Penuntutan Korporasi Oleh Jaksa Penuntut Umun Dan Pembuktian Korporasi Sebagai Pelaku Tindak Pidana Korupsi (Studi Putusan Nomor 812 Pid.Sus 2010 Pn.Bjm)
BAB II
PENUNTUTAN KORPORASI OLEH JAKSA PENUNTUT
SEBAGAI TERDAKWA TINDAK PIDANA KORUPSI
A. Kewenangan Jaksa Penuntut Umum Menurut Hukum Acara Pidana
Indonesia
Istilah kejaksaan sebenarnya sudah ada sejak lama di Indonesia. Pada zaman
kerajaan Hindu-Jawa di Jawa Timur, yaitu pada masa Kerjaan Majapahit, istilah
dhyaksa, adhiyaksa, dan dharmadhyaksa sudah mengacu pada posisi jabatan
tertentu di kerajaan. Istilah-istilah ini berasal dari bahasa kuno, yakni dari katakata yang sama dalam Bahasa Sansekerta.64
...............................................................
Pada masa pendudukan Belanda, badan yang ada relevansinya dengan jaksa
dan Kejaksaan antara lain adalah Openbaar Ministerie. Lembaga ini
memerintahkan pegawai-pegawainya berperan sebagai Magistraat dari Officier
van Justitie di dalam sidang Landraad (pengadilan Negeri), Jurisdictie Geschillen
(Pengadilan Justisi) dan Hooggerechtshoft (Mahkamah Agung) dibawah perintah
langsung dari Residen/Asisten Residen.65
Pada prakteknya fungsi tersebut lebih cenderung sebagai perpanjangan
tangan Belanda belaka. Dengan kata lain, jaksa dan Kejaksaan pada penjajahan
Belanda mengemban misi terselubung yakni antara lain:66
64
Kejaksasaan Agung Republik Indonesia, Sejarah Kejaksaan Republik Indonesia,
http://kejaksaan.go.id/profil_kejaksaan.php?id=3 diakses tanggal 26 Februari 2016 pukul 9.12 wib.
65
Ibid.
66
Ibid
Universitas Sumatera Utara
a. Mempertahankan segala peraturan negara
b. Melakukan penuntutan segala tindak pidana
c. Melaksanakan putusan pengadilan yang berwenang
Fungsi sebagai alat penguasa itu akan sangat kentara, khususnya dalam
menerapkan delik-delik yang berkaitan dengan hatzaai artikelen yang terdapat
dalam Wetboek van Strafrecht (WvS).67
Perananan Kejaksaan sebagai satu-satunya lembaga penuntut secara resmi
difungsikan pertama kali oleh Undang-Undang pemerintah zaman pendudukan
tentara Jepang No. 1/1942, yang kemudian diganti oleh Osamu Seirei No.3/1942,
No.2/1944 dan No.49/1944. Eksistensi Kejaksaan itu berada pada semua jenjang
pengadilan, yakni sejak Saikoo Hoooin (Pengadilan Agung), Koootooo Hooi
(Pengadilan Tinggi) dan Tihooo Hooin (Pengadilan Negeri). Pada masa itu, secara
resmi digariskan bahwa Kejaksaan memiliki kekuasaan untuk: 1) mencari
(menyidik) kejahatan dan pelanggaran, 2) menuntut perkara, 3) menjalankan
putusan pengadilan dalam perkara kriminal, 4) mengurus pekerjaan lain yang
wajib dilakukan menurut hukum.68
Begitu Indonesia merdeka, keempat fungsi tersebut tetap dipertahankan
dalam negara Republik Indonesia, hal itu ditegaskan dalam Pasal II Aturan
Peralihan UUD 1945mengamanatkan bahwa sebelum Negera Republik Indonesia
membentuk badan-badan dan peraturan negaranya sendiri sesuai dengan
ketentuan Undang-Undang Dasar, maka segala badan yang ada masih tetap
67
68
Ibid.
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
berlaku. Karena itulah secara yuridis formal, Kejaksaan RI telah ada sejak
kemerdekaan Indonesia diproklamasikan.
Didalam KUHAP, wewenang penyelidikan, penyidikan, penangkapan dan
penahanan berada di tangan lembaga kepolisian. Sedangkan penuntutan berada
ditangan lembaga kejaksaan . Pemisahan lembaga kepolisian sebagai lembaga
penyidik dan lembaga kejaksaan sebagai penuntut umum adalah mencerminkan
adanya
sistem
pengawasan
dengan
alasan
demi
kepentingan
hak-hak
tersangka/terdakwa.69
Jaksa70 adalah sebutan bagi institusi dalam sistem peradilan pidana yang
memiliki fungsi menuntut dan membuat dokumen. Dalam teori hukum, baik
dalam tradisi Anglo Saxon atau Eropa Kontinental, jaksa merupakan tokoh utama
dalam penyelenggaraan peradilan pidana. Hal ini disebabkan jaksa adalah pihak
yang berperan penting dalam membuat dakwaan atau tuntutan yang merupakan
ruang lingkup pemeriksaan dalam persidangan di Pengadilan Negeri, Pengadilan
Tinggi maupun Mahkamah Agung.
Peranan aparat Kejaksaan sebagai lembaga supra struktur hukum di negaranegara berkembang nampaknya masih menunjukkan suatu arah pertumbuhan
yang lebih dewasa. Hal tersebut terutama disebabkan oleh adanya perubahan dan
nilai-nilai ketertiban hukum yang terjadi di dalam masyarakatnya.
Kejaksaan mempunyai tugas, fungsi dan wewenang dalam bidang pidana,
perdata dan tata usaha negara serta dalam bidang ketertiban dan ketentraman
69
Badan Pembina Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusi RI,
Analisis dan Evaluasi Hukum Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi: Jakarta,
2008, hal 8
70
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
umum. Disamping itu Kejaksaan dapat diserahi tugas dan wewenang lain
berdasarkan undang-undang dan peraturan lainnya. Dalam Pasal 2 Undangundang Nomor 16 Tahun 2004 dinyatakan bahwa Kejaksaan Republik Indonesia
yang selanjutnya dalam Undang-undang ini disebut Kejaksaan adalah lembaga
pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta
kewenangan lain berdasarkan undang-undang.
Adapun tugas dan wewenang Kejaksaan dibidang pidana diatur dalam Pasal
30 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik
Indonesia, antara lain:
a. Melakukan penuntutan ;
b. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pegadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap;
c. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana
bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas
bersyarat;
d. Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan
undang-undang;
e. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan
pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang
dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.
Dalam Pasal 1 butir 6 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang
Hukum Acara Pidana disebutkan bahwa:
Universitas Sumatera Utara
a. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh Undang-undang ini
untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
b. Penuntut umum adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh undangundang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan
hakim.
Kewenangan Jaksa Penuntut Umum diatur dalam Bab IV KUHAP Pasal 14
yaitu:
1. Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik
atau penyidik pembantu;
2. Mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan
dengan memperhatikan ketentuan pasal 110 ayat (3) dan ayat (4),
dengan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan
dari penyidik;
3. Melakukan penahanan, memberikan perpanjangan penahanan atau
penahanan lanjutan dan atau mengubah stastus tahanan setelah
perkaranya dilimpahkan oleh penyidik;
4. Membuat surat dakwaan;
5. Melimpahkan perkara ke pengadilan;
6. Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuanketentuan hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat
panggilan, baik kepada terdakwa maupun kepada saksi, untuk datang
pada sidang yang telah ditentukan;
Universitas Sumatera Utara
7. Melakukan penuntutan;
8. Menutup perkara demi kepentingan umum;
9. Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab
sebagai penuntut umum menurut ketentuan undang-undang ini;
10. Melaksanakan penetapan hakim.
Dari perincian wewenang tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa
Jaksa/Penuntut Umum di Indonesia tidak mempunyai wewenang menyidik
perkara dalam tindak pidana umum, misalnya pembunuhan, pencurian, dan lain
sebagainya dari permulaan ataupun lanjutan. Ini berarti Jaksa atau Penuntut
Umum di Indonesia tidak dapat melakukan penyelidikan/penyidikan terhadap
tersangka atau terdakwa. Ketentuan Pasal 14 ini disebut sistem tertutup, artinya
tertutup kemungkinan jaksa atau penuntut umum melakukan penyidikan meskipun
dalam arti insidental dalam perkara-perkara berat, khususnya dari segi pembuktian
dan masalah teknik yuridisnya. Kekecualiannya adalah Jaksa atau Penuntut
Umum dapat menyidik perkara dalam tindak pidana khusus, misalnya tindak
pidana subversi, korupsi, dan lain sebagainya.
B. Kewenangan Penuntutan dalam Tindak Pidana Korupsi
Dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang
Kejaksaan Republik Indonesia dengan tegas menyebutkan bahwa Kejaksaan
adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang
penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang.
Universitas Sumatera Utara
Selain itu Pasal 30 ayat (1) huruf a memberikan tugas dan wewenang
kepada Kejaksaan untuk melakukan penuntutan di bidang pidana, termasuk
tentunya kewenangan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. Tumpang tindih
kewenangan dalam hal siapa yang berwenang untuk melakukan penuntutan
terhadap tindak pidana korupsi muncul setelah dikeluarkannya Undang-undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Kewenangan Penuntutan dalam Tindak Pidana Korupsi berada dalam dua
lembaga yaitu, Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tumpang
tindih kewenangan antara sub sistem dalam sistem peradilan pidana tentang siapa
yang berwenang melakukan penyidikan pada perkara tindak pidana korupsi
setelah keluarnya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi dimulai dengan rumusan Pasal 26 Undang-undang Nomor
31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 71 yang
merumuskan: “Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang Pengadilan
terhadap tindak pidana korupsi, dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang
berlaku, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini.72
Secara gramatikal arti kalimat “berdasarkan hukum acara yang berlaku”
tentunya merujuk kepada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP,
karena selain KUHAP tidak ada lagi hukum acara pidana lain yang berlaku di
Indonesia. Hal tersebut juga berarti bahwa terhadap tindak pidana korupsi, harus
71
Sahuri Lasmadi, Tumpang Tindih Kewenangan Penyidikan Pada Tindak Pidana
Korupsi
Dalam
Perspektif
Sistem
Peradilan
Pidana,
http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:VGUKRIokIDsJ:onlinejournal.unja.ac.id/index.php/jimih/article/download/200/177+&cd=1&hl=en&ct=clnk&gl=id
diakses tanggal 26 Februari 2016 pukul 10.30 wib, hal 3
72
Sama dengan rumusan Pasal 39 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Korupsi.
Universitas Sumatera Utara
dilakukan penyidikan berdasarkan Pasal 106 s.d Pasal 136 KUHAP oleh penyidik
menurut Pasal 1 angka 1 s.d angka 5, yaitu polisi. Sedangkan penuntutan tindak
pidana dilakukan menurut Pasal 137 s.d Pasal 144 KUHAP oleh Penuntut Umum,
yaitu jaksa. Ketentuan Pasal 26 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang
sangat baik dan benar, justru dikaburkan kembali oleh Pasal 27 Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 dimana untuk tindak pidana yang sulit pembuktiannya,
akan dibentuk tim gabungan dibawah koordinasi Jaksa Agung.
Selain Kejaksaan, KPK juga memiliki kewenangan untuk melakukan
penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. Hal tersebut dapat dilihat dalam
rumusan Pasal 6 huruf c Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Korupsi, yaitu KPK mempunyai tugas
melakukan tindakan
penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi.
