondisi lingkungan ekonomi global dan nasional yang menentukan kemampuan Pemerintah Pusat dalam membiayai pembangunan daerah melalui desentralisasi fiskal.

Ruang gerak fiskal (fiscal space) ada ketika pemerintah dapat meningkatkan pengeluaran tanpa menyebabkan pengaruh buruk terhadap solvabilitas fiskal, atau dapat juga diartikan sebagai pengeluaran diskresioner yang dapat dilakukan oleh pemerintah daerah


(18)

tanpa mengganggu solvabilitasnya. Ruang gerak fiskal didefinisikan sebagai total pengeluaran dikurangi pengeluaran untuk pegawai, pembayaran bunga, subsidi, dan transfer ke daerah.

Ketika pendapatan asli daerah (PAD) hanya dapat meningkat dalam jumlah terbatas, sedangkan dana perimbangan dari pemerintah pusat bersifat given, maka di sisi lain kebutuhan untuk meningkatkan pengeluaran pendidikan, kesehatan, infrastruktur, serta layanan dasar lainnya sesuai amanat undang-undang tidak dapat dihindari, maka upaya meningkatkan ruang gerak fiskal menjadi sangat penting artinya.

Dalam konteks di daerah, peningkatan ruang gerak fiskal ini salah satunya dapat dicapai melalui harmonisasi hubungan transaksional antara eksekutif dan legislatif dalam penetapan APBD. Peningkatan ruang gerak fiskal ini tercapai jika keleluasaan eksekutif untuk menentukan anggaran-anggaran yang menjadi prioritas kebutuhan pembangunan yang disusun berdasarkan visi, misi dan program kepala daerah semakin meningkat.

Permasalahan yang terkait aspek perencanaan dalam pengelolaan keuangan daerah adalah bagaimana melakukan sinkronisasi antara kebijakan, perencanaan, dan penganggaran. Apa yang sudah ditetapkan dalam kebijakan pemerintah daerah harus sama dengan yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) maupun Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD). Selanjutnya pada saat dilakukan penganggaran, apa yang telah ditetapkan dalam dokumen perencanaan dan penganggaran harus diterjemahkan sama dalam dokumen penganggaran, agar dapat dilihat hubungan keterkaitan antara dokumen perencanaan dan dokumen penganggaran.

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah merupakan bentuk manajemen keuangan daerah dalam pengalokasian sumber daya di daerah secara optimal, sekaligus juga alat evaluasi prestasi pemerintah dalam pembiayaan pembangunan di daerahnya. Karena itu, setiap belanja pemerintah harus ditujukan untuk kepentingan publik, dan harus dipertanggungjawabkan pemakaiannya. Dengan kata lain, APBD harus bermanfaat sebesar-besarnya bagi peningkatan kesejahteraan rakyat.

Ada tiga fungsi utama dalam pengelolaan anggaran pemerintah daerah, yakni alokasi, distribusi dan stabilitas. Fungsi alokasi dimaksudkan agar APBD digunakan untuk kepentingan penyelenggaraan pemerintah sehingga pelayanan publik semakin baik, termasuk penyediaan sarana dan prasarana infrastruktur yang memadai. Pemerataan pendapatan dan pengentasan masyarakat miskin merupakan perwujudan fungsi distribusi. Sementara fungsi stabilitas ditujukan menciptakan lingkungan kondusif bagi kegiatan ekonomi, untuk memperluas kesempatan kerja, stabilitas harga, dan pertumbuhan ekonomi.


(19)

Penerimaan pendapatan daerah Kabupaten Ponorogo dari tahun ke tahun secara umum mengalami peningkatan walaupun bersifat fluktuatif. Peningkatan pendapatan masih didominasi oleh sumber-sumber pendapatan yang diperoleh dari dana perimbangan baik pos bagi hasil pajak/ bagi hasil bukan pajak, DAU dan DAK. Salah satu ukuran untuk mengetahui kemampuan fiskal daerah dalam menjalankan fungsi pelayanan masyarakat dapat dilihat dari kapasitas keuangan daerah yakni dengan membandingkan antara pendapatan dengan APBD. Kenyataan menunjukkan bahwa masih tingginya ketergantungan terhadap anggaran yang berasal dari dana perimbangan.

