Penuntutan Korporasi Oleh Jaksa Penuntut Umun Dan Pembuktian Korporasi Sebagai Pelaku Tindak Pidana Korupsi (Studi Putusan Nomor 812 Pid.Sus 2010 Pn.Bjm)

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kemajuan peradaban dan budaya manusia, dibidang ilmu pengetahuan dan
teknologi terutama kecanggihan informasi, komunikasi dan transportasi sudah
mendunia dan menjadikan planet bumi menjadi semakin kecil dan seolah-olah tak
terbatas sehingga kejadian di suatu tempat dibumi ini dengan cepat dan dalam
waktu yang singkat bahkan bersamaan dapat diketahui dibelahan bumi lainnya.
Globalisasi disegala bidang berjalan ekstra cepat sehingga tidak mungkin satu
negara mengisolasi diri secara politik, sosial budaya,ekonomi dan hukum dalam
keterkaitan negara.4
Meningkatnya pembangunan dan perkembangan ekonomi yang begitu pesat
saat ini, sebagai akibat dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi disatu sisi
telah membawa dampak yang positif bagi kehidupan masyarakat. Kemajuan
pembangunan itu sendiri dari sisi lain juga telah membawa dampak yang negatif
bagi masyarakat, antara lain dalam bentuk kejahatan ekonomi yang lebih canggih.
Kemakmuran yang melimpah membuat orang semakin ingin melindungi hartanya,
karena kemajuan teknologi juga berakibat munculnya kejahatan berbasis
teknologi tinggi, seperti cyber crime , pemalsuan uang, pemalsuan kartu kredit dan
tindak pidana korupsi yang cukup fenomenal. Tindak pidana ini tidak


4

Dwidja Priyatno, Kebijakan Legislasi Tentang Sistem Pertanggungjawaban Korporasi di

Indonesia , CV.Utomo: Bandung, 2004, hal 1.

Universitas Sumatera Utara

hanyamerugikan keuangan negara, tetapi juga merupakan pelanggaran terhadap
hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat.
Masalah korupsi bukan merupakan suatu kejahatan yang baru bagi suatu
negara karena korupsi telah ada sejak ribuan tahun yang lalu, baik dinegara maju
maupun negara-negara yang sedang berkembang.5 Jika pada masa lalu korupsi
sering diidentikkan dengan pejabat atau pegawai negeri yang telah menyalah
gunakan keuangan negara, dalam perkembangannya saat ini masalah korupsi juga
telah melibatkan anggota legislatif dan yudikatif, para bankir dan konglomerat
serta juga korporasi.
Berkenaan dengan masalah korupsi, maka menurut hasil penelitian yang
dilakukan oleh Transparency International (TI) dalam situs resminya, pada tahun

2014 Corruption Perception Index (CPI) menempatkan Indonesia sebagai negara
dengan level korupsi yang tinggi. Dalam CPI 2014 tersebut, Indonesia menempati
posisi 117 dari 175 negara didunia dengan skor 34 dari skala 0-100 (0 berarti
sangat korup dan 100 berarti sangat bersih).6
Pada tahun 2015 Survei Persepsi Korupsi 2015 dilakukan di 11 (sebelas)
kota di Indonesia. Sebelas kota tersebut adalah Pekanbaru, Semarang,
Banjarmasin, Pontianak, Makassar, Manado, Medan, Padang, Bandung,
Surabaya dan Jakarta. Survey dilakukan serentak pada 20 Mei-17 Juni 2015
kepada 1.100 pengusaha. Pengambilan sampel menggunakan stratified
random sampling yang bersumber dari Direktori Perusahaan Industri 2014
yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik. Pengambilan data dilakukan
melalui metode wawancara tatap muka dengan pengusaha dengan panduan
kuesioner survei.7

5

Edi Yunara, Korupsi dan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, PT. Citra Aditya
Bakti: Bandung, 2005, hal 1.
6
Transparency

International,
Survei
Persepsi
Korupsi
2015
http://www.ti.or.id/index.php/press-release/2015/09/15/survei-persepsi-korupsi-2015diakses
tanggal 20 Februari 2016 Pukul 12.30 WIB.
7
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

Berdasarkan survei yang telah dilakukan oleh Transparency International
(TI) diperoleh hasil kota yang memiliki skor tertinggi dalam Indeks Persepsi
Korupsi 2015 adalah kota Banjarmasin dengan skor 68. Sementara itu, kota
yang memiliki skor terendah adalah kota Bandung dengan skor 39.
Tabel 1. Indeks Persepsi Korupsi di 11 kota di Indonesia Pada
Tahun 20158
Indeks Persepsi Korupsi Tahun 2015
Kota


Skor

Banjarmasin

68

Surabaya

65

Semarang

60

Pontianak

58

Medan


57

Jakarta Utara

57

Manado

55

Padang

50

Makkasar

48

Pekanbaru


43

Bandung

39

Sumber Tabel: Transparancy Internasional

Berdasarkan hasil penelitian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa
Indonesia sebagai negara yang sangat rawan terjadinya tindak pidana korupsi.
Padahal sejak Indonesia merdeka telah dilakukan upaya pecegahan dan
pemberantasan tindak pidana korupsi. Hal ini dapat terlihat dari pengaturan
mengenai tindak pidana korupsi sudah ada sejak diberlakukannya KUHPidana

8

Sumber Tabel: Transparancy International, op.cit.

Universitas Sumatera Utara


walaupun dalam pasal-pasalnya menyebutkan “kejahatan jabatan”. Kemudian
dalam perkembangannya istilah korupsi baru ditemukan di Indonesia dalam
Peraturan Penguasa Militer No. Prt/PM 1-06/1957 dan kemudian semakin
dipertegas pemberantasannya dengan TAP MPR XI/MPR/1998 yang akhirnya
menghasilkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah dengan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 serta Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.9
Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001
merupakan babak baru dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana
korupsi. Sebab dalam undang-undang ini tidak hanya mengatur individu
(manusia) sebagai subjek hukum melainkan juga menjerat korporasi sebagai
subjek hukum. Tetapi dalam prakteknya, penuntutan korporasi sebagai pelaku
tindak pidana korupsi jarang dilakukan oleh aparat penegak hukum. 10
Hal ini dapat terlihat dari keterlibatan perusahaan-perusahaan (korporasi)
dalam tindak pidana korupsi. Misalnya PT Duta Graha Indah (DGI) terkait proyek
wisma atlet atau PT Adhi Karya dan PT Wijaya Karya dalam kasus Hambalang
supaya mendapat proyek tersebut, diduga PT Adhi Karya rela menggelontorkan
uang miliaran kepada sejumlah pihak utamanya, ke pihak kementerian Pemuda


9

Edi Yunara, Pertanggungjawaban Korporasi dalam Tindak Pidana Korupsi , Tesis, 2004,
http://library.usu.ac.id/download/fh/05002125.pdf , diakses tanggal 23 Februari 2016 pukul 11.13
WIB, hal 2.
10
Edi Rifai, PerspektifPertanggungjawaban Pidana Korporasi Sebagai Pelaku Tindak
Pidana
Korupsi,Jurnal
Ilmiah
,
Volume
26
Nomor
1,
2014,
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=281533&val=7175&title=PERSPEKTIF%20
PERTANGGUNGJAWABAN%20PIDANA%20KORPORASI%20SEBAGAI%20PELAKU%20
TINDAK%20PIDANA%20KORUPSI diakses tanggal 23 Februari 2016 pukul 13.12, hal 85.