Rumusan pasal ini jelas bahwa KPK juga berwenang melakukan tindakan
penuntutan terhadap tindak pidana korupsi.
Undang-undang KPK memberikan batasan terhadap tindak pidana korupsi
mana saja yang dapat ditangani oleh KPK. Sebagaimana yag ditegaskan dalam
Pasal 11 Undang-Undang KPK bahwa dalam melaksanakan tugasnya, KPK
berwenang untuk melakukan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi:
(1) Yang melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang
lain yang ada kaitannya oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara
negara;
(2) Mendapatkan perhatian yang meresahkan masyarakat;
(3) Menyangkut kerugian negara paling sedikit satu milyar rupiah.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan ketentuan Pasal 11 Undang-Undang KPK apabila suatu tindak
pidana korupsi masuk dalam rumusan pasal tersebut, maka KPK yang berwenang
melakukan tindakan penuntutan. Namun, dalam beberapa kasus korupsi di
Indonesia yang nilai kerugian negara ditafsirkan di atas satu milyar serta
melibatkan penyelenggara negara dalam hal ini pemerintah, penuntutan perkara
korupsi tersebut malah ditangani oleh Kejaksaan, bukan KPK.73
Tabel 2. Perbedaan Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dengan
Kejaksaan Republik Indonesia
No
KPK
Kejaksaan
1.
Bahwa sesuai dengan Pasal 43
Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999
tentang
Pemberantasan
Tindak
Pidana
Korupsi
sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999
tentang
Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, maka perlu
dibentuk Komisi Pemberantasan
Korupsi.Komisi
Pemberantasan
Korupsi adalah lembaga negara
yang dalam melaksanakan tugas
dan
wewenangnya
bersifat
independen
dan
bebas
dari
pengaruh kekuasaan manapun.KPK
dibentuk
dengan
tujuan
meningkatkan daya guna dan hasil
guna
terhadap
upaya
pemberantasan
tindak
pidana
korupsi.
Kejaksaan
adalah
lembaga
pemerintahan
yang
melaksanakan kekuasaan negara
dibidang
penuntutan
serta
kewenangan lain berdasarkan
undang-undang.
Jaksa adalah pejabat fungsional
yang diberi wewenang oleh
undang-undang untuk bertindak
sebagai penuntut umum dan
pelaksana putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap serta wewenang
berdasarkan undang-undang.
Penuntut umum adalah jaksa
yang diberi wewenang oleh
undang-undang
ini
utuk
melakukan penuntutan dan
melaksanakan pentepan hakim.74
73
Rangga Trianggara Paonganan, Kewenangan Penuntutan Komisi Pemberantasan
Korupsi Dan Kejaksaan Dalam Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, Lex Crimen Vol. II,
http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/lexcrimen/article/viewFile/997/810 diakses tanggal 26
Februari 2016 pukul 14.12 WIB.
74
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia
Universitas Sumatera Utara
No
2.
KPK
Kejaksaan
Komisi Pemberantasan Korupsi Kejaksaan mempunyai tugas dan
mempunyai tugas:
wewenang:
a. Koordinasi dengan instansi
a. Melakukan penuntutan;
yang berwenang melakukan
b. Melaksanakan penetapan
pemberantasan
tindak
hakim
dan
putusan
pidana korupsi;
pengadilan yang telah
b. Supervisi terhadap instansi
memperoleh
kekuatan
yang berwenang melakukan
hukum tetap;
pemeberantasan
tindak
c. Melakukan pengawasan
pidana korupsi;
terhadap
pelaksanaan
c. Melakukan
penyelidikan,
putusan pidana bersyarat,
penyidikan, dan penuntutan
putusan
pidana
terhadap tindak pidana
pengawasan,
dan
korupsi;
keputusan
lepas
d. Melakukan
tindakanbersyarat;
tindakan pencegahan tindak
d. Melakukan penyidikan
pidana korupsi; dan
terhadap tindak pidana
e. Melakukan
monitor
tertentu
berdasarkan
terhadap
penyelenggara
undang-undang;
pemerintahan negara.
e. Melengkapi
berkas
perkara tertentu dan
KPK berwenang:
untuk
itu
dapat
a. Mengkoordinasikan
melakukan pemeriksaan
penyelidikan, penyidikan,
tambahan
sebelum
dan penuntutan terhadap
dilimpahkan
ke
tindak pidana korupsi;
pengadilan yang dalam
b. Menetapkan
sistem
pelaksanaannya
pelaporan dalam kegiatan
dikoordinasikan dengan
pemberantasan
tindak
penyidik.
pidana korupsi kepada
instansi yang terkait;
c. Meminta informasi tentang
kegiatan
pemberantasan
tindak
pidana
korupsi
kepada instansi yang terkait;
d. Melaksanakan
dengar
pendapat atau pertemuan
dengan
instansi
yang
berwenang
melakukan
pemberntasan tindak pidana
korupsi; dan
e. Meminta laporan instansi
terkait
mengenai
pencegahan tindak pidana
korupsi.
Universitas Sumatera Utara
No
3.
KPK
Kejaksaan
Pasal 11 Undang-undang Nomor 30
Tahun 2002 tentang KPK, memberi
kewenangan
kepada
KPK
mengatasi perkara tindak pidana
korupsi yang sebagai berikut:
Tidak diatur secara limitatif di
dalam
undang-undang
sebagaimana
halnya
dalam
Undnag-undang Nomor 30
Tahun 2002
a. Melibatkan aparat penegak
hukum,
penyelenggara
negara, dan orang lain yang
ada kaitannya dengan tindak
pidana
korupsi
yang
dilakukan
oleh
aparat
penegak hukum;
b. Mendapat perhatian yang
meresahkan
masyarakat;
dan/atau
c. Menyangkut
kerugian
negara paling sedikit Rp
1.000.000.000,00
(satu
milyar rupiah)
4.
KPK
dalam
melaksanakan
wewenangnya, berwenang untuk
mengambil
alih
penuntutan
terhadap pelaku tindak pidana
korupsi yang sedang dilakukan oleh
pihak Kejaksaan sebagaimana
diatur dalam Pasal 8 ayat 2
Undang-undang Nomor 30 Tahun
2002:
Sementara Kejaksaan, Undangundang hanya memberikan
kewenangan untuk menjalin
kerja sama dengan badan
penegak hukum dan keadilan
serta badan negara atau instansi
lain. Sebagaimana diatur dalam
Pasal 33 Undang-undang Nomor
16
Tahun
2004
tentang
Kejaksaan RI.
“Dalam melaksanankan wewanag
sebagaimana dimaksud pada ayat 1,
Komisi Pemberantasan Korupsi
berwenang juga mengambil alih
penyidikan atau penuntutan
terhadap palaku tindak pidana
korupsi yang sedang dilakukan oleh
kepolisian atau kejaksaan”
Universitas Sumatera Utara
No
KPK
Kejaksaan
5.
Pasal 40 Undang-undang Nomor 30 Kejaksaan dapat mengeluarkan
Tahun 2002, KPK tidak berwenang Surat Penghentian Penuntutan
mengeluarkan
Surat
Perintah Perkara
Penghentian Penuntutan Perkara
Tindak Pidana Korupsi
6.
Berdasarkan Pasal 53 Undangundang Nomor 30 Tahun 2002,
perkara tindak pidana korupsi yang
penuntutannya dilakukan oleh
Komisi Pemberantasan Korupsi
hanya dilakukan di Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi.75
Perkara Tindak Pidana Korupsi
yang proses penuntutannya
dilakukan oleh Kejaksan hanya
dilakukan
di
Pengadilan
Umum.76
Meskipun ada dua lembaga yang memiliki kewenangan dalam melakukan
penuntutan terhadap perkara tindak pidana korupsi. Diperlukan singkronisasi
dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi. Singkronisasi yang bersifat
vertikal merupakan langkah awal untuk menangani perkara tindak pidana
korupsi,karena dimulai dari tingkat penyidikan, penuntutan sampai pelaksanaan
putusan hakim. Masing-masing kedua lembaga tersebut harus mempunyai
pandangan yang sama dalam menetapkan pasal.
C. Penuntutan Korporasi sebagai Terdakwa dalam Tindak Pidana Korupsi
Setiap perbuatan dapat dimintai pertanggungjawaban pidana apabila telah
melanggar ketentuan perundang-undangan atau dalam hukum pidana Indonesia
disebut dengan “perbuatan melawan hukum atau wederrechtelijkheid”. Artinya,
75
Badan Pembina Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusi RI,
Op.Cit, hal 45.
76
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
bahwa ada persoalan apakah dalam suatu tindak pidana si pelaku harus tahu
bahwa perbuatannya dilarang oleh hukum pidana.77
Perbuatan melawan hukum dibedakan menjadi dua, yaitu perbuatan
melawan hukum materil dan perbuatan melawan hukum formil. Menurut Pompe,
dari istilahnya saja sudah jelas, melawan hukum (wederrechtelijk) jadi
bertentangan dengan hukum, bukan bertentangan dengan ketentuan undangundang. Dengan demikian Pompe memandang “melawan hukum” sebagai yang
dimaksud dengan melawan hukum materiil. Ia melihat kata on rechtmatig
(bertentangan dengan hukum) sinonim dengan wederhechtelijk (melawan
hukum).78 Sedangkan melawan hukum formil diartikan bertentangan dengan
undang-undang. Apabila suatu perbuatan telah mencocoki rumusan delik, maka
biasanya dikatakan telah melawan hukum formil.
Sifat melawan hukum materiil dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu, 79 sifat
melawan hukum materil dalam arti negatif artinya hakim dapat membebaskan
seseorang meskipun perbuatan tersebut telah memenuhi unsur-unsur (delik)
pidana tetapi secara materil perbuatan tersebut tidak bertentangan dengan
kepatutan yang terjadi dalam masyarakat. Selanjutnya, sifat melawan hukum
dalam arti positif yaitu hakim menghukum seseorang meskipun orang itu tidak
melakukan perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang tetapi perbuatan
itu sangat tercela dalam kehidupan masyarakat karena telah melanggar asas
kepatutan yang berlaku dalam masyarakat.
77
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, Refika Aditama:
Jakarta, 2003, hal 71.
78
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta: Jakarta, 2008, hal 133.
79
Syarifuddin Kalo, Pada saat kuliah umum, Mata Kuliah Kapita Selekta Pada Tanggal
30 April 2015.
Universitas Sumatera Utara
Melawan hukum materiil harus berarti hanya dalam arti negatif, artinya
kalau tidak ada melawan hukum (materiil) maka merupakan dasar pembenar.
Dalam penjatuhan pidana harus dipakai hanya melawan hukum formil, artinya
yang bertentangan dengan hukum positif yang tertulis, karena alasan asas nullum
crimen sine lege stricta yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP.
Sedikit sekali tindak pidana korupsi yang mencantumkan unsur melawan
hukum dalam rumusan tindak pidana, ialah Pasal 2, Pasal 12e, Pasal 23 jo Pasal
429 KUHP, Pasal 23 jo Pasal 430 KUHP. Jadi hanya ada 4 pasal tindak pidana
korupsi yang tegas mencantumkan unsur melawan hukum. Dalam Pasal 2 ayat (1)
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana yang telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 yang menyebutkan bahwa:
Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat
merugikan keuangan negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup
atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua
puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Dalam penjelasannya disebutkan bahwa “secara melawan hukum” yang
dimaksud dalam pasal ini adalah perbuatan melawan hukum formil dan perbuatan
melawan hukum materiil.