Ada tiga komponen penting dalam pengelolaan keuangan daerah sesuai peraturan pemerintah, yaitu pendapatan daerah, belanja daerah dan pembiayaan daerah. Sesuai peraturan pemerintah, maka penjabaran masing-masing komponen dilakukan sejalan dengan hal tersebut. Secara umum arah kebijakan keuangan daerah tetap mengacu pada ketentuan perundangan yang berlaku, antara lain, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.

3.3.1. Arah Pengelolaan Pendapatan Daerah

Kebijakan pengelolaan pendapatan daeah diarahkan untuk menggali dan mengoptimalkan sumber-sumber pendapatan daerah melalui upaya intensifikasi dan ekstensifikasi pendapatan daerah termasuk mengembangkan sektor-sektro potensial yang selama ini belum optimal. Optimalisasi peningkatan pendapatan daerah terhadap obyek yang betul-betul potensial dilakukan dengan tidak memberatkan masyarakat serta tidak merusak lingkungan

Merujuk pada konsep hak dan kewajiban, dan menerapkannya pada pengelolaan keuangan daerah, maka pendapatan daerah merupakan hak pemerintah daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih, dan merupakan perkiraan yang terukur secara rasional yang dapat dicapai untuk setiap sumber pendapatan.

Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, komponen pendapatan daerah terdiri dari Pendapatan Asli Daerah (PAD); Dana Perimbangan, dan lain-Lain pendapatan yang sah. Pendapatan Asli Daerah terdiri dari pajak daerah; retribusi daerah; hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan; dan lain-lain PAD yang sah. Dana Perimbangan, yang berasal dari pemerintah pusat, terdiri dari Dana Alokasi Umum, dan Dana Bagi Hasil. Dana Bagi Hasil terbagi menjadi Dana Bagi Hasil Pajak,


(20)

dan Dana Bagi Hasil Bukan Pajak. Selain itu lain-lain pendapatan daerah yang sah dapat berupa hibah, dana darurat, dan bantuan keuangan pemerintah daerah lainnya.

Pada dana perimbangan ini (DAU, DAK, bagi hasil pajak / bagi hasil bukan pajak), akurasi penggunaan pendekatan metode proyeksi belum ada yang benar – benar dapat dipergunakan sebagai pedoman, karena penentuan dana perimbangan yang berasal dari pusat merupakan pemberian langsung (given) dan sangat tergantung kepada beberapa hal antara lain :

a. Kebutuhan fiskal adalah merupakan kebutuhan pendanaan daerah untuk melaksanakan fungsi layanan dasar, dengan dasar ukuran jumlah penduduk, luas wilayah, indeks kemahalan konstruksi, PDRB perkapita dan IPM (Index Pembangunan Manusia).

b. Kapasitas fiskal adalah merupakan sumber pendanaan daerah yang berasal dari PAD dan dana bagi hasil.

Pengelolaan pendapatan daerah harus memperhatikan upaya untuk meningkatkan pajak dan retribusi serta penerimaan daerah lainnya. Hal ini dimungkinkan karena pendapatan daerah dalam sruktur APBD Kabupaten Ponorogo masih merupakan momen yang cukup penting perananya dalam mendukung penyelengggaraan pemerintahan maupun pelayanan publik.

Arah pengelolaan pendapatan daerah Kabupaten Ponorogo tahun 2011 ditekankan pada mobilisasi sumber-sumber PAD dan penerimaan lainnya guna lebih mengoptimalkan kinerja pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pendapatan daerah Kabupaten Ponorogo meliputi 3 (tiga) sumber pendapatan yaitu:

1. Pendapatan Asli Daerah 2. Dana Perimbangan

3. Lain-lain Pendapatan Daerah Yang Sah

Adapun proyeksi pendapatan daerah Kabupaten Ponorogo untuk tahun 2011 secara rinci adalah sebagaimana tertera dalam tabel berikut:


(21)

Tabel 3.1. Proyeksi Pendapatan Daerah Kabupaten Ponorogo Tahun 2013

Pendapatan Daerah

NO URAIAN

Tahun 2012 Tahun 2013

1. Pendapatan Asli Daerah 77.381.702.550,00 81.387.000.000,00 1.1  Pajak Daerah 12.847.200.000,00 13.223.000.000,00 1.2  Retribusi Daerah 14.688.576.950,00 15.791.000.000,00 1.3  Hasil Pengelolaan Daerah yang

dipisahkan 1.496.481.000,00 1.607.000.000,00

1.4  Lain-lain pendapatan asli

daerah yang sah 48.349.444.600,00 50.766.000.000,00 2. Dana Perimbangan 907.372.284.310,69 957.962.972.966,69 2.1  Dana bagi hasil pajak/ bukan

pajak 65.907.865.310,69 65.907.865.310,69

2.2  Dana Alokasi Umum 779.077.679.000,00 829.668.367.655,00 2.3  Dana Alokasi Khusus 62.386.740.000,00 62.386.740.000,00