Universitas Sumatera Utara

dan Olahraga.11Dugaan korupsi korporasi lainnya, dilakukan anggota direksi PT
Indoguna Utama menyuap seorang petinggi partai. Tujuannya agar petinggi partai
itu bisa mengkondisikan kepada salah satu kementerian guna memberikan izin
tambahan kuota impor sapi kepada perseroan terbatas tersebut.12 Selain itu, ada
dugaan beberapa pejabat Kabupaten Bogor menerima suap dari petinggi PT
Gerindo Perkasa agar mereka mau menyesuaikan peruntukan ribuan hektar tanah
dengan keinginan si pengusaha. Sampai sejauh ini, diberitakan bahwa KPK hanya
menetapkan beberapa pengurus korporasi sebagai tersangkanya. 13 Padahal,
dugaan tindak pidana korupsi itu dilakukan para pengurus korporasi untuk
kepentingan dan keuntungan korporasi dalam lingkup operasionalnya.
Meskipun Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana yang
diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi telah menetapkan korporasi sebagai subjek hukum pidana
tetapi penegak hukum masih sangat jarang menyentuh kejahatan yang dilakukan
korporasi.
Penuntutan korporasi yang masih jarang dilakukan oleh aparat penegak
hukum dipengaruhi oleh penempatan korporasi yang masih menuai pro dan

kontra. Dimana menurut KUHP bahwa korporasi sebagai subjek hukum dalam
hukum

pidana

belum

mengatur

korporasi

sebagai

subjek

hukum

11

Marlen Sitompul, Pertaruhan BPK dalam Kasus Hambalang , Jakarta, 2012, Nasional

Inilah, http://nasional.inilah.com/read/detail/2063880/ diakses tanggal 23 Februari 2016 pukul
12.04 WIB.
12
Kompas, Kasus Suap Impor Sapi, Dirut Indoguna Dituntut 4,5 Tahun,
http://nasional.kompas.com/read/2014/04/22/1148432/Kasus.Suap.Impor.Sapi.Dirut.Indoguna.Dit
untut.4.5.Tahun.Penjara diakses tanggal 23 Maret 2016 Pukul 16.03 WIB.
13
jpnn.com,
Komisaris
PT
Gerindo
Perkasa
Di
Periksa
KPK,
http://www.jpnn.com/read/2013/05/01/169924/Komisaris-PT-Gerindo-Perkasa-Diperiksa-KPK
diakses tanggal 23 Maet 2016 Pukul 15.45 WIB

Universitas Sumatera Utara

pidana.14Pandangan ini dianut KUHP dalam Pasal 59, yang dipengaruhi asas
“societas deliquere non potest ”, yaitu badan hukum tidak dapat melakukan delik.
Sementara Undang-Undang No 31 Tahun 1999 sebagaimana yang diubah dengan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 sebagai lex spesialis. Dalam undangundang ini mengemukakan subjek hukum adalah orang perorangan dan korporasi.
Dalam hal penuntutan korporasi sebagai pelaku tindak pidana korupsi undangundang ini mengatur lebih lanjut mengenai hukum acaranya berdasarkan KUHAP
(Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).
Penempatan korporasi sebagai subjek hukum pidana atau pelaku tindak
pidana dalam hukum pidana, tampaknya telah menjadi tuntutan zaman yang tidak
terelakkan untuk meningkatkan tanggung jawab negara dalam mengelola
kehidupan masyarakat yang semakin kompleks. Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) yang berlaku saat ini, hanya mengenal tindak tindak pidana yang
hanya dapat dilakukan oleh orang perorangan. Tindak Pidana (criminal act), tidak
hanya dapat dilakukan oleh manusia alamiah ( naturlijk persoon ), melainkan
korporasi dapat juga melakukan tindak pidana. Bahkan perbuatan korporasi dapat
mengakibatkan kerugian yang lebih parah bagi kehidupan masyarakat.15
Memperhatikan akibat negatif yang ditimbulkan oleh kejahatan korporasi,
maka wajar bila perhatian

penegakan hukum ditujukan pada upaya

penanggulangan kejahatan korporasi. Salah satu sarana penanggulangan yang
masih dipermasalahkan adalah penggunaan sarana hukum pidana. Maka ajaran

14

Muladi dan Dwija Priyatno, Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana ,
STHB: Bandung, 1991, hal 42
15
Mahmud Mulyadi dan Feri Antoni Surbakti, Politik Hukum Pidana Terhadap Kejahatan
Korporasi, PT Softmedia: Medan,2010, hal 9.

Universitas Sumatera Utara

atau teori pembenaran korporasi dapat bertanggung jawab dengan menempatkan
korporasi sebagai subjek hukum pidana sehingga memiliki kesetaraan yang sama
dengan manusia alamiah (naturlijk persoon ) yakni dengan diadopsinya “doctrine
of strict liability16 dan doctrine of vicarious liability.”17

Dalam menentukan tindak pidana korporasi haruslah ada dua hal yang
diperhatikan yakni pertama , perbuatan pengurus yang harus dikonstruksikan
sebagai perbuatan korporasi; kedua , menyangkut kesalahan pada korporasi.
Perkembangan pengakuan pertanggungjawaban pidana korporasi sebagai
pelaku tindak pidana adalah sesuai dengan tujuan dan fungsi hukum untuk
memberikan sarana perlindungan masyarakat dan kesejahteraan masyarakat,
sebab kecenderungan korporasi melakukan pelanggaran hukum di dalam tujuan
korporasi untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya telah menjadi
realitas masyarakat.
Pengakuan korporasi sebagai subjek dari hukum pidana, tentunya akan
menimbulkan pertanyaan baru kapan suatu korporasi dapat dikatakan sebagai
pelaku tindak pidana? Bagaimana penuntutan korporasi? Bagaimana bentuk
pertanggungjawaban korporasi apakah pengurus yang bertanggung jawab atau
hanya koporasi saja yang bertanggung jawab? Selanjutnya bagaimana pembuktian
korporasi sebagai pelaku tindak pidana?