Mahkamah Konstitusi memutuskan dalam Putusan Nomor 003/PUUIV/2006 bahwa “pengertian melawan hukum secara materiil” yang diterapkan
secara positif berdasarkan penjelasan Pasal 2 Undang-undang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi “tidak mengikat” karena maksudnya bertetangan dengan
asas legalitas. Oleh karena itu, penerapan sifat melawan hukum materiil secara
Universitas Sumatera Utara
negatif, artinya menjadi salah satu dasar peniadaan pidana di luar undang-undang
yang dikenal dalam doktrin hukum pidana dan yurisprudensi.
Selain adanya “perbuatan melawan hukum” suatu perbuatan dapat dituntut
apabila ada “kesalahan” yang menyertai suatu perbuatan itu. Dalam pengertian
hukum pidana dapat disebut ciri atau unsur kesalahan dalam arti luas, yaitu: 80 1)
dapatnya dipertanggungjawabkan pembuat; 2) adanya kaitan psikis antara
pembuat dan perbuatan , yaitu adanya sengaja atau kesalahan dalam arti sempit
(culpa); 3) Tidak adanya dasar peniadaan pidana yang menghapus dapatnya
dipertanggungjawabkan sesuatu perbuatan kepada pembuat.
Dari yang tersebut pada butir 3 dapat dilihat kaitan antara kesalahan dan
melawan hukum. Tetapi seperti dikatakan oleh Vos, mungkin ada melawan
hukum tanpa adanya kesalahan. Melawan hukum adalah perbuatan yang abnormal
secara objektif. Kalau perbuatan itu sendiri tidak melawan hukum berarti bukan
perbuatan abnormal. Untuk hal ini tidak lagi diperlukan jawaban siapa
pembuatnya. Kalau perbuatannya sendiri tidak melawan hukum berarti
pembuatnya tidak bersalah. Kesalahan adalah unsur subjektif, yaitu untuk untuk
pembuat tertentu. Dapat dikatakan bahwa ada kesalahan jika pembuat dapat
dipertanggungjawabkan atas perbuatannya.81
Dalam delik korupsi sangat sulit membuktikan “kesalahan” suatu korporasi,
baik berupa kesengajaan maupun kealpaan. Hal ini disebabkan karena subjek
hukum dalam tindak pidana korupsi tidak selaras dengan subjek hukum dalam
KUHP. Sehingga Jaksa Penuntut Umum kesulitan mendapat teori-teori/doktrin
80
81
Andi Hamzah, Asas-asas...., Op.Cit., hal 130
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
dan dasar hukum tentang “kesalahan” orang perorang yang pada umumnya para
ahli pidana sepakat bahwa hanya orang yang dapat memiliki unsur “kesalahan”.
Kekeliruan JPU dalam membuktikan perbuatan sebagai kesalahan individu
(naturlijk persoon) dalam tindak pidana korporasi dapat mengakibatkan terdakwa
diputus bebas (vrijspraak) oleh pengadilan.82
Di Belanda83 ditetapkan korporasi dalam hukum pidana dapat melakukan
tindak pidana, oleh karena itu dapat dituntut dan dijatuhi hukuman, melalui tiga
tahap tentang diakuinya badan hukum sebagai subjek hukum pidana:
a. Pertama, tahap ini ditandai dengan usaha-usaha agar sifat tindak pidana yang
dilakukan badan hukum dibatasi pada perorangan (naturlijk persoon),
sehingga apabila suatu tindak pidana terjadi dalam suatu lingkungan badan
hukum maka suatu tindak pidana dianggap dilakukan oleh pengurus badan
hukum tersebut. Dalam tahap ini berlaku asas “universitas delinguere non
potest” yaitu badan hukum tidak dapat melakukan suatu tindak pidana.
b. Kedua, tahap ini bahwa suatu tindak pidana dapat dilakukan oleh badan
hukum, tetapi tanggung jawab telah dibebankan kepada pengurus atau badan
hukum tersebut. Perumusan khusus untuk badan hukum tersebut yakni
apabila suatu tindak pidana dilakukan oleh atau karena suatu badan hukum,
tuntutan hukum pidana dan hukum pidana harus dijatuhkan kepada pengurus.
Jadi dalam hal ini orang seolah-olah badan hukum dapat melakukan tindak
pidana tetapi secara riel yang melakukan perbuatan adalah manusia sebagai
wakil-wakilnya.
c. Ketiga, tahap ini merupakan permulaan adanya tanggungjawab langsung
badan hukum, secara kumulatif badan hukum dapat dipertanggungjawabkan
menurut hukum pidana di samping mereka sebagai pemberi perintah atau
pemberi pimpinan yang nyata telah berperan pada tindak pidana itu.
Dalam Pasal 20 ayat (1) menyebutkan bahwa dalam hal tindak pidana
korupsi dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, maka tuntutan dan
pemidanaan dapat diberikan kepada:
82
83
Eddy Rifai, op.cit., hal 7
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
a. Korporasi; dan atau
b. Pengurusnya
Selanjutnya dalam Pasal 20 ayat (2) dinyatakan bahwa tindak pidana
korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh
orang-orang: yang berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan
lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut, baik sendiri maupun
bersama-sama.84
Dalam menafsirkan “orang-orang berdasarkan hubungan kerja”, dapat
ditarik dari pengertian korporasi itu sendiri. Pada dasarnya korporasi diartikan
sebagai kumpulan orang-orang atau kekayaan yang mengikatkan diri untuk tujuan
tertentu. Dari pengertian tersebut, dapat diketahui suatu korporasi dibentuk untuk
mencapai tujuan tertentu yang telah ditetapkan, dan dalam rangka mencapai
tujuannya itu tentunya orang-orang yang mengikatkan diri dalam korporasi
tersebut akan melakukan berbagai kegiatan atau perbuatan sesuai dengan
kedudukan dan fungsinya masing-masing.85
Sutan Remy Sjahdeni mengartikan yang dimaksud dengan “orang-orang
berdasarkan hubungan kerja” adalah orang-orang yang memiliki hubungan kerja
sebagai pengurus atau pegawai,yaitu:86
a. Berdasakan anggaran dasar dan perubahannya;
b. Berdasarkan kepangkatan sebagai pegawai dan perjanjian kerja dengan
koporasi;
84
Marwan Efendy, op.cit., hal 92.
Rony Saputra, op.cit., hal 15.
86
Sutan Remi Sjahdeni, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Grafitipers: Jakarta,
2006, hal 151.
85
Universitas Sumatera Utara
c. Berdasarkan surat pengangkatan sebagai pegawai;
d. Berdasarkan perjanjian kerja sebagai pegawai;
Yang dimaksud dengan “orang-orang berdasarkan hubungan lain”87 adalah
orang-orang yang memiliki hubungan lain selain hubungan kerja dengan
korporasi, antara lain mewakili korporasi untuk melakukan perbuatan hukum
untuk dan atas nama korporasi berdasarkan: 1) Pemberian kuasa; 2) Perjanjian
dengan pemberi kuasa (pemberi kuasa bukan diberikan dengan surat kuasa
tersendiri tetapi dicantumkan dalam perjanjian sehingga merupakan bagian yang
tidak terpidahkan dari perjanjian tersebut); 3) Pendelegasian wewenang.
Jika tindak pidana korupsi tersebut dilakukan oleh suatu korporasi maka
tuntutan pidananya diwakili oleh pengurus korporasi, yaitu organ korporasi yang
menjalankan kepengurusan korporasi yang bersangkutan, sesuai anggaran dasar,
termasuk mereka yang dalam kenyataannya memiliki kewenangan dan ikut
memutuskan kebijakan korporasi yang dapat dikualifikasikan sebagai tindak
pidana korupsi.
Tahap-tahap penuntutan korporasi sebagai subjek hukum pidana tindak
korupsi adalah sebagai berikut:
a. Pra Penuntutan
Pra penuntutan adalah tindakan penuntut umum meneliti/mempelajari
berkas perkara hasil penyidikan yang diserahkan penyidik guna menentukan
apakah persyaratan yang diperlukan guna melakukan penuntutan sudah terpenuhi
atau belum oleh hasil penyidikan tersebut. Tenggang waktu prapenuntutan
87
Roni Saputra, Op.Cit., hal 15.
Universitas Sumatera Utara
sebenarnya paling lama 28 hari tetapi dalam prakteknya sangat bervariasi, dan
inilah termasuk salah satu kelemahan KUHAP. 88 Bilamana Jaksa Penuntut Umum
setelah mempelajari berkas perkara dan dari hasil pemeriksaan ternyata berkas
sudah lengkap, maka penuntut umum memberitahukan hal itu kepada penyidik
dan meminta agar tersangka dan barang bukti segera diserahkan kepadanya.
Sebaliknya bila dalam penelitian itu ternyata hasil penyidikan belum lengkap,
maka penuntut umum mengembalikan berkas perkara kepada penyidik disertai
dengan petunjuk-petunjuk guna melengkapi hasil penyidikan tersebut.
Kelengkapan hasil penyidikan sangat menentukan keberhasilan penuntutan,
oleh karena itu penuntut umum harus benar-benar teliti dan jeli dalam
mempelajari dan meneliti berkas perkara yang bersangkutan. 89Apabila penuntut
umum kurang cermat dalam mempelajari dan meneliti berkas perkara, maka
berkas perkara yang kurang lengkap yang lolos dari penelitian merupakan “cacat”
yang akan terbawa ketahap penuntutan. Dengan sendirinya hal itu merupakan
kelemahan pula dalam melakukan penuntutan perkara yang bersangkutan.
Apabila penuntut umum telah menyatakan bahwa hasil penyidikan telah
lengkap, kemudian ternyata bahwa masih ada hal-hal lain yang belum lengkap,
maka kekurangan tersebut tidak dapat dilengkapi lagi. Karena apabila penuntut
umum telah menyatakan lengkap, atau dalam batas waktu 14 hari tidak
mengembalikan berkas perkara kepada penyidik, maka penyidikan dianggap
selesai.
88
Osman Simanjuntak, Teknik Penuntutan dan Upaya Hukum, PT Gramedia Widiasarana
Indonesia: Jakarta, 1995, hal 6
89
Harun M. Husein, Penyidikan....,op.cit., hlmn 245
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan Surat Edaran Jaksa Agung Nomor: PER-028/A/JA/10/2014,
hal yang perlu diperhatikan oleh penuntut umum untuk meneliti kelengkapan
berkas perkara dimana korporasi didudukkan sebagai tersangka, antara lain:90
1) Akta pendirian korporasi
2) Akta perubahan korporasi
3) Surat keputusan menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia mengenai
pengesahan Akta pendirian/Perubahan Korporasi;
4) Bentuk korporasi
5) Hubungan korporasi dan pengurus yang mewakili korporasi;
6) Surat kuasa korporasi kepada yang mewakili;
7) Surat, dokumen, pembukuan dan barang bukti yang terkait dengan
tindak pidana yang disangkakan;
8) Kerusakan dan kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana serta
keuntungan yang diperoleh Korporasi;
9) Data keuangan dan perpajakan baik Korporasi maupun Pengurus
Korporasi
10) Keterangan ahli apabila diperlukan; dan
11) Hal-hal lain yang berhubungan dengan perkara.
b. Surat Dakwaan
Surat dakwaan adalah surat atau akte yang memuat rumusan tindak pidana
yang didakwakan kepada terdakwa yang disimpulkan dan ditarik dari hasil
90
Surat Edaran Jaksa Agung Nomor: PER-028/A/JA/10/2014 tentang Pedoman
Penanganan Perkara Pidana Dengan Subjek Hukum Korporasi
Universitas Sumatera Utara
pemeriksaan penyidikan, dan merupakan dasar serta landasan bagi hakim dalam
pemeriksaan dimuka sidang pengadilan.91
Dakwaan merupakan dasar penting hukum acara pidana karena berdasarkan
hal yang dimuat dalam surat itu hakim akan memeriksa perkara itu. Pemeriksaan
didasarkan kepada surat dakwaan dan menurut Nederburg92, pemeriksaan tidak
batal jika batas-batas dilampaui, namun putusan hakim hanya boleh mengenai
peristiwa-peristiwa yang terletak dalam batas itu.
