Penuntutan Korporasi Oleh Jaksa Penuntut Umun Dan Pembuktian Korporasi Sebagai Pelaku Tindak Pidana Korupsi (Studi Putusan Nomor 812/Pid.Sus/2010/Pn.Bjm)

(1)

DAFTAR PUSTAKA

Sumber buku:

A Garner, Bryan, Black’s Law Dictionary, Nirth Edition, St Paul Minim West Publishing, Co, 2009.

Ali, Mahrus, Asas-Asas Hukum Pidana Korporasi, PT Raja Grafindo Persada: Yogyakarta, 2013.

Amrullah, M Arief Kejahatan Korporasi, Bayumedia Publishing: Jember, 2004 Badan Pembina Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusi RI,

Analisis dan Evaluasi Hukum Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi: Jakarta, 2008.

Chaeruddin, dkk , Strategi Pencegahan dan Penegakan Hukum Tindak Pidana

Korupsi, Refika Aditama: Jakarta, 2007.

Chazawi, Adami, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, Raja Grafindo: Jakarta, 2002.

_____, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, PT. Alumni Bandung:

Malang, 2006.

Danil, H Elwi. Korupsi Konsep, Tindak Pidana dan Pemberantasannya, PT.RajaGrafindo Persada: Jakarta, 2011.

Djaja, Ermansjah, Memberantas Korupsi Bersama KPK, Sinar Grafika: Jakarta, 2008.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 1989.

Easter, Lalola dkk, Studi Tentang Penerapan Pasal Gratifikasi Yang Dianggap

Suap Pada Undang-Undang Tipikor, Policy Paper: Jakarta, 2014.

Effendy, Marwan Diskresi, Penemuan Hukum, Korporasi & Tax Amnesty Dalam

Penegakan Hukum: Jakarta, 2012.

H.Juni Sjafrien Jahja, Say No To Korupsi, Visi Media: Jakarta, 2012. Hamzah, Andi, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta: Jakarta, 2008.


(2)

_____, Hukum Acara Pidana Indonesia, Cv Sapta Artha Jaya: Jakarta, 1993.

_____, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, PT Raja Grafindo Persada: Jakarta,2007.

Harahap, M Yahya, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP

(Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali), Sinar Grafika: Jakarta, 2008.

_____, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan

Penuntutan, Sinar Grafika: Jakarta, 2000.

Hartanti, Evi Tindak Pidana Korupsi. Sinar Grafika: Semarang,2005.

Irman,TB Hukum Pembuktian Pencucian Uang, MQS Publisshing & Ayyccs Group: Jakarta, 2005.

M. Husein, Harun, Penyidikan dan Penuntutan Dalam Proses Pidana, Rineka Cipta: Jakarta, 1990.

_____, Surat Dakwaan Teknik Penyusunan, Fungsi dan Permasalahannya, Rineka Cipta: Jakarta, 1989.

Marpaung, Leden Tindak Pidana Korupsi (Pemberantasan dan Pencegahan), Djambatan: Jakarta, 2001.

Muladi dan Dwija Priyatno, Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum

Pidana, STHB: Bandung, 1991.

_____, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Kencana Prenada Media Grup: Bandung,2009.

Mulyadi, Lilik Tindak Pidana Korupsi di Indonesia Normatif, Teoritis, Praktik

dan Masalahnya, PT Alumni: Bandung, 2007.

_____, Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, PT Alumni Bandung: Jakarta, 2007.

Mulyadi, Mahmud dan Feri Antoni Surbakti, Politik Hukum Pidana Terhadap

Kejahatan Korporasi, PT Softmedia: Medan,2010.

Prints, Darwin, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, PT. Citra Aditya Bakti: Medan, 2000.

Priyatno, Dwidja Kebijakan Legislasi Tentang Sistem Pertanggungjawaban


(3)

Prodjodikoro, Wirjono, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, Refika Aditama: Jakarta, 2003.

Prodjohamidjojo, Martiman, Penerapan Pembuktian Terbalik dalam Delik

Korupsi (Undang-undang No.31 Tahun 1999), Cv. Mandar Maju:

Jakarta, 2001.

_____, Pembahasan Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek,

Pradnyaparaminta: Jakarta, 2000.

RM, Suharto, Penuntutan Dalam Praktek Peradilan, Sinar Grafika: Jakarta, 1994.

Remi Sjahdeni, Sutan, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Grafitipers: Jakarta, 2006.

Sabuan, Ansori, Hukum Acara Pidana, Angkasa: Bandung, 1990.

Sasangka, Hari dan Lily Rosita, Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana, Cv. Mandar Maju, Jember Juni, 2003.

Simanjuntak, Nikolas, Acara Pidana Indonesia dalam Sirkus Hukum, Ghalia Indonesia: Jakarta, 2009.

Simanjuntak, Osman, Teknik Penuntutan dan Upaya Hukum, PT Gramedia Widiasarana Indonesia: Jakarta, 1995.

Suhaimi, T Pertanggungjawaban Pidana Direksi, Books Terrace & Library: Medan, 2009.

Taufik Makarao, Mohammad, Suhasril, Hukum Acara Pidana dalam Teori dan

Praktek, Ghalia Indonesia: Jakarta, 2002.

Yunara, Edi, Korupsi dan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, PT. Citra Aditya Bakti: Bandung, 2005.

Sumber internet:

Aditya Heri Kristanto, Penerapan Sistem Pembuktian Terbalik Dalam

Penyelesaian Tindak Pidana Korupsi, Jurnal, 2014, http://e-journal.uajy.ac.id/5959/1/JURNAL.pdf

Edi Rifai, PerspektifPertanggungjawaban Pidana Korporasi Sebagai Pelaku

Tindak Pidana Korupsi, Jurnal Ilmiah , Volume 26 Nomor 1, 2014,

http://download.portalgaruda.org/article.php?article=281533&val=7175 &title=PERSPEKTIF%20PERTANGGUNGJAWABAN%20PIDANA% 20KORPORASI%20SEBAGAI%20PELAKU%20TINDAK%20PIDAN A%20KORUPSI


(4)

Edi Yunara, Pertanggungjawaban Korporasi dalam Tindak Pidana Korupsi, Tesis, 2004, http://library.usu.ac.id/download/fh/05002125.pdf

Fauzan Jauhari, Teori Pembuktian Dan Alat-Alat Bukti Dalam Hukum Perdata, Pidana, Dan PTUN, http://fauzanjauhari.blogspot.co.id/2013/11/teori-pembuktian-alat-alat-bukti-dalam.html

H. Ahmad Drajad, Kendala Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Korporasi Sebagai

Pelaku Tindak Pidana Korupsi,

http://www.pn-

medankota.go.id/main/index.php/tentang-pengadilan/profil- pengadilan/alamat-pengadilan/384-kendala-penerapan-sanksi-pidana-terhadap-korporasi-sebagai-pelaku-tindak-pidana-korupsi

Handar Subhandi, Jenis Tindak Pidana Korupsi,

http://handarsubhandi.blogspot.co.id/2014/11/jenis-tindak-pidana-korupsi.html

Hans. C Tangkau, Hukum Pembuktian Pidana, Jurnal

http://repo.unsrat.ac.id/97/1/HUKUM_PEMBUKTIAN_PIDANA.pdf

Jpnn.com, Komisaris PT Gerindo Perkasa Di Periksa KPK,

http://www.jpnn.com/read/2013/05/01/169924/Komisaris-PT-Gerindo-Perkasa-Diperiksa-KPK

Kompas, Kasus Suap Impor Sapi, Dirut Indoguna Dituntut 4,5 Tahun, http://nasional.kompas.com/read/2014/04/22/1148432/Kasus.Suap.Impor .Sapi.Dirut.Indoguna.Dituntut.4.5.Tahun.Penjara

Lilik Mulyadi, Asas Pembalikan Beban Pembuktian terhadap Tindak Pidana

Korupsi Dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia Dihubungkan Dengan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi 2003,

http://www.badilum.info/upload_file/img/article/doc/asas_beban_pembu ktian_terhadap_tipikor_dalam_hukum_pidana_indonesia.pdf

Marlen Sitompul, Pertaruhan BPK dalam Kasus Hambalang, Jakarta, 2012, Nasional Inilah, http://nasional.inilah.com/read/detail/2063880/


(5)

Rangga Trianggara Paonganan, Kewenangan Penuntutan Komisi Pemberantasan

Korupsi Dan Kejaksaan Dalam Tindak Pidana Korupsi di Indonesia,

Lex Crimen Vol. II,

http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/lexcrimen/article/viewFile/997/810

Sahuri Lasmadi, Tumpang Tindih Kewenangan Penyidikan Pada Tindak Pidana

Korupsi Dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana,

http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:VGUKRIokIDsJ

:online-journal.unja.ac.id/index.php/jimih/article/download/200/177+&cd=1&hl =en&ct=clnk&gl=id

Transparency International, Survei Persepsi Korupsi


(6)

BAB III

PEMBUKTIAN KORPORASI SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM PUTUSAN PENGADILAN

(Studi Putusan Nomor 812/PID.SUS/2010/PN.BJM)

Apabila bahwa Hukum Acara Pidana yang diperoleh sebagai hukum acara pidana dalam pemeriksaan perkara delik korupsi sebagai satu sistem. Maka hukum pembuktian merupakan bagian dari sistem hukum acara pidana.101

Hukum pembuktian merupakan sebagian dari hukum acara pidana yang mengatur macam-macam alat bukti yang sah menurut hukum, sistem yang dianut dalam pembuktian, syarat-syarat dan tata cara mengajukan bukti tersebut serta kewenangan hakim untuk menerima menolak dan menilai suatu pembuktian.102 Sistem pembuktian adalah pengaturan tentang macam-macam alat bukti yang boleh dipergunakan, penguraian alat bukti dan dengan cara-cara bagaimana alat bukti itu dipergunakandan dengan cara bagaimana hakim harus membentuk keyakinannya.

Sistem pembuktian dan alat-alat bukti termuat dalam Bab XVI Bagian keempat (Pasal 183 sampai dengan Pasal 232 KUHAP), merupakan bagian penting dari proses pemeriksaan perkara pidana. Kewajiban hakim pidana dalam menerapkan hukum pembuktian dan alat-alat bukti guna memperoleh kebenaran materiil terhadap:103

a. Perbuatan-perbuatan manakah yang dapat dianggap terbukti.

b. Apakah telah terbukti, bahwa terdakwa bersalah atas perbuatan-perbuatan yang didakwakan kepadanya.

101

Martiman Prodjohanmidjojo, Penerapan..., op.cit., hal 98-99. 102


(7)

c. Delik apakah yang dilakukan sehubungan dengan perbuatan-perbuatan itu.

d. Pidana apakah yang harus dijatuhkan kepada terdakwa.

Keempat hal ini yang harus dikaji oleh hakim untuk memperoleh kebenaran materiil. Wiryono Prodjodikoro,104 menyatakan bahwa kebenaran itu biasanya hanya mengenai keadaan-keadaan tertentu pada masa yang sudah lampau. Oleh karena itu kebenaran atas keadaan pada masa lampau, sukar bagi hakim untuk menyatakan kebenaran masa lampau, tidak mungkin dicapai. Maka hukum acara pidana hanya dapat menunjukkan jalan berupaya guna mendekati sebanyak mungkin persesuaian antara keyakinan hakim dan kebenaran sejati (de materiele

waarheid).