16

Strict liability atau Prinsip tanggung jawab mutlak (no-fault liability or liability without
fault), artinya seseorang sudah dapat dipertanggung jawabkan untuk tindak pidana tertentu
walaupun pada diri orang itu tidak ada kesalahan (mens rea ) (Lihat buku Mahmud Mulyadi dan
Feri Antoni Surbakti, Ibid.)
17
Vicarius liability adalah suatu pertanggungjawaban pidana yang dibebankan kepada
seseorang atas perbuatan orang lain (the legal responsibility of one person for the wrongful acts of
another ). Bentuk pertanggung jawaban ini terjadi apabila dilakukan orang lain dalam lingkup
pekerjaan atau jabatan. (Lihat buku Mahmud Mulyadi dan Feri Antoni Surbakti, Ibid.)

Universitas Sumatera Utara

Berdasarkan hal diatas, maka penulis mengambil judul yaitu Penuntutan
Korporasi Oleh Jaksa Penuntut Umum Dan Pembuktian Korporasi
Sebagai

Pelaku

Tindak

Pidana

Korupsi

(Studi

Putusan

No.812/PID.SUS/2010/PN.BJM).

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka yang menjadi rumusan
masalah adalah:
1. Bagaimana penuntutan korporasi oleh Jaksa Penuntut Umum sebagai
terdakwa tindak pidana korupsi?
2. Bagaimana pembuktian Korporasi sebagai pelaku tindak pidana korupsi
dalam putusan pengadilan?

C. Tujuan dan Manfaat penulisan
Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini adalah:
1. Untuk mengetahui penuntutan korporasi oleh Jaksa Penuntut Umum
Korporasi sebagai terdakwa dalam tindak pidana korupsi.
2. Untuk mengetahui pembuktian Korporasi sebagai pelaku tindak pidana
korupsi dalam putusan pengadilan.
Adapun manfaat dari penulisan skripsi ini adalah:
1. Sebagai bahan informasi bagi mahasiswa Fakultas Hukum pada khususnya
dalam hal penuntutan dan pembuktian korporasi sebagai subjek hukum
pidana.

Universitas Sumatera Utara

2. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan khusus bagi Jaksa Penuntut
Umum dalam melakukan penuntutan terhadap korporasi.

D. Keaslian Penulisan
Mengenai keaslian penulisan skripsi ini dibuat sendiri oleh penulis dengan
melihat dasar-dasar yang telah ada baik melalui literatur maupun pengumpulan
data-data yang dihimpun dari berbagai sumber seperti buku-buku, peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan judul skripsi ini serta melalui media
elektronik seperti internet, sekaligus dari hasil pemikiran penulis sendiri.
Sepenjang penulusuran di Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara yang dilakukan oleh penulis belum terdapat judul yang sama
dengan judul yang ditulis oleh penulis dalam skripsi ini. Dengan kata lain, skripsi
ini belum pernah ada yang membuat, kalaupun ada subtansi pembahasannya
berbeda, sehingga skripsi ini benar-benar merupakan tulisan yang berbeda dengan
tulisan

lain.

Dengan

demikian,

keaslian

penulisan

skripsi

ini

dapat

dipertanggungjawabkan.

E. Tinjauan Pustaka
1. Korupsi dan Ruang Lingkup Tindak Pidana Korupsi
a. Pengertian Tindak Pidana
Sebelum menguraikan mengenai pengertian korupsi, terlebih dahulu akan
diuraikan pengertian tentang tindak pidana. Pembentuk Undang-undang kita

Universitas Sumatera Utara

menggunakan istilah strafbaarfeit untuk menyebutkan nama tindak pidana, tetapi
tidak memberikan penjelasan secara rinci mengenai strafbaarfeit tersebut.18
Dalam bahasa Belanda strafbaarfeit terdapat dua unsur pembentuk kata,
yaitu strafbaar dan feit. Perkataan feit dalam bahasa Belanda diartikan sebagian
dari kenyataan, sedangkanstrafbaar berarti dihukum, sehingga secara harfiah
perkataan strafbaarfeit berarti sebagian dari kenyataan yang dapat dihukum.19
Adami Chazawi telah menginventarisasi sejumlah istilah-istilah yang pernah
digunakan baik dalam perundang-undangan yang ada maupun dalam berbagai
literatur hukum sebagai terjemahan dari istilah strafbaarfeit, yaitu sebagai
berikut:20
1. Tindak Pidana, dapat dikatakan berupa istilah resmi dalam perundangundangan pidana kita. Dalam hampir seluruh peraturan perundangundangan menggunakan istilah tindak pidana, seperti dalam Undangundang No.6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta, UU No.31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. UU No. 20 Tahun
2001.
2. Peristiwa Pidana, digunakan oleh beberapa ahli hukum, misalnya: Mr.R
Tresna dalam Bukunya “Asas-Asas Hukum Pidana” Mrs. Drs.H. J van
Schravendijk dalam buku pelajaran tentang Hukum Pidana Indonesia,
Prof. A. Zainal Abidin, S.H dalam bukunya “Hukum Pidana”. Pembentuk

18

Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi. Sinar Grafika: Semarang,2005, hal 5.
Ibid.
20
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1 , Raja Grafindo: Jakarta, 2002,
hal 67-68.
19

Universitas Sumatera Utara

Undang-Undang juga pernah menggunakan istilah peristiwa pidana yaitu
dalam UUD’S 1950 [baca Pasal 14 ayat (1)];
3. Delik, yang sebenarnya berasal dari bahasa latin “ delictum” juga
digunakan untuk menggambarkan tentang apa yang dimaksud dengan
strafbaar feit. Istilah ini dapat dijumpai dalam berbagai literatur, misalnya

Prof.Drs. E.Utrecht, S.H, walaupun juga beliau menggunakan istilah lain
yakni peristiwa pidana (dalam buku Hukum Pidana I);
4. Pelanggaran Pidana, dapat dijumpai dalam buku Mr. M.H Tirtaadmidjaja
yang berjudul Pokok-Pokok Hukum Pidana;
5. Perbuatan yang boleh dihukum, istilah ini digunakan oleh M.Karni dalam
buku beliau “Ringkasan tentang Hukum Pidana” begitu juga Schravendijk
dalam bukunya “Buku Pelajaran tentang Hukum Pidana Indonesia”;
6. Perbuatan yang dapat dihukum, digunakan oleh Pembentuk UndangUndang di dalam UU No.12/Drt/1951 tentang senjata Api dan Bahan
Peledak (Pasal 3);
7. Perbuatan Pidana, digunakan oleh Prof. Mr. Moeljatno dalam berbagai
tulisan beliau, misalnya dalam buku Asas-Asas Hukum Pidana.
Istilah yang dipergunakan oleh Konsep KUHP Baru sebagai terjemahan dari
istilah strafbaarfeit adalah tindak pidana.
b. Pengertian Korupsi
Tindak pidana korupsi sudah terjadi sejak zaman dahulu dan merupakan
suatu peristiwa universal yang dapat terjadi di seluruh dunia termasuk Indonesia.
Terminologi korupsi dari bahasa latin yaitu “corruptio” atau “corruptus”, berasal