Demi keabsahannya maka surat dakwaan harus dibuat dengan sebaikbaiknya sehingga memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1) Syarat formil
Pasal 143 ayat (2) KUHAP menentukan syarat surat dakwaan sebagai
berikut:
“Surat dakwaan yang diberi tanggal dan ditanda tangani serta berisi:
(1) Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin,
kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan tersangka;
(2) Uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindakan pidana yang
didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu
dilakukan.
Syarat surat dakwaan tersebut hanya dapat dipenuhi oleh subjek hukum
naturlijk persoon sehingga dalam perkembangannya saat ini hukum pidana yang
telah mengakui korporasi sebagai subjek hukum pidana telah mengatur syarat
surat dakwaan apabila terdakwanya adalah korporasi. Dalam Surat Edaran Jaksa
91
Mohammad Taufik Makarao dan Suhasril, Hukum Acara Pidana dalam Teori dan
Praktek, Ghalia Indonesia: Jakarta, 2002, hal 73.
92
Mohammad Taufik Makarao dan Suharsil, Op.Cit, hal 74
Universitas Sumatera Utara
Agung Nomor: PER-028/A/JA/10/2014, penyusunan surat dakwaan terhadap
korporasi adalah sebagai berikut:
1) Surat dakwaan terhadap korporasi mencantumkan identitas korporasi
yaitu:
a. Nama Korporasi
b. Nomor dan tanggal Akta Pendirian Korporasi berserta
perubahannya;
c. Nomor dan tanggal Akta Korporasi pada saat peristiwa pidana;
d. Tempat kedudukan
e. Kebangsaan korporasi
f. Bidang usaha
g. Nomor pokok wajib pajak; dan
h. Identitas yang mewakili korporasi sesuai pasal 143 ayat (2)
huruf a Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.
2) Dalam hal tersangka korporasi bukan merupakan badan hukum, maka
identitas disesuaikan dengan bentuk korporasinya.
3) Surat dakwaan terhadap korporasi, Pengurus korporasi, Korporasi dan
Pengurus Korporasi disusun sesuai ketentuan yang berlaku.
Sehubungan dengan hal itu dalam surat edaran Jaksa Agung Nomor B036/A/Ft.1/06/2009 juga mengatur hal yang sama berkaitan dengan identitas
korporasi dalam surat dakwaan. Berdasarkan Surat Edaran Jaksa Agung Nomor:
B-036/A/Ft.1/06/2009 menyatakan dalam pembuatan Surat Dakwaan dimana
terdakwa/tersangkanya adalah korporasi harus memuat sekurang-kurangnya:
Universitas Sumatera Utara
(1) Nama korporasi;
(2) Nomor dan tanggal akta korporasi yang meliputi:
a. Nomor dan tanggal akta pendirian perusahaan
b. Nomor dan tanggal akta perusahaan pada saat peristiwa pidana
c. Nomor dan tanggal akta perusahaan perubahan terakhir
(3) Kedudukan/status pendirian;
(4) Bidang usaha.
Bilamana syarat-syarat surat dakwaan (syarat formil) tidak dipenuhi, maka
surat dakwaan dapat dibatalkan.
2) Syarat materil
Syarat materiil sebagaimana diatur dalam Pasal 143 (2) b KUHAP. Uraian
secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan
dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan.93 Sebenarnya
pembuat undang-undangharus menjelaskan dalam penjelasan resmi pasalnya, apa
yang dimaksud uraian secara cermat, jelas dan lengkap agar tidak menimbulkan
tafsiran yang berbeda-beda.
Dalam Pasal 143 ayat (2) ini menjadi bumerang bagi jaksa penuntut umum
karena tidak adanya penjelasan mengenai cermat, jelas, dan lengkap; sehingga
dalam eksepsi penasehat hukum terdakwa dengan mudah saja menyatakan bahwa
surat dakwaan jaksa penuntut umum, tidak jelas, tidak lengkap, dan tidak cermat;
93
Osman Simanjuntak, op.cit, hal 33
Universitas Sumatera Utara
dan meminta Hakim Majelis agar dakwaan jaksa penuntut umum ditolak karena
“obscure libelle”.94
Dengan demikian, terdakwa hanya dapat dipidana jika terbukti telah
melakukan delik yang disebut dalam dakwaan. Jika terdakwa terbukti melakukan
delik tetapi tidak disebut dalam dakwaan, maka ia tidak dapat dipidana.
Selain dari pada syarat-syarat tersebut, menurut peraturan lama dan
kebiasaan, perlu pula disebut hal-hal dan keadaan-keadaan dalam mana delik
dilakukan khususnya mengenai hal yang meringankan dan memberatkan. Kalau
hal-hal dan keadaan-keadaan tidak disebut dalam dakwaan tidak menjadikan
batalnya dakwaan.95
c. Pelimpahan Berkas Perkara ke Pengadilan
Apabila penuntut umum mempelajari berkas perkara hasil penyidikan, dan
berpendapat tindak pidana yang disangkakan dapat dituntut, menurut ketentuan
Pasal 140 ayat (1), penuntut umum dalam waktu secepatnya membuat surat
dakwaan. Jika surat dakwaan sudah selesai dipersiapkan tindakan selanjutnya,
malaksanakan ketentuan Pasal 143 ayat (1):
(1) Melimpahkan perkara ke Pengadilan
(2) Pelimpahan berkas dilakukan dengan surat pelimpahan perkara
(3) Dalam surat pelimpahan berkas tersebut:
a. Diampirkan surat dakwaan
b. Berkas perkara itu sendiri
c. Serta permintaan agar Pengadilan Negeri segera mengadili.
94
Harun M Husein, Surat Dakwaan Teknik Penyusunan, Fungsi dan Permasalahannya,
Rineka Cipta: Jakarta, 1989, hal 47.
95
Andi Hamzah, Hukum....., op.cit., hal 167
Universitas Sumatera Utara
Jadi yang dimaksud dengan pelimpahan dan surat pelimpahan perkara yang
disebut dalam Pasal 143 sebagaimana hal itu ditegaskan dalam penjelasannya:
“surat pelimpahan perkara adalah surat pelimpahan perkara itu sendiri lengkap
beserta surat dakwaan dan berkas perkara.”96
Pasal 143 ayat (4) turunan surat pelimpahan berkas perkara beserta surat
dakwaan disampaikan penuntut umum:
(1) Kepada tersangka atau kuasanya atau penasihat hukumnya,
(2) Juga turunan surat pelimpahan berkas perkara disampaikan kepada
penyidik,
(3) Penyampaian turunan surat pelimpahan berkas perkara kepada tersangka
dan penyidk dilakukan penuntut umum bersamaan waktunya dengan
penyampaian pelimpahan berkas perkara ke pengadilan.
Setelah berkas perkara dan surat dakwaan diserahkan kepada pengadilan
untuk disidangkan. Berdasarkan ketentuan pasal 144 KUHAP menentukan
perubahan surat dakwaan masih mungkin dilakukan dalam jangka waktu hanya 7
(tujuh) hari sebelum hari sidang dimulai97. Tujuan perubahan surat surat dakwaan
adalah:98
a) Penyempurnaan
Yang dimaksud menyempurnakan adalah untuk menghindari “Surat
dakwaan batal demi hukum” di sidang pengadilan.
96
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP Penyidikan
dan Penuntutan, Sinar Grafika: Jakarta, 2000, hal 443
97
Nikolas Simanjuntak, Acara Pidana Indonesia dalam Sirkus Hukum, Ghalia Indonesia:
Jakarta, 2009, hal 182
98
Suharto RM, Penuntutan Dalam Praktek Peradilan, Sinar Grafika: Jakarta, 1994, hal
109-110
Universitas Sumatera Utara
b) Tidak melakukan penuntutan
Penuntut Umum tidak melanjutkan berkas perkara diajukan ke sidang
pengadilan dapat dimungkinkan karena:
a) Ternyata minimum alat bukti yang diharuskan undang-undang
tidak terpenuhi
b) Berhubung kewenangan jaksa menuntut hapus.
d. Tuntutan
Apabila menurut pertimbangan majelis hakim pemeriksaan atas diri
terdakwa dan para saksi telah cukup, maka kepada penuntut umum dipersilahkan
menyampaikan tuntutan pidananya (requisitoir).99 Tidak semua jenis perkara
disertai surat tuntutan , karena dalam prakteknya dalam perkara yang ringan
langsung saja jaksa penuntut umum memohon tuntutan kepada hakim, tanpa
membuat surat tuntutan dan tuntutan pidana mana, cukup dituliskan dalam
formulir surat tuntutan. Tetapi pada umumnya, tuntutan memuat, bagian-bagian
mana dari ketentuan-ketentuan pidana yang didakwakan terhadap terdakwa yang
telah terbukti dan disertai penjelasan dari setiap unsur dari delik yang didakwakan
dan dengan demikian surat tuntutan adalah gambaran dari tuntutan hukuman yang
akan dimohonkan kepada Hakim.
Tuntutan hukum yang dapat dijatuhkan kepada manusia (naturlijk persoon)
diatur dalam Pasal 10 KUHP. Sementara apabila terdakwanya adalah korporasi,
berdasarkan Peraturan Jaksa Agung Nomor: PER-28/A/JA/10/2014 tuntutan
hukuman yang dapat dijatuhkan kepada korporasi adalah:
99
Ansori Sabuan, Hukum Acara Pidana, Angkasa: Bandung, 1990, hal 182
Universitas Sumatera Utara
a) Pidana denda dan pidana tambahan; dan/atau
b) Tindakan tata tertib
Tuntutan pidana tambahan atau tindakan tata tertib yang yang dimaksud
dikenakan terhadap Korporasi dan Pengurus Korporasi berdasarkan ketentuan
yang menjadi dasar pemidanaan antara lain berupa:
a. Pembayaran uang pengganti kerugian keuangan negara;
b. Perampasan atau penghapusan keuntungan yang diperoleh dari tindak
pidana
c. Perbaikan kerusakan akibat dari tindak pidana;
d. Kewajiban mengerjakan apa yang dilakukan tanpa hak;
e. Penempatan perusahaan dibawah pengampuan untuk jangka waktu
tertentu;
f. Penutupan atau pembukuan sebagian atau seluruh kegiatan perusahaan
untuk jangka waktu tertentu;
g. Pencabutan sebagian atau seluruh hak-hak tertentu;
h. Pencabutan izin usaha
i. Perampasan barang bukti atau harta kekayaan/aset korporasi dan/atau
j. Tindakan lain sesuai dengan ketentuan undang-undang.
Dalam Pasal 20 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagai mana yang
diubah dengan Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 pada pokoknya
menentukan bahwa dalam tidak pidana korupsi maka terhadap korporasi dapat
dilakukan penuntutan dan dijatuhi pidana dengan pidana pokok hanya pidana
denda dengan ketentuan maksimum ditambah 1/3 (satu per tiga).100
100
Marwan effendy, op.cit., hal 94.