Sumber hukum pembuktian adalah Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Apabila dalam suatu kegiatan dalam proses hukum atau praktik menemui kesulitan dalam penerapan, maka dipakai yurisprudensi atau doktrin. Dengan demikian sumber hukum pembuktian adalah undang-undang, yurisprudensi, dan doktrin atau ajaran.105

104

Martiman Prodjohamidjojo, Pembahasan Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek, Pradnyaparaminta: Jakarta, 2000, hal 133.

105 TB Irman, Hukum Pembuktian Pencucian Uang, MQS Publisshing & Ayyccs Group:


(8)

A. Pembuktian Tindak Pidana Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) di Indonesia

1. Teori Pembuktian yang dianut dalam Hukum Acara Pidana Indonesia

Dalam pembuktian perkara pidana pada umumnya dan khususnya delik korupsi, diterapkan KUHAP. Sedangkan dalam pemeriksaan delik korupsi selain diterapkan KUHAP terdapat juga sebagian Hukum Acara Pidana, yaitu pada BAB IV terdiri atas pasal 25 sampai dengan pasal 40 dari UU No. 31 Tahun 1999.

Sebelum meninjau sistem pembuktian yang dianut oleh KUHAP dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, ada baiknya ditinjau beberapa ajaran yang berhubungan dengan sistem pembuktian. Guna sebagai bahan perbandingan dalam memahami sistem pembuktian yang diatur dalam KUHAP dan diluar KUHAP.106

a. Conviction-in Time

Sistem pembuktian cinviction-in time menentukan salah tidaknya seorang terdakwa semata-mata ditentukan oleh penilaian “keyakinan hakim”. Keyakinan hakim yang menentukan keterbukaan kesalahan terdakwa. Dari mana hakim menarik dan menyimpulkan keyakinannya, tidak menjadi masalah dalam sistem ini.107

Kelemahan sistem pembuktian conviction in time adalah hakim dapat saja menjatuhkan hukuman pada seorang terdakwa semata-mata atas dasar keyakinan


(9)

belaka tanpa didukung alat bukti yang cukup. Keyakinan hakim yang dominan atau yang paling menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Keyakinan tanpa alat bukti yang sah sudah cukup membuktikan kesalahan terdakwa. Keyakinan hakim inilah yang menentukan wujud kebenaran sejati dalam sistem pembuktian ini. Sistem ini memberi kebebasan kepada hakim terlalu besar, sehingga sulit diawasi.

Sistem ini perah berlaku di Indonesia pada zaman Hindia Belanda dahulu, ialah pada Pengadilan District dan Pengadilan Kabupaten. Pengadian district adalah pengadilan sipil dan kriminal tingkat pertama untuk orang-orang bangs Indonesia. Berada pada tiap-tiap distrik di Jawa dan Madura berdasarkan

Reglement op de Rechterlijke Organisatie en het Beleid de Justitie in Nederlandsch Indie (Pasal 77-80 RO). Pengadilan Kabupaten yang disebut juga

dengan Regentschapsgerecht (Pasal 81-85 RO) adalah pengadilan tingkat bandingnya.108

b. Conviction Raisonee

Dalam sistem pembuktian ini pun dapat dikatakan “keyakinan hakim” tetap

memegang peranan penting dalam menentukan salah tidaknya terdakwa. Akan

tetapi dalam sistem pembuktian ini, faktor keyakinan hakim “dibatasi”. Jika dalam

sistem pembuktian conviction-in time peran “keyakinan hakim” leluasa tanpa batas maka pada sistem conviction-raisonee, keyakinan hakim harus didukung

dengan “alasan-alasan yang jelas”. Artinya, alasan yang digunakannya dalam hal membentuk keyakinan hakim masuk akal, artinya dapat diterima oleh akal orang pada umumnya. Sistem ini kadang disebut dengan sistem pembuktian keyakinan

108Adami Chazawi, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, PT. Alumni Bandung:


(10)

bebas (vrije bewijstheorie), karena dalam membentuk keyakinannya hakim bebas menggunakan alat-alat bukti dan menyebutkan alasan-alasan dari keyakinan yang diperolehnya dari alat-alat bukti tersebut.109

c. Sistem Pembuktian Melalui Undang-Undang (Positief Wettelijk

Bewijstheorie)

Pembuktian menurut undang-undang secara positif merupakan pembuktian yang bertolak belakang dengan sistem pembuktian menurut keyakinan atau

conviction-in time. Adakalanya sistem pembuktian ini disebut dengan sistem

menurut undang-undang secara positif. Maksudnya, ialah dalam hal membuktikan kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana didasarkan semata-mata pada alat-alat bukti serta cara-cara mempergunakannya yang telah ditentukan terlebih dalu dalam undang-undang.Menurut sistem pembuktian ini, asal sudah dipenuhi syarat-syarat dan ketentuan pembuktian menurut undang-undang sudah cukup menetukan kesalahan terdakwa tanpa mempersoalkan keyakinan hakim. Apakah hakim yakin atau tidak tentang kesalahan terdakwa, bukan menjadi masalah. Pokoknya, apabila sudah terpenuhi cara-cara pembuktian dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang, hakim tidak lagi menanyakan keyakinan hati nuraninya akan kesalahan terdakwa.

Dalam sistem ini, hakim seolah-olah “robot pelaksana” undang-undang yang tak memiliki hati nurani. Hati nuraninya tidak ikut hadir dalam menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Meskipun demikian dari segi sistem ini mempunyai kebaikan. Sistem ini benar-benar menuntut hakim wajib mencari dan menemukan


(11)

kebenaran salah atau tidaknya terdakwa sesuai dengan tata cara pembuktian dengan alat-alat bukti yang telah ditentukan undang-undang.

Apabila dibandingkan dengan sistem pembuktian conviction in-time, sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif lebih sesuai karena lebih dekat

kepada prinsip “penghukuman berdasar hukum”. Artinya penjatuhan hukuman

terhadap seseorang, semata-mata tidak diletakkan dibawah kewenangan hakim, tetapi diatas kewenangan undang-undang yang berlandaskan: seorang terdakwa baru dapat dihukum dan dipidana jika apa yang didakwakan kepadanya benar-benar yang sah menurut undang-undang.

d. Sistem Pembuktian Menurut Undang-undang Secara Negatif

(Negatief Wettelijk Stelsel)

Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif merupakan teori antara sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif dengan sistem pembuktian menurut keyakinan atau conviction in-time.110

Menurut sistem ini, dalam hal membuktikan kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, hakim tidak sepenuhnyamengandalkan alat-alat bukti serta dengan cara-cara yang ditentukan oleh undang-undang. Itu tidak cukup, tetapi harus disertaipula keyakinan bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana. Keyakinan yang dibentuk ini haruslah berdasar atas fakta-fakta yang diperoleh dari alat-alat bukti yang ditentukan dalam undang-undang. Jadi, untuk menarik kesimpulan dari kegiatan pembuktian didasarkan pada 2 (dua) hal, ialah alat-alat bukti dan keyakinan yang merupakan kesatuan tidak dipisahkan, yang tidak berdiri sendiri.111

110M. Yahya Harahap, Pemeriksaan....,op.cit., hal 278

111


(12)

2. Alat Bukti yang Sah Menurut Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

Adami Chazawi112 berpendapat bahwa hukum pembuktian dalam hukum acara pidana kita sejak berlakunya het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) dahulu dan kini KUHAP adalah menganut sistem secara konsekuen. Pasal 294

ayat (1) HIR merumuskan bahwa:“tidak seorangpun boleh dikenakan hukuman,

selain jika hakim mendapat keyakinan dengan alat bukti yang sah, bahwa benar telah terjadi perbuatan yang boleh dihukum dan bahwa orang yang dituduh itulah

yang salah tentang perbuatan itu.”

Kemudian, sistem pembuktian dalam Pasal 294 HIR itu diadopsi dengan penyempurnaan kedalam Pasal 183 KUHAP yang rumusannya ialah:“hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”

Rumusan Pasal 183 KUHAP dapat dinilai lebih sempurna, karena telah menentukan batas yang lebih tegas bagi hakim dalam usaha membuktikan kesalahan terdakwa untuk menjatuhkan pidana. Lebih tegas karena ditentukan batas minimum pembuktian, yakni harus menggunakan setidak-tidaknya dua alat bukti yang sah dari yang disebutkan dalam undang-undang. Sedangkan dalam Pasal 294 ayat (2) HIR syarat setidak-tidaknya dengan dua alat bukti tidak


(13)

disebutkan secara tegas. Hal ini menandakan bahwa sistem pembuktian negatif dalam KUHAP lebih baik dan lebih menjamin kepastian hukum.113

Berdasarkan Pasal 184 ayat (1) KUHAP, bahwa alat-alat bukti yang sah adalah: 1) Keterangan saksi; 2) Keterangan ahli; 3) Surat; 4) Petunjuk; 5) Keterangan terdakwa.

a. Keterangan Saksi

KUHAP telah memberikan batasan pengertian saksi, ialah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya (Pasal 1 angka 26). Sedangkan keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuanya (Pasal 1 angka 27).

Dari batasan pengertian tersebut maka dapat ditarik kesimpulan, yakni:114 (1) Bahwa tujuan saksi memberikan keterangan ialah untuk kepentingan

penyidikan, penuntutan dan peradilan. Ketentuan ini juga mengandung pengertian bahwa saksi diperlukan dan memberikan keterangan dalam dua tingkat yakni ditingkat penyidikan dan ditingkat penuntutan di sidang pengadilan

(2) Bahwa isi apa yang diterangkan, adalah segala sesuatu yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri. Keterangan mengenai 3 (tiga) sumber

113 Adami Chazawi, Hukum....,op.cit., hal 29-30.

114


(14)

tadi, tidaklah mempunyai nilai atau kekuatan pembuktian. Ketentuan ini menjadi suatu prinsip pembuktian.

Alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling utama dalam perkara pidana. Boleh dikatakan tidak ada perkara pidana yang luput dari pembuktian alat bukti keterangan saksi. Hampir semua pembuktian perkara pidana, selalu bersandar pada keterangan saksi.