3 Lain-lain Pendapatan Daerah

Yang Sah 196.536.865.681,49 189.536.411.159,00

3.1  Hibah - -

3.2  Dana Darurat - -

3.3  Dana Bagi Hasil Pajak dari

Propinsi dan Pemda lainnya 48.292.454.522,49 50.292.000.000,00 3.4  Dana Penyesuaian otonomi

khusus 108.490.939.320,00 99.490.939.320,00

3.5  Bantuan Keuangan dari

Propinsi atau Pemda Lainnya 39.753.471.839,00 39.753.471.839,00 Jumlah Pendapatan APBD 1.181.290.852.542,18 1.228.886.384.124,69 Sumber: DPPKAD Tahun 2012

3.3.2. Arah Pengelolaan Belanja Daerah

Arah pengelolaan belanja daerah Kabupaten Ponorogo pada tahun 2012

ditekankan pada peningkatan proporsi belanja untuk kepentingan dan kebutuhan

masyarakat Ponorogo dengan tetap memperhatikan proporsi dan eksistensi

penyelenggaraan Pemerintahan, sehingga perlu penekanan pada efisiensi belanja

tidak langsung pada pelaksanaannya. Disamping itu perlunya efektifitas anggaran dan


(22)

prioritisasi program dalam mendukung pembangunan daerah.Belanja daerah, atau

yang dikenal dengan pengeluaran pemerintah daerah dalam Anggaran Pendapatan

dan Belanja Daerah (APBD), merupakan salah satu faktor pendorong pertumbuhan

ekonomi daerah. Karena itu, belanja daerah dikenal sebagai salah satu instrumen

kebijakan fiskal yang dilakukan pemerintah (pemerintah daerah), di samping pos

pendapatan pemerintah daerah.

Semakin besar belanja daerah diharapkan akan makin meningkatkan kegiatan perekonomian daerah (terjadi ekspansi perekonomian). Di sisi lain, semakin besar pendapatan yang dihasilkan dari pajak-pajak dan retribusi atau penerimaan-penerimaan yang bersumber dari masyarakat, maka akan dapat mengakibatkan menurunnya kegiatan perekonomian (terjadi kontraksi perekonomian).

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 30 Tahun 2006 menegaskan, belanja daerah merupakan semua pengeluaran dari rekening kas umum daerah yang mengurangi ekuitas dana lancar, yang merupakan kewajiban daerah dalam satu tahun anggaran yang tidak akan diperoleh pembayarannya kembali oleh daerah. Belanja daerah digunakan untuk pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah daerah (provinsi ataupun kabupaten/kota) yang meliputi urusan wajib dan urusan pilihan.

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 juga telah menentukan, struktur belanja terdiri dari belanja tidak langsung, dan belanja langsung. Belanja tidak langsung merupakan belanja yang dianggarkan tidak terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan yang meliputi: belanja pegawai, belanja bunga, belanja subsidi, belanja hibah, bantuan sosial, belanja bagi hasil, bantuan keuangan, dan belanja tidak terduga. Sedangkan belanja langsung merupakan belanja yang dianggarkan terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan yang meliputi: belanja pegawai, belanja barang dan jasa, serta belanja modal.

Selain itu belanja penyelenggaraan urusan wajib sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 diprioritaskan untuk melindungi dan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat dalam upaya memenuhi kewajiban daerah yang diwujudkan dalam bentuk peningkatan pelayanan dasar, pendidikan, kesehatan, fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak serta mengembangkan sistem jaminan sosial. Proyeksi belanja daerah Kabupaten Ponorogo tahun 2012 adalah sebagai berikut:


(23)

Tabel 3.2. Proyeksi Belanja Daerah Kabupaten Ponorogo Tahun 2013

Belanja Daerah

No Uraian

Tahun 2012 Tahun 2013 2.1 Belanja Tidak Langsung 845.267.216.124,50 874.085.485.027,00 2.1.1 Belanja Pegawai 770.362.177.110,00 808.063.186.127,00