Universitas Sumatera Utara
PENUNTUTAN KORPORASI OLEH JAKSA PENUNTUT
SEBAGAI TERDAKWA TINDAK PIDANA KORUPSI
A. Kewenangan Jaksa Penuntut Umum Menurut Hukum Acara Pidana
Indonesia
Istilah kejaksaan sebenarnya sudah ada sejak lama di Indonesia. Pada zaman
kerajaan Hindu-Jawa di Jawa Timur, yaitu pada masa Kerjaan Majapahit, istilah
dhyaksa, adhiyaksa, dan dharmadhyaksa sudah mengacu pada posisi jabatan
tertentu di kerajaan. Istilah-istilah ini berasal dari bahasa kuno, yakni dari katakata yang sama dalam Bahasa Sansekerta.64
...............................................................
Pada masa pendudukan Belanda, badan yang ada relevansinya dengan jaksa
dan Kejaksaan antara lain adalah Openbaar Ministerie. Lembaga ini
memerintahkan pegawai-pegawainya berperan sebagai Magistraat dari Officier
van Justitie di dalam sidang Landraad (pengadilan Negeri), Jurisdictie Geschillen
(Pengadilan Justisi) dan Hooggerechtshoft (Mahkamah Agung) dibawah perintah
langsung dari Residen/Asisten Residen.65
Pada prakteknya fungsi tersebut lebih cenderung sebagai perpanjangan
tangan Belanda belaka. Dengan kata lain, jaksa dan Kejaksaan pada penjajahan
Belanda mengemban misi terselubung yakni antara lain:66
64
Kejaksasaan Agung Republik Indonesia, Sejarah Kejaksaan Republik Indonesia,
http://kejaksaan.go.id/profil_kejaksaan.php?id=3 diakses tanggal 26 Februari 2016 pukul 9.12 wib.
65
Ibid.
66
Ibid
Universitas Sumatera Utara
a. Mempertahankan segala peraturan negara
b. Melakukan penuntutan segala tindak pidana
c. Melaksanakan putusan pengadilan yang berwenang
Fungsi sebagai alat penguasa itu akan sangat kentara, khususnya dalam
menerapkan delik-delik yang berkaitan dengan hatzaai artikelen yang terdapat
dalam Wetboek van Strafrecht (WvS).67
Perananan Kejaksaan sebagai satu-satunya lembaga penuntut secara resmi
difungsikan pertama kali oleh Undang-Undang pemerintah zaman pendudukan
tentara Jepang No. 1/1942, yang kemudian diganti oleh Osamu Seirei No.3/1942,
No.2/1944 dan No.49/1944. Eksistensi Kejaksaan itu berada pada semua jenjang
pengadilan, yakni sejak Saikoo Hoooin (Pengadilan Agung), Koootooo Hooi
(Pengadilan Tinggi) dan Tihooo Hooin (Pengadilan Negeri). Pada masa itu, secara
resmi digariskan bahwa Kejaksaan memiliki kekuasaan untuk: 1) mencari
(menyidik) kejahatan dan pelanggaran, 2) menuntut perkara, 3) menjalankan
putusan pengadilan dalam perkara kriminal, 4) mengurus pekerjaan lain yang
wajib dilakukan menurut hukum.68
Begitu Indonesia merdeka, keempat fungsi tersebut tetap dipertahankan
dalam negara Republik Indonesia, hal itu ditegaskan dalam Pasal II Aturan
Peralihan UUD 1945mengamanatkan bahwa sebelum Negera Republik Indonesia
membentuk badan-badan dan peraturan negaranya sendiri sesuai dengan
ketentuan Undang-Undang Dasar, maka segala badan yang ada masih tetap
67
68
Ibid.
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
berlaku. Karena itulah secara yuridis formal, Kejaksaan RI telah ada sejak
kemerdekaan Indonesia diproklamasikan.
Didalam KUHAP, wewenang penyelidikan, penyidikan, penangkapan dan
penahanan berada di tangan lembaga kepolisian. Sedangkan penuntutan berada
ditangan lembaga kejaksaan . Pemisahan lembaga kepolisian sebagai lembaga
penyidik dan lembaga kejaksaan sebagai penuntut umum adalah mencerminkan
adanya
sistem
pengawasan
dengan
alasan
demi
kepentingan
hak-hak
tersangka/terdakwa.69
Jaksa70 adalah sebutan bagi institusi dalam sistem peradilan pidana yang
memiliki fungsi menuntut dan membuat dokumen. Dalam teori hukum, baik
dalam tradisi Anglo Saxon atau Eropa Kontinental, jaksa merupakan tokoh utama
dalam penyelenggaraan peradilan pidana. Hal ini disebabkan jaksa adalah pihak
yang berperan penting dalam membuat dakwaan atau tuntutan yang merupakan
ruang lingkup pemeriksaan dalam persidangan di Pengadilan Negeri, Pengadilan
Tinggi maupun Mahkamah Agung.
Peranan aparat Kejaksaan sebagai lembaga supra struktur hukum di negaranegara berkembang nampaknya masih menunjukkan suatu arah pertumbuhan
yang lebih dewasa. Hal tersebut terutama disebabkan oleh adanya perubahan dan
nilai-nilai ketertiban hukum yang terjadi di dalam masyarakatnya.
Kejaksaan mempunyai tugas, fungsi dan wewenang dalam bidang pidana,
perdata dan tata usaha negara serta dalam bidang ketertiban dan ketentraman
69
Badan Pembina Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusi RI,
Analisis dan Evaluasi Hukum Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi: Jakarta,
2008, hal 8
70
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
umum. Disamping itu Kejaksaan dapat diserahi tugas dan wewenang lain
berdasarkan undang-undang dan peraturan lainnya. Dalam Pasal 2 Undangundang Nomor 16 Tahun 2004 dinyatakan bahwa Kejaksaan Republik Indonesia
yang selanjutnya dalam Undang-undang ini disebut Kejaksaan adalah lembaga
pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta
kewenangan lain berdasarkan undang-undang.
Adapun tugas dan wewenang Kejaksaan dibidang pidana diatur dalam Pasal
30 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik
Indonesia, antara lain:
a. Melakukan penuntutan ;
b. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pegadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap;
c. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana
bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas
bersyarat;
d. Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan
undang-undang;
e. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan
pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang
dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.
Dalam Pasal 1 butir 6 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang
Hukum Acara Pidana disebutkan bahwa:
Universitas Sumatera Utara
a. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh Undang-undang ini
untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
b. Penuntut umum adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh undangundang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan
hakim.
Kewenangan Jaksa Penuntut Umum diatur dalam Bab IV KUHAP Pasal 14
yaitu:
1. Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik
atau penyidik pembantu;
2. Mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan
dengan memperhatikan ketentuan pasal 110 ayat (3) dan ayat (4),
dengan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan
dari penyidik;
3. Melakukan penahanan, memberikan perpanjangan penahanan atau
penahanan lanjutan dan atau mengubah stastus tahanan setelah
perkaranya dilimpahkan oleh penyidik;
4. Membuat surat dakwaan;
5. Melimpahkan perkara ke pengadilan;
6. Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuanketentuan hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat
panggilan, baik kepada terdakwa maupun kepada saksi, untuk datang
pada sidang yang telah ditentukan;
Universitas Sumatera Utara
7. Melakukan penuntutan;
8. Menutup perkara demi kepentingan umum;
9. Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab
sebagai penuntut umum menurut ketentuan undang-undang ini;
10. Melaksanakan penetapan hakim.
Dari perincian wewenang tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa
Jaksa/Penuntut Umum di Indonesia tidak mempunyai wewenang menyidik
perkara dalam tindak pidana umum, misalnya pembunuhan, pencurian, dan lain
sebagainya dari permulaan ataupun lanjutan. Ini berarti Jaksa atau Penuntut
Umum di Indonesia tidak dapat melakukan penyelidikan/penyidikan terhadap
tersangka atau terdakwa. Ketentuan Pasal 14 ini disebut sistem tertutup, artinya
tertutup kemungkinan jaksa atau penuntut umum melakukan penyidikan meskipun
dalam arti insidental dalam perkara-perkara berat, khususnya dari segi pembuktian
dan masalah teknik yuridisnya. Kekecualiannya adalah Jaksa atau Penuntut
Umum dapat menyidik perkara dalam tindak pidana khusus, misalnya tindak
pidana subversi, korupsi, dan lain sebagainya.
B. Kewenangan Penuntutan dalam Tindak Pidana Korupsi
Dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang
Kejaksaan Republik Indonesia dengan tegas menyebutkan bahwa Kejaksaan
adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang
penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang.
Universitas Sumatera Utara
Selain itu Pasal 30 ayat (1) huruf a memberikan tugas dan wewenang
kepada Kejaksaan untuk melakukan penuntutan di bidang pidana, termasuk
tentunya kewenangan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. Tumpang tindih
kewenangan dalam hal siapa yang berwenang untuk melakukan penuntutan
terhadap tindak pidana korupsi muncul setelah dikeluarkannya Undang-undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Kewenangan Penuntutan dalam Tindak Pidana Korupsi berada dalam dua
lembaga yaitu, Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tumpang
tindih kewenangan antara sub sistem dalam sistem peradilan pidana tentang siapa
yang berwenang melakukan penyidikan pada perkara tindak pidana korupsi
setelah keluarnya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi dimulai dengan rumusan Pasal 26 Undang-undang Nomor
31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 71 yang
merumuskan: “Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang Pengadilan
terhadap tindak pidana korupsi, dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang
berlaku, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini.72
Secara gramatikal arti kalimat “berdasarkan hukum acara yang berlaku”
tentunya merujuk kepada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP,
karena selain KUHAP tidak ada lagi hukum acara pidana lain yang berlaku di
Indonesia. Hal tersebut juga berarti bahwa terhadap tindak pidana korupsi, harus
71
Sahuri Lasmadi, Tumpang Tindih Kewenangan Penyidikan Pada Tindak Pidana
Korupsi
Dalam
Perspektif
Sistem
Peradilan
Pidana,
http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:VGUKRIokIDsJ:onlinejournal.unja.ac.id/index.php/jimih/article/download/200/177+&cd=1&hl=en&ct=clnk&gl=id
diakses tanggal 26 Februari 2016 pukul 10.30 wib, hal 3
72
Sama dengan rumusan Pasal 39 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Korupsi.
Universitas Sumatera Utara
dilakukan penyidikan berdasarkan Pasal 106 s.d Pasal 136 KUHAP oleh penyidik
menurut Pasal 1 angka 1 s.d angka 5, yaitu polisi. Sedangkan penuntutan tindak
pidana dilakukan menurut Pasal 137 s.d Pasal 144 KUHAP oleh Penuntut Umum,
yaitu jaksa. Ketentuan Pasal 26 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang
sangat baik dan benar, justru dikaburkan kembali oleh Pasal 27 Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 dimana untuk tindak pidana yang sulit pembuktiannya,
akan dibentuk tim gabungan dibawah koordinasi Jaksa Agung.
Selain Kejaksaan, KPK juga memiliki kewenangan untuk melakukan
penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. Hal tersebut dapat dilihat dalam
rumusan Pasal 6 huruf c Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Korupsi, yaitu KPK mempunyai tugas
melakukan tindakan
penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi.
Rumusan pasal ini jelas bahwa KPK juga berwenang melakukan tindakan
penuntutan terhadap tindak pidana korupsi.