Ditinjau dari segi nilai dan kekuatan pembuktian atau “the degree of evidence” keterangan saksi, agar keterangan saksi atau kesaksian mempunyai nilai serta kekuatan pembuktian, perlu diperhatikan beberapa pokok ketentuan yang harus dipenuhi oleh seorang saksi. Artinya, agar keterangan seorang saksi dapat dianggap sah sebagai alat bukti yang memiliki nilai kekuatan pembuktian, harus dipenuhi ketentuan sebagai berikut:115

(1) Harus mengucapkan sumpah atau janji116 (2) Keterangan saksi yang bernilai sebagai bukti

(3) Keterangan saksi harus diberikan di sidang pengadilan (4) Keterangan seorang saksi saja dianggap tidak cukup (5) Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri

Nilai kekuatan pembuktian saksi ada baiknya kembali melihat masalah yang berhubungan dengan keterangan saksi ditinjau dari sah atau tidaknya keterangan saksi sebagai alat bukti. Dalam memberikan keterangan saksi diharuskan

115 M. Yahya Harahap, Pemeriksaan..., op.cit., hal 286-289

116 Mengenai mengucap sumpah atau janji diatur dalam Pasal 160 ayat (3), sebelum saksi

memberi keterangan: “wajib mengucapkan sumpah atau janji yang dilakukan menurut cara agamanya masing-masing, di mana lafal sumpah atau janji berisi bahwa saksi akan memberkan keterangan yang sebenar-benarnya dan tiada lain daripada yang sebenarnya. Pada prinsipnya sumpah diucapkan sebelum saksi memberi keterangan. Tetapi dalam Pasal 160 ayat (4) memberi


(15)

bersumpah atau berjanji menurut agama dan kepercayaan masing-masing, sehingga memiliki nilai kesaksian sebagai alat bukti. Apabila keterangan saksi tidak disertai dengan penyumpahan, maka meskipun keterangan itu sesuai dengan satu dan yang lainnya, tidak merupakan alat bukti, sebagaimana saksi yang disumpah. Keterangan demikian hanya dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti yang sah (Pasal 185 ayat 7).117

Hakim tidak boleh menjatuhkan putusan pidana kepada terdakwa hanya didasarkan kepada satu saksi saja, oleh karena satu saksi kurang mencukupi asas minimum alat bukti, dan dianggap sebagai alat bukti yang kurang cukup. Artinya, kekuatan pembuktian dengan satu saksi saja dianggap tidak sempurna oleh hakim. Ketentuan Pasal 185 ayat (2) ini dianggap tidak berlaku, apabila disertai dengan suatu alat bukti sah lainnya (Pasal 185 ayat 3).118

b. Keterangan Ahli

Dalam praktik alat bukti ini disebut alat bukti saksi ahli. Tentu saja pemakaian istilah saksi ahli tidak benar. Karena perkataan saksi mengandung pengertian yang berbeda dengan ahli atau keterangan ahli. Bahwa isi yang keterangan yang disampaikan saksi adalah segala sesuatu yang ia dengar, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri. Sedangkan seorang ahli memberikan keterangan bukan mengenai segala hal yang dilihat didengar dan dialaminya sendiri, tetapi mengenai hal-hal yang menjadi atau bidang keahliannya yang ada hubungannya dengan perkara yang sedang diperiksa. Keterangan ahli tidak perlu diperkuat dengan alasan sebab keahliannya atau pengetahuannya sebagaimana keterangan

117 Martiman Prodjohamidjojo, Penerapan....,op.cit., hal 119.

118 Ibid.


(16)

saksi. Apa yang diterangkan saksi adalah hal mengenai kenyataan atau fakta. Akan tetapi yang diterangkan ahli adalah suatu penghargaan dari kenyataan dan atau kesimpulan atas penghargaan itu berdasarkan keahlian seorang ahli.119

Alat bukti keterangan ahli dapat berbentuk “laporan atau visum et repertum”atau “keterangan langsung secara lisan” di sidang pengadilan yang

dituangkan dalam catatan berita acara persidangan. Adapun bentuk keterangan

ahli yang berbentuk “keterangan langsung atau lisan” tidak menjadi masalah,

karena sifatnya benar-benar murni sebagai alat bukti keterangan ahli, yang lahir dari hasil pemberian keterangan secara langsung disidang pengadilan. Akan tetapi, lain halnya dengan alat bukti keterangan ahli yang berbetuk laporan. Alat bukti ini sekaligus menyentuh dua sisi alat bukti yaitu tetap alat bukti sebagai alat bukti keterangan ahli dan alat bukti surat.

Mengenai nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada alat bukti keterangan ahli tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang mengikat dan menentukan. Dengan demikian nilai kekuatan pembuktian keterangan ahli sama halnya dengan nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada alat bukti keterangan saksi. Oleh karena itu, nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada alat bukti keterangan ahli:120

(1) Mempunyai nilai kekuatan pembuktian “bebas” atau “vrij bewijskracht”.

Artinya di dalam dirinya tidak ada melekat nilai kekuatan pembuktian yang sempurna dan menentukan. Hakim bebas menilainya dan tidak terikat kepadanya.

(2) Keterangan ahli yang berdiri sendiri tanpa didukung oleh salah satu alat bukti yang lain, tidak cukup dan tidak memadai membuktikan kesalahan terdakwa. Oleh karena itu, agar keterangan ahli dapat dianggap cukup membuktikan kesalahan terdakwa harus disertai dengan alat bukti.


(17)

c. Surat

Surat adalah pembawa tanda tangan bacaan yang berarti menerjemahkan suatu isi pikiran. Tidak termasuk kata surat adalah foto dan peta sebab benda ini tidak memuat tanda bacaan. Adapun contoh-contoh dari alat bukti surat itu, adalah Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang dibuat oleh polisi, BAP Pengadilan, Berita Acara Penyitaan, Surat Perintah Penahanan, Surat Izin Penggeledahan, Surat Izin Penyitaan, dan lain-lainnya.

Surat yang dapat dinilai sebagai alat bukti yang sah menurut undang-undang ialah:

(1) Surat yang dibuat diatas sumpah jabatan; (2) Atau surat yang dikuatkan dengan sumpah.

Dalam pembuktian yang diatur dalam hukum acara perdata, surat autentik atau surat resmi seperti bentuk-bentuk surat resmi yang disebut dalam Pasal 187 huruf a dan huruf b KUHAP, dinilai sebagai alat bukti yang sempurna, dan mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang mengikat bagi hakim, sepanjang hal

itu tidak dilumpuhkan dengan “bukti lawan” atau tegen bewijs. Sedangkan dalam

KUHAP sama sekali tidak mengatur ketentuan yang khusus tentang nilai kekuatan pembuktian surat.

d. Petunjuk

Apabila kita bandingkan dengan 4 (empat) alat-alat bukti yang lain dalam Pasal 184, maka alat bukti petunjuk ini bukanlah suatu alat bukti yang bulat dan berdiri sendiri, melainkan suatu alat bukti bentukan hakim. Hal itu tampak dari


(18)

adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuainya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri,

menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya”.121

Karena keberadaan dan bekerjanya alat bukti petunjuk ini cenderung merupakan penilaian terhadap hubungan atau persesuaian antara isi dari beberapa alat bukti lainnya, dan bukanlah alat bukti yang berdiri sendiri, maka dapat dimaklumi sebagian ahli keberatan atas keberadaanya dan menjadi bagian dalam hukum pidana.122

e. Keterangan Terdakwa

Alat bukti keterangan terdakwa merupakan urutan terakhir dalam Pasal 184 ayat (1). Penempatan pada urutan terakhir inilah salah satu alasan yang dipergunakan untuk menempatkan proses pemeriksaan keterangan terdakwa dilakukan belakangan sesudah pemeriksaan keterangan saksi. Alat bukti keterangan terdakwa acap kali diabaikan oleh hakim. Hal ini dapatlah dimaklumi, karena berbagai sebab, antara lain:

1) Sering sekali keterangan terdakwa tidak bersesuian dengan isi dari alat-alat bukti yang lain, misalnya keterangan saksi. Tidak menerangkan hal-hal yang memberatkan atau merugikan terdakwa sendiri adalah sesuatu sifat manusia (manusiawi). Bahwa setiap orang selalu ada kecenderungan untuk menghindari kesusahan atau kesulitan bagi dirinya sendiri. Untuk itu dia terpaksa berbohong.


(19)

2) Pada diri terdakwa memiliki hak untuk bebas berbicara termasuk yang isinya tidak benar. Berhubung terdakwa yang memberi keterangan yang tidak benar tidak diancam sanksi pidana sebagaimana saksi memberikan keterangan yang isinya tidak benar. Karena terdakwa tidak disumpah sebelum memberikan keterangan.

3) Pengabaian oleh hakim biasanya terhadap keterangan terdakwa yang berisi penyangkalan terhadap dakwaan. Pengabaian hakim dapatlah diterima, menginat menurut KUHAP penyangkalan terdakwa bukanlah menjadi bagian isi alat bukti keterangan terdakwa. Karena isi keterangan terdakwa itu hanyalah terhadap keterangan mengenai apa yang ia lakukan, atau ia ketahui atau alami sendiri (Pasal 189 ayat 1)

Tidak semua keterangan terdakwa mengandung nilai pembuktian. Dari ketentuan Pasal 189 didaptakan syarat-syarat yang harus dipenuhi agar keterangan terdakwa mengandung nilai pembuktian ialah:

1) Keterangan terdakwa haruslah dinyatakan di muka sidang pengadilan.

2) Isi keterangan terdakwa haruslah mengenai 3 (tiga) hal, ialah: (1) perbuatan yang dilakukan terdakwa, (2) segala hal yang diketahuinya sendiri, dan (3) kejadian yang dialaminya sendiri;

3) Nilai keterangan terdakwa hanya berlaku sebagai bukti untuk dirinya sendiri; 4) Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa dirinya

bersalah melakukan tindak pidana, melainkan harus ditambah dengan alat bukti yang lain.


(20)

B. Pembuktian Tindak Pidana Korupsi di Indonesia

Sistem pembuktian dalam perkara tindak pidana korupsi selain berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana juga berdasarkan kepada hukum pidana formil sebagaimana yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Hal tersebut sebagaimana ditentukan dalam Pasal 38 ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, yang rumusannya sebagai berikut:

Pasal 38

(1) Segala kewenangan yang berkaitan dengan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sebagaimana yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana berlaku juga bagi penyelidik, penyidik, dan penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi.

(2) Ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana tidak Berlaku bagi penyidik tindak pidana korupsi sebagaimana yang ditentukan dalam undang-undang ini.

Pasal 39

(1) Penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku dan berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini.

(2) Penyelidikan, penyidikan, penuntutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan perintah dan bertindak untuk dan atas nama Komisi Pemberantasan Korupsi.


(21)

Dalam Pasal 26A Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, merumuskan:

Alat bukti yang sah dalam bentuk pentunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, khusus untuk tindak pidana korupsi juga dapat diperoleh dari: a. Alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu, dan

b. Dokumen, yakni setiap rekaman data/atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang diatas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna. Alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk selain ditentukan dalam Pasal 188 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), juga diatur dalam Pasal 184 ayat (1) huruf d KUHAP, yaitu secara lengkap bunyi Pasal 184 adalah sebagai berikut:

(1) Alat bukti yang sah ialah: a. Keterangan saksi; b. Keterangan ahli; c. Surat;

d. Petunjuk;

e. Keterangan terdakwa.

(2) Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan. Dari ketentuan yang terdapat dalam rumusan Pasal 26A Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, bahwa petunjuk sebagai salah satu alat bukti khusus untuk tindak pidana korupsi, selain dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa123 sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 188 ayat (2) KUHAP, juga dapat diperoleh dari:

123

Ermansjah Djaja, Memberantas Korupsi Bersama KPK, Sinar Grafika: Jakarta, 2008, hal 101-102.


(22)

1) Alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapakan, dikirim, diterima, atau disimpan, secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu.

2) Dokumen, yakni setiap rekaman data/atau informasi yang dapat dilihat, dibaca dan/atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apa pun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.