Universitas Sumatera Utara

dari kata “corrumpere” adalah suatu kata dari bahasa latin.21 Kemudian muncul
dalam bahasa Inggris dan Perancis “corruption”, dalam bahasa Belanda
“korruptie ” dan selanjutnya dalam bahasa Indonesia dengan sebutan “korupsi”.
Korupsi secara harfiah berarti jahat atau busuk. Oleh karena itu, tindak pidana
korupsi berarti suatu delik akibat perbuatan buruk, busuk, jahat, rusak atau suap.22
Hal seperti itu dikemukakan pula oleh Henry Campbell Black, yang
mengartikan korupsi sebagai:“an act done with an intent to give some advantage
inconsistent with official duty and the rights of others ”. (Terjemahan bebas: suatu

perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu keuntungan
yang tidak sesuai dengan kewajiban resmi dan hak-hak dari pihak lain).
A.S Hornby dan kawan-kawan mengartikan istilah korupsi sebagai suatu
pemberian atau penawaran dan penerimaan hadiah berupa suap ( the offering and
accepting of bribes), serta kebusukan atau keburukan (decay). Sedangkan David

M. Chalmer menguraikan pengertian korupsi dalam berbagai bidang, antara lain
menyangkut masalah penyuapan yang berhubungan dengan manipulasi dibidang
ekonomi, dan menyangkut bidang kepentingan umum.23
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia24, dimuat pengertian korupsi sebagai
berikut:“penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan, dan
sebagainya untuk keuntungan pribadi atau orang lain”.

21

H.Juni Sjafrien Jahja, Say No To Korupsi, Visi Media: Jakarta, 2012, hal 7.
Darwin Prints, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, PT. Citra Aditya Bakti: Medan,
2000, hal 1.
23
H. Elwi Danil, Korupsi Konsep, Tindak Pidana dan Pemberantasannya , PT.RajaGrafindo
Persada: Jakarta, 2011, hal 3.
24
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia , Balai
Pustaka: Jakarta, 1989, hal 461.
22

Universitas Sumatera Utara

Keanekaragaman pengertian istilah korupsi seperti tergambar diatas, dapat
mengakibatkan timbulnya kesulitan untuk memberikan jawaban atas pertanyaan
tentang apa yang dimaksud dengan korupsi sebagai konsep. Atau dengan kata
lain, keanekaragaman pengertian istilah korupsi dapat menimbulkan kesulitan
dalam menarik suatu batasan mencakup tentang makna korupsi.
Dalam sejarah kehidupan hukum pidana Indonesia, istilah korupsi pertama
kali digunakan di dalam Peraturan Penguasa Militer Nomor Prt/PM-06/1957,
sehingga korupsi menjadi suatu istilah hukum. Penggunaan istilah korupsi dalam
peraturan tersebut terdapat pada bagian konsideranya, yang antara lain
menyebutkan, bahwa perbuatan-perbuatan yang merugikan keuangan dan
perekonomian negara yang oleh khalayak ramai dinamakan korupsi.25
Secara yuridis pengertian korupsi jenisnya tercantum di dalam Undangundang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
yang telah diubahkan dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001. Dalam
undang-undang ini pengertian korupsi tidak hanya bersangkut paut dengan
perbuatan yang merugikan keuangan atau perekonomian negara saja, tetapi juga
menyangkut pengertian lain, seperti penyuapan, penggelapan. Pemalsuan,
merusak barang bukti atau pemerasan dalam jabatan, gratifikasi dari perbuatan
tersebut tidak saja merugikan negara, tetapi merugikan masyarakat.
Mengenai pengertian korupsi secara yuridis di atas, penting artinya dan
dengan memahami pengertian tersebut, diharapkan pemberantasan korupsi tidak
lagi diarahkan semata-mata kepada penindakan (represif), tetapi seyogyanya lebih

25

H. Elwi Danil, op.cit, hal 4.

Universitas Sumatera Utara

mengedapankan pencegahan (preventif), sehingga pemberantasan korupsi
diharapkan tidak hanya sekedar memberikan efek jera ( deterrence effect), tetapi
berfungsi sebagai daya tangkal (preventive effect ).
c. Ruang Lingkup Tindak Pidana Korupsi
Menurut perspektif hukum, defenisi korupsi secara gamblang telah
dijelaskan dalam 13 (tiga belas) buah pasal dalam Undang-Undang No. 31 Tahun
1999 jo. Undang-undang No. 20 Tahun 2001. Berdasarkan pasal-pasal tersebut,
korupsi dirumuskan ke dalam tiga puluh bentuk/jenis tindak pidana korupsi.
Pasal-pasal tersebut menerangkan secara terperinci mengenai perbuatan yang bisa
dikenakan pidana penjara kerena korupsi.
Undang-undang No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi sebagaimana telah diubahkan dengan Undang-Undang No 20 Tahun
2001, memberikan batasan yang dapat dipahami dari bunyi teks pasal-pasal,
kemudian mengelompokkannya dalam beberapa delik.26 Jika dilihat dari kedua
undang-undang di atas, dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1. Memperkaya diri sendiri/ orang lain dengan melawan hukum
Hal ini di atur dalam Pasal 2 UU No.31 Tahun 1999, yang bunyinya sebagai
berikut:
(1) “setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana
penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat
4 (empat) tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp
1.000.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
26

Chaeruddin, dkk , Strategi Pencegahan dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi ,
Refika Aditama: Jakarta, 2007, hal 5.

Universitas Sumatera Utara

(2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan dalam keadaan tertentu.”
Berdasarkan rumusan Pasal 2 tersebut yang dimaksud dengan melawan
hukum adalah mencakup pengertian perbuatan melawan hukum secara formil
maupun materil. Melawan hukum secara formil berarti perbuatan yang melanggar/
bertentangan dengan undang-undang. Sedangkan melawan hukum secara materil
berarti bahwa meskipun perbuatan itu tidak diatur dalam peraturan perundangundangan, namun apabila perbuatan itu dianggap tercela karena tidak sesuai
dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat.27
Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau
korporasi, adapun perbuatan yang dilakukan menurut elemen ini apabila dengan
perbuatan melawan hukum itu pelaku, orang lain, atau korporasi menikmati
bertambahnya kekayaan atau harta benda miliknya. 28
“Merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” dijelaskan pada
penjelasan umum Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, sebagai berikut:
“Keuangan negara dimaksud adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk
apapun yang dipisahkan termasuk didalamnya segala bagian kekayaan
negara dalam bentuk apapun yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan
termasuk didalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan
kewajiban yag timbul karenanya:
a) Berada dalam penguasaan, pengurusan dan mempertanggung-jawabkan
pejabat lembaga negara baik ditingkat pusat maupun ditingkat daerah;
b) Berada dalam penguasaan, pengurusan dan mempertaggungjawabkan
Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, yayasan,
badan hukum dan perusahaan yang menyertakan modal negara, atau
perusahaan yang menyertakan modal ketiga berdasarkan perjanjian
dengan negara.”