Undang-undang KPK memberikan batasan terhadap tindak pidana korupsi
mana saja yang dapat ditangani oleh KPK. Sebagaimana yag ditegaskan dalam
Pasal 11 Undang-Undang KPK bahwa dalam melaksanakan tugasnya, KPK
berwenang untuk melakukan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi:
(1) Yang melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang
lain yang ada kaitannya oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara
negara;
(2) Mendapatkan perhatian yang meresahkan masyarakat;
(3) Menyangkut kerugian negara paling sedikit satu milyar rupiah.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan ketentuan Pasal 11 Undang-Undang KPK apabila suatu tindak
pidana korupsi masuk dalam rumusan pasal tersebut, maka KPK yang berwenang
melakukan tindakan penuntutan. Namun, dalam beberapa kasus korupsi di
Indonesia yang nilai kerugian negara ditafsirkan di atas satu milyar serta
melibatkan penyelenggara negara dalam hal ini pemerintah, penuntutan perkara
korupsi tersebut malah ditangani oleh Kejaksaan, bukan KPK.73
Tabel 2. Perbedaan Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dengan
Kejaksaan Republik Indonesia
No
KPK
Kejaksaan
1.
Bahwa sesuai dengan Pasal 43
Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999
tentang
Pemberantasan
Tindak
Pidana
Korupsi
sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999
tentang
Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, maka perlu
dibentuk Komisi Pemberantasan
Korupsi.Komisi
Pemberantasan
Korupsi adalah lembaga negara
yang dalam melaksanakan tugas
dan
wewenangnya
bersifat
independen
dan
bebas
dari
pengaruh kekuasaan manapun.KPK
dibentuk
dengan
tujuan
meningkatkan daya guna dan hasil
guna
terhadap
upaya
pemberantasan
tindak
pidana
korupsi.
Kejaksaan
adalah
lembaga
pemerintahan
yang
melaksanakan kekuasaan negara
dibidang
penuntutan
serta
kewenangan lain berdasarkan
undang-undang.
Jaksa adalah pejabat fungsional
yang diberi wewenang oleh
undang-undang untuk bertindak
sebagai penuntut umum dan
pelaksana putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap serta wewenang
berdasarkan undang-undang.
Penuntut umum adalah jaksa
yang diberi wewenang oleh
undang-undang
ini
utuk
melakukan penuntutan dan
melaksanakan pentepan hakim.74
73
Rangga Trianggara Paonganan, Kewenangan Penuntutan Komisi Pemberantasan
Korupsi Dan Kejaksaan Dalam Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, Lex Crimen Vol. II,
http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/lexcrimen/article/viewFile/997/810 diakses tanggal 26
Februari 2016 pukul 14.12 WIB.
74
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia
Universitas Sumatera Utara
No
2.
KPK
Kejaksaan
Komisi Pemberantasan Korupsi Kejaksaan mempunyai tugas dan
mempunyai tugas:
wewenang:
a. Koordinasi dengan instansi
a. Melakukan penuntutan;
yang berwenang melakukan
b. Melaksanakan penetapan
pemberantasan
tindak
hakim
dan
putusan
pidana korupsi;
pengadilan yang telah
b. Supervisi terhadap instansi
memperoleh
kekuatan
yang berwenang melakukan
hukum tetap;
pemeberantasan
tindak
c. Melakukan pengawasan
pidana korupsi;
terhadap
pelaksanaan
c. Melakukan
penyelidikan,
putusan pidana bersyarat,
penyidikan, dan penuntutan
putusan
pidana
terhadap tindak pidana
pengawasan,
dan
korupsi;
keputusan
lepas
d. Melakukan
tindakanbersyarat;
tindakan pencegahan tindak
d. Melakukan penyidikan
pidana korupsi; dan
terhadap tindak pidana
e. Melakukan
monitor
tertentu
berdasarkan
terhadap
penyelenggara
undang-undang;
pemerintahan negara.
e. Melengkapi
berkas
perkara tertentu dan
KPK berwenang:
untuk
itu
dapat
a. Mengkoordinasikan
melakukan pemeriksaan
penyelidikan, penyidikan,
tambahan
sebelum
dan penuntutan terhadap
dilimpahkan
ke
tindak pidana korupsi;
pengadilan yang dalam
b. Menetapkan
sistem
pelaksanaannya
pelaporan dalam kegiatan
dikoordinasikan dengan
pemberantasan
tindak
penyidik.
pidana korupsi kepada
instansi yang terkait;
c. Meminta informasi tentang
kegiatan
pemberantasan
tindak
pidana
korupsi
kepada instansi yang terkait;
d. Melaksanakan
dengar
pendapat atau pertemuan
dengan
instansi
yang
berwenang
melakukan
pemberntasan tindak pidana
korupsi; dan
e. Meminta laporan instansi
terkait
mengenai
pencegahan tindak pidana
korupsi.
Universitas Sumatera Utara
No
3.
KPK
Kejaksaan
Pasal 11 Undang-undang Nomor 30
Tahun 2002 tentang KPK, memberi
kewenangan
kepada
KPK
mengatasi perkara tindak pidana
korupsi yang sebagai berikut:
Tidak diatur secara limitatif di
dalam
undang-undang
sebagaimana
halnya
dalam
Undnag-undang Nomor 30
Tahun 2002
a. Melibatkan aparat penegak
hukum,
penyelenggara
negara, dan orang lain yang
ada kaitannya dengan tindak
pidana
korupsi
yang
dilakukan
oleh
aparat
penegak hukum;
b. Mendapat perhatian yang
meresahkan
masyarakat;
dan/atau
c. Menyangkut
kerugian
negara paling sedikit Rp
1.000.000.000,00
(satu
milyar rupiah)
4.
KPK
dalam
melaksanakan
wewenangnya, berwenang untuk
mengambil
alih
penuntutan
terhadap pelaku tindak pidana
korupsi yang sedang dilakukan oleh
pihak Kejaksaan sebagaimana
diatur dalam Pasal 8 ayat 2
Undang-undang Nomor 30 Tahun
2002:
Sementara Kejaksaan, Undangundang hanya memberikan
kewenangan untuk menjalin
kerja sama dengan badan
penegak hukum dan keadilan
serta badan negara atau instansi
lain. Sebagaimana diatur dalam
Pasal 33 Undang-undang Nomor
16
Tahun
2004
tentang
Kejaksaan RI.
“Dalam melaksanankan wewanag
sebagaimana dimaksud pada ayat 1,
Komisi Pemberantasan Korupsi
berwenang juga mengambil alih
penyidikan atau penuntutan
terhadap palaku tindak pidana
korupsi yang sedang dilakukan oleh
kepolisian atau kejaksaan”
Universitas Sumatera Utara
No
KPK
Kejaksaan
5.
Pasal 40 Undang-undang Nomor 30 Kejaksaan dapat mengeluarkan
Tahun 2002, KPK tidak berwenang Surat Penghentian Penuntutan
mengeluarkan
Surat
Perintah Perkara
Penghentian Penuntutan Perkara
Tindak Pidana Korupsi
6.
Berdasarkan Pasal 53 Undangundang Nomor 30 Tahun 2002,
perkara tindak pidana korupsi yang
penuntutannya dilakukan oleh
Komisi Pemberantasan Korupsi
hanya dilakukan di Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi.75
Perkara Tindak Pidana Korupsi
yang proses penuntutannya
dilakukan oleh Kejaksan hanya
dilakukan
di
Pengadilan
Umum.76
Meskipun ada dua lembaga yang memiliki kewenangan dalam melakukan
penuntutan terhadap perkara tindak pidana korupsi. Diperlukan singkronisasi
dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi. Singkronisasi yang bersifat
vertikal merupakan langkah awal untuk menangani perkara tindak pidana
korupsi,karena dimulai dari tingkat penyidikan, penuntutan sampai pelaksanaan
putusan hakim. Masing-masing kedua lembaga tersebut harus mempunyai
pandangan yang sama dalam menetapkan pasal.
C. Penuntutan Korporasi sebagai Terdakwa dalam Tindak Pidana Korupsi
Setiap perbuatan dapat dimintai pertanggungjawaban pidana apabila telah
melanggar ketentuan perundang-undangan atau dalam hukum pidana Indonesia
disebut dengan “perbuatan melawan hukum atau wederrechtelijkheid”. Artinya,
75
Badan Pembina Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusi RI,
Op.Cit, hal 45.
76
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
bahwa ada persoalan apakah dalam suatu tindak pidana si pelaku harus tahu
bahwa perbuatannya dilarang oleh hukum pidana.77
Perbuatan melawan hukum dibedakan menjadi dua, yaitu perbuatan
melawan hukum materil dan perbuatan melawan hukum formil. Menurut Pompe,
dari istilahnya saja sudah jelas, melawan hukum (wederrechtelijk) jadi
bertentangan dengan hukum, bukan bertentangan dengan ketentuan undangundang. Dengan demikian Pompe memandang “melawan hukum” sebagai yang
dimaksud dengan melawan hukum materiil. Ia melihat kata on rechtmatig
(bertentangan dengan hukum) sinonim dengan wederhechtelijk (melawan
hukum).78 Sedangkan melawan hukum formil diartikan bertentangan dengan
undang-undang. Apabila suatu perbuatan telah mencocoki rumusan delik, maka
biasanya dikatakan telah melawan hukum formil.
Sifat melawan hukum materiil dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu, 79 sifat
melawan hukum materil dalam arti negatif artinya hakim dapat membebaskan
seseorang meskipun perbuatan tersebut telah memenuhi unsur-unsur (delik)
pidana tetapi secara materil perbuatan tersebut tidak bertentangan dengan
kepatutan yang terjadi dalam masyarakat. Selanjutnya, sifat melawan hukum
dalam arti positif yaitu hakim menghukum seseorang meskipun orang itu tidak
melakukan perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang tetapi perbuatan
itu sangat tercela dalam kehidupan masyarakat karena telah melanggar asas
kepatutan yang berlaku dalam masyarakat.
77
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, Refika Aditama:
Jakarta, 2003, hal 71.
78
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta: Jakarta, 2008, hal 133.
79
Syarifuddin Kalo, Pada saat kuliah umum, Mata Kuliah Kapita Selekta Pada Tanggal
30 April 2015.
Universitas Sumatera Utara
Melawan hukum materiil harus berarti hanya dalam arti negatif, artinya
kalau tidak ada melawan hukum (materiil) maka merupakan dasar pembenar.
Dalam penjatuhan pidana harus dipakai hanya melawan hukum formil, artinya
yang bertentangan dengan hukum positif yang tertulis, karena alasan asas nullum
crimen sine lege stricta yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP.
Sedikit sekali tindak pidana korupsi yang mencantumkan unsur melawan
hukum dalam rumusan tindak pidana, ialah Pasal 2, Pasal 12e, Pasal 23 jo Pasal
429 KUHP, Pasal 23 jo Pasal 430 KUHP. Jadi hanya ada 4 pasal tindak pidana
korupsi yang tegas mencantumkan unsur melawan hukum. Dalam Pasal 2 ayat (1)
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana yang telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 yang menyebutkan bahwa:
Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat
merugikan keuangan negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup
atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua
puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Dalam penjelasannya disebutkan bahwa “secara melawan hukum” yang
dimaksud dalam pasal ini adalah perbuatan melawan hukum formil dan perbuatan
melawan hukum materiil.