Dalam penjelasan Pasal 26A yang dimaksud dengan “disimpan secara elektronik” misalnya data yang disimpan dalam mikro film Compact Disk Read

Only Memory (CD-ROM) atau Write Once Read Many (WORM). Yang dimaksud dengan “alat optik atau yang serupa dengan itu” dalam ayat ini tidak terbatas pada

data penghubung elektronik (electronic data interchange), surat elektronik

(e-mail), telegram, teleks, faksimili.

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menganut sistem pembuktian terbalik. Dimana yang memiliki beban pembuktian bukan saja Jaksa Penuntut Umum tetapi terdakwa juga dapat membuktikan bahwa ia tidak bersalah di muka persidangan.

Bewijskast atau burden of proof adalah pembagian beban pembuktian

tercantum dalam undang-undang. Dalam hukum positif, asas pembagian beban pembuktian tercantum dalam Pasal 163 Hirzine Indische Reglement, Pasal 283

Reglement op de Burgelijk dan Pasal 1865 Kitab Undang-undang Hukum Perdata


(23)

pihak yang mendalihkan bahwa ia mempunyai suatu hak atau untuk mengukuhkan dirinya sendiri ataupun membantah suatu hak orang lain yang menunjuk pada suatu peristiwa.124 Adapun dalam konteks pembagian beban pembuktian dalam perkara pidana sendiri juga merupakan hal yang sangat penting apalagi hal tersebut menyangkut dalam penyelesaian kasus korupsi. Hukum pidana sendiri mengatur bahwa beban pembuktian merupakan tugas atau kewenangan dari Jaksa Penuntut Umum (JPU).

Dalam Undang-undang Nomor 3 tahun 1971 secara eksplisit telah mengatur pembalikan beban pembuktian. Ketentuan Pasal 17 Undang-undang Nomor 3 tahun 1971, selengkapnya berbunyi sebagai berikut:

(1) Hakim dapat memperkenankan terdakwa untuk kepentingan pemeriksaan memberikan keterangan tentang pembuktian bahwa ia tidak bersalah melakukan tindak pidana korupsi

(2) Keterangan tentang pembuktian yang dikemukan oleh terdakwa bahwa ia tidak bersalah seperti dimaksud dalam ayat (1) hanya diperkenankan dalam hal:

a. Apabila terdakwa menerangkan dalam pemeriksaan,bahwa perbuatannya itu menurut keinsyafan yang wajar tidak merugikan keuangan atau perekonomian negara atau;

b. Apabila terdakwa menerangkan dalam pemeriksaan, bahwa perbuatannya itu dilakukan demi kepentingan umum.

(3) Dalam hal terdakwa dapat memberikan keterangan tentang pembuktin seperti dimaksud dalam ayat (1) maka keterangan tersebut dipergunakan sebagai hal yang setidak-tidaknya menguntungkan baginya. Dalam hal demikian Penuntut Umum tetap mempunyai kewenangan untuk memberikan pembuktian yang berlawanan.

(4) Apabila terdakwa tidak dapat memberi keterangan tentang pembuktian seperti yang dimaksud dalam ayat (1) maka keterangan tersebut dipandang sebagai hal yang setidak-tidaknya merugikan baginya. Dalam hal demikian Penuntut Umum tetap diwajibkan memberi pembuktian bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana korupsi.

124 Aditya Heri Kristanto, Penerapan Sistem Pembuktian Terbalik Dalam Penyelesaian

Tindak Pidana Korupsi, Jurnal, 2014,http://e-journal.uajy.ac.id/5959/1/JURNAL.pdf diakses tanggal 12 Maret 2015 Pukul 09.55 WIB. hal 8


(24)

Pembalikan beban pembuktian juga tetap diatur dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 tahun 2001. Ketentuan Pasal 37 berbunyi sebagai berikut:

(1) Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi.

(2) Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka pembuktian tersebut dipergunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti.

Pembalikan beban pembuktian mempunyai implikasi terhadap ketentuan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 dimana tidak semua delik korupsi dapat diterapkan pembalikan beban pembuktian, hanya dapat diterapkan terhadap kesalahan orang yang diduga melakukan tindak pidana korupsi dan harta benda milik terdakwa yang belum didakwakan tetapi diduga berasal dari tindak pidana korupsi.125

Sitem pembuktian terbalik hanya berlaku pada: pertama, tindak pidana korupsi suap menerima gratifikasi yang nilainya Rp 10 juta atau lebih (Pasal 12B ayat (1) huruf a) dan kedua, terhadap harta benda yang belum didakwakan , tetapi diduga ada hubungannya dengan tindak pidana korupsi (Pasal 38B).

Sistem semi terbalik atau berimbang terbalik126, maksudnya beban pembuktian diletakkan baik pada terdakwa maupun pada jaksa penuntut umum secara berimbang mengenai hal (objek pembuktian) yang berbeda secara berlawanan (Pasal 37A).

125

Lilik Mulyadi, Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, PT Alumni Bandung: Jakarta, 2007, hal 214.


(25)

Sistem biasa127, maksudnya pembuktian untuk membuktikan tindak pidana dan kesalahan terdakwa melakukannya, sepenuhnya ada pada jaksa penuntut umum. Sistem ini digunakan untuk membuktikan tindak pidana dan kesalahan terdakwa melakukannya dalam hal tindak pidana korupsi suap menerima gratifikasi yang nilainya kurang dari Rp 10 juta (Pasal 12B ayat (1) huruf b).

Apabila beban pembuktian yang diletakkan pada syarat nilai Rp 10 juta atau lebih kurang dari Rp 10 juta pada korupsi suap gratifikasi, maka pembebanan pembuktian mengenai tindak pidana korupsi suap menerima gratifikasi ini dapat disebut juga dengan sistem pembebanan pembuktian berimbang, karena beban pembuktian itu diberikan pada Jaksa penuntut umum atau terdakwa adalah diletakkan pada syarat mengenai nilai korupsi suap menerima gratifikasi yang diperoleh pegawai negeri si pembuat. Apakah lebih atau kurang dari nilai Rp 10 juta.

Pada harta benda terdakwa yang belum didakwakan (Pasal 38 jo 37 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001) kewajiban terdakwa membuktikan terbalik semata-mata bukan terhadap tindak pidananya (unsur-unsurnya) yang didakwakan . Akibat Hukum dari berhasil atau tidaknya terdakwa membuktikan harta benda terdakwa diperoleh dari korupsi atau secara halal, tidak menentukan dipidana ataukah dibebaskan terdakwa dari dakwaan melakukan korupsi dalam perkara pokok. Melainkan sekedar untuk dapat menjatuhkan pidana perampasan barang dalam hal terdakwa tidak berhasil membuktikan harta bendanya tersebut sebagai harta benda yang halal. Atau

127


(26)

sebaliknya untuk tidak menjatuhkan pidana perampasan barang dalam hal terdakwa berhasil membuktikan harta bendanya sebagai harta benda yang halal.

C. Pembuktian Korporasi Sebagai Pelaku Tindak Pidana Korupsi Dalam Putusan Nomor 812/PID.SUS/2010/PN.BJM

Putusan Nomor 812/PID.SUS/2010/PN.BJM atas nama terdakwa PT Giri Jaladhi Wana merupakan kasus pertama yang menjerat korporasi sebagai terdakwa dalam tindak pidana korupsi.

1. Kasus Posisi

a. Kronologis Perkara

Kasus PT Giri Jaladhi Wana (PT.GJW) diperiksa melalui putusan Pengadilan Negeri Banjarmasin Nomor 812/PID.SUS/2010/PN.BJM dan putusan

Pengadilan Tinggi Banjarmasin (Kalimantan Selatan) No

04/PID.SUS/2011/PT.BJM. PT GJW didakwa telah melakukan beberapa perbuatan tindak pidana korupsi yang berhubungan sedemikian rupa sehingga dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut.

PT Giri Jaladhi Wanape selaku korporasi dalam kerjasama kontrak bagi tempat usaha untuk pembangunan Pasar Induk Antasari berdasarkan surat Perjanjian Kerja Sama Nomor 664/I/548/Prog dan Nomor: 003/GJW/VII/1998. Sebagai pendanaan pembangunan pasar, PT.GJW mendapatkan kucuran dana Kredit Modal Kerja dari PT.Bank Mandiri, Tbk. Dalam hal ini PT.GJW diwakili oleh Stevanus Widagdo bin Suraji Sastrodiwiryo selaku Direktur Utama PT.GJW dan Drs. Tjiptomo selaku Direktur PT GJW. Pada pelaksanaan perjanjian, PT.


(27)

GJW tanpa persetujuan DPRD Kota Banjarmasin telah melakukan penambahan 900 unit bangunan toko, kios, los, lapak dan warung. Penambahan 900 unit tersebut dijual dengan harga sebesar Rp. 16.691.713.166,00. Hasil penjualan tersebut tidak disetorkan ke kas daerah Kota Banjarmasin. Disamping itu PT.GJW juga mempunyai kewajiban kepada Pemerintah Kota Banjarmasin untuk membayar retribusi sebesar Rp 500.000.000,00; membayar uang sewa Rp 2.500.000.000,00 dan membayar pelunasan Kredit Inpres Pasar Antasari Rp 3.750.000.000,00 sehingga jumlah keseluruhan yang harus dibayar Rp 6.750.000.000,00. Akan tetapi PT.GJW hanya membayar sebesar Rp 1.000.000.000,00 yang seharusnya disetor ke kas Pemerintah Kota Banjarmasin. PT. Giri Jaladhi Wana sengaja tidak membayar uang tersebut dengan memberikan keterangan tidak benar melalui direkturnya dengan menyatakan kepada Pemerintah Kota Banjarmasin seolah-olah pembangunan Pasar Sentra Antasari belum selesai.

Padahal sesuai dengan keterangan Ir. Wahid Udin, MBA. Projek Manajer Pembangunan Pasar Sentra Antasari dan laporan completion report PT. Satya Graha Tara (Konsultan Pengawas Proyek Antasari yang diminta Bank Mandiri), melaporkan per September 2004 pembangunan Pasar Sentra Antasari selesai 100% dan per Oktober 2004 mempunyai surplus Rp 64.579.000.000,00 dari hasil penjualan toko, kios dan los serta warung.

Selanjutnya juga PT.GJW dalam penggunaan fasilitas kredit modal kerja dari PT. Bank Mandiri juga telah melakukan penyimpangan-penyimpangan. Akibat perbuatannya, negara cq. Pemerintah Kota Banjarmasin menderita


(28)

kerugian sebesar Rp 7.332.361.516,00 berdasarkan perhitungan BPKP Perwakilan Provinsi Kalimantan Selatan No. S-1911/PW.16/5/2008 dan PT. Bank Mandiri, Tbk sebesar Rp 199.536.064.675,65.

Jaksa penuntut umum dalam perkara tersebut membuat surat dakwaan yang disusun secara subsidiaritas. Dakwaan primernya melanggar Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 jo Pasal 20 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP. Dakwaan subsidernya melanggar pasal Pasal 3 jo Pasal 18 jo Pasal 20 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.

b. Dakwaan

Jaksa penuntut umum dalam perkara tersebut membuat surat dakwaan yang disusun secara subsidiaritas. Dakwaan primernya melanggar Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 jo Pasal 20 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP. Dakwaan subsidernya melanggar pasal Pasal 3 jo Pasal 18 jo Pasal 20 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.