27
28

Darwin Prints, op.cit,. hal 29.
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

Sedangkan yang dimaksud dengan “perekonomian negara” adalah
kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas
kekeluargaan ataupun usaha masyarakat secara sendiri yang didasarkan pada
kebijaksanaan Pemerintah, baik ditingkat pusat maupun di daerah sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan

yang berlaku yang bertujuan

memberikan manfaat kemakmuran dan kesejahteraan kepada seluruh kehidupan
rakyat.29
2. Penyalahgunaan kewenangan
Penyalahgunaan kewenangan diatur dalam Pasal 3 Undang-undang No 31
tahun 1999 yang menyatakan:
“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang
lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau
sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan
pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu)
tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit
Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp
1.000.000,00 (satu milyar rupiah)”
Perlu dipahami, bahwa pelaku tindak pidana menurut pasal ini adalah setiap
orang yakni orang perorangan dan korporasi yang menyalahgunakan kewenangan
yang ada padanya karena jabatan atau kedudukannya. Oleh karena itu, pelaku
tindak pidana korupsi menurut pasal 3 haruslah seorang pejabat/Pegawai Negeri. 30
Tujuan dari perbuatan itu adalah untuk menguntungkan diri sendiri atau
orang lain atau suatu korporasi yang dapat dihitung dengan uang karena akibat
yang ditimbulkan berupa kerugian keuangan negara, meskipun akibat lebih jauh
29

Leden Marpaung, Tindak Pidana Korupsi (Pemberantasan dan Pencegahan) , Djambatan:
Jakarta, 2001, hal 33.
30
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

lagi dapat berupa kerugian perekonomian negara tetapi karena pemakaian uang
yang tidak jujur.31
Menyalagunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya
karena jabatan atau kedudukan kewenangan berarti kekuasaan/hak. Jadi, dalam
hal ini yang disalahgunakan adalah kekuasaan atau hak yang ada pada pelaku.
Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara berarti
mengganggu keuangan negara atau perekenomian negara. Keuangan negara
adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun juga, yang dipisahkan atau
yang tidak terpisahkan. Termasuk didalamnya adalah segala seluruh kekayaan
negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena berada dalam
penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban pejabat, lembaga negara baik di
pusat maupun daerah.32

3. Suap menyuap
Tindak pidana korupsi suap berasal dari tindak pidana suap (omkoping)
yang ada dalam KUHP. KUHP sendiri membedakan antara 2 (dua) kelompok
tindak pidana suap, yakni tindak pidana memberi suap dan tindak pidana
menerima suap. Kelompok pertama disebut dengan suap aktif (active omkoping),
subjek hukumnya adalah pemberi suap. Dimuat dan menjadi bagian dari kejahatan
terhadap penguasa umum (Bab VIII Buku II), yakni Pasal 209 dan Pasal 210.
Kelompok kedua yang disebut dengan suap pasif (passive omkoping), subyek
hukumnya adalah pegawai negeri yang menerima suap. Dimuat dan menjadi
31
32

Leden Marpaung, op.cit., hal 38.
Darwin Prinst, op.cit., hal 34.

Universitas Sumatera Utara

bagian dari kejahatan jabatan (Bab XVIII Buku II), yakni Pasal 418, Pasal 419,
dan Pasal 420. Jadi, tindak pidana suap dalam KUHP ada 5 (lima) pasal.33
Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 pasal-pasal suap dari KUHP
ini juga ditarik kedalamnya sebagai bagian tindak pidana korupsi. Masuk ke
dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 11, Pasal 12 dengan cara menarik pasal-pasal
tersebut tanpa menyebut atau merumuskan kembali rumusan tindak pidananya.34
Namun kemudian di dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, yang
diundangkan untuk memperbaiki Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999,
menarik kejahatan-kejahatan suap menjadi tindak pidana korupsi tidak dilakukan
lagi dengan cara sekedar menarik dengan menyebut pasal-pasal dalam KUHP.
Akan tetapi menarik rumusannya dengan beberapa perubahan, baik dengan
mengubah, mengurangi, atau menghilangkan maupun dengan menmbah rumusan,
menjadi tidak sama persis bunyinya dengan rumusan aslinya. Namun secara
subtantif tidaklah berbeda. Kemudian dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun
2001 Pasal 209, Pasal 210, Pasal 418, Pasal 419, Pasal 420 dinyatakan tidak
berlaku lagi.

4. Penggelapan dalam jabatan
Korupsi yang terkait dengan penggelapan jabatan yaitu, pegawai negeri
menggelapkan uang, atau membiarkan penggelapan, pegawai negeri memalsukan
buku untuk pemeriksaan administrasi, pegawai negeri merusakkan bukti, pegawai

33

Lilik Mulyadi, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia Normatif, Teoritis, Praktik dan
Masalahnya , PT Alumni:Bandung, 2007, hal 169.
34
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

negeri membiarkan orang lain merusakkan bukti, pegawai negeri membantu orang
lain merusakkan bukti.
Tindak pidana menyalahgunakan wewenang, jabatan atau amanah tersebut
adalah tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang yang memiliki jabatan atau
kedudukan. Seseorang tersebut menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau
sarana

padanya,

karena

jabatan

atau

kedudukan

tersebut

bertujuan

menguntungkan diri sendiri atau orang lain, atau korporasi.
Penggelapan dalam jabatan diatur dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang redaksional
selengkapnya sebagai berikut:
Pasal 8
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling
lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp
150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp
750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah), pegawai negeri atau
orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan
umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja
menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya,
atau membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil atau digelapkan
oleh orang lain, atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut.
Pasal 9
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling
lama 5 (lima) tahun dan denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh
juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta
rupiah) pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas
menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk
sementara waktu, dengan sengaja memalsu buku-buku atau daftar-daftar
yang khusus untuk pemeriksaan administrasi.
Pasal 10
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling
lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 100.000.000,00
(seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 350.000.000,00 (tiga ratus lima

Universitas Sumatera Utara

puluh juta rupiah) pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang
diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau
untuk sementara waktu, dengan sengaja:
a. menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat
dipakai barang, akta, surat, atau daftar yang digunakan untuk
meyakinkan atau membuktikan di muka pejabat yang berwenang, yang
dikuasai karena jabatannya; atau
b. membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan,
atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar
tersebut; atau
c. membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan,
atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar
tersebut.
5. Pemerasan
Kelompok delik yang terkait dengan pemerasan yaitu, pegawai negeri
memeras, pegawai negeri memeras pegawai negeri lainnya. Pemerasan diatur
dalam Pasal 12 huruf e, Pasal 12 huruf f, Pasal 12 huruf g Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang redaksional
selengkapnya sebagai berikut:
Pasal 12 huruf e
Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud
menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum atau
dengan menyalahgunakan kekuasaanya memaksa seorang memberi sesuatu,
membayar atau menerima pembayaran dengan potongan atau untuk
mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri.
Pasal ini berasal dari Pasal 423 KUHP yang sehari-hari dikenal dengan “pungutan
liar” (pungli).35

Pasal 12 huruf f
Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan
tugas, meminta, menerima, atau memotong pembayaran kepada pegawai
35

Leden Marpaung, Op.Cit, hal 69.