2.1.2 Belanja Bunga 37.000.000,00 -

2.1.3 Belanja Subsidi - -

2.1.4 Belanja Hibah 1.627.500.000,00 1.627.500.000,00 2.1.5 Belanja Bantuan sosial 10.423.070.000,00 10.423.070.000,00 2.1.6 Belanja Bagi Hasil Kepada

Propinsi/ Kabupaten/ Kota dan Pemerintah Desa

2.320.075.000,00 2.320.075.000,00 2.1.7 Belnja Bantuan Keuangan

Propinsi/ Kabupaten/Kota dan Pemerintah Desa

48.651.653.900,00 48.651.653.900,00 2.1.8 Belanja Tidak Terduga 11.845.740.114,50 3.000.000.000,00 2.2 Belanja Langsung 394.995.836.751,38 364.600.899.097,69 2.2.1 Belanja Pegawai 34.368.603.500,00

2.2.2 Belanja Barang dan Jasa 159.376.999.521,00 2.2.3 Belanja Modal 201.250.233.730,38

Jumlah Belanja 1.240.263.052.875,88 1.238.686.384.124,69 Surplus/ (Defisit) (58.972.200.333,70) (9.800.000.000,00) Sumber: DPPKAD Tahun 2012

3.3.3. Arah Pembiayaan Daerah

Pembiayaan daerah merupakan transaksi keuangan daerah yang dimaksudkan untuk menutup selisih antara pendapatan daerah dan belanja daerah. Jika pendapatan daerah lebih kecil daripada belanja daerah, maka terjadi transaksi keuangan yang defisit, dan harus ditutupi dengan penerimaan daerah. Sebaliknya, jika pendapatan daerah lebih besar daripada belanja daerah, maka terjadi transaksi keuangan yang surplus, dan harus digunakan untuk pengeluaran daerah. Karena itu, pembiayaan daerah terdiri penerimaan daerah dan pengeluaran daerah.


(24)

Sesuai Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006, penerimaan daerah berasal dari sumber antara lain, Sisa Lebih Perhitungan Anggaran Tahun Lalu (Silpa); Pencairan dana cadangan; Hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan; Penerimaan pinjaman daerah; Penerimaan kembali pemberian pinjaman; dan penerimaan piutang daerah. Sedangkan sumber pengeluaran daerah, antara lain, Pembentukan dana cadangan; Penanaman modal (investasi) pemerintah daerah; Pembayaran pokok utang; dan pemberian pinjaman daerah. Secara rinci proyeksi pembiayaan daerah tahun 2012 sebagaimana dalam tabel berikut:

Tabel 3.3. Proyeksi Pembiayaan Daerah Kabupaten Ponorogo tahun 2013

Pembiayaan Daerah

Nomor Uraian

Tahun 2012 Tahun 2013 3.1 Penerimaan Pembiayaan 59.538.450.333,70 10.300.000.000,00 3.1.1 Sisa Lebih Perhitungan Anggaran

Tahun Sebelumnya (SILPA) 59.238.450.333,70 10.000.000.000,00

3.1.2 Pencaiaran Dana Cadangan - -

3.1.3 Hasil Penjualan Kekayaan Daerah

yang dipisahkan - -

3.1.4 Penerimaan Pinjaman - -

3.1.6 Penerimaan Piutang 300.000.000,00 300.000.000,00 3.2 Pengeluaran Pembiayaan 566.250.000,00 500.000.000,00

3.2.1 Pembentukan Dana Cadangan - -

3.2.2 Penyertaan Modal (Investasi)

Pemerintah daerah 150.000.000,00 500.000.000,00 3.2.3 Pembayaran pokok hutang yang

jatuh tempo 416.250.000,00 -

3.2.4 Pemberian pinjaman daerah - -

Pembiayaan Netto 58.972.200.333,70 9.800.000.000,00 Sumber: DPPKAD Tahun 2012


(1)

Penerimaan pendapatan daerah Kabupaten Ponorogo dari tahun ke tahun secara umum mengalami peningkatan walaupun bersifat fluktuatif. Peningkatan pendapatan masih didominasi oleh sumber-sumber pendapatan yang diperoleh dari dana perimbangan baik pos bagi hasil pajak/ bagi hasil bukan pajak, DAU dan DAK. Salah satu ukuran untuk mengetahui kemampuan fiskal daerah dalam menjalankan fungsi pelayanan masyarakat dapat dilihat dari kapasitas keuangan daerah yakni dengan membandingkan antara pendapatan dengan APBD. Kenyataan menunjukkan bahwa masih tingginya ketergantungan terhadap anggaran yang berasal dari dana perimbangan.