Sementara Dakwaan Subsidiair melanggar Pasal 3 jo. Pasal 18 jo. Pasal 20 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP.


(29)

c. Fakta Hukum

Berdasarkan hasil pemeriksaan di persidangan, telah terungkap fakta-fakta hukum sebagai berikut:

1. Pada tanggal 11 Juli 1998 pimpinan DPRD Kotta Banjarmasin telah mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 19 Tahun 1998 tentang Persetujuan terhadap Pembangun Pasar Induk Antasari dengan mengadakan kerja samaPemerintah Kota Banjarmasin dengan Pihak ketiga;

2. Pada tanggal 13 Juli 1998 Walikota Banjarmasin telah mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 008/Prog/1998 tentang penunjukan Perseroan Terbatas (PT) Giri Jaladhi Wana (terdakwa) sebagai mitra kerja dalam pelaksanaan kerjasama kontrak bagi tempat usaha untuk pembangunan Pasar Induk Antasari;

3. Pada tanggal 14 Juli 1998 bertempat di Kantor Walikota Banjarmasin Stevanus Widagdo bin Suraji Sastrodiwiryo Direktur Utama PT.Giri Jaladhi Wana (PT.GJW) yang dalam hal ini bertindak mewakili terdakwa dalam perkara ini telah menandatangani Perjanjian Kerja Sama Nomor 664/I/548/Prog-Nomor 003/GJW/VII/1998 tentang Kontrak Bagi Tempat Usaha Dalam Rangka Pembangunan Pasar Induk Antasari Kota Banjarmasin dengan H.Sadjoko selaku Walikota Banjarmasin;

4. Pada tanggal 15 Agustus 2000 telah dilakukan Addendum Kerja Sama Nomor 664/I/548/Prog – Nomor 003/GJW/VII/1998 yang ditandatangani


(30)

oleh Drs. H. Sofyan Arpan sebagai pihak pertama bertindak selaku Walikota Banjarmasin dan terdakwa PT. Giri Jaladhi Wana;

5. Untuk melaksanakan pekerjaan pembangunan Pasar Sentra Antasari tersebut terdakwa bekerjasama dengan PT.UE Sentosa sebagai kontraktor pelaksana dengan surat perjanjian kerja No. 094/GJW/SPB/II/01 tanggal 1 Februari 2001 yang ditandatangani oleh ST.Widagdo selaku Dirut PT.GJW dan Dominic Tan selaku Presiden Direktur PT.UE Sentosa dengan Niai Rp 137.842.690,00, dengan sistem PT.UE Sentosa melaksanakan pembangunan dan membiayai pelaksanaan pembangunan tersebut dimana setiap kemajuan fisik proyek sudah mencapai 30% maka terdakwa akan membayarnya;

6. Pelaksanaan pembangunan Pasar Sentra Antasari sampai dengan bulan Desember 2002 ternyata belum selesai, sehingga Drs. H. Sofyan Arpan selaku Walikota Banjarmasin pada tanggal 13 Januari 2003 dengan surat nomo 23/Ditakot 3/2003 memberikan batas waktu penyelesaian pembanguan Pasar Induk Antasari hingga 10 Februari 2003;

7. Sampai bulan Agustus 2003, ternyata pekerjan pembangunan Pasar Sentra Antasari belum juga selesai sehingga Walikota Banjarmasin H.Sofyan Arpan mencabut Surat Keputusan Walikota Banjarmasin Nomor: 088/Prog/1998 tanggal 13 Juli 1998 tentang Penunjukan PT Giri Jaladhi Wana (terdakwa) sebagi mitra kerja dalam pelaksanaan kerjasama kontrak bagi tempat usaha, untuk pembangunan Pasar Induk Antasari, dengan SK. No.117 tahun 2003 tanggal 13 Agustus 2003 dan membatalkan kerja sama


(31)

tentang kontrak bagi tempat usaha dalam rangka pembangunan Pasar Induk Antasari Kotamadya Banjarmasin, yang ditadatangani oleh H. Sadjoko sebagai pihak pertama bertindak selaku Walikota Banjarmasin dan ST. Widagdo sebagai pihak kedua bertindak mewakili terdakwa PT. GJW;

8. Walikota Banjarmasin Drs. H. Sofyan Arpan membentuk Tim Percepatan Penataan dan Pembangunan Pasar Sentra Antasari (P3SA) Banjarmasin dengan Surat Keputusan Walikota banjarmasin No.119 tahun 2003 tanggal 13 Agustus 2003 dengan susunan tim sebagai berikut:

a) Drs. H. Edwan Nizar, Msi sebagai Ketua b) Drs. Tjiptomo sebagai Wakil Ketua c) Drs. Akhmad Yani sebagai Sekretaris d) Ir. Heri Purnomo, MBA sebagai Bendahara

9. Pada tanggal 23 Agustus 2003 Walikota Banjarmasin Drs. H. Sofyan Arpan meninggal dunia, selanjutnya urusan pemerintahan dilaksanakan Wakil Walikota Banjarmasin Drs. H. Midpai Yabani MM;

10.Terdakwa dalam melaksanakan pembangunan dan pengelolaan Pasar Induk Antasari telah melakukan penyimpangan-penyimpangan sebagai berikut:

a) Terdakwa tanpa persetujuan DPRD Kota Banjarmasin telah membangun 6.045 unit terdiri dari toko, kios, los, lapak, dan warung, sehingga terjadi penambahan 900 unit bangunan. Penambahan 900 unit tersebut dijual dengan harga sebesar Rp


(32)

16.691.713.166,00, dan hasil penjualan tersebut tidak disetorkan ke kas daerah Kota Banjarmasin;

b) Berdasarkan Addendum Perjanjian Kerja Sama Nomor 664/I/548/Prog – Nomor 003/GJW/VII/1998, terdakwa mempunyai kewajiban kepada Pemerintah Kota Banjarmasin untuk membayar retribusi sebesar Rp 500.000.000,00; membayar penggantian uang sewa Rp 2.500.000.000,00 dan membayar pelunasan Kredit Inpres Pasar Antasari Rp 3.750.000.000,00, sehingga jumlah yang harus dibayar sebesar Rp 6.750.000.000,00, tetapi terdakwa hanya membayar sebesar Rp 1.000.000.000,00 sehingga terdapat kekurangan sebesar Rp. 5.750.000.000,00 Terdakwa tidak membayar sebesar Rp 5.750.000,00

11.Untuk mendukung pekerjaan pembangunan Pasar Sentra Antasari Banjarmasin tersebut terdakwa mengajukan permohonan kredit dengan surat permohonan kredit No. 066/GJW/B/VII/2001 tanggal 16 Juli 2001 perihal Permohonan Fasilitas Kredit Modal Kerja (KMK) sebesar 25.000.000,00 untuk cadangan pembayaran melalui PT. United Engineers Sentosa selaku Main Contractor pembangunan Pasar Induk Sentra Antasari Hub Banjarmasin kepada PT. Bank Mandiri dan disetujui oleh PT.Bank Mandiri dengan Surat Pemberitahuan Persetujuan Kredit (SPPK) Nomor 9.Hb.BLM. CO/1229/2001 tanggal 19 Desember 2001, kemudian ditindak lanjuti dengan penanda tangan Perjanjian Kredit (PK) No. 048/011/KMK-CO/2001 tanggal 19 Dember 2001 dengan jangka waktu kredit selama 9


(33)

bulan sejak tanggal penandatangan perjanjian kredit sampai dengan 19 September 2002;

12.Berdasarkan Perjanian Kredit Modal Kerja Nomor 048/001/KMK-CO/2001 tanggal 19 Desember 2001 akte notaris Nomor 69 (tahap I pemberian fasilitas kredit sebesar Rp 25.000.000.000,00 untuk tujuan penambahan pendanaan pembanguan Pasar Induk Sentra Antasari sebesar Rp 25.000.000.000,00 dengan syarat-syarat dan ketentuan yang telah diatur dalam Perjanjian Kerja tersebut. Bahwa berdasarkan perjanjian modal kerja tersebut diatur mekanisme escrow account. Namun sampai jatuh tempo kreditnya yaitu tanggal 19 September 2002 terdakwa tidak dapat memenuhi kewajiban pembayaran pelunasan kreditnya dan hanya membayar sebagian hutang pokoknya sebesar Rp 1.450.000.000,00 sehingga terdakwa masih mempunyai kewajiban hutang pokoknya sebesar Rp 23.550.000.000,00 dan hutang bunga sebesar Rp 3.452.000.000,00 dengan lama tunggakan 8 (delapan) bulan shingga tingkat kolektibilitas atau pengembalian kredit terdakwa masuk golongan 4 (empat) yaitu diragukan, dari 5 (lima) kolektibilitas yaitu lancar, dalam perhatian khusus, kurang lancar, diragukan dan macet;

13.Terdakwa tidak menyetorkan seluruh hasil penjualan kios secara tunai maupun uang muka kredit sebagaimana diperjanjikan dalam perjanjian kredit tersebut maka PT. Bank Mandiri, Tbk menunjuk Kantor Akuntan Publik Paul Hadiwinata, Hidajat dan Rekan untuk melakukan pemeriksaan penerimaan dan penggunaan dana terdakwa atas fasilitas kredit;


(34)

14.Hasil audit tanggal 26 September 2003 perihal laporan hasil pemeriksaan penerimaan dan penggunaan dana PT. GJW untuk periode 1 Januari 2000 s.d 30 Juni 2003 terdapat penggunaan dana yang berasal dari kredit PT. Bank Madiri, Tbk. Telah dipergunakan untuk kepentingan lain dari terdakwa selain untuk pembiayaan pembangunan Rp 39.179.924.284,00; 15.Berdasarkan Addendum 11 Perjanjian kredit modal kerja No. 048/011/

KMK-CO/2001 tanggal 8 Januari 2004 akte notaris nomor 5 (tahap III penjadwalan ulang), fasilitas kredit disetjui untuk dilakukan penjadwalan kembali dengan syarat dan ketentuan yang telah diatur. Tetapi pada kenyataannya terdakwa sama sekali tidak dapat mengembalikan kredit modal kerja yang telah diterima dari PT. Bank Mandiri, Tbk sesuai jadwal yang telah ditentukan, malah terdakwa meminta PT. Bank Mandiri, Tbk untuk mencairkan fasilitas Bank Garansi sebesar Rp 25.000.000.000,00; 16.Berdasarkan Perjanjian Kredit Modal Kerja No. 048/032/KMK-CO/2004

tanggal 21 Desember 2004 akte notaris No. 81 (tahap V pemberian fasilitas modal kerja ex. Bank garansi sebesar Rp 25.000.000.000,00 diberikan fasilitas kredit kepada terdakwa untuk pencairan fasilitas Bank Garansi sebesar Rp 25.000.000.000,00;

17.Jatuh tempo pembayaran kewajiban terdakwa atas kredit-kredit tersebut berdasarkan perjanjian kredit modal kerja No. 048/011/KMK-CO/2001 tanggal 19 Desember 2001 akte notaris No. 69 berikut addendumnya dan No. 048/032/KMK-CO/2004 tanggal 21 Desember 2004 akta notaris No. 81 adalah tanggal 30 Juni 2005 dan ternyata sampai dengan umur