Universitas Sumatera Utara

negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kas umum tersebut
mempunyai utang kepadanya, padahal diketahui bahwa hal tersbut bukan
merupakan utang.
Pasal ini diadopsi dari Pasal 425 ayat (1) KUHP. Pasal ini biasa disebut tindak
pidana “pemerasan”.
Pasal 12 huruf g
Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan
tugas meminta atau menerima pekerjaan atau penyerahan barang seolaholah merupakan utang kepada dirinya, padahal diketahui bahwa hal
tersebut bukan merupakan utang.
Pasal ini diadopsi dari Pasal 425 ayat (2) KUHP.

6. Perbuatan curang
Korupsi yang terkait dengan perbuatan curang, yaitu pemborong berbuat
curang; pengawas proyek membiarkan perbuatan curang; rekanan TNI/POLRI
membiarkan perbuatan curang; pengawas rekanan TNI/POLRI membiarkan
perbuatan curang; pegawai negeri menyerobot tanah negara sehingga merugikan
orang lain. Pasal mengenai perbuatan curang diatur dalam Pasal 7 dan Pasal 12
huruf h Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999, yang redaksional selengkapnya sebagai berikut:
Pasal 7
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling
lama 7 (tujuh) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp
100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp
350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah):
a. pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan
atau penjual bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan
bangunan melakukan perbuatan yang dapat membahayakan
keamanan orang atau barang atua keselamatan negara dalam keadaan
perang.

Universitas Sumatera Utara

b. setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau
penyerahan bahan bangunan sengaja membiarkan perbuatan curang
sebagaimana dimaksud dalam hufuf a.
c. setiap orang pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara
Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara republik Indonesia
melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan
keselamatan negara dalam keadaan perang.
d. setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan
Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik
Indonesia dengan sengaja membiarkan perbuatan curang
sebagaimana yang dimaksud dalam huruf c.
(2) Bagi orang yang menerima penyerahan bahan bangunan atau orang
yang menerima penyerahan barang keperluan Tentara Nasional
Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dan
membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
huruf c, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1).
Mencermati Pasal 7 tersebut perlu dibahas ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c
dan huruf d. Pasal 7 ayat (1) huruf a 36 terdapat unsur “pemborong atau ahli
bangunan” dalam Bahasa Belanda disebut “ aan-nemer ” yang artinya menerima
atau setuju sehingga dapat diarikan seseorang yang telah menyatakan persetujuan
untuk mengerjakan sesuatu pemberi kerja.

dan ahli bangunan disebut

“bouwmester” berarti seseorang yang bertanggung jawab atas pembangunan suatu
bangunan bagi pemberi kerja.
Pasal 7 ayat (2) ditujukan kepada pengawas proyek yang mebiarkan
perbuatan curang. Unsur pertama dalam pasal ini adalah “orang yang bertugas
mengawasi pembangunan atau penyerahan bahan bangunan”37 artinya, hanya
mereka yang ditugaskan untuk melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan
pekerjaan yang harus dilakukan para pemborong dan mengawasi penyerahan
bahan bangunan yang dapat melakukan tindak pidana ini.
36
37

Leden Marpaung, Op.Cit., hal 57.
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

Selanjutnya dalam Pasal 7 ayat (1) huruf c ditujukan kepada rekann
TNI/POLRI yang membiarkan perbuatan curang. Sementara itu, dalam Pasal 7
ayat (1) huruf d yang dapat melakukan tindak pidana ini adalah pengawas rekanan
TNI/POLRI yang mebiarkan perbuatan curang.
Pasal 12 huruf h
Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan
tugas, telah menggunakan tanah negara yang diatasnya terdapat hak pakai,
seolah-olah sesuai dengan peraturan perundang-undangan, telah merugikan
orang yang berhak, padahal diketahuinya bahwa perbuatan tersebut
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal ini berasal dari Pasal 425 yat (3) KUHP. Pada naskah asli Pasal 425 ayat
(3), dipakai kata “beschikken” yang diterjemahkan sekarang dalam Pasal 12 huruf
h “menggunakan” arti sebenarnya dari “beschikken” adalah “menguasai”.38

7. Benturan kepentingan dalam pengadaan barang dan jasa
Korupsi yang terkait dengan benturan kepentingan dalam pengadaan barang
dan jasa, yaitu pegawai negeri turut serta dalam pengadaan yang diurusnya. Pasal
yang berkaitan dengan benturan kepentingan dalam pengadan barang dan jasa
diatur dalam Pasal 12 huruf i Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.Ketentuan pasal ini berasal dari Pasal 435 KUHP. 39

38
39

Leden Marpaung, Op.Cit., hal 72.
Ibid. hal 73

Universitas Sumatera Utara

8. Gratifikasi
Pasal mengenai gratifikasi diatur dalam Pasal 12B ayat (1) dan (2) jo Pasal
12C ayat (1), (2), (3) dan (4). Pemberian gratifikasi hanya dibatasi kepada
pegawai negeri atau penyelenggara negara. Pemberian gratifikasi kepada pegawai
negeri dan penyelenggara negara tidak melanggar hukum selama pemberian
tersebut tidak berhubungan dengan jabatan atau bertentangan dengan kewajiban
dan tugasnya.40
Pemberian

gratifikasi

memperbesar

peluang

munculnya

konflik

kepentingan (conflict of interst). Hal ini menjadikan pemberian gratifikasi kepada
pegawai negeri atau penyelenggara negara tidak dapat hanya dianggap sebagai
pemberian tanpa disertai kepentingan pemberiannya. Itulah mengapa rumusan
dalam penjelasan Pasal 12B UUPTPK, gratifikasi yang dianggap suap dibatasi
unsur-unsurnya, yaitu:
a) Gratifikasi tersebut berhubungan dengan jabatan pegawai negeri atau
penyelenggara negara yang menerimanya.
b) Gratifikasi tersebut berlawanan dengan kewajiban atau tugas dari pegawai
negeri atau penyelenggara negara yang menerimannya. Artinya, setelah
menerima gratifikasi tersebut pegawai negeri atau penyelenggara negara
itu melakukan perbuatan yang diharapkan dari pemberi, yang berlawanan
dengan tugas dan kewajibannya.

40

Lalola Easter, dkk, Studi Tentang Penerapan Pasal Gratifikasi Yang Dianggap Suap
Pada Undang-Undang Tipikor , Policy Paper: Jakarta, 2014, hal 19-20.