Mahkamah Konstitusi memutuskan dalam Putusan Nomor 003/PUUIV/2006 bahwa “pengertian melawan hukum secara materiil” yang diterapkan
secara positif berdasarkan penjelasan Pasal 2 Undang-undang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi “tidak mengikat” karena maksudnya bertetangan dengan
asas legalitas. Oleh karena itu, penerapan sifat melawan hukum materiil secara
Universitas Sumatera Utara
negatif, artinya menjadi salah satu dasar peniadaan pidana di luar undang-undang
yang dikenal dalam doktrin hukum pidana dan yurisprudensi.
Selain adanya “perbuatan melawan hukum” suatu perbuatan dapat dituntut
apabila ada “kesalahan” yang menyertai suatu perbuatan itu. Dalam pengertian
hukum pidana dapat disebut ciri atau unsur kesalahan dalam arti luas, yaitu: 80 1)
dapatnya dipertanggungjawabkan pembuat; 2) adanya kaitan psikis antara
pembuat dan perbuatan , yaitu adanya sengaja atau kesalahan dalam arti sempit
(culpa); 3) Tidak adanya dasar peniadaan pidana yang menghapus dapatnya
dipertanggungjawabkan sesuatu perbuatan kepada pembuat.
Dari yang tersebut pada butir 3 dapat dilihat kaitan antara kesalahan dan
melawan hukum. Tetapi seperti dikatakan oleh Vos, mungkin ada melawan
hukum tanpa adanya kesalahan. Melawan hukum adalah perbuatan yang abnormal
secara objektif. Kalau perbuatan itu sendiri tidak melawan hukum berarti bukan
perbuatan abnormal. Untuk hal ini tidak lagi diperlukan jawaban siapa
pembuatnya. Kalau perbuatannya sendiri tidak melawan hukum berarti
pembuatnya tidak bersalah. Kesalahan adalah unsur subjektif, yaitu untuk untuk
pembuat tertentu. Dapat dikatakan bahwa ada kesalahan jika pembuat dapat
dipertanggungjawabkan atas perbuatannya.81
Dalam delik korupsi sangat sulit membuktikan “kesalahan” suatu korporasi,
baik berupa kesengajaan maupun kealpaan. Hal ini disebabkan karena subjek
hukum dalam tindak pidana korupsi tidak selaras dengan subjek hukum dalam
KUHP. Sehingga Jaksa Penuntut Umum kesulitan mendapat teori-teori/doktrin
80
81
Andi Hamzah, Asas-asas...., Op.Cit., hal 130
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
dan dasar hukum tentang “kesalahan” orang perorang yang pada umumnya para
ahli pidana sepakat bahwa hanya orang yang dapat memiliki unsur “kesalahan”.
Kekeliruan JPU dalam membuktikan perbuatan sebagai kesalahan individu
(naturlijk persoon) dalam tindak pidana korporasi dapat mengakibatkan terdakwa
diputus bebas (vrijspraak) oleh pengadilan.82
Di Belanda83 ditetapkan korporasi dalam hukum pidana dapat melakukan
tindak pidana, oleh karena itu dapat dituntut dan dijatuhi hukuman, melalui tiga
tahap tentang diakuinya badan hukum sebagai subjek hukum pidana:
a. Pertama, tahap ini ditandai dengan usaha-usaha agar sifat tindak pidana yang
dilakukan badan hukum dibatasi pada perorangan (naturlijk persoon),
sehingga apabila suatu tindak pidana terjadi dalam suatu lingkungan badan
hukum maka suatu tindak pidana dianggap dilakukan oleh pengurus badan
hukum tersebut. Dalam tahap ini berlaku asas “universitas delinguere non
potest” yaitu badan hukum tidak dapat melakukan suatu tindak pidana.
b. Kedua, tahap ini bahwa suatu tindak pidana dapat dilakukan oleh badan
hukum, tetapi tanggung jawab telah dibebankan kepada pengurus atau badan
hukum tersebut. Perumusan khusus untuk badan hukum tersebut yakni
apabila suatu tindak pidana dilakukan oleh atau karena suatu badan hukum,
tuntutan hukum pidana dan hukum pidana harus dijatuhkan kepada pengurus.
Jadi dalam hal ini orang seolah-olah badan hukum dapat melakukan tindak
pidana tetapi secara riel yang melakukan perbuatan adalah manusia sebagai
wakil-wakilnya.
c. Ketiga, tahap ini merupakan permulaan adanya tanggungjawab langsung
badan hukum, secara kumulatif badan hukum dapat dipertanggungjawabkan
menurut hukum pidana di samping mereka sebagai pemberi perintah atau
pemberi pimpinan yang nyata telah berperan pada tindak pidana itu.
Dalam Pasal 20 ayat (1) menyebutkan bahwa dalam hal tindak pidana
korupsi dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, maka tuntutan dan
pemidanaan dapat diberikan kepada:
82
83
Eddy Rifai, op.cit., hal 7
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
a. Korporasi; dan atau
b. Pengurusnya
Selanjutnya dalam Pasal 20 ayat (2) dinyatakan bahwa tindak pidana
korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh
orang-orang: yang berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan
lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut, baik sendiri maupun
bersama-sama.84
Dalam menafsirkan “orang-orang berdasarkan hubungan kerja”, dapat
ditarik dari pengertian korporasi itu sendiri. Pada dasarnya korporasi diartikan
sebagai kumpulan orang-orang atau kekayaan yang mengikatkan diri untuk tujuan
tertentu. Dari pengertian tersebut, dapat diketahui suatu korporasi dibentuk untuk
mencapai tujuan tertentu yang telah ditetapkan, dan dalam rangka mencapai
tujuannya itu tentunya orang-orang yang mengikatkan diri dalam korporasi
tersebut akan melakukan berbagai kegiatan atau perbuatan sesuai dengan
kedudukan dan fungsinya masing-masing.85
Sutan Remy Sjahdeni mengartikan yang dimaksud dengan “orang-orang
berdasarkan hubungan kerja” adalah orang-orang yang memiliki hubungan kerja
sebagai pengurus atau pegawai,yaitu:86
a. Berdasakan anggaran dasar dan perubahannya;
b. Berdasarkan kepangkatan sebagai pegawai dan perjanjian kerja dengan
koporasi;
84
Marwan Efendy, op.cit., hal 92.
Rony Saputra, op.cit., hal 15.
86
Sutan Remi Sjahdeni, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Grafitipers: Jakarta,
2006, hal 151.
85
Universitas Sumatera Utara
c. Berdasarkan surat pengangkatan sebagai pegawai;
d. Berdasarkan perjanjian kerja sebagai pegawai;
Yang dimaksud dengan “orang-orang berdasarkan hubungan lain”87 adalah
orang-orang yang memiliki hubungan lain selain hubungan kerja dengan
korporasi, antara lain mewakili korporasi untuk melakukan perbuatan hukum
untuk dan atas nama korporasi berdasarkan: 1) Pemberian kuasa; 2) Perjanjian
dengan pemberi kuasa (pemberi kuasa bukan diberikan dengan surat kuasa
tersendiri tetapi dicantumkan dalam perjanjian sehingga merupakan bagian yang
tidak terpidahkan dari perjanjian tersebut); 3) Pendelegasian wewenang.
Jika tindak pidana korupsi tersebut dilakukan oleh suatu korporasi maka
tuntutan pidananya diwakili oleh pengurus korporasi, yaitu organ korporasi yang
menjalankan kepengurusan korporasi yang bersangkutan, sesuai anggaran dasar,
termasuk mereka yang dalam kenyataannya memiliki kewenangan dan ikut
memutuskan kebijakan korporasi yang dapat dikualifikasikan sebagai tindak
pidana korupsi.
Tahap-tahap penuntutan korporasi sebagai subjek hukum pidana tindak
korupsi adalah sebagai berikut:
a. Pra Penuntutan
Pra penuntutan adalah tindakan penuntut umum meneliti/mempelajari
berkas perkara hasil penyidikan yang diserahkan penyidik guna menentukan
apakah persyaratan yang diperlukan guna melakukan penuntutan sudah terpenuhi
atau belum oleh hasil penyidikan tersebut. Tenggang waktu prapenuntutan
87
Roni Saputra, Op.Cit., hal 15.
Universitas Sumatera Utara
sebenarnya paling lama 28 hari tetapi dalam prakteknya sangat bervariasi, dan
inilah termasuk salah satu kelemahan KUHAP. 88 Bilamana Jaksa Penuntut Umum
setelah mempelajari berkas perkara dan dari hasil pemeriksaan ternyata berkas
sudah lengkap, maka penuntut umum memberitahukan hal itu kepada penyidik
dan meminta agar tersangka dan barang bukti segera diserahkan kepadanya.
Sebaliknya bila dalam penelitian itu ternyata hasil penyidikan belum lengkap,
maka penuntut umum mengembalikan berkas perkara kepada penyidik disertai
dengan petunjuk-petunjuk guna melengkapi hasil penyidikan tersebut.
Kelengkapan hasil penyidikan sangat menentukan keberhasilan penuntutan,
oleh karena itu penuntut umum harus benar-benar teliti dan jeli dalam
mempelajari dan meneliti berkas perkara yang bersangkutan. 89Apabila penuntut
umum kurang cermat dalam mempelajari dan meneliti berkas perkara, maka
berkas perkara yang kurang lengkap yang lolos dari penelitian merupakan “cacat”
yang akan terbawa ketahap penuntutan. Dengan sendirinya hal itu merupakan
kelemahan pula dalam melakukan penuntutan perkara yang bersangkutan.
Apabila penuntut umum telah menyatakan bahwa hasil penyidikan telah
lengkap, kemudian ternyata bahwa masih ada hal-hal lain yang belum lengkap,
maka kekurangan tersebut tidak dapat dilengkapi lagi. Karena apabila penuntut
umum telah menyatakan lengkap, atau dalam batas waktu 14 hari tidak
mengembalikan berkas perkara kepada penyidik, maka penyidikan dianggap
selesai.
88
Osman Simanjuntak, Teknik Penuntutan dan Upaya Hukum, PT Gramedia Widiasarana
Indonesia: Jakarta, 1995, hal 6
89
Harun M. Husein, Penyidikan....,op.cit., hlmn 245
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan Surat Edaran Jaksa Agung Nomor: PER-028/A/JA/10/2014,
hal yang perlu diperhatikan oleh penuntut umum untuk meneliti kelengkapan
berkas perkara dimana korporasi didudukkan sebagai tersangka, antara lain:90
1) Akta pendirian korporasi
2) Akta perubahan korporasi
3) Surat keputusan menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia mengenai
pengesahan Akta pendirian/Perubahan Korporasi;
4) Bentuk korporasi
5) Hubungan korporasi dan pengurus yang mewakili korporasi;
6) Surat kuasa korporasi kepada yang mewakili;
7) Surat, dokumen, pembukuan dan barang bukti yang terkait dengan
tindak pidana yang disangkakan;
8) Kerusakan dan kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana serta
keuntungan yang diperoleh Korporasi;
9) Data keuangan dan perpajakan baik Korporasi maupun Pengurus
Korporasi
10) Keterangan ahli apabila diperlukan; dan
11) Hal-hal lain yang berhubungan dengan perkara.
b. Surat Dakwaan
Surat dakwaan adalah surat atau akte yang memuat rumusan tindak pidana
yang didakwakan kepada terdakwa yang disimpulkan dan ditarik dari hasil
90
Surat Edaran Jaksa Agung Nomor: PER-028/A/JA/10/2014 tentang Pedoman
Penanganan Perkara Pidana Dengan Subjek Hukum Korporasi
Universitas Sumatera Utara
pemeriksaan penyidikan, dan merupakan dasar serta landasan bagi hakim dalam
pemeriksaan dimuka sidang pengadilan.91
Dakwaan merupakan dasar penting hukum acara pidana karena berdasarkan
hal yang dimuat dalam surat itu hakim akan memeriksa perkara itu. Pemeriksaan
didasarkan kepada surat dakwaan dan menurut Nederburg92, pemeriksaan tidak
batal jika batas-batas dilampaui, namun putusan hakim hanya boleh mengenai
peristiwa-peristiwa yang terletak dalam batas itu.