(35)

tunggakan tersebut 180 hari tidak dilakukan angsuran oleh Terdakwa PT. GJW sehingga sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia maka kredit tersebut dinyatakan macet;

18.Terdakwa dalam penggunaan fasilitas kredit modal kerja dari PT. Bank Madiri telah melakukan penyimpangan-penyimpangan sebagai berikut:

a) Berdasarkan perjanjian kredit Modal Kerja Nomor 048/001/KMK-CO/2001 tanggal 19 Desember 2001 akte notaris Nomor 69 kredit yang diajukan oleh Terdakwa PT GJW yaitu kredit modal kerja untuk tujuan penambahan pendanaan pembangnan Pasar Induk Sentra Antasari sebesar rp 25 milyar dengan jangka waktu 9 bulan sejak tanggal penandatanganan kredit namun sampai jatuh tempo kreditnya yaitu tanggal 19 September 2002 terdakwa tidk dapat memenuhi kewajiban pembayaran pelunasan kreditnya dan hanya membayar sebagian hutang Rp 1.450.000.000,00 sehingga terdakwa masih

mempunyai kewajiban hutang pokoknya sebesar Rp

23.550.000.000,00 dan hutang bunga sebesar Rp 3.452.000.000,00 dengan lama tunggakan 8 bulan;

b) Berdasarkan addendum I Perjanjian Kredit Modal Kerja No. 048/011/KMK-CO/2001 tanggal 9 Oktober 2002 akte notaris No. 24 kredit diberikan kredit tambahan sebesar Rp 50 milyar untuk tujuan penambahan pendanaan pembangunan Pasar Induk Sentra Antasari dengan jangka waktu sejak penandatangannan addendum perjanjian kredit s.d tanggal 31 Oktober 2003, ternyata terdakwa hanya


(36)

membayar Rp 5.720.000.000,00 dan hanya menyetorkan sebagian hasil penjualan ke rekening escrow I;

c) Berdasarkan addendum II Perjanjian Kredit Modal Kerja No. 048/001/KMK-CO/2001 tanggal 8 Januari 2004 Akta Notaris Nomor 5 dimana fasilitas kredit disetujui untuk dilakukan penjadwalan kembali dengan limit kredit turun menjadi Rp 67.830.000.000,00 dan jangka waktu sejak penanda tanganan addendum perjanjian kredit s.d tanggal 30 September 2004. Pada kenyataannya terdakwa hanya membayar sebesar Rp 1.030.000.000,00/ Bahwa perbuatan terdakwa tidak melaksanakan kewajiban terhadap kredit modal kerja yang telah diterima dari PT Bank Mandiri, TBk;

d) Berdasarkan addendum III Perjanjian Kredit Modal Kerja No. 048/011/KMK-CO/2001 tanggal 2 Agustus 2004 fasilitas kredit disetujui untuk dilakukan penjadwalan kembali dengan limit kredit turun menjadi Rp 66.800.000.000,00 dan jangka waktu sejak tanggal 1 Oktober 2004 s.d 30 Juni 2005. Pada kenyataannya terdakwa sama sekali tidak dapat mengembalikan kredit modal kerja yang sama sekali tidak dapat mengembalikan kredit modal kerja yang telah diterima dari PT. Bank Mandiri Tbk sesuai jadwal yang telah ditentukan, malah terdakwa meminta PT. Bank Mandiri, Tbk untuk mencairkan fasilitas Bank Garansi sebesar Rp 25.000.000.000,00.

19.Pada tanggal 16 Desember 2009 telah dilaksanakan lelang terhadap angunan tambahan berupa sebidang tanah SHM No.2411/Pegadungan


(37)

seluas 2.684 m2. SHM No. 2412/ Pegadungan seluas 2.355 m2, SHM No. 2413/Pegadungan seluas 1.812 m2, SHM No. 2414/Pegadungan seluas 2558 m2 dan SHM No. 2415 seluas 2266 m2 keseluruhan atas nama Stephanus Widagdo terletak di Kel.Pegadungan Kec. Kalideres Kodya Jakarta Barat Prov. DKI Jakarta dengan hasil bersih lelang sebesar Rp 8.370.930.000,00.

20.Jumalah kewajiban pebayaran terdakwa yang tidak dipenuhi tanggal 19 Februari 2010 adalah:

a) Kewajiban pokok sebesar Rp 83.429.070.000,00 b) Kewajiban bunga sebesar Rp 63.732.298.096,66 c) Kewajiban denda sebesar Rp 52.374.696.578,99

Sehingga total kewajiban terdakwa adalah sebesar Rp 199.536.064.675,65. 21.PT.GJW tersebut telah merugikan Keuangan Negara cq. Pemerintah Kota Banjarmasin sebesar Rp 7.332.361.516,00 berdasarkan perhitungan BPKP Perwakilan Provinsi Kalimantan Selatan dan PT. Bank Mandiri, Tbk. sebesar Rp 199.536.064.675,65;

22.Stevanus Widagdo bin Suraji Sastrodiwiryo selaku Direktur Utama PT.GJW telah dipidana berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Banjarmasin;

23.Dengan terungkapnya kasus ini kondisi Pasar sentra Antasari menjadi tidak jelas lagi siapa pengelolanya.


(38)

d. Tuntutan

Dalam Tuntutan Pidana, Penuntut Umum tetap terhadap dakwaannya. Yang menyatakan Terdakwa bersalah melanggar pasal yang didakwakan. Tuntutan pidana yang dijatuhkan kepada PT Giri Jaladhi Wana adalah:

a. Menyatakan Terdakwa PT. Giri Jaladhi Wana telah terbukti bersalah

“melakukan beberapan perbuatan Tindak Pidana Korupsi yang

berhubungan sedemikian rupa sehingga harus dipandang menjadi satu

perbuatan berlanjut” melanggar Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 jo. Pasal 20 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubahkan dengan Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP sebagaimana dalam Dakwaan Primair.

b. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa PT.Giri Jaladhi Wana dengan pidana denda sebesar Rp 1.000.000.000,00

c. Menjatuhkan pidana tambahan berupa Penutupan sementara PT.GJW selama 6 (enam) bulan.

d. Menyatakan barang bukti sebagaimana terlampir dalam berkas perkara adalah sah.

e. Menetapkan agar terdakwa dibebani membayar biaya perkara sebesar Rp 5.000,00


(39)

e. Putusan

Sebelum Majelis Hakim menjatuhkan pidana, maka Majelis Hakim wajib mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan Terdakwa sebagai berikut:

1) Hal-hal yang memberatkan:

a) Bahwa tindak pidana korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime) yang memerlukan penanganan secara luar biasa pula karena dipandang dapat menghancurkan sendi-sendi keuangan dan/atau perekonomian negara;

b) Bahwa Perbuatan Terdakwa telah merugikan Pemerintah Kota Banjarmasin dan PT. Bank Mandiri Tbk;

2) Hal-hal yang meringankan: a) Tidak ada;

Dalam Amar Putusan, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Banjarmasin dengan Putusan Nomor 812/PID.SUS/2010/PN.BJM, memutuskan:

a. Menyatakan terdakwa PT GIRI JALADHI WANA telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana KORUPSI SECARA BERLANJUT sebagaimana dalam Dakwaan Primair;

b. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa PT GIRI JALADHI WANA oleh karena itu dengan pidana DENDA sebesar Rp 1.300.000.000,00

c. Menjatuhkan pidana tambahan berupa Penutupan Sementara PT GIRI JALADHI WANA selama 6 (enam) bulan.


(40)

d. Menetapkan barang bukti sebagaimana terlampir dalam berkas perkara adalah sah.

2. Analisis Putusan Nomor 812/PID.SUS/2010/PN.BJM

a. Penuntutan Korporasi sebagai Terdakwa Dalam Tindak Pidana Korupsi

Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam hukum acara pidana dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan. Dalam tindak pidana korupsi penuntutan dapat dilakukan kepada manusia (naturlijk persoon) dan korporasi (recht persoon).

Salah satu kasus tindak pidana korupsi adalah perkara Nomor 812/PID.SUS/2010/PN.BJM atas nama tedakwa PT Giri Jaladhi Wana. PT Giri Jaladhi Wana merupakan badan usaha yang berbadan hukum sehingga dapat dikategorikan sebagai korporasi. Penempatan PT Giri Jaladhi Wana sebagai terdakwa tindak pidana korupsi didasarkan pada Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dimana korporasi (dalam hal ini PT Giri Jaladhi Wana) dapat dimintai pertanggungjawaban pidana.

PT Giri Jaladhi Wana didakwa oleh Jaksa Penuntut Umum dengan dakwaan yang disusun secara subsidaritas, yang mana dakwaan primernya adalah melanggar Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 jo Pasal 20 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP. Sementara dakwaan subsidernya adalah


(41)

melanggar Pasal 3 jo Pasal 18 jo Pasal 20 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP. Selanjutnya, setelah melakukan proses pemeriksaan sidang, Jaksa Penuntut Umum tetap pada dakwaannya.

Menurut penulis, tuntutan Jaksa Penuntut Umum dalam putusan Nomor 812/PID.SUS/2010/PN.BJM didasari pada teori direct corporate criminal liability atau yang biasa dikenal dengan teori identifikasi. Teori ini berpandangan bahwa korporasi bisa melakukan sejumlah delik secara langsung melalui para agen yang sangat berhubungan erat dengan korporasi, bertindak untuk dan/atau atas nama

korporasi. “Agen” yang dimaksud dalam teori ini adalah pengurus korporasi yang bertindak sebagai directing mind. Perbuatan dan mens rea para individu itu kemudian dikaitkan dengan korporasi. Jika individu diberi kewenagan untuk bertindak atas nama dan selama menjalankan bisnis korporasi, mens rea para individu itu merupakan mens rea korporasi.

Berdasarkan putusan Nomor 812/PID.SUS/2010/PN.BJM dapat diketahui bahwa ST. Widagdo selaku Direktur Utama PT Giri jaladhi Wana merupakan

directing mind korporasi. Sehingga tindakan yang dilakukan ST Widagdo pada

dasarnya bukan mewakili korporasi, tetapi dianggap sebagai tindakan korporasi itu sendiri sepanjang perbuatan itu dilakukan dalam rangka maksud dan tujuan korporasi.

Bertitik tolak dari pendapat Jaksa Penuntut Umum melakukan penuntutan kepada korporasi. Jaksa Penuntut Umum berpendapat dalam rumusan Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menganut ajaran


(42)

identifikasi dengan menetapkan orang-orang yang memiliki hubungan kerja atau hubungan lain selain hubungan kerja dengan korporasi adalah directing mind dari korporasi yang bersangkutan. Berkaitan dengan hal tersebut penulis sependapat dengan apa yang dikemukakan oleh Jaksa Penuntut Umum.