Universitas Sumatera Utara

2. Korporasi Sebagai Subjek Hukum Pidana
Berbicara mengenai Korporasi, tidak dapat dilepaskan dari sudut pandang
hukum perdata. Sebab korporasi merupakan terminologi yang erat kaitannya
dengan badan hukum (rechtpersoon) dan badan hukum itu sendiri merupakan
terminologi yang erat kaitannya dengan bidang hukum perdata.41
Konsep “korporasi” pada mulanya dikembangkan pada hukum Romawi,
lebih dari seribu tahun yang lalu, tetapi sebegitu jauh hingga abad ke XVIII, tidak
mengalami perkembangan.42
Secara etimologi tentang kata korporasi (Belanda: corporatie , Inggris:
corporation, Jerman: korporation) berasal dari kata “corporatio” dalam bahasa

Latin. Seperti halnya kata-kata lain yang berakhir dengan “tio”, maka corporatio
sebagai kata benda, berasal dari kata corporare yang berasal dari kata “corpus”
(Indonesia: badan), yang berarti memberikan badan atau membadankan. Dengan
demikian, corporatio itu berarti hasil dari pekerjaan membadankan, dengan lain
perkataan badan yang dijadikan orang, badan yang diperoleh dengan perbuatan
manusia, yang terjadi menurut alam.43
Saat ini sebutan korporasi terus berkembang dan banyak ditemui dan
tersebar dalam berbagai buku karangan, Bahkan dalam beberapa ketentuan aturan
hukum yang dikeluarkan pemerintah juga telah dicantumkan kata-kata
korporasi44, misalnya dalam Undang-undang No 8 Tahun 1999 tentang
perlindungan konsumen, Undang-Undang No 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang
41

Muladi dan Dwija Priyatno, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Kencana Prenada
Media Grup: Bandung,2009, hal. 23.
42
Edi Yunara, Korupsi...., op.cit., hal. 9
43
Ibid.
44
Ibid, hal. 10.

Universitas Sumatera Utara

No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UndangUndang No 40 Tahun 2007 tentang Perseoran Terbatas, serta berbagai aturan
hukum lainnya.
Pengertian korporasi menurut Black’s Law Dictionary, yaitu:
“An Entity (usually a bussiness) having authority under law to act as a
single person distinct from the shareholders who own it and having rights to
issue stock and exist indefinitely, a groupor succession of person established
in accordance with legal rules into a legal or juristic persons who make it
up, exist indefinitely apart from them, and has the legal powers that is
constitution give it”45
Berdasarkan perngertian korporasi menurut Black’s Law Dictionary, maka
penulis menerjemahkan sebagai berikut: Korporasi adalah sebuah badan yang
menurut hukum berwenang untuk bertindak sebagai perseorangan dari para
pemilik saham dan memiliki hak untuk mengeluarkannya tanpa terbatas, sebuah
badan atau perorangan yang ditetapkan sesuai dengan aturan hukum dan memiliki
kekuatan hukum.
Sehubungan dengan itu, berikut ini dapat dikemukakan pengertian korporasi
yang dikemukakan oleh beberapa sarjana:46
1. Utrecht menyatakan bahwa badan hukum (korporasi) adalah badan yang
menurut hukum berwenang menjadi pendukung hak, atau setiap pendukung
hak yang tidak berjiwa..
2. Rachmat Soemitro: Badan hukum (korporasi) adalah suatu badan yang dapat
mempunyai harta, hak, serta berkewajiban seperti orang pribadi.
3. Wirjono Prodjodikoro: Badan hukum (korporasi) adalah badan yang di
samping manusia perseorangan juga dapat dianggap bertindak dalam hukum
dan mempunyai hak-hak, kewajiban, dan berhubungan hukum terhadap orang
lain atau badan lain.
Berdasarkan pada pendapat-pendapat tersebut diatas dapat disimpulkan
bahwa korporasi merupakan badan hukum. Badan hukum dianggap subjek hukum
Bryan A Garner, Black’s Law Dictionary, Nirth Edition, St Paul Minim West Publishing,
Co, 2009, hal 391.
46
M. Arief Amrullah, Kejahatan Korporasi, Bayumedia Publishing: Jember, 2004, hal 202
45

Universitas Sumatera Utara

dikarenakan dianggap sebagai orang yang dapat menjalankan segala tindakan
hukum dengan segala resiko yang timbul sehingga badan hukum tersebut dapat
menuntut sebagai subjek hukum maupun dituntut oleh subjek hukum lainnya
dimuka pengadilan.
Menurut David J.R, secara umum korporasi memiliki 5 (lima) ciri penting
yaitu:47
1. Merupakan subjek hukum “buatan” yang memiliki kedudukan hukum
khusus;
2. Memiliki jangka waktu hidup tak terbatas;
3. Memperoleh kekuasaan (dari negara) untuk melakukan kegiatan bisnis
tertentu;
4. Dimiliki oleh pemegang saham/modal/aset;
5. Tanggung jawab pemegang saham terhadap kerugian korporasi biasanya
sebatas saham yang dimiliki.
Bertitik tolak dari pandangan hukum perdata yang mengenal adanya dua
macam subjek hukum dalam lalu-lintas hukum, tidaklah demikian dengan Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang hanya mengenal orang
perseorangan sebagai subjek hukum pidana. Akan tetapi dalam perkembangan
selanjutnya, baik dalam hukum pidana khusus pengaturan korporasi sebagai
subjek hukum pidana, sudah dikenal dalam peraturan perundang-undangan.
Undang-undang Drt. No.7 tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi,
sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 15 Undang-undang Drt. No 7 Tahun
1955 tersebut menyatakan:
“jika suatu tindak pidana ekonomi dilakukan oleh atau atas nama suatu
badan hukum, suatu perseroan, suatu perikatan orang atau yayasan, maka
tuntutan pidana dilakukan dan hukuman pidana serta tindakan tata tertib
dijatuhkan baik terhadap badan hukum perseroan, perserikatan atau yayasan
47

Marwan Effendy, Diskresi, Penemuan Hukum, Korporasi & Tax Amnesty Dalam
Penegakan Hukum: Jakarta, 2012, hal 86.