Ada tiga komponen penting dalam pengelolaan keuangan daerah sesuai peraturan pemerintah, yaitu pendapatan daerah, belanja daerah dan pembiayaan daerah. Sesuai peraturan pemerintah, maka penjabaran masing-masing komponen dilakukan sejalan dengan hal tersebut. Secara umum arah kebijakan keuangan daerah tetap mengacu pada ketentuan perundangan yang berlaku, antara lain, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.

3.3.1. Arah Pengelolaan Pendapatan Daerah

Kebijakan pengelolaan pendapatan daeah diarahkan untuk menggali dan mengoptimalkan sumber-sumber pendapatan daerah melalui upaya intensifikasi dan ekstensifikasi pendapatan daerah termasuk mengembangkan sektor-sektro potensial yang selama ini belum optimal. Optimalisasi peningkatan pendapatan daerah terhadap obyek yang betul-betul potensial dilakukan dengan tidak memberatkan masyarakat serta tidak merusak lingkungan

Merujuk pada konsep hak dan kewajiban, dan menerapkannya pada pengelolaan keuangan daerah, maka pendapatan daerah merupakan hak pemerintah daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih, dan merupakan perkiraan yang terukur secara rasional yang dapat dicapai untuk setiap sumber pendapatan.

Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, komponen pendapatan daerah terdiri dari Pendapatan Asli Daerah (PAD); Dana Perimbangan, dan lain-Lain pendapatan yang sah. Pendapatan Asli Daerah terdiri dari pajak daerah; retribusi daerah; hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan; dan lain-lain PAD yang sah. Dana Perimbangan, yang berasal dari pemerintah pusat, terdiri dari Dana Alokasi Umum, dan Dana Bagi Hasil. Dana Bagi Hasil terbagi menjadi Dana Bagi Hasil Pajak,


(2)

dan Dana Bagi Hasil Bukan Pajak. Selain itu lain-lain pendapatan daerah yang sah dapat berupa hibah, dana darurat, dan bantuan keuangan pemerintah daerah lainnya.

Pada dana perimbangan ini (DAU, DAK, bagi hasil pajak / bagi hasil bukan pajak), akurasi penggunaan pendekatan metode proyeksi belum ada yang benar – benar dapat dipergunakan sebagai pedoman, karena penentuan dana perimbangan yang berasal dari pusat merupakan pemberian langsung (given) dan sangat tergantung kepada beberapa hal antara lain :

a. Kebutuhan fiskal adalah merupakan kebutuhan pendanaan daerah untuk melaksanakan fungsi layanan dasar, dengan dasar ukuran jumlah penduduk, luas wilayah, indeks kemahalan konstruksi, PDRB perkapita dan IPM (Index Pembangunan Manusia).

b. Kapasitas fiskal adalah merupakan sumber pendanaan daerah yang berasal dari PAD dan dana bagi hasil.

Pengelolaan pendapatan daerah harus memperhatikan upaya untuk meningkatkan pajak dan retribusi serta penerimaan daerah lainnya. Hal ini dimungkinkan karena pendapatan daerah dalam sruktur APBD Kabupaten Ponorogo masih merupakan momen yang cukup penting perananya dalam mendukung penyelengggaraan pemerintahan maupun pelayanan publik.

Arah pengelolaan pendapatan daerah Kabupaten Ponorogo tahun 2011 ditekankan pada mobilisasi sumber-sumber PAD dan penerimaan lainnya guna lebih mengoptimalkan kinerja pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pendapatan daerah Kabupaten Ponorogo meliputi 3 (tiga) sumber pendapatan yaitu:

1. Pendapatan Asli Daerah 2. Dana Perimbangan

3. Lain-lain Pendapatan Daerah Yang Sah

Adapun proyeksi pendapatan daerah Kabupaten Ponorogo untuk tahun 2011 secara rinci adalah sebagaimana tertera dalam tabel berikut:


(3)

Tabel 3.1. Proyeksi Pendapatan Daerah Kabupaten Ponorogo Tahun 2013

Pendapatan Daerah

NO URAIAN

Tahun 2012 Tahun 2013 1. Pendapatan Asli Daerah 77.381.702.550,00 81.387.000.000,00