Selanjutnya, hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan penuntutan apabila pertanggungjawaban pidana korupsi tersebut melekat secara kumulatif baik terhadap pengurus korporasi sebagai subjek hukum orang perorangan dan korporasi sebagai subjek hukum korporasi. Maka berdasarkan Surat Edaran Jaksa Agung Nomor: B-036/A/JA/Ft,06/2009 perihal korporasi sebagai tersangka/terdakwa dalam tindak pidana korupsi, maka berkas perkara dan surat dakwaan terhadap korporasi dilakukan dan diajukan secara terpisah (splitsing) dengan berkas perkara dan surat dakwaan bagi pengurus korporasi. Splitsing128 dalam hal ini dilakukan oleh penuntut umum, yaitu dengan cara membuat berkas perkara baru, dimana para tersangka saling menjadi saksi, sehingga untuk itu perlu dilakukan pemeriksaan baru, baik terhadap saksi maupun tersangka. Hal ini dilakukan untuk menguatkan dakwaan penuntut umum.

Setelah penulis membaca berkas perkara Nomor

812/PID.SUS/2010/PN.BJM, ternyata benar bahwa berkas perkara pengurus korporasi dan berkas perkara korporasi diajukan secara terpisah. Maka, penulis berpendapat tindakan Jaksa Penuntut Umum dalam menuntut korporasi dengan berkas perkara yang terpisah dengan pengurus korporasi telah tepat dan sesuai dengan aturan yang berlaku.


(43)

Penuntutan korporasi sebagai terdakwa tindak pidana korupsi tidak terlepas dari proses dan tahap penuntutan tersebut. Penuntutan korporasi diawali dengan pembuatan surat dakwaan oleh Jaksa Penuntut Umum. Berkaitan dengan surat dakwaan, sahnya surat dakwaan apabila telah memenuhi syarat formil dan syarat materil. Syarat formil yang mengharuskan surat dakwaan memuat uraian lengkap identitas terdakwa, tentunya mengacu pada identitas orang perorangan yang merupakan manusia alamiah (naturlijk persoon) sebagai subjek hukum pidana sementara ketentuan mengenai syarat formil identitas dalam surat dakwaan bagi korporasi sebagai subjek hukum pidana yang menjadi terdakwa tidak ditentukan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP) sebagai lex generalis demikian halnya dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai lex specialis. Kekeliruan dalam merumuskan identitas terdakwa dalam surat dakwaan mengakibatkan surat dakwaan dapat dibatalkan oleh hakim.129

Sehubungan dengan hal tersebut, Kejaksaan Agung Republik Indonesia melalui Peraturan Jaksa Agung Nomor: PER-28/A/JA/10/2014, penyusunan surat dakwaan terhadap korporasi mencantumkan identitas korporasi, yaitu:

a. Nama korporasi

b. Nomor dan tanggal akta pendirian korporasi berserta perubahannya c. Nomor dan tangal akta pendirian korporasi pada saat peristiwa pidana d. Tempat kedudukan

e. Kebangsaan korporasi f. Bidang Usaha

g. Nomor pokok wajib pajak; dan

h. Identitas yang mewakili korporasi sesuai Pasal 143 ayat (2) huruf a KUHAP

129

H. Ahmad Drajad, Kendala Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Korporasi sebagai

Pelaku Tindak Pidana Korupsi,

http://www.pn-medankota.go.id/main/index.php/tentang- pengadilan/profil-pengadilan/alamat-pengadilan/384-kendala-penerapan-sanksi-pidana-terhadap-korporasi-sebagai-pelaku-tindak-pidana-korupsi diakses tanggal 2 Maret 2016 Pukul 12.11 WIB.


(44)

Berdasarkan berkas perkara Nomor 812/PID.SUS/2010/PN.BJM, penulis menemukan bahwa dalam surat dakwaan, Jaksa Penuntut Umum tidak mencantumkan poin d, poin e, poin g, dan poin h sebagaimana yang telah diatur dalam Peraturan Jaksa Agung Nomor: PER-28/A/JA/10/2014. Menurut penulis, Jaksa Penuntut Umum tidak memuat poin d, poin e, poin g, dan poin h disebabkan oleh perkara Nomor 812/PID.SUS/2010/PN.BJM lebih dahulu ada, kemudian pada tahun 2014 peraturan jaksa tersebut dikeluarkan. Sehingga, berkaitan dengan identitas terdakwa Jaksa Penuntut Umum masih mengacu pada Surat Edaran No: B-036/A/Ft./2009 perrihal Korporasi Sebagai Tersangka/Terdakwa Dalam Tindak Pidana Korupsi.

b. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Pembuktian Korporasi Sebagai Pelaku Tindak Pidana Korupsi

Dasar pertimbangan hakim dalam membuktikan PT. Giri Jaladhi Wana sebagai pelaku tindak pidana korupsi adalah:

1) Mempertimbangkan apakah perbuatan yang telah dilakukan oleh terdakwa telah memenuhi kesemua unsur dari dakwaan jaksa penuntut umum;

2) Bahwa terdakwa PT. Giri Jaladhi Wana telah didakwa oleh Jaksa Penuntut Umum dengan dakwaan yang disusun secara subsidaritas;

3) Bahwa oleh karena dakwaan Jaksa penuntut Umum disusun secara subsidaritas maka oleh karenanya majelis hakim lebih dahulu mempertimbangkan dakwaan primer;


(45)

4) Bahwa atas pledooi Penasihat Hukum terdakwa, Jaksa Penuntut Umum telah memberikan tanggapan/replik dan tetap pada tuntutan semula dan Penasihat Hukum terdakwa telah pula menyampaikan dupliknya secara tertulis yang pada pokoknya tetap pada pledooinya;

5) Bahwa atas pledooi yang diajukan terdakwa PT Giri Jaladhi Wana tersebut, Majelis akan mempertimbangkannya sebagai berikut:

a) unsur “setiap orang” dalam Pasal 1 angka 3 UUPTPK adalah orang secara individu dan korporasi (kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik berbentuk badan hukum dan bukan badan hukum);

b) ST Widagdo Direktur Utama PT.GJW yang mewakili PT GJW dihadapkan di persidangan sebagai terdakwa;

c) Berdasarkan Pasal 20 ayat (1) UUPTPK, maka tuntutan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan atau pengurusnya, kata

“dan” menunjukkan bahwa UUPTPK mengatur adanya lebih dari

satu pelaku yang dapat dikenakan dalam satu tindak pidana korupsi;

d) Bahwa salah satu asas yang diadopsi oleh pertanggungjawaban pidana korporasi adalah doctrine of vicarious liability. Asas ini lalu diadopsi oleh hukum pidana dengan alasan prakmatis, jika tidak menyeret korporasi maka kepentingan publik sangat menderita.


(46)

6) Bahwa dalam Pasal 20 ayat (7) UUPTPK mengatur bahwa pidana pokok yang dapat dijatuhkan hanya pidana denda, dengan ketentuan maksimum ditambah 1/3 (satu pertiga);

7) Bahwa mengenai alat bukti surat akan ditentukan statusnya dalam Amar Putusan;

8) Bahwa sebelum menjatuhkan pidana atas diri terdakwa, perlu dipertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang meringankan. Dasar pertimbangan hakim yang I (pertama) adalah mempertimbangkan apakah perbuatan yang dilakukan oleh PT GJW sebagai terdakwa telah memenuhi semua unsur dari Dakwaan Jaksa Penuntut Umum. Sesuai dengan dakwaan Jaksa Penuntut Umum yang disusun secara subsidaritas maka hakim lebih dahulu mempertimbangkan Dakwaan Primair, yaitu melanggar Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 jo Pasal 20 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 seagaimana telah diubah dengan undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 64 ayat (1) KUHP yang unsur-unsurnya adalah sebagai berikut:

a) Setiap orang;

Dalam ketentuan Pasal 1 angka 3 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UUPTPK) setiap orang adalah perorangan termasuk korporasi. Orang perorangan adalah orang secara individu yang dalam KUHP dirumuskan

dengan kata “barang siapa”. Sedangkan korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisir baik berbentuk badan hukum maupun bukan berbadan hukum.


(47)

Apabila dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya sebagaimana yang diatur dalam Pasal 20 ayat (1) Undang-undang Peberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Setelah membaca berkas perkara No 812/PID.SUS/2010/PN.BJM, penulis berpendapat bahwa terdakwa PT Giri Jaladhi Wana (PT GJW) merupakan badan hukum, yang kemudian dapat dikategorikan sebagai korporasi. Maka PT GJW

telah memenuhi unsur yang pertama yaitu “setiap orang”.

b) Secara melawan hukum;

Dalam hukum positif yang berlaku di Indonesia ditentukan bahwa tiap-tiap perbuatan melanggar hukum yang menimbulkan kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang karena salahnya menimbulkan kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang karena salahnya menimbulkan kerugian tersebut untukmengganti kerugian. Dengan kata lain, apabila seseorang yang melakukan

“perbuatan melawan hukum”, maka diwajibkan untuk memberikan ganti kerugian

sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1365 BW.130

Dalam hukum pidana istilah “sifat melawan hukum” memiliki 3 (tiga)

makna, yaitu131:

1. Sifat melawan hukum diartikan syarat umum dapat dipidananya suatu perbuatan sebagaimana defenisi perbuatan pidana yakni kelakukan manusia yang termasuk dalam rumusan delik, bersifat melawan hukum dan dapat dicela.

130 T. Suhaimi, Pertanggungjawaban Pidana Direksi, Books Terrace & Library: Medan,

2009, hal 84. 131


(48)

2. Melawan hukum dicantumkan dalam rumusan delik. Dengan demikian, sifat melawan hukum merupakan syarat tertulis untuk dapat dipidananya suatu perbuatan.

3. Sifat melawan hukum mengandung 2 (dua) pandangan. Pandangan yang pertama, dari sudut perbuatannya mengandung arti melanggar atau membahayakan kepentingan hukum yang hendak dilindungi oleh pembuat Undang-undang dalam rumusan delik. Dan kedua dari sudut sumber

hukumnya, “sifat melawan hukum” mengandung pertentangan dengan asas

kepatutan, keadilan, dan hukum yang hidup di masyarakat.

Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tidak mengatur secara tegas pengertian

“sifat melawan hukum”. Dalam penjelasan Pasal 2 UUPTPK dijelaskan bahwa: Yang dimaksud “secara melawan hukum” dalam Pasal ini mencakup

perbuatan melawan hukum dalam arti fomil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perudang-undangan. Namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial, maka perbuatan tersebut dapat di pidana.

Sifat melawan hukum materiil merupakan sifat melawan hukum yang luas, artinya tidak hanya melawan hukum yang tertulis saja tetapi juga hukum yang tidak tertulis. Sedangkan sifat melawan hukum formil merupakan unsur dari hukum positif yang tertulis saja, sehingga unsur itu baru merupakan unsur dari tindak pidana apabila dengan tegas disebutkan dalam rumusan tindak pidana.