Universitas Sumatera Utara

itu baik terhadap mereka yang memberi perintah melakukan tindak pidana
ekonomi itu atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan atau
kelalaian itu maupun terhadap kedua-duanya.”
Dengan demikian, korporasi sebagai subjek hukum pidana di Indonesia
hanya ditemukan dalam peraturan perundang-undangan khusus di luar KUHP,
yang merupakan pelengkap KUHP, sebab untuk hukum pidana umum atau
KUHAP itu sendiri masih menganut subjek hukum pidana secara umum yaitu
manusia.48
Dalam perkembangan hukum pidana khususnya bidang korupsi sudah
menetapkan korporasi sebagai subjek hukum disamping orang. Hal ini terlihat
dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyebutkan bahwa “setiap orang
adalah orang perorangan atau termasuk korporasi”
Jika yang dimaksudkan orang perorangan itu termasuk korporasi, maka
secara hipotesis bahwa setiap korporasi yang melakukan perbuatan melawan
hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dapat dipidana
sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang
Pemeberantasan Tindak Pidana Korupsi (UUPTPK). 49
Meskipun Korporasi telah ditentukan sebagai subjek hukum dalam berbagai
ketentuan pidana khusus tetapi penegakan hukum terhadap korporasi yang
melakukan tindak pidana korupsi masih sangat sulit dilaksanakan. Dalam delik
korupsi terlihat banyak kesulitan untuk menjadikan korporasi sebagai subjek
48
49

Muladi dan Dwijda Priyatno,Pertanggungjawaban pidana....,op.cit., hal 13
Henry Donal Lumban Toruan, op.cit., hal 5

Universitas Sumatera Utara

hukum karena sulit membuktikan adanya kesalahan terutama dalam bentuk
“sengaja” suatu korupsi.
Tentulah tidak semua dalam delik korupsi menempatkan korporasi sebagai
subjek. Semua rumusan delik yang subjeknya mempunyai kualitas tertentu
sebagai “pegawai negeri atau pejabat” tidak mungkin korporasi menjadi subjek
delik. Dengan ditetapkannya korporasi sebagai subjek hukum, juga mendapat
tanggapan dari ahli hukum Muladi yang mengatakan bahwa dengan diterimanya
korporasi sebagai subjek hukum tindak pidana, hal ini menimbulkan
permasalahan dalam hukum pidana di Indonesia, khususnya menyangkut masalah
pertanggungjawaban korporasi.50
Masalah pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana korupsi
adalah segi lain dari subjek tindak pidana korupsi. Pemahaman terhadap masalah
subjek tindak pidana korupsi dapat meliputi dua hal, yaitu: Pertama, siapa yang
melakukan

tindak

pidana

(si

pembuat).

Kedua,

siapa

yang

dapat

dipertanggungjawabkan.51
3. Penuntutan dan Jaksa Penuntut Umum
Pengertian Jaksa52 dan Kejaksaan berdasarkan Pasal 1 angka 6a dan 6b
KUHAP sebagai berikut:53

50

Ibid, hal 6.
H. Elwi Danil, op.cit., hal 111
52
Sejak berlakunya KUHAP maka Jaksa/Penuntut umum tidak berwenang melakukan
penyidikan perkara oleh karena hal ini merupakan wewenang dari kepolisian dan pegawai negeri
sipil tertentu yang diberi kewenwngan khusus oleh undang-undang. Oleh karena itu, Indonesia
menganut “sistem tertutup” artinya tertutup kemungkinan jaksa atau penuntut umum melakukan
penyidikan meskipun dalam arti isidental dalam perkara-perkara berat khususnya dari segi
pembuktian dan masalah teknik yuridisnya. (Lihat buku Lilik, Mulyadi, Hukum Acara Pidana
Suatu Tinjauan Khusus Terhadap Surat Dakwaan, Eksepsi, dan Putusan Peradilan , PT Citra
Aditya Bakti: Bandung, 1996, hal 23).
51

Universitas Sumatera Utara

a) Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk
bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
b) Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang
ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.
Dari perumusan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa penuntut umum
adalah Jaksa, tetapi sebalikya jaksa belum tentu Penuntut Umum. Atau dengan
kata lain tidak semua Jaksa adalah Penuntut Umum, tetapi semua penuntut umum
adalah Jaksa. Karena menurut ketentuan tersebut hanya jaksalah yang dapat
bertindak sebagai penuntut umum apabila ia menangani tugas penuntutan. 54
Rumusan Pasal 1 angka 6a ini mengenai “jaksa” diperluas dalam UndangUndang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia dalam
Pasal 1 angka 1 bagian ketentuan umum sebagai berikut:
a) Jaksa adalah pejabat funsional yang diberi wewenang oleh undang-undnag
ini untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum serta wewenang lain
berdasarkan undang-undang.
b) Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang
ini melakukan penuntutan dan melaksankan penetapan hakim.
c) Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara
ke Pengadilan Negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang

54

Harun M. Husein,Penyidikan dan Penuntutan Dalam Proses Pidana , Rineka Cipta:
Jakarta, 1990, hal 223.

Universitas Sumatera Utara

diatur dalam Hukum Acara Pidana dengan permintaan supaya diperiksa
dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan.
d) Jabatan Fungsional adalah jabatan yang bersifat keahli

Dokumen yang terkait

Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Pencabulan (Analisis Yuridis Putusan Pengadilan Negeri Boyolali No. 142/Pid.Sus/2011/Pn-Bi)

5 92 87

Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Pelaku Tindak Pidana Perusakan dan Pencemaran Lingkungan (Studi Putusan MA RI No. 755K/PID.SUS/2007)

1 50 100

Penuntutan Korporasi Oleh Jaksa Penuntut Umun Dan Pembuktian Korporasi Sebagai Pelaku Tindak Pidana Korupsi (Studi Putusan Nomor 812/Pid.Sus/2010/Pn.Bjm)

5 47 133

Penuntutan Korporasi Oleh Jaksa Penuntut Umun Dan Pembuktian Korporasi Sebagai Pelaku Tindak Pidana Korupsi (Studi Putusan Nomor 812 Pid.Sus 2010 Pn.Bjm)

0 0 10

Penuntutan Korporasi Oleh Jaksa Penuntut Umun Dan Pembuktian Korporasi Sebagai Pelaku Tindak Pidana Korupsi (Studi Putusan Nomor 812 Pid.Sus 2010 Pn.Bjm)

0 0 1

Penuntutan Korporasi Oleh Jaksa Penuntut Umun Dan Pembuktian Korporasi Sebagai Pelaku Tindak Pidana Korupsi (Studi Putusan Nomor 812 Pid.Sus 2010 Pn.Bjm)

0 0 27

Penuntutan Korporasi Oleh Jaksa Penuntut Umun Dan Pembuktian Korporasi Sebagai Pelaku Tindak Pidana Korupsi (Studi Putusan Nomor 812 Pid.Sus 2010 Pn.Bjm)

0 1 5

BAB II PENGATURAN KORPORASI SEBAGAI SUBJEK HUKUM DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI A. Sejarah Korporasi Sebagai Subjek Hukum Pidana - Pertanggungjawaban Pidana Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Oleh Korporasi (Studi Kasus Putusan Pengadilan Tinggi Banj

0 0 30

Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Sebagai Pelaku Tindak Pidana Korupsi (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 787 K/ Pid.Sus/2014) - UNS Institutional Repository

0 0 14

KEBIJAKAN PEMBUKTIAN DAN PENUNTUTAN OLEH JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI (Studi Kasus di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Semarang) - Unissula Repository

0 1 13