1.1  Pajak Daerah 12.847.200.000,00 13.223.000.000,00

1.2  Retribusi Daerah 14.688.576.950,00 15.791.000.000,00

1.3  Hasil Pengelolaan Daerah yang

dipisahkan 1.496.481.000,00 1.607.000.000,00

1.4  Lain-lain pendapatan asli

daerah yang sah 48.349.444.600,00 50.766.000.000,00

2. Dana Perimbangan 907.372.284.310,69 957.962.972.966,69 2.1  Dana bagi hasil pajak/ bukan

pajak 65.907.865.310,69 65.907.865.310,69

2.2  Dana Alokasi Umum 779.077.679.000,00 829.668.367.655,00 2.3  Dana Alokasi Khusus 62.386.740.000,00 62.386.740.000,00

3 Lain-lain Pendapatan Daerah

Yang Sah 196.536.865.681,49 189.536.411.159,00

3.1  Hibah - -

3.2  Dana Darurat - -

3.3  Dana Bagi Hasil Pajak dari

Propinsi dan Pemda lainnya 48.292.454.522,49 50.292.000.000,00 3.4  Dana Penyesuaian otonomi

khusus 108.490.939.320,00 99.490.939.320,00

3.5  Bantuan Keuangan dari

Propinsi atau Pemda Lainnya 39.753.471.839,00 39.753.471.839,00 Jumlah Pendapatan APBD 1.181.290.852.542,18 1.228.886.384.124,69 Sumber: DPPKAD Tahun 2012

3.3.2. Arah Pengelolaan Belanja Daerah

Arah pengelolaan belanja daerah Kabupaten Ponorogo pada tahun 2012

ditekankan pada peningkatan proporsi belanja untuk kepentingan dan kebutuhan

masyarakat Ponorogo dengan tetap memperhatikan proporsi dan eksistensi

penyelenggaraan Pemerintahan, sehingga perlu penekanan pada efisiensi belanja

tidak langsung pada pelaksanaannya. Disamping itu perlunya efektifitas anggaran dan


(4)

prioritisasi program dalam mendukung pembangunan daerah.Belanja daerah, atau

yang dikenal dengan pengeluaran pemerintah daerah dalam Anggaran Pendapatan

dan Belanja Daerah (APBD), merupakan salah satu faktor pendorong pertumbuhan

ekonomi daerah. Karena itu, belanja daerah dikenal sebagai salah satu instrumen

kebijakan fiskal yang dilakukan pemerintah (pemerintah daerah), di samping pos

pendapatan pemerintah daerah.

Semakin besar belanja daerah diharapkan akan makin meningkatkan kegiatan perekonomian daerah (terjadi ekspansi perekonomian). Di sisi lain, semakin besar pendapatan yang dihasilkan dari pajak-pajak dan retribusi atau penerimaan-penerimaan yang bersumber dari masyarakat, maka akan dapat mengakibatkan menurunnya kegiatan perekonomian (terjadi kontraksi perekonomian).

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 30 Tahun 2006 menegaskan, belanja daerah merupakan semua pengeluaran dari rekening kas umum daerah yang mengurangi ekuitas dana lancar, yang merupakan kewajiban daerah dalam satu tahun anggaran yang tidak akan diperoleh pembayarannya kembali oleh daerah. Belanja daerah digunakan untuk pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah daerah (provinsi ataupun kabupaten/kota) yang meliputi urusan wajib dan urusan pilihan.

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 juga telah menentukan, struktur belanja terdiri dari belanja tidak langsung, dan belanja langsung. Belanja tidak langsung merupakan belanja yang dianggarkan tidak terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan yang meliputi: belanja pegawai, belanja bunga, belanja subsidi, belanja hibah, bantuan sosial, belanja bagi hasil, bantuan keuangan, dan belanja tidak terduga. Sedangkan belanja langsung merupakan belanja yang dianggarkan terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan yang meliputi: belanja pegawai, belanja barang dan jasa, serta belanja modal.