Pengertian “melawan hukum” dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) diatas sama dengan pengertian “onrechtmatig” sebagaimana dimuat dalam yurisprudensi

Hoge Raad pada tanggal 31 Januari 1919 (N.J.W. 10365), yakni: “onrechmatig”


(49)

bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku melainkan juga apa yang bertentangan tatasusila maupun kepatutan dalam pergaulan masyarakat.132

Berdasarkan keterangan ahli Prof. Dr sutan Remy Sjahdeni, SH tidak semua tindak pidana yang dilakukan oleh personel Korporasi dapat dipertanggungjawabkan kepada korporasi, kecuali bahwa apabila perbuatan tersebut dilakukan atau diperintahkan oleh Directing Mind dari korporasi tersebut atau dengan kata lain bahwa untuk dapat korporasi bertanggung jawab atas perbuatan pengurusnya harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:133

a) Tindak pidana tersebut (baik dalam bentuk commission maupun omission) dilakukan atau diperintahkan oleh personil korporasi maupun di dalam struktur organisasi korporasi memiliki posisi sebagai directing mind dari korporasi;

b) Tindak pidana tersebut dilakukan dalam rangka maksud dan tujuan korporasi;

c) Tindak pidana dilakukan oleh pelaku atau atas perintah pemberi perintah dalam rangka tugasnya dalam korporasi;

d) Tindak pidana tersebut dilakukan dengan maksud memberikan manfaat bagi korporasi;

e) Pelaku atau pemberi perintah tidak memiliki alasan pembenar atau alasan pemaaf untuk dibebaskan dari pertanggung jawaban pidana.

Setelah membaca berkas perkara Nomor 812/PID.SUS/2010/PN.BJM, penulis menemukan bahwa PT GJW yang merupakan terdakwa dalam tindak pidana korupsi telah terbukti melakukan penyimpangan-penyimpangan berupa:

a) Tanpa persetujuan DPRD Kota Banjarmasim telah membangun 6.045 unit terdiri dari toko, kios, los, lapak dan warung, sehingga terjadi penambahan 900 unit bangunan. Penambahan 900 unit tersebut dijual dengan harga sebesar Rp 16.691.713.166,00 (Enam belas milyar enam ratus sembilan puluh

132 Leden marpaung, op.cit, hal 32.

133


(50)

satu juta tuju ratus tigabelas ribu seratus enam puluh enam rupiah), dan hasil penjualan tersebut tidak disetorkan ke kas daerah Kota Banjarmasin;

b) PT GJW mempunyai kewajiban kepada Pemerintah Kota Banjarmasin untuk membayar retribusi sebesar Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah); membayar pergantian uang sewa Rp 2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus juta rupiah) dan membayar uang pelunasan Kredit Inpres Pasar Antasari Rp 3.750.000.000,00 (tiga milyar tujuh ratus lima puluh juta rupiah), tetapi terdakwa hanya membayar sebesar Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah), sehingga masih terdapat kekurangan sebesar Rp 5.750.000.000,00 (lima milyar tujuh ratus lima puluh juta rupiah) yang tidak di setor ke kas Pemerintah Kabupaten Kota Banjarmasin;

c) PT GJW juga telah melakukan penyimpangan-penyimpangan berkaitan dengan penggunaan fasilitas kredit modal kerja dari PT Bank Mandiri.

PT GJW melakukan perbuatan tersebut dalam rangka maksud dan tujuan korporasi dengan maksud memberikan manfaat atau keuntungan bagi korporasi sehingga menurut penulis perbuatan tersebut dapat dikategorikan sebagai

“perbuatan melawan hukum” formil.

d) Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi;

“Memperkaya diri sendiri” artinya diri si pembuat sendirilah yang

memperoleh bertambahnya kekayaanya secara tidak sah. Sedangkan


(51)

“memperkaya suatu korporasi”, bukan si pembuat yang memperoleh atau bertambah kekayaannya oleh perbuatannya tetapi suatu korporasi. Walaupun si pembuat tidak memperoleh atau bertambahnya kekayaannya, tetapi beban tanggung jawab pidananya disamakan dengan dirinya yang mendapat kekayaan tersebut secara pribadi.

Unsur “melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi” bersifat alternatif sehingga didalam pembuktian unsur tersebut

cukup apabila salah satu unsur telah terbukti maka unsur yang lain tidak perlu dibuktikan lagi atau bisa pula secara kumulatif beberapa unsur tersebut terbukti.

Berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan, khususnya menyangkut adanya aliran dana dalam pelaksanaan Kontrak Bagi Tempat Usaha Dalam Rangka Pembangunan Pasar Induk Antasari Kota Banjarmasin yang menggunakan dana kucuran Kredit Modal Kerja dari PT.Bank Mandiri, Tbk. yang diajukan oleh terdakwa PT GJW untuk mengelola Pasar sentra Antasari, telah dapat disimpulkan adanya penambahan kekayaan terdakwa, pihak-pihak yang terlibat didalmnya maupun orang lain.

Berkaitan dengan unsur “memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi” menurut penulis, bahwa PT Giri Jaladhi Wana telah mendapat

keuntungan dari tindak pidana korupsi tersebut. PT Giri Jaladhi Wana menggunakan kucuran dana Kredit Modal Kerja dari PT Bank Mandiri Tbk. untuk

kepentingan korporasi. Sehingga, penulis simpulkan bahwa unsur “memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi” telah terpenuhi.


(1)

11. Kepada teman seperjuangan penulis Kores Leonardo Sipahutar, Immanuel Lumbantobing, Martha Sitompul, Jurgen Panjaitan yang telah memberikan motivasi dan menghibur penulis dikala lelah.

12. Kepada OJANERS (Rohana Damanik, Raphita Ivonne Claudia, Betric Banjarnahor, Ainul Mardiyah, Dyna Mindaughter, Sarah Fanny) yang telah membantu penulis selama menempuh studi di Fakultas Hukum. Serta canda tawa, dukungan yang tak bisa penulis lupakan.

13. Kepada Ira, Yunike, Frengky, Missi, Putri, Yonas, Michael yang telah menemani penulis dalam melawati hari-hari yang indah dan penuh kecerian. 14. Kepada Ayu Grace Siagian yang telah membantu penulis mencari putusan

untuk bahan penelitian penulis.

15. Kepada teman seperjuangan di Grup D dan PK Hukum Pidana yang telah banyak membantu penulis selama menempuh studi di Fakultas Hukum terkhusus Clinton, Felicia, Bona, Kevin, Erin, Yara, Andreas dan yang lainnya yang tak bisa disebutkan satu per satu.

16. Kepada Himpunan Pemuda/i Silindung (HIPSI) yang memberikan dukungan serta doa kepada penulis.

17. Kepada Paguyuban Karya Salemba Empat Universitas Sumatera Utara yang telah membantu penulis baik moril maupun materil, serta canda tawa yang tak


(2)

Akhir kata penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan perkembangan hukum di Indonesia.

Medan, Maret 2016 Hormat saya,

Sulasthree Sihombing


(3)

ABSTRAKSI

Sulasthree Sihombing1 M. Hamdan2 Rafiqoh Lubis3

Penempatan korporasi sebagai subjek hukum tindak pidana korupsi mulai berlaku pada saat Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Upaya ini bertujuan untuk memberantas tindak pidana korupsi. Namun, pada prakteknya penuntutan terhadap korporasi yang melakukan tindak pidana korupsi masih jarang dilakukan hal ini dipengaruhi oleh penempatan korporasi yang masih menuai pro dan kontra. Berkaitan dengan hukum acara, Pasal 26 UUPTPK merumuskan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan sidang dilakukan berdasarkan hukum acara pidana kecuali ditentukan lain. Hal ini menimbulkan persolan baru dalam melakukan penuntutan korporasi sebagai subjek hukum tindak pidana korupsi sebab Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak mengenal korporasi sebagai subjek hukum. Berdasarkan pokok pemikiran diatas maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan yaitu bagaimana penuntutan korporasi oleh Jaksa Penuntut Umum sebagai terdakwa tindak pidana korupsi dan bagaimana pembuktian korporasi sebagai pelaku tindak pidana korupsi dalam putusan pengadilan.

Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini menggunakan pendekatan hukum normatif (yuridis normative) dengan teknik pengumpulan data yaitu penelitian kepustakaan (library reseach) yang menitik beratkan pada data sekunder yaitu memaparkan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan judul skripsi serta buku-buku, artikel, majalah yang menjelaskan peraturan perundang-undangan dan dianalisis secara kualitatif/

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk melakukan penuntutan terhadap korporasi dapat dilakukan dengan menggunakan teori corporate criminal liabilty, teori strict liabilty, teori vicarious liabilty, dan teori agregat. korporasi yang didudukkan sebagai terdakwa tindak pidana korupsi masih mengacu pada ketentuan hukum acara pidana yang berlaku dengan beberapa kekhususan yang diatur dalam Surat Edaran Jaksa Agung Nomor: B-036/Ft.1/06/2009 tentang korporasi sebagai terdakwa/tersangka dalam tindak pidana korupsi serta Peraturan Jaksa Agung Nomor: PER-28/A/JA/10/2014 Tentang pedoman Penanganan Perkara Pidana Dengan Subjek Hukum Korporasi. Dasar pertimbangan hakim adalah minimal dua alat bukti yang saling bersesuaian ditambah dengan keyakinan hakim dan disertai alasan yang logis.


(4)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

ABSTRAK... v

DAFTAR ISI... vi

DAFTAR TABEL ... ix

BAB I : PENDAHULUAN……….……….. 1

A. Latar Belakang……...……….………... 1

B. Perumusan Masalah………..………... 8

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan………... 8

D. Keaslian Penulisan………...………...….. 9

E. Tinjauan Pustaka………..…………... 9

1. Korupsi dan Ruang Lingkup Tindak Pidana Korupsi...………... 9

2. Korporasi Sebagai Subjek Hukum Pidana……...…………... 25

3. Penuntutan dan Jaksa Penuntut Umum...……... 30

4. Pengertian Pembuktian dalam Perkara Pidana... 33

F. Metode Penelitian………... 37


(5)

BAB II : PENUNTUTAN KORPORASI OLEH JAKSA PENUNTUT

SEBAGAI TERDAKWA TINDAK PIDANA KORUPSI... 42

A.Kewenangan Jaksa Penuntutan Umum Menurut Hukum Acara Pidana………... 42

B.Kewenangan Penuntutan dalam Tindak Pidana Korupsi………... 47

C.Penuntutan Korporasi sebagai Terdakwa dalam Tindak Pidana Korupsi………... 53

BAB III : PEMBUKTIAN KORPORASI SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM PUTUSAN PENGADILAN (PUTUSAN NO. 812/PID.SUS/2010/PN.BJM)……...………. 69

A. Pembuktian Tindak Pidana Menurut Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana Indonesia ……… ………...……... 71

1. Teori Pembuktian yang Dianut dalam Hukum Acara Pidana Indonesia... 71

2. Alat-alat Bukti yang Sah Menurut Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana... 75

B. Pembuktian Tindak Pidana Korupsi di Indonesia... 83

C. Pembuktian Korporasi Sebagai Pelaku Tindak Pidana Korupsi Dalam Putusan Nomor 812/PID.SUS/2010/PN.BJM…... 89

1. Kasus Posisi ………... 89

a. Kronologis Perkara.………..………....…….. 89

b. Dakwaan………....…....…...……….. 91


(6)

2. Analisis Putusan…..………...……... 103

a. Penuntutan Korporasi sebagai Terdakwa Tindak Pidana Korupsi...…………... 103

b. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Pembuktian Korporasi Sebagai Pelaku Tindak Pidana Korupsi.... 108

BAB IV : KESIMPULAN DAN SARAN………... 119

A. Kesimpulan………... 119

B. Saran………... 120