Demi keabsahannya maka surat dakwaan harus dibuat dengan sebaikbaiknya sehingga memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1) Syarat formil
Pasal 143 ayat (2) KUHAP menentukan syarat surat dakwaan sebagai
berikut:
“Surat dakwaan yang diberi tanggal dan ditanda tangani serta berisi:
(1) Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin,
kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan tersangka;
(2) Uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindakan pidana yang
didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu
dilakukan.
Syarat surat dakwaan tersebut hanya dapat dipenuhi oleh subjek hukum
naturlijk persoon sehingga dalam perkembangannya saat ini hukum pidana yang
telah mengakui korporasi sebagai subjek hukum pidana telah mengatur syarat
surat dakwaan apabila terdakwanya adalah korporasi. Dalam Surat Edaran Jaksa
91
Mohammad Taufik Makarao dan Suhasril, Hukum Acara Pidana dalam Teori dan
Praktek, Ghalia Indonesia: Jakarta, 2002, hal 73.
92
Mohammad Taufik Makarao dan Suharsil, Op.Cit, hal 74
Universitas Sumatera Utara
Agung Nomor: PER-028/A/JA/10/2014, penyusunan surat dakwaan terhadap
korporasi adalah sebagai berikut:
1) Surat dakwaan terhadap korporasi mencantumkan identitas korporasi
yaitu:
a. Nama Korporasi
b. Nomor dan tanggal Akta Pendirian Korporasi berserta
perubahannya;
c. Nomor dan tanggal Akta Korporasi pada saat peristiwa pidana;
d. Tempat kedudukan
e. Kebangsaan korporasi
f. Bidang usaha
g. Nomor pokok wajib pajak; dan
h. Identitas yang mewakili korporasi sesuai pasal 143 ayat (2)
huruf a Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.
2) Dalam hal tersangka korporasi bukan merupakan badan hukum, maka
identitas disesuaikan dengan bentuk korporasinya.
3) Surat dakwaan terhadap korporasi, Pengurus korporasi, Korporasi dan
Pengurus Korporasi disusun sesuai ketentuan yang berlaku.
Sehubungan dengan hal itu dalam surat edaran Jaksa Agung Nomor B036/A/Ft.1/06/2009 juga mengatur hal yang sama berkaitan dengan identitas
korporasi dalam surat dakwaan. Berdasarkan Surat Edaran Jaksa Agung Nomor:
B-036/A/Ft.1/06/2009 menyatakan dalam pembuatan Surat Dakwaan dimana
terdakwa/tersangkanya adalah korporasi harus memuat sekurang-kurangnya:
Universitas Sumatera Utara
(1) Nama korporasi;
(2) Nomor dan tanggal akta korporasi yang meliputi:
a. Nomor dan tanggal akta pendirian perusahaan
b. Nomor dan tanggal akta perusahaan pada saat peristiwa pidana
c. Nomor dan tanggal akta perusahaan perubahan terakhir
(3) Kedudukan/status pendirian;
(4) Bidang usaha.
Bilamana syarat-syarat surat dakwaan (syarat formil) tidak dipenuhi, maka
surat dakwaan dapat dibatalkan.
2) Syarat materil
Syarat materiil sebagaimana diatur dalam Pasal 143 (2) b KUHAP. Uraian
secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan
dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan.93 Sebenarnya
pembuat undang-undangharus menjelaskan dalam penjelasan resmi pasalnya, apa
yang dimaksud uraian secara cermat, jelas dan lengkap agar tidak menimbulkan
tafsiran yang berbeda-beda.
Dalam Pasal 143 ayat (2) ini menjadi bumerang bagi jaksa penuntut umum
karena tidak adanya penjelasan mengenai cermat, jelas, dan lengkap; sehingga
dalam eksepsi penasehat hukum terdakwa dengan mudah saja menyatakan bahwa
surat dakwaan jaksa penuntut umum, tidak jelas, tidak lengkap, dan tidak cermat;
93
Osman Simanjuntak, op.cit, hal 33
Universitas Sumatera Utara
dan meminta Hakim Majelis agar dakwaan jaksa penuntut umum ditolak karena
“obscure libelle”.94
Dengan demikian, terdakwa hanya dapat dipidana jika terbukti telah
melakukan delik yang disebut dalam dakwaan. Jika terdakwa terbukti melakukan
delik tetapi tidak disebut dalam dakwaan, maka ia tidak dapat dipidana.
Selain dari pada syarat-syarat tersebut, menurut peraturan lama dan
kebiasaan, perlu pula disebut hal-hal dan keadaan-keadaan dalam mana delik
dilakukan khususnya mengenai hal yang meringankan dan memberatkan. Kalau
hal-hal dan keadaan-keadaan tidak disebut dalam dakwaan tidak menjadikan
batalnya dakwaan.95
c. Pelimpahan Berkas Perkara ke Pengadilan
Apabila penuntut umum mempelajari berkas perkara hasil penyidikan, dan
berpendapat tindak pidana yang disangkakan dapat dituntut, menurut ketentuan
Pasal 140 ayat (1), penuntut umum dalam waktu secepatnya membuat surat
dakwaan. Jika surat dakwaan sudah selesai dipersiapkan tindakan selanjutnya,
malaksanakan ketentuan Pasal 143 ayat (1):
(1) Melimpahkan perkara ke Pengadilan
(2) Pelimpahan berkas dilakukan dengan surat pelimpahan perkara
(3) Dalam surat pelimpahan berkas tersebut:
a. Diampirkan surat dakwaan
b. Berkas perkara itu sendiri
c. Serta permintaan agar Pengadilan Negeri segera mengadili.
94
Harun M Husein, Surat Dakwaan Teknik Penyusunan, Fungsi dan Permasalahannya,
Rineka Cipta: Jakarta, 1989, hal 47.
95
Andi Hamzah, Hukum....., op.cit., hal 167
Universitas Sumatera Utara
Jadi yang dimaksud dengan pelimpahan dan surat pelimpahan perkara yang
disebut dalam Pasal 143 sebagaimana hal itu ditegaskan dalam penjelasannya:
“surat pelimpahan perkara adalah surat pelimpahan perkara itu sendiri lengkap
beserta surat dakwaan dan berkas perkara.”96
Pasal 143 ayat (4) turunan surat pelimpahan berkas perkara beserta surat
dakwaan disampaikan penuntut umum:
(1) Kepada tersangka atau kuasanya atau penasihat hukumnya,
(2) Juga turunan surat pelimpahan berkas perkara disampaikan kepada
penyidik,
(3) Penyampaian turunan surat pelimpahan berkas perkara kepada tersangka
dan penyidk dilakukan penuntut umum bersamaan waktunya dengan
penyampaian pelimpahan berkas perkara ke pengadilan.
Setelah berkas perkara dan surat dakwaan diserahkan kepada pengadilan
untuk disidangkan. Berdasarkan ketentuan pasal 144 KUHAP menentukan
perubahan surat dakwaan masih mungkin dilakukan dalam jangka waktu hanya 7
(tujuh) hari sebelum hari sidang dimulai97. Tujuan perubahan surat surat dakwaan
adalah:98
a) Penyempurnaan
Yang dimaksud menyempurnakan adalah untuk menghindari “Surat
dakwaan batal demi hukum” di sidang pengadilan.
96
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP Penyidikan
dan Penuntutan, Sinar Grafika: Jakarta, 2000, hal 443
97
Nikolas Simanjuntak, Acara Pidana Indonesia dalam Sirkus Hukum, Ghalia Indonesia:
Jakarta, 2009, hal 182
98
Suharto RM, Penuntutan Dalam Praktek Peradilan, Sinar Grafika: Jakarta, 1994, hal
109-110
Universitas Sumatera Utara
b) Tidak melakukan penuntutan
Penuntut Umum tidak melanjutkan berkas perkara diajukan ke sidang
pengadilan dapat dimungkinkan karena:
a) Ternyata minimum alat bukti yang diharuskan undang-undang
tidak terpenuhi
b) Berhubung kewenangan jaksa menuntut hapus.
d. Tuntutan
Apabila menurut pertimbangan majelis hakim pemeriksaan atas diri
terdakwa dan para saksi telah cukup, maka kepada penuntut umum dipersilahkan
menyampaikan tuntutan pidananya (requisitoir).99 Tidak semua jenis perkara
disertai surat tuntutan , karena dalam prakteknya dalam perkara yang ringan
langsung saja jaksa penuntut umum memohon tuntutan kepada hakim, tanpa
membuat surat tuntutan dan tuntutan pidana mana, cukup dituliskan dalam
formulir surat tuntutan. Tetapi pada umumnya, tuntutan memuat, bagian-bagian
mana dari ketentuan-ketentuan pidana yang didakwakan terhadap terdakwa yang
telah terbukti dan disertai penjelasan dari setiap unsur dari delik yang didakwakan
dan dengan demikian surat tuntutan adalah gambaran dari tuntutan hukuman yang
akan dimohonkan kepada Hakim.
Tuntutan hukum yang dapat dijatuhkan kepada manusia (naturlijk persoon)
diatur dalam Pasal 10 KUHP. Sementara apabila terdakwanya adalah korporasi,
berdasarkan Peraturan Jaksa Agung Nomor: PER-28/A/JA/10/2014 tuntutan
hukuman yang dapat dijatuhkan kepada korporasi adalah:
99
Ansori Sabuan, Hukum Acara Pidana, Angkasa: Bandung, 1990, hal 182
Universitas Sumatera Utara
a) Pidana denda dan pidana tambahan; dan/atau
b) Tindakan tata tertib
Tuntutan pidana tambahan atau tindakan tata tertib yang yang dimaksud
dikenakan terhadap Korporasi dan Pengurus Korporasi berdasarkan ketentuan
yang menjadi dasar pemidanaan antara lain berupa:
a. Pembayaran uang pengganti kerugian keuangan negara;
b. Perampasan atau penghapusan keuntungan yang diperoleh dari tindak
pidana
c. Perbaikan kerusakan akibat dari tindak pidana;
d. Kewajiban mengerjakan apa yang dilakukan tanpa hak;
e. Penempatan perusahaan dibawah pengampuan untuk jangka waktu
tertentu;
f. Penutupan atau pembukuan sebagian atau seluruh kegiatan perusahaan
untuk jangka waktu tertentu;
g. Pencabutan sebagian atau seluruh hak-hak tertentu;
h. Pencabutan izin usaha
i. Perampasan barang bukti atau harta kekayaan/aset korporasi dan/atau
j. Tindakan lain sesuai dengan ketentuan undang-undang.
Dalam Pasal 20 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagai mana yang
diubah dengan Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 pada pokoknya
menentukan bahwa dalam tidak pidana korupsi maka terhadap korporasi dapat
dilakukan penuntutan dan dijatuhi pidana dengan pidana pokok hanya pidana
denda dengan ketentuan maksimum ditambah 1/3 (satu per tiga).100
100
Marwan effendy, op.cit., hal 94.
Universitas Sumatera Utara