Selain itu belanja penyelenggaraan urusan wajib sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 diprioritaskan untuk melindungi dan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat dalam upaya memenuhi kewajiban daerah yang diwujudkan dalam bentuk peningkatan pelayanan dasar, pendidikan, kesehatan, fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak serta mengembangkan sistem jaminan sosial. Proyeksi belanja daerah Kabupaten Ponorogo tahun 2012 adalah sebagai berikut:


(5)

Tabel 3.2. Proyeksi Belanja Daerah Kabupaten Ponorogo Tahun 2013

Belanja Daerah

No Uraian

Tahun 2012 Tahun 2013 2.1 Belanja Tidak Langsung 845.267.216.124,50 874.085.485.027,00

2.1.1 Belanja Pegawai 770.362.177.110,00 808.063.186.127,00

2.1.2 Belanja Bunga 37.000.000,00 -

2.1.3 Belanja Subsidi - -

2.1.4 Belanja Hibah 1.627.500.000,00 1.627.500.000,00

2.1.5 Belanja Bantuan sosial 10.423.070.000,00 10.423.070.000,00

2.1.6 Belanja Bagi Hasil Kepada Propinsi/ Kabupaten/ Kota dan Pemerintah Desa

2.320.075.000,00 2.320.075.000,00 2.1.7 Belnja Bantuan Keuangan

Propinsi/ Kabupaten/Kota dan Pemerintah Desa

48.651.653.900,00 48.651.653.900,00 2.1.8 Belanja Tidak Terduga 11.845.740.114,50 3.000.000.000,00 2.2 Belanja Langsung 394.995.836.751,38 364.600.899.097,69

2.2.1 Belanja Pegawai 34.368.603.500,00

2.2.2 Belanja Barang dan Jasa 159.376.999.521,00

2.2.3 Belanja Modal 201.250.233.730,38

Jumlah Belanja 1.240.263.052.875,88 1.238.686.384.124,69 Surplus/ (Defisit) (58.972.200.333,70) (9.800.000.000,00) Sumber: DPPKAD Tahun 2012

3.3.3. Arah Pembiayaan Daerah

Pembiayaan daerah merupakan transaksi keuangan daerah yang dimaksudkan untuk menutup selisih antara pendapatan daerah dan belanja daerah. Jika pendapatan daerah lebih kecil daripada belanja daerah, maka terjadi transaksi keuangan yang defisit, dan harus ditutupi dengan penerimaan daerah. Sebaliknya, jika pendapatan daerah lebih besar daripada belanja daerah, maka terjadi transaksi keuangan yang surplus, dan harus digunakan untuk pengeluaran daerah. Karena itu, pembiayaan daerah terdiri penerimaan daerah dan pengeluaran daerah.


(6)

Sesuai Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006, penerimaan daerah berasal dari sumber antara lain, Sisa Lebih Perhitungan Anggaran Tahun Lalu (Silpa); Pencairan dana cadangan; Hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan; Penerimaan pinjaman daerah; Penerimaan kembali pemberian pinjaman; dan penerimaan piutang daerah. Sedangkan sumber pengeluaran daerah, antara lain, Pembentukan dana cadangan; Penanaman modal (investasi) pemerintah daerah; Pembayaran pokok utang; dan pemberian pinjaman daerah. Secara rinci proyeksi pembiayaan daerah tahun 2012 sebagaimana dalam tabel berikut:

Tabel 3.3. Proyeksi Pembiayaan Daerah Kabupaten Ponorogo tahun 2013

Pembiayaan Daerah

Nomor Uraian

Tahun 2012 Tahun 2013 3.1 Penerimaan Pembiayaan 59.538.450.333,70 10.300.000.000,00 3.1.1 Sisa Lebih Perhitungan Anggaran

Tahun Sebelumnya (SILPA) 59.238.450.333,70 10.000.000.000,00

3.1.2 Pencaiaran Dana Cadangan - -

3.1.3 Hasil Penjualan Kekayaan Daerah

yang dipisahkan - -

3.1.4 Penerimaan Pinjaman - -

3.1.6 Penerimaan Piutang 300.000.000,00 300.000.000,00

3.2 Pengeluaran Pembiayaan 566.250.000,00 500.000.000,00

3.2.1 Pembentukan Dana Cadangan - -

3.2.2 Penyertaan Modal (Investasi)

Pemerintah daerah 150.000.000,00 500.000.000,00

3.2.3 Pembayaran pokok hutang yang

jatuh tempo 416.250.000,00 -

3.2.4 Pemberian pinjaman daerah - -

Pembiayaan Netto 58.972.200.333,70 9.800.000.000,00 Sumber: DPPKAD Tahun